Anda di halaman 1dari 3

Suara Karya

Sabtu, 27 Januari 2007

Bohemian Rhapsody
Cerpen: Beni Setia

SETELAH Ibu meninggal aku tak merasa perlu pulang kampung.

Untuk apa?

IBU itu pesinggahan dari pengembaraan, setidaknya setelah Uwa istri dan pameget - yang
sabar mengurus sejak aku bayi satu hari - meninggal. Yang lelaki 15 tahun sebelum Ibu
meninggal, yang perempuan 4 tahun sebelum Ibu. Kemudian Bapak Tiriku, tapi waktunya
tak pasti - meski aku datang menziarahi makamnya.

Ayah? Aku tak punya hubungan emosi meski ia awal garis silsilah, dan cuma tiga atau
empat kali seumur hidupku aku mampir ke rumahnya. Dan 3 tahun setelah Ibu meninggal
ia meninggal, dan aku datang berziarah di kuburannya. Sekali untuk seluruh sisa umurku,
rasanya.

Di waktu luang, sambil merokok dan bersandar, terkadang aku ingat Uwa istri dan
pameget almarhum, dan tulus berdoa buat kesejahteraan mereka di Akhirat. Setelah itu
aku berdoa buat Ibu, meski tak ingin dikabulkan sebelum doaku bagi Uwa istri dan
pemeget dikabulkan. Sedangkan doa untuk Ayah dn Bapak Tiri hanya konsekuensi
silsilah, basa-basi kewajiban tanpa ketulusan.

APA doa bajingan mabrur?

SEBENARNYA selama 10 tahun itu aku ingin pulang. Dan kepada kakak-kakak dan adik-
adik tiri, di tengah reuni keluarga di saat berlebaran, aku menelepon. Meski cuma berkirim
salam, minta maaf, dan bilang aku tak ingin pulang. Sesekali kakak-kakakku berbalik
menghubungi, mengucapkan selamat lebaran dan seterusnya. Dan aku senantiasa
menolak ketika mereka mengharapkanku pulang.

Untuk apa?

AKU tahu mereka menganggap aku liar, anarkis. Memang. Tapi mereka tidak tahu kalau
aku punya luka, yang ngilu sampai kini. Aku ingat torehan pertamanya - nyaris 48 tahun
lalu. Saat itu mau akhir pelajaran di jenjang kelas 1 SD, ketika guru kelas bertanya tentang
Marning. Aku mengernyit.

Marning? Marsing?

Marning, entah siapa. Marsing, suami Sriting - kata orang ibuku. Guru kelas itu tersenyum
- senyum paling sinis di seumur hidupku. Dan itu membuat aku tahu, kalau Uwa istri, yang
menungguiku sekolah serta Uwa pameget yang di sawah itu bukan orang tuaku. Orang
tuaku itu Sriting dan Marsing.

Dan Marning?

Berhari-hari kemudian aku tahu kalau Marning itu bapakku. Yang mencederai ibuku,
Sriting, ketika aku baru lahir dan masih bayi 1 hari. Kemudian Ibu masuk RS. Aku dipungut
Uwa. Dan setelah penahanan di polisi Ayah dipaksa keluarga Ibu buat menceraikan
Sriting. Lalu dua kakak perempuanku diambil keluarga ibu karena ibu memilih pergi ke B
buat kerja. Setidaknya sampai lima tahun, sampai memutuskan untuk menikah dengan
Marning.
SETELAH itu hidupku merupakan tahun-tahun pencarian jalan pulang.

Terkadang aku sengaja bermain dekat rumah ibu, lalu menikmati makan atau jajan atau
buah-buahan dari tangan ibu. Sekali aku pernah melihat mereka naik dokar dan berkata
akan ke K, sekitar 10 kilometer di timur, dengan naik kereta api. Aku tersentak. Diam-diam
aku mendahului mereka dengan meloncat dari satu balok pemikul rel kereta api ke balok
berikutnya, berlari.

Menyeberangi jembatan 7 meteran, dan menunggu di halte K setelah C. Menunggu kereta


datang dan ditandai Ibu, lalu diajak bertamu sebagai anggota keluarga yang tak
diinginkan. Sukses memaksa dianggap anggota keluarga.

Pulangnya aku diajak naik kereta api. Hanya seperempat jam - padahal tadi memaksakan
diri berlari dengan langkah lebar selama satu jam. Melesat mendahului kedatangan kereta
yang terlambat diberangkatkan dari Y.

Dan ketika tiba di S: aku dikembalikan ke rumah Uwa, dan ibu kembali ke rumah bersama
bapak dan adik-adik tiri. Dan sejak saat itu aku yakin kalau aku cuma orang asing, yang
hanya pantas di luar ruang keluarga rumah Uwa dan Ibu. Meski aku tetap berhak mampir
dan duduk-duduk bercakap di ruang tamu.

SEJAK saat itu - umurku 9 tahun, kelas 3 SD - aku tak betah ada di rumah. Aku selalu
ingin berjalan dan berjalan sejauh mungkin. Lalu berbaring di rumput di bawah pohon,
atau di tanah di punggung bukit, sambil melempar sawang ke S, ke rumah Ibu dan Uwa,
dan berpikir ingin merengkuhnya dalam satu pelukan.

Sebuah kerinduan yang tak luruh. Semacam puisi ngungun. Emosi yang tidak tuntas
ketika bersengaja mampir ke rumah Ibu, jarak yang rasanya tak pernah nol meski sekuat
tenaga mendekati Ibu dan meninggalkan Uwa.

Kenapa aku ditakdirkan terpencil - sendiri?

SEBENARNYA aku selalu ingin pulang, seperti setiap hari aku pulang dari mengeluyur
sampai petang. Tapi aku tak pernah sampai ke rumah, tak pernah melesak ke ruang
keluarga dan berbincang dalam kehangatan. Aku selalu tercangkul di ruang tamu. Emosi
dan perasaan tersekat di ruang tamu, setidaknya setelah aku tahu aku anak Sriting dan
Marning atau Sriting dan Marsing - tapi bukan Uwa istri dan pameget yang dari kecil tulus
mencintaiku. Aku merasa tak punya hak.

Aku kehilangan rumah sejak 7 tahun. Aku mereka-reka rumah lama yang disangsikan
guru kelas 1 dan sekaligus mencari rumah Ibu dengan pergi menjauhi rumah lama. Diam-
diam menyawang rumah Uwa, Ibu dan Ayah - meski aku tak pernah berkunjunginya
sampai usia 18 tahun. Mendekati dan termangu. Selalu.

Dan karenanya aku pergi menjauhi S. Bertualang dari satu kota ke kota lain, dari satu
pekerjaan ke pekerjaan lain, dan dari satu kebersamaan sesaat ke kebersamaan sesaat
lain. Bertahun-tahun. Sejak tak ingin menyelesaikan SMA sampai memutuskan hidup
dengan tenaga dan kemauan. Banting tulang sampai mengelucak, lalu tidur - mabuk.
Mengenangkan rumah dan pulang - mengunjungi ruang tamu.

APA yang kamu cari - kata Uwa pameget.

Aku diam - meski batinku bilang "mencari rumah". Ya! Bertahun-tahun aku cuma
mengeluyur untuk duduk berbaring atau bersander menyawang S dan rumah Uwa, Ibu
dan Ayah. Sampai rindu mengelucak, dan aku pulang untuk sekedar singgah - karena
setiap rumah yang dikunjungi hanya ruang tamu atau dapur. Selalu.

"KAMU tidak kangen?"


"Aku sangat kangen " - bahkan sejak usia 7 tahun.

"Kau tidak ingin pulang?"

"Aku tak pernah sampai meski berkali-kali pulang." - karena rumahku itu waktu,
momentum ketika aku belum masuk SD dan total sebagai anak dari pasangan ibu dan
ayah yang sebenarnya hanya Uwa istri dan pameget - tapi yang tolal menyayangiku?

ADAKAH kereta api yang melesat ke dalam kantung waktu? Ke masa emas kanak-
kanakku yang sederhana di kota kecamatan agrraris di lembah B mengecambah? Adakah
- selain arak dan ganja -?

"Kamu mah tetap saja aneh. Absurd!"

Benarkah aku orang aneh? Tokoh absurd hanya karena memutuskan tidak mau pulang
setelah Ibu meninggal, menyusul Uwa istri dan pameget - disusul Ayah. Ya! Untuk apa
pulang bila tak penah sampai? Bila ruang tamu tanpa Ibu? ***

Anda mungkin juga menyukai