Anda di halaman 1dari 5

Pikiran Rakyat

Sabtu, 17 Februari 2007


Haji
Cerpen: Joni Ariadinata
Karena bukan cerita fiksi, maka tidak mungkin Haji Jupri kawin dengan Marsiti. Tapi entah
kenapa, kisah ini kemudian berkembang menjadi ruwet. Bahkan, menjadi bahan
perdebatan tak habis-habis di warung-warung, tegalan, pasar, hingga masjid. Mulanya sih
hanya iseng. Suatu hari Pak Haji tanya pada Kang Sirin, "Apa kamu punya bibit yang
bagus, Rin?" katanya. Tentu, Pak Haji memang paling akrab dengan Kang Sirin. Bukan
hanya karena Kang Sirin adalah langganan becaknya selama bertahun-tahun, tapi karena
ketulusan dan keriangan Kang Sirin yang membuat Pak Haji betah.
"Kebetulan punya, Pak Haji. Betul lho, yang ini pasti sip. Saya bisa mintakan fotonya."
Pak Haji tertawa. Nah, dari sinilah keruwetan cerita sebenarnya sedang dimulai.
Kang Sirin telah hampir sepuluh tahun berkeliling di atas becaknya. Mengantar para
langganan, terutama para pedagang di Pasar Kecamatan. Seperti halnya Pak Haji, para
langganan rata-rata betah ngomong-ngomong dengan Kang Sirin. Mungkin lantaran ia
gesit, atau Kang Sirin memang selalu berpakaian bersih, gampang disuruh, ataukah sifat
Kang Sirin yang (meskipun tak lulus SD, tak bisa baca huruf latin) tapi selalu dengan
wajah riang bisa mengimbangi omongan apa pun. Nah, tentu, dari berbagai
"pengetahuan" omong-omong beragam langganan itulah, maka sumber informasi Kang
Sirin semakin beragam dan berkembang. Kalau tidak percaya, cobalah datang ke Pasar
Kecamatan. Jika ada tukang becak dengan pakaian bersih, yang hapal nyaris seluruh
gang di delapan desa, bahkan hapal hampir seluruh nama (mungkin watak orangorangnya) maka itulah Kang Sirin!
Nah, tiga minggu berselang itulah, ia mendapat langganan baru, yang membuatnya
nyambung dengan maksud Pak Haji. Langganan baru itu bernama Marsiti. Tinggal di Desa
S., dan konon dia adalah pindahan dari Kota B. Lha kok ya kebetulan, Marsiti juga
ngomong hal yang sama. Ia ingat persis ketika itu Marsiti juga bergurau, "Kang Rin,
mungkin enak ya kalau punya suami haji?"
"Yang bener, Mbak Mar. Apa Mbak Mar belum punya suami?"
"Ah, siapa yang mau bersuamikan aku, Kang?"
"Lho, Mbak Mar itu cantik kok," Kang Sirin tertawa. "Maksud saya, ada yang top lho. Tapi
duda."
"Siapa?"
"Haji Jupri."
"Haji Jupri yang terkenal itu? Wah, ya jangan. Ada-ada saja."
"Eh, siapa tahu jodoh. Omong-omong, kenapa Mbak Mar cari yang haji?"
"Entahlah. Kang Sirin ini, aku cuma guyon. Awas lho kalo bilang-bilang. ?Kan malu."
"Ya enggak lah. Dijamin pokoknya. Tapi omong-omong, apa Mbak Mar serius nih?"
"Nggak. Cuma guyon, bercanda! Sungguh."

Tapi siapa ngira, dari semula cuma bercanda, akhirnya berkembang menjadi rumit? Ini
lantaran Kang Sirin merasa nyambung. Merasa klop. Saat Pak Haji bilang tentang bibit,
mengeluh tentang perempuan, maka ia langsung bertindak dengan gesit. Nyamperin
Marsiti, ngasih penjelasan ini-itu, lalu pinjem fotonya yang paling bagus. Marsiti memang
cantik. Tentu saja semula Marsiti menolak, "Apa Pak Haji tahu tentang saya? Saya takut,
Kang Sirin. Sungguh."
"Pokoknya beres. Saya nanti yang akan meyakinkan Pak Haji. Dia orangnya baik.
Pokoknya tidak bakal ngecewakan. Sudahlah Mbak Mar. Percaya sama saya," dengan
gayanya yang yakin Kang Sirin setengah memaksa. Tapi siapa sih, perempuan yang
menolak usul buat dilamar Pak Haji? Satu hal, Pak Haji Jupri adalah orang terkaya di
Desa L., hal lain tentu saja ia duda, terkenal pengajiannya ke mana-mana, dan dikenal
berwajah ganteng. Meskipun tentu saja ia sudah sepuh, sudah tua dengan banyak cucu.
Tapi kalau kebetulan jodoh, apa mau dikata?
"Jadi, betul Pak Haji tahu tentang saya, Kang Sirin?"
"Beres. Pokoknya biar saya yang jelaskan."
Kang Sirin percaya. Marsiti pasti baik. Ia tak perlu menyelidikinya lebih jauh. Yang jelas ia
cukup cantik, sopan, dan tidak kikir. Amat pas jika nyambung dengan Pak Haji. Lalu
kenapa Marsiti takut? Ah, Kang Sirin hanya tertawa. Pastilah semua wanita akan segan
dengan Pak Haji. Makanya Marsiti takut.
**
Lalu kenapa akhir kisah yang sesungguhnya cantik dan mulia ini menjadi rumit? Ini dimulai
oleh satu lemparan batu pada kap becak Kang Sirin. Betul-betul satu batu, yang
melayang, dan hampir membentur kepala Kang Sirin. Kalau saja ia tidak bernasib baik,
entah bagaimana nasib Kang Sirin selanjutnya. Persoalannya bukan batu yang melayang,
tapi kenapa tiba-tiba ada orang yang melemparkannya, dan itu dilakukan dengan terangterangan? Di depan pasar, di mana banyak orang yang menyaksikan!
Desas-desus perjuangan Kang Sirin membuat banyak orang menjadi marah. Kang Sirin
baru tahu bahwa tidak setiap kebaikan dibalas dengan hal-hal baik. Kebaikan Kang Sirin,
dan ketulusannya berjuang untuk menyambungkan Pak Haji, ternyata berbalik menjadi
kengerian. Bisa dibayangkan, jika tiba-tiba saja banyak langganan yang cemberut lalu
cabut pindah becak lain. Bukankah itu mengerikan? Kang Sirin seumur-umur tidak pernah
diperlakukan orang seperti menghadapi barang najis. Kenapa bisa Kang Sirin
menyimpulkan bahwa dirinya dianggap najis? Karena orang yang pertama kali melempar
batu itu bilang, "Kamu anjing!"
"Menjijikkan!"
"Kafir!"
Anjing? Menjijikkan? Kafir.... Benar-benar mengerikan. Dan orang-orang memang benarbenar memandang jijik. Kang Sirin tetap tak bisa menyimpulkan. Berhari-hari ia cuma
melongo. Akhirnya tak berani keluar rumah. Tak berani narik becak. Bahkan, selentingan
ia mendengar, orang-orang bakal mengepung rumah Kang Sirin. Subhanallah.
Apa dosa Sirin?
Padahal, tadinya ia cuma mau nolong. Kasihan Pak Haji. Semenjak ditinggal mati istri, ia
jadi sepi. Bukankah menolong itu, kata orang tua, juga pekerjaan mulia? Dan kalau yang
ditolong itu lantas memberi rezeki, jangan ditolak. "Menolak rezeki itu ndak baik, Rin,"
begitu kata kakeknya dulu.

Kang Sirin menganggap Pak Haji orang susah. Sungguh, ia sering mendengar sendiri
kesusahan Pak Haji. Setiap kali mengantar sehabis jualan di pasar, ia bilang, "Susahnya
kalau orang sudah terlanjur dihormati, Rin. Mau minta tolong carikan istri, bilang ini dan
itu, rasanya risih. Jangan-jangan malah dianggap lucu. Disangkanya kalau sudah haji, jadi
imam di masjid, diundang ke sana ke mari, sudah sempurna begitu? Aku ini ya laki-laki
normal lho Rin.... (Jangan bilang-bilang ya? Nanti dikiranya ndak tabah, repot jadinya).
Dipikir-pikir, kok ya mendingan kamu lho Rin. Bebas cari-cari informasi, tanya-tanya, ke
sana ke mari, ndak mungkin ada orang cerewet. Anak-anak lagi, sudah gede, sudah pada
berumah tangga, kok ya maunya menangan terus. Ada yang bilang malu, ngisin-ngisini,
malah yang bungsu bilangnya ndak jelas. Macem-macem lah Rin!"
Sudah jelas ?kan? Kalau orang semacam Kang Sirin saja tiba-tiba bisa jadi tumpuan
keluhan Pak Haji, bukankah itu satu anugrah? Sedang Pak Haji orang yang paling
terhormat. Amat mulia jika Kang Sirin bisa menolong. "Kang Sirin" lho, bukan Pak Soleh,
Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal orang sebagai ustaz. Nah, karena Kang Sirin tahu
dan akrab dengan Marsiti, lalu memandang Marsiti itu baik, apa salahnya menawarkan
Marsiti? Toh, kalau Pak Haji tidak mau ya tidak apa-apa. Kang Sirin tidak akan maksa.
Edan po? Kang Sirin kok bisa memaksa Pak Haji. Jelas ndak mungkin. Tapi kini, Kang
Sirin merasa dipentung kiri kanan.
"Aneh ya Pak Haji itu. Minta tolong malah sama tukang becak. Lantas, kita-kita yang pinter
ini dianggap apa? Coba kalau terus-terang sama kita, bisa rame-rame ?kan dicarikan
yang bagus, yang pantas. Bukan Marsiti."
"Melihatnya saja sudah muntah."
"Sirin saja yang goblok. Sudah enggak bisa baca, kere, eeee mau macem-macem. Kafir!"
"Betul Wak, harus dikasih pelajaran. Wong gendeng, orang gila, mudah-mudahan
disamber gledek."
"Ialah Gusti Allah ngasih cobaan sama Pak Haji. Padahal, apa sih kurang baiknya Pak
Haji? Kok sama Sirin saja ketipu."
"Ini pasti ada dalangnya. Ndak mungkin kalau hanya inisiatif Sirin. Aku menduga kalau
ndak kelompok haji mbelgedes Kampung Ciparay ya pasti kelompok Jamaah Pangoragan
yang zikirnya jingkrak-jingkrak itu. Mereka sengaja membuat jebakan untuk menjatuhkan
kewibawaan Pak Haji. Pokoknya hal ini harus diselidiki hingga tuntas. Aku ndak terima
Kampung kita dipermalukan."
"Kuncinya ya Sirin itu."
"Digebuk saja. Sekalian beres. Kepalang tanggung!"
**
"Orangnya cantik ?kan, Pak Haji? Kulitnya putih. Tidak gemuk tidak kurus. Orangnya
ramah, juga sopan."
"Punya anak tidak Rin?"
"Tidak Pak Haji. Suaminya dulu meninggal muda. Pokoknya sip Pak Haji, orangnya juga
baik."
"Syukurlah kalau tidak punya anak. Itu yang diharapkan. Sedikit berumur tak apa. Yang
penting rumah ada yang ngurus. Tidak terlalu repot kalau habis jualan di pasar. Tapi, o ya,
kira-kira apa dia mau dikerudung?"

"Mungkin mau Pak Haji. Dia juga salat kok."


Kang Sirin mesam-mesem ketika diselipi uang lima puluh ribu. Tak baik menolak rezeki
meskipun besar. Hanya ditemani Pak Kadir, kerabat jauh Pak Haji yang amat dipercaya,
mereka bertiga berangkat melamar. Tak perlu ribut-ribut. Dan pada hari berikutnya, Kang
Sirin ikut jadi saksi. Seumur-umur jadi manusia, pada kali itulah Kang Sirin bisa merasa
jadi orang penting.
Daldiri, anak Pak Haji paling bungsu yang masih SMA, malah menolak ketika diajak:
"Mau ikut ke Sindang tidak Ri?"
"Wah, besok ulangan je, Pak!" Daldiri sama sekali tak terpikir kalau hari itu bapaknya
kawin. Biasanya, paling banter hanya mengisi pengajian. Sehari setelahnya, ketika Pak
Haji tiba-tiba membungkusi pakaian, barulah Daldiri heran sembari tanya, "Mau ke mana
sih Pak?"
"Kemarin kamu diajak tidak mau. Bapak sudah kawin, Le."
Kawin? Itulah yang membikin Daldiri blingsatan, geger. Dalam situasi gawat semacam itu,
Daldiri lari ke sana ke mari. Tilpun ke sana ke mari. Lapor pada ketiga kakaknya:
Magelang, Solo, dan Temanggung. Jam tiga dini hari, mereka semua berdatangan dan
langsung menuju Sindang. Pengantin lelaki diculik! Tanpa ampun. Digeret. Dipaksa untuk
ikut. Di Pesantren Bambu Kuning Temanggung, anak-anak langsung mengepung dan
menginterogasi. Menyemburkan seluruh kekecewaan, penyesalan, dan keberatankeberatan yang tak boleh dibantah!
"Yang betul saja tho Le kalau njemput itu. Bikin geger dan kecewa."
"Justru Bapak itulah yang gak bener. Sudah tua kok ya kurang waskita. Kurang
pertimbangan. Asal tangkap tanpa perundingan. Mbok ya ngasih kabar atau gimana, apa
sih susahnya? Begini-begini juga anakmu itu dihargai, dihormati. Coba kalau kedengaran
santri-santriku di pesantren ini, apa ya ndak memalukan? Bikin lebih geger? Pokoknya
tidak ada alasan, detik ini juga harus dicerai! Saya carikan yang bagus. Yang pantas. Yang
iman. Kawin kok sama lonte."
Jangankan Pak Haji, Kang Sirin saja yang jadi pusat cerita tidak tahu kalau Marsiti itu
bekas lonte. Ia kenal dan akrab sama Marsiti karena juga langganan becak. Malah kalau
dihitung-hitung, ya Marsiti itulah langganan luar kampungnya yang paling jauh. Makanya
kalau banyak orang memaki, Kang Sirin sesungguhnya ndak terima. Demi Allah Kang
Sirin tidak bermaksud menjerumuskan Pak Haji. Kang Sirin saja barangkali, jika ketemu
Marsiti sekarang, kepingin rasanya meludah. Memaki-maki Marsiti dengan kata-kata setan
dan najis seperti yang diucapkan orang-orang. Tapi entah bagaimana alur dan konflik
ceritanya, akhir-akhirnya Kang Sirin kok yang malah jadi suka sama Marsiti.
**
Konon, menurut data-data yang bisa ditelusuri, Kang Sirin memang bukan tipe orang
cerdas. Pada suatu hari Kang Sirin ketemu Marsiti berwajah pucat, berbadan kurus, dan
selalu batuk-batuk. Betul-betul amat berubah, sehingga membuat Kang Sirin pangling.
Tapi begitu yakin bahwa itu Marsiti, sontak ia ingin meludah. Memaki Marsiti dengan katakata "kamu anjing" seperti yang hingga sekarang diucapkan orang-orang pada dirinya.
Bahkan ingin Kang Sirin menggampar muka Marsiti dengan batu.
Tapi Marsiti malah belum-belum sudah nangis. Entah rayuan gombal, entah elusan iblis,
yang jelas iman Kang Sirin bergetar. Ia tiba-tiba menjadi iba. "Kang Sirin"' lho, bukan Pak
Soleh, Wak Katib, atau Lik Zaini yang dikenal sebagai ustaz. Bukan lagi makhluk berwujud
Kang Sirin kalau melihat adegan yang begitu dramatis itu tidak langsung jadi tragis. Tiba-

tiba ia ingin ikut menangis. Dan sejak pertemuan itulah hati Kang Sirin selalu berdesir dan
berpikir. Barangkali inilah yang disebut cinta? Entahlah. Yang jelas semua orang semakin
jijik jika bertemu Kang Sirin. Semua orang berpikir, kok masih ada orang bebal yang oleh
Tuhan dibiarkan hidup? Sudah jelas ditipu, masih sempat-sempatnya berpikir menolong.
"Apakah kalau lonte tobat, tidak boleh kawin?" begitu kata Marsiti. "Bukan berarti setiap
lonte tobat itu selalu naik pangkat menjadi germo. Sudah lima tahun Siti berhenti jualan
daging begituan. Karena tobat itu bisa tenang kalau Siti kawin, maka Siti kepingin kawin.
Siti emoh kawin sama gento. Kawin juga harus dengan orang baik, biar Siti ikut baik.
Sukur kalau suami Siti bisa ngaji, biar Siti bisa belajar ngaji. Makanya...," Marsiti berhenti.
Menyusut air mata, "Datangnya tawaran Pak Haji ibarat laron ketemu petromaks. Siti
mengira itulah jawaban dari doa-doa tahajud Siti yang tak pernah berhenti untuk meminta.
Meminta jadi orang baik. Meminta jodoh yang baik. Siti tak nyangka kalau ternyata
akibatnya bisa dikutuk, dipisuh, disebut setan. Dulu banyak orang yang masih memaklumi
Siti. Tapi kini...."
Kini Kang Sirin yang bengong. Kini Kang Sirin jadi punya pikiran sakit karena dirinya juga
disebut setan. Kalau setan memang harus ketemu setan, mau apa lagi? Jelas setan yang
satu ini butuh pertolongan.
"Jadi Mbak Siti ingin bisa mengaji? Dulu Kakek Kang Sirin juga mengajar ngaji. Dan Kang
Sirin belajar mengaji di tempat Kakek. Kang Sirin bisa baca Alquran. Itu semua yang
diajarkan Kakek Kang Sirin. Kini Kakek Kang Sirin sudah meninggal dunia. Jadi...." Jadi
beruntunglah Kang Sirin dulu punya kakek dengan ilmu-ilmu yang baik. Beruntunglah
Kang Sirin menjadi santri yang mengerti.
Bayangkan, jika Kakek Sirin dulu sekolah, mungkin sudah dikenal jadi orang pandai.
Pandai mengajar, jadi kiai atau setidaknya guru. Jika Kakek Sirin dulu kaya, mungkin
sudah jadi haji. Karena haji, maka Kakek Sirin yang jadi imam di mesjid. Seperti Haji
Jupri.***

Anda mungkin juga menyukai