Anda di halaman 1dari 2

Media Indonesia

Minggu, 17 Maret 2002


Daun yang Menyentuh Keningmu
Cerpen Muhammad Aris

"ADAKAH engkau mengerti, Malam, daun yang jatuh dan menyentuh keningmu yang
langsat itu, kini, masih seperti dulu, hijau kekuningan seperti wajah matahari pagi hari, di
sela rimbun dedaunan taman kita?! Dan, tahukah engkau, Malam, di mana daun itu
sekarang?! Di sini, Malam, di sini, di telapak tanganku. Telapak tangan yang katamu selalu
berbau lumpur sawah. Berbau amis ikan dan air-air payau pertambakan!"Suara itu terbawa
angin, terpantul-pantul di antara kabel-kabel listrik, kabel-kabel telepon, hitam asap pabrik,
deru mobil dan motor, seperti mimpi yang penuh janji. Mengembara sepanjang waktu;
sejak subuh pecah sampai rembulan rekah, lalu kembali, menelusup, masuk ke dalam
lubang kecil sebuah ruang sempit, kepada tuan dengan napas menggigil, tuan yang
tersengal dalam tarikan dan embusan."Adakah engkau mengerti, Malam?!"***"DARI mana
asal daun ini, Kakang?" Matamu yang besar-bulat, dengan bulu mata ritmis itu, berbinar-
binar, tak lepas memandangi daun itu. Aku tahu itulah tatapanmu yang paling syahdu,
ketika melihat sesuatu yang sangat menarik hatimu. Dan, daun itu, Malam, daun itu, begitu
segar-menghijau di lentik jari-jarimu.Mataku memandang ke atas, ke pohon yang tersandari
tubuhmu. Kepalaku menggeleng. Daun itu tidak sama dengan daun pohon itu, lalu telapak
tanganku memekar. Jari-jarimu yang lentik mendekat, tetapi tiba-tiba terangkat, melentik,
dan terbanglah daun itu ke angkasa. Tawamu yang kecil dan tersendat-sendat, terdengar
begitu gembira. Mataku nanar memandang daun itu. Jantungku berdegup penuh perburuan.
Daun itu, Malam, daun itu terus terbang. Kakiku pun melayang, mengajak berlari
mengejar.Entah telah berapa ribu mil kami berlarian, Malam, hingga suatu waktu, kami
memasuki sebuah desa. Sebuah desa yang sangat lain dengan desa kita. Tak ada kandang
ternak, entah sapi, entah kambing atau entah ayam, di belakang atau di samping rumah. Tak
ada nyanyian jangkrik bila malam menjelang."Tangkap orang itu!" tiba-tiba telingaku
mendengar suara belasan orang mendekat. Tangannya membawa sesuatu. Lalu tubuhku
roboh seperti melihat hantu dan terkena lindu.Ketika mataku mulai bergerak, terasa semua
tubuhku sangat sakit. Aku merasakan ada yang menetes dari lubang hidungku. Mataku
menatap tanah. Cairan itu, di tanah, berwarna merah.Sejenak telingaku menangkap suara
langkah orang mendekat, pikiranku menggambar dua orang. Yang satu tinggi besar, dan
yang satunya, berukuran sedang. Langkahnya tegap, berdentam-dentam di tanah."Apakah
benar orang ini yang membawa bungkusan-bungkusan di tempat ibadah?" Suaranya seperti
tidak asing lagi di telingaku, berat penuh wibawa. Pikiranku hanya bisa menggambar sosok
berkumis. Tubuh berbau minyak wangi merek terkenal itu, berambut cekak disisir piyak
pinggir. Tingginya tidak kurang dari 170 cm."Benar, Pak! Saya saksinya!""Jadi, orang ini!
Langkahnya terdengar mengelilingi tubuhku, kemudian tangannya memegang dan
mengangkat janggutku."Hei, bicara kamu!" bentaknya keras disertai hentakan pukulan pada
perutku. "Ayo, bicara!"Pikiranku telah menyusun cerita yang selama ini teralami, namun
entah mengapa yang tergambar kemudian hanya satu, dan inilah yang berulang-ulang
keluar dari mulutku tanpa ragu meski dengan nada kesakitan."Daun, daun itu, Pak! Daun
itu terbang!"Dua hari tanganku mereka ikat pada batang sebuah pohon. Entah kekuatan dari
mana, tanpa diberi makan dan minum, tubuhku tetap dapat berdiri dengan kukuh, tanpa
lelah sedikit pun."Kita lepas saja orang ini!""Dilepas bagaimana?""Ya, dilepas! Menurutku,
orang ini tidak layak dituntut, sepertinya dia hilang ingatan! Omongannya selalu tidak
nyambung dengan apa yang kita tanyakan. Kalau begini terus, untuk apa kita capek-capek
menanyainya?!'"Kalau begitu dibunuh saja!""Ya, dibunuh saja!" beberapa suara dengan
keras terlontar."Tidak! Saya tidak setuju, itu cara binatang, hukum rimba,
namanya!""Dibunuh!""Setuju!""Tidak!""Ya, tidak setuju!"Mereka saling gontok-gontokan
sangat ramai, mempertahankan pendapatnya masing-masing. Bahkan ada yang sudah
mencabut goloknya, siap diayunkan menebas siapa saja, sewaktu-waktu."Cukup!" sesosok
wanita meluncur dari langit yang terbelah. Selendang yang diikatkan pada pinggangnya
yang ramping berkibar perlahan. Rambut panjangnya tergerai lepas, berdesir-desir, bagai
ombak.Begitu kakinya menginjak tanah, senyumnya mengembang, antara pesona antara
kesadisan."Apa yang diucapkannya, yang selama ini membuat kalian tidak megerti,
sesungguhnya adalah tentang Aku!"Mulut mereka membisu seperti tubuh mereka yang
tanpa gerak. Hanya pandangan mata mereka yang hidup, lurus, menatap ke arah sosok di
depannya."Ya, kalian tidak usah bingung! Daun itu, itulah Aku!" Tiba-tiba tawanya
membahana. Bohlam lampu meledak. Kabel listrik memercikkan api. Bersamaan dengan
itu, terdengar pohon terbelah, pohon beringin yang berusia ratusan tahun itu, terbelah, lalu
berdebum ke tanah, dan langit yang begitu biru-ungu, dengan bintang-bintangnya bergetar
seperti gemeretak.***DAUN itu, Malam, ingatkah engkau? Selalu seperti mula, saat
bibirku mendekat ke bibirmu, saat tanganku menyentuh tanganmu, wajahmu, tubuhmu,
pelan, tanpa ramai suara.Dan engkau, Malam, mendesahkan puisi, "Kapankah semua ini
akan berakhir?"Rupanya engkau lupa, Malam. Akhir dari puisi adalah sunyi. Seperti awal,
seperti penciptaan."Tetapi Kakang?" Engkau mendorong tubuhku perlahan."Bukankah Aku
datang dari surga?!" Wajahmu memancar, putih kebeningan."Ya, akan bebas dan akan
selalu sehijau kemarau!"Lalu engkau mendekat, dan mendekapku kembali dengan
erat.Seperti aku, Malam, seperti aku yang kini terbaring, menunggu. Dan seperti akan
selalu menunggu; jatuhnya daun, yang mungkin dari surga, dan menyentuh kembali
keningmu. ***

Anda mungkin juga menyukai