Anda di halaman 1dari 16

4.

KOLITIS ULSERATIF
Tingkat Kemampuan 1
Definisi
Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang
usus (IBD) , bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn,
yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis
ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada 10%
pasien.

Gambar 1 Colitis sebagai divisualisasikan dengan kolonoskop

Gambar 2 Pada foto rontgen dengan single kontras pada pasien dengan kolitis
total menunjukkan radang mukosa dengan berbagai bentuk

Epidemiologi
Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron.
Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika.
Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia,
mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya
kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif
di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan
tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000
penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35
tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan.
Di RSCM tahun 2001 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi
dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 2006
terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien
yang dilakukan endoskopi.

Etiologi
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal
ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik.

Faktor familial/ genetik


Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan
orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali
lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini
menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik terhadap perkembangan
penyakit ini.
Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha
untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian
jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel Pseudomonas atau
agen lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek sitopatik
pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.
Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep
bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini
(misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan
bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat
menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-
70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA
(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA
tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia
dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif
lebih cenderung menjadi HLADR4 positif.
Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan.
Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang,
sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan
seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit
radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka
menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang
atau mengeksaserbasi gejalanya.
Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis
ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif
menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok
dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan
risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan
dengan yang bukan perokok.
Patogenesis
Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria
oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya
belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun
sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD.
Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non
patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya
suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada
fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak
terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus
IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori
ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang
tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan
rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial oleh
sitotoksisitas seluler antibody-dependent atau sitotoksisitas cell-mediated
secara langsung. (Price , 2005)
Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada
peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG
dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan
meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang
respon terhadap protein dan antigen T-cell-dependent. Ada juga peningkatan
produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-
[TNF-], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang
lain (IL-10, TGF-) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini
menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam
penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam
pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies
oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang
meningkatkan permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen
kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi
dan edema.
Klasifikasi Kolitis Ulseratif
a. Kolitis ulserosa dini aktif
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan
edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi,
menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas
elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi
pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa.
b. Kolitis ulserosa kronik aktif
Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses
penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta
jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan
limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami hiperplasia,
muncul dalam bentuk psedopolip.
c. Kolitis Ulserosa Tenang
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi
kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis
ulserosa sudah berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker.
Itulah alasannya ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma
kolon dan rektum.

Gambaran Klinis
Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf
adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu
dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat badan,
pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan, kehilangan cairan tubuh
dan gizi, lesi pada kulit dan radang sendi, pertumbuhan yang terganggu,
terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis
ulseratf yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam,
diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis
ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata
(uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat
diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir
komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem
immune. Sebagian problem seperti ini tidak jadi masalah jika kolitis dapat
diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar
3 dibawah ini.

Gambar3. Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif.

Tabel 1. Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit crohn


Kolitis Ulceratif Penyakit Crohn
Hanya usus yang terlibat Panintestinal
Terus-menerus memperluas peradangan proksimal Skip-lesi dengan
dari dubur intervening
mukosa normal
Peradangan pada mukosa dan hanya submucosa Peradangan
Transmural
Tidak ada granuloma Noncaseating
granuloma
Perinuclear Anca (PANCA) positif Asca positif
Pendarahan (umum) Hanya sebagian pasien yang Pendarahan
terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang (jarang)
mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang
menderita demam, diarrhea dengan perdarahan,
nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis
ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti
arthritis, radang pada mata (uveitis), hati
(sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini
tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar
dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini
dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu
sistem immune. Sebagian problem seperti ini
Fistula (jarang) Fistula (umum)

Diagnosis
Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri
abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus
berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang
setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi
sistemik.
Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan
ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya
anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove) ( tabel 2).
Perjalanan penyakit kolitis ulseratif dapat dimulai dengan serangan pertama
yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap
minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon
yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan
lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis
ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa
dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi
radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik,
kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran
mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan
tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal.
Tabel 2. Truelove and Witts classification of severity of ulcerative colitis
Activity Mild Moderate Severe

Number of bloody stools per day (n) <4 46 >6

Temperature (C) Afebrile Intermediate >37.8

Heart rate (beats per minute) Normal Intermediate >90

Haemoglobin (g/dl) >11 10.511 <10.5

Erythrocyte sedimentation rate (mm/h) <20 2030 >30

Gambaran Fisik Diagnostik


Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat
distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan,
pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi
postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat.
Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular
(iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma
gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis
sklerosing primer jarang dijumpai.

Gambaran Laboratorium
Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat
dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang
mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah
kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap
darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan
elektrolit, terutama hipokalemia, mencerminkan derajat diare.
Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya
mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi.
Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris
yang berhubungan.
Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces
cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif
dengan penyakit Crohn.

Gambaran Radiologi
1. Foto polos abdomen
Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus
pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah
batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput
femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra
menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila
seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam
abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat
mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan
kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi
perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya
pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left
lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak.
Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk
melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto
polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium
enema merupakan kontra indikasi.
2. Barium enema
Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila
ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema
maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting.
Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan memakan makanan
rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak.
Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral.
Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras
tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast)
yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk
menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast,
walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium
enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan
pasien dengan kolitis ulseratif.. Adapun gambaran kolitis pada pemeriksaan
barium tampak pada gambar 4 dan 5.

Gambar 4 Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa


pada Colitis ulseratif

Gambar 5. Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat
hampir menyeluruh di semua colon. (Adam, 2010)

Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif


adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta
kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara
difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit
akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila
ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens)
selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum
dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat,
walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian
proksimalnya.
Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka
perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal
menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped
caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut
backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collar-
button ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi
menjadi adenokarsinoma kolon.

Penatalaksanaan
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan,
tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2)
mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4)
meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker.
Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan
kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 6. Obat-obat kolitis ulserativa
meliputi .
1. Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik,
kortikosteroid topikal, dan
2. Immunomodulators
Gambar 6 Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan
lini pertama

a. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah
digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit
Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk
merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan senyawa 5-ASA,
kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan usus yang
meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti
peradangan yang kuat seluruh tubuh. Akibatnya, mereka digunakan dalam
mengobati enteritis.
Pada pasien kritis, kortikosteroid intravena (seperti hydrocortisone)
dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada
senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka
dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai.
Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi
pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide
dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada
dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah,
khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon
ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b)
mempertimbangkan dosis. Dosis rata rata yang banyak digunakan untuk
mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 60 mg prednison atau setara
dengan prednisolon dengan dosis 0,5 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi
kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam waktu 8-12
minggu.

b. Obat Golongan Asam Aminosalisilat


Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin
merupakan obat yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD,
terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo yang
dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan mesalazine/ 5-ASA. Telah
diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi adalah 5-ASA ini.
Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada
unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan
IBD.
Rencana tindakan: (a) Preparat murni atau derivatnya (olsalazine:
ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutamakan dibanding
mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir molecule: sulfasalazine dan
blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam lumen usus
halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam
penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis
rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi
tercapai yang umumnya setelah 16-24 minggu diberikan kemudian dosis
pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat
pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan menurunnya
proliferasi mukosa kolorektal pada IBD.
c. Immunomodulators
Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem
kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif,
bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis
diaktifkan. Immunomodulators mengurangi peradangan jaringan dengan
mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu
produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan.
Contoh Immunomodulators termasuk azathioprine, 6-mercaptopurine (6-
MP), siklosporin, dan methotrexate.
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu
pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya. Umumnya
sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau
refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi,
kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5
mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan
dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis.

d. Pembedahan
Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah
terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare
dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau
usus kecil dan semua cairan, makanan dan obat-obatan diberikan melalui
pembuluh darah.
Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis
atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien
dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir
sebagian besar usus besar diangkat.
Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus
besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan.
Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari
usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan paling
umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-
sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis
tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan
menyembuhkan kolitis ulserativa.
Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah
usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur
pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian
besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan
ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus.

Komplikasi
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia
karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering
menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran
infeksi.
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding
usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya.
Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan
ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan
menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar
sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak
sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan
jumlah sel darah putih meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera,
kurang dari 4% penderita yang meninggal. Jika perlukaan ini
menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko
kematian akan meningkat.
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat
pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita
telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa
menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur,
terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode
bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk
diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi
kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan
penderita akan bertahan hidup.

Prognosis
Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif
berlanjut sebanyak 10%.
Mortalitas

Referensi

1. Adam Schoenfeld. 2010. http://www.medicinenet.com/ulcerative_colitis


/article.htm. akses pada 22 mei 2011

2. Anonim. 2011. http://medicastore.com/penyakit/488/Kolitis_Ulserativa.


html. Akses pada 22 mei 2011

3. Djojoningrat D. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan


Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. hal. 384-88.

4. Djojoningrat D dkk editor. Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D,
dkk. Jakarta: Interna Publishing; 2011

5. Glickman RM. Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit


Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2000. hal. 1577-91.

6. Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman


SL, McQuaid KR, Grendell JH, editors. Current Diagnosis and Treatment
in Gastroenterology. 2nd ed. International ed.: McGraw-Hill; 2009. p. 108-
30.

Anda mungkin juga menyukai