Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN PENYAKIT COLITIS

Disusun Oleh :

Riyansah E.0102.20.037

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR CIMAHI


PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN TK.2

LAPORAN PENDAHULUAN

A. DEFINISI
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon. Kolitis
ulseratif merupakan penyakit yang menyerang kolon dan rektum di bagian
jaringan paling luar atau mukosa. Bentuk lesi ini berupa daerah peradangan
dan ulserasi kontinu tanpa segmen jaringan normal (Kathleen and Julie,
2003).

Gambar 1. Kolon normal dan kolitis ulseratif

Gambar 2. Jaringan kolon normal dan kolitis ulseratif


Prevalensi terjadinya kolitis ulseratif di antara pria dan wanita adalah
1 : 1. Walaupun demikian, menurut literatur tertentu wanita sedikit lebih
banyak mengalami kolitis ulseratif daripada pria. Kebanyakan penyakit ini
menyerang remaja awal, tetapi gambaran klinisnya baru tampak pada usia ke-
50 sampai ke-60 dan biasanya terjadi pada usia ke-70 sampai ke-80 (Hopkins,
2013).

B. ETIOLOGI
Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran
tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal
ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik
(Glickman RM, 2000).

1. Faktor familial/ genetik


Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih
dibandingkan orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat
(3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non
Yahudi. Hal ini menunjukan bahwa dapat ada predisposisi genetik
terhadap perkembangan penyakit ini (Glickman RM, 2000).
2. Faktor infeksi
Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian
terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping
banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada
yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel
Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat
menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus
dikonfirmasi (Glickman RM, 2000).
3. Faktor imunologik
Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada
konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai
kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili
fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti
glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka
melalui mekanisme imunosupresif.
4. Faktor psikologik
Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah
ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor
misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan
bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas
yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang
sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya
(Glickman RM, 2000).
5. Faktor lingkungan
Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit
kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis
ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi
apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang
menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara
perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta
menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak
40% dibandingkan dengan yang bukan perokok (Glickman RM, 2000)

C. TANDA DAN GEJALA


Gejala bagi kolitis adalah agak pelbagai dan bergantung kepada etiologi (atau sebab)
kolitis diberi dan faktor-faktor yang mengubah arah dan keterukannya. Gejala-gejala
kolitis mungkin termasuklah: 
1. Sakit abdomen
2. Hilang selera makan
3. Kelesuan
4. Kekejangan
5. Kecemasan (Tenesmus) dan
6. Kekembungan.

D. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI


Pada dasarnya colitis ulseratif merupakan penyakit yang melibatkan
mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/
progresif ke proksimal. Perjalanan penyakit kolitis ulseratif bisa dimulai
dengan gejala pertama yang berat ataupun dimulai dari gejala ringan
kemudian akan semakin berat bertahap setiap minggu. Hal ini didasarkan
pada panjang kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan hanya
melibatkan lapisan mukosa (Ariestine, 2008).
Sebagai respon terhadap kerusakan lapisan mukosa, perbaikan
jaringan perlahan akan membentuk suatu pseudopolip. Pseudopolip ini bisa
menutup saluran kolon sehingga dapat menyebabkan terjadinya konstipasi.
Mekanisme lainnya adalah ulserasi yang dalam akan merusak persarafan
kolon sehingga dapat memperlemah kontraksi kolon. Kelemahan kontraksi
ini akan menghambat pegerakan faeces keluar tubuh. Terjadilah konstipasi
(Ariestine, 2008).

Gambar 4. Colonoscopy colon normal, Chron’s disease, dan colitis


ulcerative

Selain itu, perbaikan jaringan atas kolitis ulseratif dapat menyebabkan


kolon terlalu membengkak menjadi gangrenosa. Keadaan tersebut dikenal
sebagai megakolon. Jaringan baru yang terbentuk ini rentan sekali
mengalami displasia sehingga meningkatkan kemungkinan terkena tumor
kolon (Ariestine, 2008).
E. PENATALAKSANAAN
Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan
pengobatan, tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi
remisi, 2) mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping
pengobatan, 4) meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko
kanker (Marc D, 2011).

F. KLASIFIKASI KOLITIS ULSERATIF


1. Kolitis ulserosa dini aktif
Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia
dan edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi,
menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas
elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi
pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang
terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses
kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa (Jugde
TA, 2009).

Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses
penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta
jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan
limfoid mengalami hiperplasia. Kelenjar mukosa mengalami
hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip. (Jugde TA, 2009)
2. Kolitis Ulserosa Tenang
Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses
regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah
berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama, dapat
dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa dianggap
sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum (Jugde TA,
2009)
G. PATHWAY
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis colitis ulseratif menurut American College of Gastroenterology diteggakkan
berdasarkan pemeriksaan penunjang berupa
1. Pemerikasaan feses
2. Sigmoidoskopi
3. Kolonoskopi
4. Biopsi pada pasien yang datang dengan gejala diare berdarah persisten, urgensi
rektal, atau tenesmus

I. KOMPLIKASI
1. Perdarahan, merupakan komplikasi yang sering menyebabkan anemia
karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering
menjadi berat, dengan perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran
infeksi. (Marc D, 2011)
2. Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus.
Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding
usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya.
Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan
ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan
menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh. Jika usus besar
sangat melebar, keadaannya disebut megakolon toksik. Penderita tampak
sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan
jumlah sel darah putih meningkat. Jika perlukaan ini menyebabkan
timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko kematian akan
meningkat. (Marc D, 2011)
3. Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat
pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.
Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita
telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa
menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur,
terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode
bebas gejala. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila
diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita
akan bertahan hidup. (Marc D, 2011)
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ANAK DENGAN DIAGNOSA
MEDIS KOLITIS

A. Anamnesa
1. Identitas Klien
Mencakup identitas klien yaitu nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa,
agama, pendidikan, pekerjaan, status pekawinan, alamat, dan tanggal masuk
rumah sakit. Identitas penanggung jawab yaitu nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, agama, alamat, suku bangsa, hubungan dengan
penderita/pasien.

2. Keluhan Utama
Pada anamnesis keluhan utama yang lazim didapatkan adalah nyeri abdomen,
diare, tenesmus intermiten, dan perdarahan rektal. Keluhan nyeri biasanya
bersifat kronis, yaitu berupa nyeri kram pada kuadran periumbilikal kiri
bawah. Kondisi rasa sakit bisa mendahului diare dan mungkin sebagian pasien
melaporkan perasaan nyaman setelah BAB. Diare biasanya disertai darah.
Pasien melaporkan mengeluarkan fases cair 10-20 kali sehari. Pasien juga
mengeluh saat BAB seperti ada yang menghalangi.

3. Riwayat Kesehatan Sekarang


Pada pengkajian riwayat penyakit sekarang, kondisi ringan karena karena
kolitis ulseratif adalah penyakit mukosa yang terbatas pada kolon, gejala yang
paling umum adalah pendarahan anus, diare, dan sakit perut. Pada kondisi
kolitis ulseratif berat terjadi pada sekitar 100% dari pasien, didapat keluhan
lainnya yang menyertai, seperti peningkatan suhu tubuh, mual, muntah,
anoreksia, perasaan lemah, dan penurunan nafsu makan. Pasien dengan kolitis
yang paras dapat mengalami komplikasi yang mengancam nyawa, termasuk
pendarahan parah, mengkolon toksik, atau perforasi usus.

4. Riwayat Kesehatan Dahulu


Riwayat penyakit dahulu penting digali untuk menentukan penyakit dasar
yang menyebabkan kondisi enteritis regional. Pengkajian predisposisi seperti
genetik, lingkungan, infeksi, imunitas, makanan, dan merokok perlu
didokumentasikan. Anamnesis penyakit sistemik, seperti DM, hipertensi, dan
tuberculosis dipertimbangkan sebagai sarana pengkajian preoperatif.

B. Pengkajian
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
b. Vital sign, meliputi
Tekanan darah : Dalam batas normal (120/80 mmHg)
Nadi : Takikardia atau diatas normal (> 100 x/menit)
Suhu : Klien mengalami demam (> 37,5o C )
Respirasi : Dalam batas normal (16- 20 x/menit)
c. Pemeriksaan sistem tubuh
Sistem pencernaan :
Terjadi pembengkakan pada abdomen
Nyeri tekan pada abdomen
Bising usus lebih dari normal (normalnya 5-35 x/menit)
Anoreksia

Sistem pernafasan : Respirasi normal (16-20 x/menit).


Sistem kardiovaskuler : Peningkatan nadi (takikardi)
Sistem neurologi : Peningkatan suhu tubuh (demam),
Kelemahan pada anggota gerak
Sistem integument : Kulit dan membran mukosa kering dan
turgornya jelek.
Sistem musculoskeletal : Kelemahan otot dan tonus otot buruk
Sistem eliminasi : Pada saat buang air besar mengalami diare
Feses mengandung darah

d. Pola aktivitas sehari-hari berhubungan dengan :


Aspek biologi : Keletihan, kelemahan, anoreksia, penurunan berat
badan.
Aspek psiko : Perilaku berhati-hati, gelisah.
Aspek sosio : Ketidakmampuan aktif dalam sosial.

2. Pemeriksaan Laboratorium / Data Penunjang


a. Hasil analisa darah lengkap, guna dilakukan untuk memeriksa
anemia; Trombositosis, tinggi platelet count, kadang-kadang terlihat.
b. Elektrolit studi dan tes fungsi ginjal dilakukan, sebagai kronis diare
dapat berhubungan dengan hipokalemia,hypomagnesemia dan pra-
gagal ginjal.
c. Tes fungsi hati dilakukan untuk keterlibatan saluran empedu:
kolangitis sclerosing utama.
d. X-ray
e. Urine
f. Tingkat sedimentasi eritrosit dapat diukur, dengan tingkat
sedimentasi yang tinggi menunjukkan bahwa proses peradangan
hadir.
g. C-reactive protein dapat diukur, dengan tingkat yang lebih tinggi
menjadi indikasi lain peradangan.
h. Sumsum tulang : Menurun secara umum pada tipe berat/setelah
proses inflamasi panjang.
i. Alkaline fostase : Meningkat, dengan kolesterol serumdan
hipoproteinemia, menunjukkan gangguan fungsi hati (kolangitis,
sirosis)
j. Kadar albumin : Penurunan karena kehilangan protein
plasma/gangguan fungsi hati.
k. Elektrolit : Penurunan kalium dan magnesium umum pada penyakit
berat.
l. Trombositosis : Dapat terjadi karena proses penyakit inflamasi.
m. ESR : meningkatkarena beratnya penyakit.
n. Kadar besi serum : rendah karena kehilangan darah.

3. Endoskopi

Biopsi sampel (H & E noda) yang ditandai limfositik infiltrasi (biru /ungu)
dari mukosa usus dan pembentuk distorsi dari kriptus.

Tes terbaik untuk diagnosis kolitis ulserativa tetap endoskopi. Penuh


kolonoskopi ke sekum dan masuk ke terminal ileum yang hanya akan
dilakukan jika diagnosis UC tidak jelas. Jika tidak, sigmoidoskopi yang
fleksibel sudah cukup untuk mendukung diagnosis. Dokter dapat memilih
untuk membatasi sejauh mana tes yang dilakukan jika kolitis parah
dijumpai untuk meminimalkan risiko perforasi dari usus besar. Endoskopi
temuan di kolitis ulserativa meliputi:

a. Hilangnya penampilan vaskular kolon


b. Eritema (atau kemerahan dari mukosa) dan kerapuhan dari mukosa
c. Ulserasi yang dangkal, yang mungkin anak sungai, dan
d. Pseudopolyps.

Sebuah kolonoskopi atau sigmoidoskopi adalah metode yang paling akurat


untuk membuat diagnosis kolitis ulseratif dan kondisi lain yang mungkin,
seperti penyakit Crohn, penyakit divertikular, atau kanker. Untuk kedua
tes, dokter memasukkan sebuah endoskopi-panjang, fleksibel, tabung
bercahaya terhubung ke komputer dan monitor TV-ke dalam anus untuk
melihat bagian dalam kolon dan rektum. Dokter akan dapat melihat
peradangan, perdarahan, atau borok pada dinding usus besar. Selama
pemeriksaan, dokter akan melakukan biopsi, yang melibatkan mengambil
sampel jaringan dari lapisan usus besar untuk melihat dengan sebuah
mikroskop.

Tes darah dapat dilakukan untuk memeriksa anemia, yang dapat


menunjukkan perdarahan di kolon atau rektum, atau mereka dapat
mengetahui tingginya jumlah sel darah putih, yang merupakan tanda-tanda
peradangan di suatu tempat di dalam tubuh.

Sebuah sampel tinja juga dapat menunjukkan sel-sel darah putih, yang
menunjukkan kolitis ulserativa atau penyakit radang. Di samping itu,
sampel tinja memungkinkan dokter untuk mendeteksi perdarahan atau
infeksi di usus atau dubur yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit.

C. Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


1 DS : Adanya gangguan fungsi Potensial
Klien mengeluh mukosa karena perubahan
nyeri di bagian bakteri/mikroorganisme pemenuhan
abdomen kebutuhan tubuh
Klien mual Masuk ke usus sehubungan
Klien mengeluh dengan adanya
tidak nafsu Gangguan mual
makan keseimbangan
floral usus
DO :
Klien makan Mual
hanya ¼ porsi
Klien terlihat Tidak nafsu makan
lemah
Wajah klien
tampak meringis

2 DS : Reaksi peradangan pada Nyeri abdomen


Klien mengeluh mukosa usus sehubungan
BAB nya encer dengan
dan berdarah Kerusakan mukosa usus peningkatan
Klien mengeluh halus peristaltik usus
mulas meningkat
Merangsang reseptor
DO : nyeri
Klien BAB ≥4x
kali sehari Pengeluaran
Bising usus 26 neurotransmitter
kali permmenit bradikinin, serotonin
Klien mengeluh dan histamin
nyeri jika ditekan disampaikan ke SSP
abdomennya
Persepsi nyeri

3 DS : Intake nutrisi kurang Intoleransi


Klien mengeluh aktivitas
lemah Metabolisme glukosa sehubungan
Klien tidak kuat terganggu dengan keletihan.
lagi berdiri
Pembentukan ATP dan
ADP terganggu
DO :
Wajah klien Energi berkurang dan
tampak pucat terjadi kelemahan otot
Klien tampak
keletihan Aktivitas terganggu
Klien diantar
perawat ke kamar
mandi
Aktivitas klien
dibantu keluarga
dan perawat
4 DS : Koping penerimaan Kurang
Klien penyakit yang kurang pengetahuan
mengatakan tidak baik mengenai proses
tahu tentang dan
penyakitnya Tidak tahu riwayat penatalaksanaan
penyakit penyakitnya.
DO :
Klien makan menolak diet dan
tidak mengikuti perawatan
diet yang
dianjurkan
Klien menolak
makanan yang
khusus
disediakan
untuknya

D. Perencanaan

1. Volume cairan kurang dari kebutuhan berhubungan dengan:


- Pemasukan terbatas
- Pengeluaran berlebihan

Ditandai dengan:

- Sering BAB encer, kadang bercampur darah dan nyeri perut


- Mual muntah
- Membran mukosa dan kulit kering
- Bibir pecah-pecah
- Keluaran urine sedikit 1 ml/jam

Tujuan:

Volume cairan adekuat setelah pemberian terapi dalam waktu 1 x 24


jam
dengan kriteria:

- Membran mukosa lembab


- Pengisian kapiler baik
- Keseimbangan intake dan output dengan urine rata-rata 1 ml/menit

Intervensi:

a. Awasi masukan dan haluaran, karakter dan jumlah feses;


perkirakan kehilangan yang tak terlihat, misalnya berkeringat,
ukur berat jenis urine, observasi oliguria.
Rasional: memberikan informasi tentang keseimbangan cairan,
fungsi ginjal, dan kontrol penyakit usus juga merupakan
pedoman untuk penggantian cairan.

b. Observasi TTV (TD, nadi, suhu)


Rasional: hipotensi, takikardi, demam dapat menunjukkan
respon terhadap dan atau efek kehilangan cairan.
c. Observasi kulit kering berlebihan dan membran mukosa,
penurunan turgor kulit, pengisian kapiler lambat.
Rasional: menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi
d. Ukur BB tiap hari
Rasional: indikator cairan dan status nutrisi
i. Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk melihat
adanya darah samar.
Rasional: diet tak adekuat dan penurunan absorpsi dapat
menimbulkan defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi,
potensial resiko perdarahan.
j. Pertahankan pembatasan per oral, tirah baring, hindari kerja.
Rasional: kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk
menurunkan kehilangan cairan usus.
k. Catat kelemahan otot atas disritmia jantung.
Rasional: kehilangan usus berlebihan dapat menimbulkan
ketidakseimbangan elektrolit, misalnya kalium yang perlu
untuk fungsi tulang dan jantung.
l. Kolaborasi cairan parenteral, transfusi darah bila perlu.
Rasional: mempertahankan istirahat usus akan memerlukan
penggantian cairan untuk memperbaiki kehilangan.
m. Awasi hasil laboratorium: elektrolit (kalium, magnesium),
GDA.
Rasional: menentukan kebutuhan penggantian dan keefektifan
terapi.

2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


- Gangguan absorbsi usus

Ditandai dengan:
- Penurunan berat badan, penurunan lemak subkutan/massa otot,
tonus otot buruk
- Bunyi usus hiperaktif
- Konjungtiva dan membran mukosa pucat
- Nafsu makan kurang, mual, muntah

Tujuan: Kebutuhan nutrisi dapat dipertahankan dalam 3 x 24 jam


dengan kriteria:

- BB meningkat secara bertahap


- Tidak ada tanda malnutrisi seperti kulit kering

Intervensi:

a. Berikan fungsi parenteral (NPT) sesuai pesanan dan


intervensi berikut
- Ajarkan perawatan kateter akses vena jangka panjang
Rasional: NPT adalah tindakan pilihan bila terjadi penurunan BB.
Klien memerlukan 45–50 kkal, 2 g protein/kg/BB/hari. Ini
memungkinkan peningkatan berat badan kira-kira 8 oz/hari
b. Pertahankan status puasa dan tirah baring
Rasional: menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah
penurunan kalori. Status puasa menurunkan aktivitas mekanis,
fisik dan kimia usus.
c. Berikan dukungan psikososial dan keyakinan selama
pengistirahatan usus dan NPT
Rasional: status puasa yang lama mengganggu baik secara social
maupun psikologis.

3. Gangguan eliminasi BAB berhubungan dengan:


- Meningkatnya motilitas usus

Ditandai dengan:

- Peningkatan bunyi usus/peristaltic


- Defekasi sering dan berair
- Feses berwarna merah
- Nyeri perut tiba-tiba
- Wajah tampak meringis

Tujuan:

Diare tidak terjadi setelah dilakukan tindakan dalam jangka waktu 2 x


24 jam

- Penurunan frekuensi defekasi konsistensi kembali normal


- Peristaltik normal
- Nyeri dan kram abdomen tidak ada

Intervensi:
a. Observasi dan catat frekuensi defekasi konsistensi karakteristik,
jumlah dan faktor pencetus.
Rasional: membantu membedakan penyakit individu dan
mengkaji berat dan episode.
b. Mulai lagi memasukkan cairan peroral secara bertahap.
Rasional: memberikan istirahat colon dan menghilangkan atau
menurunkan rangsang makanan / cairan, maka kembali secara
bertahap mencegah kram dan diare berulang.
c. Identifikasi makanan dan cairan yang mencetuskan diare
misalnya: bumbu-bumbu, produk susu.
Rasional: menghindari iritan, meningkatnya istirahat usus.
d. Observasi demam, takikardi, letargi, leukositosis, penurunan
protan serum.
Rasional: tanda bahwa toksik megakolon oleh perforasi dan
peritonitis akan terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik
segera.
e. Kolaborasi untuk pemberian obat seperti: Antikolinergik, atropine,
belladonna.
Rasional: menurunkan motilitas GI yang menurunkan sekresi
digestik.

E. IMPLEMENTASI
Implementasi dilakukan sesuai dengan jumlah intervensi yang ada.

F. EVALUASI

Pada diagnosis kolitis ulserative kronis, pemeriksaan feses yang


cermat dilakukan untuk membedakannya dengan disentri yang di sebabkan
oleh organisme usus umum, khususnya entamoeba histolityca. Feses
positif terhadap darah. Tes laboratorium akan menunjukkan hematokrik
dan hemoglobin yang rendah, peningkatan hitung darah lengkap, albumin
rendah, dan ketidakseimbangna elektrorit.

Sigmoidoskopi dan enemabarium dapat membedakan kondisi ini dari


penyakit kolon yang lain dengan gejala yang serupa. Enema barium akan
menunjukkan iregularitas mukosal, pemendekkan kolon, dan dilatasi
lengkung usus.
DAFTAR PUSTAKA

Arisetine, Dina Aprilia. (2008). Kolitis Ulseratif Ditinjau dari Aspek Etiologi,
Klinik dan Patogenesa. Universitas Sumatera Utara - Fakultas
Kedokteran Medan.

Adam Schoenfeld. (2010). Retrieved


fromhttp://www.medicinenet.com/ulcerative_colitis /article.htm.

Daniels Podolsky. (2002). The New England Journal of Medicine.


Inflammatory Bowel Disease. Vol 347 No 6. pp 417-427.

Djojoningrat D. 2007. Inflammatory Bowel Disease: Alur Diagnosis dan


Pengobatannya di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW dkk, editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal. 384-88.

Djojoningrat D dkk editor. (2011). Konsensus Nasional Penatalaksanaan


Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D,
dkk. Jakarta: Interna Publishing.

Glickman RM. (2000). Penyakit Radang Usus (Kolitis Ulseratif dan penyakit
Crohn). Dalam: Asdie AH, editor. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 4. Edisi ke-13. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
hal. 1577-91.
Hopkins, John. (2013). Gastroenterology and Hepatology Medicine. Colitis
Ulcerative. (http://www.hopkins-gi.org)

Jugde TA, Lichtenstein GR. Inflammatory Bowel Disease. In: Friedman SL,
McQuaid KR, Grendell JH, editors. (2009). Current Diagnosis and
Treatment in Gastroenterology. 2nd ed. International ed.: McGraw-Hill.
pp. 108-30.

Kathlen A Head, Julie Jurenka. (2003). Alternative Medicine Review.


Inflammatory Bowel Disease I : Ulcerative Colitis – Pathohysiology and
Conventional And Alternative Treatment Options. Volume 8, Number 3.
pp. 247-274

Marc D Basson. (2011). Retrieved


fromhttp://emedicine.medscape.com/article/183084-overview.

Price, Sylvia anderson. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses proses


Penyakit Edisi 6.: EGC.

Wasson J et all. (2004). a–z Common Symptom Answer Guide. McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai