Anda di halaman 1dari 17

Universitas Kristen Krida Wacana

Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat


nebukadnezar@hotmail.co.id Page 1

Pendekatan Alur Diagnosis: Inflammatory Bowel
Syndrome
Yulius Adipratama Ciputra
10.2010.089
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id

Pendahuluan
Inflammatory Bowel disease adalah penyakit inflamasi yang melibatkan saluran cerna
dengan penyebab pastinya sampai saat ini belum diketahui jelas. Secara garis besar IBD terdiri
dari 3 jenis, yaitu KU (Kolitis Ulseratif), PC (Penyakit Chron), dan bila sulit membedakan kedua
hal tersebut, maka dimasukkan dalam kategori Interminate Colitis. Hal ini untuk secara praktis
membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang telah diketahui penyebabnya
seperti ifneksi, iskemia, dan radiasi.
Anamnesis
Waktu dan Frekuensi duare
Bentuk tinja
Keluhan lain yang menyertai diare
Obat
Makanan dan minuman
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 2

Lain-ain
Pemeriksaan Fisis
Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam
menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebab diare. Status volume dinilai dengan
memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan tanda
toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Adanya kualitas
buni usus dan adanya atau tidak adanya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakaan "clue" bagi
penentuan etiologi.
Different Diagnosis

Tabel 1. Diferential diagnosis IBD

Penyakit Definisi Pembeda
Kolitis Amebik Peradangan kolon yang
disebabkan oleh Entamoeba
histolytica
Pemberian kortikostreoid
Menyebabkan penyebaran
organisme dengan cepat dan
dapat menimbulkan kematian
Shigellosis Infeksi akut ileum terminalis
dan kolos oleh genus Shigella
Tinja mengandung lendir,
tenesmus, kurang nafsu makan
Escherichia coli (patogen) O157:h57 Adanya nausea dan vomiting,
suhu tubuh meningkat
Kolitis tuberkulosa INfeksi kolon oleh kuman
Mycibacterium tuberculosae
Adanya tuberkulosis paru aktif
dengan penyakit ileosekal
Kolitis pseudomembran Akibat toksin yang ditandai
dengan lapisan eksudatif
Ditemukan setelah
penggunaan antibotik
Kolitis radiasi Peradangan kolon sebagai
akibat terapi radiasi terhadap
telengaiektasia, terjadi 6
minggu setelah radiasi
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 3

kanker ginekologi, urologi dan
rektum

Epidemiologi
IBD merupakan penyakit dengan kekerapan tinggi di negara-negara Eropa dan Amerika.
Laporan sekitar tahun 1990-an didapatkan angka insiden untuk kolitis ulseratif/ penyakit chron di
Eropa 11,8/7,0; Norwegia 13,6/5,8; Belanda 10,06,9; Jepang1,9/0,5; Italia 5,2/2,3 per 100.000
orang. Jadi terdapat perbedaan tingkat kekerapan antara negara BArat dengan negara Asia Pasifik.
Penyakit IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada usia muda (25-39) tahun dan
tidak terdapat perbedaan bermakna antara perempuan dan laki-laki.
Selain adanya perbedaan geografis di atas, tampaknya orang kulit putih lebih banyak
terkena dibandingkan kulit hitam. Dari segi ras, IBD banyak terdapat pada orang Yahudi. IBD
cenderung terjadi pada kelompok sosial ekonomi tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi
orang dan diet rendah serat.
1
Prevalensi penyakiut ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000
penduduk.
2
Sementara itu puncak kejadian penyakit tersebut antara usia 15 dan 35 tahun, penyakit
ini telah dilaporkan terjadi pada setiap dekade kehidupan.
3

Di Indonesia belum dapat dilakukan studi epidemiologi ini. Data yang ada berdasarkan
laporan rumah sakit. Data bersumber dari rumah sakit di Jakarta dapat dilihat di tabel 1. Sangat
mungkin terjadi variasi akurasi diagnosis antar laporan, mengingat akan terdapatnya perbedaan
sarana diagnostik penunjang yang tersedia. Sarana diagnostik di Pusat rujukan di Indonesia belum
berkembang secara optimal sehingga sebagian besar kasus terduga IBD akan mengalami
underdiagnosed atau jurstru dapat terjadi over-diagnosed tentang IBD. Disini diperlukan suatu
sistem di bawah kewenangan profesi agar pasien tidak emngalami over-treatment atau
under-treatment. Diperlukan suatu konsesus profesi agar kasus BID di Indonesia dapat
terindetifikasi secara lebih baik dan mendapat pengobatan lebih optimal. Dipihak lain proses
pencatatan dan pelaporan akan lebih seragam dan dapat lebih dipertanggung jawabnya untuk suatu
penelitian epidemiologik, baik dalam populasi maupun data rumah sakit.

Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 4

Etiogenesis
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun penjelesannya yang
memadai mengenai pola distribusinya.Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetik memainkan
peran penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan adanya keterlibitan
familial.
1,3
Faktor infeksi, sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pecarian terus
menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha untuk menemukan agen
bakteri, jamur atau virus belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian
dinding sel Pseudomonas atau agen yang dapat ditularkan yang menghasilkan efek sitopatik pada
kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.
Teori adanya peningkatan permeabilitas epitel usus, terdapat anti neutrofil sitoplasmivc
autoantibodi, peran nitrik oksida, dan riwayat infeksi banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi
masalah adalah hal apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya kompleks,
antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk antigen dan kemungkinan disregulasi
mekanisme imun pasien IBD 8,9-14.Teori Psikologik, gambaran psikologis pasien penyakit
radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya atau
berkembang, sehubungan dengan adanya stress psikologis mayor misalnya kehilangan seorang
anggota keluarga.
Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang
membuat mereka menjadi rentan terhadap stress emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau
mengeksaserbasi gejalanya.
3
Faktor lingkungan, ada hubungan terbalik antara operasi
apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit
kolitisulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada
dekade ke -3. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis
ulseratif di antara perokok dibanding dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan
risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan
perokok.
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 5


Gambar 1. Etiopatogenesis IBD

Gambaran Klinik
1
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut merupakan manifestasi klinis
IBD yang paling umum dengan beberapa manifestasi klinis IBD yang paling umum dengan
beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema
nodusum dan kolangitis.
1,4
Di samping itu tentunya disertai dengan gambaran keadaan sistemik
yang timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti gangguan nutrisi. Gambaran
klinis KU relatif lebih seragam dibandingkan gambaran klinis PC. Hal ini disebabkan distribusi
anatomik saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi
yaitu dapat melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna, mulai dari mulut sampai
anorektal.
Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan remisi. Fase remisi ini dapat disebabkan
oleh pengobatan tetapi tidak jarang dapat terjadi spontan. Dengan sifat perjalanan klinik IBD yang
kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu kriteria klinik sebagai gambaran aktivitas penyakit
untuk keperluan pedoman keberhasilan pengobatan maupun menetapkan fase remisi. Secara
umum Disease Activity Index (DAI) yang berdasarkan pada frekuensi diare, ada tidaknya
perdarahan per-anum, penilaian kondisi mukosa kolon pada pemeriksaan endoskopi, dan penilaian
keadaan umum dapat dipakai untuk maksud tertentu.
Derajat klinik KU dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi diare,
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 6

ada/tidaknya demam, derajat anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove).
Perjalanan penyakit KU dapat di mulai dengan serangan pertama yang berat ataupun dimulai
ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama
sesuai dengan panjangnya kolon yang terlbat. Lesi mukosa bersifat disfus dan terutama hanya
melibatkan lapisan mukosa.
Pada PC selain gejala umum di atas adanya fistula merupakan hal yang karakteristik
(termasuk perianal) Nyeri perut ralatif lebih mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang
transmural sehingga dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada timbulnya
bacterial overgrowth. Secara endoskopik penilaian aktivitas penyakit KU relatif mudah dengan
menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Tetapi pada PC
hal tersebut lebih sulit, terlebih bila ada keterlibatan usus halus ( tidak terjangkau oleh teknik
pemeriksaan kolonoskopik), sehingga dipakai kriteria yang lebih spesifik yang didasari oleh
adanya penilaian demam, data laboratorium, manifestasi ekstraintestinal, frekuensi diare, nyeri
abdomen, fistulasi, penurunan berat badan, terabanya masa intraabdomen, dan rasa sehat pasien.

Gambar 2. Tabel gambaran klinik IBD

Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 7

Gambaran Klinis IBD dan Permasalahan di Indonesia
Adanya gambaran klinis IBD yang bervariasi ini, memerulkan pengetahuan yang cukup
memadai untuk membedakannya dengan penyakit lain yang sering ditemukan di Indonesia seperti
kolitis infeksi dan tuberkulosis usus. Gambaran klinis, bahkan endoskopik dan radiologik, sulit
untuk membedakan PC dengan TUberkulosis gastrointestinal, yang mempunyai predileksi
anatomi yang sama, yaitu di daerah ileo-caecal. Pemereksiaan yhistopatologik pun tidak jarang
sulit untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit infeksi kronik yang endemik ini. Setelah
mendapatkan diagnosis IBD, masuk dalam tahap berikutnya, yaitu membedakan apakah kolitis
ulseratif, penyakit Crohn atau untuk sementara dimasukkan dalam kategori Inderminate colitis bila
sulit dibedakan.
Gambaran Laboratorium
Adanya abnormalitas parameter laboratorium dalam hal kadar hemoglobin, lekosit, LED,
trombosit, C-reactive protein, kadar besi serum dapat terjadi pada kasus IBD, tetapi gambaran
demikian juga dapat ada pada kasus infeksi. Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk
IBD. Sebagian besar hanya merupakan parameter proses inflamasi secara umum atau dampak
sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal yang mempengaruhi proses digesti/absorpsi.
Juga tidak terdapat perbedaan yang spesifik antara gambaran laboratorium PC dan KU.
data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat aktivitas penyakit dan dampaknya
pada status nutrisi pasien. Penurunan kadar HB, Ht dan besi serum dapat menggambarkan derajat
kehilangan darah lewat saluran cerna. Tingginya laju endap darah dan C-reactive Protein yang
positif menggambarkan aktivitas inflamasi, serta rendahnya kadar albumin mencermikan status
nutrisinya yang rendah.
Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi mempunyai peran penting dalam diagnosis dan penatalaksanaan
kasus IBD. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD adalah 89% dan 4% kesalahan dan 7% hasil
meragukan.Pada dasarnya KU merupakan penyakit yang melibatkan mukosa kolon secara difus
dan kontinu, dimuali dari rektum dan menyebar/ progresif ke proximal. Data dari beberapa rumah
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 8

sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi KU adalah 80% pada rektum dan rektosigmoid 12 %
kolon sebelah kiri dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). Sedangkan PC bersifat
transmural, segmental dan dapat terjadi pada saluran cerna bagian atasm usus halus ataupun kolon.
Dari data yang ada dilaporkan 11% kasus PC terbata pada ileo-caecak, 33% ileo-kolon dan 56%
hanya di kolon. Daerah ileocaecal merupakan daerah predileksi untuk beberapa penyakit yaitu PC,
TBC, amoebiasis. dari data yang ada dilaporkan bahwa lesi kolonoskopik terbatas pada ileo-caecal
disebabkan oleh 17,6 % PC, 23,5% TBC, 17,6% amoebiasis dan 35,4% karena kolitis infeksi.
Radiologi
1,5

Teknik pemeriksaan radiologi kontras ganda merupakan pemeriksaan diagnostik pada IBD
yang saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda dapat memperlihatkan lesi
striktur, fistulasi, mukosa yang ireguler, gambaran ulkus dan polip, ataupun perubahan
distensibilitas lumen kolos berupa penebbalan dinding usus dan hilangnya haustrae. Interprestasi
radiologik tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Pemeriksaan radiologik merupakan
kontraindikasi pada KU berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto polos abdomen
secara sederhana dapat mendeteksi adanya dilatasi toksik yaitu tampak lumen usus yang melebar
tanpa material didalamnya. Untuk menilai adanya keterlibatan usus halus dapat dipakai metode
enteroclysis yaitu pemasangan kanul naso-gastrik sampai melewati ligamentum treitz sehingga
barium dapat dialirkan secara kontinu tanpa terganggu oleh kontraksi pilorus. Peran CT-Scan dan
ultrasonofrafi lebih banyak ditujukan pada PC dalam mendeteksi adanya abses ataupun fistula.
Histopatologi
1,6
Spesimen yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik daripada spesimen
yang diambil secara biospi per-endoskopik. Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat transmural
sehingga tidak terjangkau dengan teknik biopsi per-endoskopik. Gambaran khas untuk Ku adalah
adanya abses kripti, distrosi kripti infiltrasi sel mononukleus dan polimorfonuklear di lamina
propia, netrofil pada seluruh ketebalan mukosa, basal plasmositosis permukaan viliformis, jumlah
sel goblet berkurang, metaplasia sel Paneth. Sedangkan pada PC adanya granuloma tuberkuloid
merupakan hal yang karakteristik di samping adanya infiltrasi sel makrofag dan limfosit di lamina
proia serta ulserasi yang dalam.
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 9

Patogenesis
7
Data ini memberikan bukti bahwa 2 bentuk utama dari IBD adalah karena TH1
dysregulated atau berlebihan (CD) atau Th2 (UC) tanggapan (Gambar 1, Gambar 2, dan Gambar
3). Adapun faktor-faktor apa ini menginduksi respon abnormal, ada bukti bahwa pasien IBD tidak
pantas memiliki sel T tanggapan terhadap komponen antigenik dari mikroflora usus mereka
sendiri, baik karena disfungsi dalam mekanisme primer atau sekunder yang biasanya drive dan
mengatur respons atau karena beberapa disfungsi dalam penghalang sel epitel usus yang
menyebabkan penetrasi yang tidak tepat mikroba antigens.10 -13 Akibatnya, pasien dengan IBD
memiliki gangguan dalam "toleransi oral," respon mekanisme imun normal mukosa yang
menjamin down-regulasi untuk konstituen berbahaya dalam mikroflora atau aliran makanan,
sementara memungkinkan respon sel efektor yang kuat terhadap patogen mukosa.




Gambar 3. Patogenesis Penyakit inflamasi usus: Antigen Pengenalan dan Immunoregulation


Mediator ditunjukkan dengan warna biru (huruf tebal) turun-mengatur peradangan, dan
yang ditunjukkan dengan warna merah mempromosikan peradangan. Intervensi terapi yang
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 10

potensial tercantum dalam oval biru. Antigen, seperti dari flora mikroba usus, terus sampel oleh sel
M (sel microfold vili) dari patch Peyer. Antigen ini diinterpretasikan oleh sel antigen presentasi
(APC) seperti sel-sel dendritik, yang mengarahkan diferensiasi CD4 naif + TH0 sel ke 1 dari
beberapa bagian produksi sitokin terpolarisasi bawah pengaruh sitokin dan jalur terkait sinyal
intraseluler (IL-12 STAT 4 IFN- ; IL-4 Stat6 IL-4). Pada kondisi normal,
keseimbangan didirikan antara generasi proinflamasi (Th1, Th2) dan anti-inflamasi (TH3, TR1) T
sel. Ini sel T aktif menyebarkan secara luas melalui sistem limfatik ke lamina propria dan epitel
usus. IL menunjukkan interleukin; NFB, Nuklir Factor kappa B; IFN, interferon, TGF, mengubah
faktor pertumbuhan; TR1, T peraturan, dan STAT, sinyal transduser dan aktivator transkripsi.


Gambar 4. Patogenesis Penyakit inflamasi usus: Induksi Cascade inflamasi

Antigen bakteri tidak tepat bocor di seluruh penghalang sel usus epitel. Jaringan makrofag
dan sel dendritik (DC) menyajikan antigen untuk CD4 penduduk + T sel dan mengaktifkan sel T
proinflamasi relatif terhadap sel T peraturan (TR1, TH3, dan NK-sel T) yang menyebabkan
pelepasan sitokin kelebihan pro inflamasi (IL-1, TNF- ) dari makrofag. Aktivasi dari sistem
kekebalan tubuh dan pembuluh darah diatur oleh sel saraf dan mediator mereka (substansi P).
NK-sel T pembunuh menunjukkan sel T alam; TNF, tumor necrosis factor.
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 11



Gambar 5. Patogenesis Penyakit inflamasi usus: Amplifikasi dari Cascade inflamasi dan
Perbaikan

Sitokin proinflamasi mengaktifkan endotelium dari venula postcapillary mengarah ke
up-peraturan addressins vaskular dan rekrutmen leukosit (limfosit dan polimorfonuklear [PMN]
sel) dan monosit ke dalam lamina propria melalui serangkaian interaksi molekul antara endotelium
dan sel direkrut . Masuknya leukosit diaktifkan dan monosit mengarah pada produksi mediator
inflamasi yang memperkuat peradangan dan menyebabkan cedera jaringan. Dilakukan usaha
untuk mengaktifkan proses yang terkait dengan membangun kembali integritas epitel usus.
MAdCAM menunjukkan addressin sel molekul adhesi mukosa; L-selectin, selektin leukosit;
E-selectin, selektin endotelium; P-selectin, selektin trombosit; LFA-1, antigen fungsi terkait
leukosit, dan ICAM, molekul adhesi intraseluler.
Alur Diagnosis
1
Secara praktis diagnosis IBD didasarkan pada: 1) Anamnesis yang akurat mengenai
adanya perjalanan penyakit yang akut disertai eksaserbasi kronik-remisi diare, kadang berdarah,
nyeri perut, serta ada riwayat keluarga; 2) gambaran klinik yang sesuai seperti di atas 3) Data
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 12

laboratorium yang menyingkirikan penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia, adanya
infeksi gastrointestinal. Eksklusi penyakit tuberkulosis sangat penting mengingat gambaran
kliniknya mirip dengan PC. Tidak ada parameter laboratorium yang spesifik untuk IBD; 4)
Temuan endoskopik yang karakteristik dan didukung konfirmasi histopatologik; 5) Temuan
gambaran radiologik yang khas; 6) Pemantauan perjalan klinik pasien yang bersifat
akut-remisi-eksaserbasi kronik.

Gambar 6. Diagnostik IBD
Realitias permasalahan di Indoesia dalam hal diagnosis kasus IBD adalah tidak tersedianya
fasilitas penunjang diagnostik seperti endoskopi dan radiologi. secara merata. Dalam keadaan
demikian selain faktor sistem rujukan, maka harus ditingkatkan kemampuan klinik dalam
menegakkan diagnosis pereksklusionum untuk memoeroleh kasus terduga IBD. Sebagian besar
penyakit infeksi dapat disingkirkan/ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium
yang tersedia.
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 13


Gambar 7. Alur casse finding kasus IBD
Pengobatan
Mengingat bahwa etiologi dan patogenesis IBD belum jelas maka pengobatannya lebih
ditekankan pada penghambatan kaskade proses inflamasi
Pengobatan UMUM
Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intralumen usus dan
komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok orang
yang rentan, maka diusahakan untuk mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik,
lavase usus, mengikat produksi bakteri, mengistirahatkan kerja usus, dan perubahan pola diet.
Metronidazole cukup banyak diteliti dan cukup banyak bermanfaat pada PC dalam menurunkan
derajat aktivitas penyakitnya pada keadaan aktif. Sedangkan pada KU jarang digunakan antibiotik
sebagai terapi terhadap agen proinflamasinya. Di samping beebrapa konstituen diet yang harus
dihindari karena dapat mencetuskan serangan terdapat pula konstituen yang bersifat antioksidan
yang dalam penelitian dilaporkan bermanfaat pada kasus IBD yaitu glutamin dan asam lemak
rantai pendek. Mengingat penyakit ini bersifat eksaserbasi kronik maka edukasi pada pasien dan
keluarganya sangat diperlukan.
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 14

Obat golongan Kortikostreoid
Sampai saat ini obat golongan glukokortikoid merupakan obat pilihan untuk PC dan KU
derajat sedang dan berat. Pada umumnya piluihan jatuh pada prednison, metil prednisolon atau
streoid enema. pada keadaan berat, diberikan kortikosteroid pararentral. Untuk memperoleh tujuan
konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus sengan efek sistemik yang rendah, saat ini telah
dikembangkan obat golongan glukokortikoid non-sistemik dalam pengobatan IBD. Dalam hal ini
dapat dipakai obat budesonide baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. Dosis
rata-rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-60 mg
prednison, yang kemudian dilakukan tappering dose setelah remisi tercapai dalam waktu 8-12
minggu.
Obat Golongan Asam Amino Salisilat
Obat yang sudah lama dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD adalah preparat
sulfasalazin yang merupakan gabungan sulpriridin dan aminosalisilat dalam ikatan azo. Preparat
ini akan dipecah di dalam usus menjadi sulfapiridin dan 5 -acetil saliculid ayd (5-ASA). Telah
diketahui bahwa yang bekerja sebagai agen anti inflamasi adalah 5-ASA ini. Saat ini telah ada
preparat 5-ASA murni, baik dalam bentuk sediaan lepas lambat (di Indoseia, Salofalk) atau
gabungan 5-Asa dalam bentuk ikatan diazo. Pada preaparat lepas lambat, 5-ASA akan dilepaskan
situasi pH>5. Baik sulfasalazin maupun 5-ASA mempunyai efektivitas yang relatif sama dalam
pengobatan IBD, hanya efek samping lebih rendah pada 5-ASA. Hal ini disebabkan telah
diketahui bahwa efek samping pada sulfasalazin terletak pada unsur sulfapiridinnya. Dosis
rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram perhari yang kemudian dilanjutkan
dengan dossis pemeliharaan sesuai dengan kondisis pasien.
Obat golongan Imunosupresif
Obat ini dipakai bila dengan 5-ASA dan kortikostreoid gagal mencapai remisi. Obat
golongan ini seperti 6-merkaptopurin, azatioprin, siklosporin dan metotrexat.
Surgikal. Peran surgikal bila pengobatan konservatif/ medika mentosa gagal atau terjadinya
kompikasi (Pendarahan, obstruksi, ataupun megakolon toksik)
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 15

Algoritme Terapi dan RUjukan
Mengingat bahwa etiopatogenesis IBD belum jelas, maka pengobatannya lebih ditekankan
pada penghambatan kaskade proses inflamasi. Dengan dugaan adanya faktor/agen proinflamasi
yang dapat mencetuskan proses inflamasi kronik pada kelompok rentanm maka diusahakan
mengeliminasi hal tersebut dengan cara pemberian antibiotik, lavase usus, pengikat produk
bakteri, mengistirahatkan kerja usus dan perubahan pola dietetik. Paada prinsipnya, pengobatan
IBD ditujukan pada serangan akut dant erapi pemeliharaan waktu fase remisi. Obat baku pertama
mengandung komponen 5-acetil salicilc acid. dan obat kortikostreoid. Bila gagal, maka diberikan
obat lini kedua yang umumnya bersifat imunosupresif. Preparat 5-ASA dapat dalam bentuk
oral/sistemik atau supositoria/enema. Pada kasus tertentu atau terjadi komplikasi perforasi,
perdarahan masif, ileus karena stenosis, megatoksik kolon, maka diperlukan intervensi surgikal.

Gambar 8. Terapi IBD
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 16

Komplikasi
Dalam perjalanan penyakit ini dapat terjadi komplikasi: 1) Perforasis usus yang terlibat, 2)
Terjadinya stenosis usus akibat proses fibrosis, 3) MEgakolon toksis (terutama pada KU), 4)
Perdarahan, 5) Degenarsi maligna. Diperkirakan risiko terjadinya kanker pada IBD lebih kurang
13 %.
Prognosis
Pada dasarnya, penyakit IBD merupakan penyakit yang bersifat remisi dan eksaserbasi.
Cukup banyak dilaporkan adanya remisi yang bersifat spontan dan dalam jangka waktu yang lama.
Prognosis banyak dipengaruhi oleh ada tidaknya komplikasi atau tingkat respon terhadap
pengobatan konservatif.
Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW dkk, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I.Jakarta:FKUI.2006. hal
386-90.
2. Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH, ed. Curent diagnosis and tretment in
gastroenterology.International ed:McGraw-Hill.2003.p:108-30.
3. Asdie AH, ed. Harrison prnsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Volume 4.
Jakarta:EGC.2000.hal 1577-91.
4. Guan R et al,ed. Management of common gastroenterological problems: a Malaysia and
Singapore Perspective. Singapore:Ezyhealth.2006.p:116-22.
5.Avunduk C.Manual of gastroenterology:diagnosis and therapy.Philadephia:Lippincott Williams
&Wilkins.2002.p:70-9.
6. Simadibrata M, Syam AF, ed.Update in gastroenterology. Jakarta:FKUI.2005. hal 80-4.
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
nebukadnezar@hotmail.co.id Page 17

7 Richard S. Blumberg, Warren Strober. Research Opportunities for Specific Diseases and
Disorders Prospects for Research in Inflammatory Bowel Disease.JAMA.
2001;285(5):643-647.doi:10.1001/jama.285.5.643.

Anda mungkin juga menyukai