Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2020

UNIVERSITAS HALU OLEO

IRRITABLE BOWEL SYNDROME

PENYUSUN :

Atrisia Ayuning Tyas, S.Ked

K1A1 14 067

PEMBIMBING :
dr. Ady Leonardy Tendean, Sp. PD

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN KULIT DAN KELAMI


RUMAH SAKIT UMUM PENDIDIKAN BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Atrisia Ayuning Tyas, S. Ked

NIM : K1A1 14067


Judul referat : Irritable Bowel Syndrome

Telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada

Bagian ilmu penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Februari 2020

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Ady Leonardy Tendean, Sp. PD

IRRITABLE BOWEL SYNDROME


Atrisia Ayuning Tyas, Ady Leonardy Tendean

A. Pendahuluan

Irritable bowel syndrome (IBS) adalah penyakit gastrointestinal

yang ditandai oleh kebiasaan defekasi yang terganggu dan nyeri perut

tanpa adanya kelainan struktutal. IBS merupakan penyakit gastrointestinal

fungsional yang sering dihadapi, dan diperkirakan terjadi pada 15% orang

dewasa dinegara barat1.

Meskipun IBS bukan merupakan penyakit yang mengancam

kehidupan, angka prevelensi yang tinggi pada populasi dan dampaknya

terhadap kualitas hidup menyebabkan penyakit ini harus mendapatkan

perhatian. Penelitian awal di Inggris menunjukkan IBS terjadi pada 10%-

15% pada unak usia sekolah dan 20% pada anak remaja. Prevelensi ini

memberikan dampak dibidang ekonomi yang cukup besar, antara lain,

beban biaya pengobatan dan ketidakhhadiran disekolah. Lebih dari pada

itu, IBS juga menyebabkan keterbatasan dari semua aspek kehidupan,

kualitas hidup, dan gangguan perilaku2.

Pada dua dekade terakhir, Irritable bowel syndrome (IBS) telah

mendapatkan perhatian yang cukup besar dibidang kesehatan akibat

semakin tingginya prevelensi dan gejalah yang muncul bervariasi. Disisi

lain pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik pada pada pasien

IBS tidak ada, oleh karena itu penegakkan diagnosis IBS kadang kala tidak

mudah. IBS termasuk dalam kelompok penyakit gastrointestinal kronik


yang disebut sebagai funcrion bowel disorders (FBD) yang

diklasifikasikan oleh the Rome foundation3.

B. Definisi

Irritable bowel syndrome (IBS) kelainan fungsional usus kronis

berulang dengan nyeri atau rasa tidak nyaman abdomen yang berkaitan

dengan defekasi atau perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya

selama 3 bulan (Jacobus, 2014).

C. Epidemiologi

Kejadian IBS dilaporkan sekitar 10-20% dinegara-negara barat.

Dan prevelensi serupa telah dilaporkan di asia tenggara. Di sebagian besar

populasi, Kejadian IBS pada wanita lebih banyak daripada pria, terlepas

dari kriteria diagnostik yang digunakan. Angka pada wanita sekitar 1,5

sampai 3 kali lipat lebih tinggi daripada pada pria. , Secara internasional,

prevalensi keseluruhan IBS pada wanita adalah 67% lebih tinggi daripada

pria. Perbedaan relatif ini mencerminkan perbedaan absolut dalam

prevalensi hanya lebih dari 5% antara jenis kelamin, dengan prevalensi

pada wanita 14,0% dibandingkan dengan 8,9% pada pria. IBS terjadi pada

semua kelompok umur, termasuk anak-anak dan lansia, tanpa perbedaan

terlihat pada frekuensi subtipe berdasarkan usia. Namun, 50% pasien

dengan IBS melaporkan memiliki gejala pertama kali sebelum usia 35

tahun, dan prevalensinya 25% lebih rendah pada mereka yang berusia di

atas 50 tahun dibandingkan pada mereka yang lebih muda (Canavan. dkk.

2014)
D. Etiologi

Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS

disebabkan oleh satu factor saja. Banyak faktor yang terintegrasi sebagai

penyebab dari IBS. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS

antara lain gangguan motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris,

abnormalitas dari interaksi aksis brain-gut, hipersensitivitas visceral, dan

paska infeksi usus (Setiati dkk. 2014)

Adanya IBS predominan diare dan IBS predominan konstipasi

menunjukkan bahwa pada IBS terjadi suatu suatu perubahan motilitas.

Pada IBS tipe diare terjadi peningkatan kontraksi usus dan memendeknya

waktu transit kolon dan usus halus. Sedang pada IBS tioe konstipesi

terjadinya penurunan kontraksi usus dan memanjang waktu transit kolon

dan usus halus. (Setiati dkk. 2014)

IBS yang terjadi paska infeksi dilaporkan hamper pada 1/3 kasus

IBS. Keluhan-keluhan IBS muncul setelah 1 bulan infeksi. Penyebab IBS

paska infeksi antara lain virus, giardia atau amuba. Pasien IBS paska

infeksi biasanya biasanya mempunyai gejala perut kembung, nyeri

abdomen dan diare (Setiati dkk. 2014)

E. Patomekanisme 1

1. Motilitas Usus

Motilitas abnormal terdapat SKI predominan diare dan SKI

predominan konstipasi yang menunjukkan bahwa pada SKI terjadi

suatu perubahan motilitas. Pada SKI tipe diare terjadi peningkatan


kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus.

Berbeda halnya pada IBS predominan konstipasi dimana terjadi

penurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit kolon dan

usus halus.

Stres fisik atau psikologis dan makanan tertentu dapat menganggu

motilitas kolon. Makanan tinggi kalori dapat meningkatkan motilitas

lambung. Makanan berlemak dapat menyebabkan aktivitas motorik

terlambat, dan dapat memperburuk keadaan IBS. Pada hari-hari

pertama menstruasi dapat terjadi peningkatan sementara dari

prostaglandin E2, yang menyebabkan peningkatan nyeri dan diare

2. Hipersensitivitas Viseral

Hipersensitivitas viseral sering dihubungkan dengan IBS. Pasien

IBS mengalami nyeri dan rasa kembung pada tekanan dan volum usus

yang lebih rendah dibandingkan kontrol. Hal ini disebabkan

sensitivitas reseptor di usus terganggu melalui nosiseptor sebagai

respon terhadap iskemi, distensi, infeksi, makanan, atau faktor

kejiwaan. Persepsi rektal terganggu ditemukan pada 62% penderita

IBS. Gejala nyeri perut dan kembung dikaitkan dengan persepsi rektal

terganggu. Gejala sering dihubungkan dengan jenis kelamin

perempuan dan kecemasan. Pasien sering mempunyai ambang nyeri

viseral rendah. Banyak pasien melaporkan rasa ingin defekasi segera

walaupun volum feses sedikit. Dengan makan makanan berlemak,

beberapa pasien mengeluhkan lebih nyeri karena nilai ambang nyeri


menurun. Gejala setelah makan sebagai akibat peningkatan komponen

sensorik dari gastrokolon yang tergantung nutrien. Stimulus nyeri dari

usus dihantarkan oleh aferen spinal primer dalam ganglion akar dorsal

ke kornu dorsal medula spinalis. Sinaps di kornu dorsal merupakan

pintu masuk ke susunan saraf pusat.

Sinyal aferen yang berbahaya ke otak melalui dua jalur klasik,

yaitu traktus spinotalamik dan traktus spinoretikular. Traktus

spinotalamik atau sistem nyeri lateral bermanfaat membantu fungsi

diskriminatif. Jalur spinotalamik membawa impuls aferen dari kornu

dorsal medula spinalis ke talamus, kemudian ke korteks sensorik.

Bagian korteks sensorik yang mengurusi sensasi somatik adalah girus

presentral sedangkan sensasi viseral ditransmisikan ke insula, bagian

lobus temporal. Korteks insular contohnya untuk mengode indera

perasa dan indera penciuman pada binatang. Traktus spinoretikular

membawa pesan aferen yang berbahaya ke sistem nyeri medial, yang

mengode nyeri. Pada orang normal, nyeri distensi gaster berkaitan

dengan aktivasi batang otak. Dari formasi retikular batang otak, stimuli

asenden mencapai bagian medial talamus, selanjutnya mengaktivasi

sistem limbik, terutama anterior cingulate cortex (korteks singulat

anterior, ACC), yang mempunyai hubungan langsung dengan nukleus

talamik intralaminar. Pada binatang, stimuli nyeri mengaktivasi

talamus dan ACC. Telah diketahui bahwa ACC merupakan pusat

penting pada nyeri somatik atau viseral, dan juga berkaitan dengan
perhatian dan deteksi hal baru. Intensitas subjektif nyeri rektal dan

nyeri somatik berkorelasi dengan aliran darah ACC. Dari sistem nyeri

medial dan lateral, informasi akhirnya mencapai korteks prefrontal,

dimana terdapat fungsi lebih tinggi seperti terjadinya interpretasi.

3. Infeksi Usus

Setelah infeksi usus akut, sebagian besar pasien menunjukkan

akselerasi transit gastrointestinal dan peningkatan sensitivetas usus.

Hal ini akan kembali menjadi normal secara bertahap, tetapi masa

pulih bervariasi. Permeabilitas usus meningkat pada kebanyakan

pasien pasca gastroenteritis, biasanya berlangsung 6-12 minggu, malah

pada beberapa pasien sampai 4 tahun. Peningkatan permeabilitas

dipenga ruhi oleh aktivasi sel mast. Stres menyebabkan degranulasi sel

mast dan peningkatan permeabilitas usus. Granula sel mast

mengandung mediator-mediator termasuk histamin, prostaglandin, dan

serotonin, yang menyebabkan sensitisasi dan peningkatan fungsi

sekreto-motorik. Inflamasi mukosa mengaktivasi sensitisasi dan

hipermotilitas perifer sehingga menyebabkan terjadinya gejala SKI.

Sepertiga kasus SKI terjadi setelah infeksi, dimana keluhan SKI

muncul satu bulan pasca infeksi. Pada perempuan dan pasien dengan

stresor kehidupan yang tinggi saat onset gastroenteritis berisiko tinggi

menjadi SKI pasca-infeksi. Degradasi karbohidrat oleh bakteri di usus

halus dapat menyebabkan peningkatan gas setelah makan, kembung

dan distensi, yang dapat membaik setelah pemberian antibiotik, tetapi


studi lain meragukan penemuanpenemuan ini.16,17 Kuman penyakit

SKI pasca infeksi antara lain campylobacter, salmonella, dan shigella

4. Kelainan Psikososial

Kelainan psikologik dapat mempengaruhi cara pasien menerima atau

bereaksi terhadap penyakit dan sensasi viseral. Stres kronik dapat

mengubah motilitas usus atau memodulasi jalur yang mempengaruhi

proses spinal dan sentral dari sensasi aferen visceral

5. Ketidakseimbangan Neurotransmitter

Ketidakseimbangan neurotransmitter, antara lain serotonin. Bahan ini

terdapat dalam sistem saraf pusat sebesar 5%, sedangkan sisanya 95%

terdapat pada saluran cerna dalam sel enterokromafin, neuron, sel

mast, dan sel otot polos. Ketika dilepaskan oleh sel enterokromafin,

serotonin menstimulasi serat saraf aferen vagal ekstrinsik dan serat

saraf aferen enterik intrinsik, yang menyebabkan respon fisiologik

seperti refleks peristaltik dan sekresi usus. Pasien SKI mempunyai

serotonin dalam plasma dan kolon yang lebih tinggi.

F. Diagnosis

1. Gambaran Klinis

a. Nyeri abdomen

Nyeri atau rasa tak nyaman diabdomen merupakan persyaratan

diagnosis IBS. Nyeri abdomen pada IBS sangat bervariasi

intensitas dan lokasinya. Nyeri pada IBS berlokasi dihipogastrium

pada 25%, sisi kanan pada 20%, sisi kiri pada 20%, dan
epigastrium pada 10% pasien. Nyeri sering bersifat episodik dan

keram, tetapi dapat juga tumpang tindih dengan latar belakang

nyeri yang konstan. Nyeri sering diperberat oleh makan atau stress

emosional serta membaik oleh flatus atau buang air besar. Selain

itu, pasien wanita dengan IBS sering melaporkan gejala yang

bertambah selama masa prahaid atau haid (Longo dan fauci, 2014).

b. Perubahan pola buang air besar

Perubahan pola buang air besar merupakan gambaran klinis paling

konsisten pada IBS. Pola tersering adalah sembelit yang diselingi

oleh diare, biasanya dengan salah satu dari gejalah ini

mendominasi. Mula-mula konstipasi mungkin episodik, tetapi

akhirnya menjadi kontinu dan semakin sulit diatasi dengan

pencahar. Tinja biasanya mengeras dengan caliber menyempit,

mungkin mencerminkan dehidrasi berlebihan akibat retensi dan

spesma kolon yang berkepanjangan. Sebagian besar pasien juga

mengalami sensasi buang air besar tidak tuntas sehingga mereka

sering berupaya buang air besar berulang kali dalam waktu

berdekatan. Pasien yang gejala utamanya sembelit mungkin

mengalami konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang

diselingi oleh periode-periode singkat diare. Pada pasien yang lain,

diare mungkin meruoakan gejalah yang utama. Diare akibat IBS

biasanya berupa pengeluaran tinja lembek dalam volume-volume

kecil. Sebagian besar pasien memiliki volume <200 mL. diare


dapat diperberat oleh stress emosional makan. Tinja mungkin

disertai oleh mucus dalam jumlah besar, karena itu istilah kolitis

mukosa pernah digunakan untuk IBS. Ini adalah kesalahan nama

karena tidak terdapat peradangan. Peradangan bukan merupakan

gambaran IBS kecuali jika terdapat hemoroid, dan tidak terjadi

malabsorbsi atau penurunan berat (Longo dan fauci, 2014).

c. Gas dan Flatulensi

Pasien dengan IBS sering mengeluh kembung (distensi abdomen)

dan peningkatan berserdawa atau flatus, yang semuanya mereka

kaitan dengan peningkatan gas. Meskipun sebagian pasien dengan

gejalah ini memang mungkin mengalami peningkatan jumlah gas.

Sebagian besar pasien IBS mengalami gangguan waktu transit dan

toleransi terhadap gas usus. Selain itu, pasien dengan IBS

cenderung mengalami refluks gas dari usus distal ke proksimal,

yang dapat menjelaskan keluhan berserdawa (Longo dan fauci,

2014).

d. Gejalah saluran cerna atas

Antara 25 dan 50% pasien dengan IBS mengeluh dyspepsia,

hearburn. Mual, dan muntah. Tumpang tindih antara dyspepsia dan

IBS cukup besar. Prevelensi IBS lebih tinggi pada pasien dengan

dyspepsia (31,7%), daripada mereka yang tidak mengeluhkan

gejalah dispepsi (7,9%). Sebliknya, pada pasien dengan IBS 55,6%

melaporkan gejala dyspepsia. Selain itu gejalah fungsional


abdomen dapat berubah seiring waktu. Mereka yang terutama

mengalami dyspepsia atau IBS dapat pindah di antara fungsional

dan IBS adalah dua menifestasi dari satu gangguan sistem

pencernaan yang lebih luas. Selain itu, gejala-gejala IBS lebih

sering dijumpai pada pasien-pasien nyeri dada non jantung. Yang

mengisyaratkan tumpang tindih dengan gangguan fungsional

pencernaan lainnya (Longo dan fauci, 2014).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik untuk meyakinkan pasien dan mengeklusi

penyebab organik perlu diperhatikan apakah ada asites,

hepatosplenomegali, atau massa abdomen. Pemeriksaan anorektal

untuk mengidentifikasi perdarahan dan tonus anorektal serta

mengidentifikasi adanya gangguan fungsi saraf dan otot panggul.

3. Pemeriksaan penunjang

Tes penunjang sebaiknya lebih intensif bila terdapat alarm

symptoms: onset umur lebih dari 40 tahun, berat badan menurun,

perdarahan saluran gastrointestinal, demam, muntah, gejala timbul

pada malam hari, riwayat keluarga menderita kanker, dan pada

pemeriksaan fisik ditemukan anemia atau demam8

Kecemasan pasien dapat mendorong dokter untuk

mempertimbangkan berbagai pemeriksaan diagnostik tetapi

pemeriksaan berlebihan harus dihindari. Pemeriksaan laboratorium

skrining meliputi pemeriksaan darah (hitung darah lengkap, laju endap


darah) dan analisis feses (telur cacing, parasit, dan darah). Pemeriksaan

hormon tiroid sebaiknya dilakukan pada pasien dengan diare kronis

yang menonjol. Proktosigmoidoskopi dengan instrumen fiberoptik

fleksibel sebaiknya dilakukan. Masuknya sigmoidoskop dan insuflasi

udara sering merangsang nyeri dan spasme usus. Pola vaskular dan

mukosa pada IBS biasanya normal. Kolonoskopi atau enema barium

pada pasien dengan gejala IBS tidak direkomendasikan pada pasien

tanpa alarm symptoms atau hematologi atau kimia darah abnormal.

Pada pasien dengan diare, tes serologi untuk penyakit Celiac dapat

dilakukan. Pada semua pasien diatas 50 tahun atau lebih, enema

barium atau kolonoskopi sebaiknya dipertimbangkan untuk

menyingkirkan keganasan. Pada pasien dengan diare kronik,

khususnya perempuan tua, biopsi mukosa dapat dilakukan untuk

menyingkirkan kolitis8

4. Kriteria Diagnostik

Definisi Roma IV dari IBS mempertahankan gejala kronis (lebih dari

enam bulan) dan aktivitas saat ini (hadir dalam tiga bulan

sebelumnya); Namun, frekuensi gejala telah diubah menjadi

setidaknya satu hari per minggu (dari setidaknya tiga hari per bulan),

khususnya memerlukan nyeri perut (ketidaknyamanan telah

dieliminasi) terkait dengan buang air besar (versus membaik dengan),

dan "onset" sakit perut telah dieliminasi dari asosiasi rasa sakit dengan

perubahan tinja. Roma IV juga memperbarui subtipe pasien IBS (IBS-


C, IBS-D, IBS-M dan IBS-U), dalam jenis tinja didasarkan pada hari-

hari dengan pergerakan usus abnormal, sebagai lawan dari pergerakan

usus sepanjang hari. Selain itu, Roma IV mempertahankan Skala

Bristol Stool Form sebagai alat yang berguna untuk mengkategorikan

kebiasaan buang air besar.

Untuk membuat diagnosis IBS yang akurat, disarankan untuk

memasukkan Kriteria Roma IV bersama dengan yang berikut: riwayat

pasien (termasuk pertanyaan diet), pemeriksaan fisik (termasuk

pemeriksaan anorektal), tes laboratorium terbatas (seperti hitung darah

lengkap, C protein reaktif atau falal calprotectin, kemungkinan

serologi penyakit celiac), dan ketika diindikasikan (baik karena

pedoman yang direkomendasikan untuk usia pasien, tanda-tanda

alarm, riwayat keluarga, dll.), kolonoskopi dan / atau endoskopi

gastrointestinal bagian atas serta tes lainnya (Weafer dkk, 2017).


Tabel 1 Kriteria Roma 1V.

Kriteria Roma 1V
Jangka waktu diagnostic Gejala timbul lebih dari 6 bulan.
Aktivitas gejala selama 3 bulan
terakhir. Frekuensi gejala
minimal 1 hari per minggu.
Deskripsi gejala Nyeri perut
Asosiasi gejala (2 atau lebih) 1. berhubunga dengan defekasi
2. perubahan frekuensi BAB
3. perubahan konsistensi feses
Pola feses yang dominan dari Jenis feses berdasarkan pada
subtipe IBS (IBS-C, IBS-D, IBS- hari-hari dengan gerakan usus
M & IBS-U)
Alat untuk mengelompokkan Skala Bentuk Bristol stool
kebiasaan buang air besar
Sumber (Weafer dkk, 2017).

Tabel 2. Skala dari Bristol Stool

G. Tatalaksana

1. Terapi Non-Farmakologi10

a. OlahRaga

Olahraga dapat membantu mempertahankan fungsi GI dan

mengurangi stres, yang dapat membantu meringankan beberapa

gejala IBS. Studi IBS menunjukkan hubungan positif antara


aktivitas fisik dan menghilangkan gejala. Aktivitas fisik, seperti

mengayuh sepeda, melindungi terhadap pemburukan gejala GI dan

meringankan gas dalam beberapa penelitian. Latihan yoga juga

telah menunjukkan pengurangan gejala IBS pada populasi dewasa

dan remaja. Pranayama yoga telah diidentifikasi sebagai rejimen

latihan yang meningkatkan nada simpatik, yang menurun pada

pasien IBS-D. Dalam studi dua bulan, kelompok intervensi yoga

berlatih dua kali sehari, sedangkan kelompok perawatan

konvensional menerima loperamide 2-6 mg setiap hari. Hasil

menunjukkan bahwa yoga menunjukkan peningkatan gejala IBS

setara dengan pengobatan konvensional

b. Modifikasi Diet

Tujuan utama dari semua intervensi IBS adalah untuk memberikan

pasien dengan bantuan gejala dan meningkatkan kualitas hidup.

Meskipun data dari uji klinis dalam beberapa kasus mungkin tidak

memberikan bukti kuat untuk manfaat modifikasi diet, tetap

menjadi intervensi klinis non-farmakologis utama untuk pasien

IBS; diet eksklusi berhasil digunakan oleh banyak praktisi klinis.

Intoleransi atau alergi makanan merupakan kontributor kuat

terhadap eksaserbasi gejala IBS. Individu dengan IBS sering

menemukan bahwa makanan tertentu memperburuk gejala,

sementara yang lain telah menemukan bantuan dari gejala IBS

dengan memodifikasi diet harian mereka dan meningkatkan


aktivitas olahraga. Gejala IBS dapat dikaitkan dengan hiperaktif

visceral, gangguan motilitas GI, malabsorpsi gula, gangguan

penanganan gas, dan permeabilitas usus abnormal. Diet eliminasi

sering digunakan untuk menghilangkan alergen yang paling umum

dari diet. Meskipun beberapa pasien melaporkan bahwa

menghilangkan gandum, produk susu, telur, kopi, ragi, kentang,

dan buah jeruk dari makanan mereka sangat membantu,

pembatasan seperti itu mungkin sulit untuk diikuti. Pembatasan

diet dapat memberikan pasien dengan gejala IBS dari waktu ke

waktu, sementara tidak makan sama sekali telah ditemukan

memperburuk gejala IBS.

Asupan serat dari buah-buahan dan sayuran berkorelasi

terbalik dengan kembung. Penambahan serat psyllium, terutama

untuk orang dengan IBS-C, mengurangi gejala IBS pada beberapa

orang sementara dedak gandum atau diet rendah serat ditemukan

sebagai ukuran manajemen yang tidak efektif sebagaimana

dievaluasi oleh dua meta. -analisis total 30 studi. Karena sebagian

besar studi yang dievaluasi memiliki ukuran sampel yang kecil,

hasilnya sangat bervariasi. Faktor variabel luas lainnya termasuk

jumlah serat larut (5-30 g) dan tidak larut (4,1-36 g) ditambahkan

ke diet dan durasi intervensi studi (3-16 minggu). Secara

keseluruhan, konsumsi serat larut mengakibatkan penurunan gejala

dan sembelit IBS global, sedangkan serat tidak larut menunjukkan


efek yang kurang signifikan. Namun, tidak ada intervensi yang

mengurangi nyeri perut pada pasien IBS. Karena efektivitasnya

yang moderat, asupan tambahan serat larut dapat

direkomendasikan untuk pasien IBS-C. Studi juga mengungkapkan

bahwa penghilang rasa sakit tidak terkait dengan peningkatan

asupan serat dan bahwa penambahan serat tidak larut seperti

kacang-kacangan atau biji-bijian ke dalam makanan tidak memiliki

efek atau gejala IBS yang diperburuk.

Pasien dengan IBS ditemukan memiliki keluhan intoleransi

laktosa yang lebih subyektif secara signifikan (kembung, distensi,

dan diare) daripada pasien tanpa IBS dan memiliki kemungkinan

peningkatan malabsorpsi laktosa dibandingkan populasi umum.

Dengan demikian, penurunan asupan laktosa dapat menguntungkan

beberapa pasien IBS. Dihipotesiskan bahwa, setelah menelan

laktosa, gas hidrogen diproduksi dan distensi usus dipromosikan

karena fermentasi bakteri dari laktosa yang tidak diserap.

Menariknya, mayoritas penderita IBS, gagal untuk menguji positif

untuk tes napas hidrogen yang menunjukkan intoleransi laktosa

2. Terapi Farmakologi

Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk

menghilangkan gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri

abdomen, mengatasi konstipasi, mengatasi diare dan obat antiansietas.


Sampai sejauh ini tidak ada obat tunggal yang diberikan untuk pasien

IBS, obat-obattan ini biasanya diberikan secara kombinasi.

Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antisposmodik

yang mempunyai efek antikolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri

perut setelah makan, tetapi umumnya kurang bermanfaat pada nyeri

kronik disertai gejalah konstipasi. Obat-obatan yang sering dan sudah

beredar antara lain mebeverine 3x135 mg, hiosin N-butilbromida 3x10

mg, chlordiazepoksid 5 mg/klidinium 2,5 mg 3x1 tab, alveri 3x30 mg

dan obat antisposmodik terbaru dan juga sudah digunakan di Indonesia

otolium bromide.

Untuk IBS konstipasi, laksatif osmotic seperti laktulosa,

magnesium hidroksida terutama pada kasus-kasus dimana konsumsi

tinggi serat tidak membantu mengatasi konstipasi. Obat-obatan laksatif

stimulant biasanya tidak dipergunakan karena akan memperburuk rasa

nyeri abdomen pasien. Tageserod suatu 5-HT4 reseptor agonis, obat

IBS tipe konstipasi yang relatif baru bekerja untuk meningkatkan

akselerasi transis feses di kolon dan juga disebutkan dapat

meningkatkan sekresi cairan usus. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa tageserod memperbaiki gejalah pasien secara global dan

meningkatkan frekuensi defekasi dan konsistensi feses. Tageserod

biasanya diberikan dengan dosis 2x6 mg selama 10-12 minggu.

Untuk IBS tipe diare beberapa obat juga dapat digunakan antara

lain loperamid dengan dosis 2-16 mg perhari.


H. Prognosis

Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejalah-gejalah

pasien IBS biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50%

kasus dan hanya <5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejalah

yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi keganasan dan penyakit

inflamasi3.
DAFTAR PUSTAKA

Jim , E. 2012. Patogenesis Dan Diagnosis Sindrom Kolon Iritabel. Jurnal

Biomedik. 4(3). 137-143

Kesuma, Y. 2017. Hubungan Masalah Perilaku pada Remaja dengan Irritable

Bowel Syndrome. Seri Pediatri. 18(6). 492-497.

Anandita, S. N. 2015. Irritable Bowel Syndrome. J MAJORITY. 4 (2). 74-82.

Jacobus, J.D. 2014. Irritable Bowel Syndrome (IBS)-Diagnosis dan

Penatalaksanaan. CDKK-221. 4 (10). 727-732

Canavan, C., West, J., Card, T. 2014. The Epidemiology Of Irritable Bowel

Syndrome. Dovepres. 71-80

Setiati, S dkk. 2014. Ilmu penyakit dalam. Jilid 11 Ed IV. InternaPublishing.

Jakarta

Longo, D.L. Fauci, A. S. 2014. Harrison Gatroenterologi dan Hepatologi. EGC.

Jakarta.

Shalim, C.P. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana Irritable Bowel Syndrome.CDK-

289 . 46 (12) 754-759

Weaver, R. N., Melkus, G.D., Henderson, W. 2017. Irritable Bowel Syndrome: A

review. Am J Nurs. 117(6): 48–55

Saha, L. 2014. Irritable bowel syndrome: Pathogenesis, diagnosis, treatment, and

evidence-based medicine. World Journal of Gastroenterology. 20(22).

6759-6773

Anda mungkin juga menyukai