“SWAMEDIKASI KASUS 1”
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kasus Praktis
Dosen Pengampu :
Disusun oleh :
2.1 Swamedikasi
Pengobatan sendiri (self medication) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan
masyarakat untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit sebelum mereka memutuskan mencari
pertolongan ke pusat pelayanan kesehatan/petugas kesehatan (Depkes RI, 2008). Mengobati diri
sendiri atau yang lebih dikenal dengan swamedikasi berarti mengobati segala keluhan dengan
obat-obatan yang dapat dibeli bebas di apotek atau toko obat dengan inisiatif atau kesadaran diri
sendiri tanpa nasehat dokter. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, 35,2%
rumah tangga menyimpan obat untuk swamedikasi (Kemenkes RI, 2015).
Swamedikasi biasanya dilakukan untuk mengatasi keluhan-keluhan dan penyakit ringan
yang banyak dialami masyarakat, seperti demam, nyeri, pusing, batuk, influenza, sakit maag,
kecacingan, diare, penyakit kulit dan lain-lain (Depkes RI, 2006). Salah satu penyebab tingginya
tingkat swamedikasi adalah perkembangan teknologi informasi via internet. Alasan lain adalah
karena semakin mahalnya biaya pengobatan ke dokter, tidak cukupnya waktu yang dimiliki
untuk berobat, atau kurangnya akses ke fasilitas–fasilitas kesehatan Swamedikasi harus
dilakukan sesuai dengan penyakit yang dialami, pelaksanaannya sedapat mungkin harus
memenuhi kriteria penggunaan obat yang rasional. Kriteria obat rasional antara lain ketepatan
pemilihan obat, ketepatan dosis obat, tidak adanya efek samping, tidak adanya kontraindikasi,
tidak adanya interaksi obat, dan tidak adanya polifarmasi (Suherman, 2019).
2.2 Irritable Bowel Syndrome (IBS)
IBS adalah kelainan fungsional usus kronis berulang dengan nyeri atau rasa tidak nyaman
abdomen yang berkaitan dengan defekasi atau perubahan kebiasaan buang air besar setidaknya
selama 3 bulan. Rasa kembung, distensi, dan gangguan defekasi merupakan ciri-ciri umum IBS.
Untuk membedakan IBS dari gejala gastrointestinal lain, digunakan kriteria Roma III, yaitu
Nyeri abdomen atau sensasi tidak nyaman berulang paling tidak selama 3 hari dalam satu bulan
pada 3 bulan terakhir dengan 2 atau lebih gejala berikut:
Perbaikan dengan defekasi
Onset terkait dengan perubahan frekuensi buang air besar
Onset terkait dengan perubahan bentuk atau tampilan feses.
Prevalensi IBS cenderung meningkat di negara industri dibandingkan di negara berkembang.
Prevalensi di India 4,2% sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara di Amerika Utara
yaitu 10-15%. Prevalensi IBS di Asia diperkirakan 3,5-25%, terendah di Iran, dan tertinggi di
Jepang. Penelitian terakhir melaporkan prevalensi IBS di negaranegara Asia berkisar 4-20%, dan
di komunitas India bagian utara adalah 4%. Di Indonesia belum ada data nasional, namun untuk
wilayah Jakarta, dari 304 kasus gangguan pencernaan yang tergabung dalam penelitian Asian
Functional Gastrointestinal Disorder Study (AFGID) tahun 2013, dilaporkan angka kejadian
konstipasi fungsional 5,3% dan angka kejadian IBS tipe konstipasi sebesar 10,5%. Prevalensi
IBS pada wanita sekitar 1,5-2 kali prevalensi pada laki-laki. IBS dapat terjadi pada semua
kelompok umur dengan mayoritas pada usia 20-30 tahun dan cenderung menurun seiring
bertambahnya usia.
Patofisiologi IBS belum sepenuhnya dipahami, dapat disebabkan oleh berbagai faktor
meliputi diet, mutasi gen, faktor psikososial (stres kronis), infeksi enterik, dan sistem kekebalan
tubuh. Respons stres akan mengaktivasi aksis hipotalamus pituitari-adrenal (HPA) dan sistem
autonom. Ansietas kronis akan meningkatkan aktivitas amygdala untuk menstimulasi aksis HPA
yang menginduksi hiperalgesia visceral. Hipersensitivitas viseral merupakan salah satu faktor
utama yang mencetuskan gejala pada IBS dan berperan pada patofisiologi IBS. Beberapa
penelitian menunjukkan ketidakseimbangan fungsi 5HT (hidroksi-triptamin) karena gangguan
sekresi dan ambilan kembali oleh SERT (serotonin reuptake transporter) pada gangguan
gastrointestinal fungsional, terutama pada pasien IBS. Serotonin disintesis dan disekresi oleh sel
enterokromafin sistem gastrointestinal dan berperan pada regulasi motilitas, sensasi, dan sekresi
gastrointestinal. Pelepasan serotonin yang berlebihan akan diangkut oleh sistem SERT. Efek
fisiologis serotonin subtipe 5HT3 dan 5HT4 memicu perbaikan pasien IBS-C, sedangkan 5HT3
sendiri memiliki efek antidiare yang akan berguna pada IBS-D.2,15-18 Pada sekitar 3-35%
pasien gejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan setelah infeksi sistem gastrointestinal. Secara
khusus ditemukan sel inl amasi mukosa terutama sel mast di beberapa bagian duodenum dan
kolon.
Peningkatan pelepasan mediator seperti nitric oxide, interleukin, histamin, dan protease
menstimulasi sistem saraf enterik; mediator yang dikeluarkan menyebabkan gangguan motilitas,
sekresi serta hiperalgesia sistem gastrointestinal. Jumlah flora Lactobacillus dan Enterococci di
lambung hingga kolon ascenden tidak sebanyak di bagian distal kolon yang mencapai 1012 per
mL. Beberapa penelitian menyebutkan adanya hubungan antara flora mikrobial pada sistem
gastrointestinal dan IBS. Perubahan kuantitas dan kualitas bakteri dapat memberikan efek
disfungsi motoriksensorik, perubahan ini dapat dipengaruhi oleh malabsorbsi asam bilier, iritasi
mukosa, inl amasi, peningkatan fermentasi makanan, dan produksi gas.
Peningkatan jumlah Lactobacilli coliform dan Bifidobacteria pada feses dilaporkan pada
pasien IBS, hal ini dapat menjadi alasan penggunaan probiotik pada pentalaksanaan IBS. Peran
faktor genetik pada prevalensi IBS di tunjukkan pada beberapa penelitian, bahwa anggota
keluarga pasien IBS juga mempunyai keluhan gastrointestinal yang mirip.
Gejala pada pasien Irritable Bowel Syndrome (IBS) antara lain:
1. Keluhan
a. Deskripsi Nyeri
Gejala utama meliputi pola nyeri atau sensasi tidak nyaman, yang berasal dari
gangguan fungsi saluran cerna dan perubahan pola defekasi. Nyeri berkurang
setelah defekasi atau berkaitan dengan perubahan konsistensi feses. Nyeri
tanpa kondisi tersebut harus dipertimbangkan sebagai kondisi neoplasma,
infeksi saluran pencernaan, penyakit urogenital.
b. Nyeri konstan
Nyeri konstan yang tidak membaik dengan defekasi merefleksikan nyeri
neoplastik atau karena sindrom nyeri abdomen fungsional. Hal ini umumnya
berkaitan dengan masalah psikiatri kompleks meliputi kemungkinan gangguan
personal.
c. Gangguan defekasi
Diare pada IBS umumnya terutama pagi hari dan setelah makan. Volume
diare yang masif, berdarah, dan nokturnal merupakan gejala yang tidak terkait
IBS, dan lebih mengarah pada gangguan organik. Konstipasi pada IBS
ditandai dengan feses berbentuk seperti pil, dan pasien akan sulit defekasi.
2. Faktor Psikologis
Setidaknya dua pertiga pasien IBS dirujuk ke ahli gastroenterologi dengan stres
psikologis, paling sering anxietas. Stresor (anxietas) penting untuk diidentifikasi
karena dapat mengganggu respons terapi. Gejala klinis sering kali merupakan
manifestasi somatisasi.
3. Faktor Keluarga
Hal penting adalah riwayat keluarga dengan penyakit Inl ammatory Bowel Disease
atau keganasan kolorektal, terutama pada usia kurang dari 50 tahun. Investigasi lebih
lanjut untuk menyingkirkan penyebab organik.
4. Faktor Diet
Pasien IBS dapat mencoba berbagai bentuk manipulasi diet yang mungkin menyebab
kan kecukupan gizinya tidak adekuat. Beberapa penelitian menunjukkan gangguan
makan sering dijumpai pada penderita IBS dan kondisi ini dapat memperburuk
keadaan pasien.
5. Faktor Presipitasi dan Eksaserbasi
Faktor menstruasi atau obat seperti antibotik, anti inl amasi non-steroid, atau statin
dapat memicu eksaserbasi. Episode eksaserbasi juga dipicu oleh stres. Merokok dan
alkohol tidak mempengaruhi IBS.
6. Tanda Bahaya
Perdarahan rektal, anemia, penurunan berat badan, gejala nokturnal, riwayat keluarga
dengan keganasan kolorektal, abnormalitas pemeriksaan i sik, penggunaan antibiotik,
onset usia >50 tahun, nyeri abdomen bawah dengan demam, massa abdomen, asites,
membutuhkan evaluasi lebih lanjut sebelum didiagnosis IBS karena kemungkinan
penyakit inflamasi dan neoplastik.
BAB III
Kasus 1:
Seorang perempuan 38 tahun datang ke apotek untuk berkonsultasi tentang penyakit
yang dideritanya yaitu kram perut yang terjadi secara berulang. Beberapa minggu ini pasien
mengatakan jika pekerjaannya menumpuk dan makan telat sehingga makan banyak pada
saat waktu tertentu. Makanan yang dikonsumsi oleh pasien dengan waktu yang tidak banyak
tersebut adalah siomay yang didalamnya terdapat kubis. Setelah itu pasien mengalami buang
air besar keras dan sendawa terus-menerus. Apakah obat yang direkomendasikan oleh
apoteker ?
Pilihan Obat:
1. Dulcolax
Harga Rp 18.700,00
Kandungan Bisacodyl 5 mg
Aturan pakai 1 kali sehari 1 tablet malam sebelum tidur
Indikasi Mengatasi sembelit/konstipasi
Efek Samping Perut terasa tidak nyaman, mual, muntah
Cara Kerja Meningkatkan pergerakan usus, sehingga feses dapat
lebih mudah dikeluarkan oleh tubuh
Dosis Dosis dewasa dan anak usia >10 tahun : 5-10 tablet
dikonsumsi satu kali sehari malam sebelum tidur. Dosis
maksimal 20 mg.
2. Laxing
Harga Rp 4.500,00
Kandungan Cassiae sennae folium, Aloe vera folium, Foeniculi
vulgaris semen
Aturan pakai 1-2 kapsul per hari, diminum sebelum tidur.
Indikasi Laxing merupakan obat tradisional yang terbuat dari
bahan alam untuk menjaga kesehatan pencernaan dan
melancarkan buang air besar (BAB).
Efek Samping Belum terdapat data keamanan untuk obat ini
Cara Kerja Membantu melancarkan buang air besar . Membantu
melunakkan tinja
Dosis Cassiae sennae folium 100 mg, Aloe vera folium 33 mg,
Foeniculi vulgaris semen 20 mg
3. Laxadine
Harga Rp 70.000,00
Kandungan phenolphtalein 55 mg, paraffin liquidum 1200 mg,
glycerin
Aturan pakai malam hari menjelang tidur
Indikasi pelicin jalannya feses (kotoran), penambahan volume
feses (kotoran) secara sistematis sehingga mudah
dikeluarkan
Efek Samping Perut terasa tidak nyaman, mual, muntah
Cara Kerja menginduksi gerakan peristaltik usus dan melunakkan
feses sehingga membantu melancarkan proses Buang Air
Besar (BAB) serta menghambat penyerapan air berlebih
dari feses.
Dosis >12 th: 1 x sehari 1-2 sendok makan, 6-12 th: 1 x sehari
0.5-1 sendok makan
3. Lactulax
Harga Rp 85.000,00
Kandungan Lactulose
Aturan pakai Dapat diberikan bersama atau tanpa makanan.
Indikasi obat pencahar untuk mengatasi konstipasi.
Efek Samping Flatulensi, mual, muntah, diare (pada dosis tinggi).
Cara Kerja Kandungan laktulosa dapat membantu melunakkan tinja
dan membuatnya lebih mudah untuk dikeluarkan.
Dosis Dewasa 1 sendok makan (15 mL).
Swamedikasi
Jenis Kelamin P / L *)
Usia 38 Tahun
datang
Gejala yang diderita Keluhan : kram perut, sendawa terus menerus, sulit buang air besar
Riwayat alergi -
Riwayat peyakit Ya / tidak*)
sebelumnya
OBAT YANG DIBERIKAN :
Diminum sehari 1
Dulcolax Bisacodyl 5 kali 1 tablet, BC223344 31 Desember 2025
mg malam sebelum
tidur
Apoteker
Muliyani M, Isnani N and Auliya Syafitri N (2021) Gambaran Penggunaan Swamedikasi Obat
Sistem Pencernaan Di Apotek Formula Banjarmasin. Jurnal Insan Farmasi Indonesia 4(2):
275–283. DOI: 10.36387/jifi.v4i2.832.
Suherman H (2019) Pengaruh Faktor Usia, Jenis Kelamin, Dan Pengetahuan Terhadap
Swamedikasi Obat. Viva Medika: Jurnal Kesehatan, Kebidanan dan Keperawatan 10(2):
94–108. DOI: 10.35960/vm.v10i2.449.