DISPEPSIA
DISUSUN OLEH :
1 0
BAB I
PENDAHULUAN
Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang
berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang,
rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum
dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter
ahli Gastroenterologi.1 Gejala–gejala yang timbul disebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup
merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi yang relevan dengan
terjadinya dyspepsia.2
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah
jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa
ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun
gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya
tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau
tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.3
Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi
fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis
menimbulkan gangguan keseimbangan saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian
(vegetatif imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun
( psiko– neuro-imun-endokrin), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus dan
menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons
lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar. Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara
langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu :
mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa
nyeri.4
1 0
Suatu studi dilakukan kepada 38 pasien dengan dispepsia fungsional, diperoleh sebanyak
26 orang (68%) mengalami kejadian hidup yang tidak diinginkan, 35 orang (92%) mengalami
kecemasan, dan sebanyak 38 orang (100%) mengalami depresi. Secara statistik peristiwa hidup
yang tidak diinginkan dan depresi tidak berhubungan dengan dispepsia fungsional. Namun kasus
kecemasan secara statistik berhubungan dengan dispepsia fungsional.5
Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi oleh dispepsia berkisar
antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia rawat inap di rumah
sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar sudah menempati peringkat ke-10
untuk kategori penyakit terbanyak pasien 1,59%. Sedangkan insiden kasus dispepsia kategori
non-ulcer (dispepsia fungsional ) di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2011 sebanyak 231
orang.6 Dalam penelitian tertutup yang dilakukan di RSCM disebutkan dari 100 pasien dengan
keluhan dispepsia, 80 % mengalami keluhan dispepsia fungsional.7
Dispepsia fungsional merupakan penyakit psikosomatis yang erat hubungannya dengan
kepribadian seseorang dalam merespon penyakit.4 Suatu studi penelitian oleh Widyasari (2011),
tentang hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dispepsia fungsional
menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan
dispepsia fungsional. Kepribadian dalam penelitian ini dilihat berdasarkan the big five
personality yang dikembangkan oleh McCrae. Big five personality meliputi extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuroticsm serta openness to experience.8
Data 2014, menunjukan peningkatan pasien rawat jalan yang datang berobat ke poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Umum Sakit Umum Pusat Sanglah khususnya bagian
Gastroenterohepatologi selama periode Januari sampai Desember tahun 2014 yaitu sebesar 647
pasien, dimana 370 pasien yang datang dengan keluhan dispepsia, dan sebanyak 39,21 % yaitu
120 pasien didiagnosis dengan dispepsia fungsional setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi,
sehingga dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk
mengetahui pengaruh Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional terutama pada
pasien rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.
1 0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam
mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang
atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan
atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal).9
Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan
pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria
Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan
struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Definisi lain dari dispepsia
fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat
gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya
oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang
gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis
pasien tampak kesakitan.2
Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia dibagi atas
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah
jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan
secara mudah. Dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati
kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukan adanya
kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.10
1 0
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan
epigastric pain syndrome. Postprandial distresssyndrome mewakili kelompok dengan “perasaan
begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti
halnya postprandial distress syndrome.4
Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi, yakni
postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres syndrome
mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang
sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan
tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.
Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
Dispepsia Fungsional
Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat
keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian
1 0
atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan
sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)
1 0
2.3. Epidemiologi
Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan.
Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering
didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia karena
kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia
mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi
harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan
dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan.11
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua
penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut studi
berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional
dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010,
dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh
kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.12
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan
perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1
di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura.
Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus
meningkat pada usia pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang
menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1.13
Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara
signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur
25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur
55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur
kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik
seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi dispepsia .
Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar
60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology.14
1 0
2.4. Patofisiologi Dispepsia Fungsional
1 0
lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian
bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.
2.4.3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit mengiritasi
seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini
bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
2.4.4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat
menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan keseimbangan
sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata
memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan
menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup
seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan
asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
2.4.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui
poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan
kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis
anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan
merangsang produksi asam lambung.16
2.4.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem
limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf
otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.
Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf
simpatis yang mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus
vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus
1 0
vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara
merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan
dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan
kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis
maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau
norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap
maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada
beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter
menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung yang dipersarafinya baik
peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dyspepsia.17
2.4.7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai
input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer
Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila
terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin
hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative.
Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan
ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya
reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida
dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun
seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada
organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini
berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus
peptikum atau duodenum.16
10
1 0
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di
perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, atau
bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa
kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia
fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan
b) epigastric pain syndrome.2
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah
gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial distres syndrome) atau lebih
didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome). 2
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti
klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul dengan
satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial
distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain
menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak
berhubungan dengan postprandial distres syndrome. 2
Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri
dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik
atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah
dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by
exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan
yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi.2 Roma III memberikan kriteria diagnostik
untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:
11
1 0
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
· Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
· Rasa cepat kenyang.
· Nyeri epigastrium.
· Rasa terbakar di epigastrium. dan
· Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas)
yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum
diagnosis.
(Diterjemahkan dari Chang, 2006).
12
1 0
sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga
golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif.18
13
1 0
2.7.2. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan dispepsia
fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan
Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional
: antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI),
Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-
obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun
pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian
farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan
ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi.19
14
1 0
15
1 0
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSU Bhakti Rahayu pada tanggal 09 Juni
2022 pukul 11.45 WITA.
16
1 0
3.3 PEMERIKSAAN FISIK
STATUS GENERALIS
● Mata : pupil ODS bulat, isokor, diameter 3-4 mm, CA (-/-), SI (-/-)
● Hidung: Bentuk normal, rhinorrhea (-/-), sekret (-/-)
● Telinga: ukuran dan bentuk normal, liang lapang, tidak tampak kelainan
● Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
● Leher : Letak trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
● Jantung
● Inspeksi: Pulsasi ictus cordis tidak tampak
● Palpasi: Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
● Perkusi: Redup, batas jantung normal
● Auskultasi: BJ I & II dalam batas normal
● Paru
● Inspeksi: Dinding thorax normal, simetris kanan/ kiri saat inspirasi dan ekspirasi,
retraksi (-/-)
Palpasi: Stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
17
1 0
Abdomen
Inspeksi: dinding abdomen datar
Perkusi: timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi: bising usus (+) normal
Palpasi: supel, distensi (-), defens muskuler (-), nyeri tekan epigastrium (+)
Ekstremitas: Superior et inferior, dextra et sinistra tidak tampak deformitas, akral hangat,
tidak ada edema, CRT <2 detik
Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba membesar
Telah diperiksa pasien perempuan usia 52 tahun dengan keluhan mual dan muntah
>10x/sehari.Keluhan disertai dengan rasa lemas, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati dan sakit
kepala. Pasien memiliki sudah minum obat gastrucid tapi keluhan tidak membaik. Pada
18
1 0
pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, E4V5M6, TD
130/80 mmHg, HR 84x/mnt, RR 18x/mnt, suhu 36.4, BB 50 kg, TB 150 cm, IMT 22.2 (normal).
Pemeriksaan system didapatkan nyeri tekan pada epigastrium. Berdasarkan pemeriksaan lab
tidak ada kelainan.
3.6 DIAGNOSA
Diagnosa Klinis : sindrom dispepsia
Diagnosa Banding :
- Dispepsia organi
- Dispepsia fungsional
Diagnosa Tambahan : low intake
3.7 TATALAKSANA
Terapi Farmakologis
- IVFD RL 30tpm
- Ondancentron 3x4mg IV
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 650mg 3x1 PO
Terapi Non-Farmakologis
- KIE pasien untuk makan dan minum sedikit-sedikit tapi sering
- KIE pasien untuk menghindari makanan yang pedas dan asam serta menghindari minum
kopi atau the
3.8 PROGNOSIS
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad fungtionam : dubia ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad bonam
3.9 FOLLOW UP
19
1 0
10/6/2022
S : Pasien mengeluh mual (+) berkurang, nyeri uluhati sudah berkurang skala 2 (0-10).
O: KU : baik
TD : 130/80mmhg
S. : 36,8
N . : 86x/mnt
RR : 20x/mnt
A: Dispepsia + low intake
P:
- IVFD RL 30tpm
- Ondancentron 3x4mg IV
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 650mg 3x1 PO
11/6/2022
S : Pasien mengatakan masih merasakan sakit kepala
O: KU : baik
TD : 125/80mmhg
S. : 36,1
N . : 80x/mnt
RR : 18x/mnt
A: Dispepsia + low intake
P:
- IVFD RL 30tpm
- Ondancentron 3x4mg IV
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 650mg 3x1 PO
- Pasien boleh pulang
Obat pulang :
- Paracetamol 3x650mg PO
- Ondancetron 3x4mg AC PO K/P
20
1 0
somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioter
merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk me
12
13
1 0
2.7.2. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik
fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan d
Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan
: antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA),
Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, o
obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, anti
pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu ke
farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan
ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi.19
14
1 0
1 0
15
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSU Bh
2022 pukul 11.45 WITA.
16