Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

DISPEPSIA

DISUSUN OLEH :

DR. MUHAMMAD ALKADRI ANUGRAH

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT BHAKTI RAHAYU DENPASAR

PERIODE MEI – NOVEMBER 2022

1 0
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dispepsia merupakan kumpulan gejala berupa rasa nyeri atau ketidaknyamanan yang
berpusat di perut bagian atas. Rasa tidak nyaman secara spesifik meliputi rasa cepat kenyang,
rasa penuh, rasa terbakar, kembung di perut bagian atas dan mual. Gejala tersebut bersifat umum
dan merupakan 30% sampai 40% dari semua keluhan lambung yang disampaikan kepada dokter
ahli Gastroenterologi.1 Gejala–gejala yang timbul disebabkan berbagai faktor seperti gaya hidup
merokok, alkohol, berat badan berlebih, stres, kecemasan, dan depresi yang relevan dengan
terjadinya dyspepsia.2
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah
jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan cholelithiasis yang bisa
ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi, biokimia, laboratorium, maupun
gastroentrologi konvensional (endoskopi). Sedangkan dispepsia fungsional apabila penyebabnya
tidak diketahui atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau
tidak ditemukan adanya kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.3
Interaksi faktor psikis dan emosi seperti kecemasan atau depresi dapat mempengaruhi
fungsi saluran cerna melalui mekanisme brain – gut – axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis
menimbulkan gangguan keseimbangan saraf otonom simpatis dan parasimpatis secara bergantian
(vegetatif imbalance). Stimulasi stresor juga mempengaruhi fungsi hormonal, sistem imun
( psiko– neuro-imun-endokrin), serta HPA Axis melalui pelepasan CRH dari hipotalamus dan
menyebabkan penurunan regulasi reseptor CRH hipofisis. Akibatnya hipofisis tidak berespons
lagi atau responnya terhadap stresor menjadi datar. Ketidakseimbangan jalur-jalur tersebut secara
langsung atau tidak langsung, terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, yaitu :
mempengaruhi sekresi asam lambung, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa
nyeri.4

1 0
Suatu studi dilakukan kepada 38 pasien dengan dispepsia fungsional, diperoleh sebanyak
26 orang (68%) mengalami kejadian hidup yang tidak diinginkan, 35 orang (92%) mengalami
kecemasan, dan sebanyak 38 orang (100%) mengalami depresi. Secara statistik peristiwa hidup
yang tidak diinginkan dan depresi tidak berhubungan dengan dispepsia fungsional. Namun kasus
kecemasan secara statistik berhubungan dengan dispepsia fungsional.5
Prevalensi dispepsia di seluruh dunia cenderung mengalami peningkatan yang cukup
signifikan. Populasi orang dewasa di negara barat yang dipengaruhi oleh dispepsia berkisar
antara 14-38%. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia 2007, dispepsia rawat inap di rumah
sakit tahun 2006 dengan jumlah pasien 34.029 atau sekitar sudah menempati peringkat ke-10
untuk kategori penyakit terbanyak pasien 1,59%. Sedangkan insiden kasus dispepsia kategori
non-ulcer (dispepsia fungsional ) di RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tahun 2011 sebanyak 231
orang.6 Dalam penelitian tertutup yang dilakukan di RSCM disebutkan dari 100 pasien dengan
keluhan dispepsia, 80 % mengalami keluhan dispepsia fungsional.7
Dispepsia fungsional merupakan penyakit psikosomatis yang erat hubungannya dengan
kepribadian seseorang dalam merespon penyakit.4 Suatu studi penelitian oleh Widyasari (2011),
tentang hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan dispepsia fungsional
menemukan bahwa ada hubungan antara kecemasan dan tipe kepribadian introvert dengan
dispepsia fungsional. Kepribadian dalam penelitian ini dilihat berdasarkan the big five
personality yang dikembangkan oleh McCrae. Big five personality meliputi extraversion,
agreeableness, conscientiousness, neuroticsm serta openness to experience.8
Data 2014, menunjukan peningkatan pasien rawat jalan yang datang berobat ke poliklinik
Penyakit Dalam Rumah Umum Sakit Umum Pusat Sanglah khususnya bagian
Gastroenterohepatologi selama periode Januari sampai Desember tahun 2014 yaitu sebesar 647
pasien, dimana 370 pasien yang datang dengan keluhan dispepsia, dan sebanyak 39,21 % yaitu
120 pasien didiagnosis dengan dispepsia fungsional setelah dilakukan pemeriksaan endoskopi,
sehingga dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian untuk
mengetahui pengaruh Big Five personality traits dengan dispepsia fungsional terutama pada
pasien rawat jalan di poliklinik Penyakit Dalam di RSUP Sanglah Denpasar.

1 0
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Dispepsia

Kata dispepsia berasal dari Bahasa Yunani dys (bad = buruk) dan peptein (digestion=
pencernaan). Jika digabungkan dispepsia memiliki arti indigestion yang berarti sulit atau
ketidaksanggupan dalam mencerna. Jadi dispepsia didefinisikan sebagai kesulitan dalam
mencerna yang ditandai oleh rasa nyeri atau terbakar di epigastrium yang persisten atau berulang
atau rasa tidak nyaman dari gejala yang berhubungan dengan makan (rasa penuh setelah makan
atau cepat kenyang – tidak mampu menghabiskan makanan dalam porsi normal).9
Pada dispepsia organik ditemukan adanya suatu kelainan struktural setelah dilakukan
pemeriksaan endoskopi, Sedangkan definisi dispepsia fungsional berdasarkan konsensus kriteria
Roma III, harus memenuhi satu atau lebih gejala tersebut, serta tidak ada bukti kelainan
struktural melalui pemeriksaan endoskopi, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir,
dengan awal gejala sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Definisi lain dari dispepsia
fungsional adalah penyakit yang bersifat kronik, gejala yang berubah-ubah, mempunyai riwayat
gangguan psikiatrik, nyeri yang tidak responsif dengan obat-obatan, dapat ditunjukkan letaknya
oleh pasien, serta secara klinis pasien tampak sehat, berbeda dengan dispepsia organik yang
gejala cenderung menetap, jarang mempunyai riwayat gangguan psikiatri, serta secara klinis
pasien tampak kesakitan.2

2.2. Klasifikasi Dispepsia

Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia dibagi atas
dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab dispepsia sudah
jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan
secara mudah. Dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati
kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukan adanya
kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik.10

1 0
Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni postprandial distress syndrome dan
epigastric pain syndrome. Postprandial distresssyndrome mewakili kelompok dengan “perasaan
begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome
merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti
halnya postprandial distress syndrome.4

Menurut Kriteria Roma III dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 klasifikasi, yakni
postprandial distres syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial distres syndrome
mewakili kelompok dengan perasaan “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang
sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan dirasakan dan
tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya postprandial distress syndrome.
Klasifikasi dispepsia fungsional seperti disajikan pada table 2.1 dibawah ini :
Tabel 2.1. Klasifikasi Dispepsia Fungsional menurut Roma III
Dispepsia Fungsional
Postprandial Distres Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah makan dengan porsi biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu menghabiskan porsi makan biasa,
sedikitnya terjadi beberapa kali seminggu
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual setelah makan atau
bersendawa yang berlebihan
2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium.
Epigastric Pain Syndrome
Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:
1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium dengan tingkat
keparahan moderat/sedang, paling sedikit terjadi sekali dalam seminggu
2. Nyeri timbul berulang
3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada selain daerah perut bagian

1 0
atas/epigastrium
4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angin
5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis kelainan kandung empedu dan
sfingter Oddi
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan
awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.
Kriteria penunjang
1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa menjalar ke daerah retrosternal
2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan, namun mungkin timbul saat
puasa
3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distres setelah makan.
(Diambil dari Appendix B: Roma III. 2010)

1 0
2.3. Epidemiologi

Dispepsia merupakan masalah umum yang sering ditemukan pada klinik pengobatan.
Ketika pasien selama pengobatan mempunyai gejala tanpa penyebab yang jelas sering
didiagnosa non-ulcer dispepsia. Beberapa laporan menyebutkan presentase dispepsia karena
kelainan organik sekitar 25%-33% dan 67%-75% tanpa penyebab yang jelas. Di seluruh dunia
mempunyai prevalensi sekitar 10%- 40%. Hal itu menunjukan bahwa diagnosis dan evaluasi
harus segera dilakukan. Keterlambatan diagnosis akan menyebabkan pasien dalam penderitaan
dan peningkatan biaya pemeliharaan kesehatan.11
Prevalensi dispepsia fungsional bervariasi mulai 7%-45% di seluruh dunia dan semua
penelitian epidemiologi selalu mengacu pada klasifikasi kriteria Roma III. Menurut studi
berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional
dari 1,9% pada tahun 1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003. Sedangkan pada tahun 2010,
dispepsia fungsional dilaporkan memiliki tingkat prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh
kunjungan ke sarana layanan kesehatan primer.12
Beberapa penelitian yang dilakukan dalam beberapa populasi hasilnya menunjukkan
perbandingan wanita lebih banyak menderita dispepsia fungsional daripada laki-laki yaitu 1,4 : 1
di Hongkong, 1,12 : 1,04 di Korea, 1,35 : 1,15 di Malaysia dan 1,16 : 1,01 di Singapura.
Sedangkan pada ulkus peptikum perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1. Insiden ulkus
meningkat pada usia pertengahan (Pulanic, 2011). Namun, suatu penelitian di Jepang
menunjukkan perbandingan prevalensi lebih besar pada laki-laki daripada wanita yaitu 2:1.13
Prevalensi dispepsia fungsional berdasarkan kriteria umur ditemukan meningkat secara
signifikan yaitu : 7,7% pada umur 15-17 tahun, 17,6% pada umur 18-24 tahun, 18,3% pada umur
25-34 tahun, 19,7% pada umur 35-44 tahun, 22,8% pada umur 45-54 tahun, 23,7% pada umur
55-64 tahun, dan 24,4% pada umur di atas 65 tahun (Brun & Kuo, 2010). Menurut penelitian
yang dilakukan oleh Ambarwati (2005), di FKUI-RSCM ditemukan bahwa rentang umur
kunjungan pasien ke Poliklinik Penyakit Dalam adalah 15 sampai 70 tahun. Variabel demografik
seperti tingkat sosial atau derajat urbanisasi tidak mempengaruhi prevalensi dispepsia .
Berdasarkan data dari berbagai rumah sakit di Indonesia frekwensi dispepsia fungsional sekitar
60%-70% dari seluruh pasien yang masuk ke Bagian Gastroenterology-hepatology.14

1 0
2.4. Patofisiologi Dispepsia Fungsional

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus peptikium masih


belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia
fungsional merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak
bukti dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi
menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H.
Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan perubahan-
perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom vegetatif, sistem
neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan
akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi
dan tekanan defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus
lambung, sekresi HCO3).15
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori dibawah ini15 :
2.4.1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini masih
terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi. Studi populasi
yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia
fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi lambung jika lambung dalam
keadaan kosong pada jangka waktu yang cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan penebalan
otot dinding lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot
bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat
akan membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2.4.2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian pula
pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir
menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab terhadap sindrom
dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi, baik saat mencerna
makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus

1 0
lambung menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks vagal. Pada
beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak berfungsi dengan baik sehingga pengisian
bagian antrum terlalu cepat. Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.
2.4.3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit mengiritasi
seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini
bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.
2.4.4. Faktor Psikososial
Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata memang dapat
menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang berakibat kepada gangguan keseimbangan
sistem saluran cerna, sehingga terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata
memberikan manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai kortisol akan
menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu juga dengan perubahan gaya hidup
seperti kurang olahraga, merokok, dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan
asam lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya dyspepsia (Micut, 2012).
2.4.5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui
poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan
kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis
anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan
merangsang produksi asam lambung.16
2.4.6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif
Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks serebri ke sistem
limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf
otonom terdiri dari dua subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.
Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter acetylcholine oleh Sistem saraf
simpatis yang mengakibatkan peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan
sistem saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi oleh nervus
vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus

1 0
vagus menuju organ yang dipersarafi secara langsung yaitu : mempersarafi lambung dengan cara
merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang akhirnya memunculkan keluhan
dispepsia bila terjadi difungsi persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan
kegagalan relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan, sehingga
menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang. Serat-serat saraf simpatis
maupun parasimpatis juga mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau
norepinefrin. Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi presinap
maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga menimbulkan efek eksitasi pada
beberapa organ tetapi menimbulkan efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ
lambung. Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua neurotransmitter
menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada organ lambung yang dipersarafinya baik
peningkatan maupun penurunan aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dyspepsia.17
2.4.7. Perubahan Dalam Sistem Imun
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai
input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer
Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA), bila
terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi disregulasi dari sistem endokrin
hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan dari mekanisme umpan balik negative.
Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem
noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan peningkatan pelepasan
ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu akibat pelepasan neuropeptida dan adanya
reseptor neuropeptida pada limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida
dan reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun
seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada
organ lambung dengan manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini
berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia organik berupa ulkus
peptikum atau duodenum.16

2.5. Manifestasi Klinis Dispepsia Fungsional

10

1 0
Manifestasi klinis pada sindrom dispepsia antara lain rasa nyeri atau ketidaknyamanan di
perut, rasa penuh di perut setelah makan, kembung, rasa kenyang lebih awal, mual, muntah, atau
bersendawa. Pada dispepsia organik, kecenderungkan keluhan tersebut menentap, disertai rasa
kesakitan dan jarang memiliki riwayat psikiatri sebelumnya. Sedangkan pada dispepsia
fungsional terdapat dua pola yang telah ditentukan adalah: a) postprandial distres syndrome, dan
b) epigastric pain syndrome.2
Kriteria Roma III menjelaskan dua pola dispepsia yang berbeda tergantung pada apakah
gejala tersebut terutama berkaitan dengan asupan makanan dan atau berkaitan dengan
ketidakmampuan untuk menyelesaikan makan (postprandial distres syndrome) atau lebih
didominasi oleh rasa sakit (epigastric pain syndrome). 2
Sementara pola ini dikembangkan lebih berdasarkan kepada pendapat ahli daripada bukti
klinis, beberapa data yang mendukung relevansi klinis untuk perbedaan ini mulai muncul dengan
satu penelitian misalnya, menunjukkan bahwa kecemasan berhubungan dengan postprandial
distres syndrome tetapi tidak berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan yang lain
menunjukkan bahwa genetik berhubungan dengan epigastric pain syndrome dan tidak
berhubungan dengan postprandial distres syndrome. 2

2.6. Kriteria Diagnosis Dispepsia Fungsional

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah adanya nyeri
dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila ditemukan adanya kelainan organik
atau struktural organ lambung, perlu dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik,
sedangkan bila tidak ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah
dispepsia fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by
exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan tidak ada kelainan
yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi.2 Roma III memberikan kriteria diagnostik
untuk dispepsia fungsional seperti table 2.2 berikut:

Tabel 2.2. Kriteria Diagnostik Roma III untuk Dispepsia Fungsional


Dispepsia Fungsional

11

1 0
Memenuhi salah satu gejala atau lebih dari:
· Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.
· Rasa cepat kenyang.
· Nyeri epigastrium.
· Rasa terbakar di epigastrium. dan
· Tidak ada bukti kelainan struktural (termasuk hasil endoskopi saluran cerna bagian atas)
yang mungkin dapat menjelaskan timbulnya gejala.
Kriteria terpenuhi selama minimal 3 bulan, dengan onset gejala minimal 6 bulan sebelum
diagnosis.
(Diterjemahkan dari Chang, 2006).

2.7. Penatalaksanaan Dispepsia Fungsional

Penatalaksanaan dispepsia awal terdiri dari pengkajian riwayat penyakit untuk


mengetahui semua gejala dispepsia sangat penting untuk mengetahui apa masalah utama dari
pasien. Hal ini penting karena penatalaksanaan dispepsia bertujuan untuk mengendalikan gejala
daripada pengobatan permanen penyakitnya. Pemeriksaan fisik yang lengkap untuk
menyingkirkan adanya gangguan struktural seperti pemeriksaan endoskopi sangatlah diperlukan.
Langkah selanjutnya adalah menentukan tujuan dari terapi. Langkah ini harus memperhatikan
tujuan dasar dilakukannya pengobatan yaitu tidak hanya mencegah kematian, tetapi juga
menolong kehidupan. Tujuan terapi pada pasien dispepsia fungsional adalah bagaimana pasien
mampu mengelola kekhawatiran terhadap penyakitnya dan mampu meningkatkan kualitas
kesehatannya (Loyd & McClelan, 2011). Dalam Ilmu Kesehatan Jiwa atau Ilmu Psikiatri
terdapat subspesialisasi Consultation Liaison Psychiatry (CLP) yang mempunyai peranan
menjembatani Bagian Psikiatri dengan Bagian Spesialisasi lainnya atau sebaliknya. CLP
bertujuan memberikan pelayanan yang holistik, tidak hanya kesembuhan penyakit secara fisik
namun juga meliputi kesehatan mental serta kualitas hidup pasien. Secara umum pengobatan
gangguan dispepsia fungsional dengan pendekatan CLP dibagi menjadi 3 golongan besar, yaitu :
somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pembagian tersebut hanyalah
merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk mempermudah pemikiran. Manusia

12

1 0
sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak dapat terpisahkan menuntut ketiga
golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bersamaan dan komprehensif.18

2.7.1 Consultation Liaison Psychiatry (CLP)


Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan subspesialis dari psikiatri yang
berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan spesialis
medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri dengan
disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk membantu penanganan komorbiditas
psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien yang mengalami keluhan dispepsia. Jadi
CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik
(Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi
yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal interaksi antara obat psikotropik dan medis
lainnya.18
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan dispepsia fungsional18 :
1. Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan internist. Hubungan ini menjadi lebih
penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan bentuk dasar dari laporan pribadi
antara dokter selama proses konsultasi.
2. Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pasien, terutama setelah dilakukan
pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya suatu kelainan structural.
3. Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi pasien dispepsia.melalui kerjasama
yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperawatan, psikiater dapat memperluas
perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang terlibat dalam perjalanan diagnosis
dan perawatan dari pasien dyspepsia
4. Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien dispepsia. Konsultasi yang sederhana
tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan, CLP harus mengikuti seluruh
perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hubungan dilakukan.
5. Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis dan intrakeluarga. Hubungan
psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertimbangkan keuntungan bagi pasien
dan keluarga.
6. Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.” Psikiater liaison dapat menolong
penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan kesehatan mutakhir

13

1 0
2.7.2. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik, penanganan gangguan dispepsia
fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan disiplin Ilmu Penyakit Dalam dan
Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan pada pasien dispepsia fungsional
: antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA), Proton pump inhibitors (PPI),
Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, obat-obat anti H. Pylori, dan obat-
obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, antianxiety, mood stablizer. Walaupun
pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu kelainan struktural, tetapi pemberian
farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan dispepsia fungsional. Penanganan
ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi.19

2.7.3. Penanganan Secara Psikoterapi


Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP adalah psikoterapi, ada beberapa
langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien, yakinkan bahwa tidak terdapat
gangguan organik pada diri pasien, bila perlu lakukan pemeriksaan fisik yang teliti disertai tes
laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan terangkan mekanisme fisiologi serta
keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepada pasien bahwa keluhannya dapat
dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain yang pernah berobat. Bantu pasien
mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang lebih sehat yang akan bermanfaat.
Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan ketegangan psikis namun dapat
diobati setelah beberapa waktu. Terapi cognitive-Behavior terbukti efektif pada pasien dengan
dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sadar mengenali gejala nyeri pada
daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah cara berpikir mengenai ide- ide
penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, memberikan tehnik relaksasi dan
melakukan pengalihan perhatian.20
2.7.4. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan dan Sosioterapi
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fungsional sebagai bagian dari CLP
adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi ini akan melibatkan orang-orang
terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasangan, keluarga dan kerabat untuk
membantu mewujudkan pola therapeutic community. 20

14

1 0
15

1 0
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


• Nama : Ny. LDN
• Umur : 52 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Alamat : Bali
• Status : Menikah
• Agama : Hindu

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSU Bhakti Rahayu pada tanggal 09 Juni
2022 pukul 11.45 WITA.

3.2.1 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah lebih dari 10x/hari 1 hari sebelum masuk RS.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan memiliki keluhan muntah muntah 3 hari terakhir yang memberat 1 hari
sebelum ke RS. Muntahan berupa makanan bercampur makanan tapi makin lama muntahan
hanya berupa air saja. Pasien muntah setiap makan sehingga pasien tidak nafsu makan dan
minum. Keluhan disertai nyeri ulu hati dan nyeri kepala. Pasien mengatakan sudah berobat
sebelumnya tapi keluhan tidak membaik. Keluhan lain seperti pusing berputar, demam, batuk
dan pilek disangkal.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Dan Alergi


Pasien memiliki riwayat penyakit vertigo dan dyspepsia. Riwayat alergi disangkal.

3.2.4 Riwayat Pengobatan


- Gastrucid

16

1 0
3.3 PEMERIKSAAN FISIK

● Keadaan Umum : tampak sakit ringan


● Kesadaran : compos mentis E4M6V5
● Tekanan Darah : 130/80 mmHg (hipertensi gr I)
● Nadi : 84 kali per menit
● Pernafasan : 18 kali per menit
● Suhu : 36.4 C
● BB/TB : 50/155 cm
● IMT : 22,2 (normal)

STATUS GENERALIS

● Mata : pupil ODS bulat, isokor, diameter 3-4 mm, CA (-/-), SI (-/-)
● Hidung: Bentuk normal, rhinorrhea (-/-), sekret (-/-)
● Telinga: ukuran dan bentuk normal, liang lapang, tidak tampak kelainan
● Mulut : Bibir kering (-), sianosis (-), faring hiperemis (-), tonsil T1/T1
● Leher : Letak trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
● Jantung
● Inspeksi: Pulsasi ictus cordis tidak tampak
● Palpasi: Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
● Perkusi: Redup, batas jantung normal
● Auskultasi: BJ I & II dalam batas normal
● Paru
● Inspeksi: Dinding thorax normal, simetris kanan/ kiri saat inspirasi dan ekspirasi,
retraksi (-/-)
 Palpasi: Stem fremitus kanan dan kiri sama kuat
 Perkusi: Sonor di seluruh lapang paru
 Auskultasi: Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

17

1 0
 Abdomen
 Inspeksi: dinding abdomen datar
 Perkusi: timpani di seluruh lapang abdomen
 Auskultasi: bising usus (+) normal
 Palpasi: supel, distensi (-), defens muskuler (-), nyeri tekan epigastrium (+)
 Ekstremitas: Superior et inferior, dextra et sinistra tidak tampak deformitas, akral hangat,
tidak ada edema, CRT <2 detik
 Kelenjar Getah Bening: Tidak teraba membesar

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah lengkap dan kimia darah IGD RSU Bhakti Rahayu
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 12.4 g/dL 13.0-16.0
Hematokrit 38.6 % 40.0-48.0
Leukosit 4.6 ribu/mm3 4.0-10.0
Trombosit 253 ribu/µL 150-450
Eritrosit 4.42 juta/ µL 4.0-5.0
MCV 87.2 fL 80.0-100.0
MCH 28.1 pg 26.0-34.0
MCHC 32.2 % 32.0-36.0
PDW* 15.3 fL 9.0-13.0
RDW-CV 12.3 % 11.5-14.5
MPV 7.4 fL 7.2-11.1
Basofil 0.3 % 0.0-1.0
Limfosit 23.5 % 20.0-40.0
Monosit 7.2 % 2.0-8.0
Neutrofil 67.9 % 50.0-70.0
Eosinofil 1.1 % 1.0-5.0
Total Basofil 0.01 ribu/µL
Total Limfosit 1.28 ribu/µL
Total Monosit 0.40 ribu/µL
Total Neutrofil 3.69 ribu/µL
Total Eosinofil 0.06 ribu/µL

3.5 RESUME MEDIS

Telah diperiksa pasien perempuan usia 52 tahun dengan keluhan mual dan muntah
>10x/sehari.Keluhan disertai dengan rasa lemas, tidak nafsu makan, nyeri ulu hati dan sakit
kepala. Pasien memiliki sudah minum obat gastrucid tapi keluhan tidak membaik. Pada
18

1 0
pemeriksaan fisik didapatkan tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, E4V5M6, TD
130/80 mmHg, HR 84x/mnt, RR 18x/mnt, suhu 36.4, BB 50 kg, TB 150 cm, IMT 22.2 (normal).
Pemeriksaan system didapatkan nyeri tekan pada epigastrium. Berdasarkan pemeriksaan lab
tidak ada kelainan.

3.6 DIAGNOSA
Diagnosa Klinis : sindrom dispepsia
Diagnosa Banding :
- Dispepsia organi
- Dispepsia fungsional
Diagnosa Tambahan : low intake

3.7 TATALAKSANA
Terapi Farmakologis
- IVFD RL 30tpm
- Ondancentron 3x4mg IV
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 650mg 3x1 PO

Terapi Non-Farmakologis
- KIE pasien untuk makan dan minum sedikit-sedikit tapi sering
- KIE pasien untuk menghindari makanan yang pedas dan asam serta menghindari minum
kopi atau the

3.8 PROGNOSIS
• Ad vitam : dubia ad bonam
• Ad fungtionam : dubia ad bonam
• Ad sanationam : dubia ad bonam

3.9 FOLLOW UP

19

1 0
10/6/2022
S : Pasien mengeluh mual (+) berkurang, nyeri uluhati sudah berkurang skala 2 (0-10).
O: KU : baik
TD : 130/80mmhg
S. : 36,8
N . : 86x/mnt
RR : 20x/mnt
A: Dispepsia + low intake
P:
- IVFD RL 30tpm
- Ondancentron 3x4mg IV
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 650mg 3x1 PO

11/6/2022
S : Pasien mengatakan masih merasakan sakit kepala
O: KU : baik
TD : 125/80mmhg
S. : 36,1
N . : 80x/mnt
RR : 18x/mnt
A: Dispepsia + low intake
P:
- IVFD RL 30tpm
- Ondancentron 3x4mg IV
- Ranitidin 2x1 amp IV
- Paracetamol 650mg 3x1 PO
- Pasien boleh pulang
Obat pulang :
- Paracetamol 3x650mg PO
- Ondancetron 3x4mg AC PO K/P

20

1 0
somatoterapi, psikoterapi, manipulasi lingkungan dan sosioter
merupakan bentuk karya ilmu yang dipergunakan untuk me

12

sebagai makhluk Bio-Psiko-Sosial- Spiritual yang tidak da


golongan penatalaksanaan tersebut untuk dilakukan secara bers

2.7.1 Consultation Liaison Psychiatry (CLP)


Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan
berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sam
medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai p
disiplin ilmu lainnya yaitu : Ilmu Penyakit Dalam untuk mem
1
psikologik, psikiatrik, dan 0psikofisiologik pada pasien yang m
CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran komorbiditas
(Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation Liaison haru
yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal interaksi a
lainnya.18
CLP didasarkan pada enam prinsip dalam penanganan d
1. Hubungan kerja yang erat antara psikiater dan intern
penting dari pada permintaan konsultasi tertulis dan b
antara dokter selama proses konsultasi.
2. Keterlibatan psikiater sejak awal perjalanan terapi pa
pemeriksaan endoskopi dan tidak ditemukan adanya su
3. Keterlibatan dalam seluruh team medis pada terapi p
yang erat dengan tenaga kesehatan sosial dan keperaw
perannya termasuk pengawasan terhadap orang yang t
dan perawatan dari pasien dyspepsia
4. Komitmen untuk mengikuti perjalanan dari pasien disp
tidak cukup. Setelah saran untuk terapi diberikan
perjalanan di rumah sakit, bahkan setelah pemutusan hu
5. Pemahaman terhadap konflik utama intrapsikis
psikoterapi antara pasien dan psikiater dapat mempertim
dan keluarga.
6. Perhatian terhadap fungsi dari “medical ombudsman.”
penerimaan terhadap teknologi dan badan pelayanan ke

13

1 0
2.7.2. Penanganan Secara Farmakologi
Setelah penerapan CLP dapat dijalankan dengan baik
fungsional dapat diberikan secara farmakologi berdasarkan d
Ilmu Psikiatri. Beberapa terapi farmakologi yang bisa diberikan
: antasida, Histamine H2 receptor antagonists (H2RA),
Cytoprotective or mucoprotective agents, Prokinetic agents, o
obat psikotropik antara lain : antipsikotik, antidepressant, anti
pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan adanya suatu ke
farmakologi masih termasuk didalam penanganan gangguan
ini lebih dikenal dengan nama Somatoterapi.19

2.7.3. Penanganan Secara Psikoterapi


Penanganan selanjutnya sebagai bagian dari CLP a
langkah yang bisa ditempuh. Pertama, terangkan pasien,
gangguan organik pada
1 diri
0 pasien, bila perlu lakukan pemeri
laboratorium. Beri kesempatan pasien untuk bertanya dan ter
keterangan tentang gejala-gejala. Kedua, beri penjelasan kepad
dimengerti dan gejala tersebut juga dijumpai pada orang lain y
mengenali permasalahannya dan arahkan ke pola yang leb
Beritahu bahwa gejala tersebut timbul karena kecemasan dan
diobati setelah beberapa waktu. Terapi cognitive-Behavior ter
dispepsia fungsional. Terapi ini membantu pasien secara sa
daerah episgastrium dan keluhan cepat kenyang, mengubah
penyebab nyeri dengan pola pikir yang lebih realitas, m
melakukan pengalihan perhatian.20
2.7.4. Penanganan Secara Manipulasi Lingkungan da
Terapi selanjutnya dalam penanganan dispepsia fung
adalah manipulasi lingkungan dan sosioterapi. Pada terapi
terdekat yang berpengaruh kepada pasien seperti pasanga
membantu mewujudkan pola therapeutic community. 20

14

1 0
1 0
15

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


• Nama : Ny. LDN
1
• Umur : 52 0tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Alamat : Bali
• Status : Menikah
• Agama : Hindu

3.2 ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di IGD RSU Bh
2022 pukul 11.45 WITA.

3.2.1 Keluhan Utama


Pasien datang dengan keluhan mual dan muntah lebih dari 1
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengatakan memiliki keluhan muntah muntah 3 ha
sebelum ke RS. Muntahan berupa makanan bercampur mak
hanya berupa air saja. Pasien muntah setiap makan sehingg
minum. Keluhan disertai nyeri ulu hati dan nyeri kepala. P
sebelumnya tapi keluhan tidak membaik. Keluhan lain seper
dan pilek disangkal.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Dan Alergi


Pasien memiliki riwayat penyakit vertigo dan dyspepsia. Riw

3.2.4 Riwayat Pengobatan


- Gastrucid
1 0

16

Anda mungkin juga menyukai