Oleh :
Preseptor :
Dr. dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-K Psi, FINASIM
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah clinical science section
ini dengan judul “Irritable Bowel Syndrome”.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Batasan Masalah 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 4
1.4 Matode Penulisan 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 5
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Klasifikasi 5
2.4 Patofisiologi 6
2.5 Manifestasi Klinis 8
2.6 Diagnosis 8
2.7 Pemeriksaan Penunjang 9
2.8 Diagnosis Banding 9
2.9 Tata Laksana 10
2.10Prognosis 12
2.11 Pencegahan 12
BAB 3. KESIMPULAN 13
Daftar Pustaka 14
3
BAB 1
PENDAHULUAN
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Kejadian dari IBS mencapai 20% dari penduduk Amerika, hal ini
didasarkan pada gejala yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih
banyak pada perempuan dan mencapai 3 kali lebih besar dari laki-laki. Prevalensi
IBS bisa mencapai 3,6-21,8% dari jumlah penduduk dengan rata-rata 11%. 4
2.3 Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:
1. IBS predominan diare (IBS-D), ditandai dengan feses lunak >25 %
dan feses keras < 25% dan feses lunak dalam satu waktu. IBS-C
terjadi pada 1/3 kasus dan lebih sering pada pria.
2. IBS predominan konstipasi (IBS-C), ditandai dengan feses keras >
25% dan feses lunak < 25% dalam satu waktu. IBS-C terjadi pada 1/3
kasus dan lebih sering pada wanita.
3. IBS campuran (IBS-M), ditandai dengan pola defekasi yang berubah-
ubah antara diare dan konstipasi. IBS-M terjadi pada 1/3 -1/2 kasus.
Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan :5
1. Berdasarkan gejala:
a. IBS predominan disfungsi usus
b. IBS predominan nyeri
c. IBS predominan kembung
5
2. Berdasarkan faktor pencetus:
a. Post-Infectious (PI-IBS)
b. Food-Induced
c. Berhubungan dengan stress
2.4 Patofisiologi
Perubahan motilitas usus, hipersensitifitas viseral, faktor psikologik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, serta infeksi telah diusulkan sebagai faktor
dalam perkembangan IBS. Berikut adalah skema patofisiologi IBS.
6
kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab daripada
hipersensitivitas viseral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada
pasien IBS.4
3. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat mengubah fungsi motorik pada usus
halus dan kolon, baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai
60% pasien pada pusat rujukan memiliki gejala psikiatri seperti
somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien dengan diagnosis IBS
lebih sering memiliki gejala ini.6
4. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95% di
saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan
sel otot polos. Serotonin mengakibatkan respon fisiologis sebagai
reflek sekresi usus dan peristaltik dan gejala seperti mual, muntah,
nyeri perut, dan kembung.7, 8
Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting pada
kelainan fungsional saluran cerna meliputi calcitonin gene–related
peptide, acetylcholine, substance P, pituitary adenylate cyclase–
activating polypeptide, nitric oxide, and vasoactiveintestinal peptide.
Neurotransmitter ini menyediakan hubungan tidak hanya antara
kontraktilitas usus dan sensitivitas viseral, tapi juga antara sistem saraf
usus dan sistem saraf pusat.7, 8
5. Infeksi dan Inflamasi
Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa
pasien IBS memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa
kolon dan ileum. Adanya episode enteritis infeksi sebelumnya, faktor
genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan perubahan pada
mikroflora bakteri dapat berperan pada terjadinya proses inflamasi
derajat rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu refleks
gastrointestinal dan mengaktivasi sistem sensori viseral. Kelainan
pada interaksi neuroimun dapat berperan pada perubahan fisiologi dan
hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS.8
7
6. Faktor genetik
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS
meliputi: pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali
meningkat pada kembar monozigot jika dibandingkan dengan dizigot.
Adanya polimorfisme gen yang mengendalikan down regulation dari
inflamasi (seperti IL-10 dan TGF-1) dan SERT. Faktor genetik sendiri
tidak merupakan penyebab, tapi berinteraksi paling dengan faktor
lingkungan.8
2.6 Diagnosis
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan
demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm
(red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik, dan onset gejala setelah
umur 50 tahun.11
8
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis.
Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria
diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria
Rome III dan kriteria Manning.11
Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3
hari per bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut:
1. Membaik dengan defekasi;
2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensikotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari
feses.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya
6 bulan sebelum diagnosis. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria
diagnosis meliputi kelaianan pada frekuensi kotoran (<3 kali per minggu atau >
3x/hari), kelainan bentuk feses (feses keras atau feses encer/berair), defekasi
strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan
mukus dan perut kembung.11
Kriteria Manning untuk diagnosis IBS meliputi: feses cair pada saat nyeri,
frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri, nyeri berkurang setelah BAB, dan
abdomen tampak distensi. Gejala tambahan yang sering muncul meliputi lendir
saat BAB dan perasaan tidak lampias pada saat BAB.11
9
(IBD), kanker kolorektal, divertikulitis, obstruksi mekanik pada usus halus atau
kolon, infeksi usus, iskemia usus, maldigesti dan malabsorbsi, ometriosis pada
pasien yang mengalami nyeri saat menstruasi. Perbedaan antara IBS dengan IBD
ditampilkan dalam tabel berikut:11
Tabel 1. Perbedaan IBS dan IBD
IBS IBD
Patologi Gangguan fungsional tanpa Kondisi yang digambarkan
disertai adanya inflamasi sebagai suatu inflamasi dan
atau ulseratif pada saluran ulserasi pada saluran cerna
cerna
Gejala Pasien dengan IBS dapat Pasien dengan IBD biasanya
disertai lendir pada fesesnya menderita diare yang disertai
tapi tidak ada darah. Pasien darah. Pasien biasanya lebih
IBS lebih banyak menderita banyak menderita diare
konstipasi atau konstipasi dibandingkan dengan
yang diselingi dengan diare. konstipasi.
Pemeriksaan Pemeriksaan feses, X-ray dan Tampak kelainan pada X-ray
endoskopi tidak menunjukan dan endoskopi
kelainan
Prognosis IBS tidak berbahaya dan IBD adalah penyakit serius
tidak menimbulkan dengan efek samping yang
komplikasi kanker besar dan dapat berkembang
menjadi kanker
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi
farmakologi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam
memberikan obat-obatan mempunyai efek samping dan yang juga akan
memperburuk kondisi psikis pasien. Target terapi IBS adalah mengurangi gejala
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.13
10
1. Terapi Diet
Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat
pada IBS predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS
dengan predominan diare konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe
konstipasi peningkatan konsumsi serat juga disertai konsumsi air
yang meningkat disertai aktivitas olah raga rutin. Selanjutnya
menghindari makanan dan minuman yang dicurigai sebagai
pencetus, jika menghilang setelah menghindari makanan tersebut
coba lagi setelah 3 bulan secara bertahap.
2. Psikoterapi
Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan
dan gejala psikologis lainnya serta gejala gastrointestinal.
Intervensi psikologis ini meliputi edukasi (penerangan tentang
perjalanan penyakitnya), relaksasi, hypnotherapy, terapi
psikodinamik atau interpersonal, dan cognitive behavioural
therapy serta obat-obat psikofarmaka.
3. Farmakoterapi
Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk
menghilangkan gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi
nyeri abdomen, mengatasi konstipasi, mengatasi diare, dan
antiansietas. Obat-obatan ini biasanya diberikan secara kombinasi.
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan
antispasmodik yang memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat
pada nyeri perut setelah makan. Obat-obat yang sudah beredar di
Indonesia antara lain: mebeverine 3x135 mg, hyocine
butylbromide 3x10 mg, chlordiazepoksid 5 mg, klidinium 2,5 mg
3x1 tablet, dan alverine 3x30 mg. Untuk IBS konstipasi, tegaserod
suatu 5-HT4 reseptor antagonis bekerja meningkatkan akselerasi
usus halus dan meningkatkan sekresi cairan usus. Tegaserod
biasanya diberikan dengan dosis 2x6 mg selama 10-12 minggu.
Untuk IBS tipe diare beberapa obat juga dapat diberikan antara lain
loperamid dengan dosis 2-16 mg per hari.11
11
Antibiotik jangka pendek direkomendasikan untuk
mengatasi kembung pada IBS. Penggunaan antibiotic non
absorbent seperti rifaksimin, mengatasi sensasi tidak nyaman
abdomen, akan tetapi penggunaannya dapat menyebabkan relaps
yang tinggi.14
Pemberian probiotik juga merupakan salah satu terapi pada
IBS, namun mekanisme belum sepenuhnya diketahui. Salah satu
hipotesis menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah bakteri
masuk ke celah intersel dan melakukan invasi, produksi substansi
antimikroba dapat mencegah invasi, perubahan mikroflora
intestinal dapat berdampak pada fungsi motorik dan sekretorik
intestinal dan menjadi signal epitel intestinal yang berfungsi
memodulasi imunitas luminal dan respon inflamasi.15
2.10 Prognosis
Irritable bowel syndrome tidak akan meningkatkan mortalitas,
gejala-gejala pasien IBS biasanya akan membaik dan hilang setelah 12
bulan pada 50% kasus dan hanya <5% yang akan memburuk dan sisanya
dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi keganasan
dan penyakit imflamasi.11
2.11 Pencegahan
Tindakan preventif terhadap Irritable bowel syndrome meliputi:
1. Hindari stress
2. Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat
3. Hindari makanan pemicu, seperti makanan pedas
4. Kurangi asupan lemak
5. Kurangi asupan karbohidrat rantai pendek
6. Kurangi konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan
7. Menjaga kebersihan makanan
12
BAB III
KESIMPULAN
13
DAFTAR PUSTAKA
14
12. Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. Management of irritable bowel
syndrome. Postgrad Med J. 2003;79(929):154-8.
13. Vahedi H, Ansari R, Mir-Nasseri MM, E Jafari. Irritable Bowel
Syndrome: A Review Article. Middle East Journal of Digestive Disease.
2010:61-74.
14. Sharara Al, Aoun E, Abdul-Baki H, Mounzer R, Sidani S, Elhaji I. A
randomized double-blind placebo-controlled trial ofrifazimin in patients
with abdominal bloating and fl atulence. Am J Gastroenterol.
2006;101:326-33.
15. Brenner DM, Moeller MJ, Chey WD, Schoenfeld PS. The utility of
probiotics inthe treatment of irritable bowel syndrome: a systematic
review. Am. J. Gastroenterol. 2009;104:1033-49.
15