Anda di halaman 1dari 15

Clinical Science Session

IRRITABLE BOWEL SYNDROME

Oleh :

Adilah Zatil Kurnia 1840312655


Eko Setiawan 1840312465
Putri Wahyuni 1840312413

Preseptor :
Dr. dr. Arina Widya Murni, Sp.PD-K Psi, FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah clinical science section
ini dengan judul “Irritable Bowel Syndrome”.

Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan


rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga
makalah clinical science section ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat
kepada dunia ilmu pengetahuan.

Padang, November 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 4
1.2 Batasan Masalah 4
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 4
1.4 Matode Penulisan 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 5
2.2 Epidemiologi 5
2.3 Klasifikasi 5
2.4 Patofisiologi 6
2.5 Manifestasi Klinis 8
2.6 Diagnosis 8
2.7 Pemeriksaan Penunjang 9
2.8 Diagnosis Banding 9
2.9 Tata Laksana 10
2.10Prognosis 12
2.11 Pencegahan 12
BAB 3. KESIMPULAN 13
Daftar Pustaka 14

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah kumpulan gejala gastrointestinal
yang ditandai oleh kebiasaan defekasi yang terganggu dan nyeri perut tanpa
adanya kelainan struktural. IBS merupakan gangguan gastrointestinal fungsional
yang sering dihadapi, dan diperkirakan terjadi pada 15% orang dewasa di negara
Barat. Istilah IBS pertama kali dijelaskan oleh Osler pada tahun 1892.1
Walaupun bukan penyakit yang mengancam jiwa, IBS menyebabkan
kesulitan pada pasien. IBS merupakan penyakit dismotilitas dari saluran
gastrointestinal dengan dasar psikosomatik oleh karena pasien menunjukkan
sejumlah gejala ketidaknyamanan tanpa kelainan organik. Oleh karena itu, IBS
menyebabkan kehilangan produktivitas kerja dan kualitas hidup dapat
memburuk.1,2
Etiologi dan patologi fungsional IBS belum diketahui secara pasti. Gejala
IBS yaitu nyeri dan rasa tidak nyaman di perut yang membaik dengan defekasi,
frekuensi defekasi yang abnormal, dan perubahan bentuk feses. Tidak terdapat
prosedur diagnosis spesifik untuk mengidentifikasi IBS karena patofisiologi dasar
belum diketahui. Jadi, diagnosis tergantung pada kelompok gejala dan eksklusi
penyakit patologis terkait. Keraguan dalam menetapkan sindrom ini, kekurangan
pemahaman patofisiologi, dan kekurangan bukti manfaat terapi menyebabkan SKI
sulit didiagnosis dan diobati.2
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, gejala klinis, diagnosis,
dan tatalaksana dari ibs.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


Makalah ini bertujuan sebagai bahan bacaan tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, gejala klinis, diagnosis, dan tatalaksana IBS.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini yaitu tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada beberapa literatur.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Irritable Bowel Syndrome (IBS) merupakan gangguan sistem


gastrointestinal bersifat kronis yang ditandai oleh nyeri atau sensasi tidak nyaman
pada abdomen, kembung, dan perubahan kebiasaan buang air besar. Penyakit ini
didasari oleh perubahan psikologis dan fisiologis yang mempengaruhi regulasi
sistem gastrointestinal, persepsi viseral dan integritas mukosa.3

2.2 Epidemiologi

Kejadian dari IBS mencapai 20% dari penduduk Amerika, hal ini
didasarkan pada gejala yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih
banyak pada perempuan dan mencapai 3 kali lebih besar dari laki-laki. Prevalensi
IBS bisa mencapai 3,6-21,8% dari jumlah penduduk dengan rata-rata 11%. 4

2.3 Klasifikasi

Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:
1. IBS predominan diare (IBS-D), ditandai dengan feses lunak >25 %
dan feses keras < 25% dan feses lunak dalam satu waktu. IBS-C
terjadi pada 1/3 kasus dan lebih sering pada pria.
2. IBS predominan konstipasi (IBS-C), ditandai dengan feses keras >
25% dan feses lunak < 25% dalam satu waktu. IBS-C terjadi pada 1/3
kasus dan lebih sering pada wanita.
3. IBS campuran (IBS-M), ditandai dengan pola defekasi yang berubah-
ubah antara diare dan konstipasi. IBS-M terjadi pada 1/3 -1/2 kasus.
Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan :5
1. Berdasarkan gejala:
a. IBS predominan disfungsi usus
b. IBS predominan nyeri
c. IBS predominan kembung

5
2. Berdasarkan faktor pencetus:
a. Post-Infectious (PI-IBS)
b. Food-Induced
c. Berhubungan dengan stress

2.4 Patofisiologi
Perubahan motilitas usus, hipersensitifitas viseral, faktor psikologik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, serta infeksi telah diusulkan sebagai faktor
dalam perkembangan IBS. Berikut adalah skema patofisiologi IBS.

Gambar 1. Faktor-faktor Patofisiologi Dan Perkembangan Irritable Bowel


Syndrome6

1. Perubahan Motilitas Usus


Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon
dan usus halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau
fisik dan makanan dapat mengubah kontraktilitas kolon. Motilitas
abnormal dari usus halus selama puasa ditemukan pada pasien IBS.
Juga dilaporkan adanya respon kontraksi yang berlebihan pada
makanan tinggi lemak.6
2. Hipersensitivitas Viseral
Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari
reseptor pada viscus diubah melalui perekrutan silence nociseptor
pada respon terhadap iskemia, distensi, kandungan intraluminal,
infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis menyatakan bahwa

6
kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab daripada
hipersensitivitas viseral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada
pasien IBS.4
3. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat mengubah fungsi motorik pada usus
halus dan kolon, baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai
60% pasien pada pusat rujukan memiliki gejala psikiatri seperti
somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien dengan diagnosis IBS
lebih sering memiliki gejala ini.6
4. Ketidakseimbangan neurotransmitter
Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95% di
saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan
sel otot polos. Serotonin mengakibatkan respon fisiologis sebagai
reflek sekresi usus dan peristaltik dan gejala seperti mual, muntah,
nyeri perut, dan kembung.7, 8
Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting pada
kelainan fungsional saluran cerna meliputi calcitonin gene–related
peptide, acetylcholine, substance P, pituitary adenylate cyclase–
activating polypeptide, nitric oxide, and vasoactiveintestinal peptide.
Neurotransmitter ini menyediakan hubungan tidak hanya antara
kontraktilitas usus dan sensitivitas viseral, tapi juga antara sistem saraf
usus dan sistem saraf pusat.7, 8
5. Infeksi dan Inflamasi
Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa
pasien IBS memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa
kolon dan ileum. Adanya episode enteritis infeksi sebelumnya, faktor
genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan perubahan pada
mikroflora bakteri dapat berperan pada terjadinya proses inflamasi
derajat rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu refleks
gastrointestinal dan mengaktivasi sistem sensori viseral. Kelainan
pada interaksi neuroimun dapat berperan pada perubahan fisiologi dan
hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS.8

7
6. Faktor genetik
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS
meliputi: pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali
meningkat pada kembar monozigot jika dibandingkan dengan dizigot.
Adanya polimorfisme gen yang mengendalikan down regulation dari
inflamasi (seperti IL-10 dan TGF-1) dan SERT. Faktor genetik sendiri
tidak merupakan penyebab, tapi berinteraksi paling dengan faktor
lingkungan.8

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi di antaranya: nyeri perut,
kembung, dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya
perubahan defekasi dapat berupa diare, konstipasi, atau diare yang diikuti dengan
konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume
yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan
diselingi diare atau defekasi yang normal.
Selain itu, pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan
produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mukus, keinginan defekasi
yang tidak bisa ditahan, dan perasaan defekasi tidak sempurna. Gejalanya hilang
setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali pada beberapa orang,
sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala.9
Pada sekitar 3-35% pasien gejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan
setelah infeksi sistem gastrointestinal. Secara khusus ditemukan sel inflamasi
mukosa terutama sel mast di beberapa bagian duodenum dan kolon.10

2.6 Diagnosis
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan
demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm
(red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik, dan onset gejala setelah
umur 50 tahun.11

8
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis.
Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria
diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria
Rome III dan kriteria Manning.11
Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3
hari per bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut:
1. Membaik dengan defekasi;
2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensikotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari
feses.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya
6 bulan sebelum diagnosis. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria
diagnosis meliputi kelaianan pada frekuensi kotoran (<3 kali per minggu atau >
3x/hari), kelainan bentuk feses (feses keras atau feses encer/berair), defekasi
strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan
mukus dan perut kembung.11
Kriteria Manning untuk diagnosis IBS meliputi: feses cair pada saat nyeri,
frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri, nyeri berkurang setelah BAB, dan
abdomen tampak distensi. Gejala tambahan yang sering muncul meliputi lendir
saat BAB dan perasaan tidak lampias pada saat BAB.11

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi: pemeriksaan darah lengkap,
LED, biokimia darah, dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur,
kista dan parasit pada feses. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis diferensial meliputi: pemeriksaan darah lengkap,
pemeriksaan biokimia darah, pemeriksaan hormon tiroid, sigmoidoskopi, dan
kolonoskopi.

2.8 Diagnosis Banding

Pada IBS diare sering didiagnosis banding dengan defisiensi laktase.


Kelainan lain yang juga harus dipikirkan adalah: Inflammatory Bowel Disease

9
(IBD), kanker kolorektal, divertikulitis, obstruksi mekanik pada usus halus atau
kolon, infeksi usus, iskemia usus, maldigesti dan malabsorbsi, ometriosis pada
pasien yang mengalami nyeri saat menstruasi. Perbedaan antara IBS dengan IBD
ditampilkan dalam tabel berikut:11
Tabel 1. Perbedaan IBS dan IBD
IBS IBD
Patologi Gangguan fungsional tanpa Kondisi yang digambarkan
disertai adanya inflamasi sebagai suatu inflamasi dan
atau ulseratif pada saluran ulserasi pada saluran cerna
cerna
Gejala Pasien dengan IBS dapat Pasien dengan IBD biasanya
disertai lendir pada fesesnya menderita diare yang disertai
tapi tidak ada darah. Pasien darah. Pasien biasanya lebih
IBS lebih banyak menderita banyak menderita diare
konstipasi atau konstipasi dibandingkan dengan
yang diselingi dengan diare. konstipasi.
Pemeriksaan Pemeriksaan feses, X-ray dan Tampak kelainan pada X-ray
endoskopi tidak menunjukan dan endoskopi
kelainan
Prognosis IBS tidak berbahaya dan IBD adalah penyakit serius
tidak menimbulkan dengan efek samping yang
komplikasi kanker besar dan dapat berkembang
menjadi kanker

2.9 Tatalaksana
Tatalaksana IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi
farmakologi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam
memberikan obat-obatan mempunyai efek samping dan yang juga akan
memperburuk kondisi psikis pasien. Target terapi IBS adalah mengurangi gejala
sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien.13

10
1. Terapi Diet
Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat
pada IBS predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS
dengan predominan diare konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe
konstipasi peningkatan konsumsi serat juga disertai konsumsi air
yang meningkat disertai aktivitas olah raga rutin. Selanjutnya
menghindari makanan dan minuman yang dicurigai sebagai
pencetus, jika menghilang setelah menghindari makanan tersebut
coba lagi setelah 3 bulan secara bertahap.
2. Psikoterapi
Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan
dan gejala psikologis lainnya serta gejala gastrointestinal.
Intervensi psikologis ini meliputi edukasi (penerangan tentang
perjalanan penyakitnya), relaksasi, hypnotherapy, terapi
psikodinamik atau interpersonal, dan cognitive behavioural
therapy serta obat-obat psikofarmaka.
3. Farmakoterapi
Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk
menghilangkan gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi
nyeri abdomen, mengatasi konstipasi, mengatasi diare, dan
antiansietas. Obat-obatan ini biasanya diberikan secara kombinasi.
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan
antispasmodik yang memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat
pada nyeri perut setelah makan. Obat-obat yang sudah beredar di
Indonesia antara lain: mebeverine 3x135 mg, hyocine
butylbromide 3x10 mg, chlordiazepoksid 5 mg, klidinium 2,5 mg
3x1 tablet, dan alverine 3x30 mg. Untuk IBS konstipasi, tegaserod
suatu 5-HT4 reseptor antagonis bekerja meningkatkan akselerasi
usus halus dan meningkatkan sekresi cairan usus. Tegaserod
biasanya diberikan dengan dosis 2x6 mg selama 10-12 minggu.
Untuk IBS tipe diare beberapa obat juga dapat diberikan antara lain
loperamid dengan dosis 2-16 mg per hari.11

11
Antibiotik jangka pendek direkomendasikan untuk
mengatasi kembung pada IBS. Penggunaan antibiotic non
absorbent seperti rifaksimin, mengatasi sensasi tidak nyaman
abdomen, akan tetapi penggunaannya dapat menyebabkan relaps
yang tinggi.14
Pemberian probiotik juga merupakan salah satu terapi pada
IBS, namun mekanisme belum sepenuhnya diketahui. Salah satu
hipotesis menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah bakteri
masuk ke celah intersel dan melakukan invasi, produksi substansi
antimikroba dapat mencegah invasi, perubahan mikroflora
intestinal dapat berdampak pada fungsi motorik dan sekretorik
intestinal dan menjadi signal epitel intestinal yang berfungsi
memodulasi imunitas luminal dan respon inflamasi.15

2.10 Prognosis
Irritable bowel syndrome tidak akan meningkatkan mortalitas,
gejala-gejala pasien IBS biasanya akan membaik dan hilang setelah 12
bulan pada 50% kasus dan hanya <5% yang akan memburuk dan sisanya
dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi keganasan
dan penyakit imflamasi.11

2.11 Pencegahan
Tindakan preventif terhadap Irritable bowel syndrome meliputi:
1. Hindari stress
2. Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat
3. Hindari makanan pemicu, seperti makanan pedas
4. Kurangi asupan lemak
5. Kurangi asupan karbohidrat rantai pendek
6. Kurangi konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan
7. Menjaga kebersihan makanan

12
BAB III
KESIMPULAN

Irritable Bowel Syndrome (IBS) adalah penyakit gastrointestinal


fungsional kronik yang ditandai oleh nyeri perut atau rasa tidak enak di perut dan
gangguan kebiasaan defekasi. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS
antara lain gangguan motilitas, hipersensitivitas viseral, pasca infeksi usus, faktor
psikososial dan ketidakseimbangan neurotransmiter. Kriteria diagnostik yang
digunakan saat ini ialah kriteria Roma III. Penyakit ini tidak meningkatkan
mortalitas dan 50% akan membaik dan hilang setelah 12 bulan.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Owyang C. Irritable bowel syndrome. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci


AS, Hauser AL, Longo DL, Jameson JL, et al, editors. Harrison’s
Principles of Internal Medicine (Sixteenth Edition). New York: McGraw-
Hill, 2005; p.1789- 93.
2. Grundfast MB, Komar MJ. Irritable bowel syndrome. JAOA.
2001;101:S1-5.
3. Camilleri M, Chang L . Challenges to the therapeutic pipeline for irritable
bowel syndrome: end points and regulatory hurdles. Gastroenterology.,
2008;135:1877-91.
4. Makharia GK, Verma AK, Amarchand R, Goswami A, Singh P, Agnihotri
A, Suhail F, Krishnan A. Prevalence of irritable bowel syndrome: a
community based study from northern India. J. Neurogastroenterol. 2011;
17(1): 82-7.
5. National Institutes of Health. Irritable bowel syndrome: global
perspective. 2009. National Digestive Diseases Information
Clearinghouse. Irritable bowel syndrome. 2007.
6. Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.
7. Horwitz, B.J and Fisher, R.S. Massachusetts Medical Society. Irritable
Bowel Sindrome.The New England Journal of Medicine. 2001;344:1846-
185.
8. Barbara, R. De Giorgio, V. Stanghellini, C. Cremon, B. Salvioli and R.
Corinaldesi. New pathophysiological mechanisms in irritable bowel
syndrome. Aliment Pharmacol Ther.2004;20(2):1-9.
9. National Institutes of Health. Irritable bowel syndrome: global
perspective. 2009. National Digestive Diseases Information
Clearinghouse. Irritable bowel syndrome. 2007.
10. Spiller RC. Role of infection in irritable bowel syndrome. J
gastroenterol.2007;42:41-7.
11. Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Buku Ajar IlmuPenyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008.

14
12. Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. Management of irritable bowel
syndrome. Postgrad Med J. 2003;79(929):154-8.
13. Vahedi H, Ansari R, Mir-Nasseri MM, E Jafari. Irritable Bowel
Syndrome: A Review Article. Middle East Journal of Digestive Disease.
2010:61-74.
14. Sharara Al, Aoun E, Abdul-Baki H, Mounzer R, Sidani S, Elhaji I. A
randomized double-blind placebo-controlled trial ofrifazimin in patients
with abdominal bloating and fl atulence. Am J Gastroenterol.
2006;101:326-33.
15. Brenner DM, Moeller MJ, Chey WD, Schoenfeld PS. The utility of
probiotics inthe treatment of irritable bowel syndrome: a systematic
review. Am. J. Gastroenterol. 2009;104:1033-49.

15

Anda mungkin juga menyukai