Anda di halaman 1dari 26

REFERAT

IRRITABLE BOWEL SYNDROME

oleh :
Vidya Muqsita
112011101036

Pembimbing :
dr. Sugeng, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN JEMBER
RSD dr. SOEBANDI JEMBER
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Irritable bowel syndrome (IBS) adalah gangguan sistem gastrointestinal
bersifat kronis yang ditandai oleh nyeri atau sensasi tidak nyaman pada abdomen,
kembung dan perubahan kebiasaan buang air besar. Penyakit ini didasari oleh
perubahan psikologis dan fisiologis yang mempengaruhi regulasi sistem
gastrointestinal, persepsi viseral dan integritas mukosa (Camflerl M, Chang L,
2008).
Gejala klinik IBS berupa nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen
dan perubahan pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau diare dan
konstipasi bergantian serta rasa kembung. Didiagnosis atas dasar gejala-gejala
yang khas tanpa adanya gejala alarm seperti penurunan berat badan, perdarahan
per rektal, demam atau anemia. Pemeriksaan fisik dan tes diagnostik yang
sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menegakkan diagnosis IBS, sehingga
diagnosis IBS ditegakkan atas dasar gejala-gejala yang khas tersebut.
Oleh karena patofisiologi dan penyebab IBS yang kurang dipahami,
pengobatan utama difokuskan pada gejala-gejala yang muncul untuk
mempertahankan fungsi sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup orang
dengan IBS. (Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. 2009)

BAB II
IRRITABLE BOWEL SYNDROME
1. Definisi
Irritable bowel syndrome (IBS) adalah gangguan sistem gastrointestinal
bersifat kronis yang ditandai oleh nyeri atau sensasi tidak nyaman pada abdomen,
kembung dan perubahan kebiasaan buang air besar. Penyakit ini didasari oleh
perubahan psikologis dan fisiologis yang mempengaruhi regulasi sistem
gastrointestinal, persepsi viseral dan integritas mukosa (Camflerl M, Chang L,
2008).
2. Epidemiologi
Penelitian pada suatu populasi memperkirakan prevalensi IBS 10-20% dan
insidensi IBS berkisar 1-2% per tahun. Dari seluruh kasus IBS, diperkirakan 1020% saja yang berkonsultasi pada tenaga medis. Sekitar 20-50% rujukan ke ahli
gastrienterologi mengarah pada gejala gejala IBS ( Jenifer K Lehrer, dkk, 2013).
Prevalensi dinegara Amerika Utara yaitu 10-15%, sedangkan di Asia diperkirakan
3,5-25%, terendah di Iran dan tertinggi di Jepang. Penelitian terakhir melaporkan
prevalensi IBS di negara-negara Asia berkisar 4-20% dan dikomunitas India
bagian utara adalah 4%. Di Indonesia belum ada data nasional, namun untuk
wilayah Jakarta, 304 kasus gangguan pencernaan yang tergabung dalam penelitian
Asian Functional Gastrointestinal Disorder Study (AFGID) tahun 2013, dilaporan
angka kejadian konstipasi fungsional 5,3% dan angka kejadian IBS tipe konstipasi
sebesar 10,5%. Prevalensi IBS pada wanita sekitar 1,5-2 kali prevalensi laki-laki.
IBS dapat terjadi pada semua kelompok umur dengan mayoritas pada usia 20-30
tahun dan cenderung menurun seiring bertambahnya usia.
3. Etiologi
Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh
salah satu faktor saja. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain

gangguan motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas dari


interaksi aksis brain-gut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus.
Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan
bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus.
Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadi penurunan kontraksi usus dann
memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus.
IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS.
Keluhan-keluhan IBS muncul setelah 1 bulan infeksi. Penyebab IBS paska infeksi
antara lain virus, giardia atau amuba. Pasien IBS paska infeksi biasanya
mempunyai gejala perut kembung, nyeri abdomen dan diare. (Manan, Chudahma
dan Ari Fahrial Syam. 2008)

Para peneliti telah menyimpulkan bahwa penyebab dari IBS adalah gabungan
dari beberapa faktor yang akan mengakibatkan gangguan fungsional dari usus.
Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut :
a. Faktor psikologis
Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Seperti jantung dan
paru, sebagian kolon dikontol oleh SSO, yang berespon terhadap stress.
Sebagai comtoh pada saat kita takut detak jantung kita akan bertambah cepat
dan tekanan darah akan naik. Begitu pula dengan kolon, kolon dapat
berkontraksi secara cepat atau sebaliknya. Para peneliti percaya bahwa sistim
limbik ikut terlibat. Pada percobaan dengan binatang, perangsangan stress
akan menyebabkan pelepasan faktor kortikotropin.

Gambar 1. Multicomponent model of irritable bowel syndrome (IBS).


(Sumber: Anthony J, et all. 1999)
b. Sensitivitas terhadap makanan
Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti
kafein, coklat, produ-produk susus, makanan berlemak, alkohol, sayursayuran yang dapat memproduksi gas ( kol dan brokoli) dan minuman
bersoda
c.

Genetik
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS
diturunkan dalam keluarga.

d. Peneliti menemukan bahwa gejala IBS sering muncul pada wanita yang
sedang menstruasi, mengemukakan bahwa hormon reproduksi dapat
meningkatkan gejala dari IBS.
e. Obat obatan konvensional
Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala
setelah menggunakan obat-obatan konvensional seperti antibiotik, steroid dan
obat anti inflamasi.
5

4. Klasifikasi
Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien,
subklasifikasi IBS dibagi menjadi:

IBS predominan diare (IBS-D) :


- Feses lunak >25 % dan feses keras <25% dalam satu waktu
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering pada pria
IBS predominan konstipasi (IBS-C):
- Feses keras >25% dan feses lunak <25% dalam satu waktu
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering pada wanita
IBS campuran(IBS-M) :
- Defekasi berubah-ubah: diare dan konstipasi
- 1/3 dari kasus
Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan:

Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress

(Quigley Eamonn, et all. 2009)


5. Patofisiologi
Perubahan motilitas usus, hipersensitifitas visceral, faktor psikologik,
ketidakseimbangan neurotransmitter, serta infeksi telah diusulkan sebagai faktor
dalam perkembangan irritable bowel syndrome.

Gambar 2. Faktor-faktor patofisiologi dan perkembangan Irritable Bowel


Syndrome (sumber : Horwitz, et all. 2001)
a. Perubahan motilitas usus
Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan usus
halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan
makanan dapat merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus
halus selama puasa, seperti kehilangan dari komplek motor penggerak dan
adanya kontraksi yang mengelompok dan memanjang, kontraksi yang
diperbanyak, ditemukan pada pasien IBS. Juga dilaporkan adanya respon
kontraksi yang berlebihan pada makanan tinggi lemak. Nyeri lebih sering
dihubungkan dengan aktivitas motor yang ireguler dari usus halus
b. Hipersensitivitas visceral

Gambar 3. Patofisiologi Hipersensitivitas Viseral (sumber: Mariadi, I


Ketut dkk. 2007)
Penelitian dengan distensi balon pada rektosigmoid dan ileum
menunjukkan bahwa pasien dengan IBS mengalami nyeri dan kembung saat
volume balon dan tekanan lebih rendah dari yang menimbulkan nyeri pada
kontrol. Fenomena yang disebut sebagai hipersensitivitas visceral. Salah satu
penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus dirubah
melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia, distensi,
kandungan intraluminal, infeksi, atau factor psikiatri. Mungkin ada
peningkatan perangsangan dari neuron di bagian kornu dorsalis medulla
spinalis, daerah yang kaya dengan neurotrasmiter seperti katekolamin dan
serotonin. Secara sentral mungkin ada perbedaan pada cara otak memodulasi
signal aferen dari neuron kornu dorsalis melalui jalur ascending. Dari sebuah
penelitian didapatkan adanya kelainan sentral primer dari proses nyeri
visceral. Beberapa penulis menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan
lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas visceral murni untuk
ambang nyeri yang rendah pada pasien IBS.

c. Faktor psikososial
Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon,
baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat
rujukan memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan
pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini. Ada atau
tidaknya riwayat abuse pada masa anak-anak (seksual, fisik, atau keduanya)
dihubungkan dengan beratnya gejala pada pasien dengan IBS. Ini telah
diusulkan bahwa pengalaman awal pada hidup dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat dan memberikan predisposisi untuk keadaan kewaspadaan yang
berlebihan.
d.

Ketidakseimbangan neurotransmitter
Penelitian saat ini menunjukkan bahwa neurotransmitter dilibatkan pada

patogenesis IBS. Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95%
di saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel
otot polos. Saat dilepas oleh sel enterokromafin, serotonin merangsang serat
saraf aferen vagus ekstrinsik dan serat saraf aferen enterik intrinsik.
Mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan peristaltik
dan gejala seperti mual, muntah, nyeri perut, dan kembung.
Bukti awal menunjukkan pasien IBS memiliki peningkatan kadar
serotonin pada plasma dan kolon rektosigmoid. Neurotransmitter lain yang
memiliki peranan penting pada kelainan fungsional saluran cerna meliputi
calcitonin generelated peptide, acetylcholine, substance P, pituitary
adenylate cyclaseactivating polypeptide, nitric oxide, and vasoactive
intestinal peptide. Neurotransmitter ini menyediakan hubungan tidak hanya
antara kontraktilitas usus dan sensitivitas visceral, tapi juga antara sistem saraf
usus dan sistem saraf pusat. (Horwitz, et all. 2001)
Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi, motilitas
dan keadaan sensori pada saluran cerna melaui aktivasi dari sejumlah reseptor
yang tersebar luas pada saraf usus dan eferen sensoris. Sel enterosit
mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan interstitial

melaui aksi dari re-uptake serotonin transporter (SERT). Sehingga merubah


kandungan dan pelepasan, ekspresi dari reseptor atau perubahan pada ekspresi
SERT/ aktivitas dapat berperanan pada fungsi sensimotor pada IBS. Beberapa
perubahan telah dilaporkan pada fungsi serotonin pada IBS. Yang dapat
menunjukkan penggunaan rasional dan efikasi dari target terapi serotonin pada
IBS. (Barbara G,et all. 2004)
e. Infeksi dan inflamasi
Sitokin inflamasi mukosa dapat mengaktivasi sensitisasi perifer atau
hipermotilitas. Gwee et all melaporkan pasien dengan enteritis infeksi, adanya
hipokondriasis dan kehidupan penuh stress pada saat infeksi akut memprediksi
berkembangnya IBS kemudian. Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan
bahwa beberapa pasien IBS memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada
mukosa kolon dan ileum. Adanya episode enteritis infeksi sebelumnya, faktor
genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan perubahan pada
mikroflora bakteri dapat berperanan pada terjadinya proses inflamasi derajat
rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu reflex gastrointestinal dan
mengaktivasi sistem sensori visceral meskipun jika respon inflamasi yang
minimal. Kelainan pada interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan
fisiologi dan hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari IBS. (Barbara
G, et all. 2004)
g. faktor genetik
Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi:
pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar
monozigot jika dibandingkan dengan dizigot. Adanya polimorpisme gen yang
mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti IL-10 dsn TGF _1) dan
SERT. Ini tampaknya bahwa faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab,
tapi berinteraksi paling mungkin dengan faktor lingkungan untuk melengkapi
penampakan fenotip dari penyakit. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk
memperjelas keterlibatan faktor genetik pada IBS. (Barbara G,et all. 2004).

10

Sampai saat ini belum ada model konsep tunggal yang dapat menjelaskan
semua kasus dari IBS. (Horwitz, et all. 2001)
6. Manifestasi klinik
Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung,
dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan
kebiasaan defekasi dapat berupa diare, konstipasi atau diarea yang diikuti dengan
konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume
yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan
diselingi diare atau defekasi yang normal.
Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan
produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi
yang tidak bisa ditahan dan perasaan defekasi tidak sempurna.Gejalanya hilang
setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali pada beberapa orang,
sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala. (National Digestive
Diseases Information Clearinghouse. 2007)
7. Kriteria Diagnostik
Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan
demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm
(red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah
umur 50 tahun.
Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis.
Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria
diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria
Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III (seperti yang dijelaskan tabel 2, 3
dan 4).

11

Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3
hari per bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal
berikut:
1. Membaik dengan defekasi;
2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensi kotoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari
kotoran.
Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6
bulan sebelum diagnosis.
Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi
kelaianan pada frekuensi kotoran (< 3 kali per minggu atau > 3 kali per hari),
kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau kotoran encer/berair), defekasi
strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan
mukus dan perut kembung.
(Perkembangan Terkini Dalam Diagnosis Dan Penatalaksanaan Irritable Bowel
Syndrome. I Ketut Mariadi dan I Dewa Nyoman Wibawa. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar.2007)
Tabel 1. Kriteria Rome II

Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan


terakhir dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen, disertai dengan
adanya 2 dari 3 hal berikut :

Nyeri hilang dengan defekasi

Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi

Awal kejadian dihubungkan dengan adanya perubahan feses

Gejala lain :
o

Ketidaknormalan frekuensi defekasi

12

Kelainan bentuk feses

Ketidaknormalan proses defekasi (harus dengan mengejan ,


inkontinensia defekasi, atau rasa defekasi tidak tuntas)

Adanya mukus/lendir

Kembung

Sumber : Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. 2008

Tabel 2. Kriteria Manning


Gejala yang sering didapat :

Feces cair pada saat nyeri

Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri

Nyeri kurang setelah BAB

Tampak abdomen distensi

Gejala tambahan yang sering muncul :

Lendir saat BAB

Perasaan tidak lampias pada saat BAB

Sumber : Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. 2008


Tabel 3. Perbandingan kriteria Roma II dan III

13

Sumber: Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. 2009

14

8. Diagnosis
A. Anamnesis
1. Keluhan
1.1 Deskripsi Nyeri
Gejala utama meliputi pola nyeri atau sensasi tidak nyaman, yang berasal
dari gangguan fungsi saluran cerna dan perubahan pola defekasi. Nyeri
berkurang setelah defekasi atau berkaitan dengan perubahan konsistensi
feses. Nyeri tanpa kondisi tersebut harus dipertimbangkan sebagai kondisi
neoplasma, infeksi saluran pencernaan, penyakit urogenital.
1.2 Nyeri konstan
Nyeri konstan yang tidak membaik dengan defekasi merefl eksikan nyeri
neoplastik atau karena sindrom nyeri abdomen fungsional. Hal ini
umumnya berkaitan dengan masalah psikiatri kompleks meliputi
kemungkinan gangguan personal.
1.3 Gangguan defekasi
Klasifikasi tipe diare atau konstipasi merupakan hal penting, dan Bristol
Stool Form merupakan cara yang mudah. Pasien yang mengalami diare
dan konstipasi masingmasing pada periode singkat dimasukkan dalam
kategori mixed. Diare pada IBS umumnya terutama pagi hari dan setelah
makan. Volume diare yang masif, berdarah, dan nokturnal merupakan
gejala yang tidak terkait IBS, dan lebih mengarah pada gangguan organik.
Konstipasi pada IBS ditandai dengan feses berbentuk seperti pil, dan
pasien akan sulit defekasi.
2. Faktor Psikologis
Setidaknya dua pertiga pasien IBS dirujuk ke ahli gastroenterologi dengan
distres psikologis, paling sering anxietas. Stresor (anxietas) penting untuk
diidentifi kasi karena dapat mengganggu respons terapi. Gejala klinis
sering kali merupakan manifestasi somatisasi.

15

3. Faktor Keluarga
Hal penting adalah riwayat keluarga dengan penyakit Infl ammatory
Bowel Disease atau

keganasan kolorektal, terutama pada usia kurang

dari 50 tahun. Investigasi lebih lanjut untuk menyingkirkan penyebab


organik.
4. Faktor Diet
Pasien IBS dapat mencoba berbagai bentuk manipulasi diet yang mungkin
menyebabkan kecukupan gizinya tidak adekuat. Beberapa penelitian
menunjukkan gangguan makan sering dijumpai pada penderita IBS dan
kondisi ini dapat memperburuk keadaan pasien.
5. Faktor Presipitasi dan Eksaserbasi
Faktor menstruasi atau obat seperti antibotik, anti infl amasi non-steroid,
atau statin dapat memicu eksaserbasi. Episode eksaserbasi juga dipicu oleh
stres. Merokok dan alkohol tidak mempengaruhi IBS.
6. Tanda Bahaya
Perdarahan rektal, anemia, penurunan berat badan, gejala nokturnal,
riwayat keluarga dengan keganasan kolorektal, abnormalitas pemeriksaan
fisik, penggunaan antibiotik, onset usia >50 tahun, nyeri abdomen bawah
dengan demam, massa abdomen, asites, membutuhkan evaluasi lebih
lanjut sebelum didiagnosis IBS karena kemungkinan penyakit inflamasi
dan neoplastik. Perdarahan rektum dan massa abdomen memiliki
spesifisitas 95% kecurigaan kanker kolon.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik tidak banyak menunjukkan abnormalitas.
Pemeriksaan tanda penyakit sistemik harus diikuti dengan pemeriksaan
abdomen. Pasien diminta menunjukkan area nyeri pada abdomen. Nyeri
difus akan ditunjukkan dengan tangan yang melebar, sedangkan nyeri
terlokalisir akan ditunjuk dengan jari. Nyeri viseral jarang terlokalisir, jika
terlokalisir merupakan nyeri atipikal dan harus dipertimbangkan penyakit
selain IBS. Nyeri dinding abdomen bisa berasal dari hernia, cedera otot,

16

atau penjepitan saraf dapat diidentifi kasi dengan tes Carnett. Tes ini
dilakukan dengan menginstruksikan pasien memfleksikan siku dan
meletakkan di atas dinding dada (posisi sit-up) dan mengangkat kepala.
Apabila nyeri perut berkurang maka hasil tes Carnett negatif, hal ini
mengindikasikan nyeri intraabdominal. Apabila nyeri perut bertambah
maka hasil tes Carnett positif, hal ini mengindikasikan nyeri berasal dari
dinding abdomen, dan sebagian besar didasari oleh nyeri psikogenik.
Pemeriksaan regio perianal dan rectum dilakukan apabila diare,
perdarahan rektal, atau gangguan defekasi.
9. Pemeriksaan penunjang
IBS merupakan kelainan dengan patofisiologi heterogen, sampai saat ini
belum didapatkan biomarker yang spesifik. Pemeriksaan darah lengkap (DL) dan
pemeriksaan darah samar feses dianjurkan untuk tujuan skrining. Pemeriksaan
tambahan laju endap darah (LED), serum elektrolit dan pemeriksaan feses untuk
deteksi parasit dapat dilakukan berdasarkan gejala, area geografis, dan temuan
klinis yang relevan seperti pada IBS tipe predominan diare. Pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mengeksklusi kelainan organik seperti keganasan kolorektal, dan
diare infeksius. Beberapa ahli merekomendasikan tes pernafasan dan fungsi
tiroid untuk mendeteksi malabsorpsi laktosa dan disfungsi tiroid. Beberapa
pemeriksaan tambahan menurut rekomendasi ACG (American College of
Gastroenterology) dapat dilihat pada tabel
Tabel 2 Rekomendasi ACG untuk pemeriksaan diagnostic pada IBS
Pemeriksaan Diagnostik
Tes Darah Rutin (hitung darah

Rekomendasi
Hanya jika ditemukan tanda alarm

lengkap, kimia, fungsi tiroid,


parasit feses)
Serologi penyakit celiac
Radiologi Abdomen (kolonoskopi

Pada IBS-M dan IBS-D


Hanya jika ditemukan tanda alarm

/ barium enema dengan / tanpa


sigmoidoskopi fleksibel)

17

Kolonoskopi

Jika ditemukan tanda alarm, untuk

mengeksklusi penyakit organik


Pada pasien berusia 50 tahun dengan gejala

IBS tipikal
Tidak direkomendasikan bila tidak ditemukan

tanda alarm pada


pasien <50 tahun dengan gejala IBS tipikal
Biopsi kolonik direkomendasikan saat

Tes pernafasan untuk ekslusi


intoleransi laktosa
Tes pernafasan untuk SIBO

kolonoskopi pada IBS-D untuk


mengeksklusi colitis mikroskopik
Hanya jika kecurigaan klinis tinggi dan
eksklusi diet telah gagal
Tidak direkomendasikan secara rutin karena

data tidak cukup


IBS=Irritable Bowel Syndrome; IBS-M=IBS Campuran; IBS-D=IBS predominan
diare; SIBO=Small Intestinal Bacterial Overgrowth
10. Diagnosa banding
Beberapa penyakit harus dipikirkan sebagai diagnosis diferensial dari IBS
karena penyakit-penyakit ini juga mempunyai gejala yang lebih kurang sama
dengan IBS. Anamnesis gejala kelainan buang air besar harus ditanyakan
mendetail seperti volume, frekuensi dan konsistensi. Biasanya gejala saluran
gastrointestinal bagian atas berkaitan dengan IBS meliputi refluks, disfagia,
nausea, dan nyeri non cardiak. Pasien umumnya mengeluhkan gejala
ekstraintestinal seperti bronkospasme, dismenorea, dispareunia, poliuria, dan
nyeri punggung. Beberapa pertanyaan yang sering ditanyakan untuk mencari
penyebab nyeri perut dan dihubungkan dengan kemungkinan IBS sebagai
penyebab dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel.4 Daftar pertanyaan untuk diagnosis IBS

18

(Sumber : Manan, Chudahma dan Ari Fahrial Syam. 2008)


Diagnosis Banding IBS
1. Kelainan gastrointestinal
Adenokarsinoma kolon
Celiac sprue
Divertikula
Penyakit Infeksi
Infl ammatory Bowel Disease (IBD)
Intoleransi laktosa
Insufi siensi pankreas
Adenoma villous
2. Kelainan Non-Gastrointestinal
Depresi
Diabetes mellitus
Tumor endokrin
Penyakit ginekologi
Penggunaan laksatif
Efek samping obat
Skleroderma
Somatisasi
Disfungsi tiroid
3. Kelainan Fungsional lainnya
Sindrom disfungsi anorektal
Kembung
Konstipasi fungsional

19

Diare fungsional
Dispepsia fungsional
Penyakit dasar panggul

Tabel. Perbedaan IBS dan IBD


Patologi

Gejala

Pemeriksaan

Prognosis

IBS
IBD
IBS merupakan gangguan IBD adalah suatu kondisi
fungsional tanpa disertai

yang digambarkan

adanya inflamasi atau

sebagai suatu inflamasi

ulseratif pada saluran

dal ulserasi pada saluran

cerna
Pasien dengan IBS dapat

cerna
Pasien dengan IBD

disertai lendir pada

biasanya menderita diare

fesesnya tapi tidak ada

yang disertai darah

darah
Pasien IBS lebih banyak

Pasien biasanya lebih

menderita konstipasi atau

banyak menderita diare

konstipasi yang diselingi

dibandingkan dengan

dengan diare
Tes feses, X-ray dan

konstipasi
Tampak kelainan pada X-

endoskopi tidak

ray dan endoskopi

menunjukan kelainan
IBS tidak berbahaya dan

IBD adalah penyakit

tidak menimbulkan

serius dengan efek

komplikasi kanker

samping yang besar dan


dapat berkembang
menjadi kanker

(Sumber: Mariadi, I Ketut dkk. 2007)


11. Penatalaksanaan
20

Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi


farmakologi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Target
terapi IBS adalah mengurangi gejala sehingga meningkatkan kualitas hidup
pasien. Dalam memberikan obat-obatan mempunyai efek samping dan yang juga
akan memperburuk kondisi psikis pasien.
a. Diet
Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat pada IBS
predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS dengan predominan diare
konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe konstipasi peningkatan konsumsi
serat juga disertai konsumsi air yang meningkat disertai aktivitas olah raga
rutin. Selanjutnya menghindari makanan dan minuman yang dicurigai sebagai
pencetus atau mengurangi proses inlamasi saluran gastrointestinal dengan
menghindari stimulan alergen arau zat kimia seperti alkohol, kafein, benzoat,
dan metilxantin yang memicu keluarnya mediator inflamasi. Membatasi
konsumsi makanan tinggi lemak.
b. Psikoterapi
Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan gejala
psikologis lainnya serta gejala gastrointestinal. Intervensi psikologis ini
meliputi edukasi (penerangan tentang perjalanan penyakitnya), relaksasi,
hypnotherapy, terapi psikodinamik atau interpersonal dan cognitive
behavioural therapy serta obat-obat psikofarmaka.
c. Farmakoterapi
Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk menghilangkan
gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri abdomen, mengatasi
konstipasi, mengatasi diare, IBS dengan kembung dan antiansietas. Obatobatan ini biasanya diberikan secara kombinasi.
Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antispasmodik yang
memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri perut setelah makan.
Dimana mengurangi kram abdominal yang terkait spasme intestinal.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat refleks gastrokolik. Biasanya

21

diberikan 30 menit sebelum makan agar mencapai konsentrasi optimum


sebelum nyeri timbul. Alkaloid beliadonnda memiliki efek antispasmodik
namun efek sampingnya xerostomia, retensi urine, pandangan kabur, dan
sedasi. Sebagian ahli menyarankan penggunaan antikolinergik sintetik, seperti
disiklomin dan hiosin yang memiliki efek samping lebih minimal. Mucle
relaxan (mebevertin dan pinaverium) dn calcium channel blocker (kolpermin
dan minyak peppermint) juga dapat menjadi pilihan.
Antidepresan trisiklik (tricyclic antidepressant, TCA) dan penghambat
ambilan serotonin selektif (selective serotonin reuptake inhibitor, SSRI) dapat
digunakan sebagai terapi IBS karena efek hiperalgesianya. Pada pasien IBS-D,
penggunaan TCA imipramine memperlambat migrasi di jejunum dan
memberikan efek inhibisi motorik. SSRI paroxetine/ fluoxetine mempercepat
transit makanan orocaecal, sehingga sangat berguna pada pasien dengan gejala
utama konstipasi. Tinjauan sistematik dan metaanalisis efikasi TCA dan SSRI
pada terapi IBS hasilnya efektif mengatasi gejala IBS.
Manajemen IBS dengan kembung, kembung merupakan gejala yang sering
dijumpai pada pasien IBS-C. Kemungkinan mekanisme kembung meliputi
masalah psikososial, kelemahan otot abdominal, relaksasi paradoksal otot
abdomen, dan perubahan sensitivitas viseral. Pada beberapa kasus dengan
pertumbuhan bakteri berlebih, terapi antibotik sangat efektif mengatasi gejala
kembung. Antibotik jangka pendek direkomendasikan untuk mengatasi
kembung pada IBS. Penggunaan antibotik nonabsorben seperti rifaksimin
mengatasi sensasi tidak nyaman abdomen, namun penggunaan rifaksimin
jangka pendek menunjukkan relaps tinggi. Pada penelitian dengan plasebo,
SSRI (seperti fluoksetin) dapat meringankan gejala kembung. Obat jenis ini
memberikan efek antidepresi dan antiansietas.Coriandrum sativum dan Mentha
spicata memperbaiki gejala IBS dibandingkan plasebo karena efek
antispasmodiknya. Tabel 4 menjelaskan terapi farmakologis kembung pasien
IBS.
Tabel . Terapi farmakologis IBS dengan keluhan kembung dan kelebihan produksi gas
Golongan Obat
Contoh
Fungsi
Preparat enzim
-galaktosidase
Terapi intoleransi laktosa; efektifitas

22

bervariasi pada pasien IBS dengan

Absorben dan

galaktosidase

intoleransi laktosa
Efektif apabila mengkonsumsi makanan

Enzim pankreas

tinggi legumen pada individu normal


Efektifitas pada pasien IBS belum diketahui

Simetikon

pasti
Efektif untuk dispepsia fungsional dan

Arang aktif
Bismuth subsalisilat

produksi gas berlebih disertai diare


Efektifitas pada pasien IBS belum terbukti
Efek mengurangi flatus

Antobiotik

Mengurangi pertumbuhan bakteri akibat

agen yang
mengurangi
tekanan
permukaan
Modifikasi flora
normal

penyakit organik; menguntungkan pasien

Agen prokinetik

IBS
Mengurangi kembung
Mengurangi kembung; mengurangi distensi

Tegaserod
neostigmin

pasien pseudoobstruktif kolon akut. (sudah


tidak beredar dipasaran)

Manajemen IBS-C (predominan konstipasi), diet tinggi serat


direkomendasikan bagi pasien IBS-C. Konsumsi serat 12 gram/ hari efektif
mengurangi keluhan. Namun, konsumsi serat juga dapat meningkatkan
kejadian kembung. Laksatif osmotik sering digunakan untuk konstipasi,
penggunaan jangka panjang terbukti aman dan efektif. Magnesium, fosfat, dan
emolien mengandung polietilen glikol juga efi sien. Anti depresan efektif
mengatasi nyeri abdomen. SSRI menstimulasi sekresi endorfin endogen dan
memblokade ambilan norepinefrin yang memicu berkurangnya sensasi nyeri.
Pada IBS-C SSRI (misal fluoksetin 20 mg/hari) dapat membantu mengatasi
keluhan nyeri perut. Untuk IBS konstipasi, tegaserod suatu 5-HT4 reseptor
antagonis bekerja meningkatkan akselerasi usus halus dan meningkatkan
sekresi cairan usus. Tegaserod biasanya diberikan dengan dosis 2 x 6 mg
selama 10-12 minggu. Sertralin 100 mg/hari dapat mengatasi depresi.
Penggunaan imipramine dan amitriptilin pada IBS-C harus diawasi ketat.
Tegaserod merupakan agonis reseptor 5-HT4 pada penelitian klinis dilaporkan

23

mengurangi gejala umum pasien IBS, namun tegaserod meningkatkan risiko


ischemic heart disease, sehingga sejak Juli 2007 hanya diresepkan pada wanita
<55 tahun yang menderita IBS-C tanpa gejala klinis penyakit kardiovaskular.
Manajemen IBS-D (Predominan Diare), agen antidiare secara umum
efektif mengatasi diare. Konsumsi agen antidiare dosis rendah (misalnya
loperamide setiap pagi) terbukti efektif pada sebagian pasien. Penelitian double
blind alosetron (antagonis reseptor 5-HT3) 2 kali 1 mg selama 12 minggu
mengurangi frekuensi dan urgensi defekasi, selain itu juga mengurangi nyeri
abdomen, yang meningkatkan kualitas hidup pasien. FDA (Food and Drug
Administration) telah membatasi penggunaan obat ini pada wanita dengan IBS
karena efek sampingnya ileus obstruksi, obstruksi intestinal, impaksi fekal,
perforasi intestinal, dan kolitis iskemik. Antidepresan efektif mengontrol nyeri
abdomen dan mengatasi keluhan diare pada IBS. TCA dapat meningkatkan
waktu transit di kolon lewat stimulasi efek antikolinergik yang dapat berguna
pada pasien diare. Probiotik dapat diberikan pada IBS-D.
Tabel. 6 Kemungkinan obat untuk gejala yang dominan dari IBS.

(Sumber : Longstreth GF, et all. 2006)


12. Pencegahan
Untuk mencegah IBS antara lain:

Hindari stress.

24

Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat.

Hindari makanan pemicu (makanan pedas).

Kurangi intake lemak.

Kurangi intake short chain carbohidrat.

Kurangi konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buatan.

Menjaga kebersihan makanan.

13. Prognosis
Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS
biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus dan hanya
<5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada
perkembangan menjadi keganasan dan penyakit imflamasi. (Manan, Chudahma
dan Ari Fahrial Syam. 2008)

DAFTAR PUSTAKA
1. Ann Gwee, Kok et al. Asian consensus on irritable bowel syndrome. Journal
of Gastroenterology and Hepatology.2009
2. Barbara G,et all. New pathophysiological mechanisms in irritable bowel
syndrome. Aliment Pharmacol Ther.2004
3. Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. Irritable bowel syndrome:
Epidemiology, diagnosis and treatment: An update for health-care
practitioners. Journal of Gastroenterology and Hepatology, 2009
4. Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. Management of irritable bowel
syndrome. Postgrad Med J. 2003
5. Horwitz, et all. Massachusetts Medical Society. Irritable Bowel Sindrome.
The New England Journal of Medicine. 2001

25

6. Longstreth GF, et all. Functional bowel disorders. Gastroenterology. 2006


7. Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. Irritable Bowel Syndrome (IBS).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2008
8. Mariadi, I Ketut dkk. Perkembangan Terkini Dalam Diagnosis Dan
Penatalaksanaan Irritable Bowel Syndrome. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam
FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar.2007
9. Quigley Eamonn et all. Irritable bowel syndrome: global perspective.2009
10. National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Irritable bowel
syndrome. National Institutes of Health. 2007

26

Anda mungkin juga menyukai