Anda di halaman 1dari 21

Referat

IRRITABLE BOWEL SYNDROME

Oleh:

Ghiffary Alif Miraza, S.Ked

NIM : 712019014

Pembimbing:

SMF

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2019
Referat

Oleh

Ghiffary Alif Miraza, S.Ked

712019014

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior
di Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang.

Palembang, Juni 2020

Pembimbing,
BAB I

PENDAHULUAN

 Irritable bowel syndrome syndrome (IBS) adalah salah satu penyakit


gastrointenstinal fungsional. Irritable bowel syndrome memberikan gejala berupa
adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik.
(Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. 2008) Pada dua dekade terakhir,  Irritable
bowel syndrome telah mendapatkan perhatian yang cukup besar di bidang kesehatan
akibat semakin tingginya prevalensi dan gejala yang muncul bervariasi. IBS termasuk
dalam kelompok  penyakit gastrointestinal kronik yang disebut sebagai functional
bowel disorders disorders (FBD) yang diklasifikasikan oleh the Rome foundation.
(Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. 2009) Menurut Kriteria Rome II, prevalensi
kejadian IBS di negara-negara seperti Singapura (8,6%) dan Jepang (9,8%) sebanding
dengan Australia (6,9%) dan Ero dan Eropa (9,6%), pa (9,6%), dan prevalensi
tertingg alensi tertinggi terdapat di Kanada dan Amerika Amerika (12%). (Ann Gwee,
Kok et al. 2009)

Gejala klinik IBS berupa nyeri perut atau rasa tidak nyaman di abdomen dan
perubahan pola buang air besar seperti diare, konstipasi atau diare dan konstipasi
bergantian serta rasa kembung. Didiagnosis atas dasar gejala-gejala yang khas tanpa
adanya gejala alarm seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, demam
atau anemia. Pemeriksaan fisik dan tes diagnostik yang sekarang tersedia tidak cukup
spesifik sekarang tersedia tidak cukup spesifik untuk menega untuk menegakkan
diagnosis IBS, sehingga kkan diagnosis IBS, sehingga diagnosis IBS ditegakkan atas
dasar diagnosis IBS ditegakkan atas dasar gejala-gejala yang khas tersebut.

Oleh karena patofisiologi dan penyebab IBS yang kurang dipahami,


pengobatan utama difokuskan pada gejala-gejala yang muncul untuk 
mempertahankan fungsi sehari-hari dan meningkatkan kualitas hidup orang dengan
IBS. (Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon. dengan IBS. (Grundmann, oliver &
Saunjoo L Yoon. 2009).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi  

Irritable bowel disease merupakan gangguan fungsional pada saluran cerna


bagian bawah berupa adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa
gangguan organik. Gejala-gejala IBS biasanya tidak spesifik, gejalanya biasanya
seperti gejala yang sering ditunjukkan pada hampir semua individu. (Quigley Eamonn
et all.2009)

2. Epidemiologi

Kejadian dari IBS mencapai 20 % dari penduduk Amerika, hal ini didasarkan
pada gejala yang sesuai dengan kriteria IBS. Kejadian IBS lebih banyak pada
perempuan dan mencapai 3 kali lebih besar dari laki-laki. Prevalensi IBS bisa
mencapai 3,6-21, 8 % dari jumlah penduduk dengan rata-rata 11 %. (Manan,
Chudahma dan Ari Fahrial Syam. 2008)

3. Etiologi

Sampai saat ini tidak ada teori yang menyebutkan bahwa IBS disebabkan oleh
oleh salah satu faktor saja. Banyak faktor salah satu faktor saja. Banyak faktor yang
menyebab yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain kan terjadinya IBS antara
lain gangguan motilitas, intoleransi makanan, abnormalitas sensoris, abnormalitas
dari interaksi aksis brain-gut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi l,dan pasca
infeksi usus.

Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan


bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi
peningkatan kontraks peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit
kolon dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus. dan usus halus.
Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadi penurunan kontraksi usus dann memanjangny
memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus. kolon dan usus halus. IBS yang
terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS. Keluhan-ke Keluhan-
keluhan IBS luhan IBS muncul setelah 1 bulan muncul setelah 1 bulan infeksi.
Penyebab IBS paska infeksi. Penyebab IBS paska infeksi infeksi antara lain virus,
giardia atau amuba. Pasien IBS paska infeksi biasanya mempunyai gejala perut
kembung, nyeri abdomen dan diare. (Manan, Chudahma dan Ari Fahrial S dan Ari
Fahrial Syam. 2008) yam. 2008).

Para peneliti telah menyimpulkan bahwa penyebab dari IBS adalah gabungan dari
beberapa faktor yang akan mengakibatkan gangguan fungsional dari usus.

Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut :

a. Faktor psikologis

Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon
memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Seperti jantung dan paru,
sebagian kolon dikontol oleh SSO, yang berespon terhadap stress. Sebagai comtoh
pada saat kita takut detak jantung kita akan bertambah cepat dan tekanan darah akan
naik. Begitu pula dengan kolon, kolon dapat berkontraksi secara cepat atau
sebaliknya. Para peneliti percaya bahwa sistim limbik ikut terlibat. Pada percobaan
dengan binatang, perangsangan stress akan menyebabkan pelepasan faktor
kortikotropin.
Gambar 1. Multicomponent model of irritable bowel
syndrome (IBS).

(Sumber: Anthony J, et all. 1999)

b. Sensitivitas terhadap makanan

Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti kafein,
coklat, produ-produk susus, makanan berlemak, alkohol, sayur-sayuran yang dapat
memproduksi gas ( kol dan dapat memproduksi gas ( kol dan brokoli) dan minuma
brokoli) dan minuman bersoda n bersoda

c. Genetik 

Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan


dalam keluarga.

d. Peneliti menemukan bahwa gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang
menstruasi, mengemukakan bahwa hormon reproduksi dapat meningkatkan gejala
dari IBS.
e. Obat obatan konvensional

Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya gejala


setelah menggunakan obat-obatan konvensional seperti antibiotik, steroid dan obat
anti inflamasi.

4. Klasifikasi Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses
pasien, subklasifikasi IBS dibagi menjadi:

 IBS predominan diare (IBS-D) :


- Feses lunak >25 % dan Feses lunak >25 % dan feses keras 25%
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering pada pria
 IBS predominan konstipasi (IBS-C):
- Feses keras >25% dan feses Feses keras >25% dan feses lunak
- Terjadi pada 1/3 kasus
- Sering pada wanita
 IBS campuran(IBS-M) :
- Defekasi berubah-ubah: diare dan konstipasi
- 1/3 – ½ dari kasus

Berdasarkan gejala klinis subklasifikasi lain dapat digunakan:

 Berdasarkan gejala:
- IBS predominan disfungsi usus:
- IBS predominan nyeri
- IBS predominan kembung
 Berdasarkan faktor pencetus:
- Post-infectious (PI-IBS)
- Food-induced
- Berhubungan dengan stress
(Quigley Eamonn, et all. 2009

5. Patofisiologi

Perubahan motilitas usus, hipersensitifitas visceral, faktor psikologik,


ketidakseimbangan neurotransmitter, serta infeksi telah diusulkan sebagai faktor
dalam perkembanga perkembangan irritable bowel syndrome.

Gambar 2. Faktor-faktor patofisiologi dan perkembangan


Irritable Bowel Syndrome

(sumber : Horwitz, et all. 2001)

a. Perubahan motilitas usus

Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan


usus halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik
dan makanan dapat merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal
dari usus halus selama puasa, seperti kehilangan dari komplek motor
penggerak dan adanya kontraksi yang mengelompok dan memanjang,
kontraksi yang diperbanyak, ditemukan pada pasien IBS. Juga
dilaporkan adanya respon kontraksi yang berlebihan pada makanan
tinggi lemak. Nyeri lebih sering dihubungka dihubungkan dengan
aktivitas motor n dengan aktivitas motor yang ireguler dari usus ha yang
ireguler dari usus halus

b. Hipersensitivitas Hipersensitivitas visceral

Gambar 3. Patofisiologi Hipersensitivitas Viseral

(sumber: Mariadi, I Ketut dkk. 2007)

Penelitian dengan distensi balon pada rektosigmoid dan ileum


menunjukkan bahwa pasien dengan IBS mengalami nyeri dan kembung saat
volume balon dan tekanan lebih rendah dari yang menimbulkan nyeri pada
kontrol. Fenomena yang disebut sebagai hipersensitivitas visceral. Salah satu
penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus dirubah
melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia, distensi,
kandungan intraluminal, infeksi, atau factor psikiatri. Mungkin ada
peningkatan perangsangan dari neuron di bagian kornu dorsalis medulla
spinalis, daerah yang kaya dengan neurotrasmiter seperti katekolamin dan
serotonin. Secara sentral mungkin ada perbedaan pada cara otak memodulasi
signal aferen dari neuron kornu dorsalis melalui jalur ascending. Dari sebuah
penelitian didapatkan adanya kelainan sentral primer dari proses nyeri
visceral. Beberapa penulis menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan
lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas visceral murni untuk 
ambang nyeri yang rendah pada pasien IBS.

c. Faktor psikososial

Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan
kolon, baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada
pusat rujukan memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas.
Dan pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini. Ada atau
tidaknya riwayat abuse pada masa anak-anak (seksual, fisik, atau keduanya)
dihubungkan dengan beratnya gejala pada pasien dengan IBS. Ini telah
diusulkan bahwa pengalaman awal pada hidup dapat mempengaruhi sistem
saraf pusat dan memberikan predisposisi untuk keadaan kewaspadaan yang
berlebihan.

d. Ketidakseimban neurotransmitter

Penelitian saat ini menunjukkan bahwa neurotransmitter dilibatkan


pada patogenesis IBS. Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat,
95% di saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan
sel otot polos. Saat dilepas oleh sel enterokromafin, serotonin merangsang
serat saraf aferen vagus ekstrinsik dan serat saraf aferen enterik intrinsic.
Mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan peristaltik 
dan gejala seperti mual, muntah, nyeri dan gejala seperti mual, muntah, nyeri
perut, dan k perut, dan kembung. embung. Bukti awal menunjukkan pasien
IBS memiliki peningkatan kadar serotonin pada plasma dan kolon
rektosigmoid. Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting pada
kelainan fungsional saluran cerna meliputi calcitonin gene – related peptide,
acetylcholine, substance P, pituitary adenylate cyclase – activating
polypeptide, nitric oxide, and vasoactive intestinal peptide. Neurotransmitter
ini menyediakan hubungan tidak hanya antara kontraktilitas usus dan
sensitivitas visceral, tapi juga antara sistem saraf  usus dan sistem saraf pusat.
(Horwitz, et all. 2001)

Serotonin memegang peranan penting dalam mengatur sekresi,


motilitas dan keadaan sensori pada saluran cerna melaui aktivasi dari
sejumlah reseptor yang tersebar luas pada saraf usus dan eferen sensoris. Sel
enterosit mengakhiri efek dari serotonin dengan membuangnya dari ruangan
interstitial melaui aksi dari re-uptake serotonin transporter (SERT). Sehingga
merubah kandungan dan pelepasan, ekspresi dari r kandungan dan pelepasan,
ekspresi dari reseptor ata eseptor atau perubahan pada ekspresi u perubahan
pada ekspresi SERT/ aktivitas dapat berperanan pada fungsi sensimotor pada
IBS. Beberapa perubahan telah dilaporkan pada fungsi serotonin pada IBS.
Yang dapat menunjukkan penggu menunjukkan penggunaan rasional dan
efikasi dari naan rasional dan efikasi dari target terapi seroto target terapi
serotonin pada nin pada IBS. (Barbara G,et all. 2004)

e. Infeksi dan inflamasi

Sitokin inflamasi mukosa dapat mengaktivasi sensitisasi perifer atau


hipermotilitas. Gwee et all melaporkan pasien dengan enteritis infeksi,
melaporkan pasien dengan enteritis infeksi, adanya hipokondriasis dan
kehidupan penuh stress pada saat infeksi infeksi akut memprediksi akut
memprediksi berkembangnya IBS kemudian. Ditemukan adanya bukti yang
menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS memiliki peningkatan jumlah sel
inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode enteritis infeksi
sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan
perubahan pada mikroflora bakteri dapat berperanan pada terjadinya proses
inflamasi derajat rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu reflex
gastrointestinal dan mengaktivasi sistem sensori visceral meskipun jika respon
inflamasi yang minimal. Kelainan pada interaksi neuroimun dapat minimal.
Kelainan pada interaksi neuroimun dapat berperanan pada perubahan rperanan
pada perubahan fisiologi dan hipersensitivitas gastrointestinal yang mendasari
IBS. (Barbara G, et all. 2004)

g. faktor genetik 

  Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS


meliputi: pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada
kembar monozigot jika dibandingkan dengan dizigot. Adanya polimorpisme
gen yang mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti IL-10 dsn
TGF _1) dari inflamasi (seperti IL-10 dsn TGF _1) dan SERT. Ini tampaknya
bahwa faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi berinteraksi
paling mungkin dengan faktor lingkungan untuk  melengkapi penampakan
fenotip dari penyakit. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas
keterlibatan faktor genetik pada IBS. (Barbara G,et all. 2004). Sampai saat ini
belum ada model konsep tunggal yang dapat menjelaskan semua kasus dari
IBS. (Horwitz, et all. 2001)

6. Manifestasi klinik

Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung,
dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan
kebiasaan defekasi dapat berupa diare, konstipasi atau diarea yang diikuti dengan
konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume yang
bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan diselingi diare
atau defekasi yang normal. Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa
kembung dengan produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mucus,
keinginan defekasi yang tidak bisa ditahan dan perasaan defekasi tidak
sempurna.Gejalanya hilang setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali
pada beberapa orang, sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala.
( National  National Digestive Digestive  Diseases Information Cleari  Diseases
Information Clearinghouse nghouse. 2007)

7. Kriteria Diagnostik

Diagnosis dari IBS berdasarkan atas kriteria gejala, mempertimbangkan


demografi pasien (umur, jenis kelamian, dan ras) dan menyingkirkan penyakit
organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm (red
flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal, riwayat
keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah umur 50
tahun. Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis.
Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria
diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria
Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III (seperti yang dijelaskan tabel 2, 3 dan 4).

Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3 hari per
bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut:

1. Membaik Membaik dengan defekasi;


2. Onset dihubungkan ihubungkan dengan perubahan perubahan pada frekuensi
k frekuensi kotoran; otoran;
3. Onset dihubungkan dengan perubahan pada bentuk (penampakan) dari a
bentuk (penampakan) dari kotoran.

Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6


bulan sebelum diagnosis.

Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi


kelaianan pada frekuensi kotoran (< 3 kali per minggu atau > 3 kali per hari),
kelainan bentuk kotoran (kotoran keras atau kotoran encer/berair), defekasi strining,
urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan mukus dan
perut kembung.
(Perkembangan Terkini Dalam Diagnosis Dan Penatalaksanaan  Irritable  Irritable
Bowel Syndrome. I Ketut Mariadi dan I Dewa Nyoman Wibawa. Bagian/SMF Ilmu
Penyakit Dalam FK Unud/ Penyakit Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah
Denpasar.2007)

Tabel 1. Kriteria Rome II

 
Sedikitnya 12 minggu atau lebih (tidak harus berurutan) selama 12 bulan
terakhir dengan rasa nyeri atau tidak nyaman di abdomen, disertai dengan a
 Nyeri hilang dengan defekasi
 Awal kejadian dihubungkan dengan perubahan frekuensi defekasi

 Awal kejadian dihubungkan dengan adanya perubahan feses


 Gejala lain :
o  Ketidaknormalan frekuensi defekasi
o  Kelainan bentuk feses
o  Ketidaknormalan proses defekasi (harus dengan mengejan , inkontinensia defeka
  Adanya mukus/lendir
  Kembung

Sumber : Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. 2008


Tabel 2. Kriteria Manning
Gejala yang sering didapat :

  Feces cair pada saat nyeri


  Frekuensi BAB bertambah pada saat nyeri
  Nyeri kurang setelah BAB
  Tampak abdomen distensi

Gejala tambahan yang sering muncul :

 Lendir saat BAB


 Perasaan tidak lampias pada saat BAB

Sumber : Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. 2008


8. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi Pemeriksaan penunjang untuk


IBS meliputi pemeriksaa pemeriksaan darah lengkap, LED, n darah lengkap, LED,
biokimia darah dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur, kista dan
parasit pada kotoran. (Gunn MC, Cavin AA, parasit pada kotoran. (Gunn MC, Cavin
AA, Mansfield Mansfield JC. 2003) JC. 2003)

Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial,


yaitu:

 Pemeriksaan darah lengkap;


 Pemeriksaan biokimia darah;
 Pemeriksaan hormon tiroid;
 Sigmoidoskopi;
 Kolonoskopi.

9. Diagnosa banding

Beberapa penyakit harus dipikirkan sebagai diagnosis diferensial dari IBS


karena penyakit-penyakit ini juga mempunyai gejala yang lebih kurang sama dengan
IBS. Pada IBS diare sering didiagnosis diferensial dengan defisiensi laktase. Kelainan
lain yang juga harus dipikirkan adalah :

 Inflammatory Bowel Disease


 Kanker kolorektal;
 Divertikulitis;
 Obstruksi mekanik pada usus halus atau kolon;
 Infeksi usus;
 Iskemia usus;
 Maldigesti dan malabsorbsi;
 Endometriosis pada pasien yang mengalami nyeri saat menstruasi menstruasi
(Manan, Chudahma dan Ari Fahrial Syam. 2008)

10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi


farmakologi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam
memberikan obat-obatan mempunyai efek samping dan yang juga akan memperburuk
kondisi psikis pasien.

a. Diet

Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat pada IBS


predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS predominan konstipasi.
Sebaliknya pada pasien IBS dengan predominan diare engan predominan
diare konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe konstipasi peningkatan
konsumsi serat juga disertai konsumsi air yang meningkat disertai aktivitas
olah raga rutin. Selanjutnya menghindari makanan dan minuman yang
dicurigai sebagai pencetus, jika menghilang setelah menghindari makanan
tersebut coba lagi setelah 3 bulan setelah 3 bulan secara bertahap. secara
bertahap.

b. Psikoterapi

Terapi psikologis bertujuan untuk mengurangi kecemasan dan gejala


psikologis lainnya serta gejala gastrointestinal. Intervensi psikologis ini
meliputi edukasi (penerangan tentang perjalanan penyakitnya), relaksasi,
hypnotherapy, terapi psikodinamik atau interpersonal dan cognitive
behavioural therapy serta obat-obat psikofarmaka.

c. Farmakoterapi

Obat-obatan yang diberikan untuk IBS terutama untuk menghilangkan


gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri abdomen, mengatasi
konstipasi, mengatasi diare dan antiansietas. Obat-obatan ini biasanya
diberikan secara kombinasi. Untuk mengatasi nyeri abdomen Untuk
mengatasi nyeri abdomen sering digunakan anti sering digunakan
antispasmodik yang spasmodik yang memiliki efek kolinergik dan lebih
memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat pada bermanfaat pada nyeri
perut setelah makan. nyeri perut setelah makan.

Obat-obat yang sudah beredar di Indonesia antara lain mebeverine


3x135 mg, hyocine butyl bromide 3x10 mg, chlordiazepoksid 5 mg, klidinium
2,5 mg 3x1 tablet dan alverine 3x30 mg. Untuk IBS konstipasi, tegaserod
suatu 5-HT4 reseptor antagonis bekerja meningkatkan akselerasi usus halus
dan meningkatkan sekresi cairan usus. Tegaserod biasanya diberikan dengan
dosis 2 x 6 mg selama 10-12 minggu. Untuk IBS tipe diare beberpa obat juga
dapat diberikan antara lain loperamid dengan dosis 2-16 mg per hari. (Manan,
Chudahma dan Ari Fahrial Syam. 2008)

11. Pencegahan

Untuk mencegah IBS antara lain:

 Hindari stress.
 Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat.
 Hindari makanan pemicu (makanan pedas).
 Kurangi intake lemak.
 Kurangi intake short chain carbohidrat.
 Kurangi konsumsi alkohol, kafein, dan pemanis buata pemanis buatan.
 Menjaga kebersihan makanan.

12. Prognosis

Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS biasanya
akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus dan hanya 5% yang akan
memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan
menjadi keganasan dan penyakit inflamasi ( Manan, Chudahma, dan Syam, 2008).
BAB III

KESIMPULAN

Irritable  Irritable bowel syndrome syndrome (IBS) merupakan kelainan


fungsional saluran cerna yang sering terjadi yang ditandai dengan nyeri perut, rasa
tidak nyaman diperut dan perubahan pola buang air besar (BAB). Sebagai gejala
tambahan pada nyeri perut, diare atau konstipasi, gejala khas lain meliputi perut
kembung, adanya gas dalam perut, stool urgensi atau strining dan perasaan evakuasi
kotoran tidak  lengkap.

Penyebab IBS tidak diketahui secara pasti, diduga berhubungan dengan


gangguan motilitas, hipersensitivitas viseral, pasca infeksi usus, stress psikologis, dan
faktor genetik. Patofisiologi terjadinya IBS merupakan kombinasi dari beberapa
faktor penyebab tersebut.  Irritable  Irritable bowel syndrome syndrome dibagi dalam
beberapa subgrup sesuai dengan keluhan dominan, yaitu IBS Predominan nyeri,
diare, konstipasi, dan disfungsi usus. Tidak ada tes diagnosis yang khusus untuk IBS,
diagnosis ditegakkan secara klinis.

Pendekatan klinis untuk mendiagnosis IBS berdasarkan kriteria diagnosis


untuk IBS diantaranya kriteria Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III serta
menyingkirka menyingkirkan penyakit organik. enyakit organik. Penatalaksanaan
untuk IBS terdiri dari modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi farmakologi.
Modifikasi diet disesuaikan dengan keluhan dominan pada penderita. Intervensi
psikologi betujuan untuk mengurangi gejala psikologi dan gastrointestinal dengan
memberikan edukasi kepada penderita IBS. Terapi farmakologi sesuai dengan gejala
yang dikeluhkan oleh penderita. penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Ann Gwee, Kok et al. Asian consensus consensus on irritable irritable bowel


syndrome. syndrome. Journal Journal of Gastroenterology and
Hepatology.2009.

Barbara G,et all.  New pathophysiolo pathophysiological mechanisms mechanisms in


irritable irritable bowel syndrome. Aliment Pharmacol Ther .2004

Grundmann, oliver & Saunjoo L Yoon.  Irritable  Irritable bowel syndrome:


syndrome:  Epidemiology,  Epidemiology, diagnosis diagnosis and treatment:
treatment: An update for health-c health-care  practitioners. Jour  practitioners.
Journal of Gastroenterolo nal of Gastroenterology and Hepatology gy and
Hepatology, 2009

Gunn MC, Cavin AA, Mansfield JC. Management of irritable bowel syndrome.
Postgrad Med J. 2003

Horwitz, et all. Massachusetts Medical Society.  Irritable  Irritable Bowel Sindrome.


Sindrome. The New England Journal of Medicine. 2001

Longstreth GF, et all. Functional bowel disorders. . Functional bowel disorders.


Gastroenterology Gastroenterology. 2006

Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam.  Irritable  Irritable Bowel Syndrome
Syndrome (IBS). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK
UI. 2008

Mariadi, I Ketut dkk. Perkembangan Terkini Dalam Diagnosis Dan Penatalaksanaan


Irritable  Irritable Bowel Syndrome Syndrome. Bagian/SMF Ilmu Penyakit
Dalam FK Unud/ Dalam FK Unud/ RSUP Sanglah Denpasar.2007 RSUP
Sanglah Denpasar.2007
National   Digestive Diseases Diseases Information Information Clearinghouse.
Clearinghouse. Irritable Irritable bowel syndrome. National Institutes of
Health. 2007

Quigley Eamonn et all. Irritable bowel syn  Irritable bowel syndrome: global


perspecti drome: global perspective.2009

Anda mungkin juga menyukai