Anda di halaman 1dari 20

Kepada Yth:

Dibacakan Tanggal:

Refarat Divisi Aritmia/ Elektrofisiologi

CARA MEMBEDAKAN TAKIARITMIA DENGAN


KOMPLEKS QRS LEBAR

Oleh : dr. Teuku Fauzan Atsari

Pembimbing : dr. Anggia C. Lubis, Sp.JP

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


ILMU PENYAKIT JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
1
1. Pendahuluan

Takiaritmia kompleks QRS lebar adalah aritmia yang umum dijumpai dengan implikasi
terapeutik dan prognostik yang cukup penting dan memiliki kesulitan tersendiri dalam
mendiagnosisnya. Secara umum, terdapat 3 kelainan irama jantung yang dapat menghasilkan
gambaran takikardia dengan kompleks QRS lebar yaitu takikardia ventrikel (VT) merupakan yang
paling umum ditemukan (80%), takikardia supraventrikular (SVT) dengan aberansi (15 – 20%),
dan Atrioventricular Reentrant Tachycardia (AVRT) dengan konduksi antidromik (1–6%).5
Membedakan VT dengan SVT dengan aberansi merupakan hal yang penting dalam menegakkan
diagnosis. Kedua aritmia tersebut memiliki patofisiologi dan mekanisme yang berbeda sehingga
pilihan terapi yang harus diberikan juga berbeda.
Saat ini sudah banyak dipublikasikan algoritme untuk membedakan jenis takikardia dengan
kompleks QRS lebar. Akan tetapi penegakan diagnosis secara cepat dan tepat dalam keadaan
darurat masih menjadi masalah karena algoritme-algoritme tersebut tergolong rumit dan sulit
diingat. Kesalahan diagnosis berdasarkan EKG berakibat pemberian terapi yang kurang tepat
sehingga dapat membahayakan pasien. Selain untuk menentukan penatalaksanaan pada kondisi
akut, penegakan diagnosis yang tepat juga diperlukan untuk menentukan pemeriksaan lanjutan,
prognosis, dan juga penatalaksanaan jangka panjang. Dalam refarat ini akan dipaparkan mengenai
cara membedakan takiaritmia dengan kompleks QRS lebar, penegakan diagnosis termasuk
algoritme berdasarkan gambaran EKG serta penatalaksanaannya.

2. Penyebab Takiaritmia dengan Kompleks QRS Lebar

Kompleks QRS yang sempit terjadi karena aktivasi listrik yang cepat dan sinkron dari
miokardium ventrikel kanan dan ventrikel kiri, yang hanya dapat dicapai melalui sistem His-
Purkinje (HPS). Kompleks QRS yang lebar menggambarkan aktivasi ventrikel yang kurang
sinkron dengan durasi yang lebih lama, yang dapat disebabkan oleh gangguan konduksi
intraventrikular (IVCD), atau aktivasi ventrikel yang tidak dimediasi oleh His Bundle tetapi oleh
jalur aksesoris (preeksitasi) atau dari situs di dalam ventrikel (aritmia ventrikel).1
Takiaritmia kompleks QRS lebar adalah suatu irama dengan kecepatan lebih dari 100x/
menit dan durasi QRS lebih dari 120 milidetik. Beberapa aritmia dapat bermanifestasi sebagai
Takiaritmia kompleks QRS lebar (Tabel 1), yang paling umum adalah takikardia ventrikel (VT),
2
yang menyumbang sekitar 80% dari semua kasus Takiaritmia kompleks QRS lebar.
Supraventrikular Takikardi (SVT) dengan aberransi mencakup 15% sampai 20% Takiaritmia
kompleks QRS lebar. SVT dengan preeksitasi dan antidromik atenoventrikular reentrant
tachycardia (AVRT) terjadi pada 1% sampai 6% dari Takiaritmia kompleks QRS lebar.2
Pada pasien stabil harus dilakukan evaluasi dimana mencakup penentuan penyebab
Takiaritmia kompleks QRS lebar (terutama membedakan antara VT dan SVT). Untuk
mendiagnosis Takiaritmia kompleks QRS lebar secara akurat diperlukan informasi yang diperoleh
dari anamsesis, pemeriksaan fisik, respons terhadap manuver tertentu, dan pemeriksaan terhadap
elektrokardiogram (EKG), termasuk strip irama dan EKG 12-Lead. Perbandingan EKG selama
episode takiaritmia dengan EKG irama sinus, jika tersedia, juga dapat memberikan informasi yang
berguna.2

Tabel 1. Penyebab Takiaritmia Kompleks QRS Lebar

3
Gambar 1. Penyebab Takiaritmia Kompleks QRS Lebar

3. Aspek Klinis Takiaritmia dengan Kompleks QRS Lebar


3.1 Riwayat Klinis
Takiaritmia kompleks QRS lebar pada pasien yang berusia lebih dari 35 tahun cenderung
mengarah ke VT (nilai prediksi positif hingga 85%). SVT lebih mungkin terjadi pada pasien yang
lebih muda (nilai prediksi positif 70%).5
Beberapa pasien dengan takiaritmia dapat memiliki gejala (Jantung berdebar, pusing,
diaphoresis) ataupun tidak bergejala, sedangkan pada beberapa pasien dapat memiliki manifestasi
yang berat seperti nyeri dada, dyspnea, sinkop, kejang, dan henti jantung. Tingkat keparahan gejala
selama Takiaritmia kompleks QRS lebar tidak memiliki nilai klinis dalam menentukan mekanisme
takiaritmia karena gejala yang terjadi berkaitan dengan denyut jantung cepat, ada atau tidaknya
disfungsi LV. Penting untuk diketahui bahwa VT tidak selalu menyebabkan gangguan pada
hemodinamik. Misdiagnosis VT sebagai SVT berdasarkan stabilitas hemodinamik adalah
kesalahan umum yang dapat menyebabkan terapi yang tidak tepat dan berpotensi berbahaya.2

4
SVT lebih mungkin terjadi jika episode takiaritmianya mengalami rekurensi selama lebih
dari 3 tahun. Kejadian pertama kali dari Takiaritmia kompleks QRS lebar setelah infark miokard
(MI) lebih mengarah ke VT. Adanya penyakit jantung struktural, terutama penyakit jantung
koroner dan infark miokard sebelumnya, cenderung menunjukkan VT sebagai penyebab
Takiaritmia kompleks QRS lebar. Dalam satu laporan, lebih dari 98% pasien dengan infark
miokard sebelumnya menderita VT sebagai penyebab Takiaritmia kompleks QRS lebar,
sedangkan hanya 7% pasien dengan SVT yang pernah terkena infark miokard. Namun, VT juga
dapat terjadi pada pasien yang tidak memiliki penyakit jantung sebelumnya, dan juga SVT dapat
terjadi pada pasien dengan penyakit jantung struktural.2
Banyak obat-obatan yang juga memiliki efek proaritmik. Kejadian episode takiaritmia
yang diinduksi obat yang paling umum dijumpai adalah torsades de pointes. Obat yang sering
terlibat seberti obat antiaritmia seperti sotalol dan quinidine, dan beberapa antibiotik tertentu
seperti eritromisin. Penggunaan diuretik dapat menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia,
yang dapat menjadi faktor predisposisi takiaritmia ventrikel, terutama torsades de pointes pada
pasien yang memakai obat antiaritmia. Selanjutnya, obat antiaritmia kelas I, terutama agen kelas
IC, dapat menyebabkan penurunan progresif kecepatan impuls pada denyut jantung yang lebih
cepat. Akibatnya, obat ini dapat menyebabkan aberansi yang terkait denyut jantung dan kompleks
QRS yang lebar selama takiaritmia. Digoksin dapat menyebabkan hampir semua aritmia jantung,
terutama dengan peningkatan konsentrasi digoksin plasma di atas 2,0 ng/mL (2,6 mmol/L).
Aritmia yang diinduksi digoksin lebih sering terjadi terutama pasien dalam keadaan hipokalemia.
Aritmia yang diinduksi digoksin yang paling umum termasuk VT monomorfik (sering dengan
kompleks QRS yang relatif sempit), VT bidirectional (alternasi reguler dari dua morfologi QRS
lebar, masing-masing dengan axis yang berbeda), nonparoxysmal junctional tachycardia.2

3.2 Pemeriksaan Fisik


Beberapa elemen pemeriksaan fisik, seperti tekanan darah dan denyut jantung, cukup
penting dalam menentukan severitas ketidakstabilan hemodinamik pasien dan juga menentukan
urgensi untuk melakukan intervensi terapeutik. Pada pasien dengan gangguan hemodinamik yang
signifikan, evaluasi diagnostik harus ditunda sampai penanganan akut ditangani. Dalam situasi ini,
kardioversi adalah pilihan terapi.5

5
Bukti penyakit kardiovaskular yang mendasari harus dicari, termasuk gejala sequele
penyakit vaskular perifer atau stroke. Adanya luka operasi berupa Insisi sternal adalah bukti
adanya operasi kardiotoraks sebelumnya. Alat pacu jantung atau defibrilator, jika ada, biasanya
dapat dipalpasi di kiri atau di area pektoral kanan di bawah klavikula, meskipun beberapa alat yang
lebih lama ditemukan di dinding perut anterior.5
Salah satu tujuan dalam melakukan pemeriksaan fisik adalah untuk mendokumentasikan
adanya disosiasi atrioventrikular (AV). Disosiasi AV dapat dijumpai meski tidak selalu pada
sekitar 20% sampai 50% pasien VT, tapi sangat jarang dijumpai pada SVT. Sehingga, dengan
adanya disosiasi AV lebih menunjukkan ke arah VT. Disosiasi AV yang dijumpai pada EKG,
dapat menghasilkan sejumlah temuan karakteristik pada pemeriksaan fisik. Salah satunya adalah
pulsasi vena jugularis di leher yang intermiten (Cannon a wave intermittent), yang
menggambarkan kontraksi atrium dan ventrikel yang simultan. Kontraksi atrium kanan (RA)
terhadap katup trikuspid yang tertutup menghasilkan peningkatan transient pada tekanan vena
jugularis. Cannon a wave intermittent harus dibedakan dari prominent a wave yang terjadi terus
menerus dan teratur yang terlihat pada beberapa SVT. Gelombang seperti ini berasal dari kontraksi
atrium dan ventrikel simultan yang terjadi pada setiap denyutan.2
Respon terhadap manuver pijat sinus karotid dapat memberi petunjuk penyebab
Takiaritmia kompleks QRS lebar. Suatu Atrioventricular Nodal Reentry Tachycardia (AVRNT)
dan Atrioventricular Reentry Tachycardia (AVRT) dapat diterminasi atau tetap tidak berubah
dengan pijatan sinus karotis. Sedangkan pada VT umumnya tidak terpengaruh oleh pijat sinus
karotis, walaupun manuver ini dapat memperlambat laju atrium dan, dalam beberapa kasus,
mengekspos disosiasi.5,10

3.3 Laboratorium
Kadar kalium dan magnesium dalam plasma harus diukur sebagai bagian dari evaluasi
laboratorium. Hipokalemia dan hipomagnesemia dapat menjadi faktor predisposisi timbulnya
suatu takiaritmia ventrikel. Hiperkalemia dapat menyebabkan Takiaritmia kompleks QRS lebar,
biasanya dengan laju jantung yang lebih lambat, dengan hilangnya gelombang P yang disebut
ritme sinoventrikular. Pada pasien yang menggunakan digoxin, quinidine, atau procainamide,
konsentrasi obat ini dalam plasma harus diukur untuk mengevaluasi kemungkinan toksisitas obat.5

6
4. Gambaran Elektrokardiografi
Secara umum, kebanyakan Takiaritmia kompleks QRS lebar dapat diklasifikasikan ke
dalam dua pola: pola cabang blok bundel kanan (RBBB), polaritas QRS didominasi positif pada
lead V1 dan V2 atau pola blok cabang berkas kiri (LBBB), Polaritas QRS didominasi negatif pada
lead V1 dan V2. Penentuan bahwa Takiaritmia kompleks QRS lebar memiliki pola mirip RBBB
atau LBBB tidak dengan sendirinya membantu dalam membuat diagnosis. Namun, penilaian ini
harus dilakukan di awal karena berguna untuk mengevaluasi beberapa fitur lain pada EKG,
termasuk aksis QRS, durasi QRS, dan morfologi QRS.12
Laju jantung dari Takiaritmia kompleks QRS lebar memiliki nilai diagnostik terbatas
dalam membedakan VT dari SVT karena adanya tumpang tindih dalam distribusi detak jantung
pada SVT dan VT. Bila kecepatannya sekitar 150 denyut / menit, dapat dipertimbangkan adanya
Atrial Flutter dengan konduksi AV 2: 1 dan aberransi.12
Regularitas. Regularitas Takiaritmia kompleks QRS lebar tidak membantu dalam
membedakan antara VT dari SVT karena keduanya sama-sama reguler. Namun, VT sering
dikaitkan dengan sedikit ketidakteraturan pada interval RR, morfologi QRS, dan gelombang ST-
T. Takikardi Ventrikel (VT) dapat irreguler dalam 30 detik pertama setelah onset dan juga pada
pasien yang diobati dengan obat antiaritmia.12
Secara umum, durasi QRS yang lebih lebar lebih mengarah ke VT. Takiaritmia kompleks
QRS lebar dengan morfologi RBBB, durasi QRS yang lebih dari 140 milidetik menunjukkan VT,
sedangkan dengan morfologi LBBB, durasi QRS lebih dari 160 milidetik menunjukkan VT. Dalam
sebuah analisis terhadap beberapa penelitian, durasi QRS lebih dari 160 milidetik adalah prediktor
kuat VT (likelihood ratio >20: 1). Di sisi lain, durasi QRS yang kurang dari 140 milidetik tidak
dapat mengekslusikan VT, karena VT kadang-kadang dapat dikaitkan dengan kompleks QRS yang
relatif sempit. VT dapat memiliki durasi QRS yang relatif sempit (<120 sampai 140 milidetik).
Hal ini dapat diamati pada VT dengan fokus yang berasal dari septum atau sistem His-Purkinje
(HPS), seperti yang terjadi pada VT fascicular (verapamil-sensitive).1,3,11
Secara umum, semakin mengarah ke kiri axis, semakin besar kemungkinan VT. Pergeseran
axis yang signifikan (> 40 derajat) antara garis dasar pada irama sinus dan irama takiaritmianya
adalah sugestif VT. Axis superior kanan ("northwest") (axis dari -90 derajat sampai ± 180 derajat)
jarang ditemukan pada SVT dan lebih mengarah ke VT. Takiaritmia kompleks QRS lebar dengan
morfologi RBBB, axis QRS di sebelah kiri -30 derajat menunjukkan VT dan pada pasien dengan

7
morfologi LBBB, axis QRS di sebelah kanan +90 derajat menunjukkan VT. Selain itu, RBBB
dengan axis normal jarang terjadi pada VT (<3%) dan merupakan sugestif SVT.2
Konkordansi kompleks QRS adalah ketika pada enam lead precordial (V1 sampai V6)
semuanya positif pada polaritasnya (gelombang R tinggi) atau semua negatif pada polaritas
(kompleks QS dalam). Konkordansi negatif sangat sugestif VT. Cukup jarang dijumpai, SVT
dengan LBBB aberansi menunjukkan konkordansi negatif, namun hampir selalu ada beberapa
bukti adanya gelombang R pada lead precordial lateral. Konkordansi positif paling sering
disebabkan oleh VT. Namun, pola ini mungkin juga disebabkan oleh SVT preeksitasi dengan
accessory pathway posterior kiri. Meskipun adanya konkordansi QRS prekordial sangat
menunjukkan VT (> spesifisitas 90%), dengan tidak adanya hal tersebut tidak membantu secara
diagnostik (sensitivitas 20%).13
Disosiasi AV ditandai oleh aktivitas atrium (gelombang P) yang independen terhadap
aktivitas ventrikel (kompleks QRS). Laju atrium biasanya lebih lambat dari pada laju ventrikel.
Deteksi disosiasi AV jelas tidak dapat dilakukan jika AF adalah ritme yang mendasarinya.
Disosiasi AV adalah ciri khas VT (spesifisitas hampir 100%). Namun, meskipun kehadiran
disosiasi AV menjadikan VT sebagai penyebabnya, ketiadaannya tidak begitu membantu dalam
diagnosis (sensitivitasnya 20% sampai 50%). Disosiasi AV dapat dijumpai tapi tidak jelas terlihat
pada EKG karena laju ventrikel yang cepat. Selain itu, disosiasi AV tidak dijumpai dalam beberapa
subset VT. Sekitar 30% dari VT memiliki konduksi ventrikuloatrial retrograde 1: 1 dan 15%
sampai 20% memiliki blok VA tingkat dua (2: 1 atau Wenckebach).2,14
Takiaritmia kompleks QRS lebar dapat diklasifikasikan memiliki pola seperti RBBB atau
pola mirip LBBB. Beberapa ciri khas kompleks QRS telah dijelaskan sebelumnya yang
mendukung VT pada Takiaritmia kompleks QRS lebar pada morfologi RBBB atau LBBB. Pada
pasien dengan Takiaritmia kompleks QRS lebar dan polaritas positif QRS pada lead V1 (RBBB),
kompleks monofasik R, biphasic qR, atau gelombang R (> 40 milidetik) di V1 menunjukkan VT,
sedangkan komplek RSR ', rSr', rR 'atau rSR' di lead V1 mendukung SVT (di mana huruf besar
menunjukkan amplitude dan durasi yang besar, atau keduanya, dan huruf kecil menunjukkan
amplitudo atau durasi kecil, atau keduanya. Selain itu, gelombang R yang memuncak dua kali pada
V1 mengarah pada VT jika puncak kiri lebih tinggi dari puncak kanan (tanda telinga kelinci ; rasio
kemungkinan> 50: 1). “Telinga kelinci” kanan yang lebih tinggi tidak membantu dalam
membedakan SVT dari VT. Di sisi lain, kompleks rS pada lead V6 adalah prediktor kuat VT

8
(likelihood ratio> 50: 1), sedangkan komplek Rs di lead V6 mendukung SVT. Pada pasien dengan
Takiaritmia kompleks QRS lebar dan polaritas QRS negatif pada lead V1 (pola LBBB),
gelombang R awal yang luas lebih dari 40 milidetik atau lebih pada V1 atau V2 menunjukkan VT,
sedangkan tidak adanya gelombang R awal (atau Gelombang R awal yang kecil <40 milidetik) di
lead V1 atau V2 mendukung SVT. Selain itu, gelombang R di lead V1 selama episode takiaritmia
lebih tinggi dari pada irama sinus dasarnya mengarah ke VT. Dan RS interval (awal kompleks
QRS sampai nadir gelombang S) lebih dari lebih dari 70 milidetik pada lead V1 atau V2 mengarah
ke VT. Sebaliknya, downstroke yang cepat dan mulus dari gelombang S pada lead V1 atau V2
dengan interval RS kurang dari 70 milidetik mendukung SVT. Dalam sebuah analisis terhadap
beberapa penelitian, adanya tiga kriteria berikut dalam lead V1 (gelombang R yang lebar,
downstroke gelombang S yang lamban atau berlekuk ke bawah, dan nadir gelombang S tertunda)
merupakan prediktor kuat VT (rasio kemungkinan> 50 : 1). Morfologi QRS pada lead V6 juga
bernilai, kehadiran gelombang Q atau QS pada V6 mengarah pada VT (rasio kemungkinan > 50:
1, sedangkan tidak adanya gelombang Q pada V6 mengarah pada SVT. Ketika EKG 12 lead pasien
yang lama tersedia, perbandingan morfologi QRS selama irama sinus dan takiaritmia sangat
membantu. BBB kontralateral di episode takiaritmia dan irama sinus mengarah ke VT. Penting
untuk dicatat bahwa morfologi QRS identik selama irama sinus dan episode takiaritmia, walaupun
sangat sugestif terhadap SVT, juga dapat terjadi pada reentrant cabang bundel (branched branch
reentrant / BBR) dan VT reentrant interfascicular. Sayangnya, nilai kriteria morfologi QRS dalam
diagnosis Takiaritmia kompleks QRS lebar memiliki beberapa keterbatasan. Sebagian besar
hubungan antara morfologi QRS dan asal takikardia berdasarkan korelasi statistik, dengan
tumpang tindih yang substansial. Selain itu, sebagian besar kriteria morfologi yang mendukung
VT juga terdapat pada sejumlah besar pasien dengan penundaan konduksi intraventrikular yang
ada selama irama sinus, yang membatasi penerapannya pada kasus ini. Selain itu, kriteria
morfologi cenderung salah menafsirkan SVT dengan praeksitasi sebagai VT. Namun, praeksitasi
merupakan penyebab Takiaritmia kompleks QRS lebar yang jarang (1% sampai 6%), terutama
jika faktor lain (mis., Usia, riwayat) mengarah ke diagnosis lain.5,14

9
5. Algoritme EKG Dalam Mendiagnosis Takiaritmia Kompleks QRS Lebar
Untuk membedakan irama VT dan SVT dengan aberansi atau SVT AVRT dapat digunakan
beberapa algoritme, antara lain algoritme Brugada, Vereckei, aVR, dan Ultra Simple Brugada
criteria atau R wave peak time.
Algoritme yang paling umum digunakan adalah algoritme Brugada yang sudah sejak lama
ada dan memiliki spesifisitas dan sensitifitas yang cukup baik. Pada tahun 2007 Vereckei et al
membuat algoritme baru yang digunakan untuk membedakan SVT dengan aberansi dan VT.
Pada tahun 2008, Vereckei kembali memperbaharui algoritmenya dengan hanya
menggunakan satu sadapan yaitu aVR saja untuk dapat membedakan VT dan SVT dengan aberansi
dimana algoritme tersebut dibuat berdasarkan prinsip perbedaan arah vektor dan kecepatan impuls
listrik. Selain itu ada pula metoda baru yang disebut sebagai Ultrasimple Brugada criterion yang
diajukan oleh Brugada pada tahun 2010 dimana belum banyak penelitian yang membahas
mengenai akurasi dari kriteria tersebut.
Algoritme-algoritme tersebut digunakan untuk membantu untuk membedakan VT dan
SVT dengan aberansi, namun sampai sekarang belum ada konsensus jelas mengenai algoritme
mana yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik

Algoritme Brugada
Pada tahun 1991, Brugada et al. mengadakan penelitian dengan mengevaluasi
karakteristik-karakteristik EKG yang sudah ada untuk menentukan karakteristik mana yang
memiliki akurasi yang terbaik. Brugada et al. mengumpulkan karakteristik-karakteristik EKG yang
sudah ada sebelumnya yaitu: disosiasi atrioventrikular, deviasi aksis ke kiri, kompleks QRS >140
ms, serta kriteria-kriteria morfologi pada sandapan prekordial yang diajukan oleh Wellens et al
lalu melakukan uji diagnostik untuk menentukan akurasi dari karakteristik tersebut.6
Brugada et al menemukan semua SVT dengan aberansi setidaknya memiliki satu sandapan
precordial dengan kompleks RS, namun hanya 45% dari VT yang sama sekali tidak memiliki
kompleks RS di sandapan prekordialnya. Sehingga kriteria ini memiliki spesifisitas 100%.
Brugada et al juga mengukur interval RS dari semua rekaman EKG yang memiliki kompleks RS
dan mendapatkan tidak ada SVT dengan aberansi yang memiliki interval RS > 100 ms. Oleh
karena itu Brugada memasukkan 2 kategori tersebut, yaitu tidak adanya kompleks RS pada
sandapan prekordial dan interval RS > 100 ms pada algoritmenya.6

10
Gambar 2. Gambaran EKG pada VT dengan disosiasi atrioventrikular (tanda panah). 5

Berdasarkan penemuan tersebut maka Brugada et al membuat algoritme bertingkat.


Brugada et al kemudian melakukan uji diagnostik untuk algoritme baru tersebut dan mendapatkan
hasil yang cukup baik. Uji diagnostik dilakukan untuk setiap langkah dari algoritme bertingkat
tersebut dan mendapatkan hasil akhir sensitisitas sebesar 98.7 % dan spesifisitas sebesar 96.5 %
untuk diagnosa VT dan sensitivitas sebesar 96.5 % dan spesifisitas sebesar 98.7 % untuk diagnosa
SVT dengan aberansi. (Brugada P. 1991)

11
Gambar 3 . Algoritme Brugada untuk membedakan VT dan SVT dengan aberansi. 5

12
Algoritma Vereckei
Pada tahun 2007 Vereckei et al kembali meneliti kriteria-kriteria yang dapat digunakan
untuk membedakan VT dan SVT dengan aberansi pada takikardia dengan kompleks QRS lebar.
Vereckei et al tetap menggunakan kriteria disosiasi atrioventrikular karena merupakan
karakteristik yang patognomonik untuk VT dengan angka spesifisitas 100%. Kriteria baru yang
digunakan oleh Vereckei et al adalah adanya gelombang R pada awal kompleks QRS di sandapan
aVR, morfologi kompleks QRS yang tidak menyerupai blok berkas cabang ataupun blok fasikular,
dan perbandingan antara initial velocity (vi) dan terminal velocity (vt ).7
Adanya gel R pada awal kompleks QRS di sadapan aVR berbeda dengan karakteristik aksis
sebelumnya yang hanya melihat deviasi aksis ke kiri yang pada umumnya menghasilkan hasil
vektor positif di sandapan aVR, namun pada kriteria ini dibutuhkan adanya gelombang R pada
awal kompleks QRS. Karena sumber irama VT berasal dari ventrikel, maka arah impuls umumnya
mengarah ke atas pada fase awal sehingga menimbulkan defleksi positif pada awal kompleks QRS
pada sandapan aVR.
Morfologi kompleks QRS yang yang tidak menyerupai blok berkas cabang ataupun blok
fasikular dianggap sebagai pertanda dari VT karena pada SVT dengan aberansi impuls tetap akan
melalui berkas his kemudian ke salah satu cabang berkas cabang sehingga akan memberikan
gambaran blok berkas cabang ataupun blok fasikular.

13
Gambar 4. Algoritma Vereckei pertama11

Kriteria vi/vt dipakai untuk menunjukkan arah dan kecepatan hantaran dari impuls listrik
saat terjadi takikardia. Vi atau initial velocity adalah voltase dalam millivolt 40 ms setelah awal
kompleks QRS yang dianggap menggambarkan penjalaran impuls pada saat mulamula
depolarisasi ventrikel. Sedangkan vt atau terminal velocity adalah voltase dalam milivolt 40 ms
sebelum akhir dari kompleks QRS yang dianggap menggambarkan penjalaran impuls pada saat
menjelang akhir dari depolarisasi ventrikel. Pada takikardia kompleks QRS lebar yang disebabkan
oleh SVT dengan aberansi impuls pertama kali timbul pada septum entrikel melalui berkas his
sehingga penjalaran impuls cenderung lebih cepat, kemudian impuls terus menjalar sampai ke otot
ventrikel dimana impuls menjalar dari sel otot ke sel otot yang berjalan lebih lambat, sehingga vi

14
> vt . Sebaliknya yang terjadi pada VT sehingga vi < vt . Sandapan yang diambil adalah sandapan
yang memiliki vi paling cepat.

Gambar 5 . Contoh penggunaan kriteria vi/vt pada EKG yang menunjukkan diagnosis VT9

Vereckei kemudian menguji akurasi dari algoritme baru tersebut danmembandingkannya


dengan algoritme Brugada dan mendapatkan algoritme baru memiliki spesifisitas sebesar 72,4 %
dan sensitivitas sebesar 95.7%, sementara algoritme Brugada memiliki spesifisitas sebesar 73.3%
dan sensitivitas sebesar 88.2%.

Algoritme aVR
Pada tahun 2008 Vereckei kembali membuat algoritme baru dengan prinsip yang baru,
yaitu algoritme yang dibuat hanya berdasarkan prinsip perbedaan dari arah dan kecepatan impul
pada awal dan akhir dari aktivasi ventrikel saat takikardia dengan QRS lebar.8
Algoritme aVR ini dibuat berdasarkan 3 konsep baru yaitu:
1. Penggunaan hanya sandapan aVR untuk membedakan VT dan SVT dengan aberansi,
2. Algoritme ini dapat membedakan VT ke dalam 2 grup yaitu: a.VT yang timbul dari daerah
apikal atau inferior ventrikel, dan b. VT yang timbul dari daerah ventrikel lainya

15
3. Algoritme pertama yang tidak menggunakan disosiasi atrioventrikular yang selalu digunakan
oleh sebelumnya.
Algoritme ini dibuat untuk melengkapi kelemahan dari algoritme sebelumnya dimana
gelombang R awal kompleks QRS di sandapan aVR hanya timbul pada VT dengan fokus di daerah
apikal atau inferior saja. Vereckei meneliti gambaran EKG apabila irama VT yang timbul berasal
dari tempat lain seperti di daerah ventrikel kanan ataupun daerah basal. Sehingga dengan algoritme
ini selain dapat membedakan irama VT dan SVT dengan aberansi pada takikardia dengan
kompleks QRS lebar, kita juga dapat memprediksi asal dari impuls VT tersebut.8
Untuk mengatasi kelemahan tersebut maka Vereckei menambahkan 2 langkah baru yaitu
adanya gelombang q atau r > 40 ms dan adanya takik pada gelombang negatif pada awal kompleks
QRS di sandapan aVR.
Vereckei et al kemudian melakukan uji diagnostik untuk membandingkan ke 3 algoritme
yang sudah ada, yaitu algoritme Brugada, Vereckei, dan aVR dan mendapatkan spesifisitas ketiga
algoritme tersebut secara berurutan adalah: 73.2%, 74.1%, dan 75%, sementara sensitivitasnya
adalah: 89%, 95.7%, 96.5%. Selain itu, Vereckei et al menyebutkan waktu yang dibutuhkan untuk
membuat diagnosis VT atau SVT dengan aberansi jauh lebih singkat dengan menggunakan
algoritme aVR bila dibandingkan dengan algoritme Vereckei dan Brugada.8

Gambar 6. Algoritma baru dari Vereckei yang hanya menggunakan sandapan AVR beserta uji diagnostiknya 5

16
Algoritme Ultrasimple Brugada
Algoritme Ultrasimple Brugada atau R-Wave Peak Time adalah karakteristik EKG baru
yang diajukan oleh Brugada et al pada tahun 2010. Algoritme ini unik karena hanya terdiri dari
satu langkah saja sehingga membuatnya cukup mudah digunakan. Algoritme ini dibuat
berdasarkan penelitian yang mengatakan bahwa impuls yang menyebar pada otot jantung secara
transversal akan berjalan lebih lambat bila dibandingkan dengan impuls yang berjalan secara
longitudinal.9
Valderrábano mengadakan penelitian dan menemukan impuls yang berjalan secara
transversal akan berjalan lebih lambat bila dibandingkan dengan impuls yang berjalan secara
longitudinal. Sifat konduksi yang anisotropik ini disebabkan oleh karena gap junction pada otot
jantung tidak tersebar secara merata dan lebih banyak terdapat pada ujung-ujung otot jantung,
sehingga impuls akan lebih mudah dihantarkan bila berjalan secara longitudinal melalui otot
jantung.
Berdasarkan teori tersebut Brugada et al kembali membuat kriteria EKG yang jauh ebih
sederhana dan hanya terdiri dari satu langkan untuk membedakan VT dan SVT dengan aberansi
pada takikardia dengan kompleks QRS lebar. Kriteria itu sering disebut R Wave Peak Time pada
sandapan II yaitu dengan mengukur jarak dari awal kompleks QRS di sandapan II sampai pada
puncak dari gelombang defleksi pertama pada kompleks QRS tersebut terlepas apakah defleksi
tersebut positif atau negatif. Dengan menggunakan perhitungan area under curve didapatkan nilai
batas yang dipakai adalah 50 ms.9

Gambar 7. Perhitungan R Wave Peak Time pada EKG sesuai algoritme R wave peak time12

17
Setelah dilakukan pengujian, ternyata kriteria ini memiliki angka baik spesifisitas maupun
sensitivitas yang sangat baik yaitu dengan nilai sensitivitas 93.2% dan spesifisitas 99.3%. Karena
algoritme ini cukup sederhana dan mudah arena hanya terdiri dari satu langkah saja, maka
algoritme ini dapat digunakan secara luas dan akan memudahkan dalam mendiagnosis VT atau
SVT dengan aberansi pada takikardia dengan kompleks QRS lebar. Namun pada penelitian ini
Brugada et al tidak melakukan perbandingan akurasi dengan algoritme lainnya yang sudah ada.

18
Daftar Pustaka

1. Surawicz B, Childers R, Deal BJ, et al: AHA/ACCF/HRS recommendations for the


standardization and interpretation of the electrocardiogram. III. Intraventricular
conduction disturbances: a scientific statement from the American Heart Association
Electrocardiography and Arrhythmias Committee, Council on Clinical Cardiology; the
American College of Cardiology Foundation; and the Heart Rhythm Society. Endorsed
by the International Society for Computerized Electrocardiology, J Am Coll Cardiol
53:976–981, 2009.
2. Miller JM, Das MK: Differential diagnosis of wide QRS complex tachycardia. In Zipes
DP, Jalife J, editors: Cardiac electrophysiology: from cell to bedside, ed 5,
Philadelphia, 2009, WB Saunders, pp 823–830.
3. Pava LF, Perafan P, Badiel M, et al: R-wave peak time at DII: a new criterion for
differentiating between wide complex QRS tachycardias, Heart Rhythm 7:922–926,
2010.
4. Colucci R, Silver M and Shubrook. Common Types of Supraventricular Tachycardia:
Diagnosis and Management. Am Fam Physician. 2010; 82(8): 942-952.
5. Issa Z., Miller J. M., Zipes D. P. Approach to Wide QRS Complex Tachycardias. In:
Clinical Arrhythmology and Electrophysiology: a Companion to Braunwald’s Heart
Disease. 2nd ed. Philadephia: Elsevier; 2012: 499-512.
6. Brugada P., Brugada J., Mont L., Smeets J., Andries E. W. 1991. A new approach to
the differential diagnosis of a regular tachycardia with a wide QRS complex.
Circulation. 83 (5): 1649-59.
7. Vereckei A., Duray G., Szenasi G., Altemose G. T., Miller J.M. 2007. "Application of
a new algorithm in the differential diagnosis of wide QRS complex tachycardia."
European Heart Journal 28 (5): 589-600.
8. Vereckei A., Duray G., Szenasi G., Altemose G. T., Miller J. M. 2008. "New algorithm
using only lead aVR for differential diagnosis of wide QRS complex tachycardia."
Heart rhythm : the official journal of the Heart Rhythm Society 5 (1): 89-98.
9. Pava L. F., Perafan P., Badiel M., Arango J. J., Mont L., Morillo C. A., et al. 2010. R
wave peak time at DII: a new criterion for differentiating between wide complex QRS
tachycardias. Heart rhythm : the official journal of the Heart Rhythm Society. 7
(7):922-6.
10. Priori SG, Blomstrom-Lundqvist C, Mazzanti A, Blom N, Borggrefe M, Camm J, et
al. 2015. 2015 ESC Guidelines for the management of patients with ventricular
arrhythmias and the prevention of sudden cardiac death. European Heart Journal 36:
2793-2867
11. Issa Z., Miller J. M., Zipes D. P. Verapamil-Sensitive (Fascicular) Ventricular
Tachycardia. In: Clinical Arrhythmology and Electrophysiology: a Companion to
Braunwald’s Heart Disease. 2nd ed. Philadephia: Elsevier; 2012: 587-593

19
12. Badhwar N, Scheinman MM: Electrophysiological diagnosis of wide complex
tachycardia, Pacing Clin Electrophysiol 32:473–474, 2009.
13. Daoud EG: Bundle branch reentry. In Zipes DP, Jalife J, editors: Cardiac
electrophysiology: from cell to bedside, ed 4, Philadelphia, 2004, WB Saunders, pp
683–686.
14. Abdelwahab A, Gardner MJ, Basta MN, et al: A technique for the rapid diagnosis of
wide complex tachycardia with 1:1 AV relationship in the electrophysiology
laboratory, Pacing Clin Electrophysiol 32:475–483, 2009.

20

Anda mungkin juga menyukai