Kelainan kongenital merupakan kelainan yang sudah ada sejak lahir yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun non genetik. Labiopalatognatoskizis adalah salah satu dari kelainan kongenital yang tersering pada kepala dan leher. Menurut World Health Organization (WHO) perkiraan kasus ini di dunia sekitar 1 per 500-700 kelahiran. Prevalensi di Asia adalah sekitar 1 dari 500 kelahiran1,2,3. Menurut National Institutes for Dental and Craniofacial Research yang bekerjasama dengan WHO, prevalensi labioskizis dan labiopalatoskizis di 30 negara selama setidaknya 1 tahun lengkap selama periode 2000 hingga 2005, yang terdiri lebih dari 7,5 juta kelahiran, adalah sebanyak 7.704 kasus. Di Indonesia pernah dilakukan penelitian oleh Loho pada tahun 2013 di Bagian Bedah RSUP. Prof. Dr. RD. Kandou Manado didapatkan prevalensi labioskizis dan labiopalatoskizis pada Januari 2011 Oktober 2012 yaitu 57% dan 43%. Kasus ini lebih sering terjadi pada laki laki dimana didapatkan presentase sebesar 58%, sedangkan wanita 42%. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007 didapatkan prevalensi labioskizis terbesar adalah di Provinsi DKI Jakarta yaitu 13,9%, kemudian Sumatera Selatan (10,6%), dan Nanggroe Aceh Darussalam 7,8%4,5,6. Penyebab dari kasus ini adalah multifaktorial, termasuk
lingkungan,
sindrom dan genetik (nonsindrom). Obat-obatan serta riwayat pengobatan anti
1
konvulsan, radiasi, rokok, dan konsumsi alkohol diduga juga terkait dengan kejadian
labiopalatognatoskizis.
Individu
dengan
labiopalatognatoskizis
menunjukkan beberapa masalah seperti kesulitan pemberian nutrisi, masalah gizi,
keterlambatan perkembangan, kesulitan berbicara serta resonansi suara yang kurang baik, gangguan pendengaran, dan mungkin masalah psikososial3. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Freitas et al pada tahun 2012, bayi dengan labiopalatognatoskizis mengalami peningkatan berat badan yang lebih sedikit dibandingkan dengan bayi normal pada bulan pertama kehidupan. Hal ini dipengaruhi oleh masalah pemberian makan. Pemberian nutrisi yang cukup sangat diprioritaskan pada bulan-bulan pertama kehidupan, terutama penting untuk perencanaan operasi. Penelitian yang dilakukan oleh Cubitt pada tahun 2011 didapatkan bahwa bayi dengan labiopalatognatoskizis banyak mengalami malnutrisi berat dibanding bayi normal akibat dari pemberian nutrisi yang adekuat. Hal ini tentunya akan semakin memperberat target pemerintah dalam Millenium Development Goals (MDGs) 2015 yaitu untuk menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 15%. Pada tahun 2007 persentasi balita yang menderita kekurangan gizi adalah 18,4%. Di Kalimantan Selatan sendiri masih berada di 23% pada tahun 2010 untuk gizi kurang7,8,9. Pada makalah ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan, bayi berat lahir cukup, spontan belakang kepala, dengan
labiopalatognatoskizis yang dirawat inap di ruang Teratai RSUD Ulin
Banjarmasin sejak tanggal 14 September 2014 17 September 2014. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu tentang bagaimana mengetahui labiopalatognatoskizis serta dampak buruk yang ditimbulkan terhadap bayi, dan bagaimana tatalaksana kasus tersebut.
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini yaitu untuk mengkaji dan memperoleh gambaran dalam diagnosis serta penatalaksanaan pada kasus bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan, bayi berat lahir cukup, spontan belakang kepala, dengan labiopalatogenatoskizis.
1.4 Manfaat Penulisan
Pada penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis untuk menambah pengetahuan mengenai penyebab, faktor risiko, patofisiologi, skrining serta penatalaksanan labiopalatognatoskizis pada bayi yang kasusnya ditemukan di bagian Neonatologi RSUD Ulin Banjarmasin. Bagi para pembaca diharapkan dapat menambah informasi agar nantinya dapat semakin menurunkan dampak buruk serta risiko yang mungkin terjadi pada
bayi dengan labiopalatognatoskizis, dengan adanya pendiagnosisan dan terapi