Anda di halaman 1dari 9

Trauma Remuk selama Musim Dingin di Daerah Terpencil: laporan kasus

Abstrak

Trauma remukan merupakan hal yang sulit dan jarang terjadi dalam pengobatan pre-rumah
sakit. Trauma ini mengkombinasikan luka trauma, sindrom medis,dan teknik penyelamatan.
Gabungan dari masalah tatalaksana yang kompleks dapat menjadi hal yang sulit bagi pemberi
pelayanan pre rumah sakit dalam pengontrolan. Tata laksana trauma akibat remukan dalam
lingkungan yang keras memperberat derajat komplikasi yang ada. Pada artikel ini kami
menampilkan kasus seorang laki-laki dewasa yang mengalami trauma pada kaki kiri ketika batu
besar menusuk kakinya saat berada di salah satu jalan Eldorado Springs Canyon, Colorado ketika
badai salju dengan temperatur dibawah titik beku.Lokasi yang terpencil dan lingkungan yang
sulit menambahkan kesulitan pada pasien yang sulit ini.Hasil yang positif didapatkan melalui
deteksi dini potensi sindrom remukan dengan menanganinya secara medis, operasi pemindahan
yang terkoordinasi oleh kru penolong dan evakuasi lokasi kejadian dengan layak.

Pendahuluan

Trauma akibat remukan dan sindrom remukan sering terlihat pada daerah perkotaan berkaitan
dengan bangunan yang rubuh.Salah satu deskripsi pertama dari sindrom remukan berasal dari Dr.
Eric Bywaters selama Perang Dunia II di London.

Trauma akibat remukan terjadi ketika jaringan tertekan, menurunkan sirkulasi ke jaringan distal
trauma, dan menyebabkan lisis dari sel. Ada banyak mekanisme yang dapat menyebabkan
trauma remukan, seperti kurang bergunanya perlengkapan saat pendakian atau tubrukan benda
berat.Sindrom remukan adalah kumpulan dari beberapa trauma remukan yang mana otot skeletal
rusak karena trauma tumpul, yang berujung pada perubahan metabolic dan pelepasan komponen
intraselular.Gangguan status mental pada pasien dengan hipotermia telah didokumentasikan.Pada
kasus ini, responden melaporkan gejala gangguan status mental karena perburukan hipotermia.
Suhu pada tanggal tersebut lumayan tinggi yaitu sekitar 28 oF (-2oC) dengan kecepatan angina 15
MPH (24 km/jam) di bagian paling utara.
Laporan kasus

Kami melaporkan kasus seorang laki-laki berusia 23 tahun yang mengalami trauma remukkan
ketika kakinya terjebak dibawah batu granit besar berton-ton yang terlepas dan menjebaknya saat
mendaki.

Trauma terjadi pada hari yang dingin dibulan Desember pada sore hari, sekitar 2 mil (3,2km)
diatas gunung yang berlokasi di daerah bebatuan.Pasien membutuhkan operasi ekstrikasi luas
untuk mengeluarkan batu yang menusuknya, serta batu tersebut dikeluarkan dari lokasi ke jalan
terdekat untuk evakuasi pusat trauma.

Kejadian terjadi pada ketinggian sekitar 1330 dengan informasi bahwa seorang laki-laki yang
sedang mendaki di taman Eldorado Canyon mendapatkan batu besar yang menghantamnya dan
kakinya terjepit dibawah batu tersebut. Ambulans ALS yang dilengkapi dengan roda gigi
penyelamat, sebuah mesin api ALS, perusahaan penyelamatansudut belakang, dan tim SAR local
telah lebih dulu datang.

Kru respon awal mendaki setinggi 2 mil (3,2km) yang mana membawa mereka ke tebing yang
curam berisi batu granit dimana pasien berada 500 kaki diatas permukaan tanah.

Ketika tiba di lokasi pasien, dia berada di atas batu yang luas dengan tungkai kanan bawah dari
tumit terjebak diantara dua batu granit besar.Batu yang lebih besar telah terlepas dan berguling
ke arah pasien ketika dia mencoba menggunakannya untuk menarik dirinya ke atas.Batu tersebut
tidak stabil dan diam di tepi lateralnya serta harus diamankan dengan menahannya ke pohon
terdekat menggunakan tali.Pasien telah terjebak selama sekitar 90 menit sebelum penyelamat
tiba dan berteriak karena kesakitan.Riwaat penyakit, pengobatan sekarang, atau alergi obat
disangkal.

Pemeriksaan trauma cepat dilakukan.Kaki kanan bawah dari bagian tumit tertekan dibawah batu,
namun pemeriksaan bagian tubuh lainnya dalam batas normal.Perdarahan bermakna tidak
ditemukan.Pasien mengtakan bahwa dia sangat kesakitan dan dia tidak dapat merasakan
kakinya.Dia juga mengatakan bahwa dia merasa mual dan sangat kedinginan. Pasien sadar dan
tidak mengatakan keluhan atau trauma lain.
Karena suhu yang sangat dingin (28oF, -2oC) dan bekerja di lapangan yang curam dan dipenuhi
es, tanda vital pasien dipantau dengan pulse-oximeter jari, mempertahankan denyut radial, dan
komunikasi verbal.Jalur IV dipertahankan dan pasien diberikan ondansentron (Zofran) 4mg dan
Ketamin (Ketalar) 30mg, yang mana sedikit meredakan nyeri dan menurunkan rasa mual. Karena
suhu yang dingin, cairan IV dihangatkan dengan cara dibungkus dengan hot pack disekitarnya
untuk mencegah pasien mengalami hipotermia. Cara ini meredakan menggigil pada pasien dan
dia merasa bahwa dirinya “sedikit hangat”.Sebagai tambahan, selimut penghangat dibungkuskan
pada pasien. Akhirnya, tim medis memeluk pasien untuk menjaganya tetap hangat.

Managemen nyeri menggunakan Ketamin (Ketalar) dan cairan hangat dilanjutkan sambil
menunggu kru tambahan tiba di lokasi kejadian dan memindahkan bebatuan.Seperangkat
kantung pengangkat yangberisi udara untuk mengangkat objek keatas seperti udara pada botol
yang diisi. Sebagai tambahan, dua set alat lainnya digunakan untuk membantu pengangkatan dan
mencatat kemajuan apapun yang didapatkan dengan system beban yang dapat dilepaskan. Salah
satu system bergantung pada system putaran mekanik yang serupa dengan yang ditemukan di
kapal.System kedua adalah mesin 9-1 yang menggunakan tali 11mm dan katrol.

Sedikit demi sedikit tali untuk operasi telah lengkap, pasien telah terjepit selama kurang lebih 3
jam.Keputusan dibuat untuk melakukan protocol sindrom remukkan dan untuk
mengkoordinasikannya dengan tim pengangkat ketika memindahkan batu.

Langkah awal untuk memindahkan batu tersebut dari pasien adalah dengan memberikan 7,5mg
Albuterol via nebulizer, 100 meq sodium bikarbonat, 1mg kalsium klorida, dan 1 liter normal
saline. Segera sebelum batu dipindahkan, dosis tambahan Ketamin (Ketalar) 30mg diberikan
pasien pasien untuk meredakan nyeri.

Batu kemudian dipindahkan sekitar 5 inci (12cm) dan pasien dapat ditarik keluar ke matras
vakum full body dan selimut penghangat.Pasien diletakkan pada matras vakum dan diletakkan
dalam mobil evakuasi bergerak.Tungkai bawah diperiksa dan tidak ada perdarahan atau
deformitas besar yang terlihat.Pasien menggunakan sepatu lari dengan 3 lapis kaos kaki.Karena
pemanjangan waktu dalam evakuasi pasien pada cuaca dingin, sepatu dibiarkan tetap terpasang
dengan tali sepatu yang digunting untuk memberikan ruang yang cukup jika ada potensi
pembengkakan.Pasien sadar dan orientasi baik serta tidak ada perubahan kondisi setelag
pemindahan batu.

Suhu telah turun hingga 12oF (-11oC) dan angin telah menjadi lebih cepat pada kondisi ini, yang
menyebabkan jalur IV dan cairan membeku, walaupun telah diberikan lebih banyak alat
penghangat. Terapi lebih lanjut diberikan secara intramuskulas untuk mengatasi masalah ini.

Pengeluaran pasien membutuhkan waktu sekitar 90 menit, selama waktu tersebut pasien
mendapatkan 3 dosis Ketamin (Ketalar), diberikan secara intramuscular karena tidak adanya
jalur intravena, dan dosis selanjutnya dari Ondansentron (Zofran). Pasien masih stabil dan
mampu melakukan percakapan selama evakuasi.

Ketika ambulans tiba pasien dibungkus dalam selimut hangat dan dipindahkan ke dalam
usungan.Sepatu dilepaskan untuk menemukan deformitas minor dibagian lateral kaki.Terlihat
pembengkakan berat diseluruh kaki, pulsus pedis tidak teraba, dan jari-jari tampak kehitaman
serta CRT yang jelek. Pasien ditempatkan pada monitor kardiak dan EKG menunjukkan ritme
sinus dengan tidak ada ektopi atau elevasi segmen ST.

Pasien dipindahkan ke pusat trauma terdekat yaitu sekitar 20 menit jauhnya dimana dia
selanjutnya bertemu tim trauma di Departemen Kegawatdaruratan. Dia dibawa ke rumah sakit
dimana perawatannya dipindahkan ke tim bedah trauma untuk konsultasi operasi, tata laksana,
dan terakhir, rehabilitasi.

Diskusi

Kasus ini menunjukkan sejumlah stadium komplikasi terhadap responden.Pertama, patologi dari
trauma remukan yang membuat pasien dengan trauma ini berada pada risiko tinggi
dekompensasi. Kedua, kondisi yang kompleks dari pemindahan pasien dari keterjebakannya, dan
kemudian mengeluarkan pasien dari lingkungan tersebut. Ketiga, lingkungan tersebut jauh dari
sumber daya pada hari tersebut dengan suhu yang sangat rendah, yang menyebabkan hipotermia
sehingga berefek bukan hanya pada pasien namun penolong juga.
Patofisiologi Trauma Remuk

Kompleksitas dari trauma remuk sering didiskusikan kaitannya dengan kerjadian berskala besar,
seperti gempa bumi.Pada kasus penelitian ini, hanya ada satu pasien yang harus ditangani,
namun pasien tersebut mengalami kecelakaan yang lumayan jauh dari pusat pelayanan
kesehatan.Sel dari kaki pasien tertekan oleh berat batu, yang menyebabkan lisis dari beberapa sel
dan iskemia.Gangguan awal dari efek batu yang menimpa kaki pasien adalah rhabdomyolisis
traumatic.

Rhabdomyolisis traumatic terjadi ketika ada tekanan pada otot skelet. Ketika otot skelet tertekan,
maka akan timbul peningkatan permeabilitas dari sarcolemma. Hal ini meningkatkan
permeabilitas karena pergeseran ion antara ruang ekstraseluler dan ruang intraseluler dari
sarcolemma.Pergeseran konsesntrasi ion ini menyebabkan konsentrasi potassium ekstraseluler
tinggi dan konsentrasi kalsium intraseluler tinggi.Peningkatan potassium ekstraseluler dapat
menyebabkan aritmia jantung.Penurunan kalsium ekstraseluler menyebabkan spasme otot, yang
mana mengakibatkan deplesi dari Adenosine Triphosphate (ATP).Kondisi ini diperparah oleh
produksi ATP terkompenasi pada kasus kompartemen syndrome karena kondisi anaerob dari sel
yang iskemik.Rhabdomyolisis traumatic sering tidak tertangani dan kadang meskipun tertangani,
dapat berkembang menjadi AKI dan kegagalan multi organ.Reperfusi dari jaringan yang terjebak
menyebabkan pembentukan oksigen bebas radikal, yang mana menarik neutrophil dan
melepaskan enzim yang membunuh lebih banyak sel. Kematian sel dalam jumlah besar yang
tiba-tiba menyebabkan disregulasi cairan dan edema local.Pergeseran cairan dari sel dan ruang
intravascular ke dalam ruang interstisial menyebabkan perburukan dari sindrom kompartemen
dan bahkan mengakibatkan syok hipovolemik.

Tatalaksana Trauma Remuk

Tatalaksana trauma remuk dapat merupakan hal yang sulit karena keterlibatan banyak organ dan
system. Sebagaimana dengan trauma lain, penting untuk melihat mekanisme dan keparahan
trauma untuk meyakinkan bahwa trauma tersebut bukanlah distraksi dari kondisi mengancam
nyawa yang lain. Dokter sebaiknya mengetahui potensi sindrom kompartemen sebagai diagnosis
banding pada mereka yang mengalami trauma remuk. Sindrom kompartemen dapat terlihat pada
trauma remuk dengan menilai tanda pain, pallor, paresthesia, paralisis, poikilothermia,
dnapulselessness atau yang lebih dikenal sebagai 6P. Temuan ini dapat bersifat tunggal ataupun
multiple dan sebaiknya dipantau jika ada tanda perburukkan dari sindrom kompartemen.

Tatalaksana sindrom remukan sebaiknya berfokus pada mengatasi efek rhabdomyolisis traumatic
untuk mencegah terjadinya AKI.Bolus cairan sebaiknya diberikan sebelum dan setelah pelepasan
jaringan yang terperangkat untuk mengurangi efek pergeseran ion.Pergantian cairan yang agresif
secara dini menujukkan perbaikan pada pasien dalam mecegah AKI.Suhu lingkungan sebaiknya
diperhatikan untuk melihat apakah jaringan yang terlibat mengalami poikilothermic.Albuterol
dapat diberikan melalui nebulizer, jika tidak ada kontraindikasi, untuk mengatasi hyperkalemia
yang berhubungan dengan rhabdomyolisis traumatic.Sodum bikarbonat disarankan pada trauma
remuk untuk mengendalikan efek asidosis laktat dan hyperkalemia.Kalsium dapat diberikan jika
pasien mengalami hipokalsemia berat namun sebaiknya diberikan secara terpisah untuk
menghindari hiperkalsemia.Walaupun tidak sering dilakukan pada kondisi pre rumah sakit,
insulin dan D50 juga dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien ini untuk menurunkan
peningkatan level potassium.Mannitol digunakan oleh beberapa sarana pelayanan dalam
menangani trauma remuk; namun penggunaanya dapat berbahaya ketika diberikan dalam dosis
yang lebih tinggi, menyebabkan vasokonstriksi ginjal dan perburukkan hyperkalemia.

Tantangan lingkungan

Beberapa responder dari kasus yang dilaporkan mengatakan mengalami menggigil, perasaannya
sedikit terganggu dan merasa pusing setelah beberapa lama di lokasi kejadian.Pada hari
penyelamatan, suhunya adalah 28oF (-2oC) dengan kecepatan angina 15 mph (24 km/jam).Suhu
tersebut tidak memungkinkan untuk mendaki dengan jaket yang tipis, namun ketika responder
sampai di lokasi pasien mereka berkeringat dan kehilangan panas dengan cepat.Penelitian telah
menunjukkan bahwa hipotermia biasanya dapat dihindari dengan muah dengan aktifitas sedang,
namun setelah beraktifitas dicuaca yang dingin selesai, panas tubuh dengan cepat
menghilang.Aktifitas intermitten menyebabkan tubuh menggunakan lebih banyak O 2 dan
glukosa untuk termoregulasi. Efek dari hipoterma ringan pada responden terlihat sedikit namun
dapat sangat mempersulit proses penyelamatan. Menggigil adalah proses involunteer dimana
tubuh mencoba untuk menningkatkan produksi panas.Bagi responden, menggigil muncul sebagai
efek kurang pergerakan dan peningkatan penggunaan energy.Tindakan sederhana seperti
memulai pemberian cairan IV dan mengikat tali menjadi kesulitan terbesar ketika
menggigil.Responder yang mengalami menggigil dan hipotermia ringan kebanyakan
menggunakan sweater katun.Penelitian menunjukkan bawa jaket anti angina dan topi polyester
ringan efektif dalam mencegah hipotermia selama aktifitas fisik intermitten. Responden yang
berada pada lingkungan seperti kasus yang dipresentasikan juga memeberikan kesulitan bagi
perlengkapan kesehatan dan pengobatan yang akan digunakan. Obat-obatan dibuat agar dapat
disimpan dan diberikan pada rentang suhu yang sempit untuk dapat memberikan hasil yang
diharapkan.Titik beku dari normal saline mirip dengan air, yaitu 0oC.Pada hari kejadian, suhu
berada dibawah titik beku normal saline.Saline pada perangkat IV rawan untuk membeku. Untuk
mengatasi masalah pembekuan normal saline heat pack diletakkan disekelilingnya. Cara ini
menghangatkan cairan saline pada titik yang sesuai untuk pasien demi mencegah masalah
pengaliran IV dan juga mencegah hipotermia karena cairan tersebut pada pasien.

Ketamine untuk nyeri

Ketamine telah dianggap sebagai tatalaksana mandiri yang efektif dalam managemen nyeri pada
pasien trauma.Ketamin bekerja sebagai antagonis reseptor N-methyl-d-aspartate (NMDA) yang
mana dikenal sebagai agen analgesicnya pada dosis yang rendah.Dosis ketamine lebih dari
1mg/kgBB digunakan pada prosedur anastesi baik pada proses induksi maupun
perioperative.Dosis 0,3mg/kgGG meningkat penggunaannya dalam managemen nyeri pada
bagian kegawatdaruratan dan pre rumah sakit.Ketamine dosis rendah ini menunjukkan
peningkatan sintesis nitric oxide ketika berikatan pada reseptor opiat µ.Hasil dari ketamine dosis
rendah ini adalah inhibisi nosisepsi.Terapi ini dapat menjadi lebih efektif ketika dipasangkan
dengan terapi opiat, seperti morfin, karena hubungan sinergisitas yang dimiliki obat tersebut
terhadap reseptor opiat.

Ada keuntungan dan kerugian dari penggunaan ketamine untuk managemen nyeri.Pasien kecil
kemungkinan memiliki toleransi terhadap ketamine. Dengan penggunaan dan overdosis opiate
pada tingkat pandemic di Amerika Serikat, banyak dokter mencari alternative pengobatan lain
terkait pemberiaanya dalam managemen nyeri. Bahkan penelitian telah menunjukkan bahwa
ketamine dapat membantu penghentian penyalahgunaan opioid. Keuntungan lain dari ketamine
adalah efeknya yang kecil terhadap system sirkulasi. Jika dibandingkan dengan opiate, ketamine
memiliki efek komplikasi yang lebih rendah terhadap kardiovaskular dan repirasi. Pasien yang
diberikan ketamine dosis rendah untuk pereda nyeri sering mengalami sedikit peningkatan
tekanan darah, dimana opiate dikenal sebagai penyebab penurunan tekanan darah. Hal ini
membuat ketamine sebagai obat yang ideal untuk pasien trauma, terutama mereka yang berada
pada lingkungan yang jauh dari pelayanan kesehatan.Ketamine memiliki efek samping
neuropsikiatri, seperti halusinasi dan mual, bahkan pada dosis yang rendah.Efek samping ini
dapat sangat mempeberat penyelamatan di daerah pedalaman, karena mereka dapat mengubah
pasien yang awalnya biasa saja menjadi agresif.Efek neuropsikiatri dari ketamine dapat diatasi
dengan pemberiannya dalam infus perlahan sebanyak 2-3µg/kgBB/menit pada konsentrasi
rendah.

Tantangan pengeluaran

Daerah terpencil dan informasi sebelum tiba yang sedikit sehingga perlengkapan yang
normalnya dipersiapkan untuk ekstriksi harus dibawa secara manual ke lokasi yang
terpencil.Perlengkapan ini mencakup kantong udara pengangkat, botol air, pemotong, tali
tambahan, kabel, dan katrol pengangkat.Jumlah perlengkapan dan beban yang diangkat
mengakibatkan keterlambatan yang signifikan sebelum tiba di dasar ngarai hingga perlengkapan
dan personil penyelamat tiba.

Ketika di tempat, kantung pengangkat menambah tantangan tak terduga.Ketika batu diangkat,
batu itu cenderung berputar pada porosnya daripada terangkat secara vertikat. Operasi awal harus
dihentikan ketika system mekanik tambahan dibuat menggunakan kabel dan kerekan untuk
menstabilkan gerakan lateral dan membuat pemindahan benar-benar aman bagi semua kru yang
terlibat.

Setelah pasien berhasil dipindahkan, dia ditempatkan pada tandu dan harus dipantau secara
berkala oleh tim medis, sementara itu pada waktu yang bersamaan dibungkus dalam selimut
penghangat untuk mempertahankan panas tubuh. Tambahan, lereng yang curam di daerah
tersebut, hari yang semakin gelap, dan jalur yang sulit meningkatkan kompleksitas
penyelamatan.Penambat jalan dibuat pada interval 100 kaki (33m) sebagai penyangga jika
penyelamat kehilangan pijakan, sehingga hal ini menjegak kejadian jatuhnya tandu.

Evakuasi udara oleh helicopter tidak memungkinkan karena tingginya kecepatan angin dan salju
yang terus meningkat selama waktu penyelamatan.
Kesimpulan

Managemen sindrom remukan dapat sulit dilakukan bahkan pada lingkungan terbaik
sekalipun.Penyediaan pelayanan yang layak dan koordinasi pada operasi yang sulit dapat
membuat kewalahan responden awal.Kasus yang ditampilkan menjelaskan tantangan yang
ditemui oleh responden yang terdiri dari beberapa daerah yang sempit, lingkungan yang sulit,
ekstriksi managemen medis, dan evakuasi ke fasilitas trauma.Pelajaran yang dapat diambil dari
kejadian ini adalah butuhnya metode peringatan jangka panjang bagi responden, pasien, dan
obat-obatan demikian juga penyediaan bagi tim penolong kesempatan pelatihan abstrak dalam
pemecahan masalah di lokasi kejadian.Melalui usaha terkoordinasi yang melibatkan berbagai
pihak, akhirnya hasil yang baik bagi pasien didapatkan.

Anda mungkin juga menyukai