Anda di halaman 1dari 34

BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA KASUS BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

PTERYGIUM

Oleh:
Dimitra Liany, S.Ked
K1A1 14 013

Pembimbing
dr. Melvin Manuel Philips, Sp. M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Dimitra Liany

NIM : K1A114013

Judulkasus : Pterigium

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan

klinik pada Bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu

Oleo.

Kendari, Maret 2019

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Melvin Manuel Philips, Sp.M

1
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. D

Umur : 47 tahun

Suku : Tolaki

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil

Tgl penerimaan : 28 Februari 2019

Rekam Medik : 20 XX XX

Dokter Muda Pemeriksa : Dimitra Liany

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama : Mata kiri berair

Anamnesis terpimpin :

Pasien datang ke poli mata RSUD Kota Kendari dengan keluhan mata

kiri berair dan mata terasa perih, mata merah serta pasien merasakan seperti

ada sesuatu yang mengganjal saat pasien menutup mata kirinya. Hal ini

dirasakan sejak kurang lebih sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien juga

mengeluhkan pandangannya terganggu seperti ada yang menghalangi.

Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat penyakit mata sebelumnya (-), Riwayat

kontak dengan kerabat yang mempunyai keluhan serupa (-), Riwayat trauma

2
(-), Riwayat memakai kacamata (-), Riwayat alergi (-), Riwayat penyakit

dalam keluarga (-), Riwayat pengobatan (-).

C. PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
1. Inspeksi
No Pemeriksaan OD OS
.

1. Palpebra Normal Normal

2. App. Lakrimalis Lakrimasi (+) Lakrimasi (+)

3. Silia Normal Normal

4. Konjungtiva Fibrovaskuler (-), Fibrovaskuler (+),


injeksi konjungtiva injeksi konjungtiva
(-) (+)

5. Bola mata Ke segala arah Ke segala arah

6. Mekanisme
muscular

7. Kornea Jernih Jernih

8. Bilik mata depan Normal Normal

9. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)


Shadow test (+) Shadow test (+)

10. Pupil Bulat, sentral, Bulat, sentral,


diameter 2.5 mm diameter 2.5 mm,
RCL (+) RCL (+)

11. Lensa Jernih Jernih

2. Palpasi
No. Pemeriksaan OD OS

1. Tensi Okuler Normal/palpasi Normal/palpasi

3
2. Nyeri Tekan (-) (-)

3. Massa Tumor (-) (-)

4. Glandula periaurikuler Pembesaran (-) Pembesaran (-)

3. Tonometri : Tidak dilakukan pemeriksaan


4. Visus : VOD= 6/6
VOS = 6/6
5. Penyinaran Oblik
Pemeriksaan OD OS

Konjungtiva Fibrovaskuler (-) Fibrovaskuler (+)

Kornea Jernih Jernih

Bilik mata depan Kesan normal Kesan normal

Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)


Shadow test (+) Shadow test (+)

Pupil Bulat, sentral, diameter Bulat, sentral, diameter


2.5 mm, RCL (+) 2.5 mm, RCL (+)

Lensa Jernih Jernih

6. Funduskopi : Refleks fundus (+) uniform

7. Slit lamp : pada konjungtiva OS tampak jaringan

fibrovaskular (+) yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih 2

mm melewati kornea, kornea jernih, iris coklat kripte (+), pupil bulat

sentral, RCL (+), lensa jernih.

8. Laboratorium : Dalam batas normal

9. Colour Sense : Tidak dilakukan pemeriksaan

10. Campus Visual : Tidak dilakukan pemeriksaan

4
11. Fluorescent Test : Tidak dilakukan pemeriksaan

D. RESUME

Pasien Ny. D datang ke poli mata RSUD Kota Kendari dengan

keluhan mata kiri berair disertai mata terasa perih, mata merah dan pasien

merasakan seperti ada yang mengganjal ketika menutup mata kirinya. Hal ini

dirasakan sejak kurang lebih sekitar 4 bulan yang lalu. Pasien juga

mengeluhkan pandangan seperti terhalang sesuatu. Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat penyakit mata sebelumnya (-), Riwayat kontak dengan kerabat yang

mempunyai keluhan serupa (-), Riwayat trauma (-), Riwayat memakai

kacamata (-), Riwayat alergi (-), Riwayat penyakit dalam keluarga (-),

Riwayat pengobatan (-).

Pada pemeriksaan oftamologi didapatkan pada inspeksi, konjungtiva

OS tampak fibrovaskular (+), lakrimasi (+), kornea tampak membran

berbentuk segitiga. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD 6/6 VOS 6/6.

Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan refleks fundus (+) uniform dan

pemeriksaan slit lamp pada konjungtiva sinistra terdapat jaringan

fibrovaskular (+) yang sudah melewati limbus kornea tetapi tidak melebihi 2

mm melewati kornea.

E. DIAGNOSIS

Pterigium grade II OS

F. PENATALAKSANAAN

Medikamentosa

Tobroson 4 x 1 gtt OS

5
Non medikamentosa

- Edukasi pasien mengenai higienis kedua mata.

- Edukasi pasien untuk mengurangi paparan sinar matahari, debu, dan asap.

G. PROGNOSIS

Dubia ad bonam

H. GAMBAR KLINIS

Gambar 1. Mata kiri pasien

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi

Konjungtiva adalah membran yang menutupi sklera dan kelopak

bagian belakang. Nama konjungtiva diberikan kepada membran mukosa ini

karena bahwa konjungtiva menghubungkan bola mata dengan kelopak mata.

Membentang mulai dari pinggir kelopak mata ke limbus, dan membungkus

ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di depan

fissura palpebra.1

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian:

1. Konjungtiva palpebra. Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak

mata dan melekat kuat pada tarsus. Konjungtiva palpebralis terbagi 3

yakni konjungtiva marginal, tarsal, orbital. Konjungtiva marginal

membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada bagian belakang

kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian ini

sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebih tepatnya.

Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular.

Bagian ini melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada

kelopak mata bawah, hanya melekat pada setengah bagian tarsal.

Konjungtiva orbital terletak longgar antara tarsal dan forniks. 1

2. Konjungtiva bulbaris. Melekat longgar pada sclera dan melekat lebih

erat pada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan

7
epitel kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan

episcleral dan kapsul Tenon. Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari

konjungtiva bulbaris sekitar kornea disebut konjungtiva limbal. 1

3. Konjungtiva forniks.Ini adalah culde-sac yang melingkar terus menerus

yang terputus hanya pada sisi medial oleh caruncle dan plica semilunaris.

Konjungtiva forniks merupakan peralihan konjungtiva bulbar dengan

konjungtiva palpebra. Bagian ini dibagi menjadi forniks superior, inferior,

medial dan lateral.1

Gambar 1. Konjungtiva terdiri dari konjungtiva bulbaris,konjungtiva forniks,

konjungtiva palpebralis.

Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar yakni kelenjar sekresi musin

dan kelenjar lakrimalis aksesoris.1

1. Kelenjar sekresi musin. Terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang

terletak di dalam epitel), Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal)

8
dan kelenjar Manz (ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-

kelenjar ini mensekresi mucus yang penting untuk membasahi kornea

dan konjungtiva.

2. Kelenjar lakrimalis aksesoris. Terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat

pada jaringan ikat subconjunctival forniks, sekitar 42 buah di atas

forniks dan 8 buah di bawah forniks) dan kelenjar Wolfring (terdapat di

sepanjang batas atas tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus

inferior).

Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva

Konjungtiva divaskularisasi oleh arteri arkade perifer palpebra, arteri

arkade marginal palpebra dan arteri ciliaris anterior (Gambar.2).

1. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-cabang

dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra.

2. Konjungtiva bulbar diperdarahi oleh dua pembuluh darah yaitu: arteri

konjungtiva posterior yang merupakan cabang dari arcade arteri

palpebra, dan arteri konjungtiva anterior yang merupakan cabang dari

9
arteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva posterior

membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan

membentuk plexus pericorneal.

Vena konjungtiva bermuara ke dalam pleksus vena palpebra dan

beberapa mengelilingi kornea sampai vena ciliaris anterior.Sistem limfatik

konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial dan profunda.

Sistem ini dari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan sisi

medial bermuara ke limfonodus submandibular. Limbus kornea pada

konjungtiva dipersarafi oleh cabang-cabang dari nervus siliaris panjang yang

mempersarafi kornea.Sisa konjungtiva dipersarafi oleh cabang dari lakrimal,

infratrochlear, supratrochlear, supraorbital dan nervus frontal.1

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan (Gambar.3)

yaituepitel, lapisan adenoid, dan lapisan fibrosa.1

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing

daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal

memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal

memiliki 2 lapis epitel: lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan

lapisan dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris

memiliki 3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris,

lapisan tengah terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari

sel kubus. Limbal konjungtiva memiliki lagi lapisan yang banyak (5 - 6

lapis) epitel berlapis gepeng.

10
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri

dari retikulum jaringan ikat halus dengan jerat di mana terdapat

limfosit. Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan

ini tidak di temukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4

bulan awal kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan

konjungtiva pada bayi tidak menghasilkan reaksi folikuler.

3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.

Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah

konjungtiva tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini

mengandung pembuluh dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu

dengan mendasari kapsul Tenon di daerah konjungtiva bulbar.

Gambar 3. Histologi konjungtiva normal

11
B. Definisi

Pterigium merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan

pertumbuhan jaringan fibrovaskuler menyerupai sayap, merupakan lipatan

dari konjungtiva, menginvasi bagian superfisial dari kornea. Pertumbuhan ini

biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan puncak di

bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila

terjadi iritasi, akan berwarna merah, dan dapat mengenai kedua mata. 2

C. Epidemiologi

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah

iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.

Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah

yang terletak kurang 370 Lintang Utara dan Selatan dari ekuator. Prevalensi

tinggi sampai 22% di daerah dekat ekuator dan kurang dari 2% pada daerah

yang terletak di atas 400 Lintang. Insiden pterygium cukup tinggi di

Indonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,1%. 3

Menurut Riskesdas 2013, prevalensi pterygium nasional adalah

sebesar 8,3% dengan prevalensi tertinggi ditemukan di Bali (25,2%), diikuti

Maluku (18,0%) dan Nusa Tenggara Barat (17,0%). Provinsi DKI Jakarta

mempunyai prevalensi pterygium terendah yaitu 3,7 persen, diikuti oleh

Banten 3,9 persen. Prevalensi pterygium dan kekeruhan kornea pada laki-laki

cenderung sedikit lebih tinggi dibanding prevalensi pada perempuan.

Prevalensi pterygium yang paling tinggi (16,8%) ditemukan pada kelompok

12
responden yang tidak sekolah. Petani/nelayan/buruh mempunyai prevalensi

pterygium tertinggi (15,8%) dibanding kelompok pekerja lainnya. Tingginya

prevalensi pterygium pada kelompok pekerjaan tersebut mungkin berkaitan

dengan tingginya paparan matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Sinar

ultraviolet merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kejadian

pterygium. Prevalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade

ke-2 dan ke-3 dari kehidupan. Insiden tinggi pada umur antara 20 dan 49.

Kejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua.

Laki-laki 4 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan


4
merokok, pendidikan rendah, riwayat terpapar lingkungan di luar rumah

D. Faktor Risiko

Faktor resiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor

herediter.

1. Radiasi Ultraviolet

Faktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya

pterygium adalah terpapar sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi

kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel.

Letak lintang, waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga

merupakan faktor penting.

13
2. Faktor Genetik

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan

pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat

keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.

3. Faktor lain

Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer

kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan

terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis

dari pterygium. Wong juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis

factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi.

Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel

tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.5

E. Etiologi

Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini

lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. Oleh karena itu

gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap

faktor-faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet),

daerah kering, inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan

lainnya. Pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan

kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan

salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim

kering mendukung teori ini.5

14
Efek merusak dari sinar UV menyebabkan penurunan sel induk limbal

pada kornea, yakni menyebabkan terjadinya insufisiensi limbal. Hal ini

mengaktifkan faktor pertumbuhan jaringan yang menginduksi angiogenesis

dan proliferasi sel. Radiasi cahaya UV tipe B menjadi faktor lingkungan yang

paling signifikan dalam patogenesis pterigium. Penelitian terbaru telah

melaporkan bahwa gen p53 dan human papilloma virus dapat juga terlibat

dalam patogenesis pterigium. 6

F. Patogenesis

Insidens pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus

menerus terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV

memainkan bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV

memulai rantai peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan

ekstraselular yang melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks

ekstraselular. 10

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab

pterigium. Disebutkan bahwa radiasi sinar ultra violet B sebagai salah satu

penyebabnya. Sinar UV B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi

pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus

kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan

pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan

pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan

angiotenesis, perubahan patologis termaksud juga degenerasi elastoid

kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikuler, seringkali disertai dengan

15
inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis dan

biasanya menunjukkan dysplasia.10

Efek dari sinar UV dikatakan mampu mengaktifkan radikal bebas,

termasuk laktoferin. Stress oksidatif yang timbul berpotensi untuk

mengganggu regulasi p53. Akibatnya juga, gangguan tersebut dapat berefek

pada ekspresi beberapa jenis sitokin dalam sel, seperti reseptor faktor

pertumbuhan. Adanya perubahan ekspresi sel-sel sitokin ini telah dievaluasi

oleh beberapa studi menggunakan berbagai macam teknik pemeriksaan

imunihistokimia dan ELISA. Sinar UV dapat menginduksi sitokin seperti

interleukin-1 (IL-1) bersama dengan tumor necrosis factor (TNF-α)

membantu keratosit korneal beradaptasi memperbaiki fenotip. IL-6 berfungsi

dalam migrasi sel epitel melalui reseptor integrin dan IL-8 melakukan

aktivitas mitogenik dan angiogenetik. Faktor pertumbuhan yang berperan

dalam pterigium antara lain ialah epidermal growth factor (EGF) dan EGF

heparin-binding (HB-EGF), vascular endothelial growth factor (VEGF),

basic fibroblast growth factor (bFGF), platelet-derived growth factor

(PDGF), transforming growth factor-ß (TGF-ß) and insulin-like growth

factor binding proteins (IGF-BP).10,12

Peran VEGF sangat penting dalam proses angiogenesis. Diproduksi

oleh fibroblast korneal saat terjadi inflamasi atau adanya stimulus yang

dianggap berbahaya bagi mata, termasuk UVR. VEGF telah dideteksi

bertanggung jawab terhadap pertumbuhan terus-menerus epitel pterigium,

16
dibandingkan dengan konjungtiva normal melalui studi imunohistokimia.

Hasilnya dapat dilihat menggunakan RT-PCR assay. 12

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik  kolagen

dan proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik

menunjukkan basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini

juga bisa dicat dengan cat untuk jaringan elastik akan tetapi bukan jaringan

elastik yang sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh

elastase.8

G. Manifestasi Klinis

Pterigium dapat tidak memberikan keluhan atau akan memberikan

keluhan mata iritatif, merah, dan mungkin menimbulkan astigmat yang akan

memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterigium lebih sering terjadi

pada pria yang lebih tua yang melakukan pekerjaan di luar ruangan.

Pterigium mungkin terjadi unilateral atau bilateral, berupa lipatan segitiga

pada konjungtiva biasanya pada sisi hidung,tetapi juga dapat terjadi pada sisi

temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada epitel kornea


7,8
anteriordisebut “Stocker’s line”.

Secara anatomi pterigium memiliki tiga bagian, yaitu:

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-abu pada

kornea yang kebanyakan terdiri atas fibrobla menginvasi dan

menghancurkan lapisan Bowman pada kornea. Garis zat besi

17
( line/Stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini

juga merupakan area kornea yang kering.

2. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan sebuah lapisan

vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat bergerak),

lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva bulbi dan merupakan

area paling ujung.

Gambar 4.(A) Cap/Kepala, (B)

Whitish, (C) Badan

Pterigium hanya akan

bergejala ketika bagian kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis

visual. Kekuatan tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan

astigmatisme kornea. Pterigium lanjut yangmenyebabkan skar pada jaringan

konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas

okular,pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau diplopia.7

H. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis

18
Pasien dengan Pterigium datang dengan berbagai keluhan, mulai

dari tanpa gejala sampai dengan gejala kemerahan yang signifikan,

pembengkakan, gatal, iritasi dan penglihatan kabur berhubungan dengan

elevasi lesi dari konjungtiva dan dekat kornea pada satu atau kedua mata.9

Pterigium adalah kondisi asimtomatik pada tahap awal, kecuali

pada intoleransi kosmetik. Pterigium hanya akan bergejala ketika bagian

kepalanya menginvasi bagian tengah kornea dan aksis visual. Kekuatan

tarikan yang terjadi pada kornea dapat menyebabkan astigmatisme

kornea. Pterigium lanjut yang menyebabkan skar pada jaringan

konjungtiva juga dapat secara perlahan-lahan mengganggu motilitas

okular, pasien kemudian akan mengalami penglihatan ganda atau

diplopia.9,2

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan oftalmologi, tampak adanya penonjolan daging,

berwarna putih, tampak jaringan fibrovaskuler yang berbentuk segitiga

yang terbentang dari konjungtiva sampai kornea, tepi jaringan berbatas

tegas sebagai suatu garis yang bewarna coklat kemerahan, umumnya

tumbuh di daerah nasal. Di bagian depan dari apek pterigium terdapat

infiltrat kecil. Biasanya terdiri dari bagian kepala, cap, dan badan.

Umumnya ditemukan di kedua mata namun tidak jarang terjadi pada

sebagian mata.9,2

3. Pemeriksaan Penunjang

19
Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada Pterigium

adalah topografi kornea yang dapat sangat berguna dalam menentukan

derajat seberapa besar komplikasi berupa astigmatisme ireguler yang di

sebabkan oleh Pterigium.9,2

Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan derajat

atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi

beberapa kelompok yaitu:

1. Berdasarkan perjalanan penyakit7

a. Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di

kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

b. Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi. Tidak ada cap

tetapi deposisi besi (Stocker’s line) kadang-kadang terlihat. Akhirnya

menjadi bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.

2. Berdasarkan luas pterigium3

a. Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea

b. Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2

mm melewati kornea

c. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir

pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal

sekitar 3-4 mm)

d. Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil

sehingga mengganggu penglihatan

20
Gambar 5. Berdasarkan Derajat

I. Diagnosis Banding

1. Pinguekula 

Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang

ditemukan pada orang tua, terutama yang matanya sering mendapat

rangsangan sinar matahari, debu,angin, dan panas. Letak bercak ini pada

celah kelopak mata, terutama bagian nasal. Pinguekula merupakan

degenerasi hiain jaringan submukosa konjungtiva. Tampak seperti

penumpukan lemak bisa karena iritasi. Pada umumnya tidak diperlukan

terapi tetapi pada kasus tertentu dapat diberikan steroid topikal.2,7

Gambar 6. Pingueculum (panah abu-abu)

21
2. Pseudopterigium

Pterigium umumnya didiagnosis banding dengan Pseudopterigium

yang merupakan suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus

kornea.Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan

kornea yang cacat akibat ulkus. Sering terjadi saat proses penyembuhan

dari ulkus kornea, dimana konjungtiva tertarik dan menutupi kornea.

Pseudopterigium dapat ditemukan dimana saja bukan hanya pada fissura

palpebra seperti halnya pada Pterigium.Pada pseudopterigium juga dapat

diselipkan sonde di bawahnya sedangkan pada Pterigium tidak. Pada

pseudopterigium melalui anamnesa selalu didapatkan riwayat adanya

kelainan kornea sebelumnya, seperti ulkus kornea.2,7

Gambar 7. PseudoPterigium

J. Penatalaksanaan

1. Terapi Non Medikamentosa

a. Edukasi

Pengobatan pterigium adalah dengan konservatif atau dilakukan

pembedahan bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya

astigmatisme ireguler atau pterigium yang telah menutupi media

22
penglihatan. Lindungi mata dari sinar matahari, debu, dan udara kering

dengan kacamata pelindung.6Radiasi UV diyakini merupakan faktor

risiko penting, sehingga dokter harus merekomendasikan pasien

dengan pterigium stadium dini untuk menggunakan kacamata

pelindung yang tepat.10

2. Terapi Medikamentosa

a. Topikal

1) Mytomicin C

Mytomicin C (MMC) merupakan antibiotik-antineoplastik

yang alami dan merupakan turunan dari Streptomyces caespitosus

zat ini dapat menghambat replikasi DNA, mitosis dan sintesis

protein.MMC menghambat pertumbuhan vaskuler. Mitomycin

dapat digunakan dengan 2 cara, yaitu intraoperatif dan

postoperative. Penggunaan postoperative yaitu dengan tetes mata.

Penggunaan mytomicin memiliki resiko yaitu keratopati

kronik dan keratokonjungtivitis toksik, juga mengakibatkan

nekrosis sclera aseptic, sklerokeratitis infeksiosa dan glaucoma

sekunder.11

2) Bevacizumab

Bevacizumab merupakan rekombinan imunoglobin

manusia yang menghambat VEGF-A yang merupakan stimulator

utama untuk terjadinya angiogenesis. Penggunaannya dapat

diberikan secara topical atau injeksi subkonjungtiva intraoperatif.

23
Penggunaan topical 2,5 mg/ml 2 tetes per hari terlihat

terjadi penurunan neovaskularisasi dari kornea hingga sebesar

38,04%.12

3) Loteprednol etabonate

Loteprednol etabonate merupakan kotikosteroid topical.

Penggunaannya untuk mengatasi proses inflamasi baik pada

pathogenesis maupun pada penanganan operatif dari pterigium.

Obat ini memiliki efek yang dapat dengan mudah menembus

membrane sel, zatnya dengan cepat diubah ke metabolit inaktif

sehingga mencegah efek samping yang merugikan dari

kortikosteroid topical pada mata seperti peningkatan tekanan

intraokuler dan katarak .11

4) Air mata buatan / Artificial tears

Bila terdapat tanda radang beri air mata buatan bila perlu

dapat diberi steroid.Bila terdapat delen (lekukan kornea) beri air

mata buatan dalam bentuk salep. Pemberian vasokonstriktor perlu

control dalam 2 minggu dan pengobatan dihentikan jika sudah ada

perbaikan.2,9

5) Kemoterapi

Penggunaan kemoterapi bertujuan untuk mengurangi

tingkat kejadian berulang dari pterigium. Agen kemoterapi

pertama yang digunakan adalah thiotepa.11

6) Iradiasi beta

24
Penggunaan iradiasi beta biasanya sebagai dosis tunggal

dan digunakan segera setelah operasi hingga 24 jam pasca operasi

pterigium. Penggunaan terapi ini sudah tidak digunakan karena

terdapat komplikasi seperti peradangan pada konjungtiva, sclera

melting, katarak dan uveitis.11

3. Terapi Operatif

Eksisi bedah adalah satu-satunya penanganan yang memuaskan,

yang dapat diindikasikan untuk: (1) perkembangan progresif, (2)

astigmatisme yang menyebabkan penurunan penglihatan, (3) dekat ke

aksis visual, (4) kosmetik, (5) rekurensi dan kekhawatiran tentang

keganansan.6

Kekambuhan pterigium setelah eksisi bedah merupakan masalah

utama (30-50%). Hal itu dapat dikurangi dengan langkah berikut:7,9

a. Transplantasi pterigium di forniks bawah (operasi McReynold) dan

Iradiasi beta pasca operasi yang sudah tidak dilakukan sekarang.

b. Eksisi bedah dengan membrane amnion graft dan penggunaan obat

antimitotik pasca operasi seperti mitomycin-C atau thiotepa.

c. Eksisi bedah dengan conjungtival graft yang diambil dari mata

yang sama atau mata lainnya saat ini adalah teknik yang diminati.

d.  Pada pterigium rekalsitran rekuren, eksisi bedah harus

digabungkan dengan keratektomi lamelar dan keratoplasty lamellar

Teknik bedah eksisi pterigium : 7,9

25
a. Setelah anestesi topikal, mata dibersihkan, ditutup dan dibuka

menggunakan spekulum mata.

b. Bagian kepala dari pterigium diangkat dan dipisahkan dari kornea

dengan sangat teliti

c. Bagian utama pterigium kemudian dipisahkan dari sclera di bawahnya

dan konjungtiva secara superfisial.

d. Jaringan pterigium kemudian dipotong dan diperhatikan agar tidak

merusak otot rektus medial

e. Hemostasis dicapai dan jaringan episcleral yang terlihat dikauterisasi.

f. Langkah selanjutnya tergantung pada teknik yang diadopsi sebagai

berikut:

1) Simple excision, konjungtiva dijahit kembali untuk menutupi

sklera

2) Bare Sclera, beberapa bagian konjungtiva dipotong dan ujung-

ujungnya dijahit ke jaringan episkleral, meninggalkan beberapa

bagian telanjang dari sklera dekat limbus

3) Conjungtival graft, dapat digunakan untuk menutupi bare sclera

Prosedur ini lebih efektif dalam mengurangi kekambuhan.

Konjungtiva dari mata yang sama atau berlawanan dapat

digunakan sebagai cangkokan.

4)  Limbal conjunctival autograft transplantation (LLAT) untuk

menutup defek setelah eksisi pterigium adalah teknik terbaru dan

paling efektif dalam penanganan pterigium.

26
Gambar 8. Teknik Bedah eksisi pterigium

Gambar 9. Teknik Conjungtival autograft

Prosedur Graft Pada Terapi Operatif Pterigium, enanganan standar

operatif untuk pterigium saat ini adalah konjungtival autograft dan

membran amnion-graft. Setelah dilakukan eksisi pada pterigium maka

graft dilekatkan dengan sclera dengan menggunakan lem fibrin. Hal ini

lebih dipilih dibandingkan jahitan karena lem fibrin dapat mengurangi

waktu operasi, inflamasi pasca operasi, kosmetik dan kejadian

berulang.8,11,13

27
Konjungtival autograft adalah terapi yang paling efektif karena

transplantasi dari jaringan yang autolog. Menutup sclera yang terbuka

bisa dilakukan dengan cara penutupan langsung, sliding konjungtival

flap,atau dengan konjungtiva autograft yang biasanya diambil dari

konjungtiva bulbar superior. Rekurensi setelah prosedur ini 0-39 %.Untuk

mengurangi terjadinya rekurensi dapat digunakan lem fibrin atau alcohol

ketika melakukan eksisi pterigium lalu menutup sclera dengan

konjungtiva autograft.8,11,13

Membran amnion-graft terdiri dari tiga lapisan yang berbeda yaitu:

lapisan epitel, membrane basement, dan stroma avaskular. Graft ini

digunakan dalam keadaan alternatif apabila terdapat defek konjungtiva

yang luas untuk menutupi sclera. Kegunaannya sebagai anti-inflamasi,

anti-angiogenik, dan anti pembentukan scar.8,11,13

K. Komplikasi

Komplikasi pterigium intraoperative yaitu pasca operasi meliputi

penipisan sklera atau kornea daripembedahan, perdarahan intraoperatif,

kauterisasi berlebihan, kerusakan otot.Komplikasi awal pasca operatif yaitu

defek epitel menetap, pembentukan dellen (area penipisan kornea yang

berdekatan dengan pembengkakan limbus yang mencegah pembasahan

normal pada permukaan kornea), hematom dibawah graft, kehilangan graft,

granuloma pyogenic.Komplikasi lanjut pasca operatif yaitu rekurensi,

nekrosis korneoskleral, skleritis, endophthalmitis.9,10

28
L. Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.

Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien

dengan Pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan

konjungtiva auto graft atau transplantasi membran amnion. 13

29
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien Ny. D datang ke poli mata RSUD Kota Kendari dengan

keluhan mata kiri berair disertai mata terasa perih, mata merah dan pasien

merasakan seperti ada sesuatu yang mengganjal ketika menutup kedua

matanya. Hal ini dirasakan sejak kurang lebih sekitar 4 bulan yang lalu.

Pasien juga mengeluhkan pandangan seperti terhalang sesuatu. Hal ini sesuai

dengan teori dari pterigium yaitu pterigium merupakan suatu pertumbuhan

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif.

Pertumbuhannya biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun

temporal konjungtiva yang meluas ke kornea berbentuk segitiga dengan

puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium umumnya

asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata sering berair dan

tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan

keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat menimbulkan

diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang tumbuh di

kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik. Keluhan

subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang mengganjal.

Pada pemeriksaan oftamologi didapatkan pada inspeksi, konjungtiva

OS tampak fibrovaskular (+), lakrimasi (+), kornea tampak membran

berbentuk segitiga. Pada pemeriksaan visus didapatkan VOD 6/6 VOS 6/6.

Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan refleks fundus (+) uniform dan

30
pemeriksaan slit lamp didapatkan pada kornea tampak membran berbentuk

segitiga dan pada konjungtiva terdapat jaringan fibrovaskular (+). Hal ini

seusai dengan teori dari pterigium yaitu pada pemeriksaan oftalmologi,

tampak adanya penonjolan daging, berwarna putih, tampak jaringan

fibrovaskuler yang berbentuk segitiga yang terbentang dari konjungtiva

sampai kornea, tepi jaringan berbatas tegas sebagai suatu garis yang bewarna

coklat kemerahan, umumnya tumbuh di daerah nasal. Di bagian depan dari

apeks pterigium terdapat infiltrat kecil. Biasanya terdiri dari bagian kepala,

cap, dan badan. Umumnya ditemukan di kedua mata namun tidak jarang

terjadi pada sebagian mata.

Pada pasien ini didiagnosis dengan pterigium grade II OS karena pada

pemeriksaan oftalmologi didapatkan jaringan fibrovaskular (+) sudah

melewati limbus tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea. Hal ini sesuai

dengan teori yaitu penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan

berdasarkan derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi dari

pterigium berdasarkan derajatnya yaitu

1. Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea

2. Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2 mm

melewati kornea

3. Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir pupil

mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)

4. Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan

31
Penatalaksanaan penyakit pada pasien ini di berikan terapi

medikamentosa. Hal ini sesuai dengan teori yaitu prinsip penanganan

pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterygium

masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterygium

yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada

pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.

Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien

yang masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu

tetes mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar

matahari, debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat

tanda radang beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid. Indikasi

untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap termasuk

gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang

progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan

pergerakan bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan

normal yaitu gambaran permukaan bola mata yang licin.

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan dan asbury. Oftalmologi umum Edisi 17. Jakarta: EGC. 2014
2. Ilyas S., Yulianti S.R, ilmu penyakit mata edisi 5 jakarta : badan penerbit fakiltas
kedokteran indonesia. 2014
3. Anbesse Dereje Hayilu, Kassa Tsehay, Kefyalew Biruktayit, et al. Prevalence and
associated factors of pterygium among adults living in Gondar city, Northwest
Ethiopia. Department of Optometry, College of Medicine Health Science,
University of Gondar. 2017.
4. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta : Balitbang.
2013
5. Singh SK., pterigium : epidemiology prevention and treatment .community eye
journal. 2017
6. Bahuva Anuj, Rao K Srinivas. Current Concepts in Management of Pterigium.
Delhi Journal of Ophthalmology. 2015
7. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 6th ed. New Dehli: New age
international; 2015
8. Chui Jeanie, Coroneo T. Minas. Ophthalmic Pterygium: A Stem Cell Disorder
With Premalignant Features. The American Journal of Pathology. 2011.
9. Hall, Anthony Bennett. Understanding and Managing Pterygium. Community
Eye Health Journal. 2016.
10. Todorovic Dusan, Vulovic Tatjana, et al. Updates On The Treatment of
Pterygium. Serbian Journal of Experimental and Clinical Research. 2016.
11. Krizova D, Vokrojova M, Liehneova K, Studney P. Treatment of corneal
neovascularization using anti-VEGF Bevaciumab. Journal of ophthalmology :1-7.
2014
12. Shaw Jean. New Approach Emerges for Pterygium Surgery. American Academy
of Ophthalmology. 2012.

33

Anda mungkin juga menyukai