Anda di halaman 1dari 42

I.

Pendahuluan

Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit


inflamasi yang melibatkan saluran cerna dengan penyebab pasti
belum diketahui jelas. IBD dibedakan atas dua entitas utama, yakni
Kolitis ulseratif (KU, Ulcerative colitis/UC) dan Penyakit Crohn (PC,
Crohn’s disease/CD). Bila sulit membedakan keduanya, dimasukkan
ke dalam kategori indeterminate colitis (IC). Hal ini untuk secara
praktis membedakannya dengan penyakit inflamasi usus lainnya yang
telah diketahui penyebabnya seperti infeksi, iskhemia dan radiasi.
Radang Usus Non-infeksi (RUNI) sebagai padanan IBD dalam
bahasa Indonesia, disarankan oleh Prof. DR. Dr. Daldiyono H.,
Sp.PD-KGEH untuk dapat disepakati oleh Tim Perumus Istilah Dalam
Bahasa Indonesia PB PPHI-PGI-PEGI.
Insidensi IBD sejak akhir Perang Dunia ke-II sampai
dasawarsa 90-an selalu meningkat di Negara-negara Barat dan
cenderung terjadi pada kelompok orang kulit putih, sosial ekonomi
tinggi, bukan perokok, pemakai kontrasepsi oral dan diet rendah
serat. IBD cenderung mempunyai puncak usia yang terkena pada
usia muda (umur 25-30 tahun) dan tidak terdapat perbedaan yang
bermakna antara wanita dan pria. Namun pada akhir dekade 90-an
dan memasuki abad ke-21 ini, beberapa laporan terakhir di Negara-
negara Barat menunjukkan kecenderungan insidensi menjadi plateau;
sebaliknya terindikasi adanya kecenderungan meningkat diwilayah-
wilayah Asia-Pasifik. Di Indonesia pada Sidang Organisasi Konker
PGI-PEGI-PPHI Yogyakarta 2004 telah tercetus Draft Konsensus
Nasional Alur Diagnosis dan Penatalaksanaan IBD di Indonesia sebagai
jawaban terhadap indikasi laporan terakhir tersebut. Konsensus ini

1
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

dilandaskan kepada angan-angan proses pencatatan dan pelaporan


yang lebih seragam dan lebih bertanggung-jawab untuk suatu
penelitian epidemiologi, baik dalam populasi maupun data Rumah
Sakit. Latar-belakang dibuatnya Konsensus IBD, secara teknis
didasarkan atas beberapa hal, yakni: (1) Diperlukannya pengetahuan
yang cukup dan awareness tentang IBD di Indonesia, mengingat per-
jalanan penyakit IBD yang bersifat kronik-eksaserbatif; (2) Diperlukannya
kemampuan klinis untuk dapat membedakan IBD dengan penyakit
kolon lain yang banyak di Indonesia dan mempunyai kemiripan
gambaran klinis, seperti kolitis Tbc dan amoebiasis usus, serta
keganasan usus; (3) Dibutuhkan sarana penunjang diagnosis
yang lengkap dan relatif mahal untuk menegakkan diagnosis serta
menyingkirkan diagnosis bandingnya, dimana hal tersebut belum
tersedia merata di seluruh Indonesia; (4) Keperluan Konsensus: agar
temuan kasus IBD dapat terlaksana, penatalaksanaan lebih optimal,
serta program pencatatan-pelaporan lebih akurat.
Konsensus yang sekarang ini merupakan Draft Konsensus
Nasional IBD yang disusun Tahun 2005 yang diperbaharui secara
redaksional dan lay-out, serta dengan penambahan informasi baru
sesuai perkembangan yang ada, namun tanpa meninggalkan /
mengurangi isi-esensi yang terkandung di dalam materi konsensus
tersebut sebelumnya.

2
II. Epidemiologi, Etio-patogenesis
dan Gambaran Klinis

Sistim rujukan di Indonesia belum berkembang secara optimal


sehingga sebahagian besar kasus terduga IBD akan mengalami
under-diagnosed atau justru over-diagnosed dan sangat dimungkin-
kan oleh karena terjadinya variasi akurasi diagnosis antar laporan,
mengingat adanya perbedaan sarana penunjang-diagnostik yang
tersedia. Kewenangan profesi yang mampu melakukan penilaian
pada kasus tersebut bertujuan agar tidak terjadi under-treatment
atau over-treatment pada pasien.

1. Epidemiologi
Sudah hampir 4 tahun berlalu sejak rencana penyusunan
Konsensus pertama-kali dicanangkan, akan tetapi hingga saat ini
belum dapat diwujudkan suatu penelitian epidemiologi untuk IBD
di Indonesia. Data IBD masih berdasarkan laporan Rumah Sakit
(Hospital based) saja. Data lama dari Jakarta dapat dilihat pada tabel
1. Data baru yang dilaporkan dari beberapa Rumah Sakit di Jakarta
dan daerah, dapat dilihat seperti pada tabel 2.
Tabel 1. Data IBD berbasis Unit Endoskopi di Rumah Sakit di Jakarta
Sumber Data KU PC
RSCM 1991 - 1995 2,8%* 1,4%*
RSCM 1996 25%** 5,5%**
Dharmika D, Gastroenterol Hep 5,5%*** 2,0%***
M Simadibrata, Tesis doctor 2002 5,2%* 5,2%*
* Dari total kolonoskopi;
** Dari total kasus Kolitis;
*** Dari total kasus diare kronik, berdarah dan nyeri perut

3
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Dari data di Unit Endoskopi pada beberapa Rumah Sakit di


Jakarta (RSCM, RS Tebet, RS Siloam Gleaneagles, RS Jakarta)
didapatkan kesan bahwa kasus IBD terdapat pada 12,2% dari
kasus yang dikirim dengan diare kronik, 3,9% dari kasus dengan
hematokhezia, 25,9% dari kasus dengan diare kronik + berdarah +
nyeri perut. Sedangkan pada kasus dengan nyeri perut didapatkan
sebesar 2,8%.

Tabel 2. Data IBD dari Total Kolonoskopi di Beberapa Rumah Sakit Nasional

Sumber Data Jumlah IBD KU PC


Kolonoskopi
RSCM Tahun 2001 – 2006 1541 8,3% 5,4% 2,9%
RSPAD Gatot Soebroto 532 10,15% 6,95% 3,20%
Tahun 2002 - 2006
RS Hasan Sadikin, 192 9,89% 8,33% 1,56%
Bandung Tahun 2007
RSUP Dr Sardjito, 269 44% 23% 3,3%
Yogyakarta Tahun 2007
RSZA Banda Aceh Tahun 113 4,25% 2,55% 1,70%
2006 - 2007
RSAB/PengCab PGI, 325 5,23% 3,08% 2,15%
Pekanbaru Tahun 2007
RS Syaiful Anwar, Malang 364 17% 16% 1%
Tahun 2007
RSUD Jambi, Tahun 2007 86 1,16% ? ?
RS Usadha Insani, 166 26,5% 16,3% 10,2%
Tangerang Tahun 2007

Pengambilan data berbagai Rumah Sakit di Jakarta dan Daerah


dilakukan secara survey berdasarkan data endoskopi dimasing-
masing rumah sakit tersebut . Dari data yang ada dapat disimpulkan
bahwa sementara ini kasus KU cenderung terlihat lebih banyak
daripada kasus PC. (lihat tabel 2)

4
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

2. Etio-Patogenesis
Sampai saat ini belum diketahui etiologi IBD yang pasti maupun
penjelasan yang memadai mengenai pola distribusinya. Konsep
dasar patogenesis IBD dapat diilustrasikan seperti pada bagan di
bawah ini.

Bagan 1. Konsep dasar Patogenesis IBD

Tidak dapat disangkal bahwa faktor genetik memainkan peranan


penting dengan adanya kekerapan yang tinggi pada anak kembar dan
adanya keterlibatan familial. Teori adanya peningkatan permeabilitas
epitel usus, terdapatnya anti neutrophil cytoplasmic autoantibodies,
peran nitric oxide dan riwayat infeksi (terutama M. paratuberculosis)
banyak dikemukakan. Yang tetap menjadi masalah adalah hal
apa yang mencetuskan keadaan tersebut. Defek imunologisnya
kompleks, antara interaksi antigen eksogen, kemudahan masuk
antigen (termasuk permeabilitas usus) dan kemungkinan disregulasi
mekanisme imun pasien IBD. Secara umum diperkirakan bahwa
proses patogenesis IBD diawali oleh adanya infeksi, toksin, produk
bakteri atau diet intralumen kolon, yang terjadi pada individu yang
rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan,
sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.

5
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

3. Gambaran Klinis
Diare kronik yang disertai atau tanpa darah dan nyeri perut
merupakan manifestasi klinik IBD yang paling umum dengan
beberapa manifestasi ekstra intestinal seperti arthritis, uveitis,
pioderma gangrenosum, eritema nodosum dan kolangitis. Disamping
itu tentunya disertai dengan gambaran keadaan sistemik yang
timbul sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti gangguan
nutrisi. Gambaran klinis KU relatif lebih seragam dibanding PC. Hal
ini disebabkan distribusi anatomik saluran cerna yang terlibat pada
KU adalah kolon, sedangkan pada PC lebih bervariasi, yaitu dapat
melibatkan atau terjadi pada semua segmen saluran cerna mulai
dari mulut sampai anorektal.
Perjalanan klinik IBD ditandai oleh fase aktif dan fase remisi.
Fase remisi dapat disebabkan oleh pengobatan tetapi tidak jarang
dapat terjadi secara spontan. Dengan perjalanan klinik IBD yang
kronik-eksaserbasi-remisi, diusahakan suatu kriteria klinik sebagai
gambaran aktifitas penyakit untuk keperluan pedoman keberhasilan
pengobatan maupun penetapan fase remisi. Secara umum Disease
Activity Index (DAI) yang didasarkan pada frekuensi diare, ada
tidaknya perdarahan peranum, penilaian kondisi mukosa kolon pada
pemeriksaan endoskopi serta penilaian keadaan umum (tanda-tanda
vital, kesadaran, status gizi), dapat dipakai untuk maksud tersebut.
Namun penetapan DAI ini belum ada dari PB PGI.
Derajat klinik KU dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan
berdasarkan frekuensi diare, ada tidaknya demam, derajat berat-
ringannya anemia yang terjadi dan LED (laju endap darah) sesuai
Klasifikasi Truelove. Perjalanan penyakit KU dapat dimulai dengan
serangan pertama yang berat atau dimulai dengan tampilan ringan
yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya

6
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi


mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa.
Pada PC selain gejala umum diatas, adanya fistula merupakan
hal yang karakteristik (termasuk perianal). Nyeri perut relatif lebih
mencolok. Hal ini disebabkan oleh sifat lesi yang transmural sehingga
dapat menimbulkan fistula dan obstruksi serta berdampak pada
timbulnya bacterial overgrowth. Lihat tabel 3.

Tabel 3. Gambaran Klinik IBD


klinis Kolitis Ulseratif / KU Penyakit Crohn / PC
Diare kronik ++ ++
Hematokhezia ++ +
Nyeri perut + ++
Massa abdomen 0 ++
Fistulasi +/- ++
Stenosis/striktur + ++
Keterlibatan usus halus +/- ++
Keterlibatan rektum 95% 50%
Ekstra-intestinal + +
Megatoksik kolon + +/-
Keterangan: ++ Sering; + Kadang; +/- Jarang; 0 Tidak ada

Tabel 4.Gambaran Patologis IBD


Patologis Kolitis Ulseratif / KU Penyakit Crohn / PC
Lesi bersifat segmental
(ada skip area) 0 ++
Lesi bersifat transmural +/- +/++
Granuloma 0 50%
Fibrosis + ++
Fistulasi +/- ++
Predileksi anatomik:
Ileo-caecal +/- ++
Rektum ++ +/-
Keterangan : ++ Sering; + Kadang; +/- Jarang; 0 Tidak ada

7
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Adanya gambaran klinik IBD yang bervariasi ini, memerlukan


pengetahuan yang cukup memadai untuk membedakannya dengan
penyakit lain yang sering di Indonesia ( dan juga negara-negara
berkembang lainnya) seperti kolitis infeksi dan Tbc usus. Gambaran
klinis, bahkan radiologik dan endoskopik (lihat gambar 1 dan 2), sulit
untuk membedakan PC dengan Tbc gastrointestinal yang mempunyai
predileksi anatomik yang sama, yaitu di daerah ileo-caecal. Pemeriksaan
histopatologikpun tidak jarang sulit untuk menyingkirkan penyakit
infeksi kronik yang endemik ini (Apakah LED dapat membedakan?).
Setelah mendapatkan diagnosis IBD, masuk dalam tahap berikutnya,
yaitu membedakan apakah kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC)
atau untuk sementara dimasukkan dalam kategori Indeterminate
colitis (IC) bila sulit dibedakan.

Gambar 1. Mukosa Kolon pada KU Gambar 2. Mukosa Kolon pada PC

8
III. Penatalaksanaan IBD

Di dalam rencana penatalaksanaan sesuai catatan medik


berorientasi masalah (CMBM, atau POMR – problem oriented medical
report) disimpulkan tiga pendekatan pengelolaan kasus, meliputi
rencana diagnostik (rencana penunjang diagnosis penyakit), rencana
terapeutik (rencana pengobatan penyakit) dan rencana edukasional
(pemberian informasi / penjelasan tentang situasi penyakit) yang
secara simultan harus menjadi bagian penting kegiatan keseharian
dokter dalam mengelola kasus. Untuk
��������������������������������
Konsensus Nasional Penata-
laksanaan IBD, pola ini dijadikan sebagai acuan.
Sebagai ringkasan dan pedoman, dalam rangka memudahkan
proses pemahaman alur diagnosis dan pengobatan (terapeutik),
disusun pula rangkaian algorithma penatalaksanaan IBD.

1. Rencana Diagnostik
Umumnya, rencana penunjang diagnosis disimpulkan setelah
anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan dan berdasarkan temuan
patofisiologi, patologi-anatomi serta etiologi sesuai pengkajian data
kasus dan dipertimbangkan sesuai keperluan (tidak berlebih-lebihan)
dalam rangka menyimpulkan masalah dan menegakkan diagnosis
IBD. Penunjang diagnostik yang lazim untuk pengkajian / penegakan
diagnosis IBD meliputi gambaran laboratorium, pemeriksaan
radiologi, endoskopi, serta histo-patologi.

1.1.Gambaran Laboratorium. Umumnya tidak ada parameter


laboratorium yang spesifik untuk IBD, sebagian besar hanya
merupakan parameter proses inflamasi secara umum atau

9
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

dampak sistemik akibat proses inflamasi gastrointestinal


yang mempengaruhi proses digesti / absorpsi. Adanya
gambaran abnormalitas hemoglobin, lekosit, LED, trombosit,
C-reactive protein (CRP), kadar besi serum dapat terjadi
pada IBD dan pada semua kasus infeksi. Juga, tidak terdapat
perbedaan yang spesifik antara gambaran laboratorium PC dan
KU. Data laboratorium lebih banyak berperan untuk menilai derajat
aktifitas penyakit dan dampaknya pada status nutrisi pasien.
Penurunan kadar hemoglobin, hematokrit dan besi serum dapat
menggambarkan derajat kehilangan darah lewat saluran cerna.
Tingginya laju endap darah (LED) dan CRP yang positif meng-
gambarkan aktifitas inflamasi, seta rendahnya kadar albumin
mencerminkan status nutrisi yang rendah.

1.2.Pemeriksaan Radiologi. Teknik pemeriksaan radiologi kontras


ganda merupakan pemeriksaan diagnostik pada IBD yang
saling melengkapi dengan endoskopi. Barium kontras ganda
dapat memperlihatkan lesi striktur, fistulasi, mukosa yang iregulair,
gambaran ulkus dan polip ataupun perubahan distensibilitas
lumen kolon berupa penebalan dinding usus dan hilangnya
haustrae. Interpretasi radiologik tidak berkorelasi dengan aktifitas
penyakit. Pemeriksaan radiologik merupakan kontraindikasi pad
KU berat karena dapat mencetuskan megakolon toksik. Foto
polos abdomen secara sederhana dapat mendeteksi adanya
dilatasi toksik, yakni suatu penampakan lumen usus yang melebar
tanpa material feses didalamnya. Untuk menilai keterlibatan usus
halus dapat dipakai metoda enteroclysis yaitu pemasangan kanul
naso-gastrik sampai melewati ligamentum Treitz sehingga barium
dapat dialirkan secara kontinyu tanpa terganggu oleh kontraksi

10
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

pylorus. Peran CT-scan dan USG lebih banyak ditujukan kepada


PC dalam mendeteksi adanya abses atau fistula.

1.3.Pemeriksaan Endoskopi. Pemeriksaan endoskopi memainkan


peranan paling penting dalam penegakan diagnosis dan terapi
IBD. Akurasi diagnostik kolonoskopi pada IBD adalah 89%
dengan 4% kesalahan dan 7% hasil meragukan. Gambaran
patologis KU dan PC yang karakteristik per endoskopik dapat
dilihat pada tabel 4. Per endoskopik pula, penilaian aktifitas
kolitis ulseratif (KU) relatif mudah dengan menilai gradasi patologis
IBD melalui berat-ringan lesi mukosa dan luasnya bagian usus
yang terlibat (lihat tabel 5). Tetapi pada penyakit Crohn (PC),

Tabel 5. Gambaran Lesi Endoskopik IBD


Kolitis Penyakit
Temuan Kolonoskopi
Ulseratif / KU Crohn / PC

Lesi Inflamasi (hiperemia, ulserasi, dll)


Bersifat kontinyu +++ +
Adanya skip area (ada mukosa normal
diantara lesi) 0 +++
Keterlibatan rektum +++ +
Lesi mudah berdasar +++ +
Cobblestone appereance (CSA) atau
pseudopolip + +++
Sifat Ulkus
Terdapat pada mukosa yang inflamasi +++ +
Keterlibatan ileum 0 ++++
Lesi ulkus bersifat diskrit + ++++
Bentuk Ulkus
Diameter > 1 cm + +++
Dalam + +++
Bentuk linier (longitudinal) + +++
Aphtoid 0 ++++

Keterangan : 0 = Tidak ada;  ++++sangat diagnostik (karakteristik)

11
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

hal terebut lebih sulit terlebih bila ada keterlibatan usus halus
(tidak terjangkau oleh tehnik pemeriksaan kolonoskopik biasa),
sehingga dipakai kriteria yang lebih spesifik, disebut Crohn’s
Disease Activity Index (C-DAI) yang didasari oleh adanya
penilaian demam, data laboratorium, manifestasi ekstra-intestinal,
frekuensi diare, nyeri abdomen, fistulasi, penurunan berat badan,
terabanya massa intra-abdomen dan rasa sehat pasien.

1.4.Pemeriksaan Histo-patologi. Harus diakui bahwa, spesimen


yang berasal dari operasi lebih mempunyai nilai diagnostik
daripada spesimen yang diambil secara biopsi per endoskopik.
Terlebih lagi bagi PC yang lesinya bersifat transmural sehingga
tidak terjangkau oleh forcep biopsi. Gambaran untuk KU adalah
adanya abses kripti, distorsi kripti, infiltrasi sel MN (mononukleus)
dan PMN (polimorfonukleus) di lamina propria. Sedangkan pada
PC adanya granuloma tuberkuloid (terdapat pada 20-40% kasus)
merupakan hal yang karakteristik disamping adanya infiltrasi sel
makrofag dan limfosit di lamina propria serta ulserasi yang dalam.
Temuan molekular displasia pada mukosa dapat dihubungkan
dengan adenoma atau carcinoma, yang merupakan hasil pro-
vokasi keradangan kronik pada IBD.
Secara praktis, alur proses diagnosis IBD didasarkan kepada:
(1) Anamnesis yang akurat, adanya perjalanan penyakit yang
akut disertasi eksaserbasi kronik-remisi, diare, kadang berdarah,
nyeri perut, serta ada riwayat keluarga. (2) Gambaran klinis
yang sesuai. (3) Data laboratorium yang menyingkirkan
penyebab inflamasi lain, terutama untuk Indonesia adanya infeksi
gastrointestinal. Eksklusi penyakit tbc sangat penting mengingat
gambaran kliniknya sangat mirip dengan PC. Tidak ada parameter
laboratorium yang spesifik untuk IBD. (4) Temuan endoskopik

12
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

yang karakteristik dan didukung konfirmasi histo-patologik. (5)


Temuan gambaran radiologik yang khas. (6) Pemantauan per-
jalanan klnik pasien yang bersifat akut-remisi-eksaserbasi kronik.
Lihat bagan 2.

Bagan 2. Alur Proses Diagnosis IBD

Realitas permasalahan di Indonesia dalam hal temuan kasus


baru (diagnosis kasus) IBD adalah tidak meratanya ketersediaan
fasilitas penunjang diagnostik seperti endoskopi dan radiologi.
Dalam keadaan demikian, selain faktor sistim rujukan, maka harus
ditingkatkan kemampuan klinik dalam menegakkan diagnosis
pereksklusionum untuk memperoleh temuan kasus baru (kasus
terduga) IBD. Sebagian besar penyakit infeksi dapat disingkirkan/
ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium (atau
radiologi) yang tersedia.

13
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Sistim rujukan ideal diharapkan dapat mengatasi proses


diagnosis IBD secara efisien dan efektif. Tetapi kenyataan di lapangan
hal ini masih jauh dari harapan. Selain melengkapi sarana penunjang
diagnostik, maka secara bertahap harus ada peningkatan
pengetahuan mengenai IBD dan kewaspadaan akan keberadaannya
dalam populasi praktek sehari-hari, sehingga bila sistim rujukan
dapat dilaksanakan terjadi peningkatan pelayanan kesehatan
yang diharapkan.
Disini pentingnya peran pelayanan kesehatan lini pertama
dalam menjaring temuan kasus baru IBD (case finding). Tetapi selain
diberikannya pengetahuan dan keterampilan dalam proses
diagnosis IBD, tentunya juga harus dibekali pengetahuan dan
kewenagan dalam proses pengobatan terutama bila kasus
tersebut tidak dapat dirujuk untuk proses diagnosis definitif.
Perannya suatu konsensus profesi adalah untuk mengayomi hal
itu agar dalam penatalaksanaan dapat dipertanggung-jawabkan
kaedah ilmiahnya walaupun terdapat keterbatasan dalam sarana
penunjang diagnostik.
Gambaran/perjalanan klinis, data laboratorium dan beberapa
data penunjang diagnostik pada prinsipnya dapat membawa
dokter kearah suatu diagnosis kerja (dalam CMBM disebut
sebagai simpulan/rumusan masalah) yang diawali dari kasus
terduga IBD (possible IBD), masalah (diagnosis kerja) IBD serta
berakhir sebagai diagnosis definitif IBD.
Secara konseptual alur diagnosis pada pelayanan lini pertama
(primary care) dapat disederhanakan seperti pada bagan 3
di bawah dan bagan 4 pada lini kedua (secondary care) dimana
sarana diagnostik endoskopi belum tersedia tetapi saran penunjang
lainnya sudah ada.

14
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Pada pelayanan tingkat ketiga (tertiary referal cases finding)


dimana pasien dengan masalah IBD dirujuk kepusat pelayanan
medis di RS dengan ketersediaan sarana diagnostik endoskopi
lengkap, polanya dapat sampai menegakkan diagnosis definitif
IBD, lihat bagan 5.

Bagan 3. Temuan Kasus Baru (Case Finding) IBD di Pelayanan Kesehatan Lini
Pertama (Primary Care)

Bagan 4. Temuan Kasus Baru (Case Finding) IBD di Pelayanan Kesehatan Tingkat
kedua (Secondary Care)

15
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Bagan 5. Temuan Kasus Baru (Case Finding) IBD di Pelayanan Kesehatan Tingkat
Tiga (Tertiary Care)

2. Rencana Terapeutik
Rencana terapeutik lebih ditekankan kepada penghambatan
kaskade proses inflamasi (kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali)
karena etiologi dan patogenesis IBD belum jelas, mengacu kepada
konsep pengobatan umum serta prinsip terapi medikamentosa
pada IBD, yakni : (1) Mengobati keradangan aktif IBD dengan cepat
sampai tercapai remisi; (2) Mencegah keradangan berulang dengan
mempertahankan remisi selama mungkin; dan (3) Mengobati serta
mencegah komplikasi.
Pada pelayanan primer dan sekunder, dimana sarana endoskopi
belum dimiliki, diagnosis pasti sebagai dasar pengobatan definitif
tidak dapat ditegakkan, sehingga dibutuhkan suatu pedoman
empirik yang bisa mengarahkan pengobatan kesasaran yang sesuai.
Untuk hal itu diperlukan algoritma yang dapat diterima oleh semua
komponen yang terlibat. Sedangkan tindakan bedah dipertimbangkan
pada tahap akhir bila medikamentosa mengalami kegagalan atau

16
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

komplikasi tak teratasi berupa perforasi usus yang terlibat, perdarahan


persisten, stenosis usus fibrotik, obstruksi, degenerasi maligna (risiko
terjadinya kanker pada IBD lebih kurang 13%), ataupun megakolon
toksik terutama pada KU.

2.1. Pengobatan Umum

Dilatar-belakangi oleh dasar berfikir, bahwa dugaan adanya


faktor/agen proinflamasi dalam bentuk bakteri intralumen usus dan
komponen diet sehari-hari yang dapat mencetuskan proses inflamasi
kronik pada kelompok yang rentan, harus dieliminasi dengan berbagai
cara tindakan.
Rencana Tindakan, dapat dipertimbangkan beberapa langkah
berikut :
2.1.1. Pemberian antibiotik/khemoterapeutik: Metronidazole cukup
banyak diteliti dan bermanfaat pada PC dalam menurunkan
derajat aktifitas penyakitnya dalam keadaan aktif, jika diberikan
dalam dosis terbagi 1500 – 3000 mg/hari. Pada KU jarang
diberikan antibiotik sebagai terapi terhadap agen inflamasi.
2.1.2. Lavase usus, dapat dengan cairan fisiologis maupun
eksperimen dengan sukralfat cair.
2.1.3. Mengikat produksi bakteri, dikatakan berbagai jenis probiotik
ada perannya disini.
2.1.4. Mengistirahatkan kerja usus, dan atau dengan perubahan pola
diet. Disamping beberapa konstituen diet yang harus dihindari
karena dapat mencetuskan serangan (seperti wheat, cereal
yeast dan produk peternakan), terdapat pula konstituen yang
bersifat antioksidan yang dalam penelitian dilaporkan ber
manfaat pada kasus IBD, yaitu glutamin dan asam lemak rantai
pendek.

17
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

2.2 Pengobatan Keradangan Aktif

Ada berbagai golongan obat yang dapat berperan dalam meng-


obati keradangan aktif IBD dengan tujuan menginduksi remisi secepat
mungkin. Golongan obat tersebut adalah kortikosteroid dan asam
amino salisilat.

2.2.1. Obat Golongan Kortikosteroid

Dilatar-belakangi oleh dasar berfikir, bahwa sampai saat ini obat


golongan glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD
derajat sedang dan berat dalam fase keradangan aktif. Kortikosteroid
konvensional peroral sangat efektif untuk induksi cepat remisi klinis
tetapi tidak berperan didalam mempertahankan remisi. Pada keadaan
berat diberikan steroid parenteral. Untuk mempertahankan remisi,
dosis kortikosteroid diturunkan bertahap (tappered off slowly) meng-
ikuti introduksi obat-obat immuno-modulators / imunosupresif.
Rencana bertindak diawali dengan : (a) Memilih Obat: Secara
konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih
menjadi pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau.
Preparat budesonide (Budenofalk) dipakai untuk memperoleh
tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan
efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah, khususnya pada
pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon ascendens
baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema.
(b) Mempertimbangkan dosis. Dosis rata-rata yag banyak digunakan
untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40-60 mg
prednison, atau setara prednisolon dalam rentang dosis 0,5 – 1,0
mg/kgbb. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi
yang tercapai dalam waktu 8-12 minggu.

18
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

2.2.2. Obat Golongan Asam aminosalisilat

Dilatar-belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin


merupakan obat yang sudah lama dan mapan dipakai dalam
pengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat
dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan
mesalazine / 5-acetil salicylic acid / 5-ASA. Telah diketahui bahwa
yang berperan sebagai anti-inflamasi / antiradang adalah mesalazine
atau 5-ASA ini. Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding
Sulfasalazin (terdapat pada unsur sulfapiridin), sedangkan efektifitas
relatif sama dalam pengobatan IBD.
Rencana tindakan : (a) Preparat 5-ASA murni atau derivatnya
(olsalazine: ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutama-
kan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrier
molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas lambat
pada pH > 5 (dalam lumen usus halus/ileum terminalis dan kolon
proksimal) serta lebih efektif dalam penggunaan oral (coated) maupun
rektal (foam-enema / suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk
mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai –
yang umumnya setelah 16-24 minggu – diberikan kemudian dosis
pemeliharaan yang bersifat individual.
Terapi jangka panjang 5-ASA dapat pula mencegah terjadinya
kanker kolorektal – dengan cara apoptosis dan menurunnya proliferasi
mukosa kolorektal – pada IBD.

2.3. Pengobatan Pencegahan Keradangan Berulang

Upaya pengobatan pencegahan keradangan berulang IBD adalah


dengan mempertahankan masa remisi selama mungkin melalui dosis
pemeliharaan 5-ASA yang bersifat individual atau melalui introduksi/

19
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

substitusi obat steroid pada fase keradangan akut dengan obat-obat


Golongan Imunosupresif (Immunomodulators), Anti-tumour necrosis
antibody dan Probiotik. Selanjutnya dapat pula dilengkapi dengan
memperbaiki life style (gaya hidup) individual yang lebih sesuai untuk
menghambat kondisi perkembangan patogenesis IBD.

2.3.1. 5-ASA/Mesalazine

Komponen 5-Aminosalicylic acid (5-ASA) dari sulfasalazine


(aminosalicylates) dikenal dalam berbagai merk dagang yang cukup
populer. Di Indonesia paling banyak dipakai Salofalk yang mem-
punyai 4 sediaan Salofalk tablet 500 mg, 250 mg, Enema 4g/ 60 ml
serta supositoria 500 mg, disamping itu ada Pentasa dan Asacol (dari
Singapura). Untuk dosis pemeliharaan (maintenance doses) diberikan
1,5-3,0 gram/hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri/distal, dapat
diberikan mesalazine/5-ASA suppositoria atau enema. Tapi untuk
kasus yang berat, preparat 5-ASA (mesalazine) saja biasanya tidak
cukup adekwat.

2.3.2. Immunomodulators (Obat Golongan Imunosupresif)

Ada berbagai preparat yang biasa dipakai untuk kelompok ini,


yakni: Azathioprine dan 6-mercaptopurine (6-MP), Cyclosporine,
Methotrexate dan golongan antibiotik tertentu yang memiliki efek
imunomodulasi.
Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu
pemberian 2-3 bulan sebelum memperlihatkan efek terapeutiknya.
Umumnya sebagai introduktor/substituensi pada kasus-kasus steroid
dependent atau refrakter (steroid refractory IBD patients). Umumnya
dosis initial 50 mg sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian

20
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

dinaikkan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk azathioprine atau 1,5 mg/


kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering, meliputi nausea dan
dispepsia, lekopenia, limfoma, hepatitis dan pankreatitis.
Siklosporin intravena dapat dipakai sebagai penatalaksanaan
akut dari kasus KU-refrakter steroid berat dengan keberhasilan bisa
mencapai 50%-80%. Pada kasus PC-fistulated, dapat menutup
secara cepat. Sayangnya, konversi ke dosis oral sering menyebabkan
relapses pada banyak kasus. Efek samping yang sering muncul
adalah nefrotoksisitas, fits (?) dan infeksi oportunistik (Pneumocystis
carinii pneumonia).
Methotrexate dikenal sebagai preparat yang efektif untuk
kasus PC-steroid dependent dan terakhir dikenal sangat baik untuk
mempertahankan remisi pada KU. Untuk induksi diberikan 25 mg
secara parenteral per minggu (sc atau im) sampai selesai tappered
off steroid selesai, kemudian dosis pemeliharaan dipertimbangkan
pada batas tidak terjadi efek samping yang berhubungan dengan
efek imunosupresi seperti munculnya pneumonia interstitialis dan
atau fibrosis hati. Biasanya respons efektifitas klinis akan terlihat
dalam beberapa minggu.

2.3.3. Agen Biologik, Antibiotik dan Probiotik

Beberapa obat anti-tumor (dikenal juga sebagai ‘biologic agents’)


akhir-akhir ini banyak dicobakan kepada IBD, seperti Infliximab
dengan efek anti-tumour necrosing factor (anti-TNF) dan beberapa
lagi lainnya (adalimumab, certolizumab) yang sedang dikembangkan
dalam clinical trials. Umumnya diindikasikan untuk kasus PC fistulated
sedang dan berat (refrakter steroid). Secara ekonomik, masih sangat
mahal namun kedepan diharapkan golongan preparat ini lebih affordable
(memiliki kemampuan) menuntaskan masalah terapi IBD.

21
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Peran antibiotik umumnya tidak ada untuk antimicrobial per se,


namun sebagai efek imunomodulasi dapat dicobakan. Metronidazol
dan siprofloksasin secara sendiri atau kombinasi keduanya dapat
diberikan dan efektif pada PC-perianal. Sebaliknya, flora enterik
memegang peran dalam patogenesis radang usus non-infeksi
(RUNI). Dengan dasar itu, banyak penelitian dapat menerima pro-
biotik sebagai salah-satu modalitas terapi IBD, terutama untuk KU
tipe pembentukan keradangan kantong iliaka (ileal pouch formation,
pouchitis).

2.3.4. Memperbaiki Gaya hidup

Tidak dapat disangkal bahwa merokok dan kehidupan dengan


risiko-tinggi, seperti pada penderita HIV-AIDS merupakan
predisposisi patogenesis IBD disamping gizi buruk (malnutrition).
Risiko rekurensi IBD meningkat dua kali lipat pada smokers, merokok
juga menurunkan efektifitas infliksimab. Pada penderita HIV-AIDS,
penurunan daya tahan tubuh menyebabkan proses keradangan akan
semakin meningkat dan juga mengundang infeksi oportunistik.
Memperbaiki gaya hidup membutuhkan kerjasama yang paripurna
dari segenap unsur yang terlibat.

2.4. Pengobatan Pencegahan Komplikasi

Beberapa faktor penting yang berperan dan terlibat langsung


adalah : Nutrition, Surgery, Health-mentally Social Working Group.
Nutrisi yang baik sangat berarti pada penatalaksanaan IBD.
Konsultan Gizi (Dietitian) perlu terlibat aktif memacu perbaikan
kondisi malnutrisi (osteoporosis, defisiensi besi) dengan mensuportasi
suplemen-mineral dan vitamin (terutama kalsium, zat besi, vit D

22
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

dan B12). Perubahan diet termasuk memperbaiki/mengurangi diet


laktosa dan fruktosa untuk mencegah diare serta diet rendah serat
untuk mencegah perburukan PC-strictures and intestinal narrowing.
Begitu juga dengan kelompok pekerja sosial-kesehatan, yang secara
psikologis mampu memberikan dukungan yang sesuai dan layak.
Pasien KU berat umunya disertai oleh buang air besar berdarah
(hematokhezia) yang sering berulang (10-15 kali/hari), dihubungkan
dengan kehilangan berat badan, dehidrasi, demam dan anemia
berat. Untuk keadaan demikian dibutuhkan perawatan rumah sakit
(admission to hospital) karena KU bisa secara progresif mengalami
komplikasi megakolon toksik, obstruksi intestinal, perforasi dan
kematian. Tujuan perawatan RS adalah untuk pengobatan segera
dan pengendalian resusitasi cairan, mengistirahatkan kolon, suportasi
nutrisi dalam bentuk TPN (total parenteral nutrisi), pemberian
kortikosteroid intravena, obat-obat lain, bahkan mungkin persiapan
untuk pertimbangan prosedur bedah cito (tabel 5). Demikian pula
dengan PC, indikasi rawat inap di RS sama seperti KU, disamping
dapat pula akibat adanya fistula dan abses perianal.

2.5. Prosedur Bedah

Indikasi bedah dan kerjasama dengan tim bedah digestif di-


perlukan untuk kasus-kasus refrakter (lebih dari 15% kasus IBD)
dan complicated. Hal ini perlu dipertimbangkan sejak awal dalam
rangka memperbaiki kualitas hidup pasien. Untuk kasus-kasus KU,
disamping terapi steroid intravena, lebih dari 25% kasus complicated
akhirnya harus menjalan i prosedur bedah emergensi.
Melihat tingginya prevalensi kasus refrakter dan fulminant pada IBD
yang akhirnya memerlukan tindakan bedah cito, maka pertimbangan
prosedur bedah memang harus difikirkan sejak awal melakukan

23
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

pengkajian kasus-kasus IBD. Beberapa prosedur bedah yang perlu


dipertimbangkan dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6.Prosedur Bedah Untuk IBD.*/

Kolektomi dan ‘Ileal Pouch Formation’


Kolitis Ulseratif Proktokolektomi dengan Ileostomi
Kolektomi dengan Ileorektal anastomosis
Penyakit Crohn
Duodenal disease Strikturoplasti, duodenojejunostomi
Dilatasi balloon per endoskopi

Small bowel disease Fistulas: reseksi dan anastomosis segmen


yang rusak
Strictures: reseksi,strikturoplasty atau
dilatasi balon

Colorectal disease Kolektomi segmental untuk penyakit-


penyakit terbatas
Proktokolektomi untuk penyakit-penyakit
difus dan ekstensif

Severe anorectal disease Reseksi abdominoperineal dengan end-


colostomy permanen.

*/ Disarikan dari rujukan no. 18 dan 22.

3. Rencana Edukasional
Secara komprehensif dan simultan, penatalaksanaan IBD harus
dimengerti oleh pasien dan keluarganya. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap kasus dan proses diagnostik dan terapeutik yang direncanakan
serta yang dilakukan, harus senantiasa diinformasikan kepada dan
dengan persetujuan pihak pasien dan keluarganya. Termasuk disini
proses informed consent dan patient safety. Dalam edukasi pasien
dan keluarga ini juga disampaikan tentang komplikasi yang mungkin
terjadi akibat perjalanan penyakit yang kronik-eksaserbasi, serta

24
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

prognosis penyakit yang pada dasarnya banyak dipengaruhi oleh


ada tidaknya komplikasi serta tingkat respon terhadap pengobatan
konservatif.
Sebagai implikasi klinis suatu komplikasi kemungkinan tindakan
bedah harus pula diinformasikan sejak awal dan apabila intevensi
bedah akan dimulai, seharusnya persiapan tindakan berupa
konsultasi toleransi operasi termasuk informed consent tertulis
sudah dikerjakan.

4. Rencana Evaluasi
Evaluasi dimaksudkan sebagai kontrol terhadap tiga konsep
diagnostik, terapeutik dan edukasi diatas. Secara umum tiga
konsep diatas dikenal sebagai konsep penatalaksanaan, dimana
pada pelayanan kesehatan primer (lini pertama), dapat di ringkas
dalam bentuk algoritma seperti pada bagan 6, 7 dan 8 berikut ini.
Algoritma untuk penatalaksanaan temuan kasus baru (case
finding) IBD digambarkan seperti pada bagan 6, sedangkan untuk
penatalaksanaan kasus lama atau hasil rujukan dari sentra yang
lebih tinggi dengan diagnosis kerja yang telah disimpulkan , dapat
dipedomani dari algorithma bagan 7 dan 8.

25
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Bagan 6. Algorithma Penatalaksanaan Temuan Kasus Baru (Diagnosis Terduga)


IBD di Pelayanan Kesehatan

Bagan 7. Algorithma Rencana Terapeutik Kolitis Ulseratif di Pelayanan Kesehatan


Lini Pertama (Primary Care)

26
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

Bagan 8. Algorithma Rencana Terapeutik Penyakit Crohn di Pelayanan Kesehatan


Lini Pertama (Primary Care)

27
IV. Penutup

Sebagai penutup, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.


1. Diagnosis klinik, radiologik dan endoskopik pada kasus klasik
IBD yang dilaksanakan oleh sentra pelayanan kesehatan yang
lengkap adalah relatif mudah.
2. Keterbatasan atau tidak meratanya ketersediaan sarana
penunjang diagnosis endoskopik dan histo-patologi di sentra
pelayanan kesehatan di Indonesia akan mempersulit untuk
menyingkirkan diagnosis banding.
3. Dengan pembekalan pengetahuan dan keterampilan klinik yang
memadai dapat meningkatkan temuan kasus baru terduga IBD,
yang kemudian diharapkan dengan sistim rujukan yang baik akan
dapat ditindak-lanjuti baik dari segi diagnosis maupun peng-
obatannya. Untuk kemudian dilakukan rujukan balik agar tingkat
pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan efektif.
4. Tujuan pengobatan IBD adalah memacu dan mempertahankan
remisi dan mencegah konsekuensi-komplikasi jangka panjang
keradangan gastrointestinal. Hal ini umumnya didapat dengan
pengobatan konservatif-medikamentosa disamping perbaikan
gaya hidup, namun harus dihindari pemakaian kortikosteroid
jangka panjang. Untuk IBD berat dan refrakter, penatalaksanaan
dapat secara powerful menggunakan obat-obat baru seperti agen
biologik (anti-TNF) dan probiotik.
5. IBD adalah penyakit kronik dan kompleks. Penatalaksanaan
yang paling baik adalah dengan pendekatan multidisipliner
antara Dokter Umum (di Pelayanan Primer) dengan Konsulen
Gastroentero-Hepatologi, Dokter Bedah-digestive dan Dietitian
di sentra pelayanan spesialistik/lengkap.

28
Rujukan

1. Daldiyono, Dharmika Djojoningrat. IBD: Hospital based data and endo-


scopic assessment ofdisease activity in Jakarta Indonesia. J Gastroenterol
Hepatol 2000;15:B10
2. Djojoningrat D. Penyakit Inflamasi Kolon di RSUPN Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Dalam: Akil HAM ed. Pertemuan Ilmiah VIII PPHI dan Konas
PEGI – PGI 1995. Yayasan Masa Depan, 1995:277-85.
3. Djojoningrat D. IBD di Indonesia: Kekerapan rendah atau faktor prosedur
diagnosis. Dalam: Acang N, Nelwan RHH eds. Buku Abstrak KOPAPDI
X Padang,1996.
4. Egan LJ. Advances in the treatment o Crohn’s disease. Gastroenterology
2004;126:1574-81.
5. Goebell H. Different activity index in Crohn’s disease. In Goebell H.
Eds. IBD Basic Reseach and Clinical Application. Lancester, MPT Press;
1988:253-8
6. Greenberg GR. Oral budesonide as maintenance treatment for Crohn’s
disease. Gastroenterology 1996;110:45-51.
7. Hanuer SB. Medical therapy for ulcerative colitis 2004. Gastroenterology
2003;126:1582-92.
8. Hommes DW. Endoscopy in IBD. Gastroenterology 2004;126:1561-73.
9. Loftus EV. Clinical epidemiology of IBD. Gastroenterology 2004;126:1504-
17.
10. Pera A. Colonoscopy in IBD: Diagnosis accuracy and proposal of an
endoscopic score. Gastroenterology 1987;92:181-5.
11. Podolsky DK. Inflammatory Bowel Disease. N Eng J Med 2002;347:417-
29.
12. Paunders RE. The Pathogenesis of IBD. Scan J Gastroenterol
1994;29:11-5.
13. Sands BE. From symptoms to diagnosis: Clinical distinctions among various
forms of intestinal inflammation. Gastroenterology 2004;126:1518-32.
14. Shivananda S. Incidence of IBD across Europe. Gut 1996;39::690-7.
15. Stenson WF, Korzenik J. Inflammatory Bowel Disease. In: Yamada T, ed.
Text book of Gastroenterology. Philadelphia. JB Lippincott Company,
2003:1699-1759.
16. Sartor RB. Mechanisms of Disease: Pathogenesis of Crohn’s Disease and
Ulcerative Colitis. Nat Clin Pract Gastroenterl Hepatol. 2006;3(7):390-407
.@2006 Nature Publishing Group Posted 07/12/2006

29
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

17. Ooi Choon-Jin. Inflammatory Bowel Disease. In: Guan R, Ho KY, Merican
I, et al. Management of Common Gastroenterological Problems A Malaysia
and Singapore Perspective. Ezyhealth (Singapore) Pte Ltd. Fourth Edition,
2006;11:116-22.
18. Chin BW, Grimm MC, Connor SJ, et al. Managing Inflammatory Bowel
Disease. Continuing Medical Education. Medical Progress March
2008:141-7.
19. Rhodes JM. Inflammatory bowel disease-related cancer – just the same as
sporadic? – Pro. In: Gasche C, Gutierrez JMH, Gassull M, et al. Intestinal
Inflammation and Colorectal Cancer. Proceedings of Falk Symposium 158.
Seville, Spain, 2007;I(6):85-91.
20. Velayos FS. Can we prevent inflammatory bowel disease-related colorectal
cancer with 5-ASA, azathioprine or 6-MP? The Clinical evidence. In:
Gasche C, Gutierrez JMH, Gassull M, et al. Intestinal Inflammation and
Colorectal Cancer. Proceedings of Falk Symposium 158. Seville, Spain,
2007;V(15):193-200.
21. Bos CL, Richel DJ, Peppelenbosch. Mesalazine and the prevention of
colorectal cancer in IBD. In: Gasche C, Gutierrez JMH, Gassull M, et
al. Intestinal Inflammation and Colorectal Cancer. Proceedings of Falk
Symposium 158. Seville, Spain, 2007;VI(19):226-35.
22. Baratsis S. The surgical approach for refractory ulcerative colitis. In: Tozon
N, Mantzaris G, Scholmerich J. IBD 2007 – Achievements in Reseach and
Clinical Practice. Proceeding of Falk Symposium 159, Istanbul, Turkey,
2007;VIII(28):272-8 .
23. Ari FS, Murdani A, Manan C, et al. Characteristics of Ulcerative Colitis
and Crohn’s Disease in Cipto Mangunkusumo Hospital Period July 2001
– June 2006. In: Marcellus S, Murdani A, Ari FS. (Eds.). Proceeding The
4th International Endoscopy Workshop and International Symposium On
Digestive Disease. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI Jakarta, April 2008:115-6 (Poster Session).
24. Sudomo U, Lelosutan HSAR, Manan C, et al. ��������
The Profile
��������������������
of Lower Gastro-
intestinal Bleeding Patients Who Underwent Colonoscopy In Central Army
Hospital Gatot Soebroto. Poster Session on 2th Scientific Meeting CISHMS
China 2008, Chongqing International Convention Center – Chongqing
China, 7-8 Mei 2008.
25. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, et al. World Gastroenterology
Organization Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of
IBD in 2010. Inflamm Bowel Dis. Volume 16. Number 1, January 2010.

30
DAFTAR HADIR

KELOMPOK STUDY INFLAMMATORY BOWEL DISEASE


DI INDONESIA (KSIBDI)

No Nama Cabang Tanda Tangan

Prof. Dr. dr. Hernomo O. K, Sp.PD-


1 Surabaya
KGEH

2 Prof. dr. Siti Nurjanah, SpPD-KGEH Yogyakarta

dr. H. Chudahman Manan, SpPD-


3 Jakarta
KGEH

dr. H. Syafruddin A.R. Lelosutan,


4 Jakarta
Sp.PD-KGEH, MARS

5 dr. Leonardo Dairy, Sp.PD-KGEH    Medan

6 dr. Fauzi Yusuf, Sp.PD-KGEH    Banda Aceh

dr. Sutanto Maduseno, SpPD-


7 Yogyakarta
KGEH

8 dr. T Yuli Pramana, SpPD-KGEH Surakarta

9 dr. Herry Purbayu, SpPD-KGEH Surabaya

10 dr. I G A Suryadarma, SpPD Denpasar

11 dr. B.J.  Waleleng, Sp.PD-KGEH    Manado

31
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

12 dr. AY Haryanto, SpPD-KGEH Yogyakarta

13 dr. Hery Djagat Purnomo, SpPD Semarang

14 dr. Bogi Pratomo, SpPD Malang

15 dr. Arnelis, SpPD Padang

16 dr. Salius Silih, SpPD   Bengkulu

17 dr. Vidi Orba Busro, SpPD Palembang

18 dr. Ali Imron Yusuf, SpPD Bandar Lampung

19 dr. Lianda Siregar, SpPD Samarinda

20 dr. Yustar Mulyadi, SpPD Pontianak

21 dr. Fardah Akil, SpPD Makassar

22 dr. Ummi Maimunah, SpPD Surabaya

32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia 2011

42

Anda mungkin juga menyukai