Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sepsis adalah gangguan fungsi organ tubuh yang dapat mengancam
nyawaseseorang (life-threatening organ dysfunction). Gangguan fungsi ini
disebabkan oleh respon imun yang berlebihan terhadap infeksi. Sepsis dan
syok septik merupakan salah satu penyebab kesakitan dan kematian (50-60%)
yang terjadi pada anak yang dirawat di ruang rawat inap dan ruang rawat
intensif (ICU). Diketahui angka kematian karena sepsis lebih tinggi terjadi
pada anak dengan imunodefisiensi (Plunket, 2015)
Kejadian sepsis ini dapat disebabkan oleh adanya respon imun berlebihan
terhadap infeksi bakteri. Selain bakteri, infeksi penyebab sepsis dapat pula
berasal dari jamur, virus, atau parasit. Organ yang paling diketahui paling
sering menjadi lokasi infeksi primer dari sepsis adalah paru-paru, otak, saluran
kemih, kulit, dan abdomen. Faktor lain yang meningkatkan risiko terjadinya
sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan sistem imun seperti pada pasien
keganasan dan diabetes melitus, trauma, atau luka bakar mayor. (Hadinegoro,
2016).
Sepsis neonatrorum adalah merupakan sindrom klinis penyakit sistemik
disertai dengan bakterimia pada bayi dalam satu bulan pertama kehidupan
(Gomella,2020). Sepsis neonatorum menjadi salah satu penyebab utama
morbiditas dan mortalitas, baik pada bayi cukup bulan maupun bayi kurang
bulan (prematur). Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dibagi
menjadi sepsis neonatorum awitan dini (SNAD) dan sepsis neonatorum awitan
lambat (SNAL). Pada SNAD, gejala timbul pada 3 hari pertama kehidupan,
sedangkan SNAL terjadi setelah 3 hari pertama kehidupan (Shah dan Padbury,
2014).
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), didapatkan data
sekitar 1,3 hingga 3,9 juta kasus sepsis neonatorum per tahun dengan 400.000
hingga 700.000 kasus kematian di dunia (WHO, 2020). Menurut Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2021, didapatkan bahwa sepsis
menjadi salah satu penyebab terbanyak kematian neonatus di Indonesia.
Beberapa penyebab kematian neonatus antara lain kondisi berat badan lahir
rendah (BBLR) (35,2%), asfiksia (27,4%), sepsis (3,4%), kelainan congenital
(11,4%), tetanus neonatorium (0,3%), dan lainnya (22,3%) (Kemenkes, 2021).
Penegakkan diagnosa sepsis neonatorum dapat dilakukan melalui tindakan
anamnesa, pemeriksaan fisik (Hadinegoro, 2016). Namun pada kenyataannya,
apabila diagnosa sepsis neonatorum ini hanya didasarkan pada tanda-tanda
klinis, maka menjadi tidak spesifik, oleh karena itu dibutuhkan pemeriksaan
penunjang lebih lanjut. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan di
antaranya berupa pemeriksaan kultur (darah, lumbal punksi, urin, dan trakea),
pewarnaan gram, uji molekular, pemeriksaan laboratorium lain seperti uji
darah lengkap dan uji reaktan fase akut seperti C-reactive protein (CRP),
prokalcitonin, sitokin, dan neutrofil serta pemeriksaan radiologis (Gomella,
2020).
Sampai saat ini, kultur darah masih menjadi baku emas untuk diagnosa
sepsis Neonatorum. Namun pemeriksaan kultur ini memiliki keterbatasan
dimana proses pemeriksaan membutuhkan waktu yang lama sampai hasil dapat
diteriam oleh klinisi. Hambatan lain dari pemeriksaan kultur ini adalah hasil
false negative pada penderita yang sudah mendapat terapi antibiotic. Di
samping itu banyak factor teknis lain seperti waktu dan teknik pengambilan
specimen serta cara transport ke laboratorium yang dapat mempengaruhi hasil.
Kemungkinan sepsis tidak dapat dihilangkan meskipun hasil kultur
menunjukan hasil negatif (Shah dan Padbury, 2014).
Hasil kultur dapat bervariasi karena sejumlah faktor, termasuk antibiotik
ibu yang diberikan sebelum kelahiran, organisme yang sulit tumbuh dan
mengisolasi (anaerob),dan kesalahan pengambilan sampel dengan volume
sampel kecil (volume minimum untuk kultur darah adalah 1 mL) (Gomella,
2020). Pemeriksaan kultur darah ini memiliki spesifisitas tinggi tetapi
sensitivitas rendah untuk infeksi invasif (Anastasia, 2017).
Selain kultur ada parameter penunjang lain dalam diagnose sepsis,
diantaraya adalah parameter hematologi, termasuk di dalamnya pemeriksaan
jumlah sel darah sederhana seperti leukosit, hitung jenis leukosit dan laju
endap darah (LED). Pemeriksaan ini sering kali menjadi bagian dari protokol
diagnostik sepsis awal. Parameter ini dipilih sebagai protocol diagnostik awal
dengan pertimbangan waktu hasil yang lebih cepat didapat, sehingga tindakan
pengobatan dapat segeran dimulai oleh klinisi (Fan,2016)
Menurut penelitian Gita pada tahun 2020 menyebutkan bahwa terdapat
hubungan signifikan antara jumlah leukosit total, jumlah neutrofil absolut, dan
jumlah limfosit total dengan sepsis neonatorum awitan dini.
Adapun hasil penelitian Manandhar pada tahun 2020 menyebutkan bahwa
pemeriksaan LED menunjukan signifikansi dalam proses diagnosa sepsis
neonatal.
RSUD Banten adalah rumah sakit umum daerah yang secara resmi
dioperasikan pada 3 Oktober 2013. RSUD Banten merupakan rumah sakit
milik pemerintah Provinsi Banten yang ditetapkan secara resmi berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 01/36/KLS/Kes/BKPMT/2015.
Sejak berdirinya, RSUD Banten terus meningkatkan kualitas dan jenis
pelayanan kesehatan, diantaranya menyediakan fasilitas ruang perinatologi
untuk perawatan khusus bayi baru lahir yang memerlukan penanganan khusus.
Pasien bayi baru lahir dengan diagnosa sepsis akan dirawat terpisah di ruangan
ini. Selanjutnya tindakan-tindakan medis dan penunjang medis serta penegakan
diagnosa akan dilakukan intensif oleh dokter spesialis anak dengan bekerja
sama dengan unit lain yang terkait, di antaranya kerjasama dalam penegakan
diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka melelui penelitian ini peneliti
ingin mengetahui apakah terdapat korelasi antara laju endap darah dan kadar
leukosit pada pasien sepsis neonatorum di RSUD Banten
B. Pembatasan Masalah
Penelitian ini dibatasi pada hubungan kadar leukosit dan laju endap darah
pada pasien sepsis neonatorum di RSUD Banten. Pemeriksaan kadar leukosit
menggunakan metode empedans dengan alat Mindray BT 780. Sedangkan
pemeriksaan LED menggunakan alat Alifax 20 LC.

C. Rumusan Masalah
Adakah hubungan antara kadar leukosit dan nilai laju endap darah pada
pasien sepsis di RSUD Banten.

D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui kadar leukosit dan nilai LED pada pasien sepsis neonatorum di
RSUD Banten
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui kadar leukosit pada pasien sepsis neonatorum di RSUD
Banten
b. Mengetahui nilai LED pada pasien sepsis neonatorum di RSUD Banten
c. Menganalisis hubungan antara kadar leukosit dan LED pada pasien
sepsis neonatorum di RSUD Banten

E. Manfaat
1. Manfaat teoritis
Peneliti berharap bahwa hasil penelitian ini dapat menambah referensi dan
pemahaman mengenai penanganan sepsis, serta penegakkaan diagnose
sepsis melalui pemeriksaan kadar leukosit dan LED
2. Manfaat Praktis
a. Peneliti
Peneliti berharap mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan
laboratorium serta keterampilan penyusunan skripsi terutama dalam
bidang Hematologi khususunya yang berkaitan dengan pemeriksaan
leukosit dan LED pada sepsis neonatorum.
b. Akademik
Peneliti berharap dengan adanya penelitian ini dapat menambah
referensi di perpustakaan terutama dalam bidang Hematologi
khususunya yang berkaitan dengan pemeriksaan leukosit dan LED pada
sepsis neonatorum.
c. Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai penyakit sepsis
pada bayi baru lahir.

Anda mungkin juga menyukai