Anda di halaman 1dari 57

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2020

UNIVERSITAS PATTIMURA

SEPSIS NEONATORUM

Disusun oleh:

Devana Maelissa

NIM. 2018-84-018

Pembimbing :

dr. Sri Wahyuni Djoko Sp.A

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena

atas rahmat dan karuania-Nya, maka saat ini penulis dapat menyelesaikan

penulisan referat dengan judul Sepsis Neonatorum. Referat ini dibuat dalam

rangka tugas kepanitraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Pattimura Ambon Tahun 2020..

Penulis menyadari bahwa referat ini masih banyak kekurangan, oleh

karena itu kritik dan saran yang membangun selalu harapkan, dan semoga referat

ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas segala pihak yang telah

membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan referat ini.

Ambon, Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………….............. i

DAFTAR ISI…………………………………………………………….. ii

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi….…………………………………………………………………..4

Epidemiologi………...……………………………………………………...5

Klasifikasi………………………………………………………………….. 6

Etiologi …...………………………………………………………………...7

Patofisiologi ………………...……………………………………………... 10

Manifestasi klinik…………………………………………………………...

13

Pemeriksaan penunjang……………………………………………………. 14

Penatalaksanaan……………………………………………………………. 21

Pencegahan …………………………………………………………………40

Prognosis……………………………………………………………………42

BAB 3 KESIMPULAN …………………………………………………… 44

Daftar Pustaka ………...……………………………………………………46


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Penilaian Sepsis Neonatorum…..……………………………....15

Gambar 2. Kriteria diagnosis sepsis neonatus………………..……............21

Gambar 3. Talalaksana dan Pencegahan Sepsis Neonatorum……………..25


DAFTAR TABEL

Table 1. Patogen umum penyebab sepsis neonatorum di negara berkembang…..8

Tabel 2. Tanda dan gejala awal infeksi pada bayi baru lahir……….....................14

Tabel 3. Sistem Skroing menurut Rodwell….…………………………………...17

Tabel 4. Rekomendasi WHO untuk terapi Antibitok pada bayi 0-59hari dengan

Tanda PSBI atau untuk profilaksis. ……..…….……………………………....23

Tabel 5. Penetrasi CSF dengan beberapa kelas Antibiotik….………….. ……....29

Tabel 6. Faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi antibiotic di CSF.. …....32


BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik

akibat infeksi yang terjadi dalam satu bulan pertama kehidupan. Hal

tersebut terjadi karena bayi yang baru lahir memiliki defisiensi

mekanisme pertahanan melalui patogen, terutama pada bayi berat lahir

rendah. Infeksi tersebut dapat terjadi saat bayi masih di dalam kandungan

melalui jalur transplasenta atau transservikal, selama persalinan ataupun

setelahnya.1,2

Diagnosis maupun penanganan sepsis neonatorum ini masih

menjadi tantangan global sehingga berdampak terhadap tingginya

morbiditas dan mortalitas penderita. Insiden sepsis neonatal telah

dilaporkan 30/1000 kelahiran hidup menurut National Neonatal Perinatal

Database.3 World Health Organization melaporkan, bahwa pada terdapat


empat juta kematian neonatus setiap tahunnya, sepertiga dari penyebab

kematian tersebut disebabkan oleh infeksi berat dan seperempatnya atau

sekitar satu jutanya karena sepsis neonatorum.4

Insiden sepsis neonatal bervariasi dari 7,1 hingga 38 per 1.000

kelahiran hidup di Asia, 6,5 hingga 23 per 1.000 kelahiran hidup di

Afrika, dan 3,5 hingga 8,9 per 1.000 kelahiran hidup di Amerika Selatan.5

Di negara berkembang, kematian bayi karena sepsis

neonatorum sekitar 75% kelahiran hidup, yang terjadi terutama di minggu

pertama kehidupan.6 Sepsis neonatorum merupakan penyebab kematian

ketiga terbanyak (12,0%) setelah gangguan pernapasan (35,9%) dan

prematuritas untuk usia 0-6 hari (32,4%). Sebaliknya untuk kelompok

usia 7-28 hari, sepsis merupakan penyebab kematian terbanyak (20,5%).7

Menurut laporan WHO pada tahun 2015, angka kematian

akibat sepsis neonatorum di Indonesia adalah sebesar 1,8 per- 1000

kelahiran hidup.8Angka kematian neonatus menurut Survei Demografi

dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 di Indonesia adalah 19 kematian

per-1000 kelahiran hidup, dan di Maluku adalah sebesar 24 kematian per-

1000 kelahiran hidup.9

Diagnosis dini sepsis neonatorum, terutama pada negara

berkembang, masih menjadi tantangan besar oleh karena adanya kesulitan

identifikasi tanda awal penyakit tersebut.1,10 Pemeriksaan kultur darah

masih menjadi gold standard untuk diagnosis sepsis neonatorum,

meskipun diagnosis dengan metode ini masih memiliki beberapa


kekurangan, misalnya hasil pemeriksaan diperoleh dalam waktu yang

lama, minimal 3-5 hari. Tidak ada parameter tunggal untuk mendiagnosis

sepsis neonatal, beberapa parameter gabungan (termasuk kondisi klinis)

perlu dinilai.2,5

Tatalaksana sepsis terbagi menjadi tatalaksana etiologi,

supportif dan emergensi. Tujuan tatalaksana ditujukan pada

penanggulangan infeksi dan disfungsi organ. Antibiotik pada pasien

dengan infeksi bakteri, Pengobatan Anti-jamur Pasien dengan predisposisi

infeksi jamur sistemik,

Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan

etiologi infeksi, diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila

penyebab sepsis belum jelas, antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama

sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya dilakukan pemeriksaan kultur

darah. Upaya awal terapi sepsis adalah dengan menggunakan antibiotika

tunggal berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab diketahui, terapi

antibiotika defenitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman.1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Sepsis Neonatorum

II.1.1. Definisi

Sepsis neonatorum adalah suatu kumpulan gejala sistemik akibat

infeksi bakteri, virus, jamur, maupun protozoa yang terjadi dalam satu

bulan pertama kehidupan.1,2 Sepsis Neonatorum dimanifestasikan oleh

tanda-tanda sistemik infeksi bakteri dari aliran darah serta didiagnosis

dengan kultur darah positif, respons ini dimanifestasikan dengan dua atau

lebih gejala dan tanda berikut: suhu> 380C atau <360C, takipnea,

takikardia, <30 torr, leukositosis (> 12.000 / mm3) atau atau leukopenia

(<4.000 / mm3) atau jumlah sel muda neutrofil> 10% .5,11

Sepsis neonatorum didefinisikan secara klinik dan/atau

mikrobiologi. Menurut WHO, definisi sepsis neonatorum secara klinik


adalah kejang, laju pernapasan lebih dari 60 kali/menit, retraksi dinding

dada dalam, napas cuping hidung, mengorok, penonjolan ubun- ubun,

keluar nanah dari telinga, kemerahan disekitar umbilikus yang meluas ke

kulit, suhu >37,7oC (atau teraba hangat) atau <35,5oC (atau teraba dingin),

letargia atau penurunan kesadaran, penurunan gerakan, tidak bisa minum,

dan tidak bisa menyusui.12,13

II.1.2. Epidemiologi

Secara global, sepsis masih menjadi salah satu penyebab utama

morbiditas dan mortalitas pada neonatus. Perkiraan beban global untuk

sepsis neonatal adalah 2.202 per 100.000 kelahiran hidup, dengan

kematian antara 11% dan 19% . Lebih dari 40% kematian balita terjadi

pada periode neonatal, menghasilkan 3,1 juta kematian bayi baru lahir

setiap tahun.14

Insiden sepsis neonatal telah dilaporkan 30/1000 kelahiran hidup

menurut National Neonatal Perinatal Database. 3 Sebuah studi prevalensi

internasional tahun 2015 yang mengumpulkan data dari 26 negara

didapatkan prevalensi global sepsis pada unit perawatan intensif anak

8,2%. 45% kematian dibawah usia lima tahun terjadi pada bulan pertama

kehidupan secara global. Lebih dari sepertiga angka tersebut, disebabkan

oleh infeksi berat, yang mana sekitar satu juta kematian terjadi hanya

akibat sepsis neonatorum/pneumonia.15,16


Insiden sepsis neonatal bervariasi dari 25,3 per 1.000 kelahiran hidup di

Asia, di mana 22,2 per 1.000 kelahiran hidup adalah sepsis onset dini dan

2,9 per 1000 adalah sepsis onset lambat. 12 Di Indonesia 19,2 per 1.000

kelahiran hidup dengan 75,6% terjadi pada minggu pertama kehidupan.

RS Sanglah Bali, Mei 2017 sampai April 2018 angka kematian 29,8%.12.

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007, sepsis merupakan

penyebab kematian ketiga terbanyak (12,0%) setelah gangguan

pernapasan (35,9%) dan prematuritas untuk usia 0-6 hari (32,4%), namun

untuk kelompok usia 7-28 hari, sepsis merupakan penyebab kematian

terbanyak (20,5%).7,12

II.1.3. Klasifikasi

Sepsis neonatorum dapat dibedakan menjadi sepsis awitan

dini (SAD), dan sepsis awitan lambat (SAL).1,19 Sepsis awitan dini terjadi

pada usia ≤72 jam pada bayi kurang bulan dan <7 hari pada bayi cukup

bulan.20 Sepsis awitan dini merupakan penyakit sistem multiorgan berat

yang sering bermanifestasi sebagai gagal pernapasan, syok, meningitis,

koagulasi intravaskular diseminata, nekrosis tubular akut, dan gangren

perifer simetris.2 Sepsis awitan dini ditandai dengan awitan tiba-tiba dan

dapat berkembang menjadi syok septik.1 Infeksi pada SAD sering dimulai

dalam kandungan dan merupakan akibat infeksi yang disebabkan oleh

bakteri pada traktus genitourinaria ibu. Faktor risiko untuk SAD adalah

kolonisasi vagina dengan Streptokokus grup B (SGB), ketuban pecah

berkepanjangan (>24 jam), amnionitis, demam atau leukositosis pada ibu,


takikardi janin, dan persalinan prematur. Sewaktu lahir, bayi prematur

dengan SAD menunjukkan tanda-tanda kardiorespiratori nonspesifik,

seperti merintih, takipnea, dan sianosis.2,15

Sepsis awitan lambat merupakan infeksi pascanatal yang

terjadi pada usia >72 jam pada bayi kurang bulan dan ≥7 hari pada bayi

cukup bulan.21 Sepsis awitan lambat umumnya terjadi pada bayi risiko

tinggi yang dirawat, berhubungan dengan monitor invasif dan teknik

lainnya di Unit Perawatan Intensif Neonatus (UPIN), terutama pada bayi

prematur. SAL terjadi pada bayi berat lahir sangat rendah dengan rawat

inap jangka panjang di unit perawatan intensif neonatal (ICU) atau pada

bayi prematur terlambat atau jangka penuh yang membutuhkan rawat inap

berkepanjangan. Insiden setidaknya satu kultur darah positif pertama

setelah 72 jam kehidupan pada bayi prematur dengan berat lahir sangat

rendah (berat lahir ≤1500 g) bervariasi dari 20% hingga 35%, tergantung

pada layanan yang dinilai.22 Risiko SAL meningkat dengan seringnya

terapi antibiotik spektrum luas untuk sepsis, kateter vena sentral menetap,

pipa endotrakea, kateter vena umbilikal, dan peralatan pemantauan

elektronik. Banyak bayi tersebut telah mengalami kolonisasi bakteri

multidrug- resistant yang berasal dari UPIN. Pada sepsis awitan lambat,

bakteremi dapat disertai dengan infeksi fokal, seperti meningitis,

osteomielitis, artritis, dan infeksi saluran kemih.1,2

II.1.4. Etiologi
Penyebab Sepsis di negara berkembang akibat ada

kemungkinan bahwa praktik persalinan yang sangat tidak bersih

menyebabkan infeksi dengan agen gizi sangat awal dalam kehidupan.

Selain itu, sebagian besar neonatus dilahirkan di rumah tangga dan

mungkin terinfeksi dengan patogen yang didapat masyarakat bahkan

setelah 72 jam.23

Etiologi sepsis neonatal bakteri diidentifikasi selama rentang

5 tahun dengan yang paling umum sebagai berikut: tahun 1998:

Klebsiella pneumoniae (23%); 1999 dan 2000: Staphylococcus aureus

(masing-masing 17% dan 6%); 2001 dan 2002: Acinetobacter (6,7% dan

20,4%, masing-masing); dan 2003: Klebsiella pneumoniae (23,4%). Saat

ini, sepsis neonatal diklasifikasikan berdasarkan patofisiologi sepsis

onset dini (SOD) dan sepsis onset lambat (SOL).13

Patogen penyebab sepsis neonatorum yang paling sering

secara umum adalah bakteri gram negatif, seperti Klebsiella, Escherichia

coli, Pseudomonas, dan Salmonella, sedangkan bakteri gram positif yang

sering diisolasi adalah Staphylococcus aureus, coagulase negative

staphylococci (CONS), Streptococcus pneumoniae, dan Streptococcus

pyogene19,,22 Organisme penyebab sepsis neonatorum pada negara

berkembang berbeda dengan negara maju. Pada negara maju, SGB dan

E.coli merupakan penyebab utama SAD, sedangkan CONS lebih dominan

pada SAL diikuti SGB dan S. aureus.2,17

Table 1. Patogen umum penyebab sepsis neonatorum di negara berkembang. 23


Beberapa Faktor Resiko Penyebab diantaranya :

Jenis Kelamin

Septikemia neonatal lebih sering terjadi pada pria. Faktor-

faktor yang mengatur sintesis gammaglobulin mungkin terletak pada

kromosom X pada bayi laki-laki sehingga kurang memberikan

perlindungan imunologis dibandingkan dengan perempuan.19

BBLR dan Prematuritas

Bayi BBLR (baik SFP preterm dan prem) memiliki IgG

rendah dan lebih rentan terhadap infeksi. Transpor IgG plasenta dari

sirkulasi ibu ke janin meningkat dengan maturitas, transpor ini terhambat

pada bayi SFD yang sering merupakan produk dari insufisiensi plasenta.

Dalam penelitian kami, gambaran yang paling umum pada

sepsis onset dini adalah distres pernapasan (46,06%), muntah (26%),

hipotermia (23,6%), distensi abdomen (17,5%), sedangkan pada sepsis

onset lambat, gambaran klinis yang paling umum adalah kelesuan


( 71,6%), penolakan memberi makan (67,5%), demam (43,2%). Konvulsi,

diare, dan menangis berlebihan ditemukan pada jumlah neonatus yang

hampir sama pada sepsis onset dini dan lambat.19

Riwayat Ibu

Faktor penting lainnya yang menjadi predisposisi sepsis

adalah pemeriksaan vagina yang sering (23,25%), demam pada ibu

(33,33%), dan riwayat cairan berbau busuk (24,72%).19

Lain-lain

Prosedur Tindakan resusitasi pada bayi baru lahir, Kehamilan

kembar, Prosedur invasif, Tindakan pemasangan alat misalnya kateter,

infus, pipa endotrakheal, Bayi dengan galaktosemi, Terapi zat besi,

Perawatan di NICU (neonatal intensive care unit) yang terlalu lama,

Pemberian nutrisi parenteral, Pemakaian antibiotik sebelumnya.22,24

II.1.1. Patofisiologi

Sepsis pada neonatus dapat terjadi melalui berbagai jalur

seperti, transplasenta atau transservikal dan selama atau sesudah

persalinan. Sebelum lahir, janin dipelihara dengan baik dalam lingkungan

yang steril. Imunitas humoral ibu dapat melindungi janin terhadap

sebagian patogen, seperti SGB dan virus herpes simpleks (HSV).2

Beberapa bakteri, seperti Treponema pallidum dan Listeria

monoctogenes, dapat menginfeksi janin melalui jalur transplasenta

meskipun ada mekanisme protektif dari plasenta. Beberapa prosedur,

seperti amniocentesis, cervical cerclage, transcervical chorionic villus


sampling, dan cordocentesis, memungkinkan masuknya organisme pada

kulit maupun vagina dan menyebabkan amnionitis, serta infeksi sekunder

janin.25

Pada saat persalinan, infeksi dapat terjadi melalui cairan

amnion yang terinfeksi pada korioamnionitis.2,25,26 Ketuban pecah

berkepanjangan (>24 jam) memungkinkan terjadinya infeksi ascending

dari vagina ke umbilical cord, dan plasenta. Infeksi janin terjadi akibat

aspirasi cairan amnion yang terinfeksi. Selain itu, sewaktu persalinan bayi

juga dapat terkontaminasi oleh mikroflora pada jalur lahir maupun infeksi

genital lainnya.25,26

Infeksi pasca natal terjadi akibat infeksi nosokomial melalui

alat-alat penghisap lendir, selang endotraktea, selang nasogastrik, kateter

vena sentral menetap, kateter vena umbilikal, peralatan pemantauan

elektronik, botol minuman atau dot, serta penggunaan antibiotik spektrum

luas.2,26 Invasi kuman ke dalam aliran darah terjadi setelah multiplikasi

kuman di lokasi fokal, seperti traktus respiratorius. Pada umumnya,

kuman-kuman yang berada dalam aliran darah dapat dilawan oleh sistem

imun host, yaitu makrofag setelah proses opsonisasi, sehingga bakteremia

tidak berlangsung lama. Perkembangan infeksi mulai dari infeksi fokal

hingga bakteremia dan mekanisme host melawannya bergantung pada

usia pasien, virulensi dan jumlah bakteri dalam darah, status imun dan

nutrisi pasien, serta intervensi terapeutik.2,26

Defisiensi mekanisme imun neonatus lebih berkontribusi pada


kejadian sepsis dibanding status imun ibu. Hal tersebut sesuai dengan

angka kejadian sepsis yang lebih tinggi pada bayi kurang bulan dibanding

bayi cukup bulan. Bayi prematur usia gestasi kurang dari 32 minggu

belum mendapat seluruh komplemen dari antibodi ibu (IgG), yang

melewati plasenta pada pertengahan akhir trimester ketiga. Respons IgG

terhadap infeksi juga menurun pada bayi berat lahir rendah (BBLR),

sekalipun sudah dapat membentuk IgM. Defisiensi sistem imun lainnya

adalah defisiensi jalur aktivasi komplemen klasik yang menyebabkan

penurunan opisionisasi diperantai komplemen. Neonatus juga mengalami

defisiensi migrasi fagosit ke tempat infeksi dan kurangnya cadangan

leukosit sumsum tulang. Pada kondisi sistem komplemen suboptimal,

kemampuan fagositosis dan membunuh bakteri oleh neutrofil neonatus

kurang efektif dibanding neutrofil dewasa. Limfosit bayi baru lahir

mengalami penurunan sitotoksisitas antibody-independent. Pada bayi

dengan kadar antibodi ibu yang rendah, mekanisme pertahanan melawan

patogen virus juga menurun akibat penurunan cell mediated immunity

(CMI), antibody-dependent immunity, dan natural killer cell. Hal tersebut

memungkinkan terjadinya sepsis akibat infeksi virus primer ibu seperti,

enterovirus, HSV-2, atau sitomegalovirus.2

Sepsis menggambarkan suatu sindrom klinis kompleks yang

timbul saat sistem imunitas pejamu teraktifasi terhadap infeksi. Molekul

patogen mengaktifkan sistem kekebalan tubuh, melepaskan mediator

inflamasi dan memicu pelepasan sitokin yang penting dalam eliminasi


patogen. Sitokin proinflamasi, seperti TNF, IL-1, interferon gamma (IFN-

γ) bekerja membantu sel dalam menghancurkan mikroorganisme yang

menginfeksi. Dengan demikian, proses eliminasi lebih efektif, sekaligus

memicu pelepasan sitokin anti inflamasi, seperti interleukin-1 receptor

antagonis (IL-1 ra), IL-4, dan IL-10.Sitokin anti inflamasi berperan

menghentikan proses inflamasi dengan memodulasi, koordinasi, atau

represi terhadap respon yang berlebihan (mekanisme umpan balik).16

Sitokin pro-inflamasi juga berperan dalam pelepasan nitrogen

monoksida (nitric oxide, NO) yang penting dalam eliminasi patogen,

tetapi efek NO lainnya adalah vasodilatasi vaskuler. Pada keadaan sepsis,

produksi NO yang berlebih menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan

menyebabkan syok septik.

Ketika sistem imun tidak efektif mengeliminasi antigen,

proses inflamasi menjadi tidak terkendali dan menyebabkan kegagalan

sistem organ, kerusakan organ multipel tidak disebabkan oleh infeksi

tetapi akibat dari inflamasi sistemik dengan sitokin sebagai mediator.16

II.1.5. Manifestasi Klinik

Salah satu masalah yang ada pada sepsis neonatorum adalah

tanda dan gejala yang bersifat tidak spesifik, dan termasuk ketidakstabilan

suhu, takikardia atau bradikardia, hipotensi, perfusi jaringan yang buruk,

asidosis metabolik, apnea, gangguan pernapasan, mendengus, sianosis,

lesu, kejang, makan intoleransi , distensi abdomen, ikterus, petekie,

purpura, dan perdarahan2,5


Pasien dapat dijumpai dengan suhu tubuh yang tidak normal

(>37,70C atau <35,50C), letargi atau lunglai, mengantuk atau penurunan

aktivitas, malas minum, iritabel atau rewel.2,21 Bayi cukup bulan memiliki

kecenderungan untuk mengalami demam sebagai respons terhadap infeksi

bakteri, sedangkan pada bayi kurang bulan cenderung mengalami

hipotermia. Neonatus dengan peningkatan suhu tubuh lebih dari 39oC lebih

dari satu jam cenderung mengalami bakteremia, meningitis, pneumonia,

dan berhubungan dengan herpes simplex encephalitis. Gejala-gejala

gastrointestinal biasanya muncul sesudah hari keempat, seperti muntah,

diare, perut kembung, dan hepatomegali.2 Tanda dan gejala neurologis

seperti, penurunan kesadaran, kejang, dan ubun-ubun mebonjol dapat pula

ditemukan pada pasien sepsis neonatorum. Selain itu, dapat pula ditemukan

takipnu (>60 kali/menit), napas cuping hidung, merintih, retraksi, takikardi,

serta hipotensi. Kulit dapat nampak sianosis, perfusi berkurang, serta

ditemukan petekie, ruam, sklerema, dan ikterik.2,25

Tabel 2. Tanda dan gejala awal infeksi pada bayi baru lahir 25
II.1.6. Pemeriksaan Penunjang

Tidak ada parameter tunggal untuk mendiagnosis sepsis neonatal,

beberapa parameter gabungan (termasuk kondisi klinis) perlu dinilai.

Parameter baru diperlukan untuk mengembangkan diagnosis Sepsis

Neonatal yang lebih cepat.5

Gambar 1. Penilaian Sepsis Neonatorum


Sumber : (Neonatal sepsis. 2017)25
1. Pemeriksaan Hematologis

Pemeriksaan kultur darah masih menjadi baku emas sepsis

neonatorum hingga saat ini. Diagnosis sepsis neonatal definitif ditegakkan

dari kultur darah.5,13,27 Pemeriksaan kultur darah sebagai standar emas

dalam diagnosis sepsis, membutuhkan beberapa hari dan mahal. 13

Hasil yang positif merupakan tanda definitif adanya bakteri patogen,

namun pemeriksaan ini memiliki kelemahan yaitu, hasil diperoleh dalam

waktu yang lama (minimal 3-5 hari). Volume darah yang diperlukan

untuk mendapatkan hasil yang optimal dari kultur darah adalah 6 ml

karena level bakteremia neonatus yang rendah, namun hal tersebut tidak

memungkinkan pada neonatus. Volume darah yang biasa diperoleh dari

neonatus untuk dikultur hanya 0,5 ml-1,0 ml sehingga mengurangi

sensitivitas pemeriksaan ini.4,28

Pemeriksaan darah rutin pada kasus sepsis neonatorum dilakukan

untuk mengetahui perubahan-perubahan akibat proses infeksi yang terjadi.

Pada pemeriksaan darah rutin dapat dijumpai leukositosis atau leukopeni,

neutropeni PMN (Polymorphonuclear) <1800/µl, trombositopeni

<150.000/µl, neutrofil muda >1500/µl, serta peningkatan rasio netrofil

imatur/total (I/T) lebih dari 0,2.3 Sensitivitas pemeriksaan hitung leukosit

adalah 64%, sedangkan spesifisitasnya sebesar 66%. Monroe dan kawan-

kawan memberikan kriteria sepsis neonatal yaitu bila ditemukan 2 atau

lebih hal- hal berikut, rasio neutrofil imatur/neutrofil total (I/ T)>0,16,

jumlah neutrofil absolut <7500/ul atau >14.000/ul, jumlah neutrofil imatur


>1400/mm.25 Rodwell memberikan skor hematologi untuk sepsis neonatal

sebagai berikut, Sistem skoring hematologik menurut Rodwell

menetapkan skor 1 untuk setiap temuan hematologik yang bermakna,

tetapi ada pengecualian untuk jumlah PMN, bila tidak ditemukan PMN

matur pada sedian darah tepi maka skor 2.

Tabel 3. Sistem Skroing menurut Rodwell

Bila nilai skor hanya 0-2 maka kemungkinan tidak sepsis

Diagnosis sepsis ditegakkan bila ditemukan dua atau lebih hasil uji

positif.Skor ≤ 2 dianggap sebagai risiko yang lebih rendah; skor 3–4

sebagai risiko sedang; dan skor ≥ 5 sebagai risiko lebih tinggi untuk

mengembangkan sepsis. Skor minimum yang dapat diperoleh adalah 0

dan skor maksimum hingga 7.3

2. Pungsi Lumbal

Sementara lumbar puncture (LP) adalah cara penting untuk


mendapatkan cairan serebrospinal (CSF) untuk menyingkirkan adanya

meningitis pada bayi dengan dugaan sepsis.21 Insiden meningitis neonatal

adalah 0,27-0,44/1.000 kelahiran hidup dan meningkat menjadi 6,5-14 per

1.000 pada bayi baru lahir dengan berat badan sangat rendah. Meningitis

lebih sering terjadi pada bayi yang dievaluasi untuk sepsis onset lambat

daripada sepsis onset dini. Analisis CSF harus dipertimbangkan pada

semua neonatus dengan sepsis onset lambat sebelum memulai antibiotik.

Pada sepsis awitan dini, pungsi lumbal diindikasikan dengan adanya kultur

darah positif, atau ketika gambaran klinis konsisten dengan septikemia.

Selain itu, hingga 38% dari mereka yang meningitis akan memiliki

kultur darah negatif; karenanya, pungsi lumbal harus merupakan komponen

dari setiap evaluasi sepsis neonatal dan tidak hanya dilakukan jika kultur

kembali positif.21 Pada setiap gejala bayi baru lahir yang dievaluasi untuk

sepsis, pungsi lumbal harus dilakukan, terlepas dari waktu presentasi.

Semua neonatus dengan bakteremia, terutama dengan gram-batang negatif,

harus dilakukan tusukan lumbal.14,29

Kondisi yang dapat menyebabkan keterlambatan atau pembatalan

tusukan lumbar termasuk bayi yang sakit parah dengan tekanan

kardiovaskular atau pernapasan, (Neonatus prematur yang menderita

sindrom gangguan pernapasan (RDS), fontanel anterior yang tegang atau

menggembung (CT scan atau MRI dapat diindikasikan untuk

menyingkirkan peningkatan tekanan intrakranial secara signifikan sebelum

LP), adanya trombositopenia berat, atau infeksi di sekitar daerah


lumbosakral.21

3. Urinalisis

Tingkat kultur urin positif pada bayi dengan sepsis onset dini

sangat rendah dan infeksi saluran kemih tidak terjadi pada 72 jam

pertama, dan oleh karenanya, supra pubic bladder aspiration atau

kateterisasi urin tidak dilakukan sebagai bagian dari penilaian sepsis

neonatal onset dini. Namun, infeksi saluran kemih umum terjadi pada bayi

yang lebih tua dan bayi prematur dihubungkan dengan sepsis awitan

lambat.15 Kultur urin yang diperoleh dengan tusukan suprapubik atau

kateterisasi kandung kemih telah direkomendasikan dalam semua kasus

sepsis awitan lambat. Bayi baru lahir yang berisiko sepsis jamur dan bayi

berat lahir sangat rendah dengan penambahan berat badan yang buruk dan

mereka yang diduga mengalami malformasi urogenital harus menjalani

pemeriksaan urin.11

ISK dapat didiagnosis dengan adanya salah satu dari yang berikut:

a. > 10 WBC / mm dalam sampel 10 mL disentrifugasi.

b. > 10 organisme / mL dalam urin yang diperoleh dengan kateterisasi.

c. Setiap organisme dalam urin diperoleh dengan aspirasi suprapubik.

Diagnosa Sepsis Neonatorum.30

1. Anamnesis, terdiri atas keterangan lengkap data mengenai keadaan

antenatal, intranatal, dan postnatal.


2. Pemeriksaan fisis

keadaan umun, gangguan tanda vital, kelainan sistem organ,

gangguan umum, urine output, dan gerakan-gerakan abnormal.

3. Laboratorium

a) tanda infeksi: hasil kultur (darah, LCS, dll)

b) terdapat mikrob pada jaringan/cairan

c) deteksi molekuler (darah, urine, LSC)

d) autopsi

e) tanda inflamasi:

leukositosis, peningkatan ratio netrofil imatur/total

reaksi fase akut: CRP, LED

sitokin: interleukin -6

interleukin -8

tumor necrosis factor

pleositosis pada LCS atau cairan sinovial atau pleural

DIC: fibrin degradation products, D-dimer

4. Tanda kelainan multiorgan:

asidosis metabolik: pH, pCO2

fungsi paru-paru: p02, pCO2

fungsi ginjal: BUN, kreatinin

fungsi hati, bilirubin, ALT, AST, amonia, PT, APTT

fungsi sumsum tulang: neutropenia, anemia, trombositopenia


Gambar 2. Kriteria diagnosis sepsis neonatus

Sumber :( Challenges in the diagnosis and management of neonatal sepsis.2015)13


II.1.7. Tatalaksana

Penatalaksanaan neonatus dengan sepsis mencakup pemberian perawatan

suportif yang agresif, terapi antimikroba, dan terapi tambahan.19

1. Terapi Definitif

a. Terapi terhadap sepsis neonatus:

Pilihan obat antimikroba untuk bayi yang diduga sepsis

tergantung pada patogen dominan dan pola sensitivitas antibiotik dari

rumah sakit yang diberikan dan karenanya tidak ada rekomendasi

universal yang dapat digunakan di semua pengaturan. Keputusan

untuk memulai terapi antibiotik tergantung pada hasil skrining septik

dan temuan klinis pada bayi, mengikuti indikasi utama untuk

menyatakan terapi antibiotik.30,31

Indikasi untuk memulai antibiotik pada neonatus yang berisiko EOS

meliputi:

1. > 3 faktor risiko untuk sepsis onset dini.

2. Adanya cairan berbau busuk.

3. Adanya 2 faktor risiko antenatal dan skrining septik positif

dan kecurigaan klinis yang kuat terhadap sepsis.

Indikasi untuk Memulai Antibiotik di LOS Sertakan

1. Screening septik positif.

2. Kecurigaan klinis yang kuat terhadap sepsis.


Terapi ini berdasarkan atas hasil kultur dan sensitivitas, gejala klinis,

serta hasil laboratorium serial yang lain. Penting untuk melakukan

evaluasi toksisitas antibiotik, seperti mengukur kadar aminoglikosid

dan vancomycin.30

b. Pemberian antibiotik terhadap sepsis dengan meningitis:

Apabila meningitis terdeteksi dialami pada EOS, maka

direkomendasikan pemberian ampisilin dengan aminoglikosida atau

sefotaksim sebagai terapi empiris untuk mengatasi GBS, E. coli,

Listeria monocytogenes, dan Klebsiella. Untuk LOS diberikan

antistaphylococus, nafsilin atau vankomisin ditambah dengan

sefotaksim atau seftazidim atau tanpa aminoglikosida.

IMCI merekomendasikan rawat inap dan terapi antibiotik IM atau IV

dengan kombinasi gentamisin dan benzylpenicillin atau ampicillin

untuk setidaknya 7-10 hari pada bayi berusia <2 bulan untuk bayi

yang memenuhi definisi kasus infeksi bakteri serius. Jika bayi

dianggap berisiko mengalami infeksi stafilokokus, direkomendasikan

direkomendasikan pemberian cloxacillin dan gentamisin IV.32

Tabel 4. Rekomendasi WHO untuk terapi Antibitok pada bayi 0-59hari

dengan tanda PSBI atau untuk profilaksis.32


c. Lama pemberian antibiotik:

Dengan dipandu oleh pemeriksaan C-reactive protein (CRP) yang

merupakan penanda utama untuk menegakkan diagnosis infeksi,

maka penurunan CRP pada pemeriksaan serial menunjukkan

perbaikan sepsis tersebut. Keadaan CRP normal merupakan indikasi

untuk menghentikan terapi antibiotik. Tetapi penggunaan CRP

sebagai pemandu pemberian antibiotik ini dikecualikan pada bayi

yang menggunakan PICC, ventilator, postoperasi, meningitis, asfiksia

lahir dan bayi yang syok awal kadar CRP- nya tinggi.14 Lama

pemberian antibiotik empirik 48−72 jam sampai didapatkan hasil

kultur yang negatif.15 Pada sepsis neonatal tanpa meningitis,

pemberian antibiotik ini berlangsung selama 10−14 hari.16 Pada

sepsis dengan meningitis, antibiotik diberikan selama 14−21 hari

untuk GBS dan >21 hari untuk L. monocytogenes (gram-negatif).


Tidak dianjurkan melakukan LP ulangan untuk mendeteksi perbaikan

meningitis tersebut. Pemeriksaan LP tersebut harus dilakukan

terhadap semua penderita yang tidak menunjukkan respons terapi

dalam 48 jam dengan penggunaan antibiotik yang sesuai.

Pada neonatus yang mengalami meningitis disebabkan oleh bakteri

gram−negatif sebaiknya dilakukan LP ulangan untuk melihat hasil LP

yang steril, karena durasi pemberian antibiotik ini ditentukan oleh

hasil LP tersebut.30

Gambar 3. Talalaksana dan Pencegahan Sepsis Neonatorum

Sumber : (Neonatal sepsis. 2017)25

Terapi Antibiotik

Pada neonatus dengan dugaan sepsis yang didapat dari

komunitas, kombinasi ampisilin dan gentamisin dapat dimulai untuk

septikemia dan pneumonia. Sefalosporin generasi ketiga mis. sefotaksim,


ditambahkan jika meningitis hadir dalam kasus ini. Sefotaksim harus

digunakan karena toksisitasnya berkurang dan cakupannya luas. 24,31

Dalam pengaturan sepsis yang didapat di rumah sakit, ada

kemungkinan yang tinggi dari strain resisten, sefotaksim dalam kombinasi

dengan aminoglikosida, harus digunakan untuk septiksemia dan

pneumonia sama seperti meningitis. Selain itu kombinasi piperacillin /

tazobactam dengan amikacin harus dipertimbangkan jika diduga terdapat

sepsis pseudomonas.

Penisilin atau derivat biasanya ampisilin 100mg/ kg/24jam

intravena tiap 12 jam, apabila terjadi meningitis untuk umur 0-7 hari 100-

200mg/kg/ 24jam intravena/intramuskular tiap 12 jam, umur >7 hari 200-

300mg/kg/24jam intravena/ intramuskular tiap 6-8 jam, maksimum

400mg/ kg/24jam.

Ampisilin sodium/sulbaktam sodium (Unasyn), dosis sama dengan

ampisilin ditambah aminoglikosid 5mg/kg/24jam intravena diberikan tiap

12 jam. Pada sepsis nosokomial, sebaiknya diberikan vankomisin dengan

dosis tergantung umur dan berat badan: 24

 <1,2kg umur 0-4 minggu: 15mg/kg/kali tiap 24jam

 1,2-2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12- 18jam

 1,2-2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8- 12jam

 >2kg umur 0-7 hari: 15mg/kg/kali tiap 12jam

 >2kg umur >7 hari: 15mg/kg/kali tiap 8jam

ditambah aminoglikosid atau sefalosporin generasi ketiga


Terapi antijamur empiris harus dipertimbangkan jika bayi

memiliki kardiovaskular sentral, tabung endotrakeal, dan trombositopenia,

paparan spektrum luas sefalosporin atau carbapenem, dan usia kehamilan

kurang dari 28 minggu. Amfoterisin B harus dipilih untuk terapi empiris,

dan flukonazol harus disediakan untuk profilaksis.31

Durasi Terapi antibiotik31

1. Sepsis klinis (Berdasarkan kecurigaan klinis dan / atau kepositifan

skrining sepsis): 7-10 hari.

2. Kultur sepsis positif (bukan meningitis) - ISK 14 hari

3. Meningitis - 2 minggu setelah sterilisasi biakan CSF atau minimal 2

minggu untuk meningitis gram positif dan 3 minggu untuk meningitis

gram negatif

4. Infeksi tulang dan sendi-4-6 minggu.

Mekanisme Interaksi obat Pada Sawar Darah Otak

Fisiologi

Sawar darah-otak (BBB) mengacu pada penghalang fungsional yang

mengecualikan komponen serum yang sangat kecil dari jaringan saraf,

sehingga mempertahankan homeostasis di dalam SSP. Air, sebagian besar

ion, dan lipid mengalir bebas dari darah ke cairan ekstra seluler, sedangkan

protein dan molekul polar dieksklusikan. Anatomi utama BBB adalah endotel

mikrovaskular serebral dari membran arachnoid dan epitel pleksus koroid.

Tiga perbedaan histologis penting telah diamati antara kapiler umum dan
yang ada di SSP. Kapiler di seluruh tubuh mengalami fenestrasi,

memungkinkan pergerakan molekul besar di antara sel-sel endotel. Sel

endotel kapiler serebral, bagaimanapun, menyatu sepanjang tepi luminal

seperti sabuk, yang terdiri dari 6-8 untai paralel dengan anastomosis

kompleks; persimpangan ini membatasi jalannya semua zat dengan diameter

> 10 - 15 A ̊. Karakteristik lain dari sel endotel serebral adalah kandungan

yang sangat rendah dari vesikula pinocytic intracytoplasmic, yang hanya

memungkinkan laju rendah transelular transportasi berbagai zat. Peran, jika

ada, pinositosis dalam gerakan antibiotik melintasi kapiler tidak diketahui.

Terakhir, endotelium otak mengandung banyak mitokondria untuk

mengangkut nutrisi penting (mis., Glukosa dan asam amino) dari darah ke

otak, sel-sel endotel serebral mengekspresikan di permukaannya sejumlah

enzim dan mengangkut molekul yang ada dalam jumlah yang jauh lebih besar

daripada di endotel lainnya.34

Konsentrasi Obat dalam SSP

Secara umum, dengan adanya peradangan meningeal, konsentrasi obat CSF

yang diberikan secara sistemik lebih tinggi dibandingkan dengan meninge

yang tidak terinflamasi. Fenomena ini paling menonjol dengan molekul

hidrofilik yang besar dan disebabkan oleh dua mekanisme sendi: pertama,

peningkatan permeabilitas darah - CSF dan sawar darah-otak dan, kedua,

penurunan aliran CSF sebagai konsekuensi dari peningkatan resistensi aliran

CSF akibat obstruk - granulasi arachnoid dan selubung saraf kranial dan
tulang belakang. Pada orang dewasa muda, CSF diperbarui empat hingga

lima kali setiap 24 jam. Dengan bertambahnya usia, sebagai akibat dari atrofi

otak, ruang CSF meningkat dan tingkat produksi CSF sedikit menurun,

mengurangi pergantian CSF menjadi tiga kali sehari pada usia 77 tahun [10].

Dalam hubungannya dengan penurunan fungsi ginjal terkait usia, penurunan

tingkat turnover CSF cenderung meningkatkan konsentrasi obat CSF di usia

tua.

Karena kompleksitas mekanisme yang terlibat, konsentrasi CSF pada masing-

masing pasien dengan infeksi SSP hampir tidak dapat diprediksi. Untuk

alasan ini, konsentrasi obat dan area di bawah kurva konsentrasi - waktu

(AUC) dalam serum (AUCSerum) dan CSF (AUCCSF) serta rasio AUC

(AUCCSF / AUCSerum) diukur pada pasien tanpa adanya peradangan

meningeal, sangat bagus. Mereka mewakili konsentrasi minimum yang dapat

ditemui pada infeksi SSP, terutama pada awal atau selama resolusi

peradangan.

Beberapa keadaan penyakit dan obat-obatan dapat mengubah dinamika CSF.

Data mengenai produksi CSF pada meningitis dilaporkan terjadi penurunan

yang signifikan dan tingkat produksi CSF yang tidak berubah. Meningitis

dapat menyebabkan komunikasi hidrosefalus karena berkurangnya aliran CSF

melalui granulasi subarachnoid. Kortikosteroid, sering digunakan sebagai

terapi tambahan pada meningitis bakteri, menghambat sekresi CSF sebesar

30%. Penurunan aliran curah CSF mungkin diharapkan untuk meningkatkan

waktu paruh obat di CSF, tetapi data eksperimental dan klinis menunjukkan
bahwa konsentrasi antibiotik sering menurun atau tidak berubah oleh

pemberian steroid bersamaan.34,35

Tabel 5. Penetrasi CSF dengan beberapa kelas Antibiotik34


Pengangkutan Antibiotik Melalui BBB

Sejumlah faktor mempengaruhi masuknya antibiotik ke dalam CSF (tabel 1).

Antibiotik memasuki CSF terutama melalui difusi pasif ke gradien

konsentrasi; penentu utama penetrasi CSF adalah kelarutan lemak. Kuinolon

dan rifampisin adalah agen lipofilik dan berdifusi melalui jalur transelular;

konsentrasi puncak dalam CSF terjadi relatif cepat, dan masuk ke CSF

dipengaruhi minimal oleh adanya peradangan. Sebaliknya, agen hidrofilik

seperti antibiotik b-laktam dan vankomisin, memasuki CSF melalui jalur

paracellular; pengangkutannya tergantung pada pembukaan persimpangan

yang rapat, dan konsentrasi puncak relatif tertunda. Sistem aktif yang

mengangkut penisilin dan seftriakson dari darah ke CSF ada di kapiler otak.

Sistem ini, memiliki afinitas dan kapasitas yang rendah dan bertanggung

jawab untuk masuknya obat dalam jumlah terbatas ke CSF.34


Kurva konsentrasi-waktu dalam CSF jauh berebda dengan dalam serum. Oleh

karena itu, perhitungan penetrasi berdasarkan pengukuran simultan tunggal

CSF dan konsentrasi antibiotik serum biasanya berbeda. Misalnya, dalam

percobaan meningitis pediatrik, penetrasi meropenem (sebagaimana

ditentukan oleh CSF / konsentrasi serum) adalah 7,8% ketika diukur dalam 2

jam pemberian antibiotik tetapi 23,9% ketika ditentukan setelah 2 jam.

Penetrasi CSF mungkin lebih baik dinilai dengan pengukuran rasio area di

bawah kurva konsentrasi (AUC) dalam CSF dengan serum atau dengan

pengukuran rasio konsentrasi antibiotik dalam kondisi baik. Dalam studi di

mana AUC dan konsentrasi puncak diukur dalam CSF dan darah, nilai-nilai

penetrasi lebih besar ketika diekspresikan sebagai rasio AUC. Sebagai

contoh, pada anak-anak dengan meningitis bakteri, penetrasi ampisilin,

diekspresikan sebagai rasio konsentrasi puncak dalam CSF dan darah, adalah

13,4% tetapi 25,1% ketika dihitung sebagai rasio nilai AUC.

Untuk meningkatkan permeabilitas BBB terhadap obat-obatan, berbagai

metode seperti pemberian neurotransmitter, mediator inflamasi, solusi

hyperosmotic, atau konjugasi obat ke antibodi spesifik reseptor telah

digunakan. Namun, pengaruh teknik-teknik tersebut pada penetrasi antibiotik

ke dalam CSF pada meningitis bakteri telah menerima sedikit perhatian.34

Tabel merangkum data yang tersedia tentang penetrasi CSF oleh antibiotik

terpilih yang biasanya digunakan sebagai terapi untuk meningitis. Tabel ini

hanya mencakup rasio konsentrasi karena rasio AUC belum dilaporkan untuk

sebagian besar antibiotik.34


Tabel 6 . Faktor yang berpengaruh terhadap konsentrasi antibiotik di CSF.35

Eliminasi Antibiotik dari CSF

Konsentrasi antibiotik yang rendah dalam CSF sering dianggap sebagai hasil

dari penetrasi BBB yang buruk. Kemungkinan sistem saturasi, sensitif-tensi

yang mengangkut penisilin dari CSF. Konsentrasi rendah benzylpenisilin

dalam CSF sebagian disebabkan oleh transpor aktif dari CSF. Telah

ditunjukkan bahwa transpor aktif melintasi pleksus koroid menyumbang

sekitar dua pertiga dari eliminasi benzilpenisilin dari CSF; Pergantian dan

difusi CSF di permukaan ependymal ke dalam parenkim otak masing-masing

menyumbang 12% dan 24% sisanya. Peradangan meningeal tidak hanya

meningkatkan permeabilitas BBB tetapi juga memiliki efek penghambatan

pada pompa eliminasi. Dengan pengobatan antibiotik, peradangan mereda

dan fungsi BBB perlahan-lahan menjadi normal . Ketika dibandingkan

dengan nilai awal, pada hari kelima pengobatan pada orang dengan
meningitis bakteri, konsentrasi penisilin dan waktu paruh eliminasi di CSF

berkurang secara signifikan. Tidak seperti benzilpenisilin, antibiotik b-laktam

lainnya (misalnya, seftriakson, imipenem, dan ampisilin) memiliki afinitas

rendah untuk sistem transportasi aktif, dan dieliminasi dari CSF dengan

kurang baik, selain itu eliminasi secara minimal dipengaruhi oleh adanya

peradangan. Dengan demikian level CSF yang bermanfaat secara klinis

diperoleh untuk periode yang lebih lama. Sistem transportasi aktif hanya

memainkan peran kecil dalam penghapusan kuinolon dan aminoglikosida dari

CSF; beberapa obat ini akan keluar dari CSF secara dominan oleh difusi

pasif.34

2. Terapi Supportif30,31

1. Pemeliharaan lingkungan termo-netral, pencegahan hipo atau

hipertermia.

2. Dalam pengaturan sepsis yang didapat di rumah sakit, ada

kemungkinan yang tinggi dari strain resisten, sefotaksim dalam

kombinasi dengan aminoglikosida, harus digunakan untuk

septikemia dan pneumonia, serta untuk meningitis.

3. Pemeliharaan status normoglikemik (45 hingga 120 mg / dl). c.

Pemeliharaan saturasi Oksigen (91 hingga 94%).

4. Di unit-unit dengan insidensi resistensi piperasilazazaktam atau

metisilin / vankomisin yang tinggi lebih disukai.


5. Pemeliharaan perfusi jaringan dan tekanan darah menggunakan

koloid dan inotrop.

6. Kombinasi piperasilin / tazobaktam dengan amikasin harus

dipertimbangkan jika dicurigai sepsis Pseudomonas.

7. Pemeliharaan nutrisi yang cukup dengan pemberian makanan enteral

jika tidak memungkinkan dengan nutrisi parenteral.

8. Produk darah untuk menormalkan kelainan koagulasi, koreksi

anemia dan trombositopenia.

Terapi Cairan

Untuk manajemen syok septik, yang paling penting adalah

membangun akses perifer atau intraoseus secepat mungkin. ACCM

merekomendasikan bolus minimal 20 mL / kg untuk memulai resusitasi

cairan. Jika masih ada tanda-tanda syok seperti takikardia, gangguan

pernapasan, dan warna yang buruk pada neonatus, dua bolus lain 20mL /

kg (total 60 mL / kg) kg) diindikasikan. Sebenarnya, solusi kristaloid

seimbang direkomendasikan tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga

dalam perawatan intensif anak. 24-27 Penggunaan cairan kristaloid dalam

neonatologi, terutama pada bayi prematur, harus diselidiki.

Mempertimbangkan tanda-tanda gagal jantung seperti pembesaran hati

atau rales pada pemeriksaan paru, terapi cairan harus segera dihentikan.

Bahkan dalam ulasan saat ini, rekomendasi tersebut tidak berubah. Harus

diingat bahwa kelebihan cairan juga bisa berbahaya dan penggunaan


katekolamin dini harus dipertimbangkan.33

Inotrop

resusitasi cairan adalah kunci dan harus dicapai sebelum

melembagakan vasopresor atau agen inotropik. Dopamin bertindak dengan

tindakan vasokonstriktif dan dobutamin dengan meningkatkan

kontraktilitas dan output jantung. Pada sepsis neonatal awalnya ada

penurunan resistensi pembuluh darah karena vasodilatasi yang diikuti oleh

penurunan curah jantung. Oleh karena itu, dopamin sering kali merupakan

inotrop pertama yang dipilih. Dalam sebuah tinjauan sistematis dopamin

ditemukan sedikit lebih efektif dalam jangka pendek. Namun secara klinis,

itu tidak secara signifikan mengubah hasil inotrop mana yang digunakan

pertama kali. Ada sedikit pengalaman menggunakan vasopresor lainnya

pada neonatus dengan sepsis.36

Koagulasi

Sepsis menyebabkan endoskopi vaskular menjadi protromotik dan

anti fibrinolitik. Dalam sepsis, faktor-faktor anti-trombotik dikonsumsi

yang mengarah pada pembentukan mikro-trombi dan DIC, diikuti oleh

konsumsi faktor-faktor prothrombic yang menyebabkan perdarahan

spontan. Oleh karena itu penting untuk terus mengevaluasi profil koagulasi

bayi prematur dengan sepsis. Waktu protrombin yang berkepanjangan /

waktu tromboplastin parsial dan kadar fibrinogen yang rendah


menunjukkan DIC tidak ada konsensus atau bukti mengenai metode

terbaik untuk mengobati DIC.36

Trombositopenia juga merupakan ciri dari sepsis berat dan sekali

lagi tidak ada konsensus kapan transfusi trombosit harus diberikan

meskipun sebagian besar akan mentransfusi trombosit jika jumlahnya

kurang dari 50.000 / cu mm.5

Anemia

Anemia bukan merupakan fitur yang tidak biasa pada sepsis

karena perdarahan, hemolisis, dan kehilangan darah dari beberapa sampel.

Tidak ada penelitian yang memandu kebijakan transfusi pada bayi baru

lahir septik. Seperti disinggung di atas, perfusi jaringan dan oksigenasi

sering dikompromikan dalam sepsis, ini harus diperbaiki. Dalam praktik

kami, kami menerima batas bawah hemoglobin 10 gram / dl (Hct 33) pada

neonatus prematur septik di bawah ini yang akan kami transfusikan sel

darah merah tetapi tidak memiliki bukti untuk mendukung praktik ini.36

Kontrol Metabolik

Ada bukti yang tidak cukup dari uji coba terkontrol secara acak

untuk menentukan apakah infus basa atau cairan mengurangi morbiditas

dan mortalitas pada bayi prematur dengan asidosis metabolik sekunder

sepsis.94 Asidosis biasanya sekunder akibat hipoperfusi atau hipoksia

yang memerlukan koreksi pada mereka. hak pribadi. Solusi bikarbonat


sangat hyperosmolar dan berhubungan dengan perdarahan intra-ventrikel,

oleh karena itu mereka harus digunakan hemat dan dengan hati-hati.36

Yang lebih penting adalah mempertahankan kontrol glikemik yang

ketat selama sepsis. Hiperglikemia pada sepsis dengan sendirinya bersifat

imuno-supresif dan prothrombotik, sehingga berpotensi memperburuk

kondisi klinis dan hasil. Hiperglikemia pada sepsis terutama disebabkan

oleh resistensi insulin yang mencegah glukosa memasuki siklus Curb.

Sementara ada kesepakatan untuk tidak membiarkan kadar glukosa turun

di bawah 30 mg / dl, tidak ada konsensus kapan harus memulai terapi

insulin. Hiperglikemia paling baik diobati dengan inisiasi awal terapi

insulin daripada pengurangan konsentrasi glukosa infus. Sebagai praktik

yang baik, fluktuasi kadar glukosa darah yang cepat harus dihindari.36

Nutrisi

Selama sepsis, bayi bersifat katabolik (menggunakan jaringannya

sendiri sebagai bahan bakar metabolik) sehingga kebutuhan metabolisme

dan kalori meningkat, ini lebih buruk pada bayi prematur VLBW yang

memiliki massa otot, lemak tubuh, dan cadangan energi yang buruk.

Sangat penting bahwa keadaan katabolik sekunder sepsis dikoreksi dengan

cepat dengan memberikan bayi dengan jumlah energi yang memadai (10%

infus dekstrosa cukup untuk memberikan 4-8 mg / kg / menit glukosa)

mineral, dan vitamin.42 Pemberian makanan enteral adalah lebih disukai

karena mengurangi translokasi bakteri dari usus ke sirkulasi sistemik. Jika

pemberian makanan enteral tidak memungkinkan atau sumber energi


tambahan diperlukan maka nutrisi parenteral (TPN) harus disediakan.36

3. Terapi Emergensi

Strategi untuk mencegah fungsi organ35

1. Paru-paru: Kegagalan pernapasan pada sepsis berat atau syok septik

sering terjadi akibat cedera paru akut yang disebabkan oleh infiltrasi

oleh neutrofil teraktivasi, dan konsumsi surfaktan yang

menyebabkan penurunan cepat dalam kapasitas residual fungsional

yang mungkin memerlukan dukungan ventilasi awal dan terapi

surfaktan. Perawatan harus diambil untuk menghindari hiperoksia

untuk cegah retinopati prematuritas (ROP) dan terlalu banyak

distensi alveoli yang merupakan penginduksi kuat pelepasan IL-6

yang memengaruhi bayi terhadap infeksi paru-paru sekunder,

misalnya pneumonia yang berhubungan dengan ventilator.

2. Ginjal: Saluran ion dalam epitel tubular bergantung pada energi /

oksigen sehingga sangat sensitif terhadap hipotensi dan hipoksia. 2/3

bayi BBLR dan prematur akan mengalami kelainan fungsi ginjal

dengan sepsis. Ini harus dicari dan diobati secara konvensional.

Tidak ada bukti bahwa terapi penggantian ginjal (hemofiltrasi atau

hemodialisis) bermanfaat.

3. Hati: Gangguan hati selama sepsis dicerminkan oleh peningkatan

tajam pada enzim hati dan memburuknya profil koagulasi.

Kerusakan ini sering sembuh sendiri tetapi harus ditangani dengan

metode konvensional standar.


4. Saluran Gastrointestinal: Seperti disinggung sebelumnya, usus yang

kosong dapat memperburuk atau memulai sepsis karena translokasi

bakteri pada mukosa usus yang meradang atau rusak. Ini lebih buruk

pada bayi BBLR dan prematur yang kekurangan perlindungan

imunologis oleh IgA. Penggunaan antagonis H2 dan pemberian

makanan terus menerus harus dihindari selama periode ini karena

mereka meningkatkan pH lambung yang memungkinkan bakteri

untuk melewati penghalang ini.

4. Terapi Adjuvan

Intravena Immune Globulin (IVIG): Menurut tinjauan sistemik

Cochrane database ada bukti yang tidak cukup untuk mendukung

administrasi rutin persiapan IVIG diselidiki sampai saat ini untuk

mencegah kematian pada bayi dengan dugaan atau kemudian terbukti

infeksi neonatal.

Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF): Carr dan rekannya

melaporkan percobaan acak (PROGRAM) GM-CSF untuk

pencegahan sepsis pada bayi preterm usia kehamilan kecil untuk usia

kehamilan. Data yang terbatas menunjukkan bahwa perawatan G-CSF

dapat mengurangi kematian ketika infeksi sistemik disertai dengan

neutropenia yang parah harus diselidiki lebih lanjut dalam uji coba
yang cukup memadai yang merekrut bayi yang cukup yang terinfeksi

organisme yang terkait dengan risiko kematian yang signifikan.37

II.1.8. Pencegahan

Pada Sepsis Awaitan dini (SAD) penularan ibu ke janin dapat

dikurangi dengan mengidentifikasi GBS pada akhir kehamilan bersamaan

dengan pengenalan dini dan pengobatan korioamnionitis yang adekuat.

Penularan vertikal dapat dicegah melalui pemberian profilaksis antibiotik

intra-partum menggunakan penisilin atau cefazolin / klindamisin.

Perawatan lebih efektif jika dimulai setidaknya 4 jam sebelum

persalinan. Wanita yang berisiko dapat diidentifikasi dengan penyaringan

bakteriologis secara umum (pada 35-37 minggu) atau menggunakan

pendekatan berbasis risiko. Meskipun ada kekhawatiran tentang

resistensi yang muncul, GBS di sebagian besar negara tetap rentan

terhadap penisilin. Di Inggris, penyaringan rutin saat ini tidak dianjurkan.

Jika, karena alasan klinis, apusan bakteriologis perlu diambil, ini harus

mencakup swab rendah dan rektal vagina kombinasi rendah. Deteksi

GBS pada swab vagina tinggi dan media non-selektif dikaitkan dengan

peningkatan risiko penularan ke neonatus. Wanita dengan bakteriuria

GBS atau dengan riwayat bayi sebelumnya dengan penyakit GBS

neonatal harus dipertimbangkan untuk antibiotik profilaksis.38

Pada Sepsis Awitan Lambat (SAL) Strategi pengendalian infeksi

meliputi kebersihan tangan dan teknik mencuci, tindakan pencegahan,


dan penanganan minimal. Program pengelolaan antibiotik telah terbukti

mengurangi tingkat infeksi dan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.

Laporan enterococcus yang resisten terhadap vankomisin, organisme

penghasil beta laktamase (E coli, Klebsiella, Enterobacter), dan

Acinetobacter, Burkholderia, dan Serratia yang sangat resisten meningkat

pada populasi neonatal. Pengingat bahwa antibiotik harus selalu

digunakan dengan bijaksana.

ASI telah terbukti melindungi bayi dari infeksi yang terlambat

timbul. Memperkenalkan 0,5 ml / kg ASI “tro-phic” pada jam-jam

pertama kehidupan, di VLBW, akan memfasilitasi kolonisasi usus

dengan bakteri normal (bakteri lactobacilli dan bifido-bakteri). ASI juga

mengandung antibodi sekretori, sel imun, laktoferin dan prebiotik yang

dapat merangsang flora usus yang bermanfaat. Bakteri tersebut sangat

penting untuk pengembangan sistem kekebalan tubuh, fungsi penghalang

mukosa, motilitas usus dan fungsi pencernaan.38

II.1.9. Prognosis

Bayi cukup bulan dengan sepsis neonatorum yang didiagnosis

dan diterapi dengan benar memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami

gangguan kesehatan jangka panjang akibat sepsis. Mortalitas akibat sepsis

neonatorum dapat meningkat hingga 50% pada neonatus yang tidak

diterapi. Berat bayi lahir rendah (BBLR) dan infeksi gram negatif

memiliki asosiasi terhadap prognosis yang buruk.17


Bayi prematur (usia kehamilan <37 minggu) yang mengalami

sepsis cenderung mengalami neurodevelopment impairment. Suatu

penelitian terhadap 6000 bayi prematur dengan berat lahir <1000 gram,

bayi dengan sepsis tanpa meningitis memiliki angka kejadian defisit

kognitif, cerebral palsy, dan gangguan perkembangan saraf lainnya

dibandingkan bayi tanpa sepsis.21

Meningitis neonatal terjadi pada 2-4 kasus per 10000

kelahiran hidup dan berkontribusi terhadap angka kematian akibat sepsis

neonatorum. Kerusakan neurologis residual terjadi pada 15-30% kasus.

Bayi dengan meningitis cenderung akan menderita hidrosefalus atau

periventricular leukomalacia. Pasien-pasien tersebut juga dapat

mengalami komplikasi, seperti gangguan pendengaran atau

nephrotoxicity, akibat penggunaan aminoglikosida.17

Beberapa faktor risiko, seperti berat lahir, usia kehamilan, dan

jenis kelamin, yang mempengaruhi tingkat keparahan penyakit tidak dapat

akurat untuk dijadikan penanda prognostik.


BAB III

Kesimpulan

Sepsis neonatorum adalah sindroma dengan gejala sistemik dan disertai

bakteriemia dan kultur darah yang positif yang terjadi dalam bulan pertama

kehidupan. Sepsis neonatorum masih menjadi masalah kesehatan yang harus

diwaspadai dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas

bayi seluruh dunia. Sepsis Neonatorum diklasifikasikan menjadi waitan dini dana

witan lambat.

Diagnosis dini sepsis neonatorum, terutama pada negara berkembang,

masih menjadi tantangan besar oleh karena adanya kesulitan identifikasi tanda

awal penyakit tersebut.


Sepsis disebabkan oleh respon imunitas yang dipicu oleh infeksi bakteri,

jamur, parasit atau virus. Infeksi dapat berasal dari dalam rumah sakit

(nosokomial), atau lingkungan (community acquired). Beberapa faktor yang

berperan terhadap mortalitas sepsis pada anak meliputi faktor pejamu,

mikroorganisme penyebab, diagnosis dini, serta tata laksana yang diberikan.

Diagnosis maupun penanganan sepsis neonatorum ini masih menjadi

tantangan global sehingga berdampak terhadap tingginya morbiditas dan

mortalitas penderita, hingga saat ini biomarker tunggal yang dapat menegakkan

diagnosis sepsis belum ada sehingga upaya untuk memperbaiki kriteria diagnosis

masih terus dilakukan.

Tata laksana adekuat pada pasien anak menjadi pencapaian yang baik

dalam penatalaksaan sepsis neonatorum, Terapi lanjutan disesuaikan dengan hasil

biakan dan uji resistensi.


DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus dan Penatalaksanaan Sepsis

[Internet]. IDAI; 2016 [cited 2020 Mei 04]. h 263-267. Available from:

http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/03/Konsensus-

Diagnosis-dan-TataLaksana-Sepsis-Pada-Anak.pdf

2. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu

kesehatan anak esensial. Ed. 8. Elsevier, 2019. h 284-286

3. Bhalodia Mihir, Hippargi Surekha, Patil M. M.Role of Hematological

Scoring System in Diagnosis of Neonatal Sepsis. Journal of Clinical

Neonatalogy. 2017(6): 3; 147-144


4. Rahmawati Putri, Mayetti, Rahman Sukri. Hubungan Sepsis Neonatorum

dengan Berat Badan Lahir pada Bayi di RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Jurnal Kesehatan Andalas. 2018; 7(3): 410-405)

5. Pamudji M Kristopher, Kardana I Made. Diagnostic value of mean platelet

volume in neonatal sepsis. Paediatr Indones, 2019; 59( 6): 293-289

6. Putra PJ. Insiden dan faktor-faktor yang berhubungan dengan sepsis

neonatus di RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2012; 14(3): p205-10.

7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan

RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Kemenkes RI, 2013

8. The Partnership for Maternal, Newborn and Child Health. A decade of

tracking progress for maternal, newborn and child survival: the 2015

report [Internet]. 2015 [cited 2017 Mar 20]. Available from:

http://www.who.int/pmnch/media/press_materials/fs/fs_newborndealth_ill

nes

9. s/en/

10. Badan Pusat Statistik. Survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI)

2012. Jakarta, Badan Pusat Statistik, 2013

11. Ramadani K R, Anggraini Alifah, Wandita Setya. Skor Prediktor

Kematian Sepsis Neonatorum Awitan Dini. Sari Pediatri. 2016; 18(2):

121-117

12. Pamudji M Kristopher, Kardana I Made. Diagnostic value of mean platelet

volume in neonatal sepsis. Paediatr Indones, 2019; 59( 6): 293-289


13. Pratiwi D, Nurikhwan W P, Devi R W. Changes of Biologic Marker in

Neonatal Sepsis: Is it significance?. Journal of Physics: Conference Series.

2019; 1375: 6-1

14. Deddy Eka Febri Liestiadi et al: Hematologic scoring system and C-

reactive protein for diagnosing sepsis. Paediatr Indones. 2017; 57( 2): 75-

70

15. Mersha Abera, Worku Tilahun, Shibiru shitaye, Bante agegnehu, Molla

addis, Seifu Genzeb, et all. Neonatal sepsis and associated factors among

newborns in hospitals of Wolaita sodo Town, southern ethiopia. [Internet].

Research and Reports in Neonatology : 2019 [cited 2020 Mei 04].

Available from:

https://www.dovepress.com/front_end/cr_data/cache/pdf/download_15906

74751_5ecfc53fbd42a/rrn-193074-neonatal-sepsis-and-associated-factors-

among-newborns-in-hos-011619.pdf

16. United Nations Inter-agency Group for Child Mortality Estimation. Levels

& trends in child mortality [Internet]. 2015 September [cited 2016

November 04]. Available

from :http://www.childmortality.org/files_v20/download/IGME%20report

%202015

%20child%20mortality%20final.pdf

17. Wulandari Anindita, Martuti Sri, Pudjiastut. Perkembangan Diagnosis

Sepsis pada Anak. Sari Pediatri. 2017; 19(4): 244-23


18. Trana, Hoang, Doylec Lex, Leed Katherine, Grahamb Stephen. A

systematic review of the burden of neonatal mortality and morbidity in the

ASEAN Region. WHO South-East Asia Journal of Public Health

2012;1(3):239-248

19. Assa, N.P., Artana, I.W.D., Kardana, I.M., Putra, P.J., Sukmawati, M.

2020. The characteristics of neonatal sepsis in Low Birth Weight (LBW)

infants at Sanglah General Hospital, Bali, Indonesia. Intisari Sains Medis

11(1): 172-178.

20. Verma Pradeep, Berwal Pramod Kumar, Nagaraj Niranjan, Swami Sarika,

Jivaji Prathusha, Narayan Satya. Neonatal sepsis: epidemiology, clinical

spectrum, recent antimicrobial agents and their antibiotic susceptibility

pattern. Int J Contemp Pediatr. 2015 Aug;2(3):176-180

21. Sorsa Abebe. Epidemiology of Neonatal Sepsis and Associated Factors

Implicated: Observational Study at Neonatal Intensive Care Unit of Arsi

University Teaching and Referral Hospital, South East Ethiopia. 2019:

29(3); 342-333

22. Simonsen KA, Anderson-Berry AL, Delair SF, Davies HD. Early-onset

neonatal sepsis. Colin Microbiol Rev. 2014 Jan; 27(1): p21-47

23. Procianoy Soibelmann Renato, Silveira C Rita. The challenges of neonatal

sepsis. J Pediatr (Rio J). 2020; 96(1):80-86

24. Zea-Vera Alonso J Theresa. Challenges in the diagnosis and management

of neonatal sepsis. Journal of Tropical Pediatrics, 2015, 61, 1–13


25. Titut S Pusponegoro. Sepsis pada Neonatus (Sepsis Neonatal) [Internet]

2019 [cited 2020 Mei 20]. Available from:

https://www.researchgate.net/publication/312199382_Sepsis_pada_Neonat

us_Sepsis_Neonatal

26. Shane Andi, Sánchez Pablo, Stoll Barbara. Neonatal sepsis. [internet]

2017 [cited 2020 Maret 04]. Available from:

https://www.thelancet.com/journals/lancet/article/PIIS0140-

6736(17)31002-4/fulltext

27. Shah BA, Padbury JF. Neonatal sepsis: an old problem with new insights.

Virulence [Internet]. 2014 Jan 1 [cited 2016 November 15]; 5(1): p170-8.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24185532

28. Meirina Fathia, Lubis, Bidasari, Sembiring, Tiangsa, Rosdiana Nelly,

Siregar Olga. Hematological scoring system as an early diagnostic tool for

neonatal sepsis. Paediatr Indones. 2015;55:315-21

29. Camacho-Gonzales A, Spearman PW, Stoll BJ. Neonatal infectious

diseases: evaluation of neonatal sepsis. Pediatr Clin North Am. 2013

April; 60(2): p367-89.

30. Hasan F, Khan Shamshad, M. K. Maharoof, Muhammed Niyaz. Role of

procalcitonin in early diagnosis of neonatal sepsis: an International

Journal of Contemporary Pediatrics. 2017; 4(2):383-389

31. Effendi Hidajat Sjarif. SEPSIS NEONATAL; PENATALAKSANAAN

TERKINI SERTA BERBAGAI MASALAH DILEMATIS an Simposium

Ilmiah dan Workshop Meet The Professor. 2013 [online] [cited 2020 Juni
1] available from : http://pustaka.unpad.ac.id/wp-

content/uploads/2014/08/Sepsis-Neonatal-Penatalaksanaan-Terkini-Serta-

Berbagai-Masalah-Dilematis.pdf

32. Kamalakannan Kumar Santosh, Neonatal Sepsis Past to Present. Santosh

Kumar Kamalakannan. Biomed J Sci & Tech Res 2018 [online] [cited

2020 Mei 10]. Available from:

https://biomedres.us/pdfs/BJSTR.MS.ID.000909.pdf

33. Aline Fuchsa, Julia Bielickia,b, Shrey Mathurb, Mike Sharlandb, Johannes

N. Van Den Ankera,c 2016 [online] [cited 2020 Juni] Available from :

https://www.who.int/selection_medicines/committees/expert/21/applicatio

ns/s6_paed_antibiotics_appendix4_sepsis.pdf

34. Blatt S. Schroth M. Neonatal Sepsis: Clinical Considerations. Journal of

Child Science. 2017; 7: p57-54

35. Lutsar Irja, Mccracken George, Friedland Ian. Antibiotic

Pharmacodynamics In Cerebrospinal Fluid. Clinical Infectious Disease.

1998; 27: 1117-29

36. Nau Roland, Seele Jana, Djukic Marija, EiffertHelmut. Pharmacokinetics

and pharmacodynamics of antibiotics in central nervous system infections.

Wolters Kluwer Health. 2017 [online] [cited on 2020 June 2] available at :

www.co-infectiousdiseases.com

37. Haque N Khalid. Understanding Neonatal Sepsis: Optimising

Management. Journal Of Medical Sciences. 2010; 3(1): 11-27


38. Rawat Shuveksha, Neeraj Kumar, Preeti Kothiyal, Prashant Mathur. A

Review on Type, Etiological Factors, Definition, Clinical Features,

Diagnosis Management and Prevention of Neonatal Sepsis. Journal of

Scientific and Innovative Research 2013; 2 (4): 802-813

39. Walker Oliver, Kenny B Celyn, Goel Nitin. Neonatal sepsis. J Paediatrics

And Child Health. 2019; 29(6): 263-268

40. Anderson-Berry AL. Neonatal Sepsis [Internet]. 2015 [Cited 2016

November 20]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/978352-overview#a7

41. Rohsiswatmo R. Multidrug resistance in a neonatal unit and therapeutic

implications. Paediatr Indones. 2006;46:p25-31

Anda mungkin juga menyukai