Anda di halaman 1dari 17

DD GASTRITIS

1 Pengertian Gastritis

Gastritis berasal dari kata gaster yang artinya lambung dan itis yang berarti
inflamasi/peradangan. Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis adalah proses
inflamasi pada lapisan mukosa dan submukosa lambung, yang berkembang bila mekanisme
protektif mukosa dipenuhi dengan bakteri atau bahan iritan lain. Secara hispatologi dapat
dibuktikan dengan adanya infiltrasi sel-sel. Sedangkan, menurut Lindseth dalam Prince (2005:
422), gastritis adalah suatu keadaan peradangan atau perdarahan mukosa lambung yang dapat
bersifat akut, kronis, difus, atau lokal.

Gastritis adalah suatu peradangan mukosa lambung paling sering diakibatkan oleh
ketidakteraturan diet, misalnya makan terlalu banyak dan cepat atau makan makanan yang terlalu
berbumbu atau terinfeksi oleh penyebab yang lain seperti alkohol, aspirin, refluks empedu atau
terapi radiasi (Brunner, 2000 : 187).

Dari defenisi-defenisi di atas, dapat disimpulkan bahwa gastritis adalah suatu peradangan
atau perdarahan pada mukosa lambung yang disebabkan oleh faktor iritasi, infeksi, dan
ketidakteraturan dalam pola makan, misalnya telat makan, makan terlalu banyak, cepat, makan
makanan yang terlalu banyak bumbu dan pedas. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya
gastritis.

Gastritis berarti peradangan mukosa lambung. Peradangan dari gastritis dapat hanya
superficial atau dapat menembus secara dalam ke dalam mukosa lambung, dan pada kasus-kasus
yang berlangsung lama menyebabkan atropi mukosa lambung yang hampir lengkap. Pada
beberapa kasus, gastritis dapat menjadi sangat akut dan berat, dengan ekskoriasi ulserativa
mukosa lambung oleh sekresi peptik lambung sendiri (Guyton, 2001).

Secara garis besar, gastritis dapat dibagi menjadi beberapa macam berdasarkan pada
manifestasi klinis, gambaran hispatologi yang khas, distribusi anatomi, dan kemungkinan
patogenesis gastritis. Didasarkan pada manifestasi klinis, gastritis dapat dibagi menjadi akut dan
kronik. Harus diingat, bahwa walaupun dilakukan pembagian menjadi akut dan kronik, tetapi
keduanya tidak saling berhubungan. Gastritis kronik bukan merupakan kelanjutan gastritis akut
(Suyono, 2001).

1.1 Gastritis Akut

Gastritis akut merupakan penyakit yang sering ditemukan, biasanya bersifat jinak dan
sembuh sempurna (Prince, 2005: 422). Gastritis akut terjadi akibat respons mukosa lambung
terhadap berbagai iritan lokal. Inflamasi akut mukosa lambung pada sebagian besar kasus
merupakan penyakit yang ringan.
Bentuk terberat dari gastritis akut disebabkan oleh mencerna asam atau alkali kuat, yang
dapat menyebabkan mukosa menjadi ganggren atau perforasi. Pembentukan jaringan parut dapat
terjadi yang mengakibatkan obstruksi pylorus (Brunner, 2000).

Salah satu bentuk gastritis akut yang manifestasi klinisnya dapat berbentuk penyakit yang
berat adalah gastritis erosif atau gastritis hemoragik. Disebut gastritis hemoragik karena pada
penyakit ini akan dijumpai perdarahan mukosa lambung dalam berbagai derajat dan terjadi erosi
yang berarti hilangnya kontinuitas mukosa lambung pada beberapa tempat, menyertai inflamasi
pada mukosa lambung tersebut (Suyono, 2001: 127).

1.1.1 Gastritis Akut Erosif

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 127), gastritis akut erosif adalah suatu peradangan
permukaan mukosa lambung yang akut dengan kerusakan-kerusakan erosi. Disebut erosi apabila
kerusakan yang terjadi tidak lebih dalam dari pada mukosa muskularis. Penyakit ini dijumpai di
klinik, sebagai akibat efek samping dari pemakaian obat, sebagai penyulit penyakit-penyakit lain
atau karena sebab yang tidak diketahui.

Perjalanan penyakitnya biasanya ringan, walaupun demikian kadang-kadang dapat


menyebabkan kedaruratan medis, yakni perdarahan saluran cerna bagian atas. Penderita gastritis
akut erosif yang tidak mengalami pendarahan sering diagnosisnya tidak tercapai (Suyono, 2001).

Untuk menegakkan diagnosis tersebut diperlukan pemerisaan khusus yang sering


dirasakan tidak sesuai dengan keluhan penderita yang ringan saja. Diagnosis gastritis akut erosif,
ditegakkan dengan pemeriksaan endoskopi dan dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
biopsi mukosa lambung (Suyono, 2001).

2.1.1.2 Gastritis Akut Hemoragik

Ada dua penyebab utama gastritis akut hemoragik; Pertama diperkirakan karena minum
alkohol atau obat lain yang menimbulkan iritasi pada mukosa gastrik secara berlebihan (aspirin
atau NSAID lainnya). Meskipun pendarahan mungkin cukup berat, tapi pendarahan pada
kebanyakan pasien akan berhenti sendiri secara spontan dan mortalitas cukup rendah. Kedua
adalah stress gastritis yang dialami pasien di Rumah Sakit, stress gastritis dialami pasien yang
mengalami trauma berat berkepanjangan, sepsis terus menerus atau penyakit berat lainnya
(Suyono, 2001).

Erosi stress merupakan lesi hemoragika pungtata majemuk pada lambung proksimal yang
timbul dalam keadaan stress fisiologi parah dan tak berkurang. Berbeda dengan ulserasi
menahun yang lebih biasa pada traktus gastrointestinalis atas, ia jarang menembus profunda ke
dalam mukosa dan tak disertai dengan infiltrasi sel radang menahun. Tanpa profilaksis efektif,
erosi stress akan berlanjut dan bersatu dalam 20% kasus untuk membentuk beberapa ulserasi
yang menyebabkan perdarahan gastrointestinalis atas dari keparahan yang mengancam nyawa.
Keadaan ini dikenal sebagai gastritis hemoragika akuta (Sabiston, 1995: 525).

1.2 Gastritis Kronik

Disebut gastritis kronik apabila infiltrasi sel-sel radang yang terjadi pada lamina propria
dan daerah intra epitelial terutama terdiri atas sel-sel radang kronik, yaitu limfosit dan sel
plasma. Gastritis kronis didefenisikan secara histologis sebagai peningkatan jumlah limfosit dan
sel plasma pada mukosa lambung. Derajat paling ringan gastritis kronis adalah gastritis
superfisial kronis, yang mengenai bagian sub epitel di sekitar cekungan lambung. Kasus yang
lebih parah juga mengenai kelenjar-kelenjar pada mukosa yang lebih dalam, hal ini biasanya
berhubungan dengan atrofi kelenjar (gastritis atrofi kronis) dan metaplasia intestinal
(Chandrasoma, 2005 : 522).

Sebagian besar kasus gastritis kronis merupakan salah satu dari dua tipe, yaitu tipe A
yang merupakan gastritis autoimun yang terutama mengenai tubuh dan berkaitan dengan anemia
pernisiosa; dan tipe B yang terutama meliputi antrum dan berkaitan dengan infeksi Helicobacter
pylori. Terdapat beberapa kasus gastritis kronis yang tidak tergolong dalam kedua tipe tersebut
dan penyebabnya tidak diketahui (Chandrasoma, 2005 : 522).

Gastritis kronik dapat dibagi dalam berbagai bentuk tergantung pada kelainan histologi,
topografi, dan etiologi yang menjadi dasar pikiran pembagian tersebut (Suyono, 2001).

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 128), klasifikasi histologi yang sering digunakan membagi
gastritis kronik menjadi :

1. Gastritis kronik superficial

Apabila dijumpai sebukan sel-sel radang kronik terbatas pada lamina propria mukosa
superfisialis dan edema yang memisahkan kelenjar-kelenjar mukosa, sedangkan sel-sel kelenjar
tetap utuh. Sering dikatakan gastritis kronik superfisialis merupakan permulaan gastritis kronik.

2. Gastritis kronik atrofik

Sebukan sel-sel radang kronik menyebar lebih dalam disertai dengan distorsi dan
destruksi sel kelenjar mukosa lebih nyata. Gastritis atrofik dianggap sebagai kelanjutan gastritis
kronik superfisialis.

3. Atrofi lambung

Atrofi lambung dianggap merupakan stadium akhir gastritis kronik. Pada saat itu struktur
kelenjar menghilang dan terpisah satu sama lain secara nyata dengan jaringan ikat, sedangkan
sebukan sel-sel radang juga menurun. Mukosa menjadi sangat tipis sehingga dapat menerangkan
mengapa pembuluh darah menjadi terlihat saat pemeriksaan endoskopi.
4. Metaplasia intestinal

Suatu perubahan histologis kelenjar-kelenjar mukosa lambung menjadi kelenjar-kelenjar


mukosa usus halus yang mengandung sel goblet. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi
secara menyeluruh pada hampir seluruh segmen lambung, tetapi dapat pula hanya merupakan
bercak-bercak pada beberapa bagian lambung.

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), distribusi anatomis pada gastritis kronik dapat dibagi
menjadi tifa bagian, yaitu :

1. Gastritis Kronis Tipe A

Gastritis kronis tipe A merupakan suatu penyakit autoimun yang disebabkan oleh adanya
autoantibodi terhadap sel parietal kelenjar lambung dan faktor intrinsik, dan berkaitan dengan
tidak adanya sel parietal dan chief cell, yang menurunkan sekresi asam dan menyebabkan
tingginya kadar gastrin. Dalam keadaan sangat berat, tidak terjadi produksi faktor intrinsik.
Anemia pernisiosa seringkali dijumpai pada pasien karena tidak tersedianya faktor intrinsik
untuk mempermudah absorpsi vitamin B12 dalam ileum (Prince, 2005: 423).

Jadi, anemia pernisiosa itu disebabkan oleh kegagalan absorpsi vitamin B12 karena
kekurangan faktor intrinsik akibat gastritis kronis autoimun. Autoimunitas secara langsung
menyerang sel parietal pada korpus dan fundus lambung yang menyekresikan faktor intrinsik dan
asam (Chandrasoma, 2005 : 522).

Reaksi autoimun bermanifestasi sebagai sebukan limfo-plasmasitik pada mukosa sekitar


sel parietal, yang secara progresif berkurang jumlahnya. Netrofil jarang dijumpai dan tidak
didapati Helicobacter pylori. Mukosa fundus dan korpus menipis dan kelenjar-kelenjar
dikelilingi oleh sel mukus yang mendominasi. Mukosa sering memperlihatkan metaplasia
intestinal yang ditandai dengan adanya sel goblet dan sel paneth. Pada stadium akhir, mukosa
menjadi atrofi dan sel parietal menghilang (gastritis kronis tipe A) (Chandrasoma, 2005 : 522).

2. Gastritis Kronis Tipe B

Gastritis kronis tipe B disebut juga sebagai gastritis antral karena umumnya mengenai
daerah antrum lambung dan lebih sering terjadi dibandingkan dengan gastritis kronis tipe A.
Gastritis kronis tipe B lebih sering terjadi pada penderita yang berusia tua. Bentuk gastritis ini
memiliki sekresi asam yang normal dan tidak berkaitan dengan anemia pernisiosa. Kadar gastrin
yang rendah sering terjadi. Penyebab utama gastritis kronis tipe B adalah infeksi kronis oleh
Helicobacter pylori. Faktor etiologi gastritis kronis lainnya adalah asupan alkohol yang
berlebihan, merokok, dan refluks empedu kronis dengan kofaktor Helicobacter pylori (Prince,
2005: 423).

Gastritis kronis tipe B secara maksimal melibatkan bagian antrum, yang merupakan tempat
predileksi Helicobacter pylori. Kasus-kasus dini memperlihatkan sebukan limfoplasmasitik pada
mukosa lambung superfisial. Infeksi aktif Helicobacter pylori hampir selalu berhubungan dengan
munculnya nertrofil, baik pada lamina propria ataupun pada kelenjar mukus antrum. Pada saat
lesi berkembang, peradangan meluas yang meliputi mukosa dalam dan korpus lambung.
Keterlibatan mukosa bagian dalam menyebabkan destruksi kelenjar mukus antrum dan
metaplasia intestinal (gastritis atrofik kronis tipe B) (Chandrasoma, 2005 : 523).

Pada 60-70% pasien, didapatkan Helicobacter pylori pada pemeriksaan histologis atau
kultur biopsi. Pada banyak pasien yang tidak didapati organisme ini, pemeriksaan serologisnya
memperlihatkan antibodi terhadap Helicobacter pylori, yang menunjukkan sudah ada infeksi
Helicobacter pylori sebelumnya (Suyono, 2001).

Helicobacter pylori adalah organisme yang kecil dan melengkung, seperti vibrio, yang
muncul pada lapisan mukus permukaan yang menutupi permukaan epitel dan lumen kelenjar.
Bakteri ini merupakan bakteri gram negatif yang menyerang sel permukaan, menyebabkan
deskuamari sel yang dipercepat dan menimbulkan respon sel radang kronis pada mukosa
lambung. Helicobacter pylori ditemukan lebih dari 90% dari hasil biopsi yang menunjukkan
gastritis kronis. Organisme ini dapat dilihat pada irisan rutin, tetapi lebih jelas dengan
pewarnaan perak Steiner atau Giemsa. Keberadaan Helicobacter pylori berkaitan erat dengan
peradangan aktif dengan netrofil. Organisme dapat tidak ditemukan pada pasien gastritis akut
inaktif, terutama bila terjadi metaplasia intestinal (Chandrasoma, 2005 : 524).

3. Gastritis kronis tipe AB

Gastritis kronis tipe AB merupakan gastritis kronik yang distribusi anatominya menyebar
keseluruh gaster. Penyebaran ke arah korpus tersebut cendrung meningkat dengan bertambahnya
usia (Suyono, 2001: 130).

2. Faktor-faktor Penyebab Gastritis

2.1 Pola Makan

Menurut Yayuk Farida Baliwati (2004), terjadinya gastritis dapat disebabkan oleh pola
makan yang tidak baik dan tidak teratur, yaitu frekuensi makan, jenis, dan jumlah makanan,
sehingga lambung menjadi sensitif bila asam lambung meningkat.

1. Frekuensi Makan

Frekuensi makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari baik kualitatif dan kuantitatif.
Secara alamiah makanan diolah dalam tubuh melalui alat-alat pencernaan mulai dari mulut
sampai usus halus. Lama makanan dalam lambung tergantung sifat dan jenis makanan. Jika rata-
rata, umumnya lambung kosong antara 3-4 jam. Maka jadwal makan ini pun menyesuaikan
dengan kosongnya lambung (Okviani, 2011).
Orang yang memiliki pola makan tidak teratur mudah terserang penyakit gastritis. Pada
saat perut harus diisi, tapi dibiarkan kosong, atau ditunda pengisiannya, asam lambung akan
mencerna lapisan mukosa lambung, sehingga timbul rasa nyeri (Ester, 2001).

Secara alami lambung akan terus memproduksi asam lambung setiap waktu dalam
jumlah yang kecil, setelah 4-6 jam sesudah makan biasanya kadar glukosa dalam darah telah
banyak terserap dan terpakai sehingga tubuh akan merasakan lapar dan pada saat itu jumlah asam
lambung terstimulasi. Bila seseorang telat makan sampai 2-3 jam, maka asam lambung yang
diproduksi semakin banyak dan berlebih sehingga dapat mengiritasi mukosa lambung serta
menimbulkan rasa nyeri di seitar epigastrium (Baliwati, 2004).

Kebiasaan makan tidak teratur ini akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika
hal itu berlangsung lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi
dinding mukosa pada lambung dan dapat berlanjut menjadi tukak peptik. Hal tersebut dapat
menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala tersebut bisa naik ke kerongkongan yang
menimbulkan rasa panas terbakar (Nadesul, 2005). Produksi asam lambung diantaranya
dipengaruhi oleh pengaturan sefalik, yaitu pengaturan oleh otak. Adanya makanan dalam mulut
secara refleks akan merangsang sekresi asam lambung. Pada manusia, melihat dan memikirkan
makanan dapat merangsang sekresi asam lambung (Ganong 2001).

2. Jenis Makanan

Jenis makanan adalah variasi bahan makanan yang kalau dimakan, dicerna, dan diserap
akan menghasilkan paling sedikit susunan menu sehat dan seimbang. Menyediakan variasi
makanan bergantung pada orangnya, makanan tertentu dapat menyebabkan gangguan
pencernaan, seperti halnya makanan pedas (Okviani, 2011).

Mengkonsumsi makanan pedas secara berlebihan akan merangsang sistem pencernaan,


terutama lambung dan usus untuk berkontraksi. Hal ini akan mengakibatkan rasa panas dan nyeri
di ulu hati yang disertai dengan mual dan muntah. Gejala tersebut membuat penderita makin
berkurang nafsu makannya. Bila kebiasaan mengkonsumsi makanan pedas lebih dari satu kali
dalam seminggu selama minimal 6 bulan dibiarkan terus-menerus dapat menyebabkan iritasi
pada lambung yang disebut dengan gastritis (Okviani, 2011).

Gastritis dapat disebabkan pula dari hasil makanan yang tidak cocok. Makanan tertentu
yang dapat menyebabkan penyakit gastritis, seperti buah yang masih mentah, daging mentah,
kari, dan makanan yang banyak mengandung krim atau mentega. Bukan berarti makanan ini
tidak dapat dicerna, melainkan karena lambung membutuhkan waktu yang labih lama untuk
mencerna makanan tadi dan lambat meneruskannya kebagian usus selebih-nya. Akibatnya, isi
lambung dan asam lambung tinggal di dalam lambung untuk waktu yang lama sebelum
diteruskan ke dalam duodenum dan asam yang dikeluarkan menyebabkan rasa panas di ulu hati
dan dapat mengiritasi (Iskandar, 2009).
3. Porsi Makan

Porsi atau jumlah merupakan suatu ukuran maupun takaran makanan yang dikonsumsi
pada tiap kali makan. Setiap orang harus makan makanan dalam jumlah benar sebagai bahan
bakar untuk semua kebutuhan tubuh. Jika konsumsi makanan berlebihan, kelebihannya akan
disimpan di dalam tubuh dan menyebabkan obesitas (kegemukan). Selain itu, Makanan dalam
porsi besar dapat menyebabkan refluks isi lambung, yang pada akhirnya membuat kekuatan
dinding lambung menurun. Kondisi seperti ini dapat menimbulkan peradangan atau luka pada
lambung (Baliwati, 2004).

3.2 Kopi

Menurut Warianto (2011), kopi adalah minuman yang terdiri dari berbagai jenis bahan
dan senyawa kimia; termasuk lemak, karbohidrat, asam amino, asam nabati yang disebut dengan
fenol, vitamin dan mineral.

Kopi diketahui merangsang lambung untuk memproduksi asam lambung sehingga


menciptakan lingkungan yang lebih asam dan dapat mengiritasi lambung. Ada dua unsur yang
bisa mempengaruhi kesehatan perut dan lapisan lambung, yaitu kafein dan asam chlorogenic.

Studi yang diterbitkan dalam Gastroenterology menemukan bahwa berbagai faktor


seperti keasaman, kafein atau kandungan mineral lain dalam kopi bisa memicu tingginya asam
lambung. Sehingga tidak ada komponen tunggal yang harus bertanggung jawab (Anonim, 2011).

Kafein dapat menimbulkan perangsangan terhadap susunan saraf pusat (otak), sistem
pernapasan, serta sistem pembuluh darah dan jantung. Oleh sebab itu tidak heran setiap minum
kopi dalam jumlah wajar (1-3 cangkir), tubuh kita terasa segar, bergairah, daya pikir lebih cepat,
tidak mudah lelah atau mengantuk. Kafein dapat menyebabkan stimulasi sistem saraf pusat
sehingga dapat meningkatkan aktivitas lambung dan sekresi hormon gastrin pada lambung dan
pepsin. Hormon gastrin yang dikeluarkan oleh lambung mempunyai efek sekresi getah lambung
yang sangat asam dari bagian fundus lambung. Sekresi asam yang meningkat dapat
menyebabkan iritasi dan inflamasi pada mukosa lambung (Okviani, 2011).

Jadi, gangguan pencernaan yang rentan dimiliki oleh orang yang sering minum kopi
adalah gastritis (peradangan pada lapisan lambung). Beberapa orang yang memilliki gangguan
pencernaan dan ketidaknyamanan di perut atau lambung biasanya disaranakan untuk
menghindari atau membatasi minum kopi agar kondisinya tidak bertambah parah (Warianto,
2011).

3.3 Teh

Hasil penelitian Hiromi Shinya, MD., dalam buku The Miracle of Enzyme menemukan
bahwa orang-orang Jepang yang meminum teh kaya antioksidan lebih dari dua gelas secara
teratur, sering menderita penyakit yang disebut gastritis. Sebagai contoh Teh Hijau, yang
mengandung banyak antioksidan dapat membunuh bakteri dan memiliki efek antioksidan
berjenis polifenol yang mencegah atau menetralisasi efek radikal bebas yang merusak. Namun,
jika beberapa antioksidan bersatu akan membentuk suatu zat yang disebut tannin. Tannin inilah
yang menyebabkan beberapa buah dan tumbuh-tumbuhan memiliki rasa sepat dan mudah
teroksidasi (Shinya, 2008).

Tannin merupakan suatu senyawa kimia yang memiliki afinitas tinggi terhadap protein
pada mukosa dan sel epitel mukosa (selaput lendir yang melapisi lambung). Akibatnya terjadi
proses dimana membran mukosa akan mengikat lebih kuat dan menjadi kurang permeabel.
Proses tersebut menyebabkan peningkatan proteksi mukosa terhadap mikroorganisme dan zat
kimia iritan. Dosis tinggi tannin menyebabkan efek tersebut berlebih sehingga dapat
mengakibatkan iritasi pada membran mukosa usus (Shinya, 2008).

Selain itu apabila Tannin terkena air panas atau udara dapat dengan mudah berubah
menjadi asam tanat. Asam tanat ini juga berfungsi membekukan protein mukosa lambung. Asam
tanat akan mengiritasi mukosa lambung perlahan-lahan sehingga sel-sel mukosa lambung
menjadi atrofi. Hal inilah yang menyebabkan orang tersebut menderita berbagai masalah
lambung, seperti gastritis atrofi, ulcus peptic, hingga mengarah pada keganasan lambung
(Shinya, 2008).

3.4 Rokok

Rokok adalah silinder kertas yang berisi daun tembakau cacah. Dalam sebatang rokok,
terkandung berbagai zat-zat kimia berbahaya yang berperan seperti racun. Dalam asap rokok
yang disulut, terdapat kandungan zat-zat kimia berbahaya seperti gas karbon monoksida,
nitrogen oksida, amonia, benzene, methanol, perylene, hidrogen sianida, akrolein, asetilen,
bensaldehid, arsen, benzopyrene, urethane, coumarine, ortocresol, nitrosamin, nikotin, tar, dan
lain-lain. Selain nikotin, peningkatan paparan hidrokarbon, oksigen radikal, dan substansi racun
lainnya turut bertanggung jawab pada berbagai dampak rokok terhadap kesehatan (Budiyanto,
2010).

Efek rokok pada saluran gastrointdstinal antara lain melemahkan katup esofagus dan
pilorus, meningkatkan refluks, mengubah kondisi alami dalam lambung, menghambat sekresi
bikarbonat pankreas, mempercepat pengosongan cairan lambung, dan menurunkan pH
duodenum. Sekresi asam lambung meningkat sebagai respon atas sekresi gastrin atau asetilkolin.
Selain itu, rokok juga mempengaruhi kemampuan cimetidine (obat penghambat asam lambung)
dan obat-obatan lainnya dalam menurunkan asam lambung pada malam hari, dimana hal tersebut
memegang peranan penting dalam proses timbulnya peradangan pada mukosa lambung. Rokok
dapat mengganggu faktor defensif lambung (menurunkan sekresi bikarbonat dan aliran darah di
mukosa), memperburuk peradangan, dan berkaitan erat dengan komplikasi tambahan karena
infeksi H. pylori. Merokok juga dapat menghambat penyembuhan spontan dan meningkatkan
risiko kekambuhan tukak peptik (Beyer, 2004).
Kebiasaan merokok menambah sekresi asam lambung, yang mengakibatkan bagi perokok
menderita penyakit lambung (gastritis) sampai tukak lambung. Penyembuhan berbagai penyakit
di saluran cerna juga lebih sulit selama orang tersebut tidak berhenti merokok (Departemen
Kesehatan RI, 2001).

3.5 AINS ( Anti Inflamasi Non Steroid)

Obat-obatan yang sering dihubungkan dengan gastritis erosif adalah aspirin dan sebagian
besar obat anti inflamasi non steroid (Suyono, 2001).

Asam asetil salisilat lebih dikenal sebagai asetosal atau aspirin. Asam asetil salisilat
merupakan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) turunan asam karboksilat derivat asam
salisilat yang dapat dipakai secara sistemik.

Obat AINS adalah salah satu golongan obat besar yang secara kimia heterogen
menghambat aktivitas siklooksigenase, menyebabkan penurunan sintesis prostaglandin dan
prekursor tromboksan dari asam arakhidonat. Siklooksigenase merupakan enzim yang penting
untuk pembentukkan prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin mukosa merupakan
salah satu faktor defensive mukosa lambung yang amat penting, selain menghambat produksi
prostaglandin mukosa, aspirin dan obat antiinflamasi nonsteriod tertentu dapat merusak mukosa
secara topikal, kerusakan topikal terjadi karena kandungan asam dalam obat tersebut bersifat
korosif sehingga dapat merusak sel-sel epitel mukosa. Pemberian aspirin dan obat antiinflamasi
nonsteroid juga dapat menurunkan sekresi bikarbonat dan mukus oleh lambung, sehingga
kemampuan faktor defensif terganggu. Jika pemakaian obat-obat tersebut hanya sesekali maka
kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil. Tapi jika pemakaiannya dilakukan secara
terus menerus atau berlebihan dapat mengakibatkan gastritis dan ulkus peptikum. Pemakaian
setiap hari selama minimal 3 bulan dapat menyebabkan gastritis (Rosniyanti, 2010).

3.6 Stress

Stress merupakan reaksi fisik, mental, dan kimia dari tubuh terhadap situasi yang
menakutkan, mengejutkan, membingungkan, membahayakan dan merisaukan seseorang.
Definisi lain menyebutkan bahwa stress merupakan ketidakmampuan mengatasi ancaman yang
dihadapi mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat
mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut (Potter, 2005).

1. Stress Psikis

Produksi asam lambung akan meningkat pada keadaan stress, misalnya pada beban kerja
berat, panik dan tergesa-gesa. Kadar asam lambung yang meningkat dapat mengiritasi mukosa
lambung dan jika hal ini dibiarkan, lama-kelamaan dapat menyebabkan terjadinya gastritis. Bagi
sebagian orang, keadaan stres umumnya tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, maka kuncinya
adalah mengendalikannya secara efektif dengan cara diet sesuai dengan kebutuhan nutrisi,
istirahat cukup, olah raga teratur dan relaksasi yang cukup (Friscaan, 2010).

2. Stress Fisik

Stress fisik akibat pembedahan besar, luka trauma, luka bakar, refluks empedu atau
infeksi berat dapat menyebabkan gastritis dan juga ulkus serta pendarahan pada lambung.
Perawatan terhadap kanker seperti kemoterapi dan radiasi dapat mengakibatkan peradangan pada
dinding lambung yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gastritis dan ulkus peptik. Ketika
tubuh terkena sejumlah kecil radiasi, kerusakan yang terjadi biasanya sementara, tapi dalam
dosis besar akan mengakibatkan kerusakan tersebut menjadi permanen dan dapat mengikis
dinding lambung serta merusak kelenjar-kelenjar penghasil asam lambung (Anonim, 2010).

Refluks dari empedu juga dapat menyebabkan gastritis. Bile (empedu) adalah cairan yang
membantu mencerna lemak-lemak dalam tubuh. Cairan ini diproduksi oleh hati. Ketika
dilepaskan, empedu akan melewati serangkaian saluran kecil dan menuju ke usus kecil. Dalam
kondisi normal, sebuah otot sphincter yang berbentuk seperti cincin (pyloric valve) akan
mencegah empedu mengalir balik ke dalam lambung. Tapi jika katup ini tidak bekerja dengan
benar, maka empedu akan masuk ke dalam lambung dan mengakibatkan peradangan dan
gastritis.

3.7 Alkohol

Alkohol sangat berperangaruh terhadap makhluk hidup, terutama dengan kemampuannya


sebagai pelarut lipida. Kemampuannya melarutkan lipida yang terdapat dalam membran sel
memungkinkannya cepat masuk ke dalam sel-sel dan menghancurkan struktur sel tersebut. Oleh
karena itu alkohol dianggap toksik atau racun. Alkohol yang terdapat dalam minuman seperti bir,
anggur, dan minuman keras lainnya terdapat dalam bentuk etil alkohol atau etanol (Almatsier,
2002).

Organ tubuh yang berperan besar dalam metabolisme alkohol adalah lambung dan hati,
oleh karena itu efek dari kebiasaan mengkonsumsi alkohol dalam jangka panjang tidak hanya
berupa kerusakan hati atau sirosis, tetapi juga kerusakan lambung. Dalam jumlah sedikit, alkohol
merangsang produksi asam lambung berlebih, nafsu makan berkurang, dan mual, sedangkan
dalam jumlah banyak, alkohol dapat mengiritasi mukosa lambung dan duodenum. Konsumsi
alkohol berlebihan dapat merusak mukosa lambung, memperburuk gejala tukak peptik, dan
mengganggu penyembuhan tukak peptik. Alkohol mengakibatkan menurunnya kesanggupan
mencerna dan menyerap makanan karena ketidakcukupan enzim pankreas dan perubahan
morfologi serta fisiologi mukosa gastrointestinal (Beyer 2004).
3.8 Helicobacter pylori

Helicobacter pylori adalah kuman Gram negatif, basil yang berbentuk kurva dan batang.
Helicobacter pylori adalah suatu bakteri yang menyebabkan peradangan lapisan lambung yang
kronis (gastritis) pada manusia. Sebagian besar populasi di dunia terinfeksi oleh bakteri
Helicobacter pylori yang hidup di bagian dalam lapisan mukosa yang melapisi dinding lambung.
Walaupun tidak sepenuhnya dimengerti bagaimana bakteri tersebut dapat ditularkan, namun
diperkirakan penularan tersebut terjadi melalui jalur oral atau akibat memakan makanan atau
minuman yang terkontaminasi oleh bakteri ini. Infeksi Helicobacter pylori sering terjadi pada
masa kanak-kanak dan dapat bertahan seumur hidup jika tidak dilakukan perawatan. Infeksi
Helicobacter pylori ini sekarang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya ulkus peptikum
dan penyebab tersering terjadinya gastritis (Prince, 2005).

3.9 Usia

Usia tua memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita gastritis dibandingkan dengan
usia muda. Hal ini menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia mukosa gaster
cenderung menjadi tipis sehingga lebih cenderung memiliki infeksi Helicobacter Pylory atau
gangguan autoimun daripada orang yang lebih muda. Sebaliknya,jika mengenai usia muda
biasanya lebih berhubungan dengan pola hidup yang tidak sehat.

Kejadian gastritis kronik, terutama gastritis kronik antrum meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Di negara Barat, populasi yang usianya pada dekade ke-6 hampir 80%
menderita gastritis kronik dan menjadi 100% pada saat usia mencapai dekade ke-7. Selain
mikroba dan proses imunologis, faktor lain juga berpengaruh terhadap patogenesis Gastritis
adalah refluks kronik cairan penereatotilien, empedu dan lisolesitin (Suyono, 2001).

4 Patofisiologi

Patofisiologi dasar dari gastritis adalah gangguan keseimbangan faktor agresif (asam
lambung dan pepsin) dan faktor defensif (ketahanan mukosa). Penggunaan aspirin atau obat anti
inflamasi non steroid (AINS) lainnya, obat-obatan kortikosteroid, penyalahgunaan alkohol,
menelan substansi erosif, merokok, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut dapat mengancam
ketahanan mukosa lambung. Gastritis dapat menimbulkan gejala berupa nyeri, sakit, atau
ketidaknyamanan yang terpusat pada perut bagian atas (Brunner, 2000).

Gaster memiliki lapisan epitel mukosa yang secara konstan terpapar oleh berbagai faktor
endogen yang dapat mempengaruhi integritas mukosanya, seperti asam lambung,
pepsinogen/pepsin dan garam empedu. Sedangkan faktor eksogennya adalah obat-obatan,
alkohol dan bakteri yang dapat merusak integritas epitel mukosa lambung, misalnya Helicobacter
pylori. Oleh karena itu, gaster memiliki dua faktor yang sangat melindungi integritas
mukosanya,yaitu faktor defensif dan faktor agresif. Faktor defensif meliputi produksi mukus
yang didalamnya terdapat prostaglandin yang memiliki peran penting baik dalam
mempertahankan maupun menjaga integritas mukosa lambung, kemudian sel-sel epitel yang
bekerja mentransport ion untuk memelihara pH intraseluler dan produksi asam bikarbonat serta
sistem mikrovaskuler yang ada dilapisan subepitelial sebagai komponen utama yang
menyediakan ion HCO3- sebagai penetral asam lambung dan memberikan suplai mikronutrien
dan oksigenasi yang adekuat saat menghilangkan efek toksik metabolik yang merusak mukosa
lambung. Gastritis terjadi sebagai akibat dari mekanisme pelindung ini hilang atau rusak,
sehingga dinding lambung tidak memiliki pelindung terhadap asam lambung (Prince, 2005)

Obat-obatan, alkohol, pola makan yang tidak teratur, stress, dan lain-lain dapat merusak
mukosa lambung, mengganggu pertahanan mukosa lambung, dan memungkinkan difusi kembali
asam pepsin ke dalam jaringan lambung, hal ini menimbulkan peradangan. Respons mukosa
lambung terhadap kebanyakan penyebab iritasi tersebut adalah dengan regenerasi mukosa,
karena itu gangguan-gangguan tersebut seringkali menghilang dengan sendirinya. Dengan iritasi
yang terus menerus, jaringan menjadi meradang dan dapat terjadi perdarahan. Masuknya zat-zat
seperti asam dan basa kuat yang bersifat korosif mengakibatkan peradangan dan nekrosis pada
dinding lambung. Nekrosis dapat mengakibatkan perforasi dinding lambung dengan akibat
berikutnya perdarahan dan peritonitis.

Gastritis kronik dapat menimbulkan keadaan atropi kelenjar-kelenjar lambung dan


keadaan mukosa terdapat bercak-bercak penebalan berwarna abu-abu atau kehijauan (gastritis
atropik). Hilangnya mukosa lambung akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya sekresi
lambung dan timbulnya anemia pernisiosa. Gastritis atropik boleh jadi merupakan pendahuluan
untuk karsinoma lambung. Gastritis kronik dapat pula terjadi bersamaan dengan ulkus peptikum
(Suyono, 2001).

5 Manifestasi Klinis

Sindrom dispepsia berupa berupa nyeri epigastrium, mual, kembung dan muntah
merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan pula perdarahan saluran cerna
berupa hematemesis dan melena, kemudian disesuaikan dengan tanda-tanda anemia pasca
perdarahan. Biasanya, jika dilakukan anamnesis lebih dalam, tanpa riwayat penggunaan obat-
obatan atau bahan kimia tertentu (Suyono, 2001).

Ulserasi superfisial dapat terjadi dan dapat menimbulkan hemoragi, ketidaknyamanan


abdomen (dengan sakit kepala, mual dan anoreksia) dan dapat terjadi muntah, serta cegukan
beberapa pasien adalah asimtomatik, kolik dan diare dapat terjadi jika makanan pengiritasi tidak
dimuntahkan, tetapi jika sudah mencapai usus besar, pasien biasanya sembuh kira-kira dalam
sehari meskipun nafsu makan kurang atau menurun selama 2 sampai 3 hari (Ester, 2001).

Nyeri Mual Kembun Munta Pendaraha Usia Sakit Jenis


ulu g h n GIT Kepala Kelamin
hati
Gastriti + + + +/- +/- Lansia +/- Umumny
s lebih a wanit
berisik
o

6 Komplikasi Gastritis

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), komplikasi yang timbul pada gastritis, yaitu
perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) berupa hematemesis dan melena, berakhir dengan
syok hemoragik, terjadi ulkus, kalau prosesnya hebat dan jarang terjadi perforasi.

Jika dibiarkan tidak terawat, gastritis akan dapat menyebabkan ulkus peptikum dan
pendarahan pada lambung. Beberapa bentuk gastritis kronis dapat meningkatkan resiko kanker
lambung, terutama jika terjadi penipisan secara terus menerus pada dinding lambung dan
perubahan pada sel-sel di dinding lambung (Prince, 2005).

Kebanyakan kanker lambung adalah adenocarcinoma, yang bermula pada sel-sel kelenjar
dalam mukosa. Adenocarcinoma tipe 1 biasanya terjadi akibat infeksi Helicobacter pylori.
Kanker jenis lain yang terkait dengan infeksi akibat Helicobacter pylori adalah MALT (mucosa
associated lyphoid tissue) lymphomas, kanker ini berkembang secara perlahan pada jaringan
sistem kekebalan pada dinding lambung. Kanker jenis ini dapat disembuhkan bila ditemukan
pada tahap awal (Anonim, 2010).

7 Penatalaksanaan Gastritis

Menurut Hirlan dalam Suyono (2001: 129), penatalaksanaan medikal untuk gastritis akut
adalah dengan menghilangkan etiologinya, diet lambung dengan posisi kecil dan sering. Obat-
obatan ditujukan untuk mengatur sekresi asam lambung berupa antagonis reseptor H2 inhibition
pompa proton, antikolinergik dan antasid juga ditujukan sebagai sifoprotektor berupa sukralfat
dan prostaglandin.

Penatalaksanaan sebaiknya meliputi pencegahan terhadap setiap pasien dengan resiko


tinggi, pengobatan terhadap penyakit yang mendasari dan menghentikan obat yang dapat
menjadi kuasa dan pengobatan suportif. Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian antasida
dan antagonis H2 sehingga mencapai pH lambung 4. Meskipun hasilnya masih jadi perdebatan,
tetapi pada umumnya tetap dianjurkan.

Pencegahan ini terutama bagi pasien yang menderita penyakit dengan keadaan klinis
yang berat. Untuk pengguna aspirin atau anti inflamasi nonsteroid pencegahan yang terbaik
adalah dengan Misaprostol, atau Derivat Prostaglandin Mukosa.
Pemberian antasida, antagonis H2 dan sukralfat tetap dianjurkan walaupun efek
teraupetiknya masih diragukan. Biasanya perdarahan akan segera berhenti bila keadaan si pasien
membaik dan lesi mukosa akan segera normal kembali, pada sebagian pasien biasa mengancam
jiwa. Tindakan-tindakan itu misalnya dengan endoskopi skleroterapi, embolisasi arteri gastrika
kiri atau gastrektomi. Gastrektomi sebaiknya dilakukan hanya atas dasar abolut (Suyono, 2001).

Penatalaksanaan untuk gastritis kronis adalah ditandai oleh progesif epitel kelenjar
disertai sel parietal dan chief cell. Dinding lambung menjadi tipis dan mukosa mempunyai
permukaan yang rata, Gastritis kronis ini digolongkan menjadi dua kategori tipe A (altrofik atau
fundal) dan tipe B (antral).

Pengobatan gastritis kronis bervariasi, tergantung pada penyakit yang dicurigai. Bila
terdapat ulkus duodenum, dapat diberikan antibiotik untuk membatasi Helicobacter Pylory.
Namun demikian, lesi tidak selalu muncul dengan gastritis kronis alkohol dan obat yang
diketahui mengiritasi lambung harus dihindari. Bila terjadi anemia defisiensi besi (yang
disebabkan oleh perdarahan kronis), maka penyakit ini harus diobati, pada anemia pernisiosa
harus diberi pengobatan vitamin B12 dan terapi yang sesuai (Chandrasoma, 2005 : 522).

Gastritis kronis diatasi dengan memodifikasi diet dan meningkatkan istirahat, mengurangi
dan memulai farmakoterapi. Helicobacter Pylory dapat diatasi dengan antibiotik (seperti
Tetrasiklin atau Amoxicillin) dan garam bismut (Pepto bismol). Pasien dengan gastritis tipe A
biasanya mengalami malabsorbsi vitamin B12 (Chandrasoma, 2005 : 522).

8 Diagnosis

Untuk menegakkan diagnosa gastritis, dilakukan dengan berbagai macam tes, diantaranya :

1. Tes Darah

Tes darah untuk melihat adanya antibodi terhadap serangan Helicobacter pylori. Hasil test
yang positif menunjukkan bahwa seseorang pernah mengalami kontak dengan bakteri
Helicobacter pylori dalam hidupnya, tetapi keadaan tersebut bukan berarti seseorang telah
terinfeksi Helicobacter pylori. Tes darah juga dapat digunakan untuk mengecek terjadinya
anemia yang mungkin saja disebabkan oleh perdarahan karena gastritis (Anonim, 2010).

2. Breath Test

Test ini menggunakan tinja sebagai sampel dan ditujukan untuk mengetahui apakah ada
infeksi Helicobacter pylori dalam tubuh seseorang.

3. Stool Test

Uji ini digunakan untuk mengetahui adanya Helicobacter pylori dalam sampel tinja
seseorang. Hasil test yang positif menunjukkan orang tersebut terinfeksi Helicobacter pylori.
Biasanya dokter juga menguji adanya darah dalam tinja yang menandakan adanya perdarahan
dalam lambung karena gastritis.

4. Rontgen

Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang dapat dilihat
dengan sinar X. Biasanya akan diminta menelan cairan barium terlebih dahulu sebelum
dilakukan rontgen. Cairan ini akan melapisi saluran cerna dan akan terlihat lebih jelas ketika di
rontgen.

5. Endoskopi

Test ini dimaksudkan untuk melihat adanya kelainan pada lambung yang mungkin tidak
dapat dilihat dengan sinar X. Tes ini dilakukan dengan cara memasukkan sebuah selang kecil
yang fleksibel (endoskop) melalui mulut dan masuk ke dalam esophagus, lambung dan bagian
atas usus kecil. Tenggorokan akan terlebih dahulu dimatirasakan (anestesi), sebelum endoskop
dimasukkan untuk memastikan pasien merasa nyaman menjalani tes ini. Jika ada jaringan dalam
saluran cerna yang terlihat mencurigakan, dokter akan mengambil sedikit sampel (biopsy) dari
jaringan tersebut. Sampel itu kemudian akan dibawa ke laboratorium untuk diperiksa. Tes ini
memakan waktu kurang lebih 20 sampai 30 menit. Pasien biasanya tidak langsung disuruh
pulang ketika tes ini selesai, tetapi harus menunggu sampai efek dari anestesi menghilang,
kurang lebih satu atau dua jam. Hampir tidak ada resiko akibat tes ini. Komplikasi yang sering
terjadi adalah rasa tidak nyaman pada tenggorokan akibat menelan endoskop (Anonim,2010).

Daftar pustaka

Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Anonimous, 2010. Gastritis. http://bluebear.student.umm.ac.id/2010/07/14/-gastritis-magh.


Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:04 WIB.

Anonimous, 2011. Kenapa Setelah Minum Kopi Perut Terasa Sakit. http://cupu.web.id/kenapa-
setelah-minum-kopi-perut-terasa-sakait/. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:13 WIB.

Arifa, Amelia D. 2008. Uji Efek Antiulcer. http://etd.eprints.ums.ac.id/-3374/1/K100040224.pdf.


Diakses tanggal 04 Januari 2012, 09:45 WIB.
Arifianto. 2009. Gastritis. http://tonyarf87.blogdpot.com/2009/02/-gastritis.htm. Diakses tanggal
04 Januari 2012, 09:05 WIB.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitiaan Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Asdi
Mahasatya

Baliwati, Yayak F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya

Beyer. 2004. Medical Nutrition Therapy for Upper Gastrointestinal Tract Disorders.
Philadelphia: Saunders

Brunner dan Suddart. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Budiana. 2006. Gambaran Pengetahuan Klien Tentang Gastritis.


http://www.scribd.com/doc/41520350/Gambaran-Pengetahuan-Klien-Tentang-Gastritis/. Diakses
tanggal 05 Januari 2012, 08:25 WIB.

Budiyanto, Carko. 2010. Merokok Memang Ternyata Nikmat.


http://nina9yuli.student.umm.ac.id/2010/02/11/Merokok-Memang-Ternyata-Nikmat/. Diakses
tanggal 05 Januari 2012, 07:55 WIB.

Chandrasoma, Parakrama. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta: EGC

Departemen Kesehatan RI. 2001. Rencana Pengembangan Lima Tahun VI Bidang Kesehatan.
http://www.depkes.go.id. Diakses tanggal 05 Januari 2012, 08:35 WIB.

Ester, Monica. 2001. Pedoman Perawatan Pasien. Jakarta: EGC

Fahrial, Ari. 2009. Sakit Gastritis, Penyakit Menahun Yang Membandel. Koran Indonesia Sehat.

Friscaan. 2010. Semua Tentang Maag. http://www.medicalera.com/index.php ?option=com


myblog. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 13:55 WIB.

Ganong, William F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Guyton, Arthur C., John E. Hall. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Iskandar, H. Yul. 2009. Saluran Cerna. Jakarta: Gramedia

Kelly, Gregory. 2010. Perceived Stress Scale.


http://healthsceneinvestigation.com/files/2010/07/Percived-Stress-Scale.pdf. Diakses tanggal 14
Februarh 2012, 09:15 WIB.

Nadesul. 2005. Sakit Lambung, Bagaimana Terjadinya. http://www.kompas.com/Sakit-


Lambung-Bagaimana/Terjadinya. Diakses tanggal 04 Januari 2012, 14:13 WIB.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitiaan Kesehatan. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika

Okviani, Wati. 2011. Pola Makan Gastritis. http://www.library.upnvj.ac.id/-


pdf/2s1keperawatan/205312047/.pdf Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:10 WIB.

Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktek.
Jakarta: EGC

Prince, Sylvia A., Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: EGC

Rafani. 2009. Askep Anak dengan Gastritis. http://www.rafani.co.id/Askep-Anak-dengan-


Gastritis/. Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:21 WIB.

Riyanto, H. 2008. Gastritis. http://www.wordpress.co.id/gastritis/ Diakses tanggal 10 Januari


2012, 11:17 WIB.

Rosniyanti. 2010. AINS. http://doctorology.net/?cat=169 Diakses tanggal 10 Januari 2012, 11:23


WIB.

Sabiston, David C. 1995. Buku Ajar Bedah. Jakarta: EGC

Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu

Shinya, Hiromi. 2008. The Miracle of Enzyme : Self-Healing Program. Bandung: Qanita

Supriatna. 2009. Hati-hati dengan Rasa Nyeri di Lambung.


http://suaramerdeka.cetak/2009/05/22/14265/Hati-hati-dengan-Rasa-Nyeri-Lambung. Diakses
tanggal 13 Januari 2012, 15:10 WIB.

Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI

Thompson. 2010. Alcoholism. http://emedicine.medscape.com/article/285913 overview Diakses


tanggal 10 Januari 2012, 11:37 WIB.

Warianto, Chaidar. 2011. Minum Kopi Bisa Berakibat Gangguan Pencernaan.


http://www.griyawisata.com/pdf. php ? url pdf = 28640 Diakses tanggal 11 Januari 2012, 09:05
WIB.

Wijoyo, M. Padmiarso. 2009. 15 Ramuan Penyembuh Maag. Jakarta: Bee Media Indonesia

Anda mungkin juga menyukai