BAB I
PENDAHULUAN
Sepsis neonatorum merupakan masalah dalam pelayanan dan perawatan bayi baru
lahir, terutama masalah diagnosis. Hasil biakan darah sebagai baku emas penegakan
diagnosis tidak selalu memberikan hasil positif pada pasien yang diduga sepsis
Sepsis neonatorum adalah suatu sindrom klinis yang timbul akibat respons
inflamasi sistemik yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur ataupun
parasit yang timbul pada 1 bulan pertama kehidupan. Sepsis neonatorum dibedakan
menjadi sepsis neonatorum awitan dini (sepsis neonatorum yang terjadi pada usia ≤
72 jam, SNAD) dan sepsis neonatorum awitan lambat (sepsis neonatorum yang
terjadi setelah usia 72 jam, SNAL). World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa 42% kematian neonatus terjadi karena berbagai bentuk infeksi dan salah
pasien yang diduga sepsis neonatorum bervariasi (Mahapatra dkk., 2012). Hasil
biakan darah yang positif didapatkan sebesar 14% di Nepal (Chapagain dkk., 2015),
sedangkan di India dan Nigeria mendapatkan hasil yang lebih tinggi, yaitu masing-
masing sebesar 26,6% (Muley dkk., 2015) dan 22% (Iregbu dkk., 2006). Hasil biakan
1
2
darah positif pada pasien yang diduga sepsis neonatorum di Indonesia juga
dkk., 2008), 48% di Bali (Kardana, 2011), 79% di Lampung (Apriliana dkk., 2013),
tinggi (1,8 sampai 18 per 1000 kelahiran hidup) dibandingkan di negara maju (1
sampai 5 per 1000 kelahiran hidup). Kejadian sepsis neonatorum awitan dini juga
meningkat pada bayi kurang bulan dengan berat lahir rendah (Lee dkk., 2015). Bayi
berat lahir amat sangat rendah (kurang dari 1000 gram) memiliki kejadian sepsis
paling tinggi yakni mencapai 26 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan pada bayi
dengan berat lahir antara 1000 sampai 2000 gram sebesar 8 sampai 9 per 1000
Umum Pusat Sanglah Denpasar pada tahun 2004 adalah sebesar 5,3% dengan angka
gambaran klinik dan pemeriksaan penunjang. Berbagai faktor yang terjadi selama
kehamilan, persalinan ataupun kelahiran dapat dipakai sebagai indikator pada sepsis
neonatorum awitan dini. Faktor risiko sepsis neonatorum awitan dini dikelompokkan
menjadi dua, yaitu faktor ibu (persalinan dan kelahiran kurang bulan, ketuban pecah
dini lebih dari 18 jam, korioamnionitis, persalinan dengan tindakan, demam pada ibu
lebih dari 38°C, dan infeksi saluran kemih pada ibu) dan faktor bayi (asfiksia
neonatorum, berat lahir rendah, bayi kurang bulan, dan kelainan bawaan) (Polin,
2012).
Gambaran klinis pasien sepsis neonatorum awitan dini tidak spesifik. Tanda
dan gejala sepsis neonatorum tidak berbeda dengan penyakit noninfeksi lainnya,
biakan darah dapat diketahui setelah 3 sampai 5 hari, dapat dipengaruhi oleh
sangat tergantung dari jumlah bahan pemeriksaan yang diambil (Shrestha dkk.,
2013). Bila sampel darah yang diperiksa 1 mL, sensitivitas akan berkurang sekitar 30
ketuban pecah dini lebih dari 18 jam dan ketuban hijau berbau memiliki hubungan
yang kuat terhadap hasil biakan darah positif pada SNAD. Pada saat ketuban pecah,
paparan kuman yang berasal dari vagina akan berperan dalam infeksi janin. Kejadian
kontaminasi kuman pada bayi yang belum lahir akan meningkat apabila ketuban telah
pecah lebih dari 18 jam. Hal tersebut akan meningkatkan risiko sebesar lima sampai
sepuluh kali lipat (Jiang dan Ye, 2013). Beberapa studi memperlihatkan adanya
hubungan antara air ketuban hijau berbau dengan infeksi maternal. Laporan terkini
telah mengidentifikasi air ketuban bercampur mekonium sebagai salah satu faktor
risiko terjadinya infeksi intraamnion. Penelitian in vitro air ketuban yang diberi
antara lain bakteri anaerob, Streptokokus grup B dan Escherichia coli. Ketuban hijau
berbau meningkatkan risiko terjadinya sepsis neonatorum dengan hasil biakan darah
prematuritas memiliki hubungan dengan hasil biakan darah positif pada sepsis
energi (ATP) untuk kontraksi sitoskeletal mikrofilamen. Keadaan hipoksia juga akan
(RO = 4,102; IK 95% 1,04-16,14). Bayi kurang bulan memiliki sistem imunitas yang
dengan berkurangnya transfer IgG maternal melalui plasenta ke tubuh bayi. Fungsi
pertahanan kulit dan membran mukosa bayi kurang bulan yang lemah juga
memengaruhi hal tersebut (Simonsen dkk., 2014). Bayi kurang bulan tidak memiliki
neonatorum. Hal kedua adalah bahwa bayi kurang bulan itu sendiri mengalami
infeksi intrauterin, yang dipengaruhi oleh adanya ketuban pecah dini maupun
Pada pasien dengan hasil biakan darah positif memiliki prevalens kematian
lebih tinggi dibandingkan hasil biakan darah negatif (28,5% dibandingkan 8,6%, p =
0,0001) (Kayange dkk., 2010). Hasil serupa juga ditunjukkan pada penelitian
Gebrehiwot dkk. (2012) yakni sekitar 24,1% kematian terjadi pada kelompok dengan
hal yang mudah. Hasil biakan darah sangat penting dalam menegakkan diagnosis, tata
laksana maupun prognosis pasien sepsis neonatorum, namun hasilnya tidak selalu
positif oleh karena berbagai hal. Subbagian Neonatologi Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar belum memiliki data mengenai
hubungan hasil biakan darah positif pada sepsis neonatorum dengan faktor risiko
akibat SNAD.
1. Apakah ketuban pecah dini lebih dari 18 jam merupakan faktor risiko biakan
2. Apakah ketuban hijau berbau merupakan faktor risiko biakan darah positif
3. Apakah bayi kurang bulan merupakan faktor risiko biakan darah positif pada
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk membuktikan adanya faktor
a. Untuk membuktikan ketuban pecah dini lebih dari 18 jam merupakan faktor
c. Untuk membuktikan bayi kurang bulan merupakan faktor risiko biakan darah
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan menambah
wawasan bagi sejawat dokter spesialis anak, dokter umum, dan mahasiswa
kedokteran mengenai faktor risiko hasil biakan darah positif pada sepsis neonatorum
awitan dini.
1. Identifikasi faktor risiko hasil biakan darah positif pada sepsis neonatorum
2. Hasil penelitian ini dapat membantu klinisi dalam memberikan informasi dan
3. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan untuk penelitian
berikutnya.