Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi nosokomial atau yang dikenal sebagai Health care-associated infection (HAIs)

mengandung pengertian yang lebih luas yaitu infeksi yang didapat tidak hanya di

rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, infeksi tidak hanya

terbatas pada pasien saja, tetapi juga pada petugas kesehatan yang didapat pada saat

melakukan tindakan perawatan pasien. HAIs merupakan masalah serius dibeberapa

rumah sakit (RS), yang dapat memperpanjang lama rawat serta biaya perawatan di RS,

HAIs menyebabkan tingginya angka morbiditas, mortalitas pada pasien yang terkena

infeksi tersebut dan meningkatkan risiko palsi serebral/kecacatan pada bayi yang

bertahan hidup (Khalid N. Haque, 2005).

Angka kejadian HAIs menurut Center for Disease Control and Prevention (CDC)

2011 menunjukkan terjadi 721.800 kasus infeksi neonatus setiap tahunnya dan

sejumlah 75.000 pasien meninggal pada saat perawatan akibat HAIs (Uliyadien,

2014). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SKDI) tahun 20012 menunjukan

penyebab utama kematian neonatus pada usia 8 – 28 hari adalah infeksi (57,1%).

Divisi Perinatologi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (RSCM) pada

tahun 2013 mencatat angka kematian neonatus sebesar 58,34 per 1000 kelahiran hidup

dengan infeksi sebagai salah satu penyebab terbanyak adalah kejadian Central Line

Associated Blood Stream Infection (CLABSI).

Central Line Associated Blood Stream Infections (CLABSI) adalah infeksi aliran

darah vena (IADV) yang terkait dengan pemasangan jalur sentral dan merupakan

penyebab 70% dari keseluruhan IADV yang ada di rumah sakit (Stevens TP, 2012).
1
CLABSI diartikan sebagai IADV yang berasal dari jalur sentral dimana tidak

ditemukan sumber infeksi lain pada pasien tersebut (CDC, 2016).

Angka Kematian bayi di dunia mencapai lebih dari 130 juta setiap tahun dimana 10

juta bayi meninggal sebelum usia lima tahun, 8 juta diantaranya meninggal sebelum

usia 1 tahun dan 2/3 kematian sebelum usia 1 tahun terjadi pada periode neonatal.

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa neonatus merupakan

penyumbang 41% kematian pada anak di seluruh dunia (WHO, 2006). Di Indonesia

angka kematian. bayi sangat tinggi yaitu angka kematian bayi 32 per 1.000 kelahiran

hidup. Setiap 1 jam terdapat 10 kematian bayi di Indonesia. Salah satu penyebab

kematian bayi terbanyak adalah prematuritas dan infeksi akibat CLABSI (Risma

Kaban, 2014).

Tingginya kejadian CLABSI ini seringkali membuat angka CLABSI digunakan

sebagai indikator angka sepsis di rumah sakit. Angka CLABSI juga dapat

mencerminkan tingkat higienitas di ruang perawatan khususnya ruang perawatan

intensif neonatus (Isaacs D, 2014). Infeksi pada neonatus dapat dibagi menjadi sepsis

neonatus awitan dini (SNAD) yang terjadi dibawah usia 3 hari kehidupan dan sepsis

neonatus awitan lambat (SNAL) yang terjadi diatas usia 3 hari kehidupan. Secara

umum penyebab infeksi dapat dibagi menjadi 3 faktor utama yaitu faktor host, agent,

dan environment. Faktor host mencakup usia gestasi, berat badan neonatus dan

kelainan kongenital, dimana risiko berbanding infeksi aliran darah terbalik dengan usia

gestasi dan berat badan neonatus; faktor agent mencakup virulensi dan tingkat

kolonisasi mikroorganisme penyebab. Semakin tinggi kolonisasi dan virulensi

mikroorganisme, semakin tinggi risiko Infeksi aliran darah vena.

2
Secara umum bakteri gram negatif dan jamur dianggap lebih mematikan dibandingkan

bakteri gram positif; faktor environment mencakup faktor risiko infeksi maternal,

higienitas tenaga kesehatan dan lingkungan, durasi pemakaian jalur sentral, durasi

pemakaian ventilator mekanik dan alat bantu lainnya. Terdapatnya minimal satu faktor

risiko infeksi maternal, tingkat kepatuhan cuci tangan yang rendah, prosedur

pemasangan jalur sentral yang tidak sesuai standar operasional prosedur (SOP) dan

durasi pemakaian jalur sentral yang lama dapat meningkatkan risiko infeksi aliran

darah vena (Isaacs D, 2014).

Pengetahuan mengenai faktor penyebab Infeksi Aliran Darah Vena memungkinkan

untuk dilakukan tindakan pencegahan untuk menurunkan angka kejadian CLABSI

yang merupakan bagian terbesar dari Infeksi Aliran Darah Vena. CDC melaporkan

dengan memperbaiki tingkat higienitas di fasilitas kesehatan yang mencakup cuci

tangan, kelengkapan fasilitas kesehatan dan kepatuhan terhadap SOP dapat

menurunkan angka CLABSI hingga 70%, namun banyak penelitian yang mencari

hubungan antar faktor risiko diatas dengan angka CLABSI dan tindakan-tindakan

pencegahannya berasal dari literatur luar negri (CDC, 2015).

Pemasangan vena sentral di Ruang NICU RSUD KOJA dengan peripherally inserted

central catheters (PICC), yaitu vena sentral yang dipasang secara perifer dengan

selang berlubang yang lentur dan sangat kecil dengan tutup pada satu ujungnya,

kateter ini dapat dipasang oleh dokter atau perawat yang dilatih secara khusus.

Pemasangan kateter vena sentral ini dilakukan dengan teknik aseptic yang ketat,

kateter dipasang secara perifer melalui vena basilica, median kubiti atau sefalica.

3
Berdasarkan data Registrasi periode bulan Januari – November 2017 di Ruang NICU

RSUD KOJA tahun 2017 ada sebanyak 419 pasien yang terpasang PICC ada sebanyak

226 pasien, Dari 50% yang memakai PICC didapatkan 20% terjadinya CLABSI.

Hal ini menyebabkan peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian yang terkait

untuk mengetahui hubungan faktor risiko neonatus (usia gestasi dan berat badan lahir),

kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan dan pelaksanaan SOP pemasangan jalur

sentral terhadap angka kejadian infeksi aliran darah vena terkait jalur sentral

(CLABSI) pada neonatus di Ruang NICU Rumah Sakit Umum Daerah Koja.

1.2 Rumusan Masalah

Pemasangan PICC terhadap angka kejadian IADV yang mengalami CLABSI terkait

dengan Hubungan faktor risiko neonatus (usia gestasi dan berat badan lahir),

kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan dan pelaksanaan SOP pemasangan jalur

sentral terhadap angka kejadian infeksi aliran darah vena terkait jalur sentral

(CLABSI) pada neonatus diruang rawat nicu RSUD KOJA.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan angka kejadian CLABSI pada

neonatus yang dirawat di ruang NICU RSUD KOJA.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah diketahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan terjadinya CLABSI di ruang NICU RSUD KOJA.

1.4.2 Tujuan Khusus

a. Teridentifikasi karakteristik responden, hubungan usia gestasi dengan kejadian

CLABSI pada neonatus di ruang rawat nicu RSUD KOJA.

4
b. Teridentifikasi hubungan berat badan lahir dengan kejadian CLABSI pada

neonatus di ruang rawat nicu RSUD KOJA.

c. Teridentifikasi hubungaan tingkat kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan

dengan kejadian CLABSI pada neonatus di ruang nicu RSUD KOJA.

d. Teridentifikasi tingkat kepatuhan pelaksanaan SOP pemasangan PICC oleh

petugas kesehatan di ruang nicu RSUD KOJA.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Rumah Sakit

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam upaya

mengurangi atau mencegah kejadian CLABSI pada neonatus yang terpasang jalur

sentral, dengan demikian dapat meningkatkan harapan hidup bayi baru lahir dan

merawat bayi dalam perawatan yang lebih baik, khususnya di Ruang NICU RSUD

KOJA.

1.5.2 Bidang pengembangan penelitian

Penelitian ini dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya guna memperoleh

metode yang paling efektif dalam menurunkan kejadian CLABSI pada neonatus

terkait jalur vena sentral.

1.5.3 Bidang Akademi

Memberi informasi tentang faktor risiko infeksi pada neonatus dengan hubungan

kepatuhan cuci tangan petugas kesehatan dan kepatuhan pelaksanaan SOP

pemasangan jalur sentral oleh petugas kesehatan terhadap kejadian CLABSI terkait

jalur sentral.

Anda mungkin juga menyukai