Anda di halaman 1dari 69

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit merupakan

salah satu komponen mutu pelayanan kesehatan yang memiliki peranan

penting. Infeksi yang terjadi di rumah sakit dikenal sebagai infeksi

nosokomial atau saat ini disebut dengan Healthcare Associated Infection

(HAIs) (WHO, 2011). Healthcare Associated Infection (HAIs) merupakan

salah satu permasalahan yang sering dibahas dalam forum Asian Pacific

Economic Committee (APEC) atau Global Health Security Agenda (GHSA)

di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia (Kemenkes RI, 2017).

World Health Organization (WHO) menyebutkan salah satu

parameter pelayanan kesehatan yang baik di rumah sakit adalah terkendalinya

angka kejadian HAIs. Tingginya angka infeksi menjadi masalah yang penting

di suatu rumah sakit karena dari infeksi tersebut, kondisi pasien bisa menjadi

buruk, jika kondisi pasien menjadi buruk maka lama perawatan pasien akan

bertambah panjang, hal tersebut akan sangat merugikan pasien dan keluarga,

karena semakin lama pasien dirawat maka akan bertambah biaya rawat dan

keadaan pasien akan menjadi lebih buruk dan yang paling berbahaya dapat

menyebabkan kematian (WHO, 2010).

HAIs juga berdampak pada kerugian karena stres emosional yang

dapat menurunkan kemampuan dan kualitas hidup pasien, peningkatan

penggunaan obat-obatan, kebutuhan terhadap isolasi pasien dan

1
2

meningkatnya keperluan untuk pemeriksaan penunjang. Tingginya angka

kejadian HAIs mengindikasikan rendahnya kualitas mutu pelayanan

kesehatan. Angka kejadian HAIs telah dijadikan tolak ukur mutu pelayanan

rumah sakit Indonesia. Menurut Komite Akreditasi Rumah Sakit (2012) Izin

rumah sakit dapat dicabut apabila angka kejadian infeksi tersebut tinggi.

Secara prinsip, kejadian HAIs sebenarnya dapat dicegah bila fasilitas

pelayanan kesehatan secara konsisten melaksanakan program PPI

(Kemenkes, 2017).

Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC (Healthcare Infection Control

Practices Advisory Committee) merekomendasikan 11 (sebelas) komponen

utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar,

yaitu kebersihan tangan, Alat Pelindung Diri (APD), dekontaminasi peralatan

perawatan pasien, kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah,

penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan petugas, penempatan pasien,

hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik yang aman dan

praktik lumbal pungsi yang aman (CDC, 2007).

Salah satu profesi dirumah sakit yang terkait langsung dengan angka

kejadian HAIs adalah perawat. Keperawatan adalah salah satu profesi yang

mempunyai peranan penting dalampemberian pelayanan kesehatan

kepadamasyarakat, terutama di rumah sakit kerenamerupakan ujung tombak

pelayanan yangsenantiasa 24 jam berada di rumah sakit untukmemberikan

pelayanan. Perawat dalammenjalankan tugasnya dituntut untuk

memikipengetahuan dan keterampilan yang kompetendibidangnya karena


3

resiko pekerjaan perawatmenyangkut kesehatan dan keselamatan

pasienselaku penerima pelayanan kesehatan. Salah saturesiko serius yang

dihadapi perawat dalammenjalankan tugasnya adalah tertular dan menularkan

penyakitinfeksi (Sahara, 2011).

Karena sumber penularan dan cara penularan HAIs terutama melalui

tangan dan dari petugas kesehatan maupun dari personil kesehatan lainnya,

melalui jarum injeksi, kateter intra vena, kateter urin, kasa pembalut atau

perban, dan cara yang keliru dalam menangani luka. Infeksi nosokomial ini

pun tidak hanya mengenai pasien saja, tetapi juga dapat mengenai seluruh

personil rumah sakit yang berhubungan langsung dengan pasien maupun

penunggu dan para pengunjung pasien (CDC, 2013). Dalam Permenkes RI

No. 27 Tahun 2017 di sebutkan bahwa yang tergolong HAIsadalah VAP

(Ventilator Associated Pneumonia), IAD (Infeksi Aliran Darah), ISK (Infeksi

Saluran Kemih), dan IDO (Infeksi Daerah Operasi).

Hasil penelitan Andi Amran Amrullah (2016) bahwa hasil uji

menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan

kineja perawat pelasana dalam melaksanakan pencegahan infeksi nosokomial

di rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta. Hasil Penelitian Agnes

Silvina (2015) bahwa hasil uji menunjukkan ada hubungan yang signifikan

antara sikap dengan pencegahan infeksi nosokomial di ruang ICU dan rawat

inap lantai 3 RSU Sari Mutiara. Hasil penelitan Andi Amran Amrullah (2016)

bahwa hasil uji menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara tindakan
4

dengan kineja perawat pelasana dalam melaksanakan pencegahan infeksi

nosokomial di rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta

Kasus infeksi nosokomial terjadi hampir di seluruh negara di dunia

Prevalensi kejadian HAIs di dunia mencapai 9% atau terdapat 1,40 juta

pasien yang sedang rawat inap mengalami HAIs. Data yang diperoleh World

Health Organization (WHO) terdapat 8,7% dari 55 rumah sakit di 14 negara

yang diantaranya berasal dari Eropa, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan

Pasifik menunjukkan adanya HAIs. Dimana prevalensi HAIs terbanyak

ditemukan di Asia Tenggara dan Mediterania Timur sekitar 11,8% dan 10%,

sedangkan di Eropa dan Pasifik Barat masing-masing sebesar 7,7% dan 9%

(Kurniawati dkk, 2015). Pada tahun 2014, didapatkan hasil survei angka

kejadian HAIs di rumah sakit Amerika Serikat tepatnya di unit perawatan

akut hingga mencapai 722.000 dan sekitar 75.000 pasien meninggal karena

HAIs saat dirawat di rumah sakit (CDC, 2016).

Sedangkan data terbaru menurut WHO tahun 2016 setidaknya terdapat

15% kejadian HAIs terjadi pada pasien yang sedang rawat inap dan menjadi

faktor penyebab 4-56% kematian neonatus di Subsahara Afrika dan Asia

Tengggara dengan tingkat kejadian sebesar 75%.

Di Indonesia belum terdapat data nasional HAIs, melalui Departemen

Kesehatan RI, telah melakukan survey pada tahun 2013 terhadap 10 Rumah

Sakit Umum Pendidikan,didapatkan angka yang cukup tinggi yaitu 6-16%

dengan rata-rata 9,8%. Kejadian tersering adalah infeksi daerah operasi,

infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas dan infeksi aliran darah (Depkes,
5

2013). Phlebitis adalah infeksi yang tertinggi di rumah sakit swasta atau

pemerintah dengan jumlah pasien 2.168 pasien darijumlah pasien beresiko

124.733 (Depkes RI, 2010)

Hasil survey point prevalensi dari 11 Rumah Sakit di DKI Jakarta

yang dilakukan Perdalin Jaya dan Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr.

Sulianti Saroso Jakarta pada tahun 2003 didapatkan angka infeksi nosokomial

untuk infeksi Luka Operasi (ILO) 18,9%, Infeksi saluran kemih (ISK) 15,1%,

Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) 26,4%, Pneumonia 24,5% dan infeksi

lainnya 32,1% (Madjid & Wibowo, 2017).

Berdasarkan data dari Komite PPI di RSUD Kota Kendari Provinsi

Sulawesi Tenggara bahwa terdapat kejadian HAIs yaitu Phlebitis pada tahun

2017 sebesar 3,68%, dan pada tahun 2018 terjadi peningkatan sebesar 6,38%,

dan pada bulan september tahun 2019 terjadi peningkatan lagi sebesar 8,91%

(Yuniar Nani, 2020).

Berdasarkan survei awal ke RSUD Kota Baubau Provinsi Sulawesi

Tenggara, data angka kejadian infeksi rumah sakit untuk phlebitis yang

diperoleh dari laporan PPI pada tahun 2019 di bulan Januari sebesar 1,78%,

Februari sebesar 0,73%, dan Maret sebesar 0,84%. Dan pada tahun 2020

untuk bulan Januari sebesar 1,20%, Februari sebesar 3,64%, Juli sebesar

8,13%, dan Agustus sebesar 35,21%, September sebesar 24,69%, Oktober

sebesar 31,05%, dan Desember sebesar 13,15%. Sedangkan pada tahun 2021

untuk bulan Januari sebesar 3,28% dan Maret sebesar 1,62%, dan pada bulan

Januari 2020 terlihat angka kejadian Infeksi daerah Operasi (IDO) di ruang
6

perawatan bedah sebesar 3,57%. Angka tersebut telah melebihi dari standar

pelayanan minimal berdasarkan KMK No.129 Tahun 2008 bahwa standar

kejadian infeksi nosokomial/HAIs yaitu ≤1,5%.

Dari latar belakang diatas diperoleh masih tingginya angka kejadian

Healthcare Associated Infection (HAIs) di RSUD Kota Baubau, sehingga

peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan pencegahan Healthcare Associated Infection (HAIs) di

ruang perawatan bedah dan interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan

Healthcare Associated Infection (HAIs) di ruang perawatan bedah dan interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021 sebagai berikut :

1. Bagaimanahubungan pengetahuan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan

InternaRSUD Kota Baubau Tahun 2021?

2. Bagaimana hubungan sikapdengan pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota

Baubau Tahun 2021?

3. Bagaimana hubungan tindakandengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021?


7

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan

Healthcare Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan

Interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dengan pencegahan

Healthcare Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah

dan Interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021

b. Untuk mengetahuihubungan sikapdengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021

c. Untuk mengetahuihubungan tindakan dengan pencegahan

Healthcare Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah

dan Interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021


8

D. Manfaat Penelitian

1. ManfaatBagi Instansi RSUD Kota Baubau

Menjadi bahan evaluasi terutama dalam melakukan upaya

pencegahan terjadinya HAIs dan dapat dijadikan sumber informasi serta

bahan pertimbangan bagi Rumah Sakit dalam memberikan pelayanan

terbaik terutama dalam penerapan standart pencegahan dan pengendalian

infeksi

2. ManfaatBagi Institusi STIKES IST Buton

Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan bagi institusi Sekolah

Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) IST Buton dan dapat memberikan

manfaat khususnya dalam memperbanyak referensi serta sebagai

informasi yang dapat digunakan untuk penelitian lebih lanjut terutama

berkaitan dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan

Healthcare Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan

Interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

3. ManfaatBagi Peneliti

Manfaat yang bisa diperoleh bagi peneliti sendiri yaitu dapat

menambah pengetahuan, pengalaman, serta keterampilan peneliti dalam

melakukan prosedur penelitian yang baik dan benar terutama dalam

melakukan penelitian kuantitatif. Selain itu, dengan melakukan penelitian

ini maka juga akan menambah wawasan peneliti terkait peran perawat

khususnya dalam mencegah terjadinya HAIs di lingkungan Rumah Sakit.


9

4. ManfaatBagi Pembaca

Dapat menjadi referensi bacaan sehingga menambah wawasan

ilmu pengetahuan di bidang keperawatan, khususnya factor yang

berhubungan dengan pencegahan HAIs di lingkungan Rumah Sakit


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang HealthCare Associated Infections (HAIs)

1. Pengertian HealthCare Associated Infections (HAIs)

Infeksi nosokomial atau Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan

(Health Care Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs

adalah infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit

dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada

infeksi dan tidak dalam masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah

sakit tapi muncul setelah pasien pulang, juga infeksi karena pekerjaan

pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan

kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan (Permenkes RI, 2017).

Menurut Mandal dkk (2008), pasien dikatakan menderita

healthcare associated infections atau infeksi nosokomial jika pada saat

pertama kali dirawat di rumah sakit belum mengalami infeksi, kemudian

setelah dirawat selama 48-72 jam klien menjadi terinfeksi. Infeksi

nosokomial merupakan infeksi yang bersumber dari rumah sakit atau

infeksi yang terdapat di sarana kesehatan (Sabarguna dan Rubaya, 2011).

Suatu infeksi dapat dikatakan di dapat dari rumah sakit apabila

memiliki kriteria sebagai berikut (Darmadi, 2008) :

a. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan

tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut.

10
11

b. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak sedang dalam

masa inkubasi dari infeksi tersebut.

c. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah

3x24 jam sejak mulai perawatan. Secara umum, pasien yang masuk

rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi kurang dari 72 jam

menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum

pasien masuk rumah sakit (infeksi bukan berasal dari rumah sakit).

d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya.

2. Rantai Infeksi

Rantai Infeksi (chain of infection) merupakan rangkaian yang

harus ada untuk menimbulkan infeksi. Dalam melakukan tindakan

pencegahan dan pengendalian infeksi dengan efektif, perlu dipahami

secara cermat rantai infeksi. Menurut Kagan, Ovadia, & Kaneti (2009),

Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berhubungan langsung dengan

pasien dan dapat menjadi media transmisi infeksi baik bagi perawat

maupun pasien. Perawat mencegah terjadinya infeksi dengan cara

memutuskan rantai penularan infeksi (Craven & Hirnle, 2007). Kejadian

infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan dapat disebabkan oleh 6

komponen rantai penularan, apabila satu mata rantai diputus atau

dihilangkan, maka penularan infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Enam

komponen rantai penularan infeksi, yaitu (Permenkes RI, 2017) :

a. Agen infeksi (infectious agent)


12

Agen infeksi adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada manusia,

agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur danparasit. Ada tiga

faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi

yaitu : patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”). Makin

cepat diketahui agen infeksi dengan pemeriksaan klinis atau

laboratorium mikrobiologi, semakin cepat pula upaya pencegahan dan

penanggulangannya bisa dilaksanakan.

b. Reservoir

Reservoir atau wadah tempat/sumber agen infeksi dapat hidup,

tumbuh, berkembang-biak dan siap ditularkan kepada pejamu atau

manusia. Berdasarkan penelitian, reservoir terbanyak adalah pada

manusia, alat medis, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air,

lingkungan dan bahan-bahan organik lainnya. Dapat juga ditemui

pada orang sehat, permukaan kulit, selaput lendir mulut, saluran napas

atas, usus dan vagina juga merupakan reservoir.

c. Portal of exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi

(mikroorganisme) meninggalkan reservoir melalui saluran napas,

saluran cerna, saluran kemih serta transplasenta.

d. Metode Transmisi / Cara Penularan adalah metode transport

mikroorganisme dari wadah/reservoir ke pejamu yang rentan. Ada

beberapa metode penularan yaitu : (1) kontak : langsung dan tidak

langsung, (2) droplet, (3) airborne, (4) melalui vehikulum (makanan,


13

air/minuman, darah) dan (5) melalui vektor (biasanya serangga dan

binatang pengerat).

e. Portal of entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki

pejamu yang rentan dapat melalui saluran napas, saluran cerna,

saluran kemih dan kelamin atau melalui kulit yang tidak utuh.

f. Susceptible host (Pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan

tubuh menurun sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor

yang dapat mempengaruhi kekebalan adalah umur, status gizi, status

imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma, pasca

pembedahan dan pengobatan dengan imunosupresan.

3. Jenis-Jenis HealthCare Associated Infections (HAIs)

Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan

kesehatan, terutama rumah sakit mencakup (Permenkes RI, 2017) :

a. Infeksi Daerah Operasi (IDO)

Tindakan pembedahan (operasi) dalam ilmu bedah,

berdasarkan pada tingkat kontaminasi/risiko infeksi dibagi menjadi

empat klasifikasi secara bertingkat, yaitu :

1) Operasi bersih yaitu operasi pada keadaan prabedah tanpa adanya

luka atau operasi yang melibatkan luka steril dan dilakukan

dengan memerhatikan prosedur aseptik dan antiseptik. Sebagai

catatan, saluran pencernaan atau saluran pernafasan ataupun

saluran perkemihan tidak dibuka. Contoh : hernia, tumor


14

payudara, tumor kulit, tulang. Kemungkinan terjadinya infeksi : 2-

4%.

2) Operasi bersih terkontaminasi

Operasi seperti keadaan diatas dengan daerah-daerah yang terlibat

pembedahan seperti saluran napas, saluran kemih atau

pemasangan drain. Contoh : prostatektomi, apendiktomi tanpa

radang berat, kolesistektomi elektif. Kemungkinan terjadinya

infeksi : 5-15%.

3) Operasi terkontaminasi

Operasi yang dikerjakan dengan daerah dengan luka yang telah

terjadi 6-10 jam dengan atau tanpa benda asing, tidak ada tanda-

tanda infeksi namun kontaminasi jelas karena saluran napas, cerna

atau kemih dibuka. Contoh : operasi usus besar, operasi kulit (luka

kulit akibat ruda paksa). Kemungkinan terjadinya infeksi : 16-

25%.

4) Operasi kotor

Operasi kotor adalah operasi-operasi yang dikerjakan karena

tindakan darurat, operasi ini melibatkan daerah dengan luka

terbuka yang telah terjadi lebih dari 10 jam, luka dengan tanda-

tanda klinis infeksi dan luka perforasi organ visera. Contoh : luka

ruda paksa yang lama, perforasi usus. Kemungkinan terjadinya

infeksi : 40-70%.
15

Risiko timbulnya ILO ditentukan oleh 3 faktor yakni jumlah

dan jenis kontaminasi mikroba pada luka, keadaan luka pada akhir

operasi (ditentukan oleh teknik pembedahan dan proses penyakit yang

dihadapi selama operasi), dan kerentanan pejamu.

b. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih dilaporkan 80% terjadi sesudah

instrumentasi, terutama oleh kateterisasi. Tindakan invasif lainnya

seperti sitoskopi atau tindakan operatif pada vagina. Menurut

Darmadi, bakteri masuk ke dalam kandung kemih melalui batang

kateter melalui meatus uretra eksternus, lumen kateter, persambungan

kateter dengan pipa penyalur urin, refluks urin dari kantong

penampung urin. Kebanyakan kejadian bakteriuria karena penggunaan

kateter dalam jangka pendek tidak menunjukkan gejala. Apabila

gejala muncul biasanya berupa demam ringan, panas, ingin kencing

terus dan nyeri.

Gejala serupa mungkin terjadi pada pasien yang menggunakan

kateter dalam jangka waktu lama, tetapi pasien tersebut juga akan

mengalami obstruksi, batu saluran kencing, gagal ginjal dan kanker

kandung kemih. Pada ISK bagian atas yaitu nyeri panggul, demam,

darah dalam urine (hematuria) dan gejala-gejala khusus pada ISK

kemungkinan timbul. Tetapi pasien usia lanjut dan dan lemah, tanda-

tanda dan gejala-gejala khusus pada ISK kemungkinan tidak ada.

Memerhatikan besarnya kemungkinan terjadi infeksi nosokomial


16

setelah tindakan kateterisasi, maka perlu adanya upaya pencegahan

infeksi dengan memerhatikan hal-hal ini :

1) Pemasangan kateter dengan memerhatikan syarat dasar aseptic

2) Kateter menetap sedapat mungkin tidak dipakai dan hanya

digunakan atas dasar indikasi yang tegas

3) Aliran urine dalam kateter harus bersifat bebas hambatan dan

turun bila kateter harus terpasang lama, maka diupayakan

penggantian kateter setiap 2-3 hari.

4) Setiap akan melakukan tindakan kateterisasi, urine harus

dibiakkan (identifikasi) terlebih dahulu.

5) Berikan antibiotik sebelum kateter dicabut untuk kasus

asimptomatik yang disertai bakteri dalam urine yang

menunjukkan kolonisasi.

c. Infeksi Aliran Darah (IAD)

Infeksi ini berkaitan dengan pemasangan selang intravascular

(infus). Lama pemasangan selang intravascular merupakan penentu

utama kolonisasi bakteri. Semakin lama selang terpasang, semakin

tinggi pula resiko infeksi. Vena menjadi sasaran phlebitis yaitu

peradangan dinding vena yang dapat disebabkan oleh infeksi atau

perlukaaan. Trombophlebitis yaitu peradangan dengan komplikasi

penyumbatan oleh segumpal bekuan darah, dapat merupakan akibat

dari phlebitis.
17

Menurut Darmadi (2008), tanda-tanda phlebitis yaitu pada

daerah kateter intravena terpasang, kulit tampak merah (rubor),

bengkak (edema), panas (color) disertai nyeri (dolor) dan kadang

ditemukan demam dengan penyebab :

1) Pemasangan kateter intravaskuler sering kali gagal dan harus

diulang misalnya karena vena yang kecil dan dalam.

2) Kateter intravaskuler yang terpasang digunakan untuk beberapa

hari.

Kedua hal di atas memperbesar peluang masuknya mikroba patogen

kedarah secara langsung.Kontak orang ke orang juga meningkatkan

risiko infeksi yangberhubungan dengan alat intravaskuler. Hal ini

meliputi :

1) Kontaminasi silang dengan daerah terinfeksi dari tubuh pasien

melalui pasien lain atau tangan petugas kesehatan.

2) Kontaminasi silang dari pasien terinfeksi melalui tangan petugas

kesehatan

3) Kontaminasi silang dari pasien pada petugas sewaktu kontak

dengan pasien waktu pemasangan darah, perawatan waktu

pemasangan atau pencabutan kateter.

4) Teknik pemasangan atau mengganti balutan yang tidak baik.

d. Ventilator associated pneumonia (VAP)

Ventilator associated pneumonia (VAP)yaitu pneumonia yang

terjadi lebih dari 48 jam setelah pemasangan intubasi endotrakeal


18

akibat dari mikroorganisme yang masuk melalui saluran pernapasan

bagian bawah melalui aspirasi sekret orofaring yang berasal dari

bakteri endemik di saluran pencernaan atau patogen eksogen yang

diperoleh dari peralatan yang terkontaminasi oleh petugas kesehatan.

4. Cara Penularan HealthCare Associated Infections (HAIs)

Menurut Septiari (2012) ada empat cara penularan HAIs yaitu :

a. Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak

langsung, dan droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi

berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to person

pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal oral. Kontak

tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek

perantara (biasanya benda mati), misalnya kontaminasi peralatan

medis oleh mikroorganisme (Septiari, 2012).

b. Penularan melalui commom vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh

kuman, dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu

penjamu. Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk

darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya (Septiari, 2012)..

c. Penularan melalui udara, dan inhalasi

Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme mempunyai ukuran yang

sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang

cukup jauh, dan melalui saluran pernafasan. Misalnya


19

mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas

(staphyloccocus), dan tuberkolosis (Septiari, 2012)..

d. Penularan dengan perantara vector

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut

penularan secara eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara

mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vector,

misalnya shigella, dan salmonella oleh lalat. Penularan secara internal

apabila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh vector, dan dapat

terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam

nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia

pestis pada ginjal (Septiari, 2012)..

5. Faktor Resiko Terjadinya HealthCare Associated Infections (HAIs)

Adapun faktor risiko terjadinya HAIs menurut (Darmadi, 2008) yaitu :

a Usia

HAIs lebih rentan terjadi pada neonatus dan orang yang telah lanjut

usia. Hal itu terjadi karena rata-rata lansia mengalami multipatologi

atau memiliki lebih dari 1 penyakit yang umumnya penyakit

degeneratif, selain itu sistem organ juga menurun akibatnya lansia

rentan terhadap terjadinya infeksi disebabkan oleh cadangan

fungsional tubuh yang menurun serta adanya penurunan daya tahan

tubuh. Sama halnya dengan neonatus karena daya tahan tubuh pada

neonatus masih lemah sehingga rentan terjadi infeksi.

b Keadaan imun menurun (immuno-compromised)


20

Pasien dengan immuno-compromised bisa kita dapatkan pada pasien

yang mengalami penyakit kronis seperti kanker, tumor, serta pada

pasien dengan konsumsi obat imunosupresan.

c. Gangguan atau interupsi barier anatomis

1) Kateter urin: penggunaan kateter urin dalam jangka waktu lama

juga dapat menimbulkan infeksi saluran kemih atau ISK

2) Prosedur operasi: bisa mengakibatkan kejadian infeksi daerah

operasi/ IDO atau surgical site infection (SSI)

3) Intubasi dan pemakaian ventilator: mengakibatkan Ventilator

Associated Pneumonia atau VAP

4) Kanula vena dan arteri: IAD dan plebitis

5) Luka bakar serta trauma

d. Implantasi benda asing

1) Pemakaian mesh yang digunakan saat operasi hernia

2) Pemakaian implant saat dilakukan operasi tulang, alat pacu

jantung maupun kontrasepsi

3) Cerebrospinal fluid shunts

4) Vascular prostheses atau Valvular

e. Perubahan mikroflora normal

Penggunaan antibiotika yang tidak bijak atau tidak tepat sasaran akan

dapat menimbulkan bakteri resisten terhadap antimikroba serta

menimbulkan pertumbuhan jamur secara berlebihan


21

6. Dampak HealthCare Associated Infections (HAIs)

Menurut Syafriani(2019) HealthCare Associated Infections (HAIs)

berdampak terhadap :

a. Pasien, dapat memperpanjang hari rawatan dengan penambahan

diagnosa sehingga dapat menyebabkan kematian;

b. Pengunjung, dapat menularkan kepada orang lain setelah

meninggalkan rumah sakit;

c. Perawat, akan menjadi barier (pembawa kuman) yang menularkan

kepada pasien lain dan diri sendiri;

d. Rumah sakit, menurunkan mutu pelayanan rumah sakit hingga

pencabutan ijin operasional rumah sakit.

7. Pencegahan dan Pengendalian HealthCare Associated Infections

(HAIs)

Pencegahan adalah kegiatan yang dilakukan sebelum seseorang

terjangkit infeksi nosokomial, seperti penerapan perilaku hand hygiene.

Pengendalian merupakan kegiatan yang dilakukan setelah seseorang

terjangkit infeksi nosokomial, seperti memindahkan pasien yang

terjangkit ke ruang isolasi. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian

Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk melindungi

pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan

kesehatan serta masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus

siklus penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan standar dan

berdasarkan transmisi (Permenkes, 2017).


22

a. Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang

untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di

rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik yang telah

didiagnosis, diduga terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan untuk

mencegah transmisi silang sebelum pasien didiagnosis, sebelum

adanya hasil pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien didiagnosis.

Tenaga kesehatan seperti petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD,

pembuang sampah dan lainnya juga berisiko besar terinfeksi. Oleh

sebab itu penting sekali pemahaman dan kepatuhan petugas tersebut

untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak terinfeksi.

Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11

komponen utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam

kewaspadaan standar, yaitu :

1) Kebersihan Tangan

Cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas dengan air

mengalir, dilakukan pada saat :

a) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien

yaitu darah, cairan tubuh sekresi, eksresi, kulit yang tidak utuh,

ganti verband, walaupun telah memakai sarung tangan.

b) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area

lainnya yang bersih, walaupun pada pasien yang sama.

Indikasi kebersihan tangan :


23

a) Sebelum kontak pasien

b) Sebelum tindakan aseptik

c) Setelah kontak darah dan cairan tubuh

d) Setelah kontak pasien

e) Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.

2) Alat Pelindung Diri (APD)

a) Sarung tangan

Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu :

(1) Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan

tindakan invasif atau pembedahan.

(2) Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk

melindungi petugas pemberi pelayanan kesehatan sewaktu

melakukan pemeriksaan atau pekerjaan rutin

(3) Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses

peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan

sewaktu membersihkan permukaan yang terkontaminasi.

b) Masker

Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran

mukosa mulut dari cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien

atau permukaan lingkungan udara yang kotor dan melindungi

pasien atau permukaan lingkungan udara dari petugas pada

saat batuk atau bersin. Terdapat tiga jenis masker, yaitu :


24

(1) Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah

penularan melalui droplet.

(2) Masker respiratorik, untuk mencegah penularan melalui

airborne.

(3) Masker rumah tangga, digunakan dibagian gizi atau dapur.

c) Gaun Pelindung

Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju petugas dari

kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan tubuh;

sekresi, ekskresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian

petugas pada tindakan steril.

d) Google dan perisai wajah

Untuk melindungi mata dan wajah dari percikan darah, cairan

tubuh, sekresi dan eksresi pada saat tindakan operasi,

pertolongan persalinan dan tindakan persalinan, tindakan

perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan

jenazah, penangan linen terkontaminasi di laundry, di ruang

dekontaminasi CSSD.

e) Sepatu Pelindung

Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah melindungi kaki

petugas dari tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh

lainnya dan mencegah dari kemungkinan tusukan benda tajam

atau kejatuhan alat kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang

agar berfungsi optimal.


25

f) Topi Pelindung

Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk mencegah

jatuhnya mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala

petugas terhadap alat-alat/daerah steril atau membran mukosa

pasien dan juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut

petugas dari percikan darah atau cairan tubuh dari pasien.

3) Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien

Dalam dekontaminasi peralatan perawatan pasien dilakukan

penatalaksanaan peralatan bekas pakai perawatan pasien yang

terkontaminasi darah atau cairan tubuh (pre-cleaning, cleaning,

disinfeksi, dan sterilisasi) sesuai Standar Prosedur Operasional

(SPO).

4) Pengendalian Lingkungan

Pengendalian lingkungan di fasilitas pelayanan kesehatan, antara

lain berupa upaya perbaikan kualitas udara, kualitas air, dan

permukaan lingkungan, serta desain dan konstruksi bangunan,

dilakukan untuk mencegah transmisi mikroorgansime kepada

pasien, petugas, dan pengunjung.

5) Pengelolaan Limbah

a) Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.

b) Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan akhir

(TPA).

c) Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator.


26

d) Limbah cair dibuang ke spoelhoek.

e) Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat

pembuangan/pojok limbah.

6) Penatalaksanaan Linen

a) Fasilitas pelayanan kesehatan harus membuat SPO

penatalaksanaan linen

b) Petugas yang menangani linen harus mengenakan APD

c) Linen dipisahkan berdasarkan linen kotor dan terkontaminasi

cairan tubuh

d) Minimalkan penanganan linen kotor untuk mencegah

kontaminasi ke udara dan petugas yang menangani linen

tersebut

e) Linen yang terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh

lainnya harus dibungkus, dimasukkan kantong kuning dan

diangkut/ditransportasikan secara hati-hati agar tidak terjadi

kebocoran.

f) Buang terlebih dahulu kotoran

g) Pastikan alur linen kotor dan linen terkontaminasi sampai di

laundry TERPISAH dengan linen yang sudah bersih

h) Cuci dan keringkan linen di ruang laundry

i) Untuk menghilangkan cairan tubuh yang infeksius pada linen

dilakukan melalui 2 tahap yaitu menggunakan deterjen dan

Natrium hipoklorit (Klorin) 0,5%.


27

7) Perlindungan Kesehatan Petugas

a) Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir dan

sabun/cairan antiseptik sampai bersih

b) Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa luka

atau tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir

c) Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan kumur-

kumur dengan air beberapa kali

d) Bila terpecik pada mata, cucilah mata denngan air mengalir

(irigasi) dengan posisi kepala miring ke arah mata yang

terpecik

e) Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan

bersihkan dengan air

f) Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan dihisap

dengan mulut

8) Penempatan Pasien

a) Tempatkan pasien infeksius terpisah dengan pasien non

infeksius

b) Penempatan pasien disesuaikan dengan pola transmisi infeksi

penyakit pasien

c) Bila tidak tersedia ruang tersendiri, dibolehkan dirawat

bersama pasien lain yang jenis infeksinya sama dengan

menerapkan sistem cohorting


28

d) Semua ruangan terkait cohorting harus diberi tanda

kewaspadaan berdasarkan jenis transmisinya

e) Pasien yang tidak dapat menjaga kebersihan diri atau

lingkungannya seyogyanya dipisahkan sendiri

f) Mobilisasi pasien infeksius yang jenis transmisinya melalui

udara agar dibatasi di lingkungannya fasilitas pelayanan

kesehatan untuk menghindari terjadinya transmisi penyakit

yang tidak perlu kepada yang lain

g) Pasien HIV tidak diperkenankan dirawat bersama dengan

pasien TB dalam satu ruangan tetapi pasien TB-HIV dapat

dirawat dengan sesama pasien TB

9) Kebersihan Pernapasan / Etika Batuk dan Bersin

Petugas, pasien dan pengunjung dengan gejala infeksi saluran

napas harus melaksanakan dan mematuhi langkah-langkah sebagai

beikut :

a) Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau saputangan atau

lengan atas

b) Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan kemudian

mencuci tangan

10) Praktik Menyuntik yang Aman

Pakai spuit dan jarum suntik steril sekali pakai untuk setiap

suntikan, berlaku juga pada penggunaan vial multidose untuk

mencegah timbulnya kontaminasi mikroba saat obat dipakai pada


29

pasien lain. Spuit dan jarum suntik bekas pakai dibuang ke

tempatnya dengan benar.

11) Praktik Lumbal Pungsi yang Aman

Semua petugas harus memakai masker bedah, gaun bersih, sarung

tangan steril saat akan melakukan tindakan umbal pungsi, anestesi

spinal/ epidural/ pasang kateter vena sentral.

b. Kewaspadaan berdasarkan Transmisi

Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan kewaspadaan

standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan setelah

terdiagnosis jenis infeksinya. Jenis kewaspadaan berdasarkan

transmisi sebagai berikut :

1) Melalui kontak

Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan kulit yang

terbuka dengan kulit terinfeksi atau kolonisasi. Kontak tidak

langsung adalah kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi

yang ditransmisikan melalui tangan petugas yang belum dicuci

atau benda mati di lingkungan pasien. Hindari menyentuh

permukaan lingkungan lain yang tidak berhubungan dengan

perawatan pasien sebelum melakukan aktivitas kebersihan tangan.

Petugas harus menahan diri untuk tidak menyentuh mata, hidung,

mulut saat masih memakai sarung tangan terkontaminasi/tanpa

sarung tangan.
30

2) Melalui droplet

Transmisi droplet terjadi ketika parikel droplet berukuran >5 μm

yang dikeluarkan pada saat batuk, bersin, muntah, bicara, selama

prosedur suction, brokhoskopi, melayang di udara dan akan jatuh

dalam jarak <2 m dan mengenai mukosa atau konjungtiva, untuk

itu dibutuhkan APD atau masker yang memadai, bila

memungkinkan dengan masker 4 lapis atau yang mengandung

pembunuh kuman.

3) Melalui udara (Airborne Precautions)

a) Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan ventilasi

mekanis di dalam suatu ruangan dengan memperhatikan arah

suplai udara bersih yang masuk dan keluar.

b) Penempatan pasien TB yang belum pernah mendapatkan terapi

OAT, harus dipindahkan dari pasien lain, sedangkan pasien

TB yang telah mendapat terapi OAT secara efektif

berdasarkan analisis risiko tidak berpotensi menularkan TB

baru dapat dikumpulkan dengan pasien lain.

c) Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan

APD pada pasien, petugas dan pengunjung penting

dicantumkan di pintu ruangan rawat pasien sesuai

kewaspadaan transmisinya.

d) Ruang rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya menggunakan

runagan bertekanan negatif.


31

B. Tinjauan Umum Tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan

Pencegahan Healthcare Associated Infection (HAIs)

1. Pengetahuan (knowledge)

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung,

telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan

sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh

intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek. Sebagian besar

pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), dan

indra penglihatan (mata).

Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau

tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besar pengetahuan dibagi dalam

enam tingkat pengetahuan, yaitu (Notoatmodjo, 2010) :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah

ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

b. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek tersebut,

tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat

menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui

tersebut.
32

c. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang

dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang

diketahui tersebut pada situasi yang lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan

memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-

komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang

diketahui.

e. Sintesa (synthesis)

Sintesa menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk

merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari

komponen-komponen pengetahuan yang dimiliki.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan

justifikasiatau penilaian terhadap suatu objek tertentu. Penilaian ini

dengan sendirinya didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan

sendiri atau norma yang berlaku di masyarakat.

2. Sikap

Merupakan aksi atau respon tertutup individu dalam menghadapi

stimulus yang ada dan merupakan penggambaran emosi seseorang seperti

senang ataupun tidak senang, tidak setuju atau setuju, dan sebagainya.
33

Dimana sikap seseorang dalam merespons adanya stimulus ataupun objek

tersebut melibatkan perasaan, pikiran, dan perhatian seseorang atau

bahkan kejiwaan lain. Sikap seseorang tersebut terbagi menjadi 3

komponen yang terdapat dalam buku Agustini (2019), yaitu : Keyakinan

atau kepercayaan terhadap objek, sikap emosional atau evaluasi orang

terhadap objek dan kecenderungan dalam bertindak (trend to behave)

Sikap juga memiliki tingkatan tertentu berdasarkan intensitasnya

yang tercantum dalam buku Agustini (2019), diantaranya:

a. Menerima (receiving)

Artinya individu tersebut mau menerima rangsangan atau stimulus

yang telah diberikan oleh objek tertentu.

b. Menanggapi (responding)

Berarti bahwa individu mampu memberikan tanggapan atau jawaban

dari objek tersebut.

c. Menghargai (valving)

Menghargai berarti individu tersebut mampu memberikan nilai positif

terhadap adanya stimulus atau objek yang dihadapinya dan kemudian

akan membicarakannya, mengajak bahkan akan mempengaruhi orang

lain untuk meresponsnya juga.

d. Bertanggung jawab

Merupakan sikap tanggung jawab individu terhadap apa yang

diyakininya.
34

3. Tindakan atau Praktik (practice)

Praktik adalah seseorang yang telah mengetahui stimulis/objek

kesehatan kemudian megadakan penilaian atau pendapat terhadap apa

yangdiketahui, proses selanjutnya ia akan melaksanakan/ mempraktikkan

apayang diketahui atau disikapinya (Notoatmojo 2012).

Tingkatan praktik menurut kualitasnya Notoatmojo (2012)

a. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengantindakan

yang akan diambil.

b. Respon terpimpin (guided response)

Melakukan sesuatu dengan urutan yang benar dan sesuai

dengancontoh

c. Mekanisme (mecanism)

Melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu

itusudah menjadi kebiasaan.

d. Adaptasi (adaption)

Suatu praktik atau tundakan yang sudah berkembang dengan

baik,artinya tindakan tersebut sudah dimodifikasikannya tanpa

mengurangikebenaran tindakan tersebut.


35

C. Tinjauan Umum Tentang Peran Perawat

1. Definisi Peran

Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh

orang lain terhadap sesorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem.

Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial dari dalam maupun dari luar dan

bersifat stabil. Peran adalah bentuk dari perilaku yang diharapkan dari

seseorang pada situasi sosial tertentu (Mubarak, 2006).

2. Peran Perawat

Peran perawat adalah cara untuk menyatakan aktivitas perawat

dalam praktik, dimana telah menyelesaikan pendidikan formulanya yang

diakui dan diberi kewenangan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas

dan tanggung jawab keperawatan secara professional sesuai dengan kode

etik professional (Mubarak, 2006). Potter dan Perry (2005) menyatakan

peran perawat adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan, pembuat

keputusan klinik, sebagai pelindung atau advokat kepada klien, manajer

kasus, rehabilitator, pemberi kenyamanan, komunikator dan sebagai

pendidik. Sedangkan Peran perawat menurut konsorsium ilmu kesehatan

tahun 1989 dalam Hidayat (2014) terdiri dari:

a. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan

Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan ini dapat dilakukan

perawatdengan memperhatikan keadaan kebutuhan dasar manusia

yang dibutuhkanmelalui pemberian pelayanan keperawatan dengan


36

menggunakan proseskeperawatan sehingga dapat ditentukan

diagnosis keperawatan agar dapatdirencanakan dan dilaksanakan

tindakan yang tepat sesuai dengan tingkatkebutuhan dasar manusia,

kemudian dapat dievaluasi tingkat kebutuhan dasar manusia,

kemudian dapat dievaluasi tingkat perkembangannya. Pemberian

asuhan keperawatan ini dilakukan dari yang sederhana sampai

dengan kompleks.

b. Peran sebagai advokat

Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga

dalam menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberian

pelayanan atau informasi lain khususnya dalam pengambilan

persetujuan atas tindakan keperawatan yang diberikan kepada

pasien, juga dapat berperan mempertahankan dan melindungi hak-

hak pasien yang meliputi hak atas pelayanan sebaik-baiknya, hak

atas informasi tentang penyakitnya. Hak atas privasi, hak untuk

menentukan nasibnya sendiri dan hak untuk menerima ganti

rugi akibat kelalaian.

c. Peran educator

Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan

tingkat pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan

yang diberikan, sehingga terjadi perubahan perilaku dari klien

sesudah dilakukan pendidikan kesehatan.


37

d. Peran coordinator

Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan

sertamengorganisasi pelayanan kesehatan sehingga pemberian

pelayanankesehatan dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan

klien.

e. Peran kolaborator

Peran perawat disini dilakukan kerana perawat bekerja melalui

timkesehatan yang terdiri dari dokter, fisioterapis, ahli gizi dan lain-

lain denganberupaya mengidentifikasi pelayanan keperawatan yang

diperlukan termasuk diskusi atau tukar pendapat dalam penentuan

bentuk pelayanan selanjutnya.


38

D. Kerangka Teori

Pengetahuan

Dampak
Tahu
1. Pasien
Memahami 2. Pengunjung
3. Perawat
Aplikasi 4. Rumah Sakit

Analisis

Sintesa
Perilaku
Pencegahan Evaluasi
Praktik Universal
Healthcare Precautions :
Sikap
Associated 1. Mencuci tangan
Infection 2. Memakai APD
Menerima 3. Mengelola alat
(HAIs) kesehatan bekas
Menanggapi pakai
4. Mengelola benda
Menghargai tajam

Bertanggung Jawab

Tindakan / Praktik
Lingkungan
Cara penularan HAIs:
Persepsi 1. Penularan secara
kontak
ResponTerpimpin 2. Penularan melalui
common vehicle
Mekanisme 3. Penularan melalui
udara dan inhalasi
Adaptasi
4. Penularan denga
perantara vector
39

Gambar 2.1. Agustini (2019), Notoatmodjo (2010), Notoatmodjo (2012),

Syafriani (2019), Septiari (2012), dan Permenkes (2017)

E. Kerangka Konsep

Variabel Independen

Pengetahuan Variabel Dependen

Pencegahan Healthcare
Associated Infection (HAIs)
Sikap

Tindakan

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian

Keterangan :

= Variabel Independen

= Variabel Dependen

= Hubungan variabel ke variabel lain


40

F. Hipotesis Penelitian

1. Hipotesis Alternatif (Ha)

a. Ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

b. Ada hubungan antara sikapdengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

c. Ada hubungan antara tindakan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

2. Hipotesis Nol (Ho)

a. Tidak ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan

Healthcare Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah

dan Interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

b. Tidak ada hubungan antara sikapdengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.


41

c. Tidak ada hubungan antara tindakan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

G. Definisi Operasional
No Variabel Definisi Alat Ukur Kriteria Objektif Skala
Operasional Ukur
1 Pencegahan Kegiatan yang Kuesioner a. Baik : apabila Ordinal
Healthcare dilakukan skor ≥ 60%
Associated sebelum b. Kurang : apabila
Infection seseorang skor ≤ 60%
(HAIs) terjangkit (Citra Yuliana,
(HAIs), seperti 2012)
mencuci tangan
sebelum dan
setelah kontak
dengan pasien,
penanganan
jarum suntik dan
benda tajam,
serta
penggunaan
APD.
2 Pengetahuan Segala sesuatu Kuesioner a. Baik : apabila Ordinal
yang diketahui skor ≥50%
oleh responden b. Kurang : apabila
seperti skor <50%
pengetian HAIs, (Zakiyah
penyebab HAIs, Ramdlani, 2017)
serta
pencegahan dan
pengendalian
HAIs.
3 Sikap Reaksi atau Kuesioner a. Baik : apabila Ordinal
tanggapan balik skor ≥60%
perawat b. Kurang : apabila
terhadap risiko skor <60%
infeksi atau (Hernawati
HAIs Simanjuntak,
2018)
42

4 Tindakan/Pra Melaksanakan/ Kuesioner c. Baik : apabila Ordinal


ktik mempraktikkan skor ≥60%
apa yang d. Kurang : apabila
diketahui atau skor <60%
disikapinya (Hernawati
tentang HAIs. Simanjuntak,
2018)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kuantitatif dengan pendekatan analitik observasional dengan desain Cross

Sectional Study. Peneliti memilih jenis penelitian yang berhubungan dengan

studi rancangan cross sectional study kerenamerupakan penelitian yang

pengambilan data variable independen dan dependen hanya dilakukan satu

kali dan pada waktu yang bersamaan (Nursalam,2016).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan pencegahan Healthcare Associated Infection (HAIs) di

Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau tahun 2021.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian

Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Kota

Baubau tahun 2021

2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli– Agustus 2021


43

C. Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat yang

berstatus PNS dan non PNS di ruang rawat inap interna dan flamboyan

RSUD Kota Baubau yaitu sebanyak 37 orang.

2. Sampel
42
Sampel dalam penelitian ini menggunakan total sampling, dimana

semua populasi digunakan sebagai sampel yaitu berjumlah 37 orang.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi dalam sampel ini yaitu :

a. Kriteria inklusi

1) Semua perawat yang bekerja di ruang perawatan interna dan

flamboyan RSUD Kota Baubau.

2) Perawat yang bersedia untuk menjadi responden.

b. Kriteria eksklusi

1) Perawat yang sedang sakit atau berhalangan pada saat dilakukan

penelitian

3. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel menggunakan metode total sampling. Total

samplingmerupakan teknik pengambilan sampel dimana jumlah sampel

sama dengan populasi. Alasan mengambil total samplingkarena jumlah

populasi yang kurang dari 100 (Sugiyono, 2009).

D. Instrumen Penelitian

1. Pencegahan Healthcare Associated Infection (Hais)


44

Pencegahan Healthcare Associated Infection (Hais)pada penelitian ini

diukur menggunakan skala likert. Skoringberdasarkan jawaban yang

benar diberi nilai tidak pernah (1), hamper tidak pernah (2), kadang-

kadang (3), sering (4), dan selalu (5). Kuesioner diadopsi dari

penelitianCitra Yuliana (2012).

2. Pengetahuan

Pengetahuan pada penelitian ini diukur menggunakan skala guttman.

Skoringberdasarkan jawaban yang benar diberi nilai (1), dan jawaban

yang salah diberi nilai(0). Kuesioner diadopsi dari penelitian (Zakiyah

Ramdlani, 2017).

3. Sikap

Sikap pada penelitian ini diukur menggunakan skala likert.

Skoringberdasarkan jawaban yang benar diberi nilai tidak pernah (1),

hampir tidak pernah (2), kadang-kadang (3), sering (4), dan selalu (5).

Kuesioner diadopsi dari penelitian(Hernawati Simanjuntak, 2018).

4. Tindakan / Praktik

Tindakan / Praktikpada penelitian ini diukur menggunakan skala likert.

Skoringberdasarkan jawaban yang benar diberi nilai tidak pernah (1),

hampir tidak pernah (2), kadang-kadang (3), sering (4), dan selalu (5).

Kuesioner diadopsi dari penelitian (Hernawati Simanjuntak, 2018).

E. Metode Pengumpulan Data

1. Data primer
45

Data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti melalui

wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan kuesioner yang telah

disediakan oleh peneliti.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat dari dokumen tertulis tim

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) RSUD Kota Baubau.

F. Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data dalam penelitian dilakukan dengan tahapan-

tahapan sebagai berikut:

1. Editing, berarti suatu proses mengedit atau pemeriksaan kembali terkait

kebenaran data yang diperoleh atau yang sudah dikumpulkan peneliti,

baik setelah tahap pengumpulan data maupun saat mengumpulkan data

(Hidayat, 2014). Lembar observasi dalam penelitian ini langsung peneliti

periksa kembali terkait kelengkapan data baik dari identitas responden

ataupun dari penilaian pada lembar observasi yang belum terjawab

begitu peneliti telah selesai mengisi lembar observasi.

2. Coding ialah proses dalam pemberian kode berupa angka (numerik) atau

pengelompokan data menurut kategori masing-masing data. Coding

disini bertujuan untuk memudahkan peneliti dalam memasukkan,

mengelompokkan, serta menganalisa data (Hidayat, 2014).

3. Scoring, melakukan pemberian skor dari jawaban responden.

4. Data entry merupakan metode pemindahan data yang telah dilakukan

pengkodean sebelumnya ke dalam tabel atau database komputer untuk


46

selanjutnya dilakukan pemprosesan data sehingga dapat dianalisis

(Hidayat, 2014). Data yang telah diperoleh peneliti kemudian dipindah

ke dalam tabel yang telah tersedia sesuai dengan pengkodean kedalam

komputer melalui aplikasi software IBM SPSS Statistic.

5. Cleaning adalah proses pemeriksaan kembali atau pengecekan ulang

terkait data yang telah dimasukkan sebelumnya untuk menghindari

terjadinya kesalahan data atau kesalahan hasil analisis (Dwiastuti, 2017).

Peneliti disini selalu melakukan pemeriksaan kembali atau pengecekan

ulang terhadap data yang sudah dimasukkan sebelumnya baik

kemungkinan terjadinya kesalahan kode maupun ketidaklengkapan data.

Apabila terjadi kesalahan, maka peneliti menghapus dan memperbaiki

data tersebut.

Data disajikan dengan menggunakan komputer program SPSS versi 22for

windows, dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi serta dilengkapi dengan

penjelasan.

G. Metode Analisa Data

1. Analisis univariat

Analisis univariat adalah analisa yang dilakukan untuk

menganalisa tiap variabel dari hasil penelitian (Notoatmodjo, 2010).

2. Analisis bivariat

Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan untuk menguji ada

atau tidaknya pengaruh antara variabel independen dengan variabel

dependen (Sugiyono, 2007). Untuk Mengatahui ada hubungan antara


47

Variabel dependen dan independen Maka digunakan Uji Chi-Square (X2)

dengan Koreksi yates (Yates Correction) yang menggunakan Tabel 2x2

dan dengan nilai harapan > 5 dengan menggunakan rumus:

Tabel 3.1 Chi-Square 2x2


Variabel Variabel Independen
Jumlah
Dependent Kategori 1 Kategori 2
Kategori 1 A B a+b
Kategori 2 C D c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d

Interpretasi :

a. Jika p< 0,05 Maka Ho di tolak Ha diterima artinya ada hubungan

antara Variabel independen dengan variabel dependen.

b. Jika P> 0,05 Maka Ho di terima Ha ditolak artinya tidak ada

hubungan antara Variabel independen dengan variabel dependen.

apabila ada nilai harapan dengan < 5 maka digunakan uji fisher

exact test.

H. Etika Penelitian

1. Informed Consent ( persetujuan tindakan )

Informed Consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan,

dengan tujuan agar subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian,

mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus

menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka

peneliti harus menghormati hak responden.

2. Anonimity (Tanpa Nama)


48

Dalam pengisian format pengumpulan data responden namanya, tidak

perlu mencamtumkan namanya namun cukup menuliskan nomor kode saja

untuk menjamin kerahasiaan identitasnya.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Semua informasi yang dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh

peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil

riset.

I. Alur Penelitian
Studi pustaka

Permohanan Pengambial Data Awal

Pengambilan Data Awal

Pembuatan Proposal Penelitian

Populasi
Permohonan
Perawat yang berstatus PNS dan non PNS di ruang
izin penelitian
rawat inap interna dan bedah RSUD Kota Baubau

Teknik Sampling = Menggunakan total sampling

Kriteria inklusi Kriteria eksklusi

Sampel
37 perawat di ruang interna dan flamboyan

Informend Consent

Pengisian Kuosioner

Pengolahan Data
49

Analisis Data
2
Uji Chi-Square (X ) dengan Koreksi yates (Yates Correction)

Penyajian Data

Kesimpulan dan Saran

Gambar 3.2 Alur Penelitian Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Pencegahan Healthcare Associated Infection (HAIs) di Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

J. Jadwal Penelitian

Jadwal kegiatan penelitian yang telah dilakukan terlihat pada tabel

berikut:

Tabel 3.3 Jadwal Penelitian


Bulan/2021
No Nama Kegiatan
April Mei Juni Juli Agustus September
Permohonan usulan judul
1
penelitian
Pengambilan data awal
2
penelitian
Proses pembuatan proposal
3
penelitian
Konsultasi proposal
4
penelitian
5 Ujian proposal
6 Perbaikan proposal
7 Penelitian
8 Proses penyusunan skripsi
9 Konsultasi skripsi
10 Ujian hasil dan perbaikan
11 Ujian tutup
12 Pengesahan
50

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Gambaran Lokasi Penelitian

a. Profil

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13

Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Baubau, maka RSUD

Kabupaten Buton diserahkan kepada Pemerintah Kota Baubau dan

berubah nama menjadi RSUD Kota Baubau. Hal tersebut sejalan

dengan penyerahan aset-aset Pemerintah Kabupaten Buton yang ada

di wilayah administratif Kota Baubau kepada Pemerintah Kota

Baubau, termasuk seluruh SDM yang ada di RSUD Kabupaten

Buton tersebut.Pada bulan Agustus tahun 2008 rumah sakit pindah di

Palagimata dan beroperasi secara penuh dengan status kepemilikin

oleh Pemerintah Kota Baubau.

b. Letak Geografis

Rumah Sakit  Umum Daerah Kota Baubau secara geografis

terletak di Kecamatan Murhum bagian utara diantara 5º47’-5º48’

Lintang Selatan dan 122º59’-122º60’ Bujur Timur, berlokasi di Jalan


51

Drs. H. La ode Manarfa No.20 Kelurahan Baadia,Kecamatan

Murhum, Kota Baubau, dengan luas tanah 6000 m² dan luas

bangunan 2071,10 m². Dengan lokasi yang sangat strategis dan

dikelilingi oleh pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, sosial dan

budaya sehingga sangat potensial untuk pengembangan di masa

mendatang.

RSUD Kota Baubau merupakan rumah sakit rujukan bagi

fasilitas kesehatan yang menjadi milik Pemerintah Kota Baubau

untuk itu keadaan geografis dan demografi RSUD Kota Baubau

digambarkan dari keadaan geografis dan demografi Kota Baubau.

c. Lingkungan Fisik

Seiring dengan pertumbuhan penduduk Kota Baubau dan

perkembangan pembangunan wilayah Kota Baubau, sarana dan

prasarana rumah sakit yang ada dinilai sudah tidak layak lagi, maka

sejak tahun 2002 Pemerintah Kota Baubau merencanakan relokasi ke

tempat yang lebih luas di kawasan Palagimata. Pembangunan fisik

secara bertahap dimulai tahun 2003 diatas lahan seluas 4 Hadan luas

bangunan 2071,10 m².

d. Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Pelayanan yang telah diselenggarakan RSUD Kota Baubau

melayani 8 poliklinik dan 5 penunjang medis terdiri dari :

1) Poliklinik

a.) Poliklinik Umum


52

b.) Poliklinik Gigi

c.) Poliklinik Penyakit Dalam

d.) Poliklinik Kesehatan Anak

e.) Poliklinik Penyakit Bedah

f.) Poliklinik Obstetri dan Gynekologi

g.) Poliklinik Mata

h.) Poliklinik THT

i.) Poliklinik Edelweis

2) Instalasi penunjang medik

a.) Instalasi Radiologi

b.) Instalasi Rehabilitasi Medik

c.) Instalasi Laboratorium

d.) Instalasi Gizi

e.) Instalasi Farmasi

3) Sarana pelayanan rawat inap dilaksanakan di ruang perawatan:

a.) Ruang Perawatan Penyakit Dalam

b.) Ruang Perawatan Bedah

c.) Ruang Perawatan Anak

d.) Ruang Perawatan Obstetri dan Gynekologi

e.) Ruang Perawatan Intensif (ICU)

f.) Ruang Perawatan Perinatologi

Dalam menunjang pelaksanaan tupoksinya, RSUD Kota

Baubau telah dilengkapi sarana pelayanan medis, pelayanan


53

penunjang medis, dan pelayanan non medis. Dari segi jumlah, secara

umum, sarana dan prasarana tersebut belum memadai. Hal ini

disebabkan karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi kesehatan sehingga sarana dan prasarana penunjang masih

perlu ditingkatkan dimasa mendatang dalam rangka mengoptimalkan

pelayanan kepada masyarakat.

2. Karakteristik Responden

Tabel 4.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur Di Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Umur Frekuensi Persentase (%)
28-33 22 59,5
34-39 12 32,4
>40 3 8,1
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar memiliki umur kisaran 28-33 tahun yaitu sebesar 22

responden (59,5%), dan sebagian kecil memiliki umur >40 tahun yaitu 3

responden (8,1%).

Tabel 4.2
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis KelaminDi
Ruang Perawatan Bedah dan Interna
RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-Laki 3 8,1
Perempuan 34 91,9
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
54

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar berjenis kelamin perempuan yaitu 34 responden (91,9%)

dan sebagian kecil berjenis kelamin laki-laki yaitu 3 responden (8,1%).

Tabel 4.3
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan PendidikanDi Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
D3 30 81,1
Ners 7 18,9
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar berpendidikan D3 yaitu 30 responden (81,1%) dan

sebagian kecil berpendidikan Ners yaitu 7 responden (18,9%).

Tabel 4.4
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Lama KerjaDi Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Lama Kerja Frekuensi Persentase (%)
3-8 19 51,4
9-14 13 35,1
15-20 4 10,8
>20 1 2,7
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar memiliki lama kerja 3-8 tahun yaitu 19 responden

(51,4%) dan sebagian kecil mmiliki lama kerja >20 tahun yaitu 1

responden (2,7%).
55

Tabel 4.5
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Status PegawaiDi
Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Status Pegawai Frekuensi Persentase (%)
PNS 12 32,4
Non PNS 25 67,6
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar berstatus PNS yaitu 12 responden (32,4%) dan sebagian

kecil berstatus Non PNS yaitu 25 responden (67,6%).

Tabel 4.6
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pelatihan HAIsDi
Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pelatihan HAIs Frekuensi Persentase (%)
Pernah 5 13,5
Tdk Pernah 32 86,5
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.6 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar tidak pernah mengikuti pelatihan HAIs yaitu 32

responden (86,5%) dan sebagian kecil pernah mengikuti pelatihan HAIs

yaitu 5 responden (13,5%).


56

3. Analisis Univariat

a. Pengetahuan

Tabel 4.7
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pengetahuan Di
Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pengetahuan Frekuensi Persentase (%)
Baik 24 64,9
Kurang 13 35,1
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar pengetahuan baik yaitu 24 responden (64,9%) dan

sebagian kecil pengetahuan kurang yaitu 13 responden (35,1%).

b. Sikap
Tabel 4.8
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sikap Di Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Sikap Frekuensi Persentase (%)
Baik 32 86,5
Kurang 5 13,5
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
57

Berdasarkan tabel 4.8 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar sikap baik yaitu 32 responden (86,5%) dan sebagian kecil

sikap kurang yaitu 5 responden (13,5%).

c. Tindakan
Tabel 4.9
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Tindakan Di Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Tindakan Frekuensi Persentase (%)
Baik 26 70,3
Kurang 11 29,7
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.9 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar tindakan baik yaitu 26 responden (70,3%) dan sebagian

kecil tindakan kurang yaitu 11 responden (29,7%).

d. Pencegahan HAIs

Tabel 4.10
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pencegahan HAIs Di
Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pencegahan HAIs Frekuensi Persentase (%)
Baik 30 81,1
Kurang 7 18,9
Total 37 100,0
Sumber : Data Primer, 2021
58

Berdasarkan tabel 4.10 menunjukan bahwa dari 37 responden

sebagian besar pencegahan HAIs baik yaitu 30 responden (81,1%) dan

sebagian kecil pencegahan HAIs kurang yaitu 7 responden (18,9%).

4. Analisis Bivariat

Tabel 4.11
Hubungan Pengetahuan Dengan Pencegahan HAIs Di Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pencegahan HAIs
Pengetahua Total Nilai 
Baik Kurang
n
n % n % n %
Baik 23 95,8 1 4,2 24 100
Kurang 7 53,8 6 46,2 13 100 0.04
Total 30 81,1 7 18,9 37 100
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.11 di atas menunjukan bahwa dari 24

responden yang memiliki pengtahun baik serta memiliki kategori

pencegahan HAIs baik yaitu 23 responden (95,8), dan pencegahan HAIs

kurang yaitu 1 responden (4,2%). Sedangkan dari 13 responden yang

memiliki pengetahuan kurng serta memiliki pecegahan HAIs yang baik

yaitu 7 responden (53,8%) dan pencegahan HAIs kurng yaitu 6 responden

(46,2%).
59

Berdasarkan hasil uji korelasi chi-square, nilai hasil uji pearson

chi-square dengan SPSS versi 22 dengan signifikasi ρ = 0,04 < 0,05 maka

Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD

Kota Baubau Tahun 2021.

Tabel 4.12
Hubungan Sikap Dengan Pencegahan HAIs Di Ruang Perawatan
Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pencegahan HAIs
Total Nilai 
Sikap Baik Kurang
n % n % n %
Baik 28 87,5 4 12,5 32 100
Kurang 2 40,0 3 60,0 5 100 0.037
Total 30 81,1 7 18,9 37 100
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.12 di atas menunjukan bahwa dari 32

responden yang memiliki sikap baik serta memiliki kategori pencegahan

HAIs baik yaitu 28 responden (87,5), dan pencegahan HAIs kurang yaitu 4

responden (12,5%). Sedangkan dari 5 responden yang memiliki sikap

kurang serta memiliki pecegahan HAIs yang baik yaitu 2 responden

(40,0%) dan pencegahan HAIs kurang yaitu 3 responden ( 60,0%).

Berdasarkan hasil uji korelasi chi-square, nilai hasil uji pearson

chi-square dengan SPSS versi 22 dengan signifikasi ρ = 0,037 < 0,05


60

maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara sikap dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD

Kota Baubau Tahun 2021.

Tabel 4.13
Hubungan Tindakan Dengan Pencegahan HAIs Di Ruang
Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota Baubau
Tahun 2021
Pencegahan HAIs
Total Nilai 
Tindakan Baik Kurang
n % n % n %
Baik 26 100 0 0,0 26 100
Kurang 4 36,4 7 63,6 11 100 0.00
Total 30 81,1 7 18,9 37 100
Sumber : Data Primer, 2021
Berdasarkan tabel 4.13 di atas menunjukan bahwa dari 26

responden yang memiliki tindakan baik serta memiliki kategori

pencegahan HAIs baik yaitu 26 responden (100%), dan pencegahan HAIs

kurang yaitu 0 responden (10,0%). Sedangkan dari 11 responden yang

memiliki tindakan kurang serta memiliki pecegahan HAIs yang baik yaitu

4 responden (36,4%) dan pencegahan HAIs kurang yaitu 7 responden

(63,6%).
61

Berdasarkan hasil uji korelasi chi-square, nilai hasil uji pearson

chi-square dengan SPSS versi 22 dengan signifikasi ρ = 0,00 < 0,05 maka

Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan antara tindakan dengan pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota

Baubau Tahun 2021.

B. Pembahasan

1. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) Di Ruang Perawatan Bedah Dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang karena dari pengalaman dan penelitian

ternyata perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng

daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan

pada umumnya datang dari penginderaan yang terjadi melalui panca

indra manusia, yaitu indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

dan raba (Notoatmodjo, 2010). Salah satu upaya untuk meningkatkan

pengetahuan individu adalah melalui pendidikan dan pelatihan baik

secara formal maupun informal, termasuk pengetahuan tentang segala


62

sesuatu yang berisiko terhadap terjadinya infeksi nosokomial. Hal ini

karena perawat merupakan tenaga medis yang setiap hari mempunyai

kontak langsung dengan pasien dan ruangan dalam rumah sakit

(Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan hasil uji korelasi chi-square, nilai hasil uji pearson

chi-square dengan SPSS versi 22 dengan signifikasi ρ = 0,04 < 0,05

maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna

RSUD Kota Baubau Tahun 2021.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa banyak

responden mempunyai pengetahuan dan pencegahan HAIs yang baik hal

ini dikarenakan tingkat pengetahuan seseorang juga mempengaruhi

praktik individu, yang mana makin baik pengetahuan seseorang maka

makin baik pula praktik sesorang untuk melakukan pencegahan infeksi

nosokomial. Dan untuk tingkat pengetahuan kurang hal di karenakan

kurangnya pelatihan atau seminar kesehatan khususnya tentang

Healthcare Associated Infection (HAIs) yang diikuti oleh responden serta

kurangnya komunikasi efektif yang dilakukan antar perawat..

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Arda Krisnata

(2016)di Ruang Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang, bahwa hasil uji

menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan


63

infeksi nosokomial, dimana hal ini dibuktikan dengan nilai signifikan

variabel pengetahuan diperoleh sebesar (p-value = 0,014).

Sejalan dengan penelitian Puspasari (2015) dengan judul

hubungan pengetahuan, sikap dengan praktik perawat dalam pencegahan

infeksi nosokomial di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Islam Kendal.

Analisis data dengan menggunakan Spearman Rho. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan praktik

perawat dalam pencegahan infeksi nosokomial di Ruang Rawat Inap

Rumah Sakit Islam Kendal dengan nilai p value 0,002 dan 0,017.

Hasil penelitian berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Sukardjo (2011) menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara

pengetahuan perawat tentang kontrol infeksi nosokomial terhadap infeksi

nosokomial di rumah sakit Sultan Agung.

Yunita (2015), mendeskripsikan bahwa semakin tinggi

pengetahuan, semakin sadar seorang perawat untuk melakukan

pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial. Adanya pengetahuan

akan infeksi nosokomial hal tersebut bisa berpengaruh pada praktik

individu, untuk melakukan pencegahan infeksi nosokomial.

2. Hubungan Antara Sikap Dengan Pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) Di Ruang Perawatan Bedah Dan Interna RSUD

Kota Baubau Tahun 2021.

Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih

tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap secara nyata


64

menunjukan adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang

dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional

terhadap stimulus social. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi

terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghaytan terhadap

objek. Tingkatan sikap terdiri dari 4 tingkatan yaitu : menerima diartikan

bahwa responden mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan,

kemudian merespon dan menghargai dan tingkatan terakhir adalah

bertanggung jawab dengan segala resiko (Notoatmodjo, 2010).

Berdasarkan hasil uji korelasi chi-square, nilai hasil uji pearson

chi-square dengan SPSS versi 22 dengan signifikasi ρ = 0,037 < 0,05

maka Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa ada hubungan antara sikap dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD

Kota Baubau Tahun 2021.

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa banyak

responden mempunyai sikap yang baik hal mengindikasikan bahwa

semakin baik sikap perawat tentang berbagai upaya pencegahan infeksi

nosokomial di rumah sakit maka akan semakin kecil risiko terhadap

terjadinya infeksi nosokomial pada pasien, perawat, tenaga medis lain atau

pengunjung rumah sakit. Sikap perawat tersebut didasarkan pada sikap

menggunakan peralatan medis yang terlebih dahulu disterilkan,

menggunakan pelindung diri seperti sarung tangan sebelum melakukan

tindakan. Dan untuk sikap yang kurang hal ini di sebabkan rendahnya
65

tanggung jawab responden terhadap kewaspadaan standar tentang

kebersihan tangan, dimana responden tidak mencuci tangan dibawah air

mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan. Sikap perawat yang

kurang akan berdampak terhadap tindakan pencegahan infeksi nosokomial

di rumah sakit.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hernawati

Simanjuntak (2018) berdasarkan hasil diperoleh p valuesebesar 0,017 dan

oleh karena nilai p value (0,017 < 0,05), sehingga adahubungan antara

sikap dengan tindakan pencegahan infeksi nosokomial padatenaga kerja

perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Martha Friska Medantahun

2018.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian Setiyawati (2008) yang

menyatakan bahwa, adahubungan yang bermakna p value 0,034 antara

sikap dengan perilaku kepatuhanperawat dalam pencegahan infeksi luka

operasi di ruang rawat inap Rumah SakitUmum Daerah dr. Moewardi

Surakarta.

Sejalan dengan penelitian Penelitian yang dilakukan oleh Suminar

(2016) dengan judul Hubungan pengetahuan dan sikap perawat dengan

tindakan pencegahan infeksi di ruang ICU Rumah Sakit Tk II Putri

Hijau.Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis univariat

dan bivariat (Chi- Square). Pengujian Hipotesis dilakukan pada taraf

signifikansi 0,05 atau 95%.Hasil penelitian ini menunjukan variabel yang

memiliki hubungan dengan tindakan pencegahan infeksi pengetahuan ρ=


66

0,024 < α= 0,05 dan sikap ρ=0,026<α=0,05. dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa terdapat hubungan pengetahuan dan sikap perawat

dengan tindakan pencegahan infeksi di ruang ICU.

3. Hubungan Antara Tindakan Dengan Pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) Di Ruang Perawatan Bedah Dan Interna RSUD Kota

Baubau Tahun 2021.

Tindakan adalah sesuatu gerak kegiatan yang sengaja dilakukan

dengan tujuan tertentu, yang dalam penelitian ini berbentuk rangkaian

siklus kegiatan (Arikunto, 2019).Seseorang yang telah mengetahui

stimulus atau obyek kesehatan, kemudian mengadakan penilaian atau

pendapat terhadap apa yang diketahui, selanjutnya diharapkan akan

dilaksanakan atau dipraktikan apa yang diketahui atau disikapinya (nilai

baik) (Notoatmodjo, 2012). Purwanto (2011) tindakan merupakan aturan

yang dilakukan, melakukan atau mengadakan aturan-aturan untuk

mengatasi sesuatu atau perbuatan. Adanya hubungan yang erat antara

sikap dan pengetahuan merupakan kecenderungan untuk bertindak.

Berdasarkan hasil uji korelasi chi-square, nilai hasil uji pearson

chi-square dengan SPSS versi 22 dengan signifikasi ρ = 0,00 < 0,05 maka

Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

ada hubungan antara tindakan dengan pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) di Ruang Perawatan Bedah dan Interna RSUD Kota

Baubau Tahun 2021.


67

Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa banyak

responden mempunyai tindakan yang baik di karenakan responden

menjalankan atau mematuhi pencegahan HAIs dengan baik. Dan tindakan

yang kurang di sebabkan oleh beberapa faktor yang membuat perawat

berperilaku kurang antara lain disebabkan karena kurangnya sarana yang

mendukung pelayanan keperawatan seperti wastafel cuci tangan di ruang

perawatan bedah dan tidak ada alat pengering tangan. Perilaku kurang

baik yang dilihat saat observasi dan pernyataan responden saat mengisi

kuesioner yaitu perawat tidak mencuci tangan di bawah air mengalir

menggunakan sabun sebelum dan sesudah melakukan tindakan atau

kontak dengan pasien.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Andi Amran (2016)

terdapat hubungan antara tindakan dengan pencegahan infeksi

nosokomial di ruang rawat inap rumah sakit umumdaerah haji kota

makassar tahun 2016.

Sejalan dengan penelitian Zulkarnain (2018) ada hubungan antara

tindakan perawat dengan pencegahan infeksi nosokomial (phlebitis) di

ruang perawatan interna RSUD Bima tahun 2018 dengan nilai p = 0,023,
68

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan Healthcare

Associated Infection (HAIs) di ruang perawatan bedah dan interna RSUD

Kota Baubau tahun 2021 dengan nilai p = 0.04

2. Ada hubungan antara sikap dengan pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) di ruang perawatan bedah dan interna RSUD Kota

Baubau tahun 2021 dengan nilai p = 0.037

3. Ada hubungan antara tindakan dengan pencegahan Healthcare Associated

Infection (HAIs) di ruang perawatan bedah dan interna RSUD Kota

Baubau tahun 2021 dengan nilai p = 0.00


69

B. Saran

1. Diharapkan pada responden yang memiliki pengetahuan rendah agar

meningkatkan pengetahuannya khususnya mengenai Healthcare

Associated Infection (HAIs) yaitu dengan mengikuti pelatihan atau

seminar kesehatan khususnya tentang HAIsatau dengan cara mencari

informasi tentang HAIs melalui media informasi seperti internet, majalah

dan bulletin.

2. Diharapkan pengetahuan yang di peroleh melalui pelatihan dan media

informasi yang di dapat bisa terbentuk sikap positif yang baik,

sehinggadapat merubah sikap perawat dan meningkatkan kualitas

pelayanan keperawatan

3. Diharapkan pada responden yang memiliki tindakan kurang dapat


69
menjauhi sifat apatis dan diharapkan melakukan evaluasi diri dan

menyadari pentingnya pencegahan infeksi nosokomial sehingga dapat

meningkatkan pelayanan pada pasien.

Anda mungkin juga menyukai