Anda di halaman 1dari 13

PATIENT SAFETY

A. Pendahuluan
Kualitas, keselamatan dan risiko merupakan komponen kunci
yang mendukung pelayanan kesehatan. Meskipun terjadi kemajuan
besar dalam perawatan klinis bersama inovasi teknologi, risiko
bahaya iatrogenik untuk pasien tetap cukup besar(Tingle, & Bark,
2011).
IOM mendefinisikan keselamatan pasien adalah pencegahan
hal yang membahayakan pasien. Penekanan ini ditempatkan pada
sistem pemberian perawatan untuk mencegah kesalahan, belajar dari
kejadian kesalahan yang terjadi dan dibangun di atas budaya
keselamatan yang melibatkan para profesional perawatan kesehatan,
organisasi, dan pasien. Dalam kamus/daftar istilah dari AHRQ
Patient Safety Network Website, memperluas definisi pencegahan
bahaya yaitu kebebasan dari kecelakaan atau pencegahan cedera
diakibatkan oleh perawatan medis(Hughes, 2008).
Pada tahun 1994 berdasarkan ahli bedah Harvard, Lucian
Leape yang menerbitkan sebuah makalah yang merangkum bukti
yang menunjukkan bahwa adanya tingkat kesalahan dalam
pengobatan yang sangat tinggi. Juga terdapat laporan statistik
menunjukkan bahwa kesalahan medis sering menjadi penyebab
kematian yang tidak perlu di antara pasien yang menjalani
pengobatan di berbagai pengaturan kesehatan misalnya rumah
sakit(Waterson, 2014). Leape (2000) dikutip dalam (Waterson, 2014),
laporan statistik yang ada dari Institute of Medicine (IOM) yang
menunjukkan bahwa antara 44.000 dan 98.000 orang meninggal di
rumah sakit AS setiap tahun sebagai akibat dari kesalahan medis.
Vincent (2010) dikutip dalam Zipperer (2014) diktum yang
terkenal “First, do no harm” yang dikaitkan dengan Hippocrates,
menyarankan dokter untuk "menjauhkan diri dari merugikan atau

1
menganiaya siapa pun", ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap
keselamatan perawatan medis. Sharpe dan Faden (1998) dikutip
dalam (Zipperer, 2014), Florence Nightingale pada tahun 1863
menulis, "persyaratan pertama dari sebuah rumah sakit adalah yang
seharusnya dilakukan dengan tidak membahayakan orang sakit.
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2
mei 2007, menerbitkan panduan “Nine Life-Saving Patient Safety
Solutions”. Salah satu solusinya yaitu pencegahan dan pengurangan
risiko infeksi akibat pelayanan kesehatan. Untuk mencegah risiko
infeksi diterapkan beberapa langkah yaitu rumah sakit
mengembangkan kebijakan pencegahan infeksi, dibuatnya panduan
pencegahan infeksi, menyediakan fasilitas dan sosialisasi cuci
tangan/hand hygiene(Kementerian Kesehatan RI, 2015).
Kontak langsung antara pasien dan petugas kesehatan yang
yang secara sementara terkontaminasi dengan patogen nosokomial
diyakini menjadi rute utama penularan selama beberapa organisme
dan dapat menyebabkan pasien menjadi terjajah atau terinfeksi.
Meskipun kebersihan tangan adalah secara luas dianggap sebagai
kegiatan yang paling penting bagi pencegahan infeksi
nosokomial(Luangasanatip et al., 2015).

B. Dampak Infeksi Terhadap Penerima Pelayanan


WHO memperkirakan bahwa puluhan juta pasien di seluruh
dunia menderita dan mengalami cedera atau kematian setiap tahun
akibat praktek medis yang tidak aman dan tidak memperhatikan.
Hampir satu dari sepuluh pasien dirugikan saat menerima perawatan
kesehatan rumah sakit berteknologi maju. Hanya ada sedikit bukti
tentang perawatan yang tidak aman di negara-negara berkembang di
mana ada kemungkinan untuk menjadi risiko yang lebih besar dari
membahayakan pasien karena keterbatasan infrastruktur, teknologi
dan sumber daya manusia(World Health Organization, 2008). Infeksi

2
akibat pelayanan rumah sakit diperkirakan terjadi pada 5 persen dari
semua rumah sakit perawatan, atau 2 juta kasus per infeksi tahun.
Infeksi karena pelayanan rumah sakit telah diidentifikasi sebagai
salah satu isu keselamatan pasien yang paling serius dalam
perawatan kesehatan. Infeksi terkait pelayanan di rumah sakit dua kali
lipat lebih banyak mengakibatkan risiko kematian dan kesakitan untuk
pasien rawat inap, mengakibatkan sekitar 20.000 kematian per tahun.
Infeksi yang terjadi karena pelayanan kesehatan memiliki dampak
yang signifikan terhadap morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup dan
menjadi beban ekonomi di tingkat masyarakat(Hughes, 2008).

C. Fenomena nyata kejadian infeksi terkait pelayanan kesehatan di


dunia.
Di seluruh dunia, 5% -10% dari pasien memperoleh infeksi
nosokomial, dengan tingkat prevalensi 20% -30% untuk pasien yang
dirawat intensif peduli Unit (ICU). Terdapat 80.000 kematian di
Amerika Serikat dan 5.000 kematian di Inggris dalam dua dekade
terakhir yang tejadi karena infeksi terkait pelayanan rumah
sakit(Erasmus et al., 2010). Empat jenis infeksi nasokomial yaitu
infeksi kateter terkait saluran kemih, infeksi aliran darah, infeksi luka
operasi dan ventilator-associated pneumonia. Tingkat kematian
karena infeksi ini pada pasien dewasa di Amerika Latin, Asia dan
Afrika 18,5%, 23,6% dan 29,3% terkait untuk infeksi kateter saluran
kemih, infeksi aliran darah dan ventilator-associated pneumonia
(VAP). Kejadian infeksi luka operasi 11,8 per 100 pasien yang
menjalani prosedur bedah. Infeksi luka operasi adalah yang paling
sering dari infeksi nosokomial dan tingkat risiko yang secara signifikan
lebih tinggi daripada di negara-negara maju(World Health
Organization., 2016).

3
D. Faktor Pendukung
1. Adanya pedoman manajerial pencegahan dan pengendalian
infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya.
Untuk meningkatkan mutu dan kualitas pelayanan rumah
sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dalam mencegah dan
mengendalikan terjadinya infeksi maka diterbitkan pedoman
pencegahan dan pengendalian infeksi. Pedoman ini yang akan
menjadi panduan dalam menyusun dan melaksanakan tugas,
program dan tanggung jawab dalam pencegahan infeksi.
Pedoman ini juga menjadi panduan dalam memantau dan
mengevaluasi pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit(Kementerian Kesehatan RI, 2011).
2. Keterlibatan Kepemimpinan.
Keterlibatan pemimpin dalam kebersihan tangan yang
secara teratur melakukan pertemuan yang membahas kebersihan
tangan, data kinerja tim, dan bagaimana untuk membuat
tambahan pemantauan diri dan umpan balik bagi individu.
Menetapkan tujuan kepatuhan hand hygiene yang harus dipenuhi.
Panduan pelaksanaan hand hygiene dan perlengkapan
kebersihan tangan. Membahas hand hygiene dalam suatu
pertemuan bersama dengan unit pelayanan perawatan
menunjukkan perbaikan yang signifikan akan kepatuhan
melakukan hand hygiene(Aboumatar et al., 2012).
3. Tersedianya bahan hand hygiene berbasis alkohol dan gel.

Faktor ini selalu menyebabkan kepatuhan yang lebih tinggi


dibandingkan dengan mencuci tangan dengan menggunkan
sabun (handscrub). Tersedianya sarana cuci tangan berbasis
alkohol baik dalam bentuk botol atau dispenser di dinding dan

4
sekitar tempat tidur pasien meningkatkan kebersihan tangan yang
lebih baik dan meningkatkan self-efficacy./////////?????

Penelitian menunjukkan bahwa pengenalan dispenser


pembersih tangan berbasis alkohol di samping tempat tidur adalah
strategi yang efektif untuk mengendalikan infeksi luka operasi.
Dengan meningkatnya kejadian infeksi nosokomial di negara-
negara kurang berkembang, intervensi ini sangat penting untuk
meningkatkan kesembuhan pasien, terutama di fasilitas kesehatan
yang mempunyai cukup fasilitas cuci tangan. Peningkatan
kepatuhan dengan prosedur kebersihan tangan melalui samping
tempat tidur alkohol berbasis pembersih tangan dapat mengurangi
tingkat infeksi luka operasi, yang nantinya mungkin mengurangi
penggunaan antibiotik dan resisten terhadap obat.(Thu et al.,
2007).

E. Faktor Penghambat
1. Rendahnya kepatuhan perawat melakukan hand hygiene.
Penelitian yang dilakukan di salah satu RS di kota Malang
diperoleh hasil bahwa kepatuhan perawat dalam mencuci tangan
sebelum kontak dengan pasien sangat rendah(Ernawati, Rachmi,
& Wiyanto, 2014). Review studi kebersihan tangan oleh
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan bahwa
kepatuhan dasar terhadap kebersihan tangan di kalangan pekerja
kesehatan itu rata-rata hanya 38,7% atau berkisar 5-89%
(Luangasanatip et al., 2015).
2. Kepatuhan kebersihan tangan petugas medis (dokter) rendah.
Kepatuhan melakukan hand hygiene oleh dokter umumnya
rendah. Kekhawatiran dokter tentang efek merugikan kulit mereka
sendiri dengan sering mencuci tangan yang menjadi penyebab
jarangnya mencuci tangan yang berdampak pada rendahnya

5
kepatuhan, melakukan hand hygiene(Duggan, Hensley, Khuder,
Papadimos, & Jacobs, 2008).
3. Tidak dilakukannya prosedur hand hygene dengan tepat dan
benar.
Tidak melakukan prosedur dan langkah-langkah cuci tangan
sebelum melakukan pemasangan kateter intravena menunjukkan
hasil terjadinya komplikasi/infeksi yang lebih tinggi setelah hari
kedua atau lebih dibandingkan dengan mencuci tangan sebelum
melakukan pemasangan kateter intravena(Wewalka, 2007).
Perawat merupakan persentase terbesar dari perawatan
kesehatan dan mereka adalah inti dari sistem perawatan
kesehatan, karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu
dengan pasien daripada petugas kesehatan lainnya, kepatuhan
mereka dengan pedoman cuci tangan tampaknya sangat penting
dalam mencegah penularan penyakit di antara pasien(Shinde &
Mohite, 2014).
4. Fasilitas dan sarana kebersihan tangan yang kurang.
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan seringkali
tidak mempunyai sarana dan prasarana yang tidak memadai
untuk menerapkan pelaksaanaan hand hygiene dalam rangka
mengendalikan infeksi. Mencuci tangan setelah melakukan kontak
antara satu pasien ke pasien yang lain tidak dapat dilakukan
karena kurang tersedianya wastafel dan sabun untuk akses cuci
tangan. Tidak semua bangsal perawatan memiliki sarana cuci
tangan (wastafel) begitupun dengan sarana kebersihan tangan
lainnya seperti handuk kering untuk mengeringkan tangan setelah
mencuci tangan(Thu et al., 2007).
5. Minimnya jumlah penyedia layanan kesehatan yang
berkualitas.
Secara global, 57 negara diperkirakan memiliki kekurangan
2,4 juta tenaga dokter, perawat dan bidan dan dengan demikian

6
menghadapi tantangan yang cukup besar dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan untuk meningkatkan kualitas dan keamanan
sistem kesehatan. Dengan jumlah tenaga kesehatan yang kurang
akan meningkatkan beban kerja, yang mengakibatkan kelelahan
sehingga pelayanan yang diberikan kurang optimal. Kelelahan
membuat tenaga kesehatan membuat 36% kesalahan medis yang
lebih serius dalam perawatan pasien yang menyebabkan
kecelakaan kerja sampai kematian pasien(Jha, Plaizier,
Larizgoitia, & Bates, 2010).

F. Solusi Penyelesaian Masalah


1. Pendidikan dan orientasi yang difokuskan dan berdasarkan
pada masalah kebersihan tangan.
Penelitian yang dilakukan oleh Jha et al., (2010),
menunjukkan bahwa pendidikan pentingnya kebersihan tangan
yang benar efektif meningkatkan kepatuhan tangan kebersihan.
Pendidikan kebersihan tangan harus dimasukkan sebagai bagian
dari orientasi program untuk semua staf sebelum bekerja di unit
perawatan. Program-program tersebut terus dilakukan dan
diperkuat untuk mencapai kepatuhan optimal. Pelaksanaan
pendidikan ini ini dapat menjadi bagian dari program audit
pengendalian infeksi sebagai umpan balik kepada staf untuk
mempertahankan kepatuhan kebersihan tangan. Penyediaan
sarana dan prasarana kebersihan dapat membantu untuk
memecahkan masalah umum terkait dengan mencuci tangan.
Dengan pendidikan ini para staf terutama di ruang
perawatan kritis menyadari bahwa protokol kebersihan tangan yang
tepat adalah penting untuk menurunkan tingkat infeksi nosokomial
dan dengan demikian meningkatkan perawatan pasien, mengurangi
lama hari rawat dan biaya perawatan(Jha et al., 2010).
2. Mengembangkan program promosi pencegahan infeksi

7
Terdapat beberapa langkah untuk melakukan promosi pencegahan
infeksi yaitu(Aboumatar et al., 2012) :
a. Kampanye dan komunikasi.
Pengembangan kampanye dimulai dengan analisis situasional,
penilaian kebutuhan pendidikan, dan pengumpulan ide promosi
awal dalam kelompok multidisiplin. Dirancang beberapa pesan
komunikasi yang dibagikan di beberapa sesi diskusi kelompok
informal. Pesan kampanye disebarluaskan pada individu dan
kelompok dengan menggunakan poster infeksi. Pesan
pencegahan disingkat dengan WIPES singkatan
W (Wash/ clean hand) : Cuci / tangan yang bersih.
I (Identify and isolate early) : Mengidentifikasi dan isolasi
dini.
P (Precautions use) : Kewaspadaan (menggunakan
gaun, sarung tangan, dan
masker).
E (Environment) : Lingkungan tetap bersih.
S (Share) : Bagi komitmen.

b. Pendidikan.
Metode pendidikan standar, permainan interaktif, dan
pembelajaran online. Kursus petunjuk tentang cara
bagaimana mengikuti standar pencegahan berbasis transmisi.
c. Optimalisasi lingkungan.
Pertemuan multidisiplin diadakan untuk mengeksplorasi faktor
yang berkontribusi terhadap kurangnya praktek hand hygiene
di lingkungan fisik rumah sakit. Menempatkan dispenser cuci
tangan (handrub dan handscrub) di pintu masuk ke semua
kamar pasien, antara tempat tidur pasien, dan di ruang publik
yang ditunjuk dikembangkan.
d. Pengukuran kinerja dan umpan balik.

8
Dilakukan pengamatan langsung perilaku hand hygiene seluruh
lembaga, dan umpan balik disesuaikan sistem pada kepatuhan
pelaksanaan hand hygiene. Termasuk didalamnya
menyediakan akses instrumen hand hygiene secara online
yang semua staf rumah sakit bisa akses, yang memberikan
laporan kepatuhan dan grafik pada tingkat unit. Laporan
kepatuhan hand hygiene juga dikirimkan secara elektronik ke
pimpinan dan manajer. Staf yang mendapatkan skor kepatuhan
yang tertinggi dan menjadi teladan dalam melakukan hand
hygiene diberikan penghargaan dan menampilkan foto-foto
mereka di rumah sakit untuk merangsang dan mengingatkan
orang lain mengingatkan orang lain untuk melakukan hand
hygiene. Sedangkan staf dengan skor kepatuhan masih
rendah, didorong untuk mengembangkan rencana peningkatan
kerja sama dengan tim pengendali infeksi.
3. Mengidentifikasi prevalensi perilaku berisiko (ketidakpatuhan).
Perlunya dilakukan identifikasi kepatuhan melakukan hand
hygiene antara dokter, perawat, dan serta petugas kesehatan lain
yang memiliki kontak dengan pasien(Erasmus, et al., 2010).

G. Kesimpulan
Keselamatan pasien selama menjalani perawatan di rumah sakit
dan fasilitas kesehatan lainnya adalah tanggung jawab pemberi
pelayanan kesehatan (tenaga medis, perawat dan tenaga kesehatan
lainnya). Menjadi tugas penting bagi pemberi pelayanan kesehatan
untuk mencegah terjadinya luka/ cedera dan infeksi yang
membahayakan pasien yang diakibatkan oleh perawatan medis.
Infeksi yang terjadi karena pelayanan kesehatan di rumah sakit
banyak mengakibatkan risiko kematian dan kesakitan. Kontak
langsung antara pasien dan petugas kesehatan merupakan salah
penyebab utama yang dapat menyebabkan pasien menjadi terjajah

9
atau terinfeksi.
Melakukan kebersihan tangan adalah salah satu cara yang
paling penting bagi pencegahan infeksi nosokomial. Tetapi hal ini
belum sepenuhnya dapat dilakukan karena dipengaruh oleh banyak
faktor, yaitu kepatuhan dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya
masih kurang dalam melakukan kebersihan tangan, belum
dilakukuannya prosedur kebersihan tangan yang benar, masih
kurangnya fasilitas dan saran kebersihan tangan.
Untuk melakukan prosedur kebersihan tangan yang benar
dibutuhkan keterlibatan pimpinan dan komitmen dari pemberi
pelayanan kesehatan untukmelakukan prosedur dan langkah-langkah
kebersihan tangan yang benar, serta di tunjang fasilitas dan sarana
kebersihan tangan.

10
REFERENSI

Aboumatar, H., Ristaino, P., Davis, R. O., Thompson, C. B., Maragakis, L.,
Cosgrove, S., & Rosenstein, B., & Perl, T. M. (2012). Infection
Prevention Promotion Program Based on the PRECEDE Model:
Improving Hand Hygiene Behaviors among Healthcare Personnel.
Infection Control and Hospital Epidemiology, 33(2), 144–151.
http://doi.org/10.1086/663707
Duggan, J. M., Hensley, S., Khuder, S., Papadimos, T. J., & Jacobs, L.
(2008). Inverse Correlation Between Level Of Professional Education
And Rate Of Handwashing Compliance In A Teaching Hospital.
Infection Control And Hospital Epidemiology, 29(6), 534–538.
http://doi.org/10.1086/588164
Erasmus, V., Daha, T. J., Brug, H., Richardus, J. H., Behrendt, M. D., Vos,
M. C., & Beeck, E. F. V. (2010). Systematic Review Of Studies on
Compliance With Hand Hygiene Guidelines In Hospital Care. Infection
Control and Hospital Epidemiology, 31(3), 283–294.
http://doi.org/doi:10.1086/650451
Ernawati, E., Rachmi, A.T., & Wiyanto, S. (2014). Penerapan Hand
Hygiene Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, 28(1), 89–94. Retrieved from
http://jkb.ub.ac.id/index.php/jkb/article/view/523
Hughes, R. G. (2008). Patient Safety and Quality: An Evidence-Based
Handbook for Nurses. Rockville: AHRQ Publication. Retrieved from
https://archive.ahrq.gov/professionals/clinicians-
providers/resources/nursing/resources/nurseshdbk/nurseshdbk.pdf
Jha, A. K., Plaizier, N. P., Larizgoitia, I., &, & Bates, D. W. (2010). Patient
Safety Research: An Overview Of The Global Evidence. Quality and
Safety in Health Care, 19(1), 42–47.
http://doi.org/doi:10.1136/qshc.2008.029165

11
Kementerian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Manajerial Pencegahan
Dan Pengendalian Infeksi Di Rumah Sakit Dan Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Lainnya (3rd ed.). Jakarta: Kemenkes RI. Retrieved from
https://www.k4health.org/sites/default/files/IPC managerial guideline
hospitals 2008.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2015). Pedoman Nasional Keselamatan
Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (3rd ed.). Jakarta: Depkes.
Luangasanatip, N., Hongsuwan, M., Limmathurotsakul, D., Lubell, Y., Lee,
A. S., Harbarth, S., Day, N. P. J., Graves, N., & Cooper, B. S. (2015).
Comparative Efficacy Of Interventions To Promote Hand Hygiene In
Hospital: Systematic Review And Network Meta-Analysis. BMJ, 351,
h3728. http://doi.org/10.1136/bmj.h3728
Shinde, M. B., &, & Mohite, V. R. (2014). A Study to Assess Knowledge,
Attitude and Practices of Five Moments of Hand Hygiene among
Nursing Staff and Students at a Tertiary Care Hospital at Karad.
International Journal of Science and Research (IJSR), 3(2), 311–321.
Retrieved from http://www.ijsr.net/archive/v3i2/MDIwMTM5NTc=.pdf
Thu, L. T. A., Dibley, M. J., Nho, V. V., Archibald, L., Jarvis, W. R., &, &
Sohn, A. H. (2007). Reduction in Surgical Site Infections in
Neurosurgical Patients Associated With a Bedside Hand Hygiene
Program in Vietnam •. Infection Control and Hospital Epidemiology,
28(5), 583–588. http://doi.org/10.1086/516661
Tingle, J., & Bark, P. (2011). Patient Safety, Law Policy and Practice. New
York: Routledge.
Waterson, P. (2014). Patient Safety Culture : Theory, Methods and
Application. England: Ashgate Publishing Limited. Retrieved from
http://site.ebrary.com/lib/unhas/reader.action?
docID=10989175&ppg=6
Wewalka, G. (2007). The Influence Of Hand Hygiene Prior To Insertion Of
Peripheral Venous Catheters On The Incidence Of Complications.
GMS Krankenhaushygiene Interdisziplinär, 2(1), 1–4. Retrieved from

12
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2831484/pdf/KHI-02-
01.pdf
World Health Organization. (2008). Research for Patient Safety Better
Knowledge for Safer Care. Switzerland: WHO Press. Retrieved from
http://www.who.int/patientsafety/information_centre/documents/ps_res
earch_brochure_en.pdf
World Health Organization. (2016). Guidelines on Core Components of
Infection Prevention and Control Programmes at the National and
Acute Health Care Facility Level. Switzerland: WHO. Retrieved from
www.who.int/gpsc/core-components.pdf?ua=1
Zipperer, L. (2014). Patient Safety Perspectives on Evidence, Information
and Knowledge Tranfer. England: Gower Publishing Limited.

13

Anda mungkin juga menyukai