Anda di halaman 1dari 53

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tangan merupakan salah satu media penularan berbagai jenis penyakit


menular, seperti infeksi saluran pernafasan, penyakit kulit, penyakit untuk
gangguan pencernaan (diare, muntah) dan berbagai penyakit lainnya yang
dapat berpotensi membawa ke pada arah kematian. Tangan merupakan salah
satu penghantar utama masuknya mikroorganisme penyakit ke tubuh manusia.
Kontak dengan mikroorganisme dapat terjadi di mana saja, melalui meja,
gagang pintu, sendok, dan sebagainya. Penelitian bahkan menyebutkan bahwa
keyboard komputer di perkantoran dan gagang telepon mengandung lebih
banyak mikroorganisme dari pada di toilet (Tawi, 2011).

Mikroorganisme banyak ditemukan di sekitar kehidupan kita terutama di


lingkungan klinis keperawatan. Mikroorganisme adalah makhluk mikroskopik
yang mampu melakukan proses kehidupan misalnya bakteri, virus dan jamur
(Potter & Perry, 2005). Mikroorganisme ini dapat menyebabkan timbulnya
macam-macam masalah kesehatan dalam tubuh manusia termasuk infeksi
nosokomial yang sering terjadi di lingkungan klinis. Mikroorganisme dapat
menyebabkan nosokomial salah satunya melalui tangan. Mikroorganisme ini
dapat dihilangkan dari permukaan tangan melalui tindakan pencucian tangan
dengan teknik yang benar menggunakan sabun atau deterjen (Achmadi, 2005).

Pencucian tangan merupakan salah satu cara pengontrolan infeksi yang sangat
mudah dilakukan. Pencucian tangan ini wajib dilakukan sebelum dan setelah
perawat melakukan tindakan perawatan namun, bila kita telaah lebih dalam
tindakan nyata di lingkungan klinis masih banyak perawat kita yang belum
mempunyai tingkat kesadaran tinggi untuk memperhatikan pentingnya cuci
tangan bagi kesehatan pasien dan dirinya sendiri. Manfaat ini juga penting
dalam mengurangi penyebaran mikroorganisme dan mencegah terjadinya
penyakit (Novitasari, 2011).

1
STIKes Faletehan
2

Kebiasaan mencuci tangan dengan sabun juga terbukti sangat membantu


pencegahan terhadap penyakit yang berdampak pada penurunan kualitas hidup
manusia. Tanggal 15 Oktober 2008 dicanangkan sebagai Hari Mencuci
Tangan Sedunia atau Global Hand Washing Day oleh PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa). Hal ini disampaikan pada pertemuan Tahunan Air Sedunia
(Annual world Water Week) yang berlangsung pada tanggal 17 – 23 Agustus
di Stockholm, ibukota Swedia. Tahun 2008 juga diumumkan sebagai tahun
internasional Sanitasi oleh Rapat Umum PBB (Tawi, 2011).

Perilaku cuci tangan perawat merupakan salah satu faktor yang mempunyai
pengaruh besar terhadap kesehatan perawat dalam pencegahan terjadinya
infeksi nosokomial. Perawat memiliki andil yang sangat besar terhadap
terjadinya infeksi nosokomial karena perawat berinteraksi secara langsung
dengan pasien selama 24 jam (Prayitno, 2012).

Di seluruh dunia, kesadaran untuk mencuci tangan di kalangan tenaga


kesehatan baru mencapai 50 persen. Padahal risiko penularan mikroorganisme
penyakit relatif lebih tinggi ketika berada di rumah sakit. Selain karena banyak
terjadi interaksi dengan banyak orang, para pasien yang dirawat pada
umumnya memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Strategi paling murah untuk
mencegah infeksi di rumah sakit adalah dengan cuci tangan. Sayangnya 50
persen upaya ini gagal di seluruh dunia (Prayitno, 2012).

Mencuci tangan dengan benar di negara maju lebih banyak di jumpai karena
mereka sadar akan sanitasi diri. negara maju merupakan Negara yang kaya
akan teknologi dan fasilitas tersedia. Di negara berkembang, kegagalan yang
dimaksud sering dipicu oleh keterbatasan dana untuk mengadakan fasilitas
cuci tangan. Namun ketika sudah ada dana, kendala berikutnya yang
sebenarnya paling memprihatinkan adalah kurangnya kepatuhan untuk
menaati prosedur (Prayitno, 2012).

Rumah sakit merupakan salah satu tempat merawat pasien dengan berbagai
kondisi. Keadaan ini memungkinkan terjadinya infeksi nosokomial. Salah
Satu usaha pencegahan infeksi nosokomial adalah dengan cara cuci tangan.
Mencuci tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan

STIKes Faletehan
3

keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung diri lain.
Tindakan ini penting untuk mengurangi mikroorganisme yang ada di tangan
sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan kerja terjaga dari
infeksi (Nursalam dan Ninuk, 2007).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh DepKes pada tahun 2004,


proporsi kejadian infeksi nosokomial di rumah sakit pemerintah dengan
jumlah pasien 1.527 pasien dari jumlah pasien berisiko 160.417 (55,1%).
Infeksi nosokomial merupakan permasalahan yang belum dapat dituntaskan
oleh hampir semua rumah sakit di Indonesia. Teknik yang paling dasar,
sederhana, dan efektif dalam pengontrolan penularan infeksi di lingkungan
klinis adalah mencuci tangan. Faktanya masih banyak para tenaga medis
seperti perawat yang tidak melakukan tindakan cuci tangan baik sebelum atau
sesudah melakukan tindakan keperawatan (Pristiani, 2011).

Penelitian yang dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada awal


tahun 2010 mengungkap masalah yang kurang lebih sama. Di rumah sakit
tersebut, tingkat kepatuhan dokter maupun perawat untuk mencuci tangan
setelah melakukan tugas tertentu masih sangat rendah, yaitu masih dibawah
70% (Prayitno, 2012).

Hasil penelitian Ningsih (2010) di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo


Pamekasan didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup tentang cuci tangan. Disamping itu, salah satu faktor
yang berhubungan secara signifikan dengan kebiasaan cuci tangan pada
perawat adalah tingkat pengetahuan (p= 0,001). Selain itu, menurut teori
perilaku dari L Green (Notoatmodjo, 2007) mengemukakan bahwa beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi perilaku atau tindakan seseorang, antara lain
adalah faktor predisposisi seperti halnya umur, jenis kelamin, pengetahuan,
faktor pendukung meliputi sarana prasarana, dan faktor penguat seperti
dukungan dari luar, seperti pengawasan yang dilakukan atasan dan adanya
dukungan dari oranglain.

Rumah Sakit Malingping Kabupaten Lebak merupakan rumah sakit umum


milik Provinsi Banten yang memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat

STIKes Faletehan
4

umum yang ada di wilayah Kabupaten Lebak. Hasil data dan informasi
diketahui bahwa jumlah personil perawat yang bekerja di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012 sebanyak 31 orang.

Hasil observasi pendahuluan, didapatkan bahwa perawat di RSUD Malingping


Kabupaten Lebak memiliki tingkat kepatuhan yang rendah terhadap perilaku
cuci tangan yang dilakukan sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada
pasien. Dari 6 orang perawat yang diobservasi selama penulis bekerja di ruang
UGD, 3 orang diantaranya kurang patuh dalam melakukan cuci tangan, alasan
yang dikemukakan antara lain adalah lupa, malas, dan beranggapan bahwa
karena sudah memakai sarung tangan, sehingga tidak perlu lagi mencuci
tangan, baik sebelum maupun sesudah melakukan tindakan.

Dari hasil observasi dan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa


kepatuhan perawat dalam mencuci tangan relatif masih rendah. Sejauh ini,
data yang menyebutkan tentang penyakit atau efek samping yang diderita
perawat akibat tidak melakukan cuci tangan setelah tindakan, belum tersedia.
Namun demikian perawat yang tidak melakukan kebiasaan cuci tangan setelah
melaksanakan tindakan keperawatan, akan meningkatkan risiko penularan
penyakit yang dialaminya baik kepada perawat sendiri maupun pasien lainnya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, mengingat kebiasaan cuci tangan sebagai


salah satu upaya kewaspadaan universal yang dicanangkan pemerintah untuk
mengurangi penularan penyakit dan infeksi dari perawat ke pasien atau
sebaliknya, dan juga belum pernah dilakukan penelitian mengenai perilaku
susi tangan pada perawat, sehingga penulis tertarik untuk meneliti mengenai
faktor-faktor yang berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dibuat ringkasan masalah


dalam penelitian ini, yaitu bahwa perawat di RSUD Malingping Kabupaten
Lebak memiliki tingkat kepatuhan yang rendah terhadap perilaku cuci tangan

STIKes Faletehan
5

yang dilakukan sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada pasien


(50%). Beberapa alasan perawat tidak cuci tangan adalah lupa, malas, dan
beranggapan bahwa karena sudah memakai sarung tangan, sehingga tidak
perlu lahi mencuci tangan, baik sebelum maupun sesudah melakukan
tindakan. Padahal perawat yang tidak melakukan kebiasaan cuci tangan
setelah melaksanakan tindakan keperawatan, akan meningkatkan risiko
penularan penyakit yang dialaminya baik kepada perawat sendiri maupun
pasien lainnya

Dari data tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah faktor-
faktor apa saja yang berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan
sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012.

2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya gambaran kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping Kabupaten
Lebak tahun 2012
b. Diketahuinya gambaran umur perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012
c. Diketahuinya gambaran jenis kelamin perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012
d. Diketahuinya gambaran tingkat pendidikan perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
e. Diketahuinya gambaran pengetahuan perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012

STIKes Faletehan
6

f. Diketahuinya gambaran sarana cuci tangan untuk perawat di RSUD


Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
g. Diketahuinya gambaran pengawasan cuci tangan pada perawat di
RSUD Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
h. Diketahuinya hubungan umur dengan kebiasaan cuci tangan sebelum
dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
i. Diketahuinya hubungan jenis kelamin dengan kebiasaan cuci tangan
sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
j. Diketahuinya hubungan tingkat pendidikan dengan kebiasaan cuci
tangan sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di
RSUD Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
k. Diketahuinya hubungan pengetahuan dengan kebiasaan cuci tangan
sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
l. Diketahuinya hubungan sarana dengan kebiasaan cuci tangan sebelum
dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012
m. Diketahuinya hubungan pengawasan dengan kebiasaan cuci tangan
sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD
Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUD Malingping


Diharapkan dapat memperoleh gambaran mengenai faktor-faktor yang
berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping Kabupaten
Lebak tahun 2012, serta memperoleh saran yang membangun untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan, khususnya dalam bidang
keperawatan.

STIKes Faletehan
7

2. Bagi STIKes Faletehan


Diharapkan dapat memperkaya khasanah keilmuan tentang faktor-faktor
yang berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat.

3. Bagi Peneliti
Diharapkan memperoleh pengetahuan dan wawasan dalam bidang
penelitian/riset keperawatan di rumah sakit khususnya faktor-faktor yang
berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat.

E. Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan


dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan
pada perawat di RSUD Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012 karena
belum pernah dilakukan penilaian mengenai kepatuhan dan kebiasaan cuci
tangan pada perawat serta tingkat kepatuhan perawat dalam cuci tangan hanya
sebesar 50%.

Penelitian dimulai bulan November-Desember 2012. Variabel penelitian ini


terdiri dari umur, jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, sarana cuci tangan,
dan pengawasan. Populasi dan sampel penelitian dilakukan pada seluruh
perawat yang bertugas di RSUD Malingping Kabupaten Lebak.

STIKes Faletehan
8

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Nosokomial

1. Definisi

Infeksi adalah proses dimana seseorang rentan (susceptible) terkena invasi


agen patogen atau infeksius yang tumbuh, berkembang biak dan
menyebabkan sakit. Yang dimaksud agen bisa berupa bakteri, virus,
ricketsia, jamur, dan parasit. Penyakit menular atau infeksius adalah
penyakit tertentu yang dapat berpindah dari satu orang ke orang lain baik
secara langsung maupun tidak langsung (Creasoft, 2012).

Nosokomial berasal dari bahasa Yunani, dari kata nosos yang artinya
penyakit dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat
untuk merawat/rumah sakit. Jadi, infeksi nosokomial dapat diartikan
sebagai infeksi yang terjadi di rumah sakit (Creasoft, 2012).

Infeksi nosokomial adalah infeksi silang yang terjadi pada perawat atau
pasien saat dilakukan perawatan di rumah sakit.

2. Kriteria

Kriteria infeksi berasal dari rumah sakit, yaitu :


a. Waktu mulai dirawat tidak didapatkan tanda klinik infeksi dan tidak
sedang dalam masa inkubasi infeksi tertentu.
b. Infeksi timbul sekurang-kurangnya 72 jam sejak mulai dirawat.
c. Infeksi terjadi pada pasien dengan masa perawatan lebih lama dari
waktu inkubasi infeksi tersebut.
d. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari
rumah sakit.
e. Infeksi terjadi pada neonatus yang didapatkan dari ibunya pada saat
persalinan atau selama perawatan di rumah sakit.

Sumber infeksi nosokomial dapat berasal dari penderita sendiri, personil


rumah sakit (dokter/perawat), pengunjung maupun lingkungan.

STIKes Faletehan
9

3. Cara Penularan

Cara Penularan infeksi nosokomial


a. Penularan secara kontak

Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak


langsung dan droplet. Kontak langsung terjadi bila sumber infeksi
berhubungan langsung dengan penjamu, misalnya person to person
pada penularan infeksi virus hepatitis A secara fecal oral. Kontak tidak
langsung terjadi apabila penularan membutuhkan objek perantara
(biasanya benda mati). Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah
terkontaminasi oleh infeksi misalnya kontaminasi peralatan medis oleh
mikroorganisme.

b. Penularan melalui Common Vehicle

Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh


kuman dan dapat menyebabkan penyakit pada lebih dari satu penjamu.
Adapun jenis-jenis common vehicle adalah darah/produk darah, cairan
intra vena, obat-obatan dan sebagainya.

c. Penularan melalui udara dan inhalasi

Penularan ini terjadi bila mikroorganisme mempunyai ukuran yang


sangat kecil sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang
cukup jauh dan melalui saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme
yang terdapat dalam sel-sel kulit yang terlepas (staphylococcus) dan
tuberculosis.

d. Penularan dengan perantara vektor

Penularan ini dapat terjadi secara eksternal maupun internal. Disebut


penularan secara eksternal bila hanya terjadi pemindahan secara
mekanis dari mikroorganisme yang menempel pada tubuh vektor,
misalnya shigella dan salmonella oleh lalat.

Penularan secara internal bila mikroorganisme masuk ke dalam tubuh


vektor dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit

STIKes Faletehan
10

malaria dalam nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis,


misalnya yersenia pestis pada ginjal (flea).

4. Kuman Penyebab Infeksi Nosokomial (Creasoft, 2012)

a. Staphylococcus aureus

Umumnya ditularkan oleh para petugas yang menularkan biasanya


“karier” dan ditularkan melalui tangan. Di tempat perawatan dimana
penyakit yang disebabkan kuman ini berupa endemi/epidemi maka
koloni Stafilokokkus aureus ini dapat ditemukan di kulit, lubang
hidung dan nasofaring. Semakin banyak koloni ini ditemukan, semakin
tinggi pula angka kejadian infeksi oleh kuman tersebut. Infeksi yang
ditimbulkannya dapat berupa pustula dikulit, konjungtivitis, paranokia,
omfalitis, abses subkutan (mastitis), sepsis,pneumo-nia, mepingitis,
osteomielitis, enteritis dan lain-lain.

b. Streptococcus

Koloni kuman ini dapat ditemukan di kulit, liang telinga dan


nasofaring oleh karena kuman ini dibawa oleh bayi pada waktu lahir
atau didapat di tempat perawatan yang ditularkan oleh petugas
bangsal. Pada umumnya infeksi streptococus ini masuk ke tubuh
melalui kulit yang lece, jalan nafas atau pencernaan dan kemudian
menimbulkan erisipelas dikulit, selulitis, pneumonia, sepsis,
meningitis dan lain-lain.

c. Pneumocoocus

Penularan biasanya berasal dari “karier” yaitu petugas. Kuman ini


dapat menimbulkan pneumonia, infeksi kulit, infeksi tali pusat, sepsis,
meningitis dan lain sebagainya.

d. Listeria monocytogenes

Infeksi dapat terjadi di dalam kandungan (melalui plasenta. ke janin


ataumelalui jalan lahir). Menurut Barr (1974), infeksi listiriosis lebih
sering terjadi pasca waktu bayi melalui jalan lahir, oleh karena bayi

STIKes Faletehan
11

terkontaminasi dengan flora di jalan lahir yang mengandung kuman


listeria. Wabah yang terjadi di bangsal adalah akibat terjadinya infeksi
silang diantara sesama bayi baru lahir. Selain itu dapat terjadi infeksi
tranplasental yang menyebabkan timbulnya gejala infeksi berat seperti
peumonia, sepsis, abses milier dan abses hati. Koloni kuman ini dapat
dijumpai di hidung, tenggorokan, mekonium, darah dan air seni.

e. Infeksi kuman gram negatif

Kuman gram negatif seperti Klebsiella pneumonia, Flavobacterium


meningosepticum, Pseudomonas aeruginosa, Proteus mirabilis, E.coli,
Salmonella, Shigella dan lain-lain sering ditemukan di kulit, hidung,
nasofaring dan flora.Pada bayi terkontaminasi dengan mikro
organisme tersebut yang terdapat di jalan lahir/daerah perineum ibu,
atau bayi menelan cairan yang mengandung mikro organisme tersebut
pacta waktu lahir. Penyakit yang ditimbulkannya ialah enteritis,
sepsis, meningitis, pneumonia, abseshati, necrotizing enterocolitis dan
infeksi traktus urinarius.

f. Neisseria gonorrhoeae

Biasanya kuman ini menimbulkan infeksi pada mata yang disebut


Gonococcal ophthalmia neonatorum. Disamping itu dapat
menyebabkan gonococcal arthritis dan disseminated gonorrhoe.
Kuman lain yang juga dapat menyebabkan infeksi mata adalah
Klamidia trakhomatis, Stafilokokkus aureus dan Pseudomonas
aeruginosa.

g. Infeksi kuman anaerob

Kuman yang selalu menyebabkan infeksi dari golongan anaerob ini


adalah bakteriodes dan streptokokkus anaerob, keduanya dapat
dijumpai di vagina dan uterus wan ita hamil dan post partum. Oleh
sebab itu bayi baru lahir mungkin saja mengandung kuman ini waktu
lahir atau beberapa saat setelah lahir sehingga mungkin saja terjadi
bakteremia atau sepsis pada hari-hari pertama kehidupan. Lebih-lebih

STIKes Faletehan
12

hila diketahui bayi tersebut lahir dari ibu dengan ketuban pecah dini,
amnionitis, bayi baru lahir yang berbau busuk atau bayi yang
menderita abses di kepala sebagai akibat pengambilan darah intra
uterin untuk menganalisa gas darah, setal hematom yang terinfeksi,
perforasi usus dan setiap penyakit infeksi yang tidak sembuh-sembuh
dengan pengobatan. Kuman anaerob lainnya yang sangat berbahaya
adalah Clostridium tetani. Kuman ini berbentuk spora bila diluar tubuh
manusia dan didalam tubuh akan mengeluarkan tetanospasmin suatu
toksin neurotropik yang menyebabkan kejang otot yang merupakan
manifestasi klinik untuk diagnosis tetanus neonatorum. Tempat
masuknya kuman ini biasanya dari tali pusat oleh karena alat
pemotong tali pusat yang tidak steril atau cara merawat tali pusat yang
tidak mengindahkan tindakan aseptic dan antiseptik. Misalnya tali
pusat dibungkus dengan bubuk atau daun-daun tertentu atau dibiarkan
saja terbuka sehingga kontaminasi dengan Clostridum mudah terjadi.

h. Infeksi jamur

Infeksi jamur yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir
adalah yang disebabkan oleh Candida albicans. Infeksi ini dapat
terjadi :
1) Intra uterin sebagai akibat naiknya mikro organisme ini dari vagina
ke uterus, dan dapat menimbulkan pneumonia kongenital dan
septikemia.
2) Koloni Candida albicans yang dibawa bayi ketika melalui jalan
lahir atau didapat di tempat perawatan, misalnya ditularkan melalui
dot, tangan para petugas yang mengandung Candida albicans.
Candidiasis yang paling sering di temukan ialah “oral thrush”
(Candidiasis mulut). Penyakit ini merupakan endemis ditempat
perawatan bayi baru lahir. Keadaan ini memudahkan terjadinya
Candidiasis usus dengan tanpa diare, candidiasis perianal,
candidiasisparu dan candidiasis sistemik. Candidiasis sistemik
dapat pula terjadi pada pemberian cairan melalui pembuluh darah
balik dan dapat menyebabkana abses hati. Pemakaian obat

STIKes Faletehan
13

antibiotika dan kortikosteroid yang lama juga memudahkan


timbulnya infeksi candida.

i. Infeksi virus

Menurut Mc. Cracken (1981) infeksi nosokomial oleh virus dapat


disebabkan oleh ECHO (Enteric Cythopathogenic Human Orphan)
virus yang dapat menyerang alat pernafasan, pencernaan, selaput otak
(aseptic meningitis), Coxsackie virus menyebabkan miokarditis,
meningoensefalitis, Adeno virus menyebabkan pneumonia,
hepatosplenomegali, ikterus dan perdarahan, Syncytial virus yang
terutama menyerang alat pernafasan

5. Dampak Infeksi Nosokomial

Infeksi nosokomial memberikan dampak sebagai berikut :


a. Menyebabkan cacat fungsional, stress emosional dan dapat
menyebabkan cacat yang permanen serta kematian.
b. Dampak tertinggi pada negara berkembang dengan prevalensi
HIV/AIDS yang tinggi.
c. Meningkatkan biaya kesehatan diberbagai negara yang tidak mampu
dengan meningkatkan lama perawatan di rumah sakit, pengobatan
dengan obat-obat mahal dan penggunaan pelayanan lainnya, serta
tuntutan hukum.

6. Pengelolaan Infeksi Nosokomial

Seperti diketahui, penderita yang terindikasi harus menjalani proses


asuhan keperawatan, yaitu penderita harus menjalani observasi, tindakan
medis akut, atau pengobatan yang berkesinambungan. Daya tahan tubuh
yang lemah sangat rentan terhadap infeksi penyakit. Masuk mikroba atau
transmisi mikroba ke penderita, tentunya berasal dari penderita, dimana
penderita menjalani proses asuhan keperawatan seperti :

a. penderita lain, yang juga sedang dalam proses perawatan


b. petugas pelaksana (dokter, perawat dan seterusnya)
c. peralatan medis yang digunakan

STIKes Faletehan
14

d. tempat (ruangan/bangsal/kamar) dimana penderita dirawat


e. tempat/kamar dimana penderita menjalani tindakan medis akut seperti
kamar operasi dan kamar bersalin
f. makanan dan minuman yang disajikan
g. lingkungan rumah sakit secara umum (Riana, 2012)

Semua unsur diatas, besar atau kecil dapat memberi kontribusi terjadinya
infeksi nosokomial. Pencegahan melalui pengendalian infeksi nosokomial
di rumah sakit saat ini mutlak harus dilaksanakan oleh seluruh jajaran
manajemen rumah sakit. Dimulai dari direktur,, wakil direktur pelayanan
medis, wakil direktur umum, kepala UPF, para dokter, bidan/perawat, dan
lain-lain.

Objek pengendalian infeksi nosokomial adalah mikroba patogen yang


dapat berasal dari unsur-unsur di atas. Untuk dapat mengendalikannya
diperlukan adanya mekanisme kerja atau sistem yang bersifat lintas
sektoral/bagian dan diperlukan adanya sebuah wadah atau organisasi di
luar struktur organisasi rumah sakit yang telah ada. Dengan demikian
diharapkan adanya kemudahan berkomunikasi dan berkonsultasi langsung
dengan petugas pelaksana di setiap bagian/ruang/bangsal yang terindikasi
adanya infeksi nosokomial. Wadah atau organisasi ini adalah Panitia
Medik Pengendalian Infeksi Pernyataan ini juga tercantum dalam
Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 755/Menkes/PER/IV/2011 tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di rumah sakit.

Adanya sebuah organisasi dengan tugas/pekerjaan sebagai pengendali


mikroba patogen, adanya sejumlah personel disertai pembagian tuga, serta
adanya sistem kerja baku, maka tugas Panitia Medik Pengendalian Infeksi
adalah mengelola (managing) unsur-unsur penyebab timbulnya infeksi
nosokomial.

Pencegahan artinya jangan sampai timbul, sedangkan pengendalian artinya


meminimalisasi timbulnya resiko. Dengan demikian tugas utama Panitia
Medik Pengendalian adalah mencegah dan mengendalikan infeksi dengan

STIKes Faletehan
15

cara menghambat pertumbuhan dan transmisi mikroba yang berasal dari


“sumber” di sekitar penderita yang sedang sakit

7. Cara Pencegahan Infeksi Nosokomial

Dengan menggunakan standar kewaspadaan terhadap infeksi, antara lain :


(Riana, 2012)
a. Cuci Tangan
1) Setelah menyentuh darah, cairan tubuh, sekresi, ekskresi dan bahan
terkontaminasi.
2) Segera setelah melepas sarung tangan.
3) Diantara sentuhan dengan pasien.
b. Sarung Tangan
1) Bila kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi, dan bahan yang
terkontaminasi.
2) Bila kontak dengan selaput lendir dan kulit terluka.
c. Masker, Kaca Mata, Masker Muka
Mengantisipasi bila terkena, melindungi selaput lendir mata, hidung,
dan mulut saat kontak dengan darah dan cairan tubuh.
d. Baju Pelindung
1) Lindungi kulit dari kontak dengan darah dan cairan tubuh
2) Cegah pakaian tercemar selama tindakan klinik yang dapat
berkontak langsung dengan darah atau cairan tubuh
e. Kain
1) Tangani kain tercemar, cegah dari sentuhan kulit/selaput lendir
2) Jangan melakukan prabilas kain yang tercemar di area perawatan
pasien
f. Peralatan Perawatan Pasien
1) Tangani peralatan yang tercemar dengan baik untuk mencegah
kontak langsung dengan kulit atau selaput lendir dan mencegah
kontaminasi pada pakaian dan lingkungan
2) Cuci peralatan bekas pakai sebelum digunakan kembali

STIKes Faletehan
16

g. Pembersihan
Lingkungan Perawatan rutin, pembersihan dan desinfeksi peralatan dan
perlengkapan dalam ruang perawatan pasien
h. Instrumen Tajam
1) Hindari memasang kembali penutup jarum bekas
2) Hindari melepas jarum bekas dari semprit habis pakai
3) Hindari membengkokkan, mematahkan atau memanipulasi jarum
bekas dengan tangan
4) Masukkan instrument tajam ke dalam tempat yang tidak tembus
tusukan
i. Resusitasi Pasien
Usahakan gunakan kantong resusitasi atau alat ventilasi yang lain
untuk menghindari kontak langsung mulut dalam resusitasi mulut ke
mulut
j. Penempatan Pasien
Tempatkan pasien yang mengontaminasi lingkungan dalam ruang
pribadi / isolasi

8. Pengendalian Infeksi Nosokomial

Dalam mengendalikan infeksi nosokomial di rumah sakit, ada tiga hal


yang perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial di rumah
sakit, antara lain: (Riana, 2012)
a. Adanya Sistem Surveilan Yang Mantap
Surveilan suatu penyakit adalah tindakan pengamatan yang sistematik
dan dilakukan terus menerus terhadap penyakit tersebut yang terjadi
pada suatu populasi tertentu dengan tujuan untuk dapat melakukan
pencegahan dan pengendalian. Jadi tujuan dari surveilan adalah untuk
menurunkan risiko terjadinya infeksi nosokomial. Perlu ditegaskan di
sini bahwa keberhasilan pengendalian infeksi nosokomial bukanlah
ditentukan oleh canggihnya per-alatan yang ada, tetapi ditentukan oleh
kesempurnaan perilaku petugas dalam melaksanakan perawatan
penderita secara benar (the proper nursing care). Dalam pelaksanaan

STIKes Faletehan
17

surveilan ini, perawat sebagai petugas lapangan di garis paling depan,


mempunyai peran yang sangat menentukan,
b. Adanya Peraturan Yang Jelas Dan Tegas Serta Dapat Dilaksanakan,
Dengan Tujuan Untuk Mengurangi Risiko Terjadinya Infeksi
Adanya peraturan yang jelas dan tegas serta dapat dilaksanakan,
merupakan hal yang sangat penting adanya. Peraturan-peraturan ini
merupakan standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua
petugas; standar ini meliputi standar diagnosis (definisi kasus) ataupun
standar pelaksanaan tugas. Dalam pelaksanaan dan pengawasan
pelaksanaan peraturan ini, peran perawat besar sekali.
c. Adanya Program Pendidikan Yang Terus Menerus Bagi Semua
Petugas Rumah Sakit Dengan Tujuan Mengembalikan Sikap Mental
Yang Benar Dalam Merawat Penderita
Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku petugas dalam
melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita. Perubahan
perilaku inilah yang memerlukan proses belajar dan mengajar yang
terus menerus. Program pendidikan hendaknya tidak hanya ditekankan
pada aspek perawatan yang baik saja, tetapi kiranya juga aspek
epidemiologi dari infeksi nosokomial ini. Jadi jelaslah bahwa dalam
seluruh lini program pengendalian infeksi nosokomial, perawat
mempunyai peran yang sangat menentukan. Sekali lagi ditekankan
bahwa pengendalian infeksi nosokomial bukanlah ditentukan oleh
peralatan yang canggih (dengan harga yang mahal) ataupun dengan
pemakaian antibiotika yang berlebihan (mahal dan bahaya resistensi),
melainkan ditentukan oleh kesempurnaan setiap petugas dalam
melaksanakan perawatan yang benar untuk penderitanya

B. Kewaspadaan Universal

1. Definisi

Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang


dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi resiko
penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan

STIKes Faletehan
18

tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien


maupun petugas kesehatan (Nursalam, 2007).

Prinsip kewaspadaan universal (universal precaution) di pelayanan


kesehatan adalah menjaga hygiene sanitasi individu, hygiene sanitasi
ruangan, serta sterilisasi peralatan. Hal ini penting mengingat sebagian
besar yang terinfeksi virus lewat darah seperti HIV (Human
Immunodeficiency Virus) dan HIB (Hepatitis B) tidak menunjukan gejala
fisik. Kewaspadaan universal diterapkan untuk melindungi setiap orang
(pasien dan petugas kesehatan) apakah mereka terinfeksi atau tidak.
Kewaspadaan universal berlaku untuk darah, sekresi ekskresi (kecuali
keringat), luka pada kulit, dan selaput lendir. Penerapan standar ini penting
untuk mengurangi risiko penularan mikroorganisme yang berasal dari
sumber infeksi yang diketahui atau tidak diketahui (misalnya pasien,
benda terkontaminasi, jarum suntik bekas pakai, dan spuit) di dalam
system pelayanan kesehatan.

Ketiga prinsip tersebut di jabarkan menjadi lima kegiatan pokok yaitu


mencuci tangan guna mencegah infeksi silang, pemakaian alat pelindung
diantaranya pemakaian sarung tangan guna mencegah kontak dengan
darah serta cairan infeksius lain, pengelolaan alat kesehatan, pengelolaan
alat tajam untuk mencegah perlukaan, dan pengelolaan limbah (Depkes RI,
2003).

2. Tujuan

Menurut Nursalam (2007), kewaspadaan universal perlu diterapkan


dengan tujuan:
a. Mengendalikan infeksi secara konsisten.
b. Memastikan standar adekuat bagi mereka yang tidak terdiagnosa atau
tidak terlihat seperti resiko.
c. Mengurangi resiko bagi petugas kesehatan dan pasien.
d. Asumsi bahwa resiko atau infeksi berbahaya.

STIKes Faletehan
19

3. Komponen Kewaspadaan Universal

Menurut Nursalam (2007) komponen kewaspadaan universal terdiri dari 5


unsur, yaitu :
a. Mencuci tangan
Akan dibahas pada segmen berikutnya.
b. Penggunaan alat pelindung diri (APD)
Alat pelindung diri digunakan untuk melindungi kulit dan selaput
lendir petugas dari resiko pajanan darah, semua jenis cairan tubuh,
sekret, ekskreta kulit yang tidah utuh dan selaput lendir pasien. Jenis
tindakan yang beresiko mencakup tindakan rutin, tindakan bedah
tulang, otopsi danperawatan gigi dimana menggunakan bor dengan
kecepatan putar yang tinggi (Depkes, 2003).

Peralatan pelindung diri meliputi sarung tangan, masker/respirator,


pelindung mata (perisai muka, kacamata), kap, gaun, apron, da barang
lainnya .
1) Sarung tangan
Melindungi tangan dari bahan infeksius dan melindungi pasien dari
mikroorganisme pada tangan petugas. Alat ini merupakan pembatas
fisik terpenting untuk mencegah penyebaran infeksi dan harus
selalu diganti untuk mecegah infeksi silang. Ada tiga jenis sarung
tangan yaitu:
a) Sarung tangan bedah, dipakai sewaktu melakukan tindakan
infasif atau pembedahan.
b) Sarung tangan pemeriksaan, dipakai untuk melindungi petugas
kesehatan sewaktu malakukan pemeriksaan atau pekerjaan
rutin.
c) Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses
peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu
membersihkan permukaan yang terkontaminasi.

Prosedur pemakaian sarung tangan steril (Depkes RI, 2003) adalah


sebagai berikut:

STIKes Faletehan
20

a) Cuci tangan
b) Siapkan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk
membuka paket sarung tangan. Perhatikan tempat menaruhnya
(steril atau minimal DTT)
c) Buka pembungkus sarung tangan, minta bantuan petugas lain
untuk membuka pembungkus sarung tangan. Letakan sarung
tangan dengan bagian telapak tangan menghadap keatas
d) Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang pada sisi
sebelah dalam lipatannya, yaitu bagian yang akan bersentuhan
dengan kulit tangan saat dipakai
e) Posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan menggantung ke
lantai, sehingga bagian lubang jari-jari tangannya terbuka.
Masukan tangan (jaga sarung tangan supaya tidak menyentuh
permukaan)
f) Ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan jari-jari
tangan yang sudah memakai sarung tangan ke bagian
lipatannya, yaitu bagian yang tidak akan bersentuhan dengan
kulit tangan saat dipakai
g) Pasang sarung tangan yang kedua dengan cara memasukan jari-
jari tangan yang belum memakai sarung tangan, kemudian
luruskan lipatan, dan atur posisi sarung tangan sehingga terasa
pas dan enak ditangan
2) Masker
Masker harus cukup besar untuk menutup hidung, muka bagian
bawah, rahang dan semua rambut muka. Masker dipakai untuk
menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan atau
petugas bedah bicara, batuk, atau bersin dan juga untuk mencegah
cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi masik
kedalam hidung atau mulut petugas kesehatan. Masker jika tidak
terbuat dari bahan tahan cairan, bagaimanapun juga tidak efektif
dalam mencegah dengan baik.

STIKes Faletehan
21

Langkah–langkah pemakaian masker (Potter & Perry, 2005)


sebagai berikut :
a) Ambil bagian tepi atas masker (biasaanya sepanjang tepi
tersebut / metal yang tipis).
b) Pegang masker pada dua tali atau ikatan bagian atas. Ikatan dua
tali atas pada bagian atas belakang kepala dengan tali melewati
atas telinga.
c) Ikatkan dua tali bagian bawah pas eratnya sekeliling leher
dengan masker sampai kebawah dagu.
d) Dengan lembut jepitkan pita metal bagian atas pada batang
hidung.
3) Respirator
Masker jenis khusus, disebut respirator partikel, yang dianjurkan
dalam situasi memfilter udara yang tertarik nafas dianggap sangat
penting (umpamanya, dalam perawatan orang dengan tuberculosis
paru).
4) Pelindung mata
Melindungi staf kalau terjadi cipratan darah atau cairan tubuh
lainya yang terkontaminasi dengan melindungi mata. Pelindung
mata termasuk pelindung plastik yan jernih. Kacamata pengaman,
pelindung muka. Kacamata yang dibuat dengan resep dokter atau
kacamata dengan lensa normal juga dapat dipakai.
5) Tutup kepala/kap
Dipakai untuk menutup rambut dan kepala agar guguran kulit dan
rambut tidak masuk dalam luka sewaktu pembedahan. Kap harus
dapat menutup semua rambut.
6) Gaun
Gaun penutup, dipakai untuk menutupi baju rumah. Gaun ini
dipakai untuk melindungi pakaian petugas pelayanan kesehatan.
Gaun bedah, petama kali digunakan untuk melindungi pasien dari
mikroorganisme yang terdapat di abdomen dan lengan dari staf
perawatan kesehatan sewaktu pembedahan.

STIKes Faletehan
22

Cara menggunakan gaun pelindung sebagai berikut :


a) Hanya bagian luar saja yang terkontaminasi, karena tujuan
pemakaian gaun untuk melindungi pemakai dari infeksi.
b) Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh
orang lain.
7) Apron
Terbuat dari bahan karet atau plastik sebagai suatu pembatas tahan
air di bagian depan dari petugas kesehatan.
8) Alas kaki
Dipakai untuk melindungi kaki dari perlukaan oleh benda tajam
atau berat atau dari cairan yang kebetulan jatuh atau menetes pada
kaki.

c. Pengelolaan Alat Kesehatan


Pengelolaan alat kesehatan bertujuan untuk mencegah penyebaran
infeksi melalui alat kesehatan atau untuk menjamin alat tersebut dalam
kondisi steril dan siap pakai. Semua alat, bahan dan obat yang akan
dimasukan ke dalam jaringan di bawah kulit harus dalam keadaan
steril. Proses penatalaksanaan peralatan dilakukan melalui 4 tahap
kegiatan yaitu dekontaminasi, pencucian, sterilisasi atau DDT dan
penyimpanan. Pemilihan cara pengelolaan alat kesehatan tergantung
pada kegunaan alat tersebut dan berhubungan dengan tingkat resiko
penyebaran infeksi.

1) Dekontaminasi
Dekontaminasi adalah menghilangkan mikroorganisme patogen dan
kotoran dari suatu benda sehingga aman untuk pengelolaan
selanjutnya dan dilakukan sebagai langkah pertama bagi
pengelolaan pencemaran lingkungan, seperti misalnya tumpahan
darah atau cairan tubuh, Juga sebagai langakah pertama
pengelolaan limbah yang tidak dimusnahan dengan cara insinerasi
atau pembakaran.

STIKes Faletehan
23

Dekontaminasi bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi


melalui alat kesehatan atau suatu permukaan benda, sehingga dapat
melindungi petugas atau pun pasien. Dekontaminasi dilakukan
dengan menggunakan bahan desinfektan yaitu suatu bahan atau
larutan kimia yang digunakan untuk membunuh mikroorganisme
pada benda mati dan tidak digunakan untuk kulit atau jaringan
mukosa. Salah satu yang biasa dipakai terutama di negara
berkembang seperti Indonesia adalah larutan klorin 0,5% atau
0,05% sesuai dengan intensitas cemaran dan jenis alat atau
permukaan yang akan didekontaminasi. Karena demikian banyak
macam dan bentuk alat kesehatan maka perlu dipilih cara
dekontaminasi yang tepat.

Ada tiga macam pertimbangan dalam memilih cara dekontaminasi


yaitu keamanan, efikasi atau efektifitas dan efisien. Keamanan dan
efektifitas merupakan pertimbangan utama sedang efisien dapat
dipertimbangkan kemudian setelah keamanan dan efektifitas
terpenuhi. Yang dipertimbangkan dalam keamanan hádala antisifasi
terjadinya kecelakaan atau penyakit pada petugas kesehatan yang
mengelola benda-benda terkontaminasi dan melakukan proses
dekontaminasi. Sedapat mungkin pemilahan dilakukan oleh si
pemakai ditempat segera setelah selesai pemakaian selagi mereka
masih menggunakan pelindung yang memadai sehingga pajanan
pada petugas dapat diminimalkan.

2) Pencucian alat
Setelah dekontaminasi dilakukan pembersihan yang merupakan
langkah penting yang harus dilakukan. Tanpa pembersihan yang
memadai maka pada umumnya proses disenfeksi atau selanjutnya
menjadi tidak efektif. Kotoran yang tertinggal dapat mempengaruhi
fungsinya atau menyebabkan reaksi pirogen bila masuk ke dalam
tubuh pasien. Pada alat kesehatan yang tidak terkontaminasi dengan
darah, misalnya kursi roda, alat pengukur tekanan darah, infus

STIKes Faletehan
24

pump dsb. Cukup dilap dengan larutan detergen, namun apabila


jelas terkontaminasi dengan darah maka diperlukan desinfektan.

Pembersihan dengan cara mencuci adalah menghilangkan segala


kotoran yang kasat mata dari benda dan permukaan benda dengan
sabun atau detergen, air dan sikat. Kecuali menghilangkan kotoran
pencucian akan semakin menurunkan jumlah mikroorganisme yang
potensial menjadi penyebab infeksi melalui alat kesehatan atau
suatu permukaan benda dan juga mempersiapkan alat untuk kontak
langsung dengan desinfektan atau bahan sterilisasi sehingga dapat
berjalan secara sempurna.

Pada pencucian digunakan detergen dan air. Pencucian harus


dilakukan dengan teliti sehingga darah atau cairan tubuh lain betul-
betul hilang dari permukaan tersebut. Pencucian yang hanya
mengandalkan air tidak dapat menghilangkan minyak, protein dan
partikel-partikel. Tidak dianjurkan mencuci dengan menggunakan
sabun biasa untuk membersihkan peralatan, karena sabun yang
bereaksi dengan air akan menimbulkan residu yang sulit untuk
dihilangkan.

3) Disinfeksi dan Sterilisasi


Seperti sudah dibicarakan sebelumnya bahwa faktor resiko infeksi
disarana kesehatan adalah pengelolaan alat kesehatan atau cara
dekontaminasi dan desinfeksi yang kurang tepat. Pengelolaan alat
dikategorikan menjadi 3 yaitu:
a) Resiko tinggi
Suatu alat termasuk dalam kategori resiko tinggi karena
penggunaan alat tersebut beresiko tinggi untuk menyebabkan
infeksi apabila alat tersebut terkontaminasi oleh
mikroorganisme atau spora bakterial. Alat tersebut mutlak perlu
dalam keadaan steril karena penggunaannya menembus
jaringan atau sistem pembuluh darah yang steril. Dalam
kategori ini meliputi alat kesehatan bedah, kateter jantung dan

STIKes Faletehan
25

alat yang ditanam. Alat-alat tersebut harus dalam keadaan steril


pada saat pembeliaannya atau bila mungkin disterilkan dengan
otoklaf. Apabila alat itu tidak tahan panas maka sterilisasi
dilakukan dengan etilen oksida atau kalau terpaksa apabila cara
lain tidak memungkinkan dilakukan streilisasi kimiawi seperi
dengna glutaraldehide 2% atau hidrogen peroksida 6%. Cara
tersebut harus tetap memperhatikan persyaratan yang harus
dipenuhi yaitu pencucian yang cermat sebelumnya.
b) Resiko sedang
Alat yang digunakan untuk menyentuh lapisan mukosa atau
kulit yang tidak utuh harus bebas dari semua mikroorganisme
kecuali spora. Lapisan mukosa yang utuh pada umumnya dapat
menahan infeksi spora tetapi tetap rentan terhadap infeksi basil
TBC dan virus, yang termasuk dalam kategori resiko sedang
antara lain alat untuk terapi pernafasan, alat anestesi, endoskopi
dan ring diagfragma. Alat beresiko sedang memerlukan paling
tidak desinfeksi tingkat tinggi, baik secara pasteurisasi atau
kimiawi. Pemilihan proses desinfeksi harus memperhatikan
efek sampingnya seperti klorin yang mempunyai sifat korosif.
Laparascopi dan artroskopi yang dipakai dengan menmbus
jaringan steril secara ideal harus disterilkan terlebih dahulu,
namun biasanya hanya dilakukan disenfeksi tingkat tinggi saja.
Disarankan agar semua alat dibilas dengan air steril untuk
menghindari kontaminasi dengan mikroorganisme yang berasal
dari air seperti mikrobakteria nontuberkulosa dan legionella.
Bila tidak tersedia air steril dapat dengan air biasa diikuti
dengan bilasan air alkohol dan cepat dikeringkan dengan
semprotan udara. Semprotan udara ini dapat mengurangi
cemaran mikroorganisme dan mengurangi kelembaban yang
dapat mempercepat pertumbuhan bakteri.

STIKes Faletehan
26

c) Resiko rendah
Alat yang masuk dalam kategori resiko rendah adalah yang
digunakan pada kulit yang utuh dan bukan untuk lapisan
mukosa. Kulit utuh adalah pertahanan yang efektif terhadap
infeksi semua jenis mikroorganisme, oleh karena itu sterilisasi
tidak begitu diperlukan. Contoh alat yang masuk kategori
resiko rendah adalah pispot, tensimeter, linen, tempat tidur,
peralatan makan, perabotan, lantai. Walaupun peralatan
tersebut mempunyai resiko rendah untuk menyebabkan infeksi,
namun dapat menjadi perantara sekunder dengan jalan
mengkontaminasi tangan petugas kesehatan atau peralatan yang
seharusnya steril oleh karena itu alat tersebut tetap perlu
didesinfeksi dengan disinfeksi tingkat rendah.

d. Pengelolaan Benda Tajam

Benda tajam sangat beresiko menyebabkan perlukaan sehingga


meningkatkan terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah.
Penularan infeksi HIV, hepatitis B dan C di sarana pelayanan
kesehatan, sebagian besar disebabkan kecelakaan yang dapat dicegah,
yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan alat tajam lainnya. Untuk
menghindari perlukaan atau kecelakaan kerja maka semua benda tajam
harus digunakan sekali pakai, dengan demikian jarum suntik bekas
tidak boleh digunakan lagi. Sterilitas jarum suntik dan alat kesehatan
yang lain yang menembus kulit atau mukosa harus dapat dijamin.
Keadaan steril tidak dapat dijamin jika alat-alat tersebut didaur ulang
walaupun sudah di otoklaf.

Tidak dianjurkan untuk melakukan daur ulang atas pertimbangan


penghematan karena 17% kecelakaan kerja disebabkan oleh luka
tusukan sebelum atau selama pemakaian, 70% terjadi sesudah
pemakaian dan sebelum pembuangan serta 13% sesudah
pembuangan.hampir 40% kecelakaan ini dapat dicegah dan

STIKes Faletehan
27

kebanyakan kecelakaan kerja akibat melakukan penyarungan jarum


suntik setelah penggunaannya.

Perlu diperhatikan dengan cermat ketika menggunakan jarum suntik


atau benda tajam lainnya. Setiap petugas kesehatan bertanggung jawab
atas jarum dan alat tajam yang digunakan sendiri, yaitu sejak
pembukaan paking, penggunaan, dekontaminasi hingga
kepenampungan sementara yang berupa wadah alat tusukan.

Untuk menjamin ketaatan prosedur tersebut maka perlu menyediakan


alat limbah tajam atau tempat pembuangan alat tajam di setiap ruangan,
misalnya pada ruang tindakan atau perawatan yang mudah dijangkau
oleh petugas. Seperti prosedur pengelolaan alat kesehatan lainnya maka
petugas harus selalu mengenakan sarung tangan tebal, misalnya saat
mencuci alat dan alat tajam. Risiko kecelakaan sering terjadi pada saat
memindahkan alat tajam dari satu orang ke orang lain, oleh karena itu
tidak dianjurkan menyerahkan alat tajan secara langsung, melainkan
menggunakan tehnik tanpa sentuh (hands free) yaitu menggunakan
nampan atau alat perantara dan membiarkan petugas mengambil sendiri
dari tempatnya, terutama pada prosedur bedah.

Risiko perlukaan dapat ditekan dengan mengupayakan situasi kerja


dimana petugas kesehatan mendapat pandangan bebas tanpa halangan,
dengan cara meletakkan pasien pada posisi yang mudah dilihat dan
mengatur sumber pencahayaan yang baik. Pada dasarnya adalah
menjalankan prosedur kerja yang legeartis, seperti pada penggunaan
forsep atau pingset saat mengerjakan penjahitan.

Kecelakaan yang sering terjadi pada prosedur penyuntikan adalah pada


saat petugas berusaha memasukkan kembali jarum suntik bekas pakai
kedalam tutupnya, oleh karena itu sangat tidak dianjurkan untuk
menutup kembali jarum suntik tersebut melainkan langsung buang ke
penampungan sementara, tanpa menyentuh atau memanipulasinya
seperti membengkokkannya. Jika jarum terpaksa ditutup kembali
(recaping) gunakanlah dengan cara penutupan dengan satu tangan

STIKes Faletehan
28

untuk mencegah jari tertusuk jarum. Sebelum dibuang ke tempat


pembuangan akhir atau tempat pemusnahan, maka diperlukan wadah
penampungan sementara yang bersifat kedap air dan tidak mudah bocor
serta kedap tusukan.

Wadah penampung jarum suntik bekas pakai harus dapat digunakan


dengan satu tangan agar pada saat memasukkan jarum tidak usah
memeganginya dengan tangan yang lain. Wadah tersebut ditutup dan
diganti setelah ¾ bagian terisi dengan limbah, dan setelah ditutup tidak
dapat dibuka lagi sehingga tidak tumpah. Hal tersebut dimaksudkan
agar menghindari perlukaan pada pengelolaan yang selanjutnya.
Idealnya benda tajam dapat diinsinerasi, tetapi bila tidak mungkin
dapat dikubur dan dikaporisasi bersama limbah lainnya.

e. Pengelolaan Limbah

Limbah dari sarana kesehatan secara umum dibedakan atas:


1) Limbah rumah tangga atau limbah non medis, yaitu limbah yang
tidak kontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya disebut sebagai
resiko rendah. yakni sampah-sampah yang dihasilkan dari kegiatan
ruang tunggu pasien, dan administrasi.
2) Limbah medis bagian dari sampah rumah sakit yang berasal dari
bahan yang mengalami kontak dengan darah atau cairan tubuh
lainnya disebut sebagai limbah beresiko tinggi. Beberapa limbah
medis dapat berupa: limbah klinis, limbah laboratorium, darah atau
cairan tubuh yang lainnya, material yang mengandung darah seperti
perban, kassa dan benda-benda dari kamar bedah, sampah organik,
misalnya potongan tubuh, plasenta, benda-benda tajam bekas pakai
misal jarum suntik.

Tata cara pengelolaan limbah, antara lain :


1) Pemilahan
Pemilahan dilakukan dengan menyediakan sampah yang sesuai
dengan jenis sampah medis. Wadah-wadah tersebut biasanya
menggunakan kantong plastik berwarna misalnya kuning untuk

STIKes Faletehan
29

infeksius hitam untuk non medis atau wadah yang diberi label yang
mudah dibaca.
2) Penampungan Sementara
Pewadahan sementara sangat diperlukan sebelum sampah dibuang.
Syarat yang harus dipenuhi adalah : a) Di tempatkan pada daerah
yang mudah dijangkau petugas, pasien, dan pengunjung. b) Harus
tertutup dan kedap air. c) Hanya bersifat sementara dan tidak boleh
lebih dari satu hari.
3) Pembuangan Benda Tajam
a) Wadah benda tajam merupakan linbah medis yang harus
dimasukkan kedalam kantong sebelum insinerasi.
b) Idealnya semua benda tajam dapat diinsinerasi tetapi bila tidak
mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi bersama limbah lain
c) Apapun metode yang dilakukan haruslah tidak memberikan
perlukaan

C. Kebiasaan Cuci Tangan

1. Definisi

Menurut Kamaruddin (2009) tangan merupakan bagian tubuh yang lembab


yang paling sering berkontak dengan kuman yang menyebabkan penyakit
dan menyebarnya. Cara terbaik untuk mencegahnya adalah dengan
membiasakan mencuci tangan dengan memakai sabun. Mencuci tangan
merupakan teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan
pengontrolan infeksi (Potter & Perry, 2005).

Mencuci tangan adalah proses secara mekanik melepaskan kotoran dan


debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa dan air (Depkes,
2008)

Mencuci kedua tangan merupakan prosedur awal yang dilakukan perawat


atau petugas kesehatan dalam memberikan tindakan. Tindakan ini yang
bertujuan untuk membersihkan tangan dari segala kotoran, mencegah
terjadi infeksi silang melalui tangan dan persiapan bedah atau tindakan

STIKes Faletehan
30

pembedahan agar miroorganisme yang dapat mengakibatkan infeksi tidak


berpindah ke pasien, pengunjung, dan tenaga kesehatan (Tawi, 2012).

2. Tujuan Cuci Tangan

Menurut Hidayat (2005) dalam Tawi (2012) mencuci tangan bertujuan


untuk:
a. Mencegah terjadinya infeksi melalui tangan.
b. Membantu menghilangkan mikroorganisme yang ada di kulit atau
tangan.

3. Waktu Cuci Tangan

Sebaiknya waktu pencucian tangan bagi perawat dilakukan :


a. Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
b. Awal dan akhir dari perawatan persalinan bagi yang berada dalam
ruangan maternity, juga bagi perawatan pasien pre dan post operasi
c. Sebelum menyediakan makanan dan menyuapi pasien
d. Setelah menyentuh alat yang terkontaminasi
e. Sebelum menyiapkan obat bagi pasien
f. Sebelum memegang alat steril bagi pasien, yaitu pasien telah
menggunakan urinal sebelum dan sesudah makan

Mencuci tangan dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan


keperawatan walaupun memakai sarung tangan dan alat pelindung lain.
Tindakan ini untuk menghilangkan atau mengurangi mikroorganisme yang
ada di tangan sehingga penyebaran infeksi dapat dikurangi dan lingkungan
kerja tetap terjaga. Cuci tangan dilakukan pada saat sebelum; memeriksa
(kontak langsung dengan pasien), memakai sarung tangan ketika akan
melakukan menyuntik dan pemasangan infus. Cuci tangan harus dilakukan
pada saat yang diantisipasi akan terjadi perpindahan mikroorganisme.

4. Cara Cuci Tangan

Menurut Nursalam dan Ninuk (2007), ada tiga car cuci tangan yang
dilaksanakan sesuai kebutuhan. Yaitu:

STIKes Faletehan
31

a. Cuci tangan higienik atau rutin yaitu mengurangi kotoran dan flora
yang ada ditangan dengan menggunakan sabun atau detergen.
b. cuci tangan aseptik yaitu cuci tangan sebelum tindakan aseptik pada
pasien dengan menggunakan antiseptik.
c. Cuci tangan bedah yaitu sebelum melakukan tindakan bedah, cara
aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.

Disamping cara diatas ada alternatif cuci tangan yaitu cuci tangan berbasis
alkohol, menurut Depkes cuci tangan alternatif hanya menggantikan cuci
tangan higienis/rutin, tidak dapat menggantikan cuci tangan bedah.
a. Cuci tangan rutin
Menurut Depkes (2008), cuci tangan rutin atau membersihkan tagan
dengan sabun dan air harus dilakukan seperti dibawah:
1) Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih.
2) Tuangkan sabun secukupnya, pilih sabun cair.
3) Ratakan dengan kedua telapak tangan.
4) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan
dan sebaliknya.
5) Gosok dengan kedua telapak tangan dan sela-sela jari.
6) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saing mengunci.
7) Gosok ibu jari kiri putar dalam genggaman tangan kanan dan
lakukan sebaliknya.
8) Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak tangan kiri dan
sebaliknya.
9) Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
10) Keringkan tangan dengan handuk sekali pakai atau tissue towel
sampai benar-benar kering.
11) Gunakan handuk sekali pakai atau towel tissue untuk menutup
kran.

STIKes Faletehan
32

Gambar 2.1 Cuci tangan dengan sabun dan air

b. Cuci tangan alternatif/berbasis alkohol


Hanya menggantikan cuci tangan higienis/rutin, tidak menggantikan
cuci tangan bedah. Dikerjakan hanya apabila tidak ada cuci tangan
standar, misal tidak ada air mengalir (Depkes, 2008). Menurut Tiedjen,
dkk (2004), teknik untuk melakukan penggosokan tangan antiseptik
adalah:
1) Gunakanlah penggosok antiseptik secukupnya untk melumuri
seluruh permukaan tangan dan jari jemari (kira-kira satu sendok
teh).
2) Gosokanlah larutan tersebut dengan cara menekan pada kedua belah
tangan, khususnya diantara jari jemari dan dibawah kuku hingga
kering.
Penggosokan tangan antiseptik yang bersifat non-iritasi dapat dibuat
dengan menambahkan baik gliserin, propilen glikol atau sorbitol
dengan alkohol (2 ml pada 100 ml dari 60-90% larutan etil atau
isopropil alkohol) (larson 1990; Pierce 1990) gunakan 5 ml (kira-kira

STIKes Faletehan
33

satu sendok the penuh) untuk setiap penggunaan dan lanjutkanlah


penggosokan larutan itu diatas kedua tangan hingga kering.

c. Cuci tangan aseptik/antiseptik tangan.


Cuci tangan aseptik pada dasarnya sama dengan cuci tangan biasa yaitu
dengan menggunakan air mengalir dan sabun atau deterjen yang
mengandung bahan antiseptik (klorheksidin, iodofor atau triklosan)
selain sabun biasa.

d. Cuci tangan bedah


Menurut Tiedjen dkk (2004), tujuan cuci tangan bedah adalah
menghilangkan kotoran, debu dan organisme secara mekanikal dan
mengurangi flora tetap selama pembedahan. Langkah-langkah Cuci
tangan bedah adalah:
1) Lepaskan cincin, jam tangan dan gelang.
2) Basahi kedua lengan bawah hingga siku, dengan sabun dan air
bersih. (jika menggunakan sikat, sikat harus bersih disterilisasi atau
DTT (Desinfeksi Tingkat Tinggi) sebelum digunakan kembali, jika
digunakan spon harus dibuang setelah digunakan).
3) Bersihkan kuku dengan pembersih kuku.
4) Bilaslah tangan dan lengan bawah dengan air.
5) Gunakan bahan antiseptik pada seluruh tangan dan lengan bawah
sampai siku dan gosok tengan dan lengan bawah dengan kuat
selama sekurang-kurangnya 2 menit.
6) Angkat tangan lebih tinggi dari siku, bilas tangan dan lengan bawah
seluruhnya dengan air bersih.
7) Tegakkan kedua tangan keatas dan jauhkan dari badan, jangan
sentuh permukaan atau benda apapun dan keringkan kedua tangan
itu dengan lap bersih dan kering atau keringkan dengan diangin-
anginkan.
8) Pakailah sarung tangan bedah yang steril atau DTT pada kedua
tangan.

STIKes Faletehan
34

5. Sarana Cuci Tangan

Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran


pembuangan atau bak penampungan yang memadai. Dengan guyuran air
mengalir tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah
gesekan mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan
terhalau dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir
tersebut dapat berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung.

Penggunaan sabun tidak membunuh mikroorganisme tetapi menghambat


dan mengurangi jumlah mikroorganisme dengan jalan mengurangi
tegangan permukaan sehingga mikroorganisme mudah terlepas dari
permukaan kulit. Jumlah mikroorganisme akan berkurang dengan sering
mencuci tangan. Larutan antiseptik atau anti mikroba topikal yang dipakai
pada kulit atau jaringan hidup lain menghambat aktivitas atau membunuh
mikroorganisme pada kulit. Kulit manusia tidak dapat disterilkan. Tujuan
yang ingin dicapai adalah penurunan jumlah mikroorganisme pada kulit
secara maksimal terutama pada kuman transien.

Kriteria memilih antiseptik adalah sebagai berikut:


a. Efektifitas
b. Kecepatan aktivitas awal
c. Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam
pertumbuhan.
d. Tidak mengakibatkan iritasi kulit
e. Tidak menyebabkan alergi
f. Afektif sekali pakai, tidak perlu diulang-ulang.
g. Dapat diterima secara visual maupun estetik.

D. Perilaku

1. Definisi

Dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan


yang dilakukan oleh organisme atau mahluk hidup. Perilaku dapat
diartikan sebagai suatu respon/reaksi individu terhadap rangsangan

STIKes Faletehan
35

(stimulus) dari luar maupun dari dalam dirinya (Notoatmodjo, 2007).


Respon ini terbagi dalam dua macam, yaitu :

a. Bentuk pasif, merupakan respons internal yang terjadi dalam diri


manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat oleh orang lain, seperti
berpikir, tanggapan, sikap batin, dan pengetahuan. Bentuk ini disebut
juga perilaku terselubung (Covert behavior)
b. Bentuk aktif, yaitu bila perilaku jelas dapat di observasi secara
langsung, berupa perilaku yang sudah terlihat dalam bentuk tindakan
nyata (overt behavior).

2. Determinan-Determinan Perilaku

Menurut Notoatmodjo (2007), faktor penentu atau determinan perilaku


manusia sulit untuk dibatasi, karena perilaku merupakan resultansi dari
berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan).

Secara lebih rinci menurut Notoatmodjo (2007), perilaku merupakan


refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan,
kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap, dan sebagainya. Namun dalam
realitasnya sulit dibedakan dan sulit dideteksi gejala kejiwaan mana yang
menentukan perilaku seseorang.

Gejala-gejala kejiwaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor


diantaranya adalah pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio-budaya
masyarakat, dan sebagainya. Seperti terlihat pada bagan 2.1.

- Pengetahuan
- Persepsi
- Pengalaman - Sikap
- Keyakinan - Keinginan Perilaku
- Fasilitas - Kehendak
- Sosio-budaya - Motivasi
- Niat

Gambar 2.1 Asumsi Determinan Perilaku Manusia


Sumber : Notoatmodjo. 2007.

STIKes Faletehan
36

Sedangkan menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007) menyatakan


bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perilaku adalah :
a. Faktor predisposisi, yaitu faktor pencetus timbulnya perilaku, seperti
pikiran dan motivasi untuk berperilaku, meliputi pengetahuan, sikap,
nilai, dan persepsi.
b. Faktor pendukung, yaitu faktor yang mendukung timbulnya perilaku
sehingga motivasi atau pikiran menjadi kenyataan. Termasuk
didalamnya adalah lingkungan fisik dan sumber-sumber yang ada di
masyarakat.
c. Faktor penguat, yaitu faktor yang merupakan sumber pembentukan
perilaku yang berasal dari oranglain yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku, seperti keluarga, teman, guru, atau petugas
kesehatan.

Secara jelas, kerangka perilaku dari Green (1980) dapat dilihat dalam
bagan berikut.

Predisposing factors :
Pengetahuan, karakteristik, sikap,
tradisi, kepercayaan, nilai

Enabling factors :
Ketersediaan sumber-sumber Perilaku
fasilitas kesehatan

Reinforcing factors :
Sikap dan perilaku petugas

Gambar 2.2 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku

Sumber : Green, W. Lawrence. 1980 dalam .Notoatmodjo (2007)

STIKes Faletehan
37

E. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kebiasaan Cuci Tangan


Sebelum Dan Sesudah Melaksanakan Tindakan Pada Perawat

1. Umur

Umur atau satuan usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu
keberadaan suatu benda atau zat makhluk yang hidup maupun yang mati,
semakin banyak pengalaman yang diperoleh sehingga seseorang dapat
meningkatkan kematangan mental dan intelektual serta dapat membuat
keputusan yang bijaksana dalam bertindak (Sarwono, 2005).

Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat
utama, umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan, besarnya
resiko serta sikap resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah
kesehatan/ penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur
individu tersebut (Noor, 2008).

Umur merupakan salah satu dari faktor sosial yang juga mempengaruhi
status kesehatan kesehatan seseorang dan berdasarkan golongan umur,
maka dapat dilihat perbedaan pola penyakit (Kresno, 2000).

2. Jenis Kelamin

Menurut Robbins (2003) mengatakan secara psikologis wanita lebih


bersedia untuk memenuhi wewenang, dan pria lebih agresif dan lebih besar
kemungkinannya dari pada wanita dalam memiliki pengharapan
(ekspektasi) untuk sukses tetapi perbedaan ini kecil adanya.

Disamping itu, secara psikis, perempuan cenderung lebih patuh dalam


melaksanakan pekerjaan, termasuk melakukan kebiasaan cuci tangan
sebelum dan setelah melaksanakan tindakan terhadap pasien.

3. Pendidikan

Menurut Langeveld, yang dikutip oleh Kasan (2005), pendidikan adalah


setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan yang diberikan dan
tertuju pada arah pendewasaan anak itu, atau membantu agar cukup cakap
dalam melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari
orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah,

STIKes Faletehan
38

buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya) yang ditujukan kepada


orang yang belum dewasa.

Menurut Soekanto (2004) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana


untuk mewujudkan proses pembelajaran agar secara aktif dapat
mengembangkan petensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, keeerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara. Disebutkan jenjang pendidikan dibagi menjadi pendidikan dasar,
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Yang termasuk dalam
pendidikan dasar yaitu SD/Sederajat dan SLTP/Sederajat, pendidikan
menengah yaitu SLTA/sederajat, sedangkan pendidikan tinggi merupakan
jenjang pendidikan setelah menengah yang mencakup Diploma (D3),
Sarjana, Magister, Spesialis dan Doctor yang diselenggarakan oleh
perguruan tinggi. (Sarwono, 2005).

4. Pengetahuan

Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui mengenai hal atau sesuatu


pengetahuan dapat dilihat dari perilaku seseorang (Sarwono, 2005).
Pengetahuan adalah hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pengetahuan umumnya datang
dari penginderaan, yaitu indera pengliharan, pendengaran, penciuman,
rasa, raba, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga (Notoadmodjo, 2007).

Pengetahuan atau kognitif adalah merupakan domain yang sangat berguna


untuk terbentuknya tindakan seseorang pengetahuan yang mencakup di
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai meningkatkan suatu materi yang tidak dipelajari
sebelum Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, “tahu”
ini adalah pengetahuan yang paling rendah, kata kerja yang digunakan

STIKes Faletehan
39

antara lain: menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan


menyatakan
b. Memahami
Suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang
diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi
Suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi atau kondisi yang riil.
d. Analisis
Suatu kemampuan untuk menj abarkan materi atau suatu objek ke
dalam komponen-komponen tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi. Ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja, dapat
menggambarkan, membedakan, memisahkan dan mengelompokkan.
e. Sintesis
Suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi
Suatu kemampuan untuk meletakkan penelitian, terhadap suatu materi
atau objek pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi ingin
diukur dari subjek penelitian atau responden ke dalam pengetahuan
yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaian dengan
tingkat tersebut di atas (Notoadmodjo, 2007).

Hasil penelitian Ningsih (2010) di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo


Pamekasan didapatkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat
pengetahuan yang cukup tentang cuci tangan. Disamping itu, salah satu
faktor yang berhubungan secara signifikan dengan kebiasaan cuci tangan
pada perawat adalah tingkat pengetahuan (p= 0,001).

STIKes Faletehan
40

5. Sarana Cuci Tangan

Menurut teori perilaku dari Green dalam Notoatmodjo (2007), Sarana cuci
tangan merupakan faktor pendukung yang dapat mempengaruhi perilaku
atau tindakan mencuci tangan pada perawat.

Sarana cuci tangan adalah ketersediaan air mengalir dengan saluran


pembuangan atau bak penampungan yang memadai, disamping
ketersediaan antiseptik berupa sabun. Dengan guyuran air mengalir
tersebut diharapkan mikroorganisme akan terlepas ditambah gesekan
mekanis atau kimiawi saat mencuci tangan mikroorganisme akan terhalau
dan tidak menempel lagi di permukaan kulit. Air mengalir tersebut dapat
berupa kran atau dengan cara mengguyur dengan gayung.

6. Pengawasan Cuci Tangan

Pengawasan adalah melakukan penilaian sekaligus koreksi terhadap setiap


penampilan karyawan untuk mencapai tujuan seperti yang ditetapkan
dalam rencana. Pwngawasan merupakan suatu proses untuk mengukur
penampilan suatu program yang kemudian dilanjutkan dengan
mengarahkannya sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan
dapat tercapai (Azwar, 2007).

Pengawasan cuci tangan dapat diartikan sebagai penilaian yang dilakukan


atasan terhadap tindakan cuci tangan yang dilakukan perawat serta koreksi
dari atasan untuk dapat meningkatkan tindakan cuci tangan perawat sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan.

Dengan adanya pengawasan yagn baik dari atasan, maka akan memberikan
kontribusi terhadap kepatuhan perawat dalam melakukan kebiasaan cuci
tangan yang dilakukan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
keperawatan terhadap pasien.

F. Kerangka Teori

Berdasarkan beberapa teori yang telah dikemukakan di atas, maka dapat


disusun kerangka teori penelitian sebagai berikut.

STIKes Faletehan
41

Kebiasaan Cuci Tangan


Sebelum Dan Sesudah
Melaksanakan Tindakan

Faktor Predisposisi :
Umur Faktor Pendukung : Faktor Penguat :

Jenis kelamin Sarana cuci tangan Pengawasan

Pendidikan

Pengetahuan

Kebijakan RS dalam Sikap dan perilaku


- Intelegensi
- Informasi menyediakan sarana Pimpinan / atasan

Gambar 2.3 Kerangka Teori

Sumber : Green (1980) dalam Notoatmodjo (2007)

STIKes Faletehan
42

BAB III
KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL,
DAN HIPOTESIS

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan pada Bab II,


disesuaikan dengan tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping Kabupaten Lebak
tahun 2012, maka dapat disusun kerangka konsep penelitian ini, sebagai
berikut.

Variabel Independen Variabel Dependen

Faktor Predisposisi :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Pengetahuan

Faktor Pendukung : Kebiasaan Cuci Tangan


Sebelum Dan Sesudah
5. Sarana cuci tangan
Melaksanakan Tindakan

Faktor Penguat :
6. Pengawasan

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

42
STIKes Faletehan
43

B. Definisi Operasional

Tabel 3.1
Definisi Operasional
Cara dan Alat
No Variabel Definisi Operasional Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Kebiasaan Tindakan perawat Observasi 0. Tidak Ordinal
Cuci Tangan dalam melakukan cuci Lembar checklis 1. Ya
Sebelum Dan tangan menggunakan
Sesudah sabun sebelum dan
Melaksanakan sesudah melakukan
Tindakan tindakan terhadap
pasien
2 Umur Lama hidup perawat Kuesioner 0. < mean Ordinal
dihitung dari lahir 1. > mean
sampai penelitian
dilakukan
3 Jenis kelamin Tanda-tanda fisik yang Kuesioner 0. Laki-laki Nominal
dibawa sejak lahir dan 1. Perempuan
membedakan antara
peawat laki-laki dan
perempuan
4 Pendidikan Jenjang sekolah formal Kuesioner 0. DIII Ordinal
yang ditamatkan oleh Keperawatan
perawat dan 1. S1
memperoleh ijazah Keperawatan
5 Pengetahuan Tingkat pemahaman Kuesioner 0. Kurang, jika Ordinal
perawat tentang Diukur dari 15 < 56%
berbagai hal yang pertanyaan dan 1. Cukup, jika
berkaitan dengan 3 pilihan 56-75%
perilaku cuci tangan jawaban. 2. Baik, jika
> 75%
6 Sarana Ada tidaknya sarana Kuesioner 0. Kurang, jika Ordinal
prasarana cuci tangan Diukur dari 5 skor jawaban
yang disediakan oleh pertanyaan dan < 2,5
pihak rumah sakit 2 pilihan 1. Baik, jika
beserta kondisinya jawaban, skor jawaban
dengan skor 0 > 2,5
dan 1. Total
skor jawaban 0-
5. median 2,5
7 Pengawasan Tanggapan perawat Kuesioner 0. Kurang, jika Ordinal
mengenai ada tidaknya Diukur dari 5 skor jawaban
supervisi dari atasan pertanyaan dan < 2,5
dalam hal perilaku cuci 2 pilihan 1. Baik, jika
tangan pada perawat jawaban, skor jawaban
dengan skor 0 > 2,5
dan 1. Total
skor jawaban 0-
5. median 2,5

STIKes Faletehan
44

C. Hipotesis

1. Ada hubungan antara umur dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.
2. Ada hubungan antara jenis kelamin dengan kebiasaan cuci tangan sebelum
dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.
3. Ada hubungan antara pendidikan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum
dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.
4. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum
dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.
5. Ada hubungan antara sarana dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.
6. Ada hubungan antara pengawasan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum
dan sesudah melaksanakan tindakan pada perawat di RSUD Malingping
Kabupaten Lebak tahun 2012.

STIKes Faletehan
45

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik, dengan desain


penelitian cross sectional (potong lintang), dimana hubungan variabel
independen dan dependen diketahui/diukur pada saat bersamaan. Dalam hal
ini peneliti ingin mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan pada
perawat di RSUD Malingping Kabupaten Lebak tahun 2012.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Malingping Kabupaten Lebak. Waktu


penelitian dilaksanakan mulai dari bulan Oktober – Desember 2012. Adapun
proses pengambilan data dilaksanakan bulan November – Desember 2012.

C. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian atau obyek yang diteliti.


(Notoatmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh perawat
yang bertugas di RSUD Malingping Kabupaten Lebak, yaitu sebanyak 31
orang.

D. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. (Notoatmodjo, 2005). Sampel dalam
penelitian ini dengan mengambil seluruh populasi yang ada, yaitu seluruh
perawat yang bertugas di RSUD Malingping Kabupaten Lebak, yaitu
sebanyak 31 orang

45 STIKes Faletehan
46

E. Pengumpulan Data

1. Prosedur Penelitian
a. Tahap Persiapan
1) Mengajukan judul
2) Melakukan studi pendahuluan dan penjajakan awal untuk
menentukan masalah
3) Studi kepustakaan
4) Menyusun proposal penelitian
5) Menyusun instrumen penelitian
6) Bimbingan pembuatan proposal dan seminar proposal serta
perbaikan proposal dan instrumen
b. Tahap Pelaksanaan
1) Mengurus ijin penelitian
2) Menyebarkan kuesioner terhadap responden yang menjadi sampel
dalam penelitian, dibantu oleh oranglain/sesama petugas yang
sebelumnya telah diberikan penjelasan tentang tatacara pengisian
kuesioner
3) Melakukan pengolahan data dan analisis hasil penelitian
c. Tahap Akhir
1) Penyusunan laporan penelitian
2) Sidang atau pertanggungjawaban hasil penelitian
3) Revisi dan penggandaan hasil penelitian

2. Cara dan Alat Pengumpulan Data


a. Data Primer
Data primer dikumpulkan dengan menggunakan alat ukur berbentuk
kuesioner yang diberikan kepada seluruh perawat yang bertugas di
RSUD Malingping Kabupaten Lebak.

Kuesioner terdiri dari 3 bagian, yaitu :


1) Kuesioner A, berisi karakteristik pasien, meliputi umur, jenis
kelamin, dan pendidikan. Bentuk pertanyaan adalah pertanyaan
tertutup, terdiri dari 2 pertanyaan.

STIKes Faletehan
47

2) Kuesioner B, berisi pengetahuan. Bentuk pertanyaan adalah


pertanyaan tertutup, terdiri dari 15 pertanyaan dan 3 pilihan
jawaban.
3) Kuesioner C, berisi sarana cuci tangan. Bentuk pertanyaan adalah
pertanyaan tertutup, terdiri dari 5 pertanyaan dan 2 pilihan
jawaban.
4) Kuesioner D, berisi pengawasan. Bentuk pertanyaan adalah
pertanyaan tertutup, terdiri dari 5 pertanyaan dan 2 pilihan
jawaban.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperlukan untuk mendapatkan gambaran umum
mengenai lokasi, dan hal-hal yang berkaitan dengan penelitian
di RSUD Malingping.

F. Uji Validitas dan Reliabilitas

1. Uji Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana
ketepatan suatu alat ukur dalam mengukur suatu data. Uji coba kuesioner
dilakukan dengan uji “Cronbach Alpha” (Hastono, 2007).

Adapun rumus uji validitas adalah : (Hastono, 2007)


n ( ∑ XY )−( ∑ X ∑ Y )
r=
√ [ n∑ X −(∑ X ) ][n ∑ Y −(∑ Y ) ]
2 2 2 2

Keputusan uji :
a. Bila r hitung lebih besar dari r tabel berarti Ho ditolak atau variabel
yang diujicoba dinyatakan valid
b. Bila r hitung lebih kecil dari r tabel, berarti Ho gagal ditolak atau
variabel yang diujicoba dinyatakan tidak valid.

Adapun instrumen yang dilakukan uji validitas adalah instrumen yang


berisi pertanyaan tentang pengetahuan, sarana, dan pengawasan. Untuk
mengetahui validitas kuesioner dilakukan dengan membandingkan nilai
r tabel dengan nilai r hitung. Nilai r tabel dengan menggunakan df = n – 2,.

STIKes Faletehan
48

pada tingkat kemaknaan 5%. pertanyaan dinilai valid jika nilai r hasil >
dari nilai r tabel.

Uji Coba kuesioner dilakukan oleh penulis terhadap perawat yang ada di
RSUD Serang, dan berjumlah 15 orang.. Untuk mengetahui validitas
kuesioner dilakukan dengan membandingkan nilai r tabel dengan nilai r
hitung. Nilai r tabel dengan menggunakan df = n – 2. pada tingkat
kemaknaan 5% pertanyaan dinilai valid jika nilai r hasil > dari nilai r tabel.

2. Uji Reliabilitas

Setelah semua pertanyaan valid semua, kemudian dilakukan uji reliabilitas


Reliabilitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan sejauhmana hasil
pengukuran tetap konsisten bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih
terhadap gejala yang sama dan dengan alat ukur yang sama.

Adapun uji reliabilitas dengan membandingkan nilai Cronbach Alpha


dengan nilai r tabel. ketentuannya bila Cronbach Alpha > r tabel, maka
pertanyaan tersebut reliabel (Hastono, 2007).

G. Pengolahan Data

Pengolahan data terlebih dahulu dilakukan secara manual, kemudian secara


statistik dengan menggunakan program komputer dan melalui beberapa tahap
yaitu editing, coding, entry data, dan cleaning.
1. Editing (pemeriksaan data)
Melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan pengisian kuisioner dan
konsistensi jawaban dengan pertanyaan.
2. Coding (pengkodean)
Melakukan pengkodean terhadap beberapa variabel yang akan diteliti,
dengan tujuan untuk mempermudah pada saat melakukan analisis data
dan juga mempercepat pada saat entry data
3. Entry (pemasukan data)
Setelah semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, dan juga sudah
melewati pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data

STIKes Faletehan
49

agar dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan cara


memasukkan data dari kuesioner ke paket program komputer.
4. Cleaning (pengecekan data)
Pengecekan kembali data yang sudah di-entry, apakah ada kesalahan atau
tidak.

H. Analisis Data

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendapat gambaran distribusi


responden atau variasi dari variabel yang diteliti. Analisis ini digunakan
untuk mendeskripsikan variabel dengan cara membuat tabel distribusi
frekuensi, dan dihitung dengan persentase memakai rumus sebagai
berikut :
x
f = ×100 %
n
Keterangan :
f = frekuensi
x = jumlah yang didapat
n = jumlah populasi.

Variabel yang akan dilakukan analisis univariat dalam penelitian ini,


antara lain adalah :
a. Kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah melaksanakan tindakan
pada perawat
b. Umur
c. Jenis kelamin
d. Pendidikan
e. Pengetahuan
f. Sarana cuci tangan
g. Pengawasan

STIKes Faletehan
50

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat yang dilakukan berupa tabulasi silang antar dua variabel,
yaitu variabel dependen dengan independen. Analisis bivariat bertujuan
melihat ada tidaknya hubungan antara variabel independen dan variabel
dependen seperti yang tampak dalam kerangka konsep. Dalam penelitian
ini dilakukan dengan memakai uji kai-kuadrat karena syarat uji tersebut
yaitu data yang didistribusikan normal dan jenis data yang dihubungkan
adalah kategorik. Sedangkan penyajian data dalam bentuk tabel.

Adapun rumus dari uji Chi Square ini adalah : (Hastono, 2007)

X2 =
∑ (O−E)2 ¿E¿ ∑ ¿

Df = (b – 1) (k – 1)

X2 = Kai Kuadrat
O (Observed) = Nilai observasi
E (Expected) = Nilai harapan
Df = Degree of Freedom / derajat kebebasan
b = Jumlah baris
k = Jumlah kolom.

Hasil akhir uji statistik adalah untuk mengetahui apakah keputusan uji Hi
ditolak atau Hi diterima (gagal ditolak). Dan untuk menguji kemaknaan
hubungan, digunakan tingkat kepercayaan 95 % dimana nilai p pada
tingkat kepercayaan 95 % sebagai berikut :

a. P > 0,05 menunjukkan hasil tidak bermakna atau berhubungan


(Hipotesis ditolak)
b. P < 0,05 menunjukkan hasil bermakna atau berhubungan (Hipotesis
gagal ditolak).

Variabel yang akan dilakukan analisis bivariat dalam penelitian ini, antara
lain :
a. Hubungan umur dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat.

STIKes Faletehan
51

b. Hubungan jenis kelamin dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan


sesudah melaksanakan tindakan pada perawat.
c. Hubungan pendidikan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat.
d. Hubungan pengetahuan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat
e. Hubungan sarana dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan sesudah
melaksanakan tindakan pada perawat
f. Hubungan pengawasan dengan kebiasaan cuci tangan sebelum dan
sesudah melaksanakan tindakan pada perawat

STIKes Faletehan
52

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F. 2005. Pedoman pelaksana kewaspadaan universal di pelayanan


kesehatan. Bakti Husada. Jakarta
Ali, Zaidin, 2005. Dasar-Dasar Keperawatan Profesional. Penerbit Widya
Medika. Jakarta.

Arikunto, Suharsimi, 2005. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.


Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Azwar, Azrul, 2003. Pengantar Administrasi Kesehatan, Penerbit Binarupa
Aksara, Jakarta.

...................., 2007. Konsep Mutu Dalam Pelayanan Kesehatan, Penerbit Pustaka


Sinar Harapan, Jakarta.

Creasoft, 2012. Nosokomial. Http://Creasoft.Wordpress.Com. Akses Tanggal 16


November 2012

Depkes RI. 2003. Pedoman Pelaksanaan Kewaspadaan Universal Di Pelayanan


Kesehatan. Jakarta

Emaliyawati, E, 2012. Tindakan Kewaspadaan Universal Sebagai Upaya Untuk


Mengurangi Resiko Penyebaran Infeksi. Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Padjadjaran Bandung

Lesmana, A, 2012. Tindakan Pencegahan Infeksi


Http://Anggalesmana76.Blogspot.Com. Akses Tanggal 16 November
2012

Mahyuddin, 2012. Infeksi Nosokomial. Http://Ivank-Revank.Blogspot.Com.


Akses Tanggal 16 November 2012

Notoatmodjo, Soekijo, 2005, Metode Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi, Penerbit


Rineka Cipta.

Notoatmodjo, Soekijo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta.

.............................2007. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku


Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Yogyakarta.

Novitasari, 2011. pencegahan infeksi dengan cara mencuci tangan bagi perawat
http://novitasari1234.blogspot.com. Akses Tanggal 16 November 2012

Nursalam dan Ninuk. 2007. Asuhan Keperawatn Pada Pasien Terinfeksi. Jakarta.
Salemba Medika

STIKes Faletehan
53

Prayitno, A, 2012. Dokter Lebih Malas Cuci Tangan Dibanding Perawat


http://mydentalshop.blogspot.com. Akses Tanggal 16 November 2012

Pristiyani, 2011. Faktor-faktor Penyebab Ketidakpatuhan Perawat untuk


Melakukan Tindakan Cuci Tangan Sebelum Melakukan Tindakan
Keperawatan di Bangsal AD Dalam dan Salamah di RS Muhammadiyah
Sruweng. Undergraduate Theses from JTSTIKESMUHGO. Dalam
Abstrak http://www.digilib.stikesmuhgombong.ac.id. Akses Tanggal 16
November 2012

Priyohastono, Sutanto. 2007. Analisis Data. FKM UI. Depok.

Riana, 2012. Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit. http://riana-a-h-


fkm10.web.unair.ac.id. Akses tanggal 16 November 2012.

Robbins, P Stephen, 2003. Perilaku Organisasi, Perilaku Organisasi, PT. Indeks


Kelompok Gramedia.

Tawi, M, 2011. Konsep Dasar Tehnik Mencuci Tangan Yang Baik.


http://syehaceh.wordpress.com. Akses Tanggal 16 November 2012

STIKes Faletehan

Anda mungkin juga menyukai