Anda di halaman 1dari 9

HUBUNGAN SELF EFFICACY PERAWAT DENGAN KEPATUHAN

PERAWAT MENCUCI TANGAN

OLEH :
NI KADEK ERNA
15.321.2239
A9-A

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
2018
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai peran


sangat penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Oleh
karena itu rumah sakit dituntut memberikan perlayanan yang bermutu, efektif
dan efisien untuk menjamin patient safety sesuai dengan standar yang telah
ditentukan. Salah satu indikator patient safety adalah pengurangan resiko
infeksi terkait pelayanan kesehatan (WHO, 2012).

Infeksi atau yang sekarang disebut sebagai infeksi yang berhubungan


dengan pelayanan kesehatan atau Health-care Associated Infection (HAIs)
merupakan masalah penting diseluruh dunia yang meningkat (Depkes RI,
2012). Tingkat infeksi yang terjadi di beberapa negara Eropa dan Amerika
masih sangat rendah yaitu sekitar 19% dibandingkan dengan kejadian di
negara-negara Asia, Amerika Latin, Afrika yang tinggi hingga mencapai lebih
dari 40% dan menurut WHO, angka kejadian infeksi di RS di negara-negara
Asia sekitar 3-21% (rata-rata 9%) (Depkes, 2012.).

Rata- rata kejadian infeksi nosokomial di Indonesia sekitar 9,1 % dengan


variasi 6,1%-16,0%. Penelitian yang pernah dilakukan di 11 rumah sakit di
DKI Jakarta pada 2004 menunjukkan bahwa 9,8 % pasien rawat inap mendapat
infeksi nosokomial selama dirawat. Angka kejadian infeksi nosokomial RSUP
Dr. Sardjito Yogyakarta tahun 2005 sebesar 7,95 %, dan kejadian infeksi
nosokomial RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo pada trimester III tahun 2009
sebesar 4,4 %. Data dari panitia pengendali infeksi nosokomial RSI Klaten
diperoleh kejadian infeksi nosokomial pada tahun 2012 masih termasuk tinggi
yaitu sekitar 15 %(Survey PPI RSI Klaten, 2012).

Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang rumah sakit,


menyatakan bahwa “setiap pasien mempunyai hak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di Rumah Sakit”. Salah satu poinya
yaitu menghindari adanya resiko infeksi nosokomial di rumah sakit, dan
mencegah terjadinya kerugian pada pasien yang diakibatkan kesalahan dari
petugas medis, paramedis, atau non medis (DepKes, 2013). Salah satu cara
untuk mengurangi infeksi nosokomial yaitu dengan cuci tangan.

Menurut pendapat Perry & Potter (2005), mencuci tangan salah satu
kewajiban dari tenaga kesehatan yaitu dengan mencuci tangan merupakan teknik
dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan infeksi
nosokomial. Perawat dapat memperhatikan apakah mereka sudah melakukan
prosedur cuci tangan yang baik dan benar, karena perawat adalah petugas
kesehatan yang paling rentan menjadi perantara terjadi infeksi (Nita,dkk 2012).

Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang efektif untuk


memutuskan rantai transmisi infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat
berkurang. Pencegahan dan pengendalian infeksi mutlak harus dilakukan oleh
perawat, dokter, dan seluruh orang yang terlibat dalam perawatan pasien. Salah
satu komponen standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi
nosokomial adalah menggunakan panduan kebersihan tangan yang benar dan
mengimplementasikan secara efektif (Joko, 2012). Praktek cuci tangan oleh
perawat yang direkomendasikan adalah lima moment yaitu sebelum kontak
dengan pasien, sebelum melakukan tindakan aseptik, setelah kontak dengan
pasien, setelah kontak dengan cairan tubuh pasien, setelah kontak dengan
peralatan lingkungan sekitar pasien.

Cuci tangan yang benar adalah cuci tangan yang telah dilaksanakan
dengan prosedur yang benar dengan langkah-langkah enam langkah yang
secara berurutan. Tujuan dilakukannya cuci tangan adalah mengangkat
mikroorganisme yang ada di tangan, mencegah infeksi silang (cross infection),
menjaga kondisi steril, melindungi diri dan pasien dari infeksi, memberikan
perasaan segar dan bersih.

Kepatuhan mencuci tangan merupakan kewaspadaan standar dipelayanan


kesehatan. Kepatuhan tenaga kesehatan terutama perawat terhadap pelaksanaan
kewaspadaan standar merupakan hal yang sangat penting karena dengan perawat
patuh cuci tangan maka penularan penyakit dapat dicegah (Sahar, 2011).

Tingkat kepatuhan perawat melakukan cuci tangan masig menjadi nasalah


karena termasuk dalam kategori rendah. Hand Hygien Autralia (2012)
menyatakan tingkat kepatuhan kebersihan tangan perawat di 656 rumah sakit
umum dan swasta di Australia adalh 76.4%. Randle, Arthur dan Vaughan (2010)
menyebutkan bahwa tingkat krpatuhan perawat melakukan lima waktu dan enam
langkah kebersihan tangan sekitar 75% sehingga menimbulkan berbagai dampak.

Ketidakpatuhan perawat melakukan kebersihan tangan menyebabkan


meningkatnya angka kejadian HAIs. Salamati, dkk (2013) menyatakan lebih dari
1.4 juta orang oenderita HAIs diseluruh dunia yaitu dinegara maju sekitar 5-10%
sedangkan negara berkembang sekitar 25% yang diakibatkan karena
ketidakpatuhan perawat melakukan kebersihan tangan. Data kejadia HAIs dari
jumlah pasien 1.527 orang yaitu 55,1% terjadi dirumah sakit pemerintah,
sedangkan dari 991 pasien yaitu 35,7 % terjadi di rumah sakit swasta dan dari
jumlah pasien 254 pasien yaitu 9,1% di rumah sakit angkatan darat karena
rendahnya tingkat kepatuhan kebersihan tangan perawat (Depkes,2004).

Kepatuhan untuk melaksanakan cuci tangan dipengaruhi oleh beberapa


faktor yaitu faktor individu, organisasi dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut
mempunyai ketergantungan dalam mempengaruhi kepatuhan dalam melaksanakan
hand hygiene. Faktor individu yang mempengaruhi yaitu pengetahuan, sikap,
beban kerja, dan motivasi. Faktor organisasi meliputi ada tidaknya prosedur tetap,
sanksi, penghargaan, dukungan, pelatihan dan ketersediaan fasilitas sarana dan
prasarana yang menunjang pelaksanaan hand hygiene. Faktor lingkungan meliputi
air dan arsitektur bangunan (Pittet, 2001). Faktor-faktor lain penentu perilaku
kepatuhan seperti sikap, pengetahuan, pengaruh sosial, dan self-efficacy.
Pentingnya memahami dinamika perubahan perilaku untuk merancang strategi
untuk meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan dalam melakukan hand hygiene
(Wandel, et al., 2010).
Pemberian layanan keperawatan didasarkan pada kemampuan individual
yang dimiliki perawat, salah satunya adalah keyakinan diri atau self-efficacy.
Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan bahwa self-efficacy merupakan
pandangan spesifik mengenai kemampuan individu untuk melakukan kegiatan
tertentu. Pandangan mengenai kemampuan individu dapat berperan dalam
pelaksanaan berbagai tugas spesifik yang hendak dilaksanakan. Selain dalam
pelaksanaan tugas spesifik, self-efficacy juga berperan dalam perkembangan
individu, proses adaptasi dan berbagai perubahan lainnya (Pajares & Urdan,
2006). Kategorisasi tinggi atau rendahnya tingkat self-efficacy pada individu
dinilai dapat mempengaruhi motivasi, keyakinan terhadap kinerja, dan optimisme
individu tersebut. Self-efficacy juga dapat menjadi modal utama bagi perawat
dalam memberikan kinerja yang baik (Lailani dkk., 2014; Novita & Dewanti,
2013; Pajares & Urdan, 2006; Prasetya, Handayani, & Purbandari, 2013; Taylor
et al., 2009).
Penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukan adanya variasi
mengenai tingkat self-efficacy pada perawat. Sulistyowati (2007) menemukan 62
perawat memiliki self-efficacy yang tinggi, dan 22 orang perawat lainnya memiliki
self-efficacy rendah hingga sedang. Lee (2008) melalui hasil penelitiannya
menyatakan rerata self-efficacy pada 497 perawat dengan rentang satu hingga lima
adalah 3,49. Pada rentang yang sama, ditemukan juga rerata self-efficacy sebesar
3,65 pada 128 perawat (Lim, Lee, Yoon, & Chon, 2012). Novita dan Dewanti
(2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sebesar 49% perawat pada salah
satu rumah sakit di Indonesia memiliki self-efficacy dengan tingkat sedang.
Ditemukan pula sebesar 55% dari 60 perawat memiliki self-efficacy sedang,
sementara itu perawat dengan self-efficacy tinggi ditemukan hanya sebesar 23,3%
(Harnida, 2015). Penelitian Nakhaee dan Mofrad (2015) juga menemukan hal
serupa dimana 49 dari 62 perawat atau sebesar 79% perawat memiliki self-
efficacy dengan tingkatan sedang. Park, Han, dan Jo (2016) dalam penelitiannya
juga menemukan bahwa dalam rentang satu hingga lima, self-efficacy pada
perawat memiliki rerata sebesar 2,93.
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dituntut untuk memiliki
self-efficacy yang tinggi. Taylor et al. (2009) menyatakan bahwa ketika individu
hendak melakukan kegiatan untuk sebuah tujuan, self-efficacy merupakan salah
satu faktor yang berperan. Selain itu, self-efficacy juga memiliki kontribusi dalam
pengaturan perilaku individu termasuk perawat. Individu yang memiliki self-
efficacy yang tinggi cenderung berperilaku baik sesuai dengan harapan dan
tujuannya (Hergenhan & Olson, 2008). Sebagai penyelenggara asuhan
keperawatan, perawat dituntut untuk selalu memberikan performa baik. Hal
tersebut dapat dicapai jika perawat memiliki self-efficacy yang tinggi. Performa
yang baik akan mengoptimalkan penyelenggaraan asuhan keperawatan sehingga
kualitas layanan keperawatan akan meningkat (Nursalam, 2011). Hal ini sesuai
dengan rencana strategis pemerintah mengenai peningkatan kualitas pelayanan
keperawatan di tahun 2015 hingga tahun 2019 (Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2015).

Keberadaan self-efficacy dalam diri individu memiliki perbedaan dengan


individu lainnya. Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Lee dan Song (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa
usia dapat berperan dalam perkembangan self-efficacy pada masing-masing
individu. Usia dapat berbeda pada masing-masing individu dan dapat merubah
persepsi mengenai kemampuan yang dimiliki. Selain usia, tingkat pendidikan juga
berperan dalam perkembangan self-efficacy individu. Penelitian yang dilakukan
pada 265 perawat menemukan pengaruh yang signifikan dari tingkat pendidikan
terhadap self-efficacy. Pengaruh yang signifikan tersebut dikarenakan adanya
pengalaman belajar yang dilalui selama menjalani proses perkembangan dan
pembelajaran. Jenis kelamin juga merupakan faktor yang memberikan peranan
terhadap self-efficacy individu. Chyung (2007) menyatakan bahwa wanita
cenderung memiliki nilai self-efficacy yang lebih baik dibandingkan dengan pria.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Pajares dan Urdan (2006) yang
menyatakan bahwa wanita memiliki persepsi yang lebih baik mengenai
kemampuan diri yang dimiliki. Persepsi mengenai kemampuan diri dapat
disebabkan oleh adanya berbagai pengalaman yang pernah dialami individu.
Proses belajar melalui pengalaman yang dirasakan individu juga dapat berperan
dalam perkembangan nilai self-efficacy individu (Soudagar et al., 2015; Taylor et
al., 2009).

Kondisi fisik dan psikologis juga menyumbangkan peranan terhadap self-


efficacy. Saam dan Wahyuni (2013) menyatakan bahwa kondisi fisik dan
psikologis merupakan hal yang berkaitan dan dapat saling berpengaruh. Ketika
individu berada dalam kondisi fisik yang kurang optimal, maka hal tersebut dapat
mempengaruhi kondisi psikologis individu termasuk nilai self-efficacy. Burnout
merupakan sebuah kondisi kelelahan fisik yang diakibatkan oleh pekerjaan
(Muslihudin dalam Lailani dkk., 2014). Burnout juga dapat berperan besar
terhadap perubahan self-efficacy individu. Penelitian yang dilakukan pada 80
orang tenaga kesehatan menyebutkan bahwa kondisi kelelahan kerja dapat
menyebabkan perubahan persepsi individu mengenai kemampuan yang dimiliki
ketika hendak melakukan pekerjaan (Afta, Shah, & Mehmood, 2012).

Kontribusi terhadap self-efficacy juga diberikan oleh harga diri (self-


esteem). Self-esteem merupakan perasaan bernilai yang dimiliki individu yang
dapat berpengaruh pada segala aspek, termasuk pandangan diri (Engko dalam
Prasetya dkk., 2013). Perasaan bernilai dapat muncul baik secara positif atau
negatif yang kemudian memiliki dampak pada self-efficacy individu (Bandura,
2008). Individu yang merasa berharga, dihargai, dan diperhatikan cenderung
memiliki persepsi yang baik terhadap kemampuan dirinya dalam melaksanakan
pekerjaan. Selain persepsi individu mengenai kemampuan melakukan pekerjaan,
self-esteem juga membuat adanya pandangan keberhasilan dalam diri individu
(Prasetya dkk., 2013; Saam & Wahyuni, 2013).

Peranan self-efficacy terhadap tenaga keperawatan menjadikan self-


efficacy sebagai hal yang patut diperhatikan. Quan (2011) menyatakan bahwa
tenaga keperawatan merupakan kelompok dengan proporsi dan jumlah terbesar
dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perawat memiliki
tuntutan yang sangat besar dalam memberikan pelayanan kesehattan di rumah
sakit. Perawat juga dikenal sebagai penggerak sebuah rumah sakit dalam
pemberian layanan kesehatan dengan asuhan keperawatan (Nursalam, 2011).
Sebagai perawat khususnya perawat pelaksana memiliki waktu lebih banyak
dengan klien, self-efficacy diperlukan sehingga perawat dapat optimal dalam
bekerja dan menunjang pelayanan kesehatan di Rumah Sakit.

Terkait fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang


hubungan self efficacy perawat dengan kepatuhan perawat mencuci tangan.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dibuat suatu
rumusan masalah sebaigai berikut : “apakah ada hubungan self efficacy perawat
dengan kepatuhan perawat mencuci tangan?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan self efficacy perawat dengan kepatuhan perawat


mencuci tangan.

1.3.2 Tujuan khusus


1. Mengidentifikasin self efficacy perawat
2. Mengidentifikasi kepatuhan perawat mencuci tangan
3. Menganalisa hubungan self efficacy perawat dengan kepatuhan perawat
mencuci tangan.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Teoritis
1. Menambah pengetahuan dalam upaya meningkatkan kualitas personal
perawat sebagai care giver.
2. Menambah khasanah keilmuan manajemen keperawatan terutama mengenai
kepatuhan perawat mencuci tangan
4. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar untuk
mengembangkan riset keperawatan yang berkaitan dengan kepatuhan perawat
mencuci tangan dalam pemberian asuhan keperawatan
1.4.2 Praktis
1. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak manajemen Rumah Sakit
dalam melaksanakan kegiatan perencanaan, pengembangan dan pembinaan
terhadap sumber daya keperawatan guna menghasilkan tenaga keperawatan
yang mampu menerapkan kepatuhan perawat mencuci tangan dalam setiap
pemberian pelayanan keperawatan.
2. Kepatuhan perawat mencuci tangan diharapkan mampu mengurangi kejadian
infeksi nosokomial.
3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perawat untuk
menerapkan kepatuhan mencuci tangan saat pemberian pelayanan
keperawatan.

Anda mungkin juga menyukai