Anda di halaman 1dari 15

Tindakan Perawatan Dalam Upaya Memutus Rantai

Infeksi Precaution, Medication Safety

Latar Belakang

Patient safety merupakan prioritas, isu penting dan global dalam pelayanan kesehatan.
Patient safety merupakan komponen penting dan vital dalam asuhan keperawatan yang berkualitas.
Hal ini menjadi penting karena Patient safety merupakan suatu langkah untuk memperbaiki
mutu pelayanan dalam memberikan asuhan keperawatan. Inti dari patient safety yaitu penghindaran,
pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak diharapkan atau mengatasi cedera-cedera dari
proses pelayanan kesehatan . Sehingga, program utama patient safety yaitu suatu usaha untuk
menurunkan angka kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat
di rumah sakit yang sangat merugikan baik pasien maupun pihak rumah sakit.
Perawat berperan penting sebagai pemutus rantai infeksi untuk menurunkan angka kejadian
infeksi yang didapat di rumah sakit (HAIs). Perawat merupakan tenaga kesehatan yang berhubungan
langsung dengan pasien dan dapat menjadi media transmisi infeksi baik bagi perawat maupun pasien
(Bartley & Russell, 2003; Kagan, Ovadia & Kaneti, 2009).

Perawat mencegah terjadinya infeksi dengan cara memutuskan rantai penularan infeksi
(Craven & Hirnle, 2007). Kegiatan ini berkaitan dengan perilaku perawat. Perilaku perawat dalam
melakukan kegiatan pencegahan dan pengendalian infeksi dapat dibentuk dengan aktivitas dalam
menampilkan peran dan fungsi kepala ruang sebagai pemimpin. Kepemim-pinan kepala ruang dapat
memengaruhi perilaku bawahannya (Robbins, 2003; Sellgren, Ekval,
& Tomson, 2006).

Penularan infeksi yang sering terjadi di lingkungan pelayanan medis, sangat beresiko
terpapar ke tenaga kesehatan, pasien, pengunjung dan karyawan. Pelayanan kesehatan yang diberikan
ke pasien harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai pelayanan
yang prima dan optimal. Proses dalam mewujudkan Pelayanan yang prima dan optimal dapat
diwujudkan dengan kemampuan kognitif dan motoric yang cukup yang harus dimiliki oleh setiap
petugas kesehatan. Seperti yang kita ketahui pengendalian infeksi di setiap pelayanan kesehatan
merupakan rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi dan merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan administrasi menuju
proses akreditas.
Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah penting untuk menjaga sarana
kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat penyembuhan, bukan menjadi sumber
infeksi. Berkaitan dengan hal di atas maka diperlukan rangkaian program yang berkesinambungan
dalam rangka pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk meminimalkan risiko terjadinya
infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya perlu diterapkan pencegahan dan
pengendalian infeksi (PPI). Rumah Sakit/Klinik sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan tidak saja
memberikan pelayanan kuratif dan rehabilitatif tetapi juga memberikan pelayanan preventif dan
promotif.
Perkembangan Infeksi Rumah Sakit (Health Care Associated Infection) sampai saat ini
meningkat, mulai dari yang sifatnya sederhana sampai dengan yang kompleks, melibatkan berbagai
faktor. Terjadinya infeksi di rumah sakit (nosokomial dan komunitas) dan upaya untuk
mengendalikan infeksi ditentukan oleh komitmen rumah sakit dalam menjaga mutu, kontrol infeksi,
dan keselamatan pasien.
Setiap rumah sakit dengan berbagai tingkatannya, memiliki masalah dan kendala berbeda;
kendati demikian, walaupun dengan fasilitas pelayanan minimal, rumah sakit

wajib melaksanakan ketiga konsep tersebut. Kompleksitas infeksi yang terjadi di rumah sakit dapat
diukur melalui beberapa komponen dan parameter khusus seperti kebijakan pengendalian infeksi
dan ada tidaknya Standard Operational Procedure (SOP) yang mendukung kebijakan tersebut.
Komponen tersebut adalah elemen penilaian risiko infeksi terutama pada pasien rujukan dari
rumah sakit lain. Pasien rujukan umumnya datang dengan berbagai komorbiditas dan sudah
mendapat berbagai antibiotic yang memungkinkan terjadinya resistensi silang dan Multi-Drug
Resistance (MDR). Metode pendekatan multidisipliner menjadi acuan manajemen di rumah sakit
dalam mengidentifikasi faktor risiko (early warning), menilai karakteristik yang meningkatkan risiko
infeksi dan upaya menurunkan risiko infeksi.

Tujuan

Tujuan penulisan ini adalah untuk berbagi informasi tambahan tentang perlunya kesadaran
dari semua pihak dan perlunya semua pihak yang berperan mengetahui apa
”Tindakan Perawatan Dalam Upaya Memutus Rantai Infeksi Precaution, Medication Safety Dan
Upaya Mencegah Hazard Fisik Radiasi dan Hazard Kimia” untuk menghindari penyebaran rantai
infeksi dan kecelakaan akibat kerja di lokasi pekerjaan baik untuk kepentingan pribadi maupun
terhadap orang lain demi keselamatan bersama, adapun yang berperan adalah pasien, perawat, dokter,
pihak rumah sakit, pemerintahan dan lainnya. Dimana fokus bacaan ini adalah pada perawat
Hasil Keselamatan (safety) telah menjadi isu dan pasien. Karena yang lebih utama adalah
Kesehatan dan Keselamatan bersama. Metode
Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu dengan Teknik mengeksplorasi kajian
bebas, analisis data, dan pengumpulan data atau disebut literatur review yang akurat dan berfokus
dengan pembahasan “Tindakan Perawatan Dalam Upaya Memutus Rantai Infeksi Precaution,
Medication Safety Dan Upaya Mencegah Hazard Fisik Radiasi dan Hazard Kimia” pekerjaan perawat
sangat beresiko untuk mengalami kecelakaan kerja dan mudah menjadi penyebaran rantai infeksi jika
tidak hati-hati maka itu kesehatan perawat dalam masa kerja perawat baik dirumah sakit,
puskesmas maupun diinstansi manapun perawat bekerja untuk berbagi informasi tentang pentingnya
keselamatan kerja pada perawat agar tidak berdampak pada diri perawat itu sendiri atau bahkan pada
pasien yang sedang dirawat. Karena yang utama merupakan keselamatan dan kesehatan selama kerja
untuk menghindari penyebaran penyakit baru nantinya. Adapun referensi yang digunakan yaitu
berupa jurnal dan artikel ilmiah dengan tahun terbit dimulai tahun 2012 sampai dengan sekarang
yaitu totalnya ada 12 jurnal ditambal artikel ilmiah dan refernsi sumber dari dosen koordinator
penanggung jawab mata kuliah yaitu 2 referensi. global termasuk juga untuk rumah sakit. Ada

5 (lima) isu penting yang terkait dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu: keselamatan
pasien (patient safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan dirumah sakit yang bisa berdampak terhadap keselamatan pasien dan petugas, keselamatan
lingkungan (green productivity). (Depkes RI,
2006).

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) yaitu segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien,
pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan
kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.
Kecelakaan kerja yang tinggi di setiap bidang pekerjaan disebabkan oleh multifaktor. Salah
satu penyebab kecelakaan kerja yaitu tidak diterapkannya analisa potensi bahaya dan penilaian
risiko terhadap bahaya-bahaya yang ada sehingga tidak terdapat pencegahan yang memadai terhadap
bahaya yang kemungkinan dapat terjadi di perusahaan. Sebagai upaya pengendalian risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu dilakukan identifikasi sumber bahaya yang ada di tempat
kerja dan dievaluasi tingkat risikonya serta dilakukan pengendalian yang memadai. Pengendalian
risiko dilakukan pada seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan
mempertimbangkan peringkat risiko untuk menentukan prioritas dan cara pengendaliannya, dalam
menentukan pengendalian harus memperhatikan hierarki pengendalian mulai dari eliminasi,
substitusi, pengendalian teknis, administratif dan penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan
kondisi organisasi dan jenis bahaya
Pekerja rumah sakit memiliki risiko lebih tinggi mengalami penyakit dan kecelakaan akibat
kerja dibanding pekerja industri lain terutama perawat. Infeksi merupakan salah satu masalah
kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal atau didapatnya infeksi dapat berasal dari
komunitas (Community acquired infection) atau berasal dari lingkungan rumah sakit (Hospital
acquired infection) yang sebelumnya dikenal dengan istilah infeksi nosokomial.
Dengan berkembangnya sistem pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang perawatan
pasien, sekarang perawatan tidak hanya di rumah sakit saja, melainkan juga di fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, bahkan perawatan di rumah (home care). Tindakan medis yang dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan pasien, bila
dilakukan tidak sesuai prosedur berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi, baik bagi pasien (yang
lain) atau bahkan pada petugas kesehatan itu sendiri. Karena seringkali tidak bisa secara pasti
ditentukan asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired infection)
diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated infections” (HAIs) dengan pengertian
yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Juga
tidak terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang didapat pada
saat melakukan tindakan perawatan pasien. Khusus untuk infeksi yang terjadi atau didapat di
rumah sakit, selanjutnya disebut sebagai infeksi rumah sakit (Hospital infection).
Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam upaya meningkatkan
mutu pelayanan medis dan asuhan keperawatan. Infection Control Risk Assessment (ICRA)
merupakan suatu sistem pengontrolan pengendalian infeksi yang terukur dengan melihat kontinuitas
dan probabilitas aplikasi pengendalian infeksi di lapangan berbasiskan hasil yang dapat
dipertanggungjawabkan penilaian beberapa aspek penting pengendalian infeksi seperti kepatuhan
cuci tangan, pencegahan penyebaran infeksi, manajemen kewaspadaan kontak, dan pengelolaan
resistensi antibiotik. ICRA adalah suatu proses berkesinambungan yang memiliki fungsi preventif
dalam peningkatan mutu pelayanan.
Menurut definisi APIC (Association for Professionals In Infection Control and
Epidemiology), ICRA merupakan suatu perencanaan proses dan bernilai penting dalam
menetapkan program dan pengembangan kontrol infeksi. Proses ini berdasarkan kontinuitas
surveilans pelaksanaan regulasi jika terdapat perubahan dan tantangan di lapangan. ICRA merupakan
bagian proses perencanaan pencegahan dan kontrol infeksi, sarana untuk mengembangkan
perencanaan, pola bersama menyusun perencanaan, menjaga fokus surveilans dan aktivitas program
lainnya, serta melaksanakan program pertemuan reguler dan upaya pendanaan. Tim yang dibentuk
multidisiplin mencakup personil pengendalian infeksi, staf medis, perawat, dan unsur pimpinan yang
memiliki prioritas dalam kebijakan, mendokumentasikan risikodan implementasinya.. Kewaspadaan
standar dirancang di rumah sakit sebagai langkah awal untuk tindakan pencegahan infeksi
nosocomial.

Pembahasan

Resiko terjadi kecelakaan/tertular infeksi pada tenaga kesehatan ketika melakukan kegiatan
profesinya cukup besar. Untuk itu perlu bagi para calon tenaga kesehatan mengetahui langkah-
langkah penatalaksanaan kewaspadaan universal/standar dalam hal pengendalian infeksi agar tertular
penyakit pasien dapat diperkecil.Proteksi petugas kesehatan untuk mencegah terjadinya infeksi silang
merupakan salah satu faktor pemutus mata rantai penyebaran infeksi dan harus diterapkan dalam
kegiatannya bekerja pada pasien di pelayanan kesehatan.

Dalam pelayanan keperawatan, terinfeksi merupakan masalah yang sangat serius sehingga
memerlukan perhatian yang sangat besar dalam penatalaksanaan. Prinsip umum yang harus
diperhatikan adalah menjaga agar pasien tidak terinfeksi, pasien yang terinfeksi tidak tertular oleh
mikroorganisme yang lain, pasien yang terinfeksi tidak menjadi sumber penularan bagi pasien
yang lain, dan menjaga infeksi jangan sampai berkembang dan menjadi lebih parah.

Pasien dalam lingkungan perawatan kesehatan berisiko terkena infeksi karena daya
tahan tubuh yang menurun, meningkatnya pajanan terhadap jumlah dan jenis penyakit yang
disebabkan oleh mikroorganisme dan prosedur invasif. Dengan cara mempraktikkan teknik
pencegahan dan pengendalian infeksi, perawat dapat menghindarkan penyebaran mikroorganisme
terhadap pasien

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan


untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan serta
masyarakat dalam lingkungannya dengan caramemutus siklus penularan penyakit infeksi melalui
kewaspadaan standar dan berdasarkan yaitu : Beberapa pengertian dari infeksi
transmisi.

Kewaspadaan standar yang digunakan untuk perawatan kesehatan pasien yang dirawat di
rumah sakit termasuk memberikan perhatian khusus pada penerapan teknik barier, meliputi;
mencuci tangan, pakai masker dan sarung tangan, cuci tangan dan permukaan kulit lain segera
jika terkontaminasi dengan darah atau cairan tubuh, jangan menutup kembali atau memanipulasi
jarum, buang jarum ke wadah benda tajam. Letakkan semua limbah dan material yang terkontaminasi
dalam kantung plastik, peralatan klien dibersihkan dan diproses ulang dengan tepat, alat sekali pakai
dibuang. Linen yang terkontaminasi diletakkan dalam kantong yang tahan bocor dan ditangani
untuk mencegah paparan terhadap kulit dan membrane mukosa (Schaffer, Garzon, Heroux &
Korniewicz,
2000).

Penerapan kewaspadaan standar diharapkan dapat menurunkan risiko penularan pathogen


melalui darah dan cairan tubuh lain dari sumber yang diketahui maupun yang tidak diketahui.
Penerapan ini merupakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang harus rutin dilaksanakan
terhadap semua pasien dan di semua fasilitas pelayanan kesehatan (World Health Organization,
2008).
a. Kolonisasi : merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi, dimana
organisme tersebut hidup, tumbuh dan berkembang biak, tetapi tanpa disertai adanya respon imun
atau gejala klinik. Pada kolonisasi, tubuh pejamu tidak dalam keadaan suseptibel. Pasien atau petugas
kesehatan bisa mengalami kolonisasi dengan kuman patogen tanpa menderita sakit, tetapi dapat
menularkan kuman tersebut ke orang lain. Pasien atau petugas kesehatan tersebut dapat bertindak
sebagai “Carrier”.

b. Infeksi : merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi (organisme), dimana
terdapat respon imun, tetapi tidak disertai gejala klinik.

c. Penyakit infeksi : merupakan suatu keadaan dimana ditemukan adanya agen infeksi (organisme)
yang disertai adanya respon imun dan gejala klinik.

d. Penyakit menular atau infeksius : adalah penyakit (infeksi) tertentu yang dapat berpindah dari
satu orang ke orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.

e. Inflamasi (radang atau perdangan lokal) : merupakan bentuk respon tubuh terhadap suatu agen
(tidak hanya infeksi, dapat berupa trauma, pembedahan atau luka bakar), yang ditandai dengan
adanya sakit/nyeri (dolor), panas (calor), kemerahan (rubor), pembengkakan (tumor) dan gangguan
fungsi.

f. “Systemic Inflammatory Response Syndrome ” (SIRS) : sekumpulan gejala klinik atau kelainan
laboratorium yang merupakan respon tubuh (inflamasi) yang bersifat sistemik. Kriteria SIRS bila
ditemukan 2 atau lebih dari keadaan berikut :
(1) hipertermi atau hipotermi atau suhu tubuh yang tidak stabil,

(2) takikardi (sesuai usia),

(3) takipnoe (sesuai usia), serta

(4) leukositosis atau leukopenia (sesuai usia) atau pada hitung jenis leukosit jumlah sel muda
(batang) lebih dari 10%. SIRS dapat disebabkan karena infeksi atau non-infeksi seperti trauma,
pembedahan, luka bakar, pankreatitis atau gangguan metabolik. SIRS yang disebabkan infeksi
disebut “Sepsis”.

Rantai Penularan

Untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu mengetahui rantai penularan.
Apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan tersebut adalah:

a. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Pada
manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri virus, jamur dan parasit. Ada 3 faktor pada agen
penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu : patogenesis, virulensi dan jumlah (dosis atau
“lood”).

b. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap
ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan,
tanah, air dan bahan- bahan organik lainnya. Pada orang sehat, permukaan kulit, selaput lendir
saluran napas atas, usus dan vagina merupakan reservoir yang umum.

c. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu
keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana
mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.

d. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang
suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin,
selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
e. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup
untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau penyakit. Faktor yang khusus
dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang
luas, trauma atau pembedahan, pengobatan dengan imunosuresan. Faktor lain yang mungkin
berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan
herediter.

Faktor-fakor penyebab penyakit akibat kerja dapat dibedakan sebagai berikut:


a. Faktor Fisik, yang meliputi:

Suara tinggi/bising yang dapat menyebabkan ketulian.


Temperatur/suhu tinggi yang dapat

menyebabkan Hyperpireksi, Milliaria, heat Cramp, Heat Exhaustion, Heart Stroke.


Radiasi sinar elektromagnetik, pada

mata infra merah dapat menyebabkan katarak, ultraviolet menyebabkan konjungtivitis,


radioaktif/ alfa/ beta/ gama/ X menyebabkan gangguan terhadap sel tubuh manusia.
Tekanan udara tinggi yang dapat

menyebabkan Coison Disease.

Getaran/vibration yang dapat menyebabkan Reynaud’s Disease, Gangguan proses


metabolisme, Polineurutis.

b. Faktor Kimia

Berasal dari bahan baku, bahan tambahan, hasil antara, hasil samping, hasil (produk),
sisa produksi atau bahan buangan yang dapat berbentuk zat padat, cair, gas, uap
maupun partikel. Materi ini masuk ke tubuh dapat melalui saluran pernafasan, saluran
pencernaan, kulit dan mukosa.
Efek terhadap tubuh dapat

menyebabkan iritasi, alergi, korosif, Asphyxia, keracunan sistemik, kanker,


kerusakan/kelainan janin, pneumoconiosis, efek bius (narkose) dan pengaruh genetik.
c. Faktor biologi yang dapat berasal dari virus, bakteri, parasit, jamur, serangga, binatang buas,
dan lain-lain.
d. Faktor Ergonomi/Fisiologi

Penyebabnya adalah cara kerja, posisi kerja, alat kerja, lingkungan kerja yang salah dan
kontruksi salah.
Efek terhadap tubuh yaitu dapat

menyebabkan kelelahan fisik, nyeri otot, deformitas tulang, perubahan bentuk dan dislokasi.

e. Faktor Mental/Psikologi

Penyebabnya yaitu suasana kerja monoton dan tidak nyaman, hubungan kerja kurang baik,
upah kerja kurang, terpencil, atau tak sesuai bakat yang mengakibatkan stress. Adapun
pencegahan penyakit menular atau infeksi antara lain :
a. Rajin mencuci tangan

Dilakukan sebelum makan, setelah berkontak dengan pasien atau melakukan pekerjaan
yang berhubungan dengan cairan kotoran, cairan tubuh pasien, sebelum memakai sarung
tangan, dan setelah melepas sarung tangan. Cara mencuci tangan adalah dengan
menggunakan air mengalir dan sabun atau cairan pembersih kuman, cuci kedua tangan
setidaknya dalam waktu
15-20 detik.

b. Memakai sarung tangan

Pada waktu ada kemungkinan berkontak dengan cairan darah, cairan tubuh, barang cairan
dan kotoran, harus mengenakan sarung tangan anti air yang terbuat dari bahan karet, ethylene
resin, atau asafetida dan sejenisnya. Pada waktu melepas sarung tangan, harus melalui
pergelangan yang ditarik keluar, kemudian sarung tangan dibalikkan keseluruhan,
kemudian dibuang, dan segera mencuci tangan. Perhatian: pemakaian sarung tangan tidak
dapat menggantikan pentingnya mencuci tangan.
c. Mengenakan masker mulut, masker mata atau masker muka
Pada saat menghadapi kemungkinan adanya cairan tubuh yang beterbangan, seperti : pasien
yang batuk atau bersin, harus mengenakan masker mulut atau masker muka dan lain-lain sebagai
alat pelindung. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai masker mulut :
(1) Masker mulut berbentuk datar walaupun memiliki hasil perlindungan, tetapi karena kurang
melengkung dan tidak menempel rapat di wajah, hasilnya tidak sebanding dengan masker mulut
berbentuk gelas.
(2) Masker mulut sebaiknya digunakan sekali pakai saja, apabila perlu dipakai berulangkali, harus
diperhatikan penyimpanan di tempat yang bersih dan berudara lancar. Tetapi untuk kondisi berikut
ini pemakaian tidak boleh dilanjutkan : ada kecurigaan pencemaran, berlubang, berubah bentuk,
kotor, berbau, hambatan untuk bernafas bertambah dan lain- lain.
(3) Pada saat melepas masker mulut harus menghindari tercemarnya masker mulut,juga
menghindari terkena pencemaran dari masker mulut. Sebelum dan sesudah melepas masker mulut,
harus mencuci tangan secara bersih.
(4) Pada saat membuang masker mulut yang tercemar, harus menghindari tersebarnya kuman,
dengan cara melipat masker ke arah dalam, diletakkan ke dalam kantong plastik yang ditutup rapat.
d. Memakai seragam kerja

Selama waktu kerja harus mengenakan seragam kerja serta rajin diganti dan dicuci.
Selesai kerja, meninggalkan kamar pasien untuk istirahat, atau ke ruang makan untuk
makan. Seragam kerja dan pakaian lainnya harus dicuci secara terpisah

Penutup

Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS) yaitu segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi keselamatan dan kesehatan bagi sumber daya manusia rumah sakit, pasien,
pendamping pasien, pengunjung, maupun lingkungan rumah sakit melalui upaya pencegahan
kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja di rumah sakit.
Kecelakaan kerja yang tinggi di setiap bidang pekerjaan disebabkan oleh multifaktor. Salah
satu penyebab kecelakaan kerja yaitu tidak diterapkannya analisa potensi bahaya dan penilaian
risiko terhadap bahaya-bahaya yang ada sehingga tidak terdapat pencegahan yang memadai terhadap
bahaya yang kemungkinan dapat terjadi di perusahaan. Sebagai upaya pengendalian risiko
kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu dilakukan identifikasi sumber bahaya yang ada di tempat
kerja dan dievaluasi tingkat risikonya serta dilakukan pengendalian yang memadai. Pengendalian
risiko dilakukan pada seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan
mempertimbangkan peringkat risiko untuk menentukan prioritas dan cara pengendaliannya, dalam
menentukan pengendalian harus memperhatikan hierarki pengendalian mulai dari eliminasi,
substitusi, pengendalian teknis, administratif dan penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan
kondisi organisasi dan jenis bahaya.

Daftar Pustaka

Azady, A., A., W., Dkk. 2018. Penggunaan Job Hazard Analysis Dalam Identifikasi Risiko
Keselamatan Kerja pada Pengerajin Logam. Higeia Journal Of Public Health Research And
Development, Vol 2 (4), 510-
519.

Dewi, F., Hnadayani, H., Kuntarti. 2016. Memutus Rantai Infeksi Melalui Fungsi
Pengorganisasian Kepala Ruang Rawat.

Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.2, hal 107-115 pISSN 1410-4490, eISSN

2354-9203

Ivana, A., Dkk. 2014. Analisa Komitmen Manajemen Rumah Sakit (RS) Terhadap Keselamatan Dan
Kesehatan Kerja (K3) Pada RS Prima Medika Pemalang. JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT (e-
Journal),Volume 2, Nomor 1, 35-41. Online di
http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jkm

Junaidi, Veriza, E. 2017. Determinan Perilaku Kewaspadaan Standar Pada Mahasiswa Poltekkes
Kemenkes Jambi Tahun 2015. Jurnal Bahana Kesehatan Masyarakat Vol.1
No.2 Edisi November

ISSN 2580-0590, 132-139.


Kamil, H. 2011. Penerapan Prinsip Kewaspadaan Standar Oleh Perawat Pelaksana Di Ruang Rawat
Inap Penyakit Bedah Rsudza Banda Aceh Application Of Universal Precautions Standard By
Nurses In Surgical Ward At Rsuza Hospital, Banda Aceh. Idea Nursing Journal Vol. II No. 1, 1-
11.

Lardo, S., Dkk. 2016. Infection Control Risk Assessment (ICRA). CDK-238/ vol.43 no.3,

215-219.
Mindhayani, I. 2020. Analisis Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Dengan Metode Hazop Dan
Pendekatan Ergonomi (Studi Kasus: Ud. Barokah Bantul). Jurnal SIMETRIS, Vol. 11 No. 1, 31-38
P-ISSN: 2252-4983, E-ISSN: 2549-3108.

Mongdong, S., R., DKK. 2019. Gambaran Pelaksanaan Program Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Rumah Sakit (K3rs) Di Rsud Maria Walanda Maramis Kabupaten Minahasa Utara. Jurnal KESMAS,
Vol. 8, No.
7, 46-53.

Pertiwi, DKK. 2019. Hazard Identification, Risk Assesment And Risk Control Serta Penerapan Risk
Mapping Pada Rumah Sakit Hewan Prof. Soeparwi Universitas Gadjah Mada. Berita Kedokteran
Masyarakat (BKM Journal of Community Medicine and Public Health Volume 35 Nomor 2, 55- 64.

Putri, O., Z., Dkk. 2017. Analisis Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Petugas Kesehatan
Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Akademik Ugm. Jurnal Kesehatan, Issn 1979-7621, Vol. 10,
No. 1, 1-
12.

Simamora, R. H. (2019). Pengaruh Penyuluhan Identifikasi Pasien dengan Menggunakan Media


Audiovisual terhadap Pengetahuan Pasien Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(1),
342-351.
Simamora, R. H. (2020). Learning of Patient Identification in Patient Safety Programs Through
Clinical Preceptor Models. Medico Legal Update, 20(3), 553-556.

Suci, R., P., E. 2018. Risk Assessment Penyakit Akibat Paparan Bahan Kimia Pada Unit Premix
Risk Assessment Of Diseases Caused By Chemical Exposure At Premix
Unit. The Indonesian Journal of

Occupational Safety and Health, Vol. 7, No.

2, 162–171.

Tribowo, C., Dkk. 2016. Handover Sebagai Upaya Peningkatan Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Di Rumah Sakit. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 11,
No.2,76-80.

Anda mungkin juga menyukai