Anda di halaman 1dari 8

UPAYA MEMUTUS RANTAI INFEKSI DI RUMAH SAKIT

Putri Syalsabila Manullang

psbila@gmail.com

Latar Belakang
Penyakit infeksi adalah masalah kesehatan yang disebabkan oleh organisme seperti virus, bakteri,
jamur, dan parasit. Meski beberapa jenis organisme terdapat di tubuh dan tergolong tidak
berbahaya, pada kondisi tertentu, organisme-organisme tersebut dapat menyerang dan menimbulkan
gangguan kesehatan, yang bahkan berpotensi menyebabkan kematian.

Infeksi dapat disebabkan oleh 4 organisme berbeda, yakni virus, bakteri, parasit, dan jamur.
Masing-masing organisme dapat menimbulkan masalah kesehatan yang berbeda. Penanganan
infeksi disesuaikan dengan organisme yang menyebabkannya dan bagian tubuh yang terinfeksi.
Umumnya penanganan infeksi dilakukan dengan pemberian obat atau operasi. Obat untuk
menangani infeksi tersedia dalam berbagai bentuk, mulai dari tablet, kaplet, salep, krim, hingga
suntik. Dosis dan jenis masing-masing obat perlu disesuaikan dengan kondisi dan riwayat pasien.
Hindari menggunakan obat tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan dokter. Selain pemberian
obat, beberapa jenis infeksi juga perlu ditangani dengan operasi. Operasi yang dilakukan akan
disesuaikan dengan kondisi yang diderita, organisme penyebab, dan riwayat kesehatan pasien.
Misalnya, pada penyakit katup jantung akibat infeksi, maka perlu dilakukan operasi untuk
mengganti katup jantung.

Perawat berperan penting sebagai pemutus rantai infeksi untuk menurunkan angka kejadian infeksi
yang didapat di rumah sakit (HAIs). Kepala ruang berperan sebagai role model untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan perawat untuk berperilaku baik dalam upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi di rumah sakit.

Memutus rantai infeksi merupakan cara terbaik untuk menghentikan suatu infeksi. rantai infeksi
tersebut meliputi enam tautan yakni agen infeksi, reservoir, portal keluar, cara penularan, portal
masuk, dan host/penerima yang rentan.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 340/MENKES/PER/III/2010


adalah: “Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan
gawat darurat”. Sedangkan pengertian rumah sakit menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No. 1204/Menkes/SK/X/2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit,
dinyatakan bahwa : “Rumah sakit merupakan sarana pelayanan kesehatan, tempat berkumpulnya
orang sakit maupun orang sehat, atau dapat menjadi tempat penularan penyakit serta memungkinkan
terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan kesehatan”.
Penularan infeksi yang sering terjadi di lingkungan pelayanan medis, sangat beresiko terpapar ke
tenaga kesehatan, pasien, pengunjung dan karyawan. Pelayanan kesehatan yang diberikan ke pasien
harus didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas untuk mencapai pelayanan yang prima
dan optimal. Proses dalam mewujudkan Pelayanan yang prima dan optimal dapat diwujudkan
dengan kemampuan kognitif dan motoric yang cukup yang harus dimiliki oleh setiap petugas
kesehatan.

Metode
Penulisan kajian artikel ilmiah ini dibuat menggunakan model metode membaca atau literasi,
menganalisa serta penelurusan ke berbagai referensi-referensi yang diantaranya yaitu jurnal (8 tahun
terakhir), buku-buku teks, e-book, dan e-learning. Artikel ilmiah dalam kajian ini telah diatur dan
disusun sesuai dengan topik yang mengacu pada sumber-sumber terkait yang berfokus pada upaya
memutus rantai infeksi di rumah sakit.

Hasil
Dari referensi dan sumber , hasil analisa yang didapatkan adalah pengendalian infeksi di setiap
pelayanan kesehatan merupakan rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi dan merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan
administrasi menuju proses akreditasi. Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang
diperoleh/dialami pasien selama dirawat di Rumah Sakit, puskesmas, dan layanan kesehatan lainya.

Infeksi Nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba pathogen yang bersumber dari
lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Akibat lainnya yang juga cukup merugikan adalah hari
rawat penderita yang bertambah, beban biaya menjadi semakin besar, serta merupakan bukti bahwa
manajemen pelayanan medis rumah sakit kurang membantu. Infeksi nosokomial yang saat ini
disebut sebagai healthcare associated Infection (HAIs) merupakan masalah serius bagi semua sarana
pelayanan kesehatan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan
merupakan tempat pemeliharaan kesehatan. Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya
atau keluarganya kepada petugas kesehatan, maka kewajiban petugas kesehatan adalah menjaga
kepercayaan tersebut.

Infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan di dunia, termasuk Indonesia. Ditinjau dari asal
atau didapatnya infeksi dapat berasal dari komunitas (Community acquired infection) atau berasal
dari lingkungan rumah sakit (Hospital acquired infection) yang sebelumnya dikenal dengan istilah
infeksi nosokomial. Dengan berkembangnya sistem pelayanan kesehatan khususnya dalam bidang
perawatan pasien, sekarang perawatan tidak hanya di rumah sakit saja, melainkan juga di fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya, bahkan perawatan di rumah (home care). Tindakan medis yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang dimaksudkan untuk tujuan perawatan atau penyembuhan
pasien, bila dilakukan tidak sesuai prosedur berpotensi untuk menularkan penyakit infeksi, baik bagi
pasien (yang lain) atau bahkan pada petugas kesehatan itu sendiri. Karena seringkali tidak bisa
secara pasti ditentukan asal infeksi, maka sekarang istilah infeksi nosokomial (Hospital acquired
infection) diganti dengan istilah baru yaitu “Healthcare-associated infections” (HAIs) dengan
pengertian yang lebih luas tidak hanya di rumah sakit tetapi juga di fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya. Juga tidak terbatas infeksi pada pasien saja, tetapi juga infeksi pada petugas kesehatan yang
didapat pada saat melakukan tindakan perawatan pasien. Khusus untuk infeksi yang terjadi atau
didapat di rumah sakit, selanjutnya disebut sebagai infeksi rumah sakit (Hospital infection).
Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam upaya meningkatkan mutu
pelayanan medis dan asuhan keperawatan di Rumah sakit yang berfokus pada keselamatan pasien,
petugas dan lingkungan rumah sakit.

Pembahasan
Penyakit menular atau infeksius adalah penyakit (infeksi) tertentu yang dapat berpindah dari satu
orang ke orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk dapat melakukan
pencegahan dan pengendalian infeksi khususnya infeksi rumah sakit, perlu memiliki pengetahuan
mengenai konsep dasar penyakit infeksi. Pada bab ini akan dibahas mengenai beberapa pengertian
tentang infeksi dan kolonisasi, inflamasi, rantai penularan penyakit, faktor risiko terjadinya infeksi
(HAIs), serta strategi pencegahan dan pengendalian infeksi.

Untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu mengetahui rantai penularan.
Apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan.
Komponen yang diperlukan sehingga terjadi penularan tersebut adalah:

a. Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi. Pada
manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri virus, jamur dan parasit. Ada 3 faktor pada agen
penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu : patogenesis, virulensi dan jumlah (dosis
atau “lood”).
b. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan siap
ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuh-
tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada orang sehat, permukaan kulit, selaput
lendir saluran napas atas, usus dan vagina merupakan reservoir yang umum.
c. Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir. Pintu
keluar meliputi saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan membrana
mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
d. Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang
suseptibel). Pintu masuk bisa melalui saluran pernapasan, pencernaan, saluran kemih dan kelamin,
selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).
e. Pejamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang cukup
untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi atau penyakit. Faktor yang khusus
dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang
luas, trauma atau pembedahan, pengobatan dengan imunosuresan. Faktor lain yang mungkin
berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya hidup, pekerjaan dan
herediter.
Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas pejamu, agen infeksi
(patogenitas, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor risiko pada pejamu dan
pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi (HAIs), baik
pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari :


a. Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan pejamu dapat meningkat dengan pemberian
imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin).
Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan
tubuh.
b. Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode fisik
maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan
memasak makanan seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.
c. Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah penularan
penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam melaksanakan
prosedur yang telah ditetapkan. Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation
Precautions” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua pilar/tingkatan yaitu “Standard
Precautions” (Kewaspadaan standar) dan “Transmission- based Precautions” (Kewaspadaan
berdasarkan cara penularan). Prinsip dan komponen apa saja dari kewaspadaan standar akan dibahas
pada bab berikutnya.
d. Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas
kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui
darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau
pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapat perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C dan HIV.

Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan


untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima pelayanan kesehatan serta
masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus penularan penyakit infeksi melalui
kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi. Bagi pasien yang memerlukan isolasi, maka akan
diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari kewaspadaan standar dan kewaspadaan
berdasarkan transmisi. Kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagai tambahan Kewaspadaan
Standar yang dilaksanakan sebelum pasien didiagnosis dan setelah terdiagnosis jenis infeksinya.
Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi sebagaiberikut:

1. Melaluikontak

2. Melaluidroplet

3. Melalui udara (AirbornePrecautions)


4. Melalui common vehicle (makanan, air, obat, alat,peralatan)

5. Melalui vektor (lalat, nyamuk,tikus)

1. Kewaspadaan Transmisi Melalui Kontak


Kewaspadaan ini bertujuan untuk menurunkan risiko timbulnya Healthcare Associated Infections
(HAIs), terutama risiko transmisi mikrobayang secara epidemiologi diakibatkan oleh kontak
langsung atau tidak langsung.
a. Kontak langsung meliputi kontak dengan permukaan kulit yang terbuka dengan kulit terinfeksi
atau kolonisasi. Misalnya pada saat petugas membalikkan tubuh pasien, memandikan, membantu
pasien bergerak, mengganti perban, merawat oral pasien Herpes Simplex Virus (HSV) tanpa
sarungtangan.
b. Transmisi kontak tidak langsung adalah kontak dengan cairan sekresi pasien terinfeksi yang
ditransmisikan melalui tangan petugas yang belum dicuci atau benda mati dilingkungan pasien,
misalnya instrumen, jarum, kasa, mainan anak, dan sarung tangan yang tidakdiganti.
c. Hindari menyentuh permukaan lingkungan lainyang tidak berhubungan dengan perawatan pasien
sebelum melakukan aktivitas kebersihan tangan (handhygiene).
d. Petugas harus menahan diri untuk tidak menyentuh mata, hidung, mulut saat masih memakai
sarung tangan terkontaminasi/tanpa sarungtangan.

2. Kewaspadaan Transmisi Melalui Droplet


Transmisi droplet terjadi ketika partikel droplet berukuran >5μm yang dikeluarkan pada saat batuk,
bersin, muntah, bicara, selama prosedur suction, bronkhoskopi, melayang di udara dan akan jatuh
dalam jarak <2 m dan mengenai mukosa atau konjungtiva, untuk itu dibutuhkan APD atau masker
yang memadai, bila memungkinkan dengan masker 4 lapis atau yang mengandung pembunuh
kuman (germ decontaminator). Jenis transmisipercikan ini dapat terjadi pada kasus antara lain
common cold, respiratorysyncitial virus (RSV), Adenovirus, H5N1,H1N1.

3. Kewaspadaan Transmisi Melalui Udara (Air-Borne Precautions)


Transmisi melalui udara secara epidemiologi dapat terjadi bila seseorang menghirup percikan
partikel nuclei yang berdiameter1-5μm (<5 μm) yang mengandung mikroba penyebab infeksi.
Mikroba tersebut akan terbawa aliran udara >2 m dari sumber, dapat terhirup oleh individu rentan di
ruang yang sama atau yang jauh dari sumber mikroba. Penting mengupayakan pertukaran udara >12
x/jam (12AirChanges per Hour/ACH)a. Pertukaran udara alamiah (natural ventilation) dapat
dikombinasikan dengan pertukaran udara mekanis yang menggunakan kipas angin dan ekshaust
fanuntuk mengatur udara di dalam suatu ruangan agar menghindari/meminimalkan terjadinya
penularan. Hal ini selaras dengan rekomendasi dari WHO. Langkah-langkah penerapan
kewaspadaan transmisi melalui udara antara lain:
a. Pertukaran udara alamiah (natural ventilation) dapat dikombinasikan dengan pertukaran udara
mekanis yang menggunakan kipas angin dan ekshaust fanuntuk mengatur udara di dalam suatu
ruangan agar menghindari/meminimalkan terjadinya penularan. Hal ini selaras dengan rekomendasi
dari WHO.
b. Pengaturan penempatan posisi pemeriksa, pasien dan ventilasi mekanis di dalam suatu ruangan
dengan memperhatikan arah suplai udara bersih yang masuk dankeluar.
c. Penempatan pasien TB yang belum pernah mendapatkan terapi OAT, harus dipisahkan dari
pasien lain, sedangkan pasien TB yang telah mendapat terapi OAT secara efektif berdasarkan
analisis resiko tidak berpotensi menularkan TB baru dapat dikumpulkan dengan pasienlain.
d. Peringatan tentang cara transmisi infeksi dan penggunaan APD pada pasien, petugas dan
pengunjung penting dicantumkan di pintu ruangan rawat pasien sesuai kewaspadaan transmisinya.
e. Ruang rawat pasien TB/MDR TB sebaiknya menggunakan ruangan bertekanan negatif. Untuk RS
yang belum mampu menyediakan ruang tersebut, harus memiliki ruang dengan ventilasi yang
memadai, minimal terjadi pertukaran udara 12x/jam (diukur dengan alat Vaneometer).

Penutup
a. Kesimpulan
Memutus rantai infeksi merupakan cara terbaik untuk menghentikan suatu infeksi. Perawat
berperan penting sebagai pemutus rantai infeksi untuk menurunkan angka kejadian infeksi
yang didapat di rumah sakit (HAIs). pengendalian infeksi di setiap pelayanan kesehatan
merupakan rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi dan merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan administrasi
menuju proses akreditasi. Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami
pasien selama dirawat di Rumah Sakit, puskesmas, dan layanan kesehatan lainya.
b. Saran
Seharusnya dirumah sakit agar membuat program mencuci tangan dan penggunaan alat
pelindung diri sangat penting dilakukan demi kelancaran tindakan dan pengurangan resiko
terjadinya infeksi yang membahayakan banyak orang.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf, M. (2016). Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitas Bakteri Akut. Idea Nursing
Journal, Vol. VII No.2.

Anugrah Perdana Masloman, G. D Kandou, Ch. R. Tilaar. (2015). Analisis Pelaksanaan


Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Kamar Operasi RSUD Dr Sam Ratulangi Tondano.
JIKMU, 5 (2).

Ernawati, E. (2014). Penerapan Hand Hygiene Perawat di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit. Jurnal
Kedokteran Brawijaya, Vol. 28.

Ferusgel Agnes, Anjelina Berutu. (2018). Faktor Yang Mempengaruhi Tindakan Keselamatan
Radiasi Sinar X di Unit Radiologi Rumah Sakit Putri Hijau Medan. Journal of Borneo Holistic
Health, Volume 1 No. 2.

Fitriana Dewi, Hanny Handiyani, dan Kuntarti. (2016). Memutus rantai infeksi melalui fungsi
pengorganisasian kepala ruang rawat. Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 19 No.2, Juli 2016,
hal 107-115.
Mike Rismayanti, Hardisman. (2019). Gambaran Pelaksanaan Program Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Di Rumah Sakit Umum X Kota Y. Jurnal Kesehatan Andalas, 8 (1).

Nurani, R. R., S., & Hidajah, A. C. (2017). Gambaran Kepatuhan Hand Hygiene pada Perawat
Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya. Jurnal Berkala Epidemiologi, Vol. 5 No 2,
hlm, 218- 230.

Nursalam. (2003). Asuhan Keperawatan pada Pasien. Jakarta: Salemba Medika.

Putri, O. Z., & dkk. (2017). Analisis Risiko Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada Petugas
Kesehatan Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Akademik Ugm . JURNAL KESEHATAN, Vol. 10,
No. 1, 1-12.

Simamora, R. H. (2019). Pengaruh Penyuluhan Identifikasi Pasien dengan Menggunakan Media


Audiovisual terhadap Pengetahuan Pasien Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Silampari, 3(1), 342-
351.

Simamora, R. H. (2020). Learning of Patient Identification in Patient Safety Programs Through


Clinical Preceptor Models. Medico Legal Update, 20(3), 553-556.

Tetyana Madjid, Adik Wibowo. (2017). Analisis Penerapan Program Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Ruang Rawat Inap RSUD Tebet Tahun 2017. Jurnal ARSI, 4 (1).

Yuantari MG Catur, Hafizhatun Nadia. (2018). Analisis Resiko Keselmatan Dan Kesehatan Kerja
Pada Petugas Kebersihan Di Rumah Sakit. Health Journal, Vol 5 (3).

Anda mungkin juga menyukai