Anda di halaman 1dari 17

Penggunaan Alat Pelindung Diri Dalam Pencengahan Infeksi Nosokomial

HUBUNGAN USIA, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PERAWAT DENGAN


TINGKAT KEPATUHAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DALAM
PENCEGAHAN INFEKSI NOSOKOMIAL
DI RUANG BEDAH RSUD SERANG TAHUN 2012.

BAB II

TINJAU PUSTAKA
A.    Konsep Dasar Pencegahan Infeksi Nosokomial

1.      Pengertian Infeksi
Infeksi adalah invasi tubuh oleh patogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan
sakit atau kerusakan jaringan. Proses dimana hospes. Agen-agen patogen (infeksius) utama
adalah (Virus, bakteri, jamur, parasit dan protozoa). Jika mikroorganisme gagal menyebabkan
cidera yang serius terhadap sel atau jaringan, infeksi disebut Asimptomatik.dan jika penyakit
infeksi dapat ditularkan langsung dari satu orang ke orang lain,penyakit ini meupakan
penyakit menular atau contagious (Potter dan Perry., 2005).

2.      Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat dari Rumah Sakit, infeksi tidak terjadi
di Rumah Sakit, infeksi tidak terjadi atau tidak dalam masa inkubasi pada saat pasien
masuk Rumah Sakit. Sedangkan menurut Depertemen Kesehatan (2003), Infeksi nosokomial
adalah suatu infeksi yang diperoleh atau dialami oleh pasien selama dirawat di rumah sakit
dan menunjukkan gejala infeksi baru setelah 72 jam pasien berada di rumah sakit serta infeksi
itu tidak ditemukan atau diderita pada saat pasien masuk ke rumah sakit.

Klien yang berada dalam lingkungan perawatan kesehatan dapat beresiko tinggi mendapatkan
infeksi. Infeksi nosokomial diakibatkan oleh pemberian layanan kesehatan dalam fasilitas
perawatan kesehatan. Infeksi entrogen adalah jenis infeksi nosokomial yang di akibatkan oleh
prosedur diagnostik atau terapeutik (Potter dan Perry., 2005).

Infeksi nosokomial adalah infeksi adalah infeksi yang terdapat dalam sarana kesehatan.
Sebetulnya Rumah Sakit memang sumber penyakit. Secara logis, rumah sakit adalah tempat
orang yang mengalami gangguan kesehatan, dimana berbagai penyakit yang diderita oleh
para pasien tersebar di rumah sakit secara terbuka. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung
dan penunggu pasien merupakan kelompok yang paling beresiko mendapat infeksi
nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas, dari pasien ke pasien
lain, dari pasien ke pengunjung, atau dari petugas kesehatan ke pasien. Hal ini biasa terjadi
apabila petugas kesehatan tidak terampil dalam menjalankan tugasnya atau tidak
mengindahkan dasar-dasar kewaspadaan umum dalam penanganan pasien. Di Negara maju
pun, infeksi yang didapat dalam rumah sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi.
Misalnya, di Amerika Serikat, ada 20.000 kematian setiap tahun akibat infeksi nosokomial.
Diseluruh dunia, 10% (1,4juta) pasien Rawat Inap di Rumah Sakit mengalami infeksi yang
baru selama dirawat setiap tahun (Yayasan Spiritia, website spiritia.or.id., 2003).

3.      Rantai Penularan
Infeksi nosokomial mulai dengan penyebab (di bagian tengah gambar berikut), yang ada pada
sumber. Kuman keluar dari sumber melalui tempat tertentu, kemudian dengan cara penularan
tertentu masuk ke tempat tertentu di pasien lain. Karena banyak pasien di Rumah Sakit rentan
terhadap infeksi (terutama Odha yang mempunyai sistem kekebalan yang lemah), mereka
dapat tertular dan jatuh sakit ‘tambahan’. Selanjutnya, kuman penyakit ini keluar dari pasien
tersebut dan meneruskan rantai penularan lagi. (Yayasan Spiritia, website spiritia.or.id.,
2003).

Gambar 2.1 Rantai Penularan Infeksi

Sumber : Yayasan Spiritia, website spiritia.or.id., 2003

Untuk melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian infeksi perlu mengetahui rantai
penularan. Apabila satu mata rantai dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau
dihentikan.
Kompenen yang diperlukan sehingga terjadi penularan infeksi tersebut adalah:
a.       Agen infeksi (Infection Agent) adalah mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi.
Pada manusia,  agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, ricketsia, jamur dan parasit. Ada tiga
faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu : patogenitas,
virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”).
b.      Reservoir atau dimana tempat agen infeksi dapat hidup, tumbuh , berkembang biak dan siap
ditularkan pada orang. Reservoir yang paling umum adalah manusia, binatang, tumbuhan-
tumbuhan, tanah, air dan bahan organik lainnya. Pada orang sehat, permukaan kulit, selaput
lendir selaput nafas atas, usus dan vagina merupakan reservoir yang umum.
c.       Pintu keluar (portal of exit) adalah jalan dari mana agen infeksi meninggalkan reservoir.
Pintu keluar meliputi saluran pernafasan, pecernaan, saluran kemih dan kelamin, kulit dan
membrane mukos, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
d.      Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi
dari reservoir ke penderita (yang susptibel). Ada berapa cara penularan yaitu : (1) Kontak :
langsung dan tidak langsung, (2) droplet, (3) airbone, (4) melalui vehikulum (makan,
air/minuman, darah) dan (5) melalui vektor (biasanya seranga da binatang pengerat).
e.       Pintu masuk (portal of entry) adalah tempat dimana agen infeksi memasuki penjamu (yang
suseptibel). Pintu masuk biasanya melalui saluran pernafasan, pencernaan, saluran kemih dan
kelamin, selaput lendir, serata kulit yang tidak (utuh).
f.       Penjamu (host) yang suseptibel adalah orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang
cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah terjadinya infeksi dan penyakit. Faktor
yag khusus dapat mempengaruhi adalah umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis,
luka bakar yang luas, trauma atau pembedahan, pengobatan dengan imunosuresan. Faktor
lain yag mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, rasa tau etnis tertentu, status ekonomi,
gaya hidup, pekerjaan dan hereditas. (Depertemen Kesehatan, 2009)

4.      Faktor Resiko “Healthcare-Associated Infections” (HAIs).


a.       Umur : neonatus dan lansia lebih rentan.
b.      Status imun yang rendah/tergantung (imuno-kompromais) : penderita dengan penyakit
kronik, penderita keganasan, obat-obat imunosupresan.
c.       Interupsi barier anatomis :
1)      Kateter urin : meningkat kejadian infeksi saluran kemih (ISK)
2)      Prosedur operasi : dapat menyebabkan infeksi luka operasi (ILO) atau “Surgical Site
Infection” (SSI).
3)      Intubasi penafasan : meningkatkan kejadian : “Hosptal Acquired Pneumonia” (HAP/VAP).
4)      Kanula vena dan arteri : menimbulkan infeksi luka infus (ILI), “Blood Stream 
Infection” (BSI).
5)      Luka dan trauma
d.      Implantasi benda asing :
1)      “indwelling catheter”
2)      “surgical suture material”
3)      “cerebrospinal fluid shunts”
4)      “valvular/vascular prostheses”
e.       Perubahan mikroflora normal : pemakaian antibiotika yang tidak bijaksana menyebabkan
timbulnya kuman yang resisten terhadap berbagai antimikroba (Depertemen Keseatan, 2009)

5.      Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi


Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas pejamu, agen
infeksi (patogenesis, virulesi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi faktor resiko pada
penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya
infeksi (HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan. (Depertemen Kesehatan,
2009).

6.      Strategi Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Terdiri Dari :


a.   Peningkatan daya tahan pejamu. Daya tahan penjamu dapat meningkatkan dengan pemberian
imunisasi aktif (contoh vaksinasi Hepatitis B), atau pemberian imunasi pasif (imonoglobulin).
Promosi kesehatan secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya
tahan tubuh.
b.  Inaktivasi agen penyebab infeksi. Inaktivasi agen infeksi dapat dilakukan dengan metode fisik
maupun kimiawi. Contoh metode fisik adalah pemanasan (Pasteurisasi atau Sterilisasi) dan
memasak makanan seperlunya. Metode kimia termasuk klorinasi air, disinfeksi.
c.     Memutus rantai penularan. Hal ini merupakan cara yang paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya sangat bergantung kepada ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah diterapkan tidakan pencegahan ini telah disusun dalam
suatu “Isolasi Precaoution” (Kewaspadaan Isolasi) yang terdiri dari dua pilar/tingkatan
yaitu “Standard Precaoution” (Kewaspadan Standar) dan “Tranmision based
Precaution” (Kewaspadaan berdasakan cara penularan).
d.   Tidakan pencegahan pejanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas
kesehatan. Hal ini terutama berkaitan dengan pencegahan agen infeksi yang ditularkan
melalui darah dan cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi Karena luka tusuk jarum bekas
pakai atau pajanan lainnya. Penyakit yang perlu mendapat pehatian adalah Hepatitis B,
Hepatitis C dan HIV. (Depertemen Kesehatan, 2009)

7.      Peran Perawat Dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial


Tenaga kesehatan wajib menjaga kesehatan dan keselamatan dirinya dan orang lain serta
bertanggung jawab sebagai pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan. Tenaga kesehatan
juga bertanggung jawab dalam mengunakan saran yang telah disediakan dengan baik dan
benar serta memelihara sarana agar selalu siap pakai dan dapat dipakai selama mungkin.
Secara rinci kewajiban dan tanggung jawab tersebut meliputi :
a.       Bertanggung jawab melaksanakan dan menjaga kesalamatan kerja dilingkungan. wajib
mematuhi intruksi yang dibeikan dalam rangka kesehatan dan keselamatan kerja, dan
membantu mempertahankan lingkungan bersih dan aman.
b.      Mengetahui kebijakan dan menerapkan prosedur kerja, pencegahan infeksi, dan
mematuhinya dalam pekerjaan sehari-hari.
c.       Tenaga kesehatan yang menderita penyakit yang dapat meningkatkan resiko penularan
infeksi, baik dari dirinya kepada pasien atau sebaliknya, sebaiknya tidak merawat pasien
secara langsung.
d.      Sebagai contoh misalnya, pasien penyakit kulit yang basah seperti eksim, bernanah, harus
menutupi kelainan kulit tersebut dengan plester kedap air, bila tidak memungkinkan maka
tenaga kesehatan tersebut sebaiknya tidak merawat pasien.
e.       Bagi tenaga kesehatan yang megidap HIV mempunyai kewajiban moral untuk memberi tahu
atasannya tentang status serologi bila dalam pelaksanaan pekerjaan status serologi tersebut
dapat menjadi resiko pada pasien, misalnya tenaga kesehatan dengan status HIV positif dan
menderita eksim basah. (Depertemen Kesehatan, 2003).

8.      Alat Pelindung Diri


Pelindung barrier, yang disebut secara umum disebut sebagai alat pelindung diri (APD),
telah digunakan selama bertahun-tahun untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang
ada pada petugas kesehatan. Namun dengan munculya AIDS dengan Hepatitis C, serta
meningkatkan kembali Tuberkulosis di banyak Negara, pemakaian APD menjadi juga sangat
penting untuk melindungi petugas. Dengan munculnya infeksi baru seperti flu burung, SARS
dan infeksi lainnya (Emerging Infectious  Diseases), pemakaian APD yang tepat dan benar
menjadi semakin penting.
Agar menjadi lebih efektif, APD harus digunakan secara benar. Misalnya gaun dan duk
lobang telah tebukti dapat mencegah infeksi luka bila hanya dalam keadaan kering.
Sedangkan dalam keadaan basah, kain beraksi sebagai spons yang menarik dari kulit atau
peralatan melalui bahan kain sehingga dapat mengkontaminasi luka operasi. Sebagai
konsekuensinya, pengolahan Rumah Sakit, penyelia dan para petugas kesehatan harus
mengetahui tidak hanya kegunaan dan keterbatasan dari APD tertentu, tetapi peran APD
sesungguhnya dalam mencegah penyakit infeksi sehingga dapat digunakan secara efektif dan
efisien.

Alat pelindung diri mencakup sarung tangan, masker, alat pelindung mata (pelindung wajah
dan kaca mata), topi, gaun apron dan pelindung lainnya. Di banyak Negara lain, topi, masker,
gaun dan duk sering terbuat dari kain atau kertas, namun pelindung yang paling baik adalah
yang terbuat dari bahan yang telah diolah atau bahan sinetik yang tidak tembus air atau cairan
lain (darah atau cairan tubuh). Bahan yang tahan air ini tidak banyak
tersedia karena harganya yang mahal. Di banyak Negara, kain katun ringan (dengan jumlah
benang 140/inci2) adalah bahan yang paling umum digunakan untuk pamakaian bedah
(masket, topi dan gaun) serta duk. Sayangnya, katun yang ringan tersebut tidak merupakan
penghalang yang efektif, karena cairan dapat tembus dengan mudah sehingga memungkinkan
terjadinya kontaminasi. Denim, kanvas dan bahan berat lainnya, disisi lain, terlalu tebal untuk
ditembus oleh uap pada waktu pengukusan sehingga tidak dapat di sterilkan,  sulit dicuci dan
memerlukan waktu yang terlalu lama untuk kering. Sebaliknya bahan kain yang digunakan
berwarna putih atau terang kotoran dan kotaminasi dapat terlihat dengan mudah. Topi atau
masker yang terbuat dari kertas tidak boleh digunakan ulang karena tidak ada cara untuk
membersihkannya dengan baik. Jika tidak dapat dicuci jangan digunakan lagi. (Depertemen
Kesehatan, 2009).

a.      Pedoman umum alat pelindung diri


1)      Tangan harus selalu bersih walaupun mengunakan APD.
2)      Lepas atau ganti bila perlu segala perlengkapan APD yang dapat digunakan kembali yang
sudah rusak atau sobek segera setalah anda mengetahui APD tersebut tidak berfugsi optimal.
3)      Lepaskan semua APD sesegera mungkin setelah selesai memberikan pelayanan dan hindari
kontaminasi : lingkungan di luar ruang isolasi, para pasien atau pekerja lain, dan diri anda
sendiri.
4)      Buang semua perlengkapan APD dengan hati-hati dan segera bersihkan tangan.
a)      Perkiraan resiko terpajan cairan tubuh atau area terkontaminasi sebelum melakukan kegiatan
perawatan kesehatan.
b)      Pilih APD sesuai dengan perkiraan resiko terjadinya pajanan.
c)      Menyediakan sarana APD bila emergensi dibutuhkan untuk dipakai (Depertemen Kesehatan,
2009).

b.      Jenis-jenis alat pelindung diri


1)      Sarung tangan : melindungi tangan dari bahan yang dapat menularakan penyakit dan
melindungi pasien dari mikroorganisme yan berada ditangan petugas kesehatan. Sarung
tangan merupakan penghalang (barrier) fisik paling penting untuk mencegah penyebaran
infeksi. Sarung tangan harus diganti antara setiap kontak dengan satu pasien dengan pasien
lainnya, untuk menghidari kontaminasi silang.
2)      Masker : harus cukup besar untuk menutupi hidung, mulut, bagian bawah dagu, dan rambut
pada wajah (jenggot). Masker digunakan untuk menahan cipratan yang sewaktu petugas
kesehatan atau petugas bedah berbicara, batuk atau bersin serta untuk mencegah percikan
darah atau cairan tubuh lainnya memasuki hidung atau mulut petugas kesehatan. Bila masker
tidak terbuat dari bahan yang tahan dari cairan, maka masker tersebut tidak efektif untuk
mencegah kedua hal tersebut.
3)      Alat pelindung mata : melindungi petugas dari percikan darah atau cairan tubuh lainnya
dengan cara melindungi mata. Pelindung mata mencakup kacamata (goggles) plastik bening,
kacamata pengaman, pelindung wajah dan visor. Kacamata koreksi atau kacamata dengan
lensa polos juga dapat digunakan, tetapi hanya jika ditambahkan pelindung pada bagian sisi
mata. Petugas kesehatan harus menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung
wajah, jika melakukan tugas yang memungkinkan adanya percikan cairan secara tidak
sengaja kearah wajah. Bila tidak tersedia pelindung wajah, petugas kesehatan dapat
menggunakan kacamata pelindung atau kacamata biasa serta masker.
4)      Topi : digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan rambut
tidak masuk kedalam luka selama pembedahan. Topi harus cukup besar untuk menutup
semua rambut. Meski pun topi dapat memberikan sejumlah perlindungan pada pasien, tetapi
tujuan utamanya adalah untuk melindungi pemakainya dari darah atau cairan tubuh yang
terpercik atau menyemprot.
5)    Gaun pelindung : digunakan untuk menutupi atau mengganti pakai biasa atau seragam lain,
pada saat merawat pasien yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit menular melalui
droplet/airbone. Pemakain gaun pelindung terutama adalah untuk melindungi baju dan kulit
petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Ketika merawat pasien yang diketahui atau dicurigai
menderita penyakit menular tersebut, petugas kesehatan harus menggunakan gaun pelindung
setiap masuk ruangan untuk merawat pasien karena ada kemungkinan percikan atau
semprotan darah cairan tubuh, sekresi atau eksresi. Pangkal sarung tangan harus menutupi
ujung lengan gaun sepenuhnya. Lepaskan gaun sebelum meninggalkan area pasien. Setelah
gaun dilepas pastikan bahwa pakaian dan kulit tidak kontak dengan bagian potensial
tercemar, lalu cuci tangan segera untuk berpindahnya organisme.
6)   Kontaminasi pada pakaian yang dipakai saat bekerja dapat diturunkan 20-100 kali dengan
memakai gaun pelindung. Perawat yang menggunakan apron plastik saat merawat pasien
bedah abdomen dapat menurunkan transmisi S. Aureus 30 kali dibandingkan dengan perawat
yang memakai baju seragam dan ganti tiap hari.
7)      Apron : yang terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air untuk
sepanjang bagian depan tubuh petugas kesehatan. Petuagas kesehatan harus mengunakan
apron dibawah gaun penutup ketika melakukan perawatan langsung pada pasien,
membersihkan pasien, atau melakukan prosedur dimana ada resiko tumpahan darah, cairan
tubuh atau sekresi. Hal ini sangat penting bila gaun pelindung tidak tahan air apron akan
mencegah cairan tubuh pasien mengenai baju dan kulit petugas kesehatan.
8)   Pelindung kaki : digunakan untuk melindung kaki dari cedera akibat benda tajam atau benda
berat yang mungkin jatuh secara tidak segaja ke atas kaki. Oleh karena itu, sadal, “sandal
jepit” atau sepatu yang terbuat dari bahan lunak (kain) tidak boleh dikenakan. Sepatu boot
karet atau sepatu kulit tertutup memberikan lebih banyak perlindungan, tetapi harus dijaga
tetap bersih dan bebas kontaminasi darah atau tumpahan cairan tubuh lain. Penutup sepatu
tidak diperlukan jika sepatu bersih. Sepatu yang tahan terhadap benda tajam atau kedap air
harus tersedia di kamar bedah, sebuah penelitian menyatakan bahwa penutup sepatu dari kain
atau kertas dapat meningkatkan kontaminasi karena memungkinkan darah merembes melalui
sepatu dan sering kali digunakan sampai diruang operasi. Kemudian di lepas tanpa sarung
tangan sehingga terjadi pencemaran (Summers at al. 1992).

c.       Faktor – Faktor Penting Yang Harus Diperhatikan Pada Pemakaian Alat Pelindung
Diri
1)      Kenakan APD sebelum kontak dengan pasien, umumnya sebelum memasuki ruangan.
2)      Gunakan dengan hati-hati jangan menyebarkan kontaminasi.
3)      Lepas dan buang secara hati-hati jangan menyebarkan kontaminasi.
4)      Lepas danbuang secara hati-hati ketempat limbah infeksius yang telah disediakan di ruangan
ganti khusus. Lepas masker di luar ruangan.
5)      Segera lakukan pembersihan tangan dengan langkah-langkah membersihkan tangan sesuai
pedoman.
Tabel 2.1 Pemilihan Alat Pelindung Diri
Pilihan Alat Pelindung
Jenis Pajanan Contoh
Diri
Resiko Redah :
    Kontak dengan Kulit     Injeksi     Sarung tangan esensial
    Tidak terpajan darah langsung     Perawatan luka ringan

Resiko Sedang :
Kemungkinana terpajan darah     Pemeriksaan pelvis     Sarung tangan
namun tidak ada cipratan     Insersi IUD     Mungkin perlu gaun
    Melepas IUD pelindung atau Celemek
    Pemasangan kateter intra vena
    Penanganan spesimen
laboratorium
    Perawatan luka berat
    Ceceran darah
Resiko Tinggi :
    Kemungkinan terpajan darah     Tidakan bedah mayor     Sarung tangan
dan kemungkinan terciprat     Bedah mulut     Celemek
    Perdarahan massif     Persalinan pervagina     Kacamata pelindung
    Masker
Sumber : Depertemen Kesehatan, 2009

d.      Prosedur Cara Pemakaian Alat Pelindung Diri


1)      Prosedur Pemakaian Sarung Tangan Steril
Persiapan :
1.      Jenis sarung tangan sesuai jenis tindakan
2.      Kuku dijaga agar selalu pendek
3.      Lepas cincin dan perhiasan lain
4.      Cuci tangan sesuai prosedur standar
Prosedur :
1.      Cuci tangan
2.      Siapakan area yang cukup luas, bersih dan kering untuk membuka paket sarung tangan.
Perhatikan tempat menaruhnya (steril atau minimal DTT).
3.      Buka pembungkus sarung tangan, meminta bantuan petugas lain untuk membuka pembukus
sarung tangan, letakan sarung tangan dengan bagian telapak tangan menghadap ke atas.
4.      Ambil salah satu sarung tangan dengan memegang pada sisi sebelah dalam lipatannya, yaitu
bagian yang akan besentuhan dengan kulit tangan saat dipakai.
5.      Posisikan saung tangan setinggi pinggang dan gantungkan ke lantai, sehingga bagian lung
jari-jari tengan terbuka. Masukan tangan (jaga srung tangan supaya tidak menyentuh
permukaan).
6.      Ambil sarung tangan ke dua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan  yang sudah memakai
sarung tanagn kebagian lipatan, yaitu bagian yang tidak akan bersentuhan dengan kulit
tangan saat dipakai.
7.      Pasang sarung tangan yang kedua dengan cara memasukan jari-jari tangan yang belum
memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan, dan atur posisi sarung tangan sehingga
terasapas dan enak di tangan. (Depertemen Kesehatan, 2009)

2)      Prosedur Melepas Sarung Tangan


Persiapan :
1.      Persiapan klorin 0,5% dalam wada yang cukup besar.
2.      Sarana cuci tangan
3.      Kantung penampung limbah medis
Prosedur :
1.      Masukan sarung tangan yang masih dipakai kedalam larutan klorin, gosokan untuk
mengangkat bercak darah atau cairan tubuh lainnya yang menempel.
2.      Pegang salah satu sarung tangan pada lipatan lalu tarik ke arah ujung ujung jari-jari tangan
sehingga bagian dalam dari sarung pertama menjadi sisi luar.
3.      Jangan dibuka sampai terlepas sama sekali, biarkan sebagian masih berada pada
tangan sebelum melepas sarung tangan yang tangan ke dua. Hal ini penting untuk mencegah
terpajannya kulit tangan yang terbuka dengan permukaan  sebelah luar sarung tangan.
4.      Biarkan sarung tangan pertama sampai disekitar jari-jari, lalu pegang sarung tangan yang
kedua pada lipatannya lalu tarik kearah ujung jari hingga bagian dalam sarung tangan
menjadi sisi luar. Demikian dilakukan secara bergantian.
5.      Pada akhir setelah hampir diujung jari, maka secara bersamaan dan dengan sangat hati-hati
sarung tangan tadi dilepas.
6.      Perlu diperhatikan bahwa tangan yang terbuka hanya boleh menyetuh bagian dalam sarung
tangan.
7.      Cuci tangan setelah sarung tangan dilepas, ada kemungkinan sarung tangan berlubang namun
sangat kecil dan tidak terlihat. Tidakan mencuci tangan setelah melepas sarung tangan ini
akan memperkecil resiko terpajan.

3)      Pengunaan Gaun Pelindung


Ketentuan :
1.      Hanya bagian luar gaun saja yang terkontaminasi, karena tujuan pemakain gaun
untuk melindungi pakaian dari infeksi.
2.      Hanya bagian depan atas gaun bedah (diatas pinggang) saja yang dianggap steril dan boleh
bersinggungan dengan lapangan.
3.      Cara memakai gaun bedah mengikuti proses tanpa singgung, yaitu dengan mengusahakan
agar bagian luar gaun tidak bersinggungan langsung dengan kulit tubuh pemakai
4.      Gaun dapat dipakai sendiri oleh pemakai atau dipakaikan oleh orang lain
5.      Selalu digunakan  dalam kamar bedah dan tidak dibawa keluar kecuali untuk dicuci,
termasuk ke ruangan makan atau yang lainnya
6.      Satu gaun pelindung dikenakan untuk menangani satu pasien
7.      Celemek kedap air dipakai disebelah dalam gaun pelindung bedah

Pesiapan Penggunaan Gaun Pelindung Steril :


1.      Handuk/lap steril
2.      Gaun pelindung steril
3.      Sarung tangan steril
4.      Cuci tangan aseptik
5.      Pembedahan
Prosedur :
1.      Keringkan tangan dan lengan satu per satu bergantian dimulai dari tangan kemudian lengan
bawah memakai anduk steril
2.      Jaga agar tangan tidak menyentuh gaun pelindung steril taruh haduk bekas pada suatu wadah
3.      Ambil gaun pelindung dengan memegang bagian dalam yaitu pada bagian pundak. Biarkan
gaun pelindung terbuka, masukan tangan-tangan ke dalam lubang. Posisi lengan diletakan
setinggi dada, menjauh dari tubuh
4.      Gerakan lengan dan tangan ke dalam lubang gaun pelindung
5.      Bagian belakang gaun ditutup/diikat dengan bantuan petugas lain yang tidak steril.
(Depertemen Kesehatan, 2003).

Gambar 2.2 Pemakaian Alat Pelindung Diri

Sumber : Departemen Kesehatan , 2003

B.     Konsep Dasar Usia

1.      Pengertian Usia
Usia adalah indeks yang menempatkan individu-individu dalam urutan perkembangan (Fry,
2001 dalam psikologi perkembangan) Lebih lanjut dikatakan bahwa pada umur sekitar awal
atau pertengahan umur 30 tahun, kebanyakan orang telah mampu memecahkan masalah
mereka dengan baik sehingga menjadi stabil dan tenang (Fry, 2001 dalam psikologi
perkembangan). Dalam hal ini perawat yang berusia lebih dari 30 tahun dianggap lebih
matang dalam bersikap,  lebih baik dalam berfikir dan bekerja, lebih menyadari bahaya
penularan infeksi sehingga timbul suatu kepatuhan dalam dirinya untuk mengikuti dan
mematuhi pedoman-pedoman pencegahan infeksi nosokomial.
Usia adalah usia individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai saat berulang tahun
(Elisabeth B.H, 1995 dalam Nursalam, 2001). Usia yang optimal dalam memahami dan
mengambil keputusan adalah diatas 30 tahun, karena usia dibawah 30 tahun atau kurang dari
30 tahun cenderung dapat mendorong terjadinya kebimbangan dalam memahami dan
mengambil keputusan (Soediman dalam Nursalam, 2003).
Semakin cukup usia, tingkat kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam
berfikir dan bekerja. Dari segi kepercayaan masyarakat, seseorang yang lebih dewasa akan
lebih dipercaya dari orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal ini sebagai akibat
dari pengalaman dan kematangan jiwanya. (Hurclok, 1998) dalam (Nursalam, 2001).
C.    Konsep Dasar Pengetahuan

1.      Pengertian Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera
manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. (Notoatmodjo,
2005).
Menurut Notoatmodjo (2005), bahwa pengetahuan dapat di peroleh diantaranya melalui
pendidikan formal, non formal, pengalaman dan media masa. Pengetahuan atau kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, pangetahuan
itu sendiri dapat diperoleh melalui pengalaman diri sendiri atau orang lain
(Notoatmodjo, 2005).

Lebih lanjut, Notoatmodjo (2005), menyatakan bahwa pengetahuan yang ada pada manusia
bertujuan menjawab masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya sehari-hari dan
digunakan untuk menawarkan berbagai kemudahan bagi manusia tersebut. Pengetahuan dapat
diibaratkan sebagai alat yang dipakai manusia dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapinya. Pengetahuan bisa didefinisikan atau diberi batasan sebagai berikut ini:
a.       Sesuatu yang ada atau dianggap ada.
b.      Sesuatu hasil persesuaian subjek dengan objek.
c.       Hasil kodrat manusia ingin tahu.
d.      Hasil persesuaian antara induksi dengan dedukasi.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (over behavior). Terbentuknya perilaku baru terutama pada orang dewasa,
dimulai pada domain kognitifatau pengetahuan, dalam arti subjek tahu terlebih dahulu
terhadap stimulus berupa materi atau objek diluarnya sehingga menimbulkan pengetahuan
baru dalam bentuk sikap terhadap objek yang diketahuinya, kemudian akhirnya akan
menimbulkan respon yang lebih jauh berupa tindakan (Notoatmodjo,2005).

2.      Cara Memperoleh Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2005) dari berbagai macam cara yang telah digunakan untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokan menjadi dua,
yakni:
a.       Cara tradisional untuk memperoleh pengetahuan
Cara kuno atau tradisional ini dipakai orang untuk memperoleh pengetahuan, sebelum
ditemukannya metode ilmiah atau metode penemuan secara sistematik dan logis.
Cara-cara ini antara lain:

1)      Cara coba-coba (trial and Eror)


Melalui cara coba-coba atau dengan kata yang lebih dikenal “trial and error” cara coba-coba
ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinann dalam memecahkan masalah, dan apabila
kemungkinan tersebut tidak berhasil, dicoba kemungkinan yang lain.
2)      Cara kepuasan atau otoritas
Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pada otoritas atau kekuasaan baik teradisi, otoritas
pemerintah, otoritas pemimpin agama, maupuna ahli ilmu pengetahuan.
3)      Berdasarkan pengalaman pribadi
Dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalah
yang dihadapi pada masa yang lalu.
4)      Melalui jalan pikiran
Kemampuan manusia menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuanya. Dalam
memperoleh kebenaran pengetahuan manusia menggunakan jalan pikirannya.

b.      Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

Cara ini disebut” metode penelitian ilmiah”, atau lebih popular disebut riset metodologi.
Menurut Deobold Van Dalen, mengatakan bahwa dalam memperoleh kesimpulan
pengamatan dilakukan dengan mengadakan observasi langsung, dan membuat pencatatan-
pencatatan terhadap semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati. Pencatatan ini
mencakup tiga hal pokok, yaitu:
1)      Segala sesuatu yang positif, yakni gejala yang muncul pada saat dilakukan pengamatan.
2)      Segala sesuatu yang negative, yajni gejala tertentu yang tidak muncul pada saat dilakukan
pengamatan.
3)      Gejala – gejala yang muncul secara bervariasi, yaitu gejala-gejala yang berubah-ubah pada
kondisis-kondisi tertentu.

3.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu
sebagai berikut :
a.       Pengalaman
Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orange lain. Pengalaman yang
sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang.
b.      Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat menambah wawasan atau pengetahuan seseorang. Yang berpendidikan
lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan luas dibandingkan tingkat pendidikan lebih
rendah.
c.       Keyakinan
Biasanya kenyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih
dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang.
d.      Fasilitas
Fasilitas sebagai sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang
misalnya, televise, radio, Koran, majalah dan buku.

4.      Tingkat Pengetahuan di Dalam Domain Kognitif


a.       Tahu(know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari sebelumnya. Termasuk ke
dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari
seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini
merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa
orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan menguraikan,
mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b.      Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang
objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang
yang telah paham tehadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya.
c.       Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada
situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan situasi yang lain.
d.   Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam
komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
e.       Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-
bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f.       Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian
terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang
ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.

Pengukur pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan
tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo
2003). Kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat disesuaikan dengan
tingkatan diatas.
Pernyataan yang dapat dipergunakan untuk mengukur pengetahuan secara umum dapat
dikelompokan menjadi 2 jenis:
a.       Pernyataan subjektif, misalnya : jenis pertanyaan essay.
b.      Pernyataan objektif, misalnya: pernyataan pilihan ganda, betul salah dan pernyataan
menjodohkan.
Pernyataan essay disebut pernyataan subjektif karena penilaian untuk pernyataan tersebut
melibatkan factor subjektif dari penilai. Sedangkan pernyataan objektif lebih disukai karena
lebih mudah disesuaikan dengan pengetahuan yang akan diukur dan lebih cepat dinilai.

D.    Konsep Dasar Sikap

1.      Pengertian Sikap
Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah
melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak
setuju, baik-tidak baik, dan sebagainya). Sikap juga dikatakan sebagai suatu sindrom atau
kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran,
perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan lain (Notoatmodjo, 2005).
Sikap dapat dipandang sebagai suatu kecenderungan menghadapi tindakan terhadap suatu
objek berdasarkan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi suatu objek.
Sikap hanyalah sebagian dari perilaku manusia (kwick dalam Notoatmodjo, 2003).
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan reaksi atau respon yang masih
tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Adapun Le Pierre (dalam
Notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi atau
kesiapan anti sipasi, presisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi social secara
sederhana. Senada dengan hal tersebut Berkowitz (dalam Notoatmodjo, 2003) menyatakan
bahwa sikap seseorang terhadap sesuatu adalah perasaan mendukung atau memihak
(favorable), maupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) pada objek tersebut.
Berdasarkan pengertian yang dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
sikap merupakan respon terhadap rangsangan atau stimulusyang timbul dari kondisi yang
terjadi di lingkungan sekitarnya yang menimbulkan respon positif (mendukung) atau negatif
(tidak mendukung) dalam bentuk reaksi yang dinyatakan dalam suatu perilaku yang
dimunculkan oleh seseorang.

2.      Struktur Sikap
Struktur sikap terdiri dari tiga komponen yang saling menunjang, yaitu : komponen kognitif,
komponen efektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitf merupakan representasi dari apa yang dipercayai oleh individu pemiik
sikap. Mann (dalam Notoatmodjo, 2003) menjelaskan bahwa komponen kognitif dapat
disamakan dengan pandangan, terutama bila menyangkut masalah. Komponen kognitif berisi
kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap.
Komponen afektif merupakan komponen perasaan yang meyangkut aspek emosional. Secara
umum komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu.
Komponen konotatif dalam struktur sikap menunjukan bagaimana perilaku atau
kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang
dihadapinya.

3.      Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu :
a.       Menerima (Receiving), diimplementasikan dalam bentuk kemauan memperhatikan stimulus
yang diberikan (objek).
b.      Merespon (Responding), diimplementasikan dalam bentuk memberikan jawaban atas suatu
pertanyaan, mengerjakan atau menyelesaikan tugas yang diberikan, terlepas dari apa yang
dijawad atau dikerjakan itu benar atau tidak. Hal ini menunjukan bahwa ada proses
penerimaan ide yang disampaikan.
c.       Menghargai (Valuing), diimplementasikan dalam bentuk ajakan terhadap orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d.      Bertanggung Jawab (Responsible), diimplementasikan dalam bentuk kesiapan menerima
resiko dari apa yang telah diperbuatnya atas dasar pilihan yang telah disiapkan.

D.    Konsep Kepatuhan

1.       Pengetian Kepatuhan
Kata “Kepatuhan” berasal dari kata “patuh“ yang memiliki arti suka menurut (perintah), taat
kepada aturan dan berdisiplin (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2004). Menurut Icek Ajzen
dan Martin Fishbein (Azwar, 2003), kepatuhan didefinisikan sebagai suatu respon terhadap
suatu perintah, anjuran atau ketetapan yang ditunjukan melalui suatu aktifitas konkrit.
Kepatuhan juga merupakan bentuk ketaatan pada aturan atau disiplin dalam menjalankan
prosedur yang telah ditetapkan.
Kepatuhan dapat diartikan sebagai suatu bentuk respon terhadap suatu perintah, anjuran, atau
ketetapan melalui suatu aktifitas konkrit . Teori ini didasarkan pada asumsi-asumsi :
1.    Bahwa manusia umumnya melakukan sesuatu dengan cara yang masuk akal.
2.    Manusia mempertimbangkan semua informasi yang ada.
3.    Bahwa secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi tindakan
mereka.
Untuk mencegah terjadinya penularan infeksi, maka perawat harus patuh terhadap apa yang
menjadi tugasnya, untuk itu perawat dituntut dapat menjalankan dan melaksanakan
kewaspadaan universal dengan baik dan benar secara konsisten.
2.      Peran Perawat Dalam Kepatuhan
Berkaitan dengan tugas keperawatan, para perawat dituntut mempunyai pengetahuan yang
baik berkaitan dengan tugas keperawatannya. Pengetahuan tersebut merupakan modal dasar
terhadap apa yang harus dilaksanakan oleh perawat. Namun, pengetahuan saja tidaklah
cukup, sikap perawat juga memegang peran penting dalam upaya membantu tenaga medis
lainnya, seperti dokter dalam menangani pasien agar segera sembuh dari penyakitnya. Tugas
dokter yang tidak dapat mendampingi pasiennya, harus diperankan oleh perawat sebagai
tenaga kesehatan dalam merawat pasien selama dirawat di Rumah Sakit. Untuk mempercepat
proses penyembuhan, maka perawat harus patuh terhadap apa yang menjadi tugasnya.
Penanganan yang salah akan berakibat buruk, bahkan akan mengakibatkan kematian. Untuk
itu, perawat dituntut dapat melaksanakan dan menjalankan pemakain alat pelindung diri 
dalam pencegahan infeksi dengan baik dan benar secara konsisten.

Read more: http://cholate-gustiar.blogspot.com/2012/12/penggunaan-alat-pelindung-diri-


dalam.html#ixzz3qJapCKJY

Anda mungkin juga menyukai