Anda di halaman 1dari 32

JALAN MASUK AGENT PENYAKIT INFEKSIUS PERNAPASAN

(TUBERKOLOSIS), REPRODUKSI (SIFILIS), PERKEMIHAN

GASTROINTESTINAL, KONJUNGTIVA

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Tengah Semester (UTS)

MATA KULIAH ASUHAN KEBIDANAN PADA KASUS KOMPLEKS

Nova Winda Setiati,SST.,MM.,M.Tr.Keb

DISUSUN OLEH :

Lilis Wahyuningsih Sri Sundari


Nur Hidayah Widy Ariastanti
Risqi Amalia Denise Primasari Auland
Anne Agustin Tuti Alawiah
Sholihatun Fatonah Kiki Sandra
Mila Hanif Fardawati Yayu Setiayu
Rapi Palupi Hj Lilis Kurnia
Imelia Purwasih Upit Pitriasari
Lela Monita Sari Dedeh
KELAS A

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

PROGRAM STUDI SI KEBIDANAN

TAHUN 2022
a. Pendahuluan

”Health-care Associated Infections (HAIs)” merupakan komplikasi yang paling sering


terjadi di pelayanan kesehatan. HAIs selama ini dikenal sebagai Infeksi Nosokomial atau disebut
juga sebagai Infeksi di rumah sakit ”Hospital-Acquired Infections” merupakan persoalan serius
karena dapat menjadi penyebab langsung maupun tidak langsung kematian pasien. Kalaupun tak
berakibat kematian, pasien dirawat lebih lama sehingga pasien harus membayar biaya rumah sakit
yang lebih banyak.

HAIs adalah penyakit infeksi yang pertama muncul (penyakit infeksi yang tidak berasal
dari pasien itu sendiri) dalam waktu antara 48 jam dan empat hari setelah pasien masuk rumah
sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, atau dalam waktu 30 hari setelah pasien keluar dari
rumah sakit. Dalam hal ini termasuk infeksi yang didapat dari rumah sakit tetapi muncul setelah
pulang dan infeksi akibat kerja terhadap pekerja di fasilitas pelayanan kesehatan.

Angka kejadian terus meningkat mencapai sekitar 9% (variasi3-21%) atau lebih dari 1,4
juta pasien rawat inap di rumah sakit seluruh dunia.Kondisi  ini menunjukkan penurunan mutu
pelayanan kesehatan. Tak dipungkiri lagi untuk masa yang akan datang dapat timbul tuntutan
hukum bagi sarana pelayanan kesehatan, sehingga kejadian infeksi di pelayanan kesehatan harus
menjadi perhatian bagi Rumah Sakit.

Pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan penunggu pasien merupakan kelompok yang
berisiko mendapat HAIs. Infeksi ini dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas,
dari pasien ke pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas
kepada pasien. Dengan demikian akan menyebabkan peningkatan angka morbiditas, mortalitas,
peningkatan lama hari rawat dan peningkatan biaya rumah sakit.

Program Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) sangat Penting untuk melindungi
pasien, petugas juga pengunjung dan keluarga dari resiko tertularnya infeksi karena dirawat,
bertugas juga berkunjung ke suatu rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Keberhasilan program PPI perlu keterlibatan lintas profesional: Klinisi, Perawat, Laboratorium,
Kesehatan Lingkungan, Farmasi, Gizi, IPSRS, Sanitasi & Housekeeping, dan lain-lain sehingga
perlu wadah berupa Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

Beberapa rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan merupakan lahan praktik bagi 
mahasiswa/siswa serta peserta magang dan pelatihan yang berasal dari berbagai jenjang
pendidikan dan institusi yang berbeda-beda. Tak diragukan lagi bahwa semua mahasiswa/siswa
dan peserta magang/pelatihan mempunyai kontribusi yang cukup besar dalam penularan infeksi
dan akan beresiko mendapatkan HAIs. Oleh karena itu penting bagi mahasiswa/siswa, peserta
magang/pelatihan, termasuk juga karyawan baru memahami proses terjadinya infeksi,
mikroorganisme yang sering menimbulkan infeksi, serta bagaimana pencegahan dan pengendalian
infeksi di rumah sakit. Sebab bila sampai terjadi infeksi nosokomial akan cukup sulit
mengatasinya, pada umumnya kuman sudah resisten terhadap banyak antibiotika. Sehingga semua
mahasiswa/siswa, peserta magang/pelatihan yang akan mengadakan praktik di rumah sakit dan
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, termasuk juga karyawan baru yang akan bertugas harus
diberikan Layanan Orientasi dan Informasi (LOI) tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi.

b. Rantai Penularan Infeksi

Pengetahuan tentang rantai penularan infeksi sangat penting karena apabila satu mata rantai
dihilangkan atau dirusak, maka infeksi dapat dicegah atau dihentikan. Komponen yang diperlukan
sehingga terjadi penularan adalah:

1. Agen infeksi  (infectious agent) adalah Mikroorganisme yang dapat menyebabkan


infeksi.  Pada manusia dapat berupa bakteri , virus, ricketsia, jamur dan parasit.
Dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: patogenitas, virulensi, dan jumlah (dosis, atau load)

2. Reservoir atau tempat dimana agen infeksi dapat hidup, tumbuh, berkembang biak dan
siap ditularkan kepada orang. Reservoir yang paling umumadalah manusia, binatang,
tumbuh-tumbuhan, tanah, air dan bahan-bahan organik lainnya. Pada manusia: permukaan
kulit, selaput lendir saluran nafas atas, usus dan vagina

3. Port of exit ( Pintu keluar) adalah jalan darimana agen infeksi meninggalkan reservoir.
Pintu keluar meliputi : saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran kemih dan kelamin,
kulit dan membrana mukosa, transplasenta dan darah serta cairan tubuh lain.
4. Transmisi (cara penularan) adalah mekanisme bagaimana transport agen infeksi  dari
reservoir ke penderita (yang suseptibel). Ada beberapa cara penularan yaitu :

 Kontak (contact transmission):


Direct/Langsung:   kontak badan ke badan transfer kuman penyebab secara fisik
pada saat pemeriksaan fisik, memandikan pasen
 Indirect/Tidak langsung (paling sering !!!): kontak melalui objek (benda/alat)
perantara: melalui instrumen, jarum, kasa, tangan yang tidak dicuci
 Droplet : partikel droplet > 5 μm melalui batuk, bersin, bicara, jarak sebar pendek,
tdk bertahan lama di udara, “deposit” pada mukosa konjungtiva, hidung, mulut
contoh : Difteria, Pertussis, Mycoplasma, Haemophillus influenza type b (Hib), 
Virus Influenza, mumps, rubella c. Airborne : partikel kecil ukuran <  5 μm,
bertahan lama di udara, jarak penyebaran jauh, dapat terinhalasi, contoh:
Mycobacterium tuberculosis, virus campak, Varisela (cacar air), spora jamur
 Melalui Vehikulum : Bahan yang dapat berperan dalam mempertahankan
kehidupan kuman penyebab sampai masuk (tertelan atau terokulasi) pada pejamu
yang rentan. Contoh: air, darah, serum, plasma, tinja, makanan
 Melalui Vektor : Artropoda (umumnya serangga) atau binatang lain yang dapat
menularkan kuman penyebab  cara menggigit pejamu yang rentan atau menimbun
kuman penyebab pada kulit pejamu atau makanan. Contoh: nyamuk, lalat,
pinjal/kutu, binatang pengerat

5. Port of entry (Pintu masuk) adalah Tempat dimana agen infeksi memasuki pejamu (yang
suseptibel). Pintu masuk bisa melalui:  saluran pernafasan, saluran pencernaan, saluran
kemih dan kelamin, selaput lendir, serta kulit yang tidak utuh (luka).

6. Pejamu rentan (suseptibel) adalah  orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang
cukup untuk melawan agen infeksi serta mencegah infeksi atau penyakit. Faktor yang
mempengaruhi: umur, status gizi, status imunisasi, penyakit kronis, luka bakar yang luas,
trauma atau pembedahan, pengobatan  imunosupresan. Sedangkan faktor lain yang
mungkin berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu, status ekonomi, gaya
hidup, pekerjaan dan herediter.
c. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi

Proses terjadinya infeksi bergantung kepada interaksi antara suseptibilitas penjamu, agen
infeksi (pathogenesis, virulensi dan dosis) serta cara penularan. Identifikasi factor resiko pada
penjamu dan pengendalian terhadap infeksi tertentu dapat mengurangi insiden terjadinya infeksi
(HAIs), baik pada pasien ataupun pada petugas kesehatan.

Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi terdiri dari:

1. Peningkatan daya tahan penjamu, dapat  pemberian imunisasi aktif (contoh vaksinasi
hepatitis B), atau pemberian imunisasi pasif (imunoglobulin). Promosi kesehatan secara
umum termasuk nutrisi yang adekuat akan meningkatkan daya tahan tubuh.

2. Inaktivasi agen penyebab infeksi, dapat dilakukan  metode fisik maupun kimiawi. Contoh
metode fisik adalah pemanasan (pasteurisasi atau sterilisasi) dan memasak makanan
seperlunya. Metode kimiawi termasuk klorinasi air, disinfeksi.

3. Memutus mata rantai penularan. Merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah
penularan penyakit infeksi, tetapi hasilnya bergantung kepeda ketaatan petugas dalam
melaksanakan prosedur yang telah ditetapkan.

Tindakan pencegahan ini telah disusun dalam suatu “Isolation Precautions” (Kewaspadaan
Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar)
dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).

Tindakan pencegahan paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP) terhadap petugas


kesehatan. Berkaitan  pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau cairan tubuh
lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya. Penyakit
yang perlu mendapatkan perhatian adalah hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV.

d. Kewaspadaan Isolasi
Mikroba penyebab HAIs dapat ditransmisikan oleh pasien terinfeksi/kolonisasi kepada
pasien lain dan petugas. Bila kewaspadaan isolasi diterapkan  benar dapat menurunkan risiko
transmisi dari pasien infeksi/kolonisasi. Tujuan kewaspadaan isolasi adalah menurunkan transmisi
mikroba infeksius diantara  petugas dan pasien. Kewaspadaan Isolasi harus diterapkan
kewaspadaan isolasi sesuai gejala klinis,sementara menunggu hasil laboratorium keluar.

Kewaspadaan Isolasi merupakan kombinasi dari :

 Standard Precautions /Kewaspadaan Standar

gabungan dari:

 Universal Precautions/Kewaspadaan Universal

 Body Substance Isolation/Isolasi substansi/cairan tubuh

berlaku untuk semua pasien, kemungkinan atau terbukti infeksi, setiap waktu di semua unit
pelayanan kesehatan

 Transmission-based precautions/ Kewaspadaan berbasis transmisi

dipakai bila rute transmisi tidak dapat diputus sempurna hanya  Standard precautions.

Sejarah Kewaspadaan Isolasi

 Kewaspadaan Standar

Kewaspadaan standar diberlakukan terhadap semua pasien, tidak tergantung


terinfeksi/kolonisasi. Kewaspadaan standar disusun untuk mencegah kontaminasi silang sebelum
diagnosis diketahui dan beberapa merupakan praktek rutin, meliputi:

1. Kebersihan tangan/Handhygiene

2. Alat Pelindung Diri (APD) : sarung tangan, masker, goggle (kaca mata pelindung), face
shield (pelindungwajah), gaun

3. Peralatan perawatan pasien


4. Pengendalian lingkungan

5. Pemrosesan peralatan pasien dan penatalaksanaan linen

6. Kesehatan karyawan / Perlindungan petugas kesehatan

7. Penempatan pasien

8. Hyangiene respirasi/Etika batuk

9. Praktek menyuntik yang aman

10. Praktek pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal pungsi

 Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi

Tujuan untuk memutus rantai penularan mikroba penyebab infeksi. Diterapkan pada pasien 
gejala/dicurigai terinfeksi atau kolonisasi kuman penyebab infeksi menular yang dapat
ditransmisikan lewat udatra, droplet, kontak  kulit atau permukaan terkontaminasi.

3 Jenis kewaspadaan berdasarkan transmisi:

–   kewaspadaan transmisi kontak

–   kewaspadaan transmisi droplet

–   kewaspadaan transmisi airborne

Kewaspadaan berdasarkan transmisi dapat dilaksanakan secara terpisah ataupun kombinasi karena
suatu infeksi dapat ditransmisikan lebih dari satu cara.

1. Kewaspadaan transmisi Kontak

a)      Penempatan pasien :

 Kamar tersendiri atau kohorting (Penelitian tidak terbukti kamar tersendiri mencegah
HAIs)

 Kohorting (management MDRo )


b)      APD petugas:

 Sarung tangan bersih non steril, ganti setelah kontak  bahan infeksius, lepaskan sarung
tangan sebelum keluar dari kamar pasien dan cuci tangan menggunakan antiseptik

 Gaun, lepaskan gaun sebelum meninggalkan ruangan

c)      Transport pasien

 Batasi kontak saat transportasi pasien

2. Kewaspadaan transmisi droplet

a)      Penempatan pasien :

 Kamar tersendiri atau kohorting, beri jarak antar pasien >1m

 Pengelolaan udara khusus tidak diperlukan, pintu boleh terbuka

b)      APD petugas:

 Masker Bedah/Prosedur, dipakai saat memasuki ruang rawat pasien

c)      Transport pasien

 Batasi transportasi pasien, pasangkan masker pada pasien saat transportasi

 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

3. Kewaspadaan transmisi udara/airborne

a)      Penempatan pasien :

 Di ruangan  tekanan negatif

 Pertukaran udara > 6-12 x/jam,aliran udara yang terkontrol

 Jangan gunakan AC sentral, bila mungkin AC + filter HEPA

 Pintu harus selalu tertutup rapat.


 kohorting

 Seharusnya kamar terpisah, terbukti mencegah transmisi, atau kohorting  jarak >1 m

 Perawatan tekanan negatif sulit, tidak membuktikan lebih efektif mencegah penyebaran

 Ventilasi  airlock à ventilated anteroom terutama pada varicella (lebih mahal)

 Terpisah  jendela terbuka (TBC ), tak ada orang yang lalu lalang

b)      APD petugas:

 Minimal gunakan Masker Bedah/Prosedur

 Masker respirator (N95) saat petugas bekerja pada radius <1m dari pasien,

 Gaun

 Goggle

 Sarung tangan

(bila melakukan tindakan yang mungkin menimbulkan aerosol)

c)      Transport pasien

 Batasi transportasi pasien, Pasien harus pakai masker saat keluar ruangan

 Terapkan hyangiene respirasi dan etika batuk

Catatan :

Kohorting adalah menempatkan pasien terinfeksi atau kolonisasi  patogen yang sama di ruang
yang sama, pasien lain tanpa patogen yang sama dilarang masuk.

Peraturan Untuk Kewaspadaan Isolasi


Harus dihindarkan transfer mikroba pathogen antar pasien dan petugas saat perawatan pasien
rawat inap, perlu diterapkan hal-hal berikut :

1. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dari seluruh
pasien

2. Dekontaminasi tangan sebelum dan sesudah kontak diantara pasien satu  lainnya

3. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh)

4. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan terhadap bahan infeksius

5. Pakai sarung tangan saat atau kemungkinan kontak  darah dan cairan tubuh serta barang
yang terkontaminasi, disinfeksi tangan segera setelah melepas sarung tangan. Ganti sarung
tangan antara pasien.

6. Penanganan limbah feses, urine, dan sekresi pasien lain di buang ke lubang pembuangan
yang telah disediakan, bersihkan dan disinfeksi bedpan, urinal dan obtainer/container
pasien lainnya.

7. Tangani bahan infeksius sesuai Standar Prosedur Operasional (SPO)

8. Pastikan peralatan, barang fasilitas dan linen pasien yang infeksius telah dibersihkan dan
didisinfeksi  benar.

e.   Kebersihan Tangan

Tangan merupakan media transmisi patogen tersering di RS. Menjaga kebersihan tangan
dengan baik dan benar dapat mencegah penularan mikroorganisme dan menurunkan frekuensi
infeksi nosokomial. Kepatuhan terhadap kebersihan tangan merupakan pilar pengendalian infeksi.
Teknik yang digunakan adalah teknik cuci tangan 6 langkah. Dapat memakai antiseptik, dan air
mengalir atau handrub berbasis alkohol.

Kebersihan tangan merupakan prosedur terpenting untuk mencegah transmisi penyebab infeksi
(orang ke orang;objek ke orang). Banyak penelitian menunjukkan bahwa cuci tangan menunjang
penurunan insiden MRSA, VRE di ICU.
Kapan Mencuci Tangan?

 Segera setelah tiba di rumah sakit

 Sebelum masuk dan meninggalkan ruangan pasien

 Sebelum dan sesudah kontak  pasien atau benda yang terkontaminasi cairan tubuh pasien

 Diantara kontak pasien satu dengan yang lain

 Sebelum dan sesudah melakukan tindakan pada pasien

 Sesudah ke kamar kecil

 Sesudah kontak  darah atau cairan tubuh lainnya

 Bila tangan kotor

 Sebelum meninggalkan rumah sakit

 Segera setelah melepaskan sarung tangan

 Segera setelah membersihkan sekresi hidung

 Sebelum dan setelah menyiapkan dan mengkonsumsi makanan

Alternatif Kebersihan Tangan

 Handrub berbasis alkohol 70%:

–        Pada tempat dimana akses wastafel dan air bersih terbatas

–        Tidak mahal, mudah didapat dan mudah dijangkau

–        Dapat dibuat sendiri (gliserin 2 ml  100 ml alkohol 70 %)

 Jika tangan terlihat kotor, mencuci tangan  air bersih mengalir dan sabun harus dilakukan

 Handrub antiseptik tidak menghilangkan kotoran atau zat organik, sehingga jika tangan
kotor harus mencuci tangan  sabun dan air mengalir
 Setiap 5 kali aplikasi Handrub harus mencuci tangan  sabun dan air mengalir

 Mencuci tangan sabun biasa dan air bersih mengalir sama efektifnya  mencuci tangan 
sabun antimikroba (Pereira, Lee dan Wade 1997.

 Sabun biasa mengurangi terjadinya iritasi kulit

Enam langkah kebersihan tangan :


Langkah 1    :         Gosokkan kedua telapak tangan
Langkah 2    :         Gosok punggung tangan kiri dengan telapak tangan kanan, dan lakukan
sebaliknya
Langkah 3    :         Gosokkan kedua telapak tangan dengan jari-jari tangan saling menyilang
Langkah 4    :         Gosok ruas-ruas jari tangan kiri dengan ibu jari tangan kanan dan lakukan
sebaliknya
Langkah 5    :         Gosok Ibu Jari tangan kiri dengan telapak tangan kanan secara memutar, dan
lakukan sebaliknya
Langkah 6    :         Gosokkan semua ujung-ujung jari tangan kanan di atas telapak tangan kiri, dan
lakukan sebaliknya
Contoh Dan Jalan Masuknya Agen Penyakit Infeksius Berdasarkan Jalan Masuknya, Yaitu:

1. PERNAPASAN (Tuberkulosis)

Penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yang telah menginfeksi hampir sepertiga penduduk dunia dan pada sebagian besar negara di dunia
tidak dapat mengendalikan penyakit TBC ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan.WHO dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22
negara dikategorikan sebagai high burden countris terhadap TBC , termasuk Indonesia. Indonesia
menduduki urutan ke 3 dunia setelah India dan Cina untuk jumlah penderita TBC di dunia. Dari
hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun 2001, menunjukkan bahwa penyakit TBC
merupakan penyebab kematian nomor 3 setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit pernafasan
pada semua kelompok usia, dan nomor 1 dari golongan penyakit infeksi.2) Tahun 1999 WHO
memperkirakan, setiap tahun terjadi 583.000 kasus baru tuberkulosis, dengan kematian karena
tuberkulosis sekitar 140.000, secara kasar diperkirakan setiap 100.000 penduduk Indonesia
terdapat 130 penderita baru tuberkulosis paru BTA positif. Indonesia sebagai negara berkembang
dengan kasus Tuberkulosis Paru yang mengakibatkan kematian ke-2 setelah Kardiovaskuler.
Setiap tahunnya di Indonesia terdapat 450.000 kasus Tuberkulosis Paru semua usia dengan 64.000
jiwa mengalami kematian (Dinkes Jawa Timur, 2012).

Kasus tertinggi di Indonesia pada tahun 2012 yaitu di Provinsi Jawa Barat sebesar 34.301
kasus dengan kasus Tuberkulosis Paru anak sebesar 267 pada usia 0-14 tahun dan diikuti oleh
Provinsi Jawa Timur sebesar 26.062 kasus dengan 234 kasus. Tuberkulosis Paru anak usia 0-14
tahun. Penularan Tuberkulosis Paru pada anak di Indonesia berkisar seperlima dari seluruh kasus.
(Kemenkes RI, 2012). Faktor risiko yang berperan terhadap timbulnya kejadian penyakit.
Penelitian pada tahun 2004 di Kabupaten Agam Sumatera Barat menyimpulkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara kesehatan lingkungan rumah, status gizi dan sumber penularan
dengan kejadian penyakit tuberculosis paru di kabupaten Agam Sumatera Barat. Penelitian pada
tahun 2006 di Kabupaten Banyumas menyimpulkan bahwa ada asosiasi antara tuberkulosis paru
dengan pencahayaan, kepadatan hunian rumah, ventilasi, keberadaan jendela, ruang tidur, jenis
lantai, pembagian ruang tidur, jenis dinding, kelembaban luar rumah, suhu luar rumah, kontak
penderita dan status gizi.

Tuberculosis paru dikelompokkan menjadi 2 kelompok faktor risiko, yaitu factor risiko
kependudukan (jenis kelamin, umur, status gizi, kondisi sosial ekonomi) dan faktor risiko
lingkungan (kepadatan, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan ketinggian).

A. Tuberkulosis 1. Pengertian Tuberkulosis Tuberkulosis paru adalah penyakit menular


yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis tipe Humanus. Kuman tuberkulosis
pertama kali ditemukan oleh Robert Koch pada tahun 1882. Jenis kuman tersebut adalah
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium africanum dan Mycobacterium bovis.

Basil tuberkulosis termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari family dan termasuk
ke dalam ordo Actinomycetales. Mycobacterium tuberculosis menyebabkan sejumlah penyakit
berat pada manusia dan juga penyebab terjadinya infeksi tersering. Basil–basil tuberkel di dalam
jaringan tampak sebagai mikroorganisme berbentuk batang, dengan panjang berfariasi antara 1 – 4
mikron dan diameter 0,3 – 0,6 mikron. Bentuknya sering agak melengkung dan kelihatan seperti
manik – manik atau bersegmen. Basil tuberkulosis dapat bertahan hidup selama beberapa minggu
dalam sputum kering, ekskreta lain dan mempunyai resistensi tinggi terhadap antiseptik, tetapi
dengan cepat menjadi inaktif oleh cahaya matahari, sinar ultraviolet atau suhu lebih tinggi dari
600C. Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan paru melalui saluran napas ( droplet
infection ) sampai alveoli, terjadilah infeksi primer. Selanjutnya menyebar ke getah bening
setempat dan terbentuklah primer kompleks. Infeksi primer dan primer kompleks dinamakan TB
primer, yang dalam perjalanan lebih lanjut sebagian besar akan mengalami penyembuhan.

2. Penularan Tuberkulosis Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu
batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama
beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran
pernafasan, kuman TB Paru tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke
bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya
kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak
negatip (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan
seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi
penderita Tuberkulosis paru adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantarannya gizi buruk atau
HIV/AIDS.

3. Gejala Tuberkulosis Tuberkulosis Paru tidak menunjukan gejala dengan suatu bentuk penyakit
yang membedakan dengan penyakit lainnya. Pada beberapa kasus gejala Tuberkulosis Paru
bersifat asimtomatik yang hanya ditandai oleh demam biasa (Mandal et al, 2008).

Tuberkulosis Paru dibagi menjadi 2 gejala, yaitu gejala klinik dan gejala umum (Alsagaff &
Mukty, 2002): Gejala klinik, meliputi: 1. Batuk Batuk merupakan gejala awal, biasanya batuk
ringan yang dianggap sebagai batuk biasa. Batuk ringan akan menyebabkan terkumpulnya lender
sehingga batuk berubah menjadi batuk produktif; 2. Dahak Pada awalnya dahak keluar dalam
jumlah sedikit dan bersifat mukoid, dan akan berubah menjadi mukopurulen atau kuning kehijauan
sampai purulent dan kemudian berubah menjadi kental bila terjadi pengejuan dan perlunakan; 3.
Batuk darah Darah yang dikeluarkan oleh pasien berupa bercak-bercak, gumpalan darah atau darah
segar dengan jumlah banyak. Batuk darah menjadi gambaran telah terjadinya ekskavasi dan
ulserasi dari pembuluh darah;

4. Nyeri dada Nyeri dada pada Tuberkulosis Paru termasuk nyeri yang ringan. Gejala Pleuritis luas
dapat menyebabkan nyeri yang bertambah berat pada bagian aksila dan ujung scapula;

5. Wheezing Wheezing disebabkan oleh penyempitan lumen endobronkus oleh sekret, jaringan
granulasi dan ulserasi;

6. Sesak nafas Sesak nafas merupakan gejala dari proses lanjutan Tuberkulosis Paru akibat adanya
obstruksi saluran pernafasan, yang dapat mengakibatkan gangguan difusi dan hipertensi
pulmonal Gejala umum, meliputi:

1. Demam Demam gejala awal yang sering terjadi, peningkatan suhu tubuh terjadi pada
siang atau sore hari. Suhu tubuh terus meningkat akibat Mycobacterium tuberculosis
berkembang menjadi progresif;

2. Menggigil Menggigil terjadi akibat peningkatan suhu tubuh yang tidak disertai dengan
pengeluaran panas;

3. Keringat malam Keringat malam umumnya timbul akibat proses lebih lanjut dari
penyakit;

4. Penurunan nafsu makan Penurunan nafsu makan yang akan berakibat pada penurunan
berat badan terjadi pada proses penyakit yang progresif;

5. Badan lemah Gejala tersebut dirasakan pasien jika aktivitas yang dikeluarkan tidak
seimbang dengan jumlah energi yang dibutuhkan dan keadaan sehari-hari yang kurang
menyenangkan.

B. Faktor Risiko Lingkungan yang Berpengaruh Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di
luar diri host (pejamu) baik benda mati, benda hidup, nyata atau abstrak, seperti suasana yang
terbentuk akibat interaksi semua elemen-elemen termasuk host yang lain.

Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah
yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan
pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya. Adapun syarat-syarat yang dipenuhi
oleh rumah sehat secara fisiologis yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara
lain :

a. Kepadatan Penghuni Rumah Ukuran luas ruangan suatu rumah erat kaitannya dengan
kejadian tuberkulosis paru. Disamping itu Asosiasi Pencegahan Tuberkulosis Paru Bradbury
mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling besar
diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya.
Semakin padat penghuni rumah akan semakin cepat pula udara di dalam rumah tersebut
mengalami pencemaran. Karena jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh
terhadap kadar oksigen dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya.
Dengan meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan
tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan demikian
akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah melalui saluran pernafasan.
Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia kepadatan penghuni diketahui dengan
membandingkan luas lantai rumah dengan jumlah penghuni, dengan ketentuan untuk daerah
perkotaan 6 m² per orang daerah pedesaan 10 m² per orang.

b. Kelembaban Rumah Kelembaban udara dalam rumah minimal 40% – 70 % dan suhu ruangan
yang ideal antara 180C – 300C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu panas
akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk istirahat.
Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan pada orang- orang
tertentu dapat menimbulkan alergi. Hal ini perlu diperhatikan karena kelembaban dalam rumah
akan mempermudah berkembangbiaknya mikroorganisme antara lain bakteri spiroket, ricketsia
dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara ,selain itu
kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga
kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat
merupakan media yang baik untuk Bakteri-Baktri termasuk bakteri tuberkulosis. Kelembaban
di dalam rumah menurut Depatemen Pekerjaan Umum (1986) dapat disebabkan oleh tiga
faktor, yaitu :

 Kelembaban yang naik dari tanah ( rising damp )


 Merembes melalui dinding ( percolating damp )

 Bocor melalui atap ( roof leaks ) Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi
drainase atau saluran air di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi dengan
dinding harus kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang cukup.

c. Ventilasi Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara juga sebagai
lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar.
Menurut indikator pengawasan rumah , luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥
10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <
10%luas lantai rumah. Luas ventilasi rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi
syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya
konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya.

Disamping itu tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan
karena terjadinya proses penguapan cairan dai kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yan
tinggi akam menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya bakteri-bakteri
patogen termasuk kuman tuberkulosis.

Tidak adanya ventilasi yang baik pada suatu ruangan makin membahayakan kesehatan atau
kehidupan, jika dalam ruangan tersebut terjadi pencemaran oleh bakteri seperti oleh penderita
tuberkulosis atau berbagai zat kimia organik atau anorganik. Ventilasi berfungsi juga untuk
membebaskan uadar ruangan dari bakteribakteri, terutama bakteri patogen seperti tuberkulosis,
karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus.

Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Selain itu, luas ventilasi yang tidak
memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan
sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam
rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan.

d. Pencahayaan Sinar Matahari Cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga
mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini telah dibuktikan oleh Robert Koch (1843-
1910). Dari hasil penelitian dengan melewatkan cahaya matahari pada berbagai warna kaca
terhadap kuman Mycobacterium tuberculosis didapatkan data sebagaimana pada tabel berikut
(Azwar, 1995).

Tabel 1 Hasil Penelitian Dengan melewatkan Cahaya Matahari Pada Berbagai Warna Kaca
Terhadap Kuman Tuberkulosis Paru Warna Kaca Waktu mematikan (menit) Hijau 45 Merah
20-30 Biru 10-20 Tak Berwarna 5-10 Sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan
penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari pagi ke dalam
rumah. Cahaya matahari masuk ke dalam rumah melalui jendela atau genteng kaca.
Diutamakan sinar matahari pagi mengandung sinar ultraviolet yang dapat mematikan kuman
(Depkes RI, 1994). Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup bertahun-tahun lamanya, dan
mati bila terkena sinar matahari , sabun, lisol, karbol dan panas api. Rumah yang tidak masuk
sinar matahari mempunyai resiko menderita tuberkulosis 3-7 kali dibandingkan dengan rumah
yang dimasuki sinar matahari.

e. Lantai rumah Komponen yang harus dipenuhi rumah sehat memiliki lantai kedap air dan tidak
lembab. Jenis lantai tanah memiliki peran terhadap proses kejadian Tuberkulosis paru, melalui
kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, pada musim
panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan debu yang berbahaya bagi
penghuninya.

g. Dinding Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin serta
melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan (privacy)
penghuninya. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata
atau batu dan sebagainya. Tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah
pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga
mudah dibersihkan.

C. Upaya Pencegahan Chin J (2000) mengemukakan bahwa Tuberkulosis Paru dapat dicegah
dengan usaha memberikan penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang Tuberkulosis
Paru, penyeabab Tuberkulosis Paru, cara penularan, tanda dan gejala, dan cara pencegahan
Tuberkulosis Paru misalnya sering cuci tangan, mengurangi kepadatan hunian, menjaga
kebersihan rumah, dan pengaturan ventilasi. Alsagaff & Mukty (2002) menjelaskan bahwa
terdapat beberapa cara dalam upaya pencegahan Tuberkulosis paru, diantaranya:
a. Pencegahan Primer Daya tahan tubuh yang baik, dapat mencegah terjadinya penularan suatu
penyakit. Dalam meningkatkan imunitas dibutuhkan beberapa cara, yaitu:

1. Memperbaiki standar hidup;

2. Mengkonsumsi makanan yang mengandung 4 sehat 5 sempurna;

3. Istirahat yang cukup dan teratur;

4. Rutin dalam melakukan olahraga pada tempat-tempat dengan udara segar;

5. Peningkatan kekebalan tubuh dengan vaksinasi BCG.

b. Pencegahan Sekunder Pencegahan terhadap infeksi Tuberkulosis Paru pencegahan terhadap


sputum yang infeksi, terdiri dari:

1. Uji tuberkulin secara mantoux;

2. Mengatur ventilasi dengan baik agar pertukaran udara tetap terjaga;

3. Mengurangi kepadatan penghuni rumah.

4. Melakukan foto rontgen untuk orang dengan hasil tes tuberculin positif. Melakukan
pemeriksaan dahak pada orang dengan gejala klinis TB paru.

c. Pencegahan Tersier Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat anti
Tuberkulosis. Pengobatan Tuberkulosis Paru bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS).

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh agen infeksi bakteri

M. tuberculosis yang umumnya menyerang organ paru pada manusia. penyakit ini ditularkan oleh

penderita BTA positif yang menyebar melalui droplet nuclei yang keluar saat penderita batuk

atupun bersin. Bakteri yang menyebar di udara dapat dihirup oleh orang sehat sehingga dapat

menyebabkan infeksi (Anggraeni & Rahayu, 2018). Menurut Sigalingging et al. (2019), penyakit

tuberkulosis disebabkan oleh bakteri M. tuberculosis yang termasuk famili Mycobacteriaceace


yang berbahaya bagi manusia. bakteri ini mempunyai dinding sel lipoid yang tahan asam,

memerlukan waktu mitosis selama 12-24 jam, rentan terhadap sinar matahari dan sinar ultraviolet

sehingga akan mengalami kematian dalam waktu yang cepat saat berada di bawah matahari, rentan

terhadap panas basah sehingga dalam waktu 2 menit akan mengalami kematian ketika berada di

lingkungan air yang bersuhu 1000oC, serta akan mati jika terkena alkohol 70% atau lisol 50%.

M. tuberculosis dapat menular ketika penderita tuberkolosis paru BTA positif berbicara,

bersin dan batuk yang secara tidak langsung mengeluarkan doplet nuklei yang mengandung

mikroorganisme M. tuberculosis dan terjatuh ke lantai, tanah, atau tempat lainnya. Paparan sinar

matahari atau suhu udara yang panas mengenai doplet nuklei tersebut dapat menguap.

Menguapnya droplet bakteri ke udara dibantu dengan pergerakan aliran angin yang menyebabkan

bakteri M. tuberculosis yang terkandung di dalam doplet nuklei terbang melayang mengikuti aliran

udara. Apabila bakteri tersebut terhirup oleh orang sehat maka orang itu berpotensi terinfeksi

bakteri penyebab tuberkulosis (Kenedyanti & Sulistyorini, 2017).

Seseorang yang menghirup bakteri M. tuberculosis yang terhirup akan menyebabkan bakteri

tersebut masuk ke alveoli melalui jalan nafas, alveoli adalah tempat bakteri berkumpul dan

berkembang biak. M. tuberculosis juga dapat masuk ke bagian tubuh lain seperti ginjal, tulang, dan

korteks serebri dan area lain dari paru-paru (lobus atas) melalui sistem limfa dan cairan tubuh.

Sistem imun dan sistem kekebalan tubuh akan merespon dengan cara melakukan reaksi inflamasi.

Fagosit menekan bakteri, dan limfosit spesifik tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) bakteri

dan jaringan normal. Reaksi tersebut menimbulkan penumpukan eksudat di dalam alveoli yang

bisa mengakibatkan bronchopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu

setelah terpapar bakteri (Kenedyanti & Sulistyorini, 2017).


Interaksi antara M. tuberculosis dengan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi

membentuk granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi

oleh makrofag. Granulomas diubah menjadi massa jaringan jaringan fibrosa, Bagian sentral dari

massa tersebut disebut ghon tuberculosis dan menjadi nekrotik membentuk massa seperti keju. Hal

ini akan menjadi klasifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen kemudian bakteri menjadi

dorman. Setelah infeksi awal, seseorang dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau

respon yang inadekuat dari respon sistem imun. Penyakit dapat juga aktif dengan infeksi ulang dan

aktivasi bakteri dorman dimana bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada

kasus ini, ghon tubrcle memecah sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkhus.

Bakteri kemudian menjadi tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh.

Tuberkel yang menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi

lebih membengkak, menyebabkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut (Sigalingging et al.,

2019)

2. REPRODUKSI (SIFILIS)

Sifilis merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh spirochaete, Treponema pallidum (T.

pallidum) dan merupakan salah satu bentuk infeksi menular seksual.Selain sifilis, terdapat tiga jenis

infeksi lain pada manusia yang disebabkan oleh treponema, yaitu: non venereal endemic syphilis

(telah eradikasi), frambusia (T. pertenue), dan pinta (T. careteum di Amerika Selatan). Sifilis secara

umum dapat dibedakan menjadi dua: yaitu sifilis kongenital(ditularkan dari ibu ke janin selama

dalam kandungan)dan sifilis yang didapat / acquired (ditularkan melalui hubungan seks atau jarum

suntik dan produk darah yang tercemar) (Kemenkes, 2013).

Sifilis pada kehamilan biasanya diperoleh melalui kontak seksual, dimana pada sifilis

kongenital, bayi mendapatkan infeksi sifilis dari transmisi transplasental dari Treponema pallidum.
Penularan melalui hubungan seksual membutuhkan paparan mukosa yang lembab atau lesi kulit

pada sifilis primer atau sekunder. Pasien dengan penyakit sifilis yang tidak diobati tampaknya

dapat pulih, namun dapat mengalami kekambuhan dalam periode sampai dengan dua tahun. Oleh

karena itu, seseorang dapat lebih berisiko menularkan sifilis pada tahun pertama dan kedua dari

periode terinfeksi sifilis yang tidak diobati (Hitti et. al., 2008).

Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang mengalami

abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah, dan diedarkan ke

seluruh tubuh. Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik walaupun tanda-tanda klinis

dan serolois belum jelas. Kisaran satu minggu setelah terinfeksi Treponema palidum, ditempat

masuk timbul lesi primer berupa ulkus. Ulkus akan muncul selama satu hingga lima minggu,

kemudian menghilang (Department of Health and Human services Centers for Disease Control and

Prevention, 2010).

Tingkat penularan infeksi sifilis pada pasangannya, dalam satu kali kontak seksual

diperkirakan mencapai 30%. Infeksi sifilis terjadi secara sistemik, treponema menyebar melalui

aliran darah selama masa inkubasi. Pada ibu hamil yang terinfeksi treponema dapat

mentransmisikan infeksi pada fetus dalam uterin segera setelah onset infeksi. Transmisi pada fetus

intra uteri tersebut dapat didokumentasikan secara dini pada minggu kesembilan kehamilan. Ibu

hamil terinfeksi sifilis yang berada pada stadium laten, tetap berpotensi untuk menularkan infeksi

pada fetus (Hitti et. al., 2008).

Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul dan baru akan reaktif

setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu kemudian, timbul erupsi seluruh

tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam ini akan hilang kisaran dua sampai enam

minggu, karena terjadi penyembuhan spontan. Perjalanan penyakit menuju ke tingkat laten,
dimana tidak ditemukan tanda-tanda klinis, kecuali hasil pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa

laten dapat berlangsung bertahuntahun atau seumur hidup (Department of Health and Human

services Centers for Disease Control and Prevention, 2010).

3. PERKEMIHAN

Infeksi saluran kemih merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh pertumbuhan

mikroorganisme di dalam saluran kemih manusia. Saluran kemih manusia merupakan organ-organ

yang bekerja untuk mengumpul dan menyimpan urin serta organ yang mengeluarkan urin dari

tubuh, yaitu ginjal, ureter, kandung kemih dan uretra. Menurut National Kidney and Urologic

Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC), ISK merupakan penyakit infeksi kedua tersering

setelah infeksi saluran pernafasan dan sebanyak 8,3 juta kasus dilaporkan per tahun. Infeksi

saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi baru lahir hingga orang tua

(Sukandar, 2006).

Infeksi saluran kemih adalah salah satu penyakit infeksi dimana jumlah bakteriuria

berkembang biak dengan jumlah kuman biakan urin >100.000 /ml urin. Bakteriuria asimtomatik

didefinisikan sebagai kultur urin positif tanpa keluhan, sedangkan bakteriuria simtomatik

didefinisikan sebagai kultur urin positif disertai keluhan (Kahlemeter, 2003). Infeksi saluran kemih

disebabkan invasi mikroorganisme ascending dari uretra ke dalam kandung kemih. Invasi

mikroorganisme dapat mencapai ginjal dipermudah dengan refluks vesikoureter. Pada wanita,

mula-mula kuman darianal berkoloni di vulva kemudian masuk ke kandung kemih melalui uretra

yang pendek secara spontan atau mekanik akibat hubungan seksual dan perubahan pH dan flora

vulva dalam siklus menstruasi (Liza, 2006).

Proses berkemih merupakan proses pembersihan bakteri dari kandung kemih, sehingga

kebiasaan menahan kencing atau berkemih yang tidak sempurna akan meningkatkan risiko untuk
terjadinya infeksi. Refluks vesikoureter (RVU) dan kelainan anatomi adalah gangguan pada

vesikaurinaria yang paling sering menyebabkan sulitnya pengeluaran urin dari kantung kemih.

Ketika urin sulit keluar dari kantung kemih, terjadi kolonisasi mikroorganisme dan memasuki

saluran kemih bagian atas secara ascending dan merusak epitel saluran kemih sebagai host. Hal ini

disebabkan karena pertahanan tubuh dari host yang menurun dan virulensi agen meningkat

(Purnomo, 2003).

4. GASTROINTESTINAL

Gastroenteritis / GEA adalah peradangan pada saluran pencernaan (termasuk lambung dan

usus) yang umumnya disebabkan karena infeksi virus atau bakteri, dan pada kasus yang lebih

jarang karena parasit dan jamur. Di masyarakat gastroenteritis dikenal dengan istilah muntaber.

Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana feses hasil dari buang air besar (defekasi) yang

berkonsistensi cair ataupun setengah cair dan kandungan air lebih banyak dari feses pada

umumnya. Disertai dengan mual muntah dan frekuensi dari buang air besar lebih dari 3 kali dalam

sehari. Gastroenteritis / GEA merupakan perubahan pada frekuensi buang air besar menjadi lebih

sering dari normal atau perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer atau kedua-duanya dalam

waktu kurang dari 14 hari. Umumnya disertai dengan beberapa gangguan saluran cerna seperti

mual, muntah, nyeri perut, kadang-kadang disertai demam (Kemenkes, 2022).

Gastroenteritis adalah suatu keadaan dimana terdapat inflamasi pada bagian mukosa dari

saluran gastrointestinal ditandai dengan diare dan muntah. Pada umumnya gastroenteritis akut

90% disebabkan oleh agen infeksi yang berperan dalam terjadinya gastroenteritis akut terutama

adalah faktor agent dan faktor host. Faktor agent yaitu daya penetrasi yang dapat merusak sel

mukosa, kemampuan memproduksi toksin yang mempengaruhi sekresi cairan usus halus serta

daya lekat kuman. Faktor host adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap
organisme yang dapat menimbulkan diare akut, terdiri dari faktor-faktor daya tangkis atau

lingkungan internal saluran cerna antara lain: keasaman lambung, motilitas usus, imunitas, dan

lingkungan mikroflora usus (How, 2010).

Diare yang diakibatkan bakteri enterovasif disebut sebagai diare Inflammatory. Bakteri yang

merusak (invasif) antara lain Enteroinvasive E. coli (EIEC), Salmonella, Shigella, Yersinia, C.

perfringens tipe C. diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi.

Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat tercampur lendir dan darah. Kuman

salmonella yang sering menyebabkan diare yaitu S. paratyphi B, Styphimurium, S enterriditis, S

choleraesuis. Penyebab parasite yang sering yaitu E. histolitika dan G. lamblia (Sudoyo, 2009).

Diare inflammatory ditandai dengan kerusakan dan kematian enterosit, dengan peradangan

minimal sampai berat, disertai gangguan absorbsi dan sekresi. Setelah kolonisasi awal, kemudian

terjadi perlekatan bakteri ke sel epitel dan selanjutnya terjadi invasi bakteri kedalam sel epitel, atau

pada IBD mulai terjadinya inflamasi. Tahap berikutnya terjadi pelepasan sitokin antara lain

interleukin 1 (IL-l), TNF-α, dan kemokin seperti interleukin 8 (IL-8) dari epitel dan subepitel

miofibroblas. IL-8 adalah molekul kemostatik yang akan mengaktifkan sistim fagositosis setempat

dan merangsang sel-sel fagositosis lainnya ke lamina propia. Apabila substansi kemotaktik (IL-8)

dilepas oleh sel epitel, atau oleh mikroorganisme lumen usus (kemotaktik peptida) dalam

konsentrasi yang cukup kedalam lumen usus, maka neutrofil akan bergerak menembus epitel dan

membentuk abses kripta, dan melepaskan berbagai mediator seperti prostaglandin, leukotrin,

platelet actifating factor, dan hidrogen peroksida dari sel fagosit akan merangsang sekresi usus

oleh enterosit, dan aktifitas saraf usus (Sudoyo, 2009).

Terdapat 3 mekanisme diare inflamatori, kebanyakan disertai kerusakan brush border dan

beberapa kematian sel enterosit disertai ulserasi. Invasi mikroorganisme atau parasit ke lumen usus
secara langsung akan merusak atau membunuh sel-sel enterosit. Infeksi cacing akan

mengakibatkan enteritis inflamatori yang ringan yang disertai pelepasan antibodi IgE dan IgG

untuk melawan cacing. Selama terjadinya infeksi atau reinfeksi, maka akibat reaksi silang reseptor

antibodi IgE atau IgG di sel mast, terjadi pelepasan mediator inflamasi yang hebat seperti

histamin, adenosin, prostaglandin, dan lekotrin (Sudoyo, 2009).

Mekanisme imunologi akibat pelepasan produk dari sel lekosit polimorfonuklear,

makrophage epithelial, limfosit-T akan mengakibatkan kerusakan dan kematian sel-sel enterosit.

Pada keadaan-keadaan di atas sel epitel, makrofag, dan subepitel miofibroblas akan melepas

kandungan (matriks) metaloprotein dan akan menyerang membrane basalis dan kandungan

molekul interstitial, dengan akibat akan terjadi pengelupasan sel-sel epitel dan selanjutnya terjadi

remodeling matriks (isi sel epitel) yang mengakibatkan vili-vili menjadi atropi, hiperplasi kripta-

kripta di usus halus dan regenerasi hiperplasia yang tidak teratur di usus besar (kolon) (Sudoyo,

2009).

Pada akhirnya terjadi kerusakan atau sel-sel imatur yang rudimenter dimana vili-vili yang tak

berkembang pada usus halus dan kolon. Sel sel imatur ini akan mengalami gangguan dalam fungsi

absorbsi dan hanya mengandung sedikit (defisiensi) disakaridase, hidrolase peptida, berkurangnya

tidak terdapat mekanisme Na-coupled sugar atau mekanisme transport asam amino, dan

berkurangnya atau tak terjadi sama sekali transport absorbsi NaCl. Sebaliknya sel-sel kripta dan

sel-sel baru vili yang imatur atau sel-sel permukaan mempertahankan kemampuannya untuk

mensekresi Cl- (mungkin HCO3-). Pada saat yang sama dengan dilepaskannya mediator inflamasi

dari sel-sel inflamatori di lamina propia akan merangsang sekresi kripta hiperplasi dan vili-vili

atau sel-sel permukaan yang imatur. Kerusakan immune mediated vascular mungkin menyebabkan
kebocoran protein dari kapiler. Apabila terjadi ulserasi yang berat, maka eksudasi dari kapiler dan

limfatik dapat berperan terhadap terjadinya diare (Sudoyo, 2009).

5. KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan yang melapisi bagian anterior

bola mata dan bagian dalam palpebra. Konjungtiva dibagi tiga bagian yaitu konjungtiva palpebra,

konjungtiva bulbar dan forniks. Konjungtivitis adalah inflamasi jaringan konjungtiva yang dapat

disebabkan oleh invasi mikroorganisme, reaksi hipersensitivitas atau perubahan degeneratif di

konjungtiva. Pasien biasanya mengeluh mata merah, edema konjungtiva dan keluar sekret

berlebih. Gejala tersebut terjadi akibat dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi (Azari,

2013).

Mata tersusun dari jaringan penyokong yang salah satu fungsinya adalah melawan infeksi

secara mekanik. Orbita, kelopak mata, bulu mata, kelenjar lakrimal dan kelenjar meibom berperan

dalam produksi, penyaluran dan drainase air mata. Jaringan ikat di sekitar mata dan tulang orbita

berfungsi sebagai bantalan yang melindungi mukosa okular. Kelopak mata berkedip 10-15 kali per

menit untuk proses pertukaran dan produksi air mata, serta mengurangi waktu kontak mikroba dan

iritan ke permukaan mata (Cantor et. al., 2014).

Mata memiliki jaringan limfoid, kelenjar lakrimal dan saluran lakrimal yang berperan dalam

system imunitas didapat. Makromolekul yang terkandung dalam air mata memiliki efek

antimikroba seperti lisozim, laktoferin, IgA, dan sitokin lainnya. Epitel konjungtiva yang tidak

terinfeksi menghasilkan CD8 sitotoksik dan sel langerhans, sedangkan substansia propia

konjungtiva memiliki sel T CD4 dan CD8, sel natural killer, sel mast, limfosit B, makrofag dan sel

polimorfonuklear. Pembuluh darah dan limfe berperan sebagai media transpor komponen imunitas

dari dan ke mata. Pada inflamasi, berbagai mediator menyebabkan dilatasi vaskular, peningkatan
permeabilitas dan diapedesis sel inflamasi dari pembuluh darah yang mengakibatkan mata menjadi

merah (Azahari, 2013).

Mikroorganisme masuk ke dalam tubuh dengan cara adhesi, evasi, dan invasi. Adhesi adalah

penempelan molekul mikroorganisme ke epitel mata yang dimediasi oleh protein permukaan

mikroorganisme. Evasi adalah upaya mikroorganisme untuk menembus pertahanan sistem imun.

Hampir semua mikroorganisme hanya menginvasi bila terdapat kerusakan epitel kecuali beberapa

bakteri seperti Neissseria gonorhoeae dan Shigella spp. Pada infeksi virus, adhesi sekaligus

memfasilitasi proses invasi melalui interaksi molekul virus dengan sel hospes seperti interaksi

kapsul adenovirus dengan integrin sel hospes yang menyebabkan proses endositosis virus oleh sel

(Cantor et. al., 2014).

Mikroorganisme juga dapat bertahan melewati sistem pertahanan tubuh dan bereplikasi

seperti pada infeksi HSV, virus varisela serta herpes zoster namun sebagian besar infeksi lainnya

dapat dieradikasi oleh sistem imun tubuh (Cantor et. al., 2014).
Penutup

Memutus mata rantai penularan merupakan hal yang paling mudah untuk mencegah penularan
penyakit infeksi, tetapi harus didukung dengan kepatuhan dan ketaatan dalam melaksanakan
prosedur yang telah ditetapkan dalam Standar Prosedur Operasional. Adapun cara memutus mata
rantai penularan infeksi tersebut adalah dengan penerapan “Isolation Precautions” (Kewaspadaan
Isolasi) yang terdiri dari 2 pilar/tingkatan, yaitu “Standard Precautions” (Kewaspadaan Standar)
dan “Transmission based Precautions” (Kewaspadaan berdasarkan cara penularan).

Promosi secara umum termasuk nutrisi yang adekuat akan dapat meningkatkan daya tahan
tubuh. Selanjutnya perlu perlindungan bagi petugas minimal dengan imunisasi Hepatitis B, dan
diulang tiap 5 tahun paska imunisasi.

Kewaspadaan yang konstan dalam penanganan benda tajam harus dilaksanakan sesuai dengan
Standar Prosedur Operasional (SPO). Luka tertusuk Jarum merupakan bahaya yang sangat nyata
dan membutuhkan program manajemen paska pajanan (“Post Exposure Prophylaxis”/PEP)
terhadap petugas kesehatan berkaitan pencegahan agen infeksi yang ditularkan melalui darah atau
cairan tubuh lainnya, yang sering terjadi karena luka tusuk jarum bekas pakai atau pajanan lainnya.

1970 Tehnik isolasi untukMemperkenalkan 7 katagori kewaspadaan isolasi 


penggunaan di RS, edisikartu berwarna: Strict, Respiratory, Protective, Enteric,
1. Wound and Skin,Discharge, and Blood

1983 CDC PedomanMembagi menjadi 2 golongan sistim Isolasi; katagori


Kewaspadaan Isolasi RS spesifik dan penyakit spesifik

1985 Universal Precautions Berkembang dari epidemi HIV/AIDS


(UP)
Ditujukan aplikasi kewaspadaan terhadap Darah dan
Cairan Tubuh pada pasien pengidap infeksi

Tidak diterapkan terhadap feses,ingus,sputum,keringat,air


mata,urin,muntahan

1987 Body Substance IsolationMenghindari kontak terhadap semua cairan tubuh dan 
(BSI) yang potensial infeksius kecuali keringat

1996 Pedoman KewaspadaanDibuat oleh The Healthcare Infection Control Practices


Isolasi dalam Rumah Sakit Advisory

Committee (HICPAC), CDC

Menggabungkan materi inti dari  UP and BSI  dalam


Kewaspadaan  Standard untuk diterapkan terhadap
semua pasien pada setiap waktu

2007 Pedoman KewaspadaanDibuat oleh HICPAC, CDC.


Isolasi; Pencegahan
tambahan :
Transmisi penyebab infeksi
pada Sarana Kesehatan.  HAIs

 Hyangiene respirasi/Etika batuk,

 Praktek menyuntik yang aman

 Pencegahan infeksi unt prosedur Lumbal


pungsi

DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, D. E., & Rahayu, S. R. 2018. Gejala Klinis Tuberkulosis Pada Keluarga
Penderita Tuberkulosis BTA Positif. Higeia Journal Of Public Health Research
And Development. vol 2(1): 91–101.
Azari AA, Barney NP. 2013. Conjunctivitis: a systemic review of diagnosis and treatment.
JAMA.2013;310(6):1721-9.
Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. 2014. External disease and cornea. Italia: American
Academy of Ophtalmology.
Department of Health and Human services Centers for Disease Control and Prevention.
2010. Sexually Transmitted Disease Treatment Guidelines. MMWR 2010;59(No.
RR-12): 26-39
Hitti J, Watts DH. Bacterial Sexually Transmitted Infections in Pregnancy In: Holmes,
K.K, Sparling, P.F., Stamm, W.E., Piot, P., Wasserheit, J.N., Corey, L., Cohen,
M.S., Watts, D.H, eds. Sexually Transmitted Diseases. 4th Ed. New York:
McGraw-Hill. 2008.p.1542-55
How, C. 2010. Acute gastroenteritis: from guidelines to real life. Clinical and
Experimental Gastroenterology,
Kahlmeter G. 2003. An International Survey of the Antimicrobial Susceptibility of
Pathogens from Uncomplicated Urinary Tract Infections. J Antimicrob Chemother.
51(1): 69–76.
Kemenkes. 2013. Pedoman Tata Laksana Sifilis Untuk Pengendalian SIfilis di Layanan
Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Kemenkes. 2022. Mengenal Gastroenteritis. Diakses dari
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1962/mengenal-gastroenteritis
Kenedyanti, E., & Sulistyorini, l. 2017. Analisis Mycobacterium Tuberkulosis Dan Kondisi
Fisik Rumah Dengan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Berkala Epidemiologi.
vol. 5(2): 152–162. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i2.2017.152-162
Liza. 2006. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: FK UI. 33.
Purnomo B. 2003. Dasar-dasar Urologi. Edisi 2. Jakarta: Sagung Seto.
Sigalingging, I. N., Hidayat, W., & Tarigan, F. L. 2019. Pengaruh Pengetahuan, Sikap,
Riwayat Kontak Dan Kondisi Rumah Terhadap Kejadian TB Paru di Wilayah Kerja
UPTD Puskesmas Hutarakyat Kabupaten Dairi Tahun 2019. Jurnal Ilmiah
Simantek. vol. 3(3): 87–99.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing;
Sukandar E. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
564-8.
Depkes RI bekerjasama dengan Perdalin. 2009. Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Rumah Sakit dan Fasiltas Pelayanan Kesehatan Lainnya. SK Menkes No
382/Menkes/2007. Jakarta:

Anda mungkin juga menyukai