Anda di halaman 1dari 72

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas harus didukung oleh sumber
daya manusia yang berkualitas untuk mencapai pelayanan yang prima dan optimal.
Pelayanan yang prima dan optimal dapat diwujudkan dengan kemampuan kognitif dan
motoric yang cukup yang harus dimiliki oleh setiap petugas kesehatan khususnya di
Puskesmas Tawaeli. Seperti yang kita ketahui pengendalian infeksi di Puskesmas
merupakan rangkaian aktifitas kegiatan yang wajib dilakukan oleh Tim Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi yang merupakan tuntutan kualitas sekaligus persyaratan administrasi
Puskesmas menuju akreditasi.
Infeksi nosokomial adalah suatu infeksi yang diperoleh/dialami pasien selama dirawat
di Rumah Sakit. Infeksi Nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba pathogen yang
bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Akibat lainnya yang juga cukup
merugikan adalah hari rawat penderita yang bertambah, beban biaya menjadi semakin
besar, serta merupakan bukti bahwa manajemen pelayanan medis rumah sakit kurang
membantu.
Infeksi nosokomial yang saat ini disebut sebagai healthcare associated Infection
(HAIs) merupakan masalah serius bagi semua sarana pelayanan kesehatan di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Bagi masyarakat umum, sarana kesehatan merupakan tempat
pemeliharaan kesehatan. Pasien mempercayakan sepenuhnya kesehatan dirinya atau
keluarganya kepada petugas kesehatan, maka kewajiban petugas kesehatan adalah
menjaga kepercayaan tersebut. Pelaksanaan Kewaspadaan Universal merupakan langkah
penting untuk menjaga sarana kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, dll) sebagai tempat
penyembuhan, bukan menjadi sumber infeksi.
Berkaitan dengan hal di atas maka diperlukan rangkaian program yang
berkesinambungan dalam rangka pencegahan dan pengendalian Infeksi (PPI). Untuk
meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya perlu diterapkan pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI).
Hasil survey tentang upaya pencegahan infeksi di Puskesmas (Bachroen, 2000)
menunjukkan masih ditemukan beberapa tindakan petugas yang potensial meningkatkan
penularan penyakit kepada diri mereka, pasien yang dilayani dan masyarakat luas yaitu :
1. Cuci tangan yang tidak benar
2. Penggunaan alat pelindung diri yang tidak tepat
3. Pembuangan peralatan tajam secara tidak aman
4. Tekhnik dekontaminasi dan sterilisasi peralatan yang tidak tepat
5. Praktek kebersihan ruangan yang belum memadai.
Hal tersebut dapat saja meningkatkan resiko petugas kesehatan tertular akibat
tertusuk jarum atau terpajan darah/ cairan tubuh yang terinfeksi. Sementara pasien dapat
tertular melalui peralatan yang terkontaminasi atau menerima darah atau produk darah
yang mengandung virus.

B. Tujuan dan Sasaran


a) Tujuan Umum

1
2

Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk meningkatkan


kualitas pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan, sehingga melindungi sumber daya
manusia kesehatan, pasien dan masyarakat dari penyakit infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan.
b) Tujuan Khusus
1. Menjadi penuntun bagi tenaga kesehatan hingga mampu memberikan pelayanan
kesehatan dimana resiko terjadinya infeksi dapat ditekan.
2. Menjadi acuan bagi para penentu kebijakan dalam perencanaan logistic di
Puskesmas.
3. Menjadi acuan dikalangan non medis yang mempunyai resiko terpajan infeksi
dalam pekerjaannya.
4. Menjadi bahan acuan petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan kepada
pasien/ keluarga pasien tentang tindakan pencegahan infeksi.
c) Sasaran
Sasaran Pedoman PPI di Fasilitas Pelayanan Kesehatan disusun untuk digunakan
oleh seluruh pelaku pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan yang meliputi tingkat
pertama, kedua, dan ketiga

C. Ruang Lingkup
Ruang lingkup program PPI meliputi kewaspadaan isolasi, penerapan PPI terkait
pelayanan kesehatan (Health Care Associated Infections/HAIs) berupa langkah yang
harus dilakukan untuk mencegah terjadinya HAIs (bundles), surveilans HAIs, pendidikan
dan pelatihan serta penggunaan anti mikroba yang bijak. Disamping itu, dilakukan
monitoring melalui Infection Control Risk Assesment (ICRA), audit dan monitoring
lainya secara berkala. Dalam pelaksanaan PPI, Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Praktik
Mandiri wajib menerapkan seluruh program PPI sedangkan untuk fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, penerapan PPI disesuaikan dengan pelayanan yang di lakukan pada
fasilitas pelayanan kesehatan tersebut

D. Konsep Dasar Penyakit Infeksi


Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi dapat berasal dari masyarakat/komunitas
(Community Acquired Infection) atau dari rumah sakit (Healthcare-Associated
Infections/HAIs). Penyakit infeksi yang didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu
disebut sebagai Infeksi Nosokomial (Hospital Acquired Infection). Saat ini penyebutan
diubah menjadi Infeksi Terkait Layanan Kesehatan atau “HAIs” (Healthcare- Associated
Infections) dengan pengertian yang lebih luas, yaitu kejadian infeksi tidak hanya berasal
dari rumah sakit, tetapi juga dapat dari fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Tidak
terbatas infeksi kepada pasien namun dapat juga kepada petugas kesehatan dan
pengunjung yang tertular pada saat berada di dalam lingkungan fasilitas pelayanan
kesehatan.
Untuk memastikan adanya infeksi terkait layanan kesehatan (Healthcare-Associated
Infections/HAIs) serta menyusun strategi pencegahan dan pengendalian infeksi dibutuhkan
pengertian infeksi, infeksi terkait pelayanan kesehatan (Healthcare-Associated
Infections/HAIs), rantai penularan infeksi, jenis HAIs dan faktor risikonya.
3

1. Infeksi merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh mikroorganisme


patogen, dengan/tanpa disertai gejala klinik. Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
(Health Care Associated Infections) yang selanjutnya disingkat HAIs merupakan
infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam
masa inkubasi, termasuk infeksi dalam rumah sakit tapi muncul setelah pasien
pulang, juga infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga
kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
2. Rantai Infeksi (chain of infection) merupakan rangkaian yang harus ada untuk
menimbulkan infeksi. Dalam melakukan tindakan pencegahan dan pengendalian
infeksi dengan efektif, perlu dipahami secara cermat rantai infeksi.Kejadian infeksi di
fasilitas pelayanan kesehatan dapat disebabkan oleh 6 komponen rantai penularan,
apabila satu mata rantai diputus atau dihilangkan, maka penularan infeksi dapat
dicegah atau dihentikan. Enam komponen rantai penularan infeksi, yaitu:
a) Agen infeksi (infectious agent) adalah mikroorganisme penyebab infeksi. Pada
manusia, agen infeksi dapat berupa bakteri, virus, jamur dan parasit. Ada tiga
faktor pada agen penyebab yang mempengaruhi terjadinya infeksi yaitu:
patogenitas, virulensi dan jumlah (dosis, atau “load”). Makin cepat
diketahui agen infeksi dengan pemeriksaan klinis atau
laboratorium mikrobiologi, semakin cepat pula upaya pencegahan dan
penanggulangannya bisa dilaksanakan.
b) Reservoir atau wadah tempat/sumber agen infeksi dapat hidup, tumbuh,
berkembang-biak dan siap ditularkan kepada pejamu atau manusia.
Berdasarkan penelitian, reservoir terbanyak adalah pada manusia, alat
medis, binatang, tumbuh-tumbuhan, tanah, air, lingkungan dan bahan-bahan
organik lainnya. Dapat juga ditemui pada orang sehat, permukaan kulit,
selaput lendir mulut, saluran napas atas, usus dan vagina juga merupakan
reservoir.
c) Portal of exit (pintu keluar) adalah lokasi tempat agen infeksi (mikroorganisme)
meninggalkan reservoir melalui saluran napas, saluran cerna, saluran kemih
serta transplasenta.
d) Metode Transmisi/Cara Penularan adalah metode transport
mikroorganisme dari wadah/reservoir ke pejamu yang rentan. Ada beberapa
metode penularan yaitu: (1) kontak: langsung dan tidak langsung, (2) droplet,
(3) airborne, (4) melalui vehikulum (makanan, air/minuman, darah) dan (5)
melalui vektor (biasanya serangga dan binatang pengerat).
e) Portal of entry (pintu masuk) adalah lokasi agen infeksi memasuki
pejamu yang rentan dapat melalui saluran napas, saluran cerna, saluran
kemih dan kelamin atau melalui kulit yang tidak utuh.
f) Susceptible host (Pejamu rentan) adalah seseorang dengan kekebalan
tubuh menurun sehingga tidak mampu melawan agen infeksi. Faktor yang
dapat mempengaruhi kekebalan adalah umur, status gizi, status imunisasi,
penyakit kronis, luka bakar yang luas, trauma, pasca pembedahan dan
pengobatan dengan imunosupresan.
4

Faktor lain yang berpengaruh adalah jenis kelamin, ras atau etnis tertentu,
status ekonomi, pola hidup, pekerjaan dan herediter.

Gambar 1. Skema rantai penularan penyakit infeksi

3. Jenis dan Faktor Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan atau “Healthcare-
Associated Infections” (HAIs) meliputi;
a) Jenis HAIs yang paling sering terjadi di fasilitas pelayanan kesehatan,
terutama rumah sakit mencakup:
1) Ventilator associated pneumonia (VAP)
2) Infeksi Aliran Darah (IAD)
3) Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4) Infeksi Daerah Operasi (IDO)
b) Faktor Risiko HAIs meliputi:
1) Umur: neonatus dan orang lanjut usia lebih rentan.
2) Status imun yang rendah/terganggu (immuno-compromised): penderita
dengan penyakit kronik, penderita tumor ganas, pengguna obat-obat
imunosupresan.
3) Gangguan/Interupsi barier anatomis:
 Kateter urin: meningkatkan kejadian infeksi saluran kemih (ISK).
 Prosedur operasi: dapat menyebabkan infeksi daerah operasi (IDO)
atau “surgical site infection” (SSI).
 Intubasi dan pemakaian ventilator: meningkatkan kejadian
“Ventilator Associated Pneumonia” (VAP).
 Kanula vena dan arteri: Plebitis, IAD
 Luka bakar dan trauma.
4) Implantasi benda asing :
 Pemakaian mesh pada operasi hernia.
 Pemakaian implant pada operasi tulang, kontrasepsi, alat pacu
jantung.
 “cerebrospinal fluid shunts”.
 “valvular / vascular prostheses”.
5) Perubahan mikroflora normal: pemakaian antibiotika yang tidak bijak
dapat menyebabkan pertumbuhan jamur berlebihan dan
timbulnya bakteri resisten terhadap berbagai antimikroba.
5

E. Dasar Hukum
1. Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431)
2. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
3. Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik
4. Undang-Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063)
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No.741/Menkes/Per/VII/2008 tentang Standart
Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/Menkes/SK/II/2004 tentang Kebijakan
Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat
7. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 374/Menkes/SK/V/2009 tentang Sistem
Kesehatan Nasional

.
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


Dalam melaksanakan pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di UPTD
Puskesmas Sangurara dipimpin oleh Ketua Tim PPI, Sekretaris dan Anggota Tim PPI
disesuaikan dengan kualifikasi dan beban kerja yang ada. Untuk distribusi ketenagaan
Tim PPI disebutkan sesuai dengan tugas masing-masing.
TIM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
UPTD PUSKEMAS TAWAELI
KEDUDUKAN DALAM
NO NAMA
TIM

1 Ketua dr. Mutia Rachma

2. Sekretaris Ristin, Amd.Kep


3. Anggota 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

B. Distribusi Ketenagaan
Tim PPI berjumlah 14 orang sesuai dengan struktur organisasinya. Tim PPI terdiri dari
Ketua, Sekretaris dan Anggota Tim yang terdiri dari masing-masing unit terkait yang
berhubungan langsung dengan kegiatan PPI.
C. Kegiatan Pokok dan Rincian Kegiatan
Kegiatan Pokok Rincian Kegiatan
1. Pemenuhan kebutuhan - Bekerja sama dengan bagian penunjang dalam
sarana dan prasarana pengadaan botol dan braket untuk tempat
kebersihan tangan handrub, sabun cair handwash, handuk
pengering dan tempat handuk kotor.
- Bekerjasama dengan bagian humas dalam
pengadaan poster, leaflet dan stiker Kebersihan
Tangan.
- Bekerja sama dengan bagian farmasi untuk
produksi handrub dengan formula yang
direkomendasikan oleh WHO.
- Tim PPI melakukan kampanye Kebersihan
Tangan untuk semua masyarakat Puskesmas.

Kegiatan Pokok Rincian Kegiatan


2. Pemenuhan kebutuhan - Bekerja sama dengan bagian umumdan farmasi
APD di semua ruang dalam pengadaan APD
pelayanan perawatan - Tim PPI mengadakan pelatihan cara

6
7

pasien dan sosialisasi penggunaan APD untuk semua perawat sampai


cara memakai dan tenaga cleaning service.
menggunakan serta - Tim PPI mas membuat poster indikasi
indikasi penggunaannya penggunaan APD.

Kegiatan Pokok Rincian Kegiatan


3. Sosialisasi perawatan - PPI mengadakan sosialisasi cara dekontaminasi
peralatan pasien dengan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
mengetahui cara cara-cara desinfeksi dan sterilisasi untuk semua
pembersihan alat non alat non kritikal, semi kritikal dan kritikal kepada
kritikal, semi kritikal dan Tim PPI.
kritikal.
4. Pemenuhan kebutuhan - Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan
sarana dan prasarana Lingkungan untuk pengadaan tempat sampah
pengelolaan limbah medis medis dan umum di seluruh area Puskesmas
tajam/ non tajam dan - Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan
limbah non medis di Lingkungan untuk pengadaan safetybox di
semua ruang pelayanan seluruh area pelayanan perawatan pasien di
perawatan pasien. Puskesmas.
5. Pemenuhan pengelolaan - Bekerja sama dengan bagian penunjang untuk
linen dengan pemisahan membuat jalur terpisah antara jalur linen kotor
jalur linen kotor dan dan linen bersih
bersih, - Bekerja sama dengan bagian bendahara
pengadaan troli linen barang/ Laundry untuk pengadaan troli linen
kotor dan bersih. kotor dan linen bersih.
- Bekerja sama dengan bagian bendahara
barang untuk memisahkan antara ruang laundry
linen kotor dan linen bersih
6. Pelaksanaan program - Bekerja sama dengan Tim K3 dalam
kesehatan karyawan melaksanakan pemeriksaan secara berkala
karyawan Puskesmas, terutama karyawan yang
bekerja dengan resiko.
- Bekerja sama dengan tim K3 dalam
penanganan kasus paca pajanan
7. Penataan penempatan - Bekerja sama dengan Tim KLB untuk menata
pasien di ruang isolasi penempatan pasien di ruang isolasi sesuai
kriteria kewaspadaan transmisi droplet ataupun
airborne.
8. Sosialisasi dan Bekerja sama dengan bagian promkes dalam
pemenuhan poster etika pemenuhan poster Etika batuk.
batuk
9. Sosialisasi prosedur Tim PPI bersama bagian keperawatan melakukan
8

penyuntikan yang aman sosialisasi cara penyuntikan yang aman dengan


dengan no recapping. one hand dan no recapping kepada seluruh
tenaga keperawatan dan tenaga non perawat
dalam melakukan tindakan penyuntikan.
10. Pemenuhan kebutuhan Bekerja sama dengan Instalasi Sanitasi dan
cairan desinfektan, Lingkungan dalam pengadaan Spill kit untuk
dekontaminasi, dan cara semua area pelayanan perawatan pasien.
sterilisasi.
11. Surveilans oleh seluruh
Tim PPI.
12. Pemenuhan sarana Bekerja sama dengan bagian farmasi dalam
pencegahan infeksi di pengadaan laminar flow untuk mixing obat intra
Puskesmas vena.
Bekerja sama dengan bagian unit setralisasi untuk
pengadaan sterilisasi suhu rendah.
BAB III
KEWASPADAAN STANDAR DAN BERDASARKAN TRANSMISI

Ketika HIV/AIDS muncul pada tahun 1985, dibutuhkanlah suatu pedoman untuk
melindungi petugas pelayanan kesehatan dari terinfeksi. Oleh karena penularannya termasuk
Hepatitis C virus adalah melalui darah, maka disusunlah pedoman yang disebut Kewaspadaan
Universal (Universal Precaution). Sejak diberlakukan dan diterapkan di rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya, strategi baru ini telah dapat melindungi petugas pelayanan kesehatan
(penularan dari pasien ke petugas) serta mencegah penularan dari pasien ke pasien dan dari
petugas ke pasien.
Individu yang terinfeksi HIV atau HCV tidak menunjukkan gejala penyakit atau terlihat
sebagai layaknya seseorang yang terinfeksi, maka Kewaspadaan Universal di modifikasi agar
dapat menjangkau seluruh orang (pasien, klien, pengunjung) yang datang ke fasilitas layanan
kesehatan baik yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi.
Pada tahun 1987 diperkenalkan sistem pendekatan pencegahan infeksi kepada pasien
dan petugas kesehatan, yaitu Body Substance Isolation (BSI) sebagai alternatif dari
Kewaspadaan Universal.Pendekatan ini difokuskan untuk melindungi pasien dan petugas
kesehatan dari semua cairan lendir dan zat tubuh (sekret dan ekskret) yang berpotensi
terinfeksi, tidak hanya darah.Body Substance Isolation (BSI) ini juga meliputi: imunisasi
perlindungan bagi pasien dan staf fasilitas layanan kesehatan yang rentan terhadap penyakit
yang ditularkan melalui udara atau butiran lendir (campak, gondong, cacar air dan rubela),
termasuk imunisasi hepatitis B dan toksoid tetanus untuk petugas, mengkajiulang instruksi
bagi siapapun yang akan masuk ke ruang perawatan pasien terutama pasien dengan infeksi
yang ditularkan lewat udara (Lynch dkk, 1990).
Sistem Body Substance Isolation (BSI) lebih cepat diterima daripada sistem
Kewaspadaan Universal karena lebih sederhana, lebih mudah dipelajari dan diterapkan dan
dapat diberlakukan untuk semua pasien, tidak hanya pada pasien yang didiagnosis atau dengan
gejala yang mungkin terinfeksi tetapi tetap berisiko bagi pasien dan staf lainnya. Kelemahan
sistem ini antara lain: membutuhkan biaya tambahan untuk perlengkapan pelindung
terutama sarung tangan, kesulitan dalam perawatan rutin harian bagi semua pasien, ketidak
pastian mengenai pencegahan terhadap pasien dalam ruang isolasi serta penggunaan sarung
tangan yang berlebihan untuk melindungi petugas dengan biaya dibebankan kepada pasien.
Keberadaan kedua sistem ini pada awal 1990 mengakibatkan fasilitas pelayanan dan
petugas kesehatan tidak dapat memilih pedoman pencegahan mana yang harus digunakan.
Sehingga pada beberapa rumah sakit telah diterapkan Kewaspadaan Universal, sedangkan
yang lainnya menerapkan Isolasi Zat Tubuh.
Pencegahan dan Pengendalian infeksi menjadi bagian penting dalam upaya
meningkatkan mutu pelayanan medis dan asuhan keperawatan di Puskesmas yang berfokus
pada keselamatan pasien, petugas dan lingkungan puskesmas. Kinerja PPI dicapai melalui
keterlibatan aktif semua petugas Puskesmas, mulai dari jajaran manajemen, dokter, perawat,
paramedis, pekarya, petugas kebersihan, sampai dengan petugas parkir dan satpam maupun
seluruh masyarakat di puskesmas seperti pengunjung, mitra kerja puskesmas (Bank, asuransi,
rekanan penyedia barang, dll).
Kegiatan PPI harus dilakukan secara tepat di semua bagian/area di Puskesmas,
mencakup seluruh masyarakat puskesmas dengan menggunakan prosedur dan petunjuk
pelaksanaan yang ditetapkan oleh Puskesmas. Upaya pokok PPI mendasarkan pada upaya

9
10

memutus rantai penularan infeksi berfokus pada Kewaspadaan Standar (Standart Precautions)
yang merupakan gabungan Kewaspadaan Universal (Universal Precautions) dan BSI (Body
Substance Isolation), serta Kewaspadaan Isolasi berdasarkan transmisi penyakit.
Kebingungan yang terjadi semakin besar dimana rumah sakit dan staf merasa telah
menerapkan Kewaspadaan Universal, padahal sebenarnya mereka menerapkan Isolasi Zat
Tubuh dan sebaliknya, termasuk banyaknya variasi lokal dalam menginterpretasikan dan
menggunakan Kewaspadaan Universal dan Isolasi Zat Tubuh serta variasi kombinasi
penggunaan kedua sistem tersebut. Ditambah lagi dengan adanya kebutuhan untuk
menggunakan kewaspadaan tambahan bagi pencegahan penyakit yang ditularkan lewat udara
(airborne), droplet dan kontak badan, yang merupakan keterbatasan utama Isolasi Zat Tubuh
(Rudnick dkk 1993).
Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
bertujuan untuk melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung yang menerima
pelayanan kesehatanserta masyarakat dalam lingkungannya dengan cara memutus siklus
penularan penyakit infeksi melalui kewaspadaan standar dan berdasarkan transmisi. Bagi
pasien yang memerlukan isolasi, maka akan diterapkan kewaspadaan isolasi yang terdiri dari
kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan transmisi

Upaya pencegahan dan pengendalian infeksi puskesmas dirancang untuk memutus


rantai penularan penyakit infeksi menuju perlindungan pasien, petugas kesehatan,
pengunjung dan masyarakat.

A. KEWASPADAAN STANDAR
Kewaspadaan standar yaitu kewaspadaan yang utama, dirancang untuk diterapkan
secara rutin dalam perawatan seluruh pasien di rumah sakit dan fasilitas pelayanan
kesehatan lainnya, baik yang telah didiagnosis,diduga terinfeksi atau kolonisasi. Diterapkan
untuk mencegah transmisi silang sebelum pasien di diagnosis, sebelum adanya hasil
pemeriksaan laboratorium dan setelah pasien didiagnosis.Tenaga kesehatan seperti
petugas laboratorium, rumah tangga, CSSD, pembuang sampah dan lainnya juga berisiko
besar terinfeksi. Oleh sebab itu penting sekali pemahaman dan kepatuhan petugas tersebut
untuk juga menerapkan Kewaspadaan Standar agar tidak terinfeksi.
Pada tahun 2007, CDC dan HICPAC merekomendasikan 11 (sebelas) komponen
utama yang harus dilaksanakan dan dipatuhi dalam kewaspadaan standar, yaitu
kebersihan tangan, Alat Pelindung Diri (APD), dekontaminasi peralatan perawatan pasien,
kesehatan lingkungan, pengelolaan limbah, penatalaksanaan linen, perlindungan kesehatan
petugas, penempatan pasien hygiene respirasi/etika batuk dan bersin, praktik menyuntik
yang aman dan praktik lumbal pungsi yang aman.

Kesebelas kewaspadaan standar tersebut yang harus di terapkan di semua fasilitas


pelayanan kesehatan, sebagai berikut:
1) Kebersihan Tangan
Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan menggunakan sabun
dan air mengalir bila tangan jelas kotor atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan
alkohol (alcohol-based handrubs)bila tangan tidak tampak kotor. Kuku petugas harus
11

selalu bersih dan terpotong pendek, tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan
cincin. Cuci tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas dengan air mengalir,
dilakukan pada saat:
a. Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien yaitu darah, cairan
tubuh sekresi, ekskresi, kulit yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah
memakai sarung tangan.
b. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi ke area lainnya yang
bersih, walaupun pada pasien yang sama.
c. Indikasi kebersihan tangan:
 Sebelum kontak pasien;
 Sebelum tindakan aseptik;
 Setelah kontak darah dan cairan tubuh;
 Setelah kontak pasien;
 Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien
d. Kriteria memilih antiseptik:
 Memiliki efek yang luas, menghambat atau merusak mikroorganisme secara
luas (gram positif dan gram negative,virus lipofilik,bacillus dan
tuberkulosis,fungiserta endospore)
 Efektifitas
 Kecepatan efektifitas awal
 Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk meredam
pertumbuhan
 Tidak menyebabkan iritasi kulit
 Tidak menyebabkan alergi
Hasil yang ingin dicapai dalam kebersihan tangan adalah mencegah agar tidak
terjadi infeksi, kolonisasi pada pasien dan mencegah kontaminasi dari pasien ke
lingkungan termasuk lingkungan kerja petugas.

Gambar 2. Cara Kebersihan tangan dengan Sabun dan Air Diadaptasi dari: WHO
Guidelines on Hand Hygiene in Health Care: First Global Patient Safety Challenge,
World HealthOrganization, 2009.
12

2) Alat Pelindung Diri (APD)


a) Umum
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam APD sebagai berikut:
 Alat pelindung diri adalah pakaian khusus atau peralatan yang di pakai petugas
untuk memproteksi diri dari bahaya fisik, kimia, biologi/bahan infeksius.
 APD terdiri dari sarung tangan, masker/Respirator Partikulat, pelindung
mata (goggle), perisai/pelindung wajah, kap penutup kepala, gaun
pelindung/apron, sandal/sepatu tertutup (Sepatu Boot).
 Tujuan Pemakaian APD adalah melindungi kulit dan membran mukosa dari
resiko pajanan darah, cairan tubuh, sekret, ekskreta, kulit yang tidak utuh dan
selaput lendir dari pasien ke petugas dan sebaliknya.
 Indikasi penggunaan APD adalah jika melakukan tindakan yang
memungkinkan tubuh atau membran mukosa terkena atau terpercik darah atau
cairan tubuh atau kemungkinan pasien terkontaminasi dari petugas.
 Melepas APD segera dilakukan jika tindakan sudah selesai di lakukan.
 Tidak dibenarkan menggantung masker di leher, memakai sarung tangan
sambil menulis dan menyentuh permukaan lingkungan.

Gambar 4. Alat Pelindung Diri (APD)

b) Jenis-jenis APD
a) Sarung tangan
Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu:
 Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu melakukan tindakan
invasif atau pembedahan.
 Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk melindungi petugas
pemberi pelayanan kesehatan sewaktu melakukan
pemeriksaan atau pekerjaan rutin
 Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu memproses
peralatan, menangani bahan-bahan terkontaminasi, dan sewaktu
membersihkan permukaan yang terkontaminasi.
 Umumnya sarung tangan bedah terbuat dari bahan lateks karena elastis,
sensitif dan tahan lama serta dapat disesuaikan dengan ukuran tangan.
13

Bagi mereka yang alergi terhadap lateks, tersedia dari bahan sintetik
yang menyerupai lateks, disebut „nitril‟.
 Terdapat sediaan dari bahan sintesis yang lebih murah dari lateks yaitu
„vinil‟ tetapi sayangnya tidak elastis, ketat dipakai dan mudah robek.
Sedangkan sarung tangan rumah tangga terbuat dari karet tebal, tidak
fleksibel dan sensitif, tetapi memberikan perlindungan maksimum
sebagai pelindung pembatas.

PERLU JENIS
SARUNG SARUNG
KEGIATAN / TINDAKAN TANGAN TANGAN
? YANG
DIANJURKAN
Pengukuran Tekanan darah Tidak
Pengukuran suhu Tidak
Menyuntik Tidak
Penanganan dan pembersihan alat-alat Rumah
Ya
Tangga
Penanganan Limbah terkontaminasi Ya Rumah
Tangga
Membersihkan darah/cairan tubuh Ya Rumah
Tangga
Pemasangan dan pencabutan infus Ya Pemeriksaan
Pengambilan darah Ya Pemeriksaan
Pemeriksaaan Mukosa (Vagina, rectum,
Ya Bedah
mulut)
Pemasangan dan pencabutan implan,
kateter urin, AKDR dan
lainnya(terbungkus dalam paket steril Ya Bedah
dan dipasang dengan teknik tanpa
sentuh)
Laparskopi, Persalinan per vaginam Ya Bedah
Pembedahan Laparatomi, sectio sesaria
Ya Bedah
atau tulang
14

Gambar 5. Pemasangan sarung tangan

b) Masker
Masker digunakan untuk melindungi wajah dan membran mukosa mulut dari
cipratan darah dan cairan tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan udara
yang kotor dan melindungi pasien atau permukaan lingkungan udara dari
petugas pada saat batuk atau bersin. Masker yang di gunakan harus menutupi
hidung dan mulut serta melakukan Fit Test (penekanan di bagian hidung).
Terdapat tiga jenis masker, yaitu:
 Masker bedah, untuk tindakan bedah atau mencegah penularan melalui
droplet.
 Masker respiratorik, untuk mencegah penularan melalui airborne.

 Masker rumah tangga, digunakan di bagian gizi atau dapur.

Gambar 6. Memakai Masker

Cara memakai masker:


 Memegang pada bagian tali (kaitkan pada telinga jika
menggunakan kaitan tali karet atau simpulkan tali di belakang kepala jika
menggunakan tali lepas).
 Eratkan tali kedua pada bagian tengah kepala atau leher.
15

 Tekan klip tipis fleksibel (jika ada) sesuai lekuk tulang hidung dengan
kedua ujung jari tengah atau telunjuk.
 Membetulkan agar masker melekat erat pada wajah dan di bawah dagu
dengan baik.
 Periksa ulang untuk memastikan bahwa masker telah melekat
dengan benar

Gambar 7. Menekan klip pada tulang hidung

Gambar 8. Masker respirator/partikulat

Pemakaian Respirator Partikulat


Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2 (health care
particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi tinggi untuk
melindungi seseorang dari partikel berukuran
<5 mikron yang dibawa melalui udara. Pelindung ini terdiri dari beberapa lapisan
penyaring dan harus dipakai menempel erat pada wajah tanpa ada
kebocoran.Masker ini membuat pernapasan pemakai menjadi lebih berat.
Sebelum memakai masker ini, petugas kesehatan perlu melakukan fit test. Hal
yang perlu diperhatikan saat melakukan fit test :
 Ukuran respirator perlu disesuaikan dengan ukuran wajah.
16

 Memeriksa sisi masker yang menempel pada wajah untuk melihat


adanya cacat atau lapisan yang tidak utuh. Jika cacat atau terdapat
lapisan yang tidak utuh, maka tidak dapat digunakan dan perlu diganti.
 Memastikan tali masker tersambung dan menempel dengan baik di
semua titik sambungan.
 Memastikan klip hidung yang terbuat dari logam dapat
disesuaikan bentuk hidung petugas.
Fungsi alat ini akan menjadi kurang efektif dan kurang aman bila tidak
menempel erat pada wajah. Beberapa keadaan yang dapat menimbulkan
keadaan demikian, yaitu:
 Adanya janggut dan jambang
 Adanya gagang kacamata
 Ketiadaan satu atau dua gigi pada kedua sisi yang dapat
mempengaruhi perlekatan bagian wajah masker.

Gambar 9.Langkah-langkah menggunakan respirator

Pemeriksaan Segel Positif


Hembuskan napas kuat-kuat. Tekanan positif di dalam respirator berarti tidak
ada kebocoran.Bila terjadi kebocoran atur posisi dan/atau ketegangan tali.Uji
kembali kerapatan respirator. Ulangi langkah tersebut sampai respirator benar-
benar tertutup rapat.
17

Pemeriksaan Segel Negatif


 Tarik napas dalam-dalam. Bila tidak ada kebocoran, tekanan negatif di
dalam respirator akan membuat respirator menempel ke wajah. Kebocoran
akan menyebabkan hilangnya tekanan negatif di dalam respirator akibat
udara masuk melalui celah-celah segelnya.
 Lamanya penggunaan maksimal 1 (satu) minggu dengan
pemeliharaan yang benar.
 Cara pemeliharaan dan penyimpanan yang benar (setelah dipakai
diletakkan di tempat yang kering dan dimasukkan dalam kantong berlubang
berbahan kertas).

c) Gaun Pelindung
Gaun pelindung digunakan untuk melindungi baju petugas dari
kemungkinan paparan atau percikan darah atau cairan tubuh, sekresi,
ekskresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian petugas pada
tindakan steril.
Jenis-jenis gaun pelindung:
 Gaun pelindung tidak kedap air
 Gaun pelindung kedap air
 Gaun steril
 Gaun non steril
Indikasi penggunaan gaun pelindung
Tindakan atau penanganan alat yang memungkinkan pencemaran atau
kontaminasi pada pakaian petugas, seperti:
 Membersihkan luka
 Tindakan drainase

 Menuangkan cairan terkontaminasi kedalam lubang pembuangan atau


WC/toilet
 Menangani pasien perdarahan masif
 Tindakan bedah
 Perawatan gigi
Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika terkontaminasi cairan tubuh
pasien (darah).
Cara memakai gaun pelindung:
Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga bagian
pergelangan tangan dan selubungkan ke belakang punggung. Ikat di bagian
belakang leher dan pinggang.
18

Gambar 10. Gaun pelindung

d) Goggle dan perisai wajah


Harus terpasang dengan baik dan benar agar dapat melindungi wajah dan
mata.
Tujuan pemakaian Goggle dan perisai wajah:
Melindungi mata dan wajah dari percikan darah, cairan tubuh,sekresi dan
eksresi.
Indikasi:
Pada saat tindakan operasi, pertolongan persalinan dan tindakan persalinan,
tindakan perawatan gigi dan mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan
jenazah, penanganan linen terkontaminasidi laundry, di ruang dekontaminasi
CSSD.

Gambar 11. Penutup Wajah

Gambar 12. Memakai Goggle

e) Sepatu pelindung
Tujuan pemakaian sepatu pelindung adalah melindung kaki petugas dari
tumpahan/percikan darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat kesehatan, sepatu
tidak boleh berlubang agar berfungsi optimal. Jenis sepatu pelindung seperti
sepatu boot atau sepatu yang menutup seluruh permukaan kaki.
Indikasi pemakaian sepatu pelindung:
19

 Penanganan pemulasaraan jenazah


 Penanganan limbah
 Tindakan operasi
 Pertolongan dan Tindakan persalinan
 Penanganan linen
 Pencucian peralatan di ruang gizi
 Ruang dekontaminasi CSSD

Gambar 13. Sepatu Pelindung

f) Topi pelindung
Tujuan pemakaian topi pelindung adalah untuk mencegah jatuhnya
mikroorganisme yang ada di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-
alat/daerah steril atau membran mukosa pasien dan juga sebaliknya untuk
melindungi kepala/rambut petugas dari percikan darah atau cairan tubuh dari
pasien.

Indikasi pemakaian topi pelindung:


 Tindakan operasi
 Pertolongan dan tindakan persalinan
 Tindakan insersi CVL
 Intubasi Trachea

 Penghisapan lendir massive


 Pembersihan peralatan kesehatan
20

Gambar 14.Topi Pelindung

c) Pelepasan APD
Langkah-langkah melepaskan APD adalah sebagai berikut:
 Lepaskan sepasang sarung tangan
Caranya :
1. Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi.
2. Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan lainnya, kemudian
lepaskan.
3. Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan tangan
yang masih memakai sarung tangan.
4. Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan di bawah
sarung tangan yang belum dilepas di pergelangan tangan.
5. Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama.
6. Buang sarung tangan di tempat limbah infeksius.
 Lakukan kebersihan tangan
 Melpaskan epaskan apron
Caranya :
1. Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah
terkontaminasi
2. Lepas tali pengikat gaun.
3. Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam gaun pelindung
saja.
4. Balik gaun pelindung.

5. Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah yang telah di
sediakan untuk diproses ulang atau buang di tempat limbah infeksius.
 Melepaskan perisai wajah (goggle)
Caranya :
1. Ingatlah bahwa bagian luar goggle atau perisai wajah telah
terkontaminasi.
2. Untuk melepasnya, pegang karet atau gagang goggle.
3. Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk diproses ulang atau dalam
tempat limbah infeksius.
 Lepaskan gaun bagian luar
 Lepaskan penutup kepala
 Melepaskan masker
Caranya :
1. Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi- JANGAN
SENTUH.
2. Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali/karet bagian atas.
21

3. Buang ke tempat limbah infeksius.


 Melepaskan pelindung kaki
 Lakukan kebersihan tangan
Penggunaan APD pada pasien harus ditetapkan melalui Standar Prosedur
Operasional (SPO) di fasilitas pelayanan kesehatan terhadap pasien infeksius
sesuai dengan indikasi dan ketentuan Pencegahan Pengendalian Infeksi (PPI),
sedangkan penggunaan APD untuk pengunjung juga ditetapkan melalui SPO
di fasilitas pelayanan kesehatan terhadap kunjungan ke lingkungan infeksius.
Pengunjung disarankan untuk tidak berlama-lama berada di lingkungan infeksius.

d) Alur Permintaan, Penyediaan, dan Penyimpanan APD di UPTD Puskesmas


Sangurara
Alur Permintaan APD dan Sistem Penyediaan
1. APD yang disposable dimintakan melalui gudang obat dengan sistem paket
buffer floor stock.
2. APD yang tidak habis pakai direncanakan dan disediakan melalui Bendahara
barang Puskesmas Kabuh;
3. Jenis dan jumlah APD yang disediakan di setiap ruangan sebagai buffer floor
stock direncanakan dan diusulkan oleh Penanggung Jawab Unit sesuai
kebutuhan pelayanan medis dan tindakan keperawatan spesifiknya;
4. Standar perhitungan kebutuhan APD untuk setiap pelayanan pasien
ditetapkan tim PPI
5. Sistem ketersediaan buffer perlu dimonitor secara kontinue, dicatat setiap
penggunaannya, untuk menjamin ketersediaan APD sesuai kebutuhan spesifik
pelayanan medis dan tindakan keperawatan di setiap ruangan

6. Penggunaan APD secara tepat sesuai indikasi, dengan mengukur risiko


transmisi, dilakukan secara rutin menggunakan daftar tilik, dievaluasi dan di-
feedback-kan kepada yang terkait;
7. Rekapitulasi penggunaan APD setiap ruangan disampaikan Bendahara barang
dan tim PPI untuk bahan evaluasi dan perencanaan.

e) Penyimpanan APD di Ruangan


Penyimpanan seluruh APD yang dibutuhkan di ruangan (sesuai kebutuhan spesifik
setiap ruangan) direkomendasikan dalam sistem ketersediaan buffer, tersendiri
dalam almari kaca, agar mudah diakses bila dibutuhkan. Apabila tidak ada almari
khusus, direkomendasikan diletakkan dalam almari linen ditempatkan dengan
penempatan yang rapi, bersih dan kering, diberikan label identitas.

f) Pemilihan Alat Pelindung Sesuai Jenis Pajanan


Jenis pajanan Contoh Pilihan alat pelindung
Risiko rendah - Injeksi - Sarung tangan tidak
1. Kontak dengan - Perawatan luka esensial
kulit ringan
22

2. Tidak terpajan
darah langsung
Risiko sedang - Pemeriksaan pelvis - Sarung tangan
1. Kemungkinan - InsePuskesmasi - Mungkin perlu apron
terpajan darah IUD atau gaun pelindung
namun tidak ada - Melepas IUD
cipratan - Pemasangan
kateter intra vena
- Penanganan
spesimen
laboratorium
- Perawatan luka
berat
- Ceceran darah
Risiko tinggi - Pertolongan - Sarung tangan ganda
1. Kemungkinan Persalinan per - Apron
terpajan darah vaginam - Baju Pelindung
dan kemungkinan - Kaca mata pelindung
terciprat
- Masker
2. Perdarahan masif
- Sepatu boot

g) Manfaat Masing-masing Alat Pelindung Diri


Alat pelindung Terhadap pasien Terhadap petugas kesehatan
Sarung tangan Mencegah kontak Mencegah kontak tangan
mikroorganisme yang petugas dengan darah/ cairan
terdapat pada tangan tubuh penderita, selaput lendir,
petugas kesehatan kulit tidak utuh atau alat
kepada pasien kesehatan/permukaan
terkontaminasi
Masker Mencegah kontak Mencegah membran mukosa
droplet dan petugas kesehatan (hidung
mulut/hidung petugas dan mulut) kontak dengan
kesehatan yg percikan darah atau cairan
mengandung tubuh penderita
mikroorganisme dan
terpercik saat
bernafas, bicara atau
batuk kepada pasien
23

Kacamata Mencegah membran mukosa


Pelindung petugas kesehatan kontak
dengan percikan darah atau
cairan tubuh penderita
Tutup Kepala Mencegah jatuhnya
mikroorganisme dan
rambut dan kulit
kepala petugas ke
daerah steril
Jas dan celemek Mencegah kontak Mencegah kulit petugas
plastic mikroorganisme dan kesehatan kontak dengan
tangan, tubuh dan percikan darah atau cairan
pakaian petugas tubuh penderita
kesehatan kepada
pasien
Sepatu Pelindung Sepatu yang Mencegah perlukaan kaki oleh
bePuskesmasih benda tajam yang
mengurangi terkontaminasi atau terjepit
kemungkinan benda berat (contoh,
terbawanya mencegah luka karena
mikroorganisme dan menginjak benda
ruangan lain atau luar tajam/kejatuhan alkes) ;
ruangan mencegah kontak dengan
darah / cairan tubuh lainnya

h) Panduan Pemilihan APD Berdasarkan Aktivitas Perawatan Pasien


Kacamata
Jenis Sarung Gaun/
Masker / penutup Topi
tindakan tangan Celemek
wajah
Tidak,
Memandikan
kecuali kulit Tidak Tidak Tidak Tidak
pasien
tidak utuh

Vulva / penis
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
hygiene
Menolong
Ya Ya Tidak Tidak Tidak
BAB
Menolong
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
BAK
Oral Hygiene Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
Mengambil Ya Ya Tidak Tidak Tidak
24

darah arteri
Mengambil
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
darah vena
Perawatan
Ya (steril) Ya Tidak Tidak Tidak
luka mayor
Perawatan
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
luka minor
Perawatan
Ya (steril) Ya Tidak Tidak Tidak
luka infeksius
Mengukur
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
TTV
Melakukan
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
penyuntikan
Memasang
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
infus
Memasang
dawer Ya (steril) Tidak Tidak Tidak Tidak
catheter
Membersihka
Ya (sarung
n ruang Tidak Tidak Tidak Tidak
tangan RT)
perawatan
Membersihka
Ya (sarung
n peralatan Ya Ya Ya Tidak
tangan RT)
habis pakai
Transportasi
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
pasien
Melakukan
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
EKG
Mengganti
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
infus
Memberikan
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
diit per oral
Mengantar
spesimen ke Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
laboratorium
25

Mengganti
linen tidak
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
terkontamina
si
Mengganti
linen
Ya Tidak Tidak Tidak Tidak
terkontamina
si
Memasang
Ya ya Tidak Tidak Tidak
NGT
Memberi
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
tetes mata
Irigasi mata Ya Tidak Tidak Tidak Tidak

3. Dekontaminasi Peralatan Perawatan Pasien


Pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai secara benar, tepat, efektif
dan efisien merupakan hal yang sangat penting dan harus dimengerti /dipahami oleh
seluruh staf kesehatan pada setiap tingkat, mulai dan petugas pelayanan kesehatan
sampai ke petugas pembePuskesmasihan dan pemeliharaan sebagai upaya
pencegahan dan pengendalian infeksi di Puskesmas. Proses pencegahan terjadinya
infeksi silang (cross contamination) dari alat/instrumen, setelah digunakan dengan
melakukan dekontaminasi. Berdasarkan kemungkinan terjadinya infeksi, Dr.
E.H.Spaulding, 1968 mengelompokkan alat/instrumen pasca pakai menjadi 3 kelompok
yaitu :

NO. TINGKAT RISIKO PENGELOLAAN ALAT


1. Risiko Tinggi (critical) adalah alat Sterilisasi atau menggunakan
yang digunakan menembus kulit atau alat steril sekali pakai
rongga tubuh atau pembuluh darah (disposable)
2. Risiko sedang (semi critical) adalah Disinfeksi tingkat tinggi (DTT)
alat yang digunakan pada mukosa
atau kulit yang tidak utuh
3. Risiko rendah (non critical) adalah Disinfeksi tingkat rendah atau
alat yang digunakan pada kulit yang cuci bersih
utuh/ pada permukaan kulit

Dekontaminasi adalah proses untuk menghilangkan kotoran, komponen organik dan


mikroorganisme patogen dan alat kesehatan/instrumen sehingga aman untuk
pengelolaan selanjutnya. Proses dekontaminasi meliputi perendaman,pembersihan,
pencucian, disinfeksi, dan sterilisasi.
Alat kesehatan/instrumen pasca pakai setelah digunakan untuk tindakan medis dan
atau tindakan keperawatan harus segera dilakukan perendaman dan pencucian
dengan menggunakan larutan disinfektan yang sesuai (jenis, konsentrasi dan lama
perendaman), kemudian bilas dengan air mengalir dan keringkan.
26

Dalam melaksanakan kegiatan tersebutt harus menggunakan APD (alat pelindung diri)
sesuai ketentuan. Tujuan dari proses tersebut adalah :
- Sebagai pemutus mata rantai infeksi
- Meminimalkan dan mengisolasi potensi kontaminasi
- Merupakan langkah awal (first step) universal precaution yang perlu
dilaksanakan
- Dikerjakan pada setiap tahapan kegiatan pelayanan sterilisasi
Disinfeksi adalah suatu proses untuk menghilangkan sebagian atau semua
mikroorganisme dari benda/alat kesehatan, kecuali terhadap endospora bakteri,
dengan sistem panas (termal) atau kimia.
Disinfeksi tingkat tinggi (DTT) dapat dilakukan apabila alat/instrumen dengan
kategori semi kritikal, segera digunakan dan tidak memungkinkan bila dilakukan
sterilisasi. DTT dapat dilakukan dengan cara panas, yaitu dengan direbus selama 20
menit atau dengan larutan kimia/disinfektan yang sesuai.
Disinfektan adalah bahan/zat kimia yang digunakan untuk menghambat/membunuh
virus dan mikroorganisme patogen. Antiseptik adalah disinfektan yang digunakan pada
permukaan kulit dan membran mukosa. Disinfektan dan antiseptik yang digunakan di
Puskesmas disediakan oleh gudang obat.
Berdasarkan daya hambat/bunuh terhadap mikroorganisme, disinfektan dikelompokkan
yaitu:
NO. KLAS KETERANGAN
1. HLD (High Level Disinfektan yang berpotensi menghancurkan /
Disinfectan) membunuh semua bakteri bentuk vegetatif;
myco-bacteria, jamur; virus ukuran kecil dan
sedang, lipid dan non lipid, kecuali sejumlah
spora bakteri.
Contoh : Glutaraldehide 2% pH 7,5-8,5; H2O2
6%; Formaldehide 8% dalam alkohol 70%;
2. ILD (Intermediate Disinfektan yang berpotensi menghancurkan /
Level Disinfectan ) membunuh semua bakteri bentuk vegetatif;
mycobacteria, jamur; virus ukuran kecil. sedang,
lipid dan non lipid, tetapi tidak sensitif terhadap
spora bakteri.
Contoh : Alkohol 76%-90% ; Chlorine;
Formaldehide 4-8% dalam air
3. LLD (Low Level Disinfektan yang berpotensi menghancurkan /
Disinfectan) membunuh semua bakteri bentuk vegetatif;
beberapa jamur; virus (lipid) seperti Hepatitis B;
C dan HIV, tetapi tidak sensitif untuk
mycobacteria atau spora bakteri.
Contoh : Formaldehide konsetrasi <4% dalam
27

air, disinfektan golongan amonium kwartenair.

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas/potensi disinfektan adalah:


1. Konsentrasi disinfektan; lama paparan/perendaman; suhu, pH (tingkat keasaman
atau kebasaan)
2. Tipe dan jumlah mikroorganisme (misal : Mycobacterium tuberculose relatif lebih
tahan dibanding dengan mikroorganisme vegetatif)
3. Tingkat kebersihan alat/instrumen; pembersihan yang kurang adekuat
menyebabkan masih adanya kontaminan/materi organik. Interaksi antara
kontaminan organik (bio-burden) dengan zat aktif dapat menurunkan aktivitas
disinfektan.
4. Tingkat kesadahan air (hardness water), adanya kandungan yang mineral tinggi
seperti kalsium atau magnesium dapat berinteraksi dengan zat aktif disinfektan
sehingga menurunkan aktivitasnya.

Sterilisasi adalah suatu proses untuk menghilangkan seluruh mikroorganisme (bakteri,


virus, fungi, parasit) dan benda/alat kesehatan, termasuk endospora bakteri melalui
cara fisika atau kimia. Tujuan adanya Sterilisasi Sentral di Puskesmas adalah :
1. Menurunkan angka kejadian infeksi
2. Membantu mencegah serta menanggulangi infeksi nosokomial.
3. Efisiensi investasi, instalasi dan pemeliharaan serta penggunaan sumber daya
(SDM, peralatan, sarana prasarana lain).

Metode sterilisasi :
Ada beberapa metode sterilisasi yang digunakan di Puskesmas yaitu:
1. Sterilisasi panas tinggi dengan tekanan (uap dengan tekanan/autoclave)
2. Sterilisasi panas kering
3. Kukus rebus menggunakan dandang (DTT)
2. Sterilisasi dengan bahan/larutan kimia (larutan glutaraldehide 2%; atau dengan
larutan hydrogen peroksida 6%); dilakukan apabila sterilisasi dengan panas
tinggi (autoclave steam) dan atau panas rendah dengan gas tidak dapat
dilakukan.
Metode sterilisasi yang rutin dilaksanakan adalah sterilisasi uap (sterilisasi uap
prevakum) untuk alat kesehatan/instrumen/bahan yang tahan panas (termostabil) dan
sterilisasi suhu rendah dengan gas Ethylen Oxide untuk alat kesehatan/bahan yang
bersifat termolabil.
Jenis alat kesehatan / instrumen dan program-metode stelisasi :
SPESIFIKASI METODE STERILISASI
1. Alat/Instrumen tahan Sterilisasi Uap (Autoclave Steam):
panas (termostabil) Suhu (T) 134°C; P 3000 mBara selama 5
28

menit; Total proses pre-post = ± 60 menit


(logam; linen; kapas; kassa)
2. Alat/Instrumen tidak Sterilisasi dengan cairan glutaraldehid 2%
tahan panas (termo- selama 1 jam
labil)

Tahapan pengelolaan alat kesehatan/instrumen pasca pakai:


Untuk mendapatkan hasil sterilisasi yang optimal (efektif dan efisien) dan terjaga
mutunya sampai dengan digunakan maka proses pengelolaan alat
kesehatan/instrumen pasca pakai harus dilakukan secara benar dan tepat, aman bagi
pasien petugas serta lingkungan, yaitu :
1. Petugas yang akan melaksanakan kegiatan/proses dekontaminasi harus
menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai.
2. Pre-cleaning dan pencucian:
a. Alat kesehatan/instrumen pasca pakai setelah digunakan untuk tindakan
medis dan atau tindakan keperawatan harus segera dilakukan perendaman
dengan larutan Anioszyme DD1 5 ml dalam 1 liter air selama 5 menit.
b. Bersihakan/cuci alat/instrumen yang direndam, bila perlu dengan disikat.
c. Bilas dengan air mengalir sampai bersih, dan keringkan
d. Apabila alat/instrumen pasca pakai segera digunakan, untuk alat/instrumen
dengan :
 Kategori semi critical dilakukan DTT dengan:
- Direndam dengan larutan kimia/disinfektan (glutaraldehide 2%
selama 15 menit.
 Kategori critical dilakukan sterilisasi dengan larutan kimia/disinfektan
(glutaraldehide 2% selama 1 jam) sebagai berikut :
- Tuang larutan secukupnya ke dalam wadah tertutup
(alat/instrumen dapat terendam seluruhnya).
- Lama perendaman : DTT = 15 menit; Sterilisasi 1 jam.
- Bilas dengan aquadest steril, ulangi pembilasan sebanyak 2 (dua)
kali
- Keringkan/ dilap dengan lap steril
- Alat yang telah diproses harus segera digunakan
Catatan
a. Stabilitas larutan glutaraldehide 28 hari, pada suhu kamar.
b. Larutan glutaraldehide tidak boleh diencerkan pada saat akan
digunakan.
3. Setting dan pengemasan alat kesehatan/instrumen dan bahan habis pakai
(BHP)Alat/instrumen/bahan yang telah bersih dan kering disetting/ditata serta
dikemas sesuai ketentuan.
Prinsip pengemasan :
 Bahan pengemas sesuai dengan metode sterilisasi yang dipilih.
 Sterilan harus dapat diserap dengan baik dan dapat menjangkau seluruh
permukaan kemasan dan isinya.
29

 Harus dapat menjaga sterilitas isinya hingga kemasan dibuka


 Harus mudah dibuka dan isinya mudah diambil tanpa menyebabkan
kontaminasi Catatan : bila linen atau kertas perkamen sebagai bahan
pengemas, minimal harus rangkap 2 (dua).
Sterilisasi
Metode sterilisasi yang dipilih, berdasarkan jenis bahan dasar
alat/instrumen/bahan yang akan disterilkan.
ALAT/INSTRUMEN/BAHAN DARI METODE STERILISASI
Logam ; linen, kassa, kapas Streilisasi uap P1 (suhu 134oC)
Sensitif terhadap panas (termolabil) Streilisasi dengan cairan kimia
glutaraldehide

Note : Sterilisasi dengan larutan kimia/disinfektan dipilih apabila tidak mungkin


dilakukan sterilisasi panas tinggi maupun sterilisasi panas rendah dan
dilaksanakan di unit pelayanan.
4. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi proses serta hasil sterilisasi harus dilakukan sesuai
ketentuan sebagai jaminan mutu/kualitas hasil sterilisasi, meliputi:
a. Monitoring proses secara visual dengan melihat kondisi post sterilisasi
b. Indikator eksternal dilakukan/diberikan pada setiap kemasan (perubahan
warna)
c. Indikator mekanik yaitu dengan mencatat kondisi suhu, waktu dan tekanan
selama proses.
d. Bowie Dick Test dilakukan setiap 1 (satu) kali sebulan sebelum mesin
autoclave dengan vakum
e. Indikator biologi, dilakukan minimal 2 (dua) minggu sekali tiap mesin
autoclave steam,
5. Penyimpanan:
Alat kesehatan/instrumen, bahan habis pakai (BHP), serta linen medis yang telah
disterilkan disimpan di ruang steril. Penyimpanan di unit pelayanan minimal di
tempat/ruang yang jauh dari lalu lintas utama atau pada kotak/almari yang bersih
dan kering serta mudah dilakukan disinfeksi.
6. Waktu kedaluarsa hasil sterilisasi:
Kadaluarsa Cara sterilisasi dengan bahan pengemas
Satu minggu Sterilisasi dengan metode panas basah (autoclave
steam)dengan pengemas kertas perkamen rangkap 2;
linen rangkap 2 atau ditempatkan dalam tromol.
Satu bulan Sama seperti 1 minggu jika kondisi ruang
penyimpanan sesuai standar (suhu 180 – 220C
kelembaban 35 -75 %)
Satu 3 bulan Sterilisasi dengan metode panas basah (autoclave
steam) pengemas pouches
30

7. Penggunaan :
Sebelum penggunaan alat/instrumen/bahan yang disteril, pastikan bahwa :
- Kemasan dalam kondisi baik (tidak rusak, kering dan belum terbuka);

Pengelolaan peralatan (BHP) re-used


 BHP re-used adalah BHP yang menurut petunjuk manufakturnya
diperuntukkan single used namun diijinkan digunakan kembali sesuai bukti
ilmiah atau rekomendasi Perhimpunan Profesi pengguna atau pengalaman
klinik berdasarkan pertimbangan mutu, keamanan dan aspek finansial
penggunaan (karena sangat dibutuhkan tetapi sulit diperoleh dengan
segera atau diproduksi dalam jumlah terbatas, harga tidak terjangkau oleh
pasien - secara pribadi/asuransi).
 Pengelolaan BHP re-used di Puskesmas dilakukan berdasarkan tinjauan
mutu dan keamanan, rasional mulai dan saat penentuannya sampai dengan
evaluasi penggunaan pada pasien, ditetapkan dengan Kebijakan
Puskesmas tentang Pengelolaan Peralatan Re-used. BHP di-reused
melalui proses sterilisasi/DTT, dengan memperhatikan keamanan optimal
secara fisik dan fungsi, ketersediaan metode dekontaminasi dan sterilisasi
yang efektif.
 BHP yang dapat di-reused di Puskesmas adalah BHP sesuai daftar
lampiran Kebijakan Pengelolaan Peralatan Re-used. Macam BHP dan
batas maksimal jumlah reused ditetapkan Puskesmas melalui pembahasan.
 Identifikasi BHP re-used dan penomoran penggunaannya dilakukan oleh
unit terkait. Nomor penggunaan alat yang ke-sekian dituliskan dengan
penandaan pada alat maupun kemasan alat. Jika tanda telah sampai batas
maksimal re-used, pengguna tidak diperkenankan me-reused kembali. Jika
BHP sudah tidak layak di-reused berdasarkan evaluasi fungsi, keamanan
penampilan fisik, keamanan dan ketepatan sterilisasi/DTT, atau alasan
keamanan lain, meskipun belum sampai pada batas maksimal penggunaan
reused yang ditetapkan dalam Kebijakan, maka BHP tersebut segera
diakhiri penggunaannya tidak perlu diproses reused.
 Evaluasi klinik terhadap setiap penggunaan peralatan reused dilakukan
oleh satuan kerja pengguna, menggunakan daftar tilik evaluasi yang telah
disiapkan Tim PPI.
 Monitoring ketepatan penerapan standar, analisis evaluasi dan tindak lanjut
sesuai hasil evaluasi dilakukan Tim PPI setiap 3 bulan, disampaikan
kepada Tim Mutu Puskesmas.

Daftar Cairan Desinfektan di UPTD Puskesmas Sangurara


NO NAMA ISI KEGUNAAN KET
31

1. Alkohol  Ethanol  Antiseptik kulit 70%


 Disinfeksi
instrument non
kritis
 Disinfeksi
peralatan
non medis
 Pengawet preparat
PA
2. Betadin Povidon
Iodida Antiseptik kulit
3. Bayclin Natrium  Disinfeksi air  Tumpahan
Hipoklorit bersih darah 1%
 Dekontaminasi  Disinfeksi
tumpahan/percika linen dan
n darah/cairan instrumen
 Disinfeksi linen 0,5%
putih  Disinfeksi
peralatan
non medis
0,05%
4. Hibiscrub Klorheksidin
Antiseptik kulit
glukonat
5. Lysol Trikresolum Disinfeksi kamar 22 ml dalam
mandi, WC, Lantai 1 lt
6. Perhydrol Hydrogen Antiseptik luka 3% - 6%
peroksida

4. Pengelolaan Linen
Pengelolaan linen yang aman adalah kegiatan yang bertujuan mencegah
kontaminasi linen kotor atau infeksius kepada petugas, pasien dan lingkungan, meliputi
proses pengumpulan, pemilahan, pengangkutan linen kotor, pencucian sampai
distribusi linen bePuskesmasih. Pengelolaan linen kotor dan bersih secara terpisah
merupakan keharusan untuk meminimalkan risiko infeksi pada pasien dan petugas.
Pengelolaan linen di Puskesmas Kabuh meliputi kegiatan, penerimaan dan
pencucian linen kotor, penyediaan linen bersih siap pakai, pemeliharaan, dan
pemusnahan linen rusak. Proses cuci mencuci mulai dan pengumpulan, pemilahan,
pencucian dan pengangkutan diatur secara sistematis.
Kegiatan di diupayakan secara maksimal untuk menghindari kontaminasi linen
kotor terhadap linen bersih siap pakai maupun petugas dan lingkungan dengan
melakukan disinfeksi terhadap kereta linen, pengepelan/disinfeksi lantai dan
implementasi praktik kebersihan tangan petugas sesuai prosedur.
32

Jenis linen di Puskesmas Kabuh dikualifikasikan menjadi linen bersih, linen kotor
infeksius dan linen kotor non infeksius (terdiri atas linen kotor berat dan linen kotor
ringan). linen bersih pasca pencucian di laundry. Linen kotor infeksius adalah linen yg
terkontaminasi dengan darah, cairan tubuh dan feses terutama yang berasal dari
infeksi TB, Salmonella & Shigella, HBV, HCV, HIV, dll yang dapat menularkan
mikroorganisme tersebut kepada pasien lain, petugas ataupun mencemari lingkungan;.
a. Penanganan Linen infeksius di Ruangan
1. Linen kotor hendaknya sesedikit mungkin dipegang dan digerak-gerakkan untuk
mencegah kontaminasi udara dan petugas.
2. Linen infeksius dan non infeksius dipisahkan dalam tempat penampungan
tersenditi Linen infeksius dilipat dan digulung sehingga bagian tengah yang
paling kotor berada di tengah gulungan selanjutnya dimasukkan dalam kantong
plastik warna kuning. Hitung dan catat linen infeksius sebelum dimasukkan
dalam plastik, sehingga mengurangi kontaminasi.
3. Petugas yang mengelola linen kotor wajib memakai APD berupa:
 Sarung tangan rumah tangga
 Masker
 Celemek plastik/apron
b. Pengiriman linen ke laundry
Linen kotor infeksius dan non infeksius dibawa ke laundry menggunakan kereta linen
kotor dengan tong / kantong linen warna kuning untuk linen infeksius, biru untuk non
infeksius.
c. Penanganan Linen Kotor di laundry
1. Petugas laundry menerima linen kotor dengan mengenakan APD berupa: topi,
masker, sarung tangan rumah tangga, apron, sepatu boot.
2. Petugas memisahkan linen berdasarkan jenis linen serta tingkat kekotoran linen
( linen kotor infeksius, linen kotor berat dan linen kotor ringan), menghitung dan
mencatatnya.

3. Khusus untuk linen kotor infeksius langsung dilakukan pencucian


bePuskesmasama linen kotor berat, tidak perlu dilakukan penghitungan ulang
d. Pengambilan Linen bersih
a. Linen bersih siap pakai diterima di bagian finishing dikeluarkan oleh petugas
pengeluaran linen bersih
b. Linen yang akan dikeluarkan dihitung sesuai dengan daftar cucian yang masuk
pada hari itu kemudian menyerahkan kepada petugas pengeluaran linen
c. Petugas pengeluaran linen menyiapkan linen yang akan dikeluarkan di loket
pengeluaran
d. Petugas pengeluaran linen mengeluarkan linen bersih siap pakai sesuai bukti
pengambilan linen
e. Petugas pengeluaran linen mencatat pengeluaran linen bersih siap pakai pada
hari itu di buku pengeluaran linen bersih
f. Petugas laundry membawa linen bersih siap pakai menggunakan trolly /
kantong linen bersih
33

5. Pengendalian Lingkungan
Kebersihan Ruang di Lingkungan PUSKESMAS
Kebersihan Ruang di lingkungan PUSKESMAS merupakan tindakan pembersihan
secara seksama yang dilakukan teratur meliputi :
- disinfeksi tempat tidur, permukaan meja, peralatan dan benda-benda di
lingkungan sekitar pasien setiap hari, saat pasien pulang dan sebelum pasien
masuk dengan disinfektan standar PUSKESMAS;
- Pengepelan lantai meliputi seluruh permukaan dengan disinfektan standar
PUSKESMAS setiap hari mimimal 2 kali/hari
- Pembersihan sekat/gordyn pembatas antar pasien dilakukan minimal setiap 3
bulan (bahan gordyn dipilih yang mudah dibersihkan dan tidak bergelombang)
- Pembersihan kamar mandi/WC/wastafel dilakukan setiap hari atau sewaktu-
waktu diperlukan dengan disinfektan sesuai standar.
Prinsip Pembersihan lingkungan:
a. Dilaksanakan sesuai standar zonasi ruangan di PUSKESMAS
b. Mengusap seluruh permukaan Lingkungan dengan disinfektan standar
PUSKESMAS
c. Menggunakan mop khusus untuk setiap jenis ruangan, dengan cara sistematis
untuk membersihkan dan menghilangkan patogen infeksius

Kebersihan Ambulans
Ambulans dibersihkan secara rutin sesuai standar pembersihan ruang perawatan dan
setiap kali sesudah digunakan transportasi pasien.

6. Manajemen Pengelolaan Limbah


Limbah medis umumnya berasal dari kegiatan Puskesmas, dimana secara umum
di UPTD Puskesmas Sangurara dapat dikategorikan dalam limbah infeksius dan limbah
non-infeksius. Limbah infeksius didefinisikan sebagai limbah yang mengandung
mikroorganisme berbahaya dalam jumlah cukup besar, sehingga dapat menyebabkan
penyakit. Limbah non-infeksius adalah limbah domestik yang dihasilkan dari berbagai
kegiatan house keeping / kerumahtanggaan di Puskesmas.
Limbah medis secara garis besar dapat dibedakan berdasarkan pada kondisi
fisiknya yaitu limbah padat dan limbah cair. Limbah padat atau sampah yang
dihasilkan dari aktivitas dalam Puskesmas menurut PP no 85 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, termasuk kategori limbah
infeksius. Limbah padat ini mengandung bahan-bahan infeksius atau mengandung
bakteri berbahaya, sampah yang kontak dengan cairan tubuh penderita, jaringan tubuh
dan spesimen di laboratorium,

Sampah lain terkategori sebagai sampah umum atau domestik merupakan


sampah yang berupa bungkus makanan dan minuman, sisa makanan bukan dari ruang
isolasi, kertas dan plastik yang tidak terkontaminasi dan semua sampah selain bahan
kimia dan radiasi yang tidak kontak dengan cairan tubuh pasien. Pemusnahan sampah
34

infeksius dari Puskesmas memerlukan adanya insinerator yang mempunyai


kemampuan untuk memusnahkan berbagai mikroorganisme atau bahan infeksius pada
sampah padat.
1) Limbah Padat Medis
Limbah padat / sampah Puskesmas adalah campuran heterogen yang
kompleks yang berasal dari berbagai kegiatan medis yang berlangsung, antara lain
dari Instalasi gizi, ruang tunggu, poliklinik, ruang poned, ruang perawatan,
laboratorium. Limbah padat tesebut memiliki bahan campuran yang bervariasi.
Oleh karena itu, limbah yang dihasilkan oleh aktivitas medis di Puskesmas harus
dikelola dengan baik.
Sampah yang bersumber dari lingkungan Puskesmas mempunyai
pengelolaan sampah yang ditangani secara terpisah dengan sampah lainnya
karena kemungkinan mengandung bibit penyakit. Sehingga pengelolaan sampah
Puskesmas bersifat khusus. Mengingat akan pentingnya hal tersebutt maka,
penanganan sampah Puskesmas merupakan bagian dari upaya penyehatan
lingkungan Puskesmas.
Limbah padat dari Puskesmas mulai disadari sebagai bahan buangan yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan karena dianggap sebagai
mata rantai penyebaran penyakit menular.
Dalam pengelolaan sampah Puskesmas di UPTD Puskesmas Sangurara,
sampah secara garis besar dibedakan menjadi Sampah Medis dan Sampah Non
Medis / Domestik.
a. Sampah Medis
Sampah medis termasuk dalam golongan limbah klinis. Menurut
Depkes RI, limbah klinis berupa berbagai jenis buangan yang dihasilkan di
Puskesmas dan unit-unit pelayanan kesehatan seperti pelayanan medis,
perawatan gigi, farmasi atau sejenis serta limbah yang dihasilkan Puskesmas
pada saat dilakukan perawatan, pengobatan atau penelitian. Limbah ini bisa
membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung,
masyarakat dan terutama kepada petugas yang menangani limbah.
Berdasarkan potensi bahaya yang ditimbulkannya, limbah klinis
digolongkan sebagai berikut:
 Limbah benda tajam
 Limbah infeksius
 Limbah jaringan tubuh
 Limbah farmasi
 Limbah kimia
 Limbah plastik
Namun pada pelaksanaannya, penggolongan berbagai timbulan
sampah yang ada tidak mudah dilakukan. Ada beberapa jenis yang dapat
masuk ke dalam lebih dari satu golongan ataupun tidak praktis dalam
penggolongannya untuk itu di Puskesmas Kabuh untuk Sampah Medis
dibedakan menjadi 2 besar, yaitu :
 Sampah medis Tajam
 Sampah medis Non Tajam
35

Meskipun tidak seluruh limbah Puskesmas berbahaya, beberapa


diantaranya dapat menimbulkan ancaman pada saat penanganan,
penampungan, pengangkutan dan atau pemusnahan. Beberapa alasan yang
menjadikan limbah Puskesmas berbahaya adalah:
 Potensi dalam menimbulkan bahaya kepada personil yang terlibat
dalam pembuangan jika tidak ditangani dengan baik.
 Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan jika dibuang tanpa
pengolahan terlebih dulu, sehingga mempunyai dampak yang
membahayakan atau mengganggu kesehatan masyarakat.
Sampah medis dalam pengelolaan sampah Puskesmas merupakan
limbah klinis yang berbentuk padat. Pengertian sampah medis di sini adalah
limbah padat Puskesmas bersifat klinis. Sampah medis biasanya dihasilkan
di ruang pasien, ruang pengobatan atau tindakan, ruang perawatan, ruang
bedah termasuk dressing kotor, verban, kateter, swab, plaster, masker dan
lain-lain.
Kategori sampah lain yang juga dikelola sebagai sampah Puskesmas
adalah sampah patologis yaitu sampah yang berasal dari ruang poned
termasuk placenta, serta sampah laboratorium yaitu sampah yang dihasilkan
dari laboratorium diagnostic atau riset, meliputi sediaan atau media sample
spinal, bangkai binatang.
Untuk membedakan dengan Sampah Umum / Domestik, maka
Sampah Medis dimasukkan ke dalam tong sampah warna kuning yang
didalamnya telah dilengkapi plastik kresek warna kuning, dan ini telah
disediakan Puskesmas Kabuh. Selanjutnya dikirim ke insenerator untuk
dilakukan proses pembakaran

b. Sampah Non-Medis
Sampah non-medis adalah timbunan limbah padat pada Puskesmas yang tidak
termasuk dalam golongan sampah medis. Sampah non-medis biasanya berupa
sampah domestik seperti timbunan sampah lain pada umumnya (sampah umum /
domestik). Dalam pelaksanaannya, sesuai dengan kesepakatan bersama di
UPTD Puskemas Kabuh untuk Sampah Umum / Domestik dibedakan menjadi 2
besar, yaitu :
 Sampah Umum Basah / Sampah Organik, terdiri dari sisa makanan,
dll.
36

 Sampah Umum Kering / Sampah Anorganik, terdiri dari kertas,


plastik, dll.
Untuk membedakan dengan Sampah Medis, maka Sampah Umum /
Domestik dimasukkan ke dalam tong sampah warna abu – abu sesuai tulisan
sampah basah atau sampah kering, dan ini telah disediakan Puskesmas
Kabuh . Selanjutnya dimasukkan ke TPS dan dibuang ke TPA, bekerjasama
dengan Dinas pasar Tata Ruang, Kebersihan dan Pertamanan.

Pengelolaan Limbah
1. Limbah RT atau limbah non medis
Penanganan Limbah/Limbah RT/Limbah non medis
Penanganan Limbah dan masing masing ruangan dilakukan dengan
cara :
a. Wadah berupa kantong plastik warna hitam, diikat rapat pada
saat akan diangkut, dan dibuang berikut wadahnya;
b. Wadah tidak boleh penuh/luber. Jika telah terisi 2/3 bagian
segera dibawa ke tempat penampungan akhir;
c. Pengumpulan Limbah dari ruang perawatan harus tetap pada
wadahnya dan jangan dituangkan pada gerobak (kereta limbah)
yang terbuka, agar dihindari kontaminasi dengan lingkungan
sekitar serta mengurangi risiko kecelakaan terhadap petugas,
pasien dan pengunjung;
d. Petugas yang menangani pengelolaan limbah harus selalu
menggunakan sarung tangan rumah tangga dan sepatu serta
mencuci tangan dengan sabun sesuai prosedur setiap selesai
bekerja.
2. Pengelolaan limbah padat medis
Di UPTD Puskesmas Sangurara, metoda yang digunakan untuk
mengolah sampah medis tergantung pada faktor-faktor khusus yang
sesuai dengan institusi yang berkaitan, peraturan yang berlaku, dan
aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap masyarakat.

Teknik pengolahan sampah medis yang diterapkan adalah (medical


waste):
 Insenerasi (incineration)
Suatu proses dimana sampah dibakar dalam kondisi
temperatur yang terkontrol. Metoda ini dilakukan untuk
sampah padat medis sisa hasil kegiatan medis yang sifatnya
disposible atau sekali pakai.
 Strerilisasi dengan uap panas (autoclaving)
37

Metode dekontaminasi dengan pemaparan ke dalam uap panas besuhu dan


bertekanan dalam ruang tertutup untuk sejumlah waktu tertentu. Tekanan dan
waktu yang dibutuhkan untuk proses adalah 12 menit waktu kontak pada
kondisi uap jenuh besuhu 121oC. Metoda ini dipakai untuk alat – alat
kedokteran yang akan dipakai lagi, terbuat dari logam atau stainless.

Insenerator (Incinerator)

Sebagian besar limbah padat / sampah yang dihasilkan oleh aktivitas


medis di Puskesmas memiliki sifat infeksius. Berdasarkan PP No. 85/1999
menyatakan bahwa limbah yang memiliki karakteristik besifat infeksius
dikategorikan sebagai limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Salah satu
upaya pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) adalah dengan
pengolahan berupa proses pemanasan. Salah satu teknologi pemanasan
adalah pembakaran (incineration) dalam kondisi terkontrol pada insenerator .
Proses insinerasi pada insenerator harus dapat berfungsi secara
optimal agar material yang dibakar dapat aman bagi lingkungan. Untuk
membuat proses insinerasi berlangsung secara optimal, diperlukan suatu
perencanaan design insenerator (incinerator) yang baik sehingga hasil
pembakaran yang diinginkan dapat tercapai.
Menurut beberapa pengertian definisi insenerasi (incineration) adalah:
1. Suatu teknologi pengolahan yang digunakan untuk menghilangkan /
menghancurkan limbah dengan pembakaran terkontrol pada temperatur
yang tinggi.
2. Suatu teknologi pengolahan meliputi penghilangan / penghancuran
limbah dengan pembakaran terkontrol, seperti contoh : pembakaran
lumpur untuk memindahkan air dan mengurangi residu yang dihasilkan,
ash yang tidak terbakar dapat dibuang dengan aman ke tanah, air, atau
di bawah tanah lokasi pengolahan. Material direduksi massa dan volume
dengan pembakaran.

3. Suatu penghilangan/penghancuran limbah padat, cair, atau gas dengan


pembakaran terkontrol pada temperatur tinggi. Komponen B3 diubah
menjadi ash, carbon dioxide, dan air. Pembakaran digunakan untuk
menghilangkan / menghancurkan komponen organik, mengurangi
volume limbah, dan penguapan air dan zat cair lainnya yang mungkin
dapat mengandung sedikit komponen B3, seperti logam berat yang tidak
terbakar, yang terkandung dari limbah asal.
Sistem insinerasi didesain untuk menghilangkan hanya komponen
organik dari sampah. Dengan menghilangkan fraksi organik dan mengubahnya
menjadi carbon dioxide dan uap air, dapat mengurangi volume limbah dan
menjadikan komponen organik termasuk yang toksik aman bagi lingkungan.
38

Alat yang digunakan untuk menjalankan prinsip insenerasi (incineration)


adalah insenerator (incinerator).
Tahapan Pengolahan Limbah
Pemilahan
Limbah padat di ruangan dipilah sesuai dengan jenisnya yaitu limbah padat
medis dan non medis (basah dan kering).
Limbah di ruangan dibuang ke tempat limbah yang dilapisi kantong plastik
yang diberi tanda dibedakan warnanya :
- Warna kuning untuk limbah padat infeksius.
- Warna hitam untuk limbah padat non infeksius.
Tempat limbah di ruangan ada dua macam:
- Tempat Limbah pasien di ruangan (tempat sampah non sentuh/injak
dan sejenisnya yang berukuran kecil);
- Tempat limbah besar di luar ruangan (kontainer ± 0.05 m 3) dengan
pesyaratan antara lain terbuat dari bahan yang kuat, mudah
dibesihkan, ringan (dapat diangkat oleh satu orang), tidak berkarat dan
kedap air terutama untuk limbah basah, mempunyai tutup, mudah
dikosongkan atau diangkut, tahan terhadap benda tajam/runcing).
- Kantong plastik, jika sudah terisi 2/3 bagian diikat rapat dan kencang.
Pembuangan Limbah
- Semua limbah yang dihasilkan dalam ruangan atau area perawatan/isolasi
harus dibuang dalam wadah atau kantong plastik yang sesuai.
- Untuk limbah infeksius gunakan kantong plastik kuning atau bila tidak
tePuskesmasedia dapat menggunakan kantong plastik warna lain yang
tebal atau dilapis dua (kantong ganda), kemudian diikat dengan tali warna
kuning dan diberi tanda “infeksius”
- Untuk limbah RT digunakan kantong plastik warna hitam
- Untuk limbah benda tajam atau jarum dimasukkan dalam wadah tahan
tusukan disposable

- Kantong limbah apabila sudah ¾ bagian penuh harus segera diikat


dengan tali dan tidak boleh dibuka kembali.
- Petugas yang bertanggungjawab atas pembuangan limbah harus
menggunakan APD lengkap yang sesuai saat membuang limbah.
- Limbah cair seperti urine atau feses dibuang ke dalam sistem
pembuangan kotoran yang tertutup dan memenuhi syarat serta disiram air
yang banyak.
- Urinebag dikosongkan secara teratur setiap 3-4 jam atau saat terlihat
sudah ¾ penuh.
Pengelolaan Benda Tajam
Benda tajam sangat berisiko menyebabkan perlukaan sehingga meningkatkan
terjadinya penularan penyakit melalui kontak darah. Penularan infeksi HIV,
Hepatitis B, Hepatitis C, sebagian besar disebabkan karena kecelakaan yang
bisa dicegah yaitu tertusuk jarum suntik dan perlukaan oleh alat tajam lainnya.
Upaya untuk mencegah perlukaan :
39

1. Penggunaan benda tajam termasuk jarum suntik direkomendasikan


sekali pakai, tidak direkomendasikan melakukan daur ulang atas
pertimbangan penghematan;
2. Semua petugas bertanggung jawab atas setiap alat tajam yang
digunakan sendiri;
3. Pada saat memindahkan alat tajam (misal pada setting operasi)
digunakan teknik tanpa sentuh dengan menggunakan nampan atau
alat perantara lain;
4. Tidak dibenarkan melakukan manipulasi jarum suntik mematahkan,
membengkokkan, atau ditutup kembali jika spuit hanya akan dibuang;
5. Jika jarum terpaksa akan ditutup kembali (recapping), misal untuk
pemeriksaan contoh bahan darah ke laboratorium/PMI, digunakan
metode satu tangan (single handed recapping method);
6. Tersedia wadah limbah tajam disposable di setiap ruangan, bersifat
kedap air tahan tusukan dan tidak mudah bocor. Wadah ditutup dan
dibuang jika telah terisi 2/3 bagian atau sesuai tanda batas pengisian
pada safety box dan jika telah tertutup tidak bisa dibuka lagi.

Pecahan kaca
Pecahan kaca dikategorikan sebagai benda tajam, yang potensial
menyebabkan perlukaan yang akan memudahkan kuman masuk ke aliran
darah, sehingga perlu diperlakukan secara hati-hati dengan cara pembuangan
yang aman. Rekomendasi pengelolaan pecahan kaca :

1. Gunakan sarung tangan rumah tangga saat membersihkan;

2. Untuk meraup/mengumpulkan gunakan kertas koran atau kertas tebal


dan gulung pecahan kaca dalam kertas tadi;

3. Masukkan gulungan kertas yang berisi pecahan kaca ke dalam


kardus, berikan label “hati-hati pecahan kaca”
Pengendalian terhadap serangga dan binatang pengganggu di puskesmas.
Pengendalian serangga dan binatang pengganggu adalah suatu upaya untuk
mengurangi populasi serangga dan binatang pengganggu sehingga tidak
menimbulkan gangguan kesehatan, kerusakan fisik alat dan bangunan yang
meliputi pengendalian jentik, nyamuk, kecoa, lalat, rayap, tikus dan kucing.
Semua ruangan di puskesmas harus bebas lalat, kecoa, Semua ruangan di
puskesmas tidak diperkenankan ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus
terutama pada daerah bangunan tertutup (core) puskesmas. Lingkungan
puskesmas harus bebas kucing dan anjing.

2. Limbah Cair Medis


a. Sumber Limbah
Secara umum limbah Cair Medis dari suatu kegiatan Puskesmas dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu air limbah medis yang besifat infeksius dan air
limbah domestik yang besifat non-infeksius. Air limbah infeksius adalah limbah
yang mengandung mikroorganisme berbahaya (pathogen) dalam jumlah cukup
40

besar, sehingga dapat menyebabkan penyakit. Air Limbah non-infeksius


adalah limbah domestik yang dihasilkan dari berbagai kegiatan pendukung
operasional suatu Puskesmas, seperti, laundry dan lain-lain. Sumber –
sumber air limbah dari kegiatan operasional Puskesmas antara lain:
- Air Limbah dari kamar mandi dan cuci.
Air limbah ini dikategorikan sebagai limbah rumah tangga, yang berasal
dari unit – unit Puskesmas. Air limbah dari kegiatan ini akan dimasukkan
ke Septik Tank. Parameter pencemar dalam limbah ini adalah zat padat,
BOD, COD, nitrogen, phosphorus, minyak dan lemak serta bakteriologis.
- Air Limbah Laundry
Air limbah laundry berasal dari unit pencucian bahan dari kain yang
umumnya bersifat basa dengan kandungan zat padat total berkisar
antara 800 – 1200 mg/l dan kandungan BOD berkisar antara 400 – 450
mg/l

- Air Limbah laboratorium


Air limbah laboratorium berasal dari pencucian peralatan laboratorium
dan bahan buangan hasil pemerikasaan contoh darah dan lain – lain. Air
limbah ini umumnya mengandung berbagai senyawa kimia sebagai
bahan pereaksi sewaktu pemeriksaan contoh darah dan bahan lain.
Air limbah laboratorium mengandung bahan antiseptik dan antibiotik
sehingga besifat toksik terhadap mikroorganisme, oleh karena
diperlukan perlakukan khusus dalam pengelolaannya.
b. Karakteristik Air Limbah Puskesmas.
Sesuai dengan sifat dan bahannya, air limbah Puskesmas dapat
dikategorikan sama dengan air limbah domestik, kecuali air limbah dari
laboratoriumnya. Karakteristik air limbah domestik yang masih baru, berupa
cairan keruh berwarna abu – bau dan berbau tanah.
Bahan ini mengandung padatan berupa hancuran tinja, sisa – sisa
makanan dan sayuran, padatan halus dalam suspensi koloid, serta polutan
yang terlarut.
Sebagaimana disebutkan diatas bahwa air limbah domestik 99,9 %
terdiri dari air dan 0,1 % adalah padatan. Padatan dalam air limbah domestik
sekitar 70 % terdiri dari bahan organik dan sekitar 30 % terdiri dari bahan an-
organik.
Sifat bahan organik dalam limbah domestik relatif lebih disukai oleh
mikroorganisme, oleh karenanya kandungan BOD, COD, Nitorgen, Phosphat,
minyak – lemak dan TSS yang lebih dominan. Persyaratan pembuangan
limbah cair Puskesmas mengacu pada Baku mutu buangan air limbah
Puskesmas menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no KEP
58/MENLH/I/1995 dijelaskan dalam tabel 1 .
a) Karakteristik Fisik.
Parameter – parameter yang penting dalam air buangan yang termasuk
dalam karakteristik fisik antara lain, :
a. Total Solid.
41

Didefinisikan sebagai zat – zat yang tertinggal sebagai residu


penguapan pada temperatur 105 C. Zat – zat lain yang hilang pada
tekanan uap dan temperatur tePuskesmasebut tidak didefinisikan
sebagai total solid.
b. Temperatur
Pada umumnya temperatur air buangan lebih tinggi dari temperatur air
minum. Karena adanya penambahan air yang lebih panas dari bekas
pemakaian rumah tangga atau aktivitas pabrik, serta adanya
kandungan polutan dalam air. Temperatur pada air buangan
memberikan pengaruh pada :
- Kehidupan air
- Kelarutan gas

- Aktivitas bakteri
- Reaksi – reaksi kimia dan kecepatan reaksi
c. Warna
Warna dari air buangan berasal dari buangan rumah tangga dan
industri. Air buangan yang segar umumnya berwarna abu – abu dan
sebagai akibat dari penguraian senyawa – senyawa organik oleh
bakteri, warna air buangan menjadi hitam. Hal ini menunjukan bahwa
air buangan telah menjadi atau dalam keadaan septik.
d. Bau
Bau dalam air buangan biasanya disebabkan oleh produksi gas – gas
hasil dekomposisi zat organik. Gas Asam Sulfida (H2S) dalam air
buangan adalah hasil reduksi dari sulfat oleh mikororganisme secara
anaerobik.
b) Karateristik Kimia
Senyawa – senyawa yang terkandung dalam air buangan terdiri atas 3
(tiga) golongan utama, yaitu :
a. Senyawa Organik
Kurang lebih 75 % zat padat tersuspensi dan 40 % padatan yang
tersaring (Filterable solid) dalam air buangan merupakan senyawa -
senyawa organik. Senyawa – senyawa organik terdiri dari kombinasi
karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), dan Phosphat (P)
dalam berbagai bentuk. Senyawa – senyawa organik ini, umumnya
terdiri dari Protein, Karbohidrat, minyak dan lemak yang kesemuanya
dinyatakan dalam parameter BOD dan COD. Kandungan detergen
dalam air, dimana umumnya detergen terbuat dari senyawa ABS (Alkyl
Benzen Sulfonat) atau LAS (Linier Alkyl Sulfonat), dinyatakan dalam
konsentrasi parameter MBAS (Methyline Blue Alkyl Sulfonat ) atau CCE
(Carbon Chloroform Extract).
b. Senyawa Anorganik
Konsentrasi senyawa anorganik di dalam air akan meningkat, baik
karena formasi geologis yang sebelumnya, selama aliran maupun
42

karena penambahan buangan baru ke dlam aliran tersebut.


Konsentrasi unsur organik juga akan bertambah dengan proses
penguapan alami pada permukaan air. Adapun komponen –
komponen anorganaik yang terpenting dan berpenagruh terhadap air
buangan antara lain :
- alkalinitas
- khlorida
- sulfat
- besi
- zeng, dll.

c. Gas – gas
Gas – gas yang umum terdapat dalam air buangan yang belum diolah
meliputi : N2, O2, CO2, H2S, NH3, CH4. Ketiga gas yang disebut
pertama sebagi akibat kontak langsung dengan udara dan ketiga
terakhir berasal dari dekomposisi zat –zat organik oleh bakteri dalam
air buangan.
c) Karakteristik Biologis
Kelompok organisme yang terpenting dalam air buangan dibagi menjadi 3
(tiga) yaitu :
1. Kelompok protista
2. Kelompok tumbuh – tumbuhan
3. Kelompok hewan.
Kelompok protista terdiri dari bakteri, algae dan protozoa,
sedangkan kelompok tumbuh – tumbuhan antara lain meliputi paku –
pakuan dan lumut. Bakteri berperan sangat penting dalam air buangan,
terutama dalam proses biologis. Kelompok bakteri secara dikelompokan
menjadi jenis bakteri yang patogen (menyebabkan penyakit) dan non
patogen. Kelompok bakteri patogen dianalisa dengan parameter
kandungan E. Coli , MPN (Most Problably Number) / 100 Ml. E. Coli
merupakan bakteri yang terkandung dalam tinja, semakin tinggi
kandungan bakteri E.Coli dalam air buangan maka semakin tinggi pula
kandungan bakteri patogen yang lain (seperti Typhus, Disentri dan
Cholera).
c. Pengolahan Limbah Cair
Limbah Puskesmas berdasarkan pada sumbernya merupakan campuran
antara limbah domestik - limbah laboratorium yang kadang – kadang besifat
infeksius.
Tujuan pengolahan air limbah :
1. Menghilangkan bahan tesuspensi dan terapung dalam air limbah
2. Penghilangan atau pengurangan bahan organik biodegradable,
(mengurangi kandungan BOD sekaligus COD)
3. Penghilangan kandungan nutrien (N & P removal)
43

4. Menghilangkan atau mengeliminasi mikroorganisme patogen


5. Menghilangkan kandungan bahan – bahan anorganik.
Pengolahan limbah Puskesmas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :
- Pengolahan secara individual (On-site treatment).
Pengolahan limbah secara individual umumnya ditujukan untuk
pengolahan tinja saja, sedangkan limbah cair (sullage) dibuang langsung
dalam saluran terbuka. Pengolahan sistem individual bagi tinja dan air
kemih untuk skala rumah kecil didaerah perkotaan sering dilakukan
dengan cara basah atau menggunakan “Septik Tank”.
Fungsi septic tank adalah untuk mengubah karakteristik air kotor
menjadi buangan yang mudah diserap oleh tanah, tanpa menimbulkan
pemampatan pada tanah itu sendiri.
Secara rinci, Septic Tank mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Untuk memisahkan benda padat (tinja)
Padatan yang dapat diendapkan dipisahkan dengan pengendapan
secara gravitasi.
b. Untuk mengolah padatan dan cairan secara biologis.
Komponen Organik dalam padatan dan cairan dalam air kotor akan
di dekomposisi oleh bakteri anerob dan proses alamiah lainnya.
c. Sebagai penampung lumpur dan busa.
Lumpur (sludge) merupakan akumulasi padatan yang mengendap
dalam tanki, dan busa adalah lapisan padatan yang mengambang.
Keduanya dapat di dekomposisi oleh aktivitas bakteri. Hasil dari
proses dekomposisi tesebut akan diperoleh suatu cairan, gas dan
lumpur matang yang stabil. Dimana cairan terolah akan keluar
sebagai effluen, gas yang terbentuk dilepas melalui pipa ventilasi
dan lumpur yang matang ditampung di dasar tangki yang nantinya
akan dikeluarkan secara berkala.

- Pengolahan Secara Komunal.


Pengolahan secara komunal di Puskesmas seperti yang dilakukan
Puskesmas dilakukan untuk mengolah air efluen dari septik tank dan air
limbah dari mandi, cuci dan laundry. Teknik pengolahan limbah cair medis
dapat dilakukan dalam dua tahap yaitu pengolahan pendahuluan dan
pengolahan secara biologi.

a. Pengolahan pendahuluan
Pengolahan pendahuluan Puskesmas Kabuh dilakukan utamanya pada
air limbah yang berasal dari kegiatan, air limbah dari laboratorium analisa,
dan dari ruang laundry akan dikoordinasikan dengan instansi terkait
mengenai penanganan awalnya. Pengolahan pendahuluan untuk air
limbah laboratorium dilakukan secara phisik – kimia yaitu netralisasi,
presipitasi dan pertukaran ion. Sedangkan pengolahan pendahuluan
untuk air limbah laundry adalah netralisasi dan pemberian zat kimia
antibusa.
44

b. Pengolahan Secara Biologis (Pengolahan tahan kedua)


Dalam sistem pengolahan limbah cair, pengolahan biologis dikategorikan
sebagai pengolahan tahap kedua (secondary treatment), melanjutkan
sistem pengolahan secara fisik sebagai pengolahan tahap pertama
(primary treatment). Tujuan pengolahan ini terutama adalah untuk
menghilangkan zat padat organik terlarut yang biodegradable, berbeda
dengan sistem pengolahan sebelumnya yang lebih ditujukan untuk
menghilangkan zat padat tesuspensi.
Dalam memilih teknologi yang akan digunakan, perlu dipertimbangkan
beberapa hal
 Kuantitas dan kualitas limbah yang akan diolah
 Pemahaman teknologi yang akan digunakan.
Kuantitas limbah, khususnya air limbah, yang diperhitungkan tidak
semata-mata didasarkan pada jumlah debitnya saja, tetapi juga
berhubungan dengan kontinuitas dan fluktuasinya. Penggunaan teknologi
yang tidak tahan terhadap adanya perubahan atau fluktuasi yang
menyolok dapat menurunkan kinerja unit pengolahannya itu sendiri, atau
bahkan menyebabkan kegagalan proses pengolahan.
Kualitas limbah sangat menentukan jenis teknologi yang akan
digunakan, selain itu juga dapat digunakan sebagai indikator bagi perlu
tidaknya suatu teknologi digunakan. Aspek paling sederhana dalam hal ini
adalah mengklasifikasikan air limbah berdasarkan karakteristiknya; fisik,
kimiawi ataukah biologis.
Karena itu perlu sekali kita mengkaji dua aspek awal – kuantitas dan
kualitas sebelum menentukan pilihan teknologi yang akan diterapkan.
Dari kedua hal ini ada beberapa tahapan yang umum digunakan, yaitu :
1. Mereduksi volume limbah, yang prinsipnya adalah mengurangi
kuantitas limbah yang dihasilkan.
2. Mereduksi kekuatan/konsentrasi limbah, yang ditujukan untuk
mengurangi kualitas pencemaran.
Jenis pengolahan biologis yang digunakan bergantung pada :
 Derajat pengolahan yang dikehendaki
 Jenis air limbah yang akan diolah
 Konsentrasi air limbah
 Variasi aliran
 Volume limbah
 Biaya operasi dan Pemeliharaan.
Kriteria pengolahan Limbah Medis dalam suatu Puskesmas antara lain :
1. Kualitas effluent memenuhi baku mutu dan stabil
2. Mudah dalam pengoperasian
3. Biaya Operasi tidak mahal
4. Kebutuhan Lahan Minimal
5. Higienis dan tidak mengganggu estetika
6. Peralatan instrument IPAL awet.
45

7. Investasi cukup terjangkau


8. Mudah di up-grade bila terjadi peningkatan kapasitas.

Penanganan Tumpahan Darah


a. Pasang tanda peringatan;
b. Siapkan spill kit;
c. Gunakan APD sesuai kebutuhan: sarung tangan RT, masker,
pelindung kaki (bila tumpahan banyak gunakan juga celemek/apron);
d. Tutup tumpahan dan batasi perluasannya menggunakan bahan yang
menyerap (kertas koran/tisu). Selanjutnya bahan dicakup
menggunakan penjepit dan langsung dimasukkan dalam kantong
plastik kuning (limbah infeksius)
e. Tuangi dan rendam bekas tumpahan dengan khlorin 0,5%, diamkan
selama 10’
f. Basuh lokasi tumpahan pasca perendaman khlorin dengan mop/lap
basah
g. Masukkan mop/lap basah ke dalam larutan air disinfektan
h. Ikat plastik kuning, masukkan ke dalam tempat sampah medis
i. APD dilepas, dikelola sesuai standar
j. Petugas mencuci tangan pasca penanganan tumpahan selesai

7. Penempatan Pasien
Untuk mencegah transmisi silang agen patogen penyebab infeksi, direkomendasikan
penempatan pasien secara kohorting (penempatan pasien berkelompok besama
pasien lain dengan infeksi sejenis), penempatan dalam ruang tunggal atau penempatan
dalam ruang isolasi.
Ruang dengan ventilasi natural yang baik digunakan untuk penempatan dan perawatan
pasien infeksi, khususnya infeksi airborne, yang terpisah dan pasien non infeksi dan
khususnya terpisah dan pasien dengan kondisi immunocompromise. Penataan ventilasi
dapat dilakukan secara alamiah atau campuran (dibantu sistem fan dan exhaust).
Ruangan untuk perawatan pasien infeksi airborne dipesyaratkan penataan ventilasi
dengan pertukaran udara minimal 12 ACH.
Mobilisasi/transportasi, pasien infeksi dan 1 unit ke unit lain harus dibatasi seminimal
mungkin. Bila dalam keadaan tententu pasien terpaksa harus dibawa ke unit lain, maka
petugas harus memperhatikan prinsip kewaspadaan isolasi.

8. Etika Batuk
Hygiene pernafasan dan etika batuk adalah dua cara penting untuk mengendalikan
penyebaran infeksi di sumbernya. Semua pasien, pengunjung dan petugas kesehatan
hanus direkomendasikan untuk selalu mematuhi etika batuk dan kebersihan
pernafasan untuk mencegah ekskresi sekret pernafasan (droplet nuclei).
Kunci PPI adalah mengendalikan penyebaran patogen dari pasien yang terinfeksi
kepada kontak yang tidak terlindungi. Untuk penyakit yang ditransmisikan melaiui
droplet besar atau droplet nuklei maka etika batuk harus diterapkan kepada semua
individu dengan gejala gangguan pada saluran napas.
46

Pasien, petugas, pengunjung dengan gejala infeksi saluran nafas harus :


1. Menutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin;
2. Gunakan tisu/saputangan untuk menutup batuk, buang tisu pasca pakai ke
tempat limbah infeksius;
3. Atau gunakan lengan baju bagian dalam untuk menutup batuk,
4. Cuci tangan dengan menggunakan air bersih mengalir dan sabun atau lakukan
alternatif cuci tangan menggunakan larutan handrub berbasis alkohol;
5. Gunakan masker kain/masker medikal bila sedang batuk/flu.
Penyuluhan Kesehatan dilakukan untuk memperkenalkan hygiene respirasi/etika batuk:
 Edukasi kepada semua petugas, pasien dan pengunjung Puskesmas dengan
infeksi saluran napas;
 Edukasi petugas, pasien, keluarga dan pengunjung akan pentingnya
pengendalian transmisi kandungan aerosol dan sekresi saluran nafas dalam
mencegah penularan infeksi saluran napas;
 Menyediakan sarana untuk kebersihan tangan (alkohol handrub, wastafel,
sabun biasa/antiseptik, tissue towel), terutama pada area tunggu perlu
diprioritaskan.

9. Praktek Menyuntik Aman


 Tidak memakai ulang jarum suntik;
 Upayakan tidak memakai obat- obat/cairan multidose;
 Pertahankan teknik aseptik dan antiseptik pada pemberian injeksi;
 Segera buang jarum suntik habis pakai pada kontainer benda tajam;
 Tidak melakukan recapping jarum suntik habis pakai.

10. Kesehatan Perlindungan Petugas Kesehatan


Upaya kesehatan dan perlindungan karyawan/petugas kesehatan ditujukan kepada
seluruh karyawan baik yang berhubungan langsung dengan pasien maupun tidak.
Pelaksanaan upaya kesehatan kerja meliputi :
a) Pemeriksaan berkala
b) Pemberian imunisasi yang pelaksanaannya tergantung pada :
 Resiko ekspos petugas
 Kontak petugas dengan pasien
 Karakteristik pasien Puskesmas
 Dana Puskesmas
c) Pelaporan pajanan dan insiden kecelakaan kerja (tertusuk jarum)
d) Pengobatan dan atau konseling.

B. KEWASPADAAN BERDASARKAN PENULARAN/TRANSMISI


47

Kewaspadan berdasarkan penularan dibutuhkan untuk memutus mata rantai


transmisi mikroba penyebab infeksi, dibuat untuk diterapkan terhadap pasien yang
diketahui atau diduga terinfeksi atau terkolonisasi patogen yang dapat ditransmisikan
lewat udara, droplet, kontak dengan kulit atau permukaan terkontaminasi. Kewaspadaan
ini diterapkan sebagai tambahan terhadap kewaspadaan standar. Jenis kewaspadaan
berdasarkan transmisi :
1. Kontak
 Kontak langsung
 Melalui common vehicle (makanan, air, obat, peralatan)
 Melalui vektor (lalat, nyamuk, tikus, dll)
2. Droplet
3. Udara

Penjelasan :
1. Kewaspadaan transmisi kontak
Transmisi kontak merupakan cara transmisi terpenting dan tesering penyebab
HAI’s. Kewaspadaan transmisi kontak ditujukan untuk menurunkan risiko transmisi
patogen melalui kontak langsung atau tidak langsung. Kontak langsung meliputi
kontak kulit terbuka/abrasi, kontak antara orang yang rentan/petugas dengan kulit
pasien terinfeksi atau kolonisasi (contoh : perawat membalikkan tubuh pasien,
memandikan, membantu pasien bergerak, dokter bedah mengganti verband dengan
luka basah, dll). Risiko kontak langsung tesering adalah kontak tangan.
Transmisi kontak tidak langsung terjadi antara orang yang rentan dengan
benda yang terkontaminasi mikroba infeksius di lingkungan seperti instrumen yang
terkontaminasi, jarum, kassa, sarung tangan yang tidak diganti saat menolong
pasien, melalui obat, makanan, melalui mainan anak, dll. Kontak dengan cairan
sekresi pasien terinfeksi dapat ditransmisikan melalui tangan petugas atau benda
mati di lingkungan sekitar pasien.
Kewaspadaan kontak diterapkan terhadap pasien dengan infeksi yang
diketahui atau terkolonisasi (ada mikroba pada atau dalam tubuh pasien tanpa
gejaia klinis infeksi) yang mikrobanya dapat ditransmisikan dengan cara kontak
langsung atau tidak langsung. Pada saat petugas masih memakai sarung tangan
terkontaminasi tidak boleh menyentuh tangan, hidung dan mulut, dan hindari
mengkontaminasi permukaan lingkungan yang tidak berhubungan dengan
perawatan pasien, misal pegangan pintu, tombol lampu, telepon.
Kunci Kewaspadaan Kontak :
1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien
2. Gunakan sarung tangan besih, tidak perlu steril dan gaun disposable/ reusable
bilamana kontak dengan pasien infeksi kontak.

3. Lepaskan dan proses segera sarung tangan dan gaun pasca pakai perawatan
pasien infeksi kontak secara tepat (dimasukkan limbah medis dan kantong
48

linen infeksius). Lakukan kebePuskesmasihan tangan segera setelah melepas


sarung tangan.
4. Dedikasikan penggunaan peralatan spesifik untuk setiap pasien infeksi kontak
dan selalu membePuskesmasihkan serta mendisinfeksi peralatan yang tidak
disposable sebelum digunakan pasien lain.

5. Hindari menyentuh wajah, mata atau mulut dengan tangan yang memakai atau
tidak memakai sarung tangan sebelum melakukan kebesihan tangan
6. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan yang terpisah atau secara
kohorting dengan pasien lain yang menderita infeksi sejenis (kontak)
7. Minimalkan kontak antar pasien dan batasi gerak pasien keluar ruang
perawatan
8. Pengendalian lingkungan: pembemasihan dan dekontaminasi permukaan
lingkungan dan benda-benda terkontaminasi dengan disinfektan standar
puskesmas
Pasien dengan infeksi kulit atau mata yang dapat menular misalnya herpes zoster,
impetigo, konjungtivitis, kutu atau infeksi luka lainnya memerlukan penerapan
tindakan pencegahan kontak.

2. Kewaspadaan Transmisi Droplet


Diterapkan sebagai tambahan Kewaspadaan Standar terhadap pasien dengan
infeksi yang telah diketahui atau suspek mengidap patogen yang dapat
ditransmisikan melalui droplet, percikan partikel besar (> 5µm). Transmisi droplet
terjadi melaiui kontak dengan konjungtiva, membran mukosa hidung atau mulut
individu yang rentan/tanpa pelindung oleh percikan partikel besar (berbicara, batuk,
bePuskesmasin dan tindakan seperti pengisapan lendir dan bronkoskopi) dan dapat
menyebarkan organisme. Dibutuhkan jarak dekat antara sumber dan resipien (< 1
meter).
Droplet tidak bertahan lama di udara dan segera jatuh/menempel di
permukaan lingkungan sehingga tidak dibutuhkan penanganan khusus udara atau
ventilasi. Transmisi droplet dapat secara langsung, dimana droplet mencapai
membrana mukosa karena terinhalasi.
Transmisi droplet juga sering terjadi secara kombinasi dengan transmisi
kontak yaitu partikel droplet mengkontaminasi permukaan tangan atau permukaan
tubuh atau lingkungan yang lain dan dapat ditransmisikan ke membran mukosa.
Transmisi droplet dapat terjadi saat pasien bicara, batuk (spontan/akibat induksi),
berbagai prosedur yang dapat menimbulkan aerosol (intubasi endotrakheal,
bronkoskopi, suction, nebulising), fisioterapi dada, resusitasi kardiopulmoner.

Kunci Kewaspadaan Droplet:


1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien, dan segera setelah
setiap kali melepas alat pelindung diri
49

2. Gunakan masker bedah setiap kali berada dalam jarak 1 meter dengan
pasien
3. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan yang terpisah atau secara
kohorting dengan pasien lain yang menderita infeksi sejenis, berjarak antar
pasien minimal 1 meter
4. Minimalkan transportasi pasien keluar ruang perawatan
5. APD masker bedah/medik, sarung tangan, gaun
6. Pengendalian lingkungan : pembersihan dan dekontaminasi permukaan
lingkungan dan benda-benda terkontaminasi dengan disinfektan standar
PUSKESMAS

3. Kewaspadaan Transmisi melalui Udara (Airborne)


Kewaspadaan transmisi udara diterapkan sebagai tambahan kewaspadaan
standar terhadap pasien yang diduga atau telah diketahui terinfeksi patogen yang
secara epidemiologi penting dan ditransmisikan melalui jalur udara seperti misalnya
transmisi artikel terinhalasi langsung melalui udara (mis. varicella zoster).
Kewaspadaan ini ditujukan ntuk menurunkan risiko transmisi mikroba penyebab
infeksi melalui udara baik yang ditransmisikan berupa droplet nuklei (sisa partikel
kecil <5µm evaporasi dan droplet yang mengandung mikroba dan bertahan lama di
udara) atau partikel debu yang mengandung mikroba penyebab infeksi.
Partikel kecil yang mengandung mikroba tePuskesmasebut akan
melayang/menetap di udara beberapa jam terbawa aliran udara > 2 m dari sumber,
dapat terinhalasi oleh individu rentan di ruang yang sama dan jauh dari pasien
sumber mikroba, tergantung pada faktor lingkungan (sistem ventilasi). Beberapa
contoh penyakit : TB paru, campak, cacar air, influenza, .Kewaspadaan transmisi
udara direkomendasikan diterapkan pada setiap tindakan yang potensial
menimbulkan aerosol pada pasien infeksi udara
Bila didapatkan infeksi baru atau infeksi yang belum diketahui cara
penularannya, maka direkomendasikan untuk menerapkan kewaspadaan transmisi
udara (merupakan jenis kewaspadaan tertinggi).
Kunci Kewaspadaan Udara (Airborne):
1. Cuci tangan sebelum dan setelah merawat pasien, dan segera setelah setiap
kali melepas alat pelindung diri
2. Gunakan respirator partikulat saat memasuki ruang isolasi udara, cek setiap
akan pakai (fit test)
3. Pasien ditempatkan dalam ruang perawatan dengan ventilasi memadai/ruang
dengan pertukaran udara 12x/jam atau ruang bertekanan negatif (bila
mungkin), dipisahkan dan pasien lain atau ditempatkan dengan prinsip
kohorting besama pasien dengan infeksi udara sejenis
4. Batasi gerak pasien, edukasi etika batuk, pakai masker bila keluar ruang
rawat
5. APD : masker bedah (untuk pasien/pengunjung, sarung tangan, gaun, apron
(bila menghadapi cairan dalam jumlah banyak)
6. Pengendalian Lingkungan
a. Cek aliran udara dengan selembar tisu, jaga pintu selalu tertutup
50

b. Kontrol sistem ventilasi secara teratur (tekanan negatif atau ventilasi


natural)
c. Tidak direkomendasikan menggunakan AC central, bila menggunakan
AC harus dengan filter HEPA
d. Pembesihan dan dekontaminasi permukaan lingkungan dan benda-
benda terkontaminasi sebagai komplemen pembePuskesmasihan
udara (HEPA filter, ozon, fogging atau sinar UV).

Isolasi Perlindungan
Isolasi pedindungan diberikan kepada pasien yang karena kondisi
medis/status kesehatannya menjadikan lebih/sangat rentan terhadap infeksi
sehingga perlu dilindungi dari risiko transmisinya di PUSKESMAS. Kondisi-kondisi
pasien yang memerlukan isolasi perlindungan antara lain:

1. Kondisi immunocompromized (dan berbagai underlying penyakit)


2. Pengobatan steroid/obat supresi sistem imun yang lain
3. Pasien dengan kemoterapi
4. Usia lanjut, bayi prematur/KMK, status gizi buruk, dll
Prinsip kewaspadaan isolasi perlindungan didasarkan pada penerapan
kewaspadaan standar secara maksimal dengan penekanan antara lain :
1. Ditempatkan dalam ruang khusus yang menerapkan prinsip kewaspadaan
standar secara maksimal
2. Kebesihan tangan sebelum dan setelah masuk ruangan/kontak pasien (untuk
petugas/pengunjung)
3. Batasi kontak petugas/pengunjung (maksimum pengunjung : 2 orang)
4. Batasi barang di dalam ruangan, termasuk perlengkapan yang dibawa pasien
5. Penggunaan APD oleh petugas sesuai potensi transmisi.

C. KEWASPADAAN BERBASIS TRANSMISI


Kontak Droplet Udara / Airborne
Penempatan Tempatkan di ruang Tempatkan pasien Tempatkan pasien
pasien rawat terpisah / secara diruang terpisah di ruang terpisah
kohorting. Bila tidak /secara kohorting, dengan:
mungkin, pertimbangkan dengan jarak  1 meter 1. Tekanan negatif
epidemiologi mikrobanya
51

Kontak Droplet Udara / Airborne


dan populasi pasien, antara TT dan dgn 2. Aliran udara
konsultasikan dengan pengunjung. 12xJam
petugas PPI (kategonIB) Pertahankan pintu 3. Pengeluaran
Tempatkan dengan jarak terbuka, tidak perlu udara terfiltrasi
antar TT 1 meter, jaga penanganan sebelum udara
tidak ada kontaminasi khusus thd udara dan mengalir ke
silang ke lingkungan dan ventilasi (kategori IB) lingkungan.
pasien lain (kategori IB) 4. Bila
menggunakan
kohorting
(mikroba sama)
dengan ventilasi
natural, buka
jendela
maksimal agar
aliran udara
memadai dari
udara
bePuskesmasih
ke kurang
bePuskesmasih
5. Pintu ruang
pasien/kohorting
tertutup.
Jarak antar pasien
> 1
meter.Konsultasika
n dengan petugas
PPI untuk
menempatkan
pasien bila ruang
isolasi/kohorting
tidak
memungkinkan.
(kategori IB)
Kontak Droplet Udara / Airborne

Transport Batasi kontak antar Batasi Batasi


pasien pasien, transport pasien gerak/transportasi gerak/transportasi
52

hanya bila perlu. b/p pasien b/p transport, pasien hanya bila
pasien keluar ruangan pasien mengenakan perlu, pasien
terapkan prinsip masker bedah mengenakan
kewaspadaan kontak (kategon IB) dan masker bedah dan
untuk meminimalkan menerapakan hygiene menerapkan
penularan (kategori IB) respirasi ketika batuk. hygiene
respirasi/etika
batuk (kategori IB)
APD Sarung tangan non Masker, dipakai Respirator
petugas steril, ganti sarung (melindungi hidung dan partikulat (N95/
tangan setelah kontak mulut) bila bekerja Kategori-N pada
cairan tubuh/pindah dalam radius 1 meter efisiensi 95%)
pasien. dan pasien/saat kontak dikenakan saat

Lepaskan sarung tangan erat (kategori 1B) masuk ruang

sebelum keluar dari pasien.

ruang pasien ; cuci Orang yang rentan


tangan dengan sabun direkomendasikan
antiseptik (kategort IB). tidak masuk ruang
Gaun bePuskesmasih pasien Orang yang
non steril saat masuk imun/telah pernah
ruang pasien sakit campak/
cacar air tidak
perlu masker
(kategori IB)
Untuk melindungi kontak Masker
langsung pasien, bedah/medikal
peralatan /permukaan untuk pasien
lingkungan sekitar Sarung tangan
pasien, cairan tubuh, Gaun
luka terbuka, dll.
Goggle, saat
Lepaskan gaun sebelum melakukan
ke luar ruangan, jaga tindakan yang
tidak mengkontaminasi menimbulkan
lingkungan/pasien lain aerosol
(kategori IB)
Apron, digunakan bila
gaun permeable untuk
mengurangi penetrasi
cairan.
53

Peralatan Dedikasikan 1 peralatan Idem Idem


untuk untuk setiap pasien.

perawatan Bila digunakan

pasien bePuskesmasama,
terapkan prinsip
pembePuskesmasihan
dan disinfeksi secara
tepat sebelum digunakan
untuk pasien lain.
Peralatan semi kritikal
dilakukan DTT, peralatan
kritikal dilakukan
sterilisasi. (kategori IB)
Pengendali Tidak perlu penanganan Tidak perlu Ruang tekanan
an teknikal ventilasi secara khusus penanganan udara negatif dengan
& secara khusus ACH 12
lingkungan AC dengan hepa
filter Aliran udara
pada ventilasi
natural, jendela
dibuka lebar
Pembersihan/usap Pembersihan/usap Pembesihan/usap
permukaan lingkungan permukaan permukaan
dengan menggunakan lingkungan dengan lingkungan dengan
disinfektan menggunakan menggunakan

disinfektan disinfektan ; b/p


fogging
Contoh MDRO (MRSA VRE, B.pertussis, SARS, M.tbc (obligat
Penyakit/ ESBL) influenza, adenovirus. airborne)
mikroba C. difficile rhinovirus Campak, cacar air
Norovirus, rotavirus, N.meningitidis, (kombinasi
Legionella (melalui Streptococcus grup A, transmisi)
makanan, air, vomitus, Mycoplasma
feses) pneumonia

Panduan Untuk Kewaspadaan Di Ruang Isolasi


1. Rencanakan tindakan perawatan dengan seksama agar efisien dan kontak
minimal;
2. Kewaspadaan terhadap semua darah dan cairan tubuh ekskresi dan sekresi dan
seluruh pasien untuk meminimalkan risiko transmisi infeksi;
3. Kebesihan tangan sebelum kontak dan di antara kontak pasien;
54

4. Cuci tangan setelah menyentuh bahan infeksius (darah dan cairan tubuh pasien);
5. Gunakan teknik tanpa menyentuh bila memungkinkan untuk menghindari
menyentuh bahan infeksius;
6. Pakai sarung tangan saat harus atau mungkin kontak dengan darah dan cairan
tubuh serta bahan yang terkontaminasi. Cuci tangan segera setelah melepas
sarung tangan. Ganti sarung tangan antara pasien;
7. Penanganan limbah feses, urine dan sekresi pasien yang lain dalam lubang
pembuangan yang disediakan, besihkan dan disinfeksi bedpan, urineal, dan
kontainer pasien yang lain;
8. Tangani bahan infeksius sesuai prosedur;
9. Pastikan peralatan, barang fasilitas, dan linen infeksius pasien telah dibersihkan
dan didisineksi dengan benar antar pasien;
10. Pastikan mobilisasi pasien keluar unit minimal;
11. Pastikan pembatasan petugas, keluarga pasien/pengunjung yang masuk ke
ruang isolasi seminimal mungkin, telah diedukasi PPI dan menerapkan
penggunaan APD yang sesuai.
BAB IV
TATALAKSANA PENCEGAHAN & PENGENDALIAN
INFEKSI PUSKESMAS / INFEKSI NOSOKOMIAL

Prinsip tatalaksana pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial adalah


kewaspadaan dan manajemen secara maksimal setiap risiko potensial di setiap tahap aktivitas
pelayanan terkait, untuk meminimalkan manifestasi aktualnya secara optimal sehingga tercapai
perlindungan pasien, petugas, pengunjung dan lingkungan.

A. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Kemih:


Pencegahan infeksi saluran kemih nosokomial terkait kateterisasi uretra perlu
memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan pemasangan kateter urine.
1. Tenaga Pelaksana:
a) Pemasangan kateter hanya dikerjakan oleh tenaga yang berkompeten dan terampil
dalam teknik pemasangan kateter secara aseptik dan perawatannya (Kategori I)
b) PePuskesmasonil yang memberikan asuhan pada pasien dengan kateter harus
mendapat pelatihan secara berkala khusus dalam teknik yang benar tentang
prosedur pemasangan kateter kandung kemih dan pengetahuan tentang potensi
komplikasi yang timbul (kategori II)
2. Teknik Pemasangan Kateter:
a) Pemasangan kateter dilakukan hanya bila perlu saja dan segera dilepas bila tidak
diperlukan lagi. Alasan pemasangan kateter tidak boleh hanya untuk kemudahan
pePuskesmasonil dalam memberi asuhan pada pasien (Kategori II)
b) Gunakan kateter dengan ukuran yang paling sesuai sehingga aliran urine lancar dan
tidak menimbulkan kebocoran dari samping kateter (Kategori II)
c) Cara drainase urine yang lain seperti : kateter kondom, kateter suprapubik,
kateterisasi selang-seling (intermitten) dapat digunakan sebagai ganti kateterisasi
menetap bila memungkinkan (Kategori III).
d) Cuci tangan sesuai prosedur sebelum dan sesudah manipulasi kateter (Kategori I)
e) Pemasangan secara aseptik dengan menggunakan peralatan steril (Kategori II)
3. Perawatan Sistem Aliran Tertutup:
a) Irigasi hanya dikerjakan apabila diperkirakan ada sumbatan aliran misalnya karena
bekuan darah pada operasi prostat atau kandung kemih. Untuk mencegah hal ini
digunakan irigasi kontinu secara tertutup. Untuk menghilangkan sumbatan akibat
bekuan darah dan sebab lain dapat digunakan irigasi selang seling. Irigasi dengan
antibiotik sebagai tindakan rutin pencegahan infeksi tidak direkomendasikan
(kategori II)
b) Gunakan semprit besar steril untuk irigasi dan setelah irigasi selesai semprit dibuang
secara aseptik (kategori I)
c) Sambungan kateter harus didisinfeksi sebelum dilepas (kategori II)
d) Jika kateter sering tePuskesmasumbat dan harus sering diirigasi (jika kateter itu
sendiri menimbulkan sumbatan), maka kateter harus diganti (kategori II)
4. Pengambilan Bahan Urine:
a) Bahan pemeriksaan urine segar dalam jumlah kecil dapat diambil dari bagian distal
kateter, atau lebih baik dari tempat pengambilan bahan yang tePuskesmasedia dan

55
56

sebelum urine diaspirasi dengan jarum dan semprit yang steril tempat pengambilan
bahan harus didisinfeksi (kategori I)
b) Bila diperlukan bahan dalam jumlah besar maka urine harus diambil dari kantong
penampung secara aseptik (kategori I)
c) Bahan pemeriksaan urine kultur ditampung dalam spuit steril atau tempat
menampung urine (pot) steril untuk segera dibawa ke laboratorium
5. Kelancaran Aliran Urine:
a) Aliran urine harus lancar sampai ke kantong penampung. Penghentian aliran secara
sementara hanya dengan maksud mengumpulkan bahan pemeriksaan untuk
pemeriksaan yang direncanakan (kategori II)
b) Untuk menjaga kelancaran aliran perhatikan:
- Pipa jangan tertekuk (kinking).
- Kantong penampung harus dikosongkan secara teratur ke wadah penampung
urine yang terpisah bagi tiap-tiap pasien. Saluran urine dari kantong penampung
tidak boleh menyentuh wadah penampung.
- Kateter yang kurang lancar/tePuskesmasumbat harus diirigasi sesuai standar
prosedur operasional, bila perlu diganti dengan yang baru.
- Kantong penampung harus selalu terletak lebih rendah dari kandung kemih, tidak
boleh tergeletak/menyentuh lantai (kategori I).
6. Perawatan Meatus
Direkomendasikan membesihkan dan perawatan meatus (selama kateter dipasang)
dengan larutan povidone iodine, walaupun tidak mencegah kejadian infeksi saluran
kemih (kategori II).
7. Penggantian Kateter
Kateter urine menetap harus dipertimbangkan segera dilepas bila sudah tidak ada
indikasi mutlak; tidak ada rekomendasi harus menggantinya menurut waktu
tertentu/secara rutin (kategori II)
BUNDLE PENCEGAHAN CAUTI:
1. Fiksasi kateter urine ke samping (paha) : untuk mengurangi gerakan selang
kateter, mencegah iritasi.
2. Urinee bag selalu digantung di tempat tidur apabila pasien ditempat tidur (posisi
urinee bag harus selalu dibawah bladder) untuk mencegah refluks.
3. Memastikan urinee selalu mengalir ke urinee bag
4. Observasi tanda-tanda infeksi
5. Strick hand hygiene.
6. Perawatan meatus setiap hari : lakukan hygiene vulva / penis minimal 3 kali sehari.

B. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) dan
Plebitis
Pencegahan IADP dan plebitis ditujukan pada pemasangan dan perawatan kateter
vena sentral dan kateter vena perifer.
57

1. Pemasangan dan perawatan kateter intravaskular serta pemberian obat IV harus


dilakukan staf yang terlatih. Pendidikan dan pelatihan staf perlu dilakukan secara
periodik, menggunakan metode simulasi dan audiovisual yang efektif.
2. Indikasi pemasangan IV line hanya dilaksanakan untuk tindakan pengobatan dan atau
untuk kepentingan diagnostik. Segera lepaskan kateter IV jika sudah tidak ada indikasi
(kategori I).
3. Pemilihan kanula untuk infus primer:
- Gunakan jenis dan ukuran alat intravaskuler yang berisiko rendah terjadinya infeksi.
- Kanula plastik boleh digunakan untuk IV line, pemasangan tidak boleh lebih dari 72
jam (kategori II).
- Penggantian alat sesuai jadwal yang direkomendasikan untuk mengurangi komplikasi
mekanis dan keterbatasan alternatif lokasi pemasangan.
4. Kebesihan tangan
a) Kebesihan tangan harus dilakukan sebelum dan sesudah palpasi, insePuskesmasi,
melepaskan atau dressing IV device (kategori I).
b) Pada umumnya cuci tangan cukup menggunakan sabun dan air mengalir untuk
pemasangan melalui insisi, cuci tangan harus menggunakan sabun antiseptik
(kategori I).
5. Pesiapan Pemasangan kateter IV
a. Protektif barrier precaution selama insemasi dan perawatan kateter IV:
- Digunakan sarung tangan bemasih jika melakukan insePuskesmasi untuk
pencegahan kontaminasi blood pathogen.
- Digunakan sarung tangan bemasih pada tindakan dressing.
b. Jangan menyingkat prosedur pemasangan kateter yang sudah ditentukan (lihat SPO
pemasangan kateter IV).
c. Tempat insemasi harus terlebih dahulu didisinfeksi dengan antiseptik secara adekuat
untuk menghilangkan/meminimalkan kolonisasi kulit di sekitar tempat insemasi.
Gunakan antiseptik povidone-iodine 10%, yodium tincture 2% atau alkohol 70%.
(kategori I)
d. Antiseptik harus adekuat, bila menggunakan iodine pada kulit sebelum insermasi
maka disinfeksi kembali dengan alkohol 70% dan ditunggu sampai kering minimal 30
detik sebelum dilakukan pemasangan kanula (kategori I).
e. Jangan lakukan palpasi kembali pada daerah insemasi setelah dilakukan tindakan
aseptik.

6. Prosedur setelah pemasangan kateter IV


a) Kanula difiksasi sebaik-baiknya (kategori I)
58

b) Tutup daerah insePuskesmasi dengan transparant dressing (kategori I)


c) Cantumkan tanggal, jam pemasangan kateter di dekat lokasi insePuskesmasi pada
IV perifer atau di tempat yang mudah dibaca (dalam rekam medik dicatat tanggal,
lokasi dan jam pemasangan) (kategori I)
7. Perawatan tempat pemasangan kateter IV
a) Tempat tusukan diperiksa setiap hari untuk melihat kemungkinan timbulnya tanda-
tanda infeksi (inspeksi dan palpasi daerah vena tesebut). Bila ada demam yang tidak
bisa dijelaskan dan ada nyeri tekan pada tempat tusukan, kasa penutup /transparant
dressing dibuka untuk melihat kemungkinan komplikasi (kategori I).
b) Bila kanula harus dipertahankan untuk waktu lama, maka setiap 72 jam
kasa /transparant dressing penutup harus diganti dengan yang baru dan steril
(kategori II)
c) Lakukan teknik aseptik pada lokasi port dengan alkohol 70%
8. Penggantian Set Infus
a) Jika pengobatan IV melalui infus perifer (baik menggunakan heparin atau yang
dipasang melalui insisi), bila tidak ada komplikasi yang mengharuskan mencabut
kanula maka kanula harus diganti setiap 72 jam secara asepsis (dewasa) (kategori
I).Tidak ada rekomendasi pada anak tentang hal ini.
b) Selang IV termasuk kanula piggy-back dan stopcock harus diganti setiap 72 jam,
kecuali bila ada indikasi klinis (kategori I).
c) Set infus harus diganti sesudah digunakan untuk pemberian darah, produk darah,
atau emulsi lemak (kategori III).
d) Cairan parenteral
- Cairan infus/parenteral nutrisi diberikan dalam waktu 24 jam
- Pemberian lipid emulsion, secara tesendiri, hanya digunakan selama 12 jam
9. Kanula Sentral
a). Pemilihan Lokasi Pemasangan kateter sentral
Pada orang dewasa pemasangan kanula lebih baik pada tungkai atas dan pada
tungkai bawah, bila perlu pemasangan dilakukan di daerah subklavia atau jugular
(kategori I).
b) Kanula sentral harus dipasang dengan teknik aspetik (kategori I). Gunakan
kewaspadaan standar yang tepat saat insePuskesmasi (terdiri atas gaun khusus,
tutup kepala, masker, sarung tangan steril, kain besar/drape steril). InsePuskesmasi
direkomendasikan dilakukan di ruang tindakan.
c) Gunakan teknik aseptik sebelum mengakses sistem kateter.
d) Kanula sentral harus segera dilepas bila indikasi tidak diperlukan lagi atau diduga
menyebabkan sepsis atau menunjukkan tanda-tanda infeksi. Bila masih diperlukan,
direkomendasikan insePuskesmasi di tempat yang baru (kategori I).

e) Kanula sentral dipasang melalui vena jugular dan subklavia kecuali digunakan untuk
pemantauan tekanan vena sentral, tidak harus diganti secara rutin (kategori I).
59

f) Tidak direkomendasikan melakukan insermasi/memasang berulang kateter pada


daerah insermasi yang sama
g) Tidak direkomendasikan pembatasan waktu penggantian kateter vena sentral kecuali
rusak atau terlihat tanda infeksi. Bila kanula sentral diindikasikan dipertahankan lebih
lama, kasa penutup/dressing harus diperiksa dan diganti setiap 7 hari (kategori II).
10. Panduan Khusus
a) Jangan gunakan single lumen pada pemberian nutrisi parenteral, transfusi darah,
cairan hiperalimentasi secara bersamaan.
b) Pada setiap penggantian komponen IV, harus dipertahankan sistem tertutup untuk
mencegah kontaminasi. Setiap kali hendak memasukkan obat melalui selang, harus
dilakukan disinfeksi sesaat sebelum memasukkan obat tersebut (kategori II).
c) Dressing core dilakukan bila kotor, rusak terbuka atau terlihat tanda-tanda infeksi.
d) Minimalkan jumlah stopcocks yang disambung ke kateter.
e) Pengambilan bahan pemeriksaan darah melalui selang IV tidak direkomendasikan.
(kategori II)
11. Penggantian komponen sistem intravena dalam keadaan infeksi atau plebitis :
Jika dari tempat insePuskesmasi keluar pus atau terjadi selulitis atau plebitis atau diduga
bakteremia yang berasal dari kanula IV, maka semua sistem harus dicabut (kategori I).
12. Pemeriksaan untuk infeksi yang dicurigai karena pemasangan peralatan intravena
seperti tromboplebitis purulen, bakteriemi, maka dapat dilakukan pemeriksaan
biakan/kultur ujung kanula. Cara pengambilan bahan sebagai berikut:
a) Kulit tempat insePuskesmasi dibePuskesmasihkan dan didisinfeksi alkohol 70%,
biarkan sampai kering;
b) Kanula dilepas, ujung kanula yang masuk IV dipotong ± 1 cm secara aseptik untuk
dibiakkkan dengan teknik semi kuantitatif (kategori II);
c) Jika sistem IV dihentikan oleh karena kecurigaan kontaminasi cairan parenteral,
maka cairan tePuskesmasebut harus dibiakkan dan sisa cairan dalam botol
diamankan (kategori I);
d) Jika sistem IV dihentikan oleh karena kecurigaan bakteriemi akibat cairan IV, cairan
harus dibiakkan (kategori II);
e) Jika terbukti bahwa cairan terkontaminasi maka sisa botol dan isinya dengan nomor
lot yang sama dicatat dan tidak boleh dipakai;
f) Jika kontaminasi dicurigai berasal dari pabrik (intrinsic contamination), maka
secepatnya harus dilaporkan kepada Dinas Kesehatan.

Kendali Mutu Selama dan Sesudah Pencampuran Cairan Parenteral


 Cairan parenteral dan hiperalimentasi harus dicampur di bagian Farmasi kecuali
karena kepentingan klinis, pencampuran dilakukan di ruangan pasien (kategori II).
60

 Tenaga pelaksana harus mencuci tangan sesuai standar sebelum mencampur cairan
parenteral (kategori I).
 Sebelum mencampur dan menggunakan cairan parenteral, semua wadah harus
diperiksa untuk melihat adanya kekeruhan, kebocoran, keretakan dan partikel
tertentu serta tanggal kadaluaPuskesmasa. Bila didapatkan keadaan
tePuskesmasebut, cairan tidak boleh digunakan dan harus dikembalikan ke Instalasi
Farmasi. Instalasi Farmasi memastikan bahwa produk tePuskesmasebut tidak
dikeluarkan lagi ke pelayanan (kategori I).
 Ruangan tempat mencampur cairan parenteral harus memiliki pengatur udara
laminar (Laminar flow hood)(kategori II).
 Sebaiknya dipakai wadah yang berisi cairan dengan dosis tunggal (sekali pakai). Bila
dipakai bahan parenteral dengan dosis ganda (untuk beberapa kali pemakaian),
wadah sisa bahan tePuskesmasebut harus diberi tanda tanggal dan jam waktu
dikerjakan.
 Label wadah harus diperiksa untuk mengetahui kondisi ideal penyimpanan (suhu
kamar atau dalam refrigerator)
Central Line Bundle
1. Kebesihan tangan
2. Maximal barrier precaution
3. Antiseptik kulit dengan khlorheksidin
4. Seleksi optimal lokasi kateter, men ghindari vena femoral untuk akses kateter
vena sentral pada pasien dewasa
5. Evaluasi setiap hari indikasi pemasangannya dan segera dilepas bila sudah
tidak dibutuhkan
Tidak direkomendasikan memberikan antimikroba sebagai prosedur rutin sebelum
pemasangan atau selama pemakaian alat intravaskuler untuk mencegah kolonisasi kateter
atau infeksi aliran darah primer (bakteriemia).

C. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Pneumonia


1. Pendidikan staf tentang Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
2. Memberikan perubahan posisi pada pasien
a. Posisi kepala > tinggi atau 30°- 45°
b. Ubah posisi tidur miring kanan dan kiri bergantian
3. Keberasihan mulut setiap 4 jam dengan menggunakan anitiseptik oral yang bebas
dari alkohol (khlorheksidin 0,2%)
4. Laksanakan kewaspadaan standar
a. Kebersihan tangan (kategori I) sebelum dan sesudah:
• Menyentuh pasien
• Menyentuh darah/cairan tubuh
• Menyentuh alat sistem pernafasan
61

b. Gunakan sarung tangan besih


• kontak dengan mukosa mulut dan kering
• tindakan pengisapan lendir
• kontak darah dan cairan tubuh
c. Ganti sarung tangan di antara dua tindakan.
d. Pakai masker saat:
• intubasi,
• pengisapan lendir,
• pembePuskesmasihan mulut dan hidung.
e. Segera lepas masker setelah selesai tindakan.
f. Bersihkan semua peralatan sebelum didisinfeksi atau sterilisasi
• Lakukan dekontaminasi semua peralatan sebelum disinfeksi /sterilisasi
• Jangan memakai ulang peralatan disposable, kecuali yang sudah diatur
dalam kebijakan PUSKESMAS tentang pengelolaan alat medis reused
• Lakukan disinfeksi sesuai standar kriteria alat pada alat pakai ulang
sebelum digunakan lagi (sesuai standar CSSD)
• Bag resusitasi dibersihkan dan didisinfeksi setelah digunakan.
g. Tidak direkomendasikan mengganti sirkuit ventilator secara rutin, kecuali atas
indikasi
h. Satu sirkuit setiap pasien, penggantian sirkuit ventilator bila kotor atau tidak
berfungsi (tidak ada rekomendasi waktu penggantian breathing sircuit)
i. Tidak membuka sirkuit ventilator secara rutin
j. Segera membuang kondensasi air dalam sirkuit ke tempat penampungan (water
trap)
k. Gunakan air steril untuk mengisi humidifier.
l. Alat nebulisasi dinding dan penampungnya harus diganti setiap 24 jam dan
dibePuskesmasihkan
m. Setiap slang dan masker yang digunakan untuk terapi oksigen harus diganti
pada setiap pasien.
n. Lakukan pengisapan lendir saluran pernafasan dengan tehnik aseptik dan
dilakukan hanya jika perlu, gunakan kateter steril. Jika pemakaian hanya dalam
waktu singkat maka kateter dapat dipakai ulang setelah dibilas dan
dibePuskesmasihkan.
o. Intubasi
• Lakukan dengan tehnik aseptik
VAP Bundle
a. Kebesihan tangan
b. Posisi tidur 30°- 45° bila tidak ada kontra indikasi
c. Oral hygiene setiap 4 jam (dengan khlorheksidin 0,2%)
d. Penghisapan lendir jika diperlukan, diprioritaskan menggunakan closed
System
h. Pemberian obat untuk menghindari stress ulcer
62

i. Tidak direkomendasikan melakukan bronkhial washing

D. Tatalaksana Pencegahan dan Pengendalian Dekubitus Infeksi


Pencegahan dekubitus:
- Higiene dan perawatan kulit, kulit harus selalu dijaga agar tetap besih dan kering serta
dikaji terus menerus terhadap risiko dan tanda awal penekanan dan gesekan,
- Menghilangkan friksi dan gesekan, pertahankan postur tubuh ataupun pergerakan
secara bebas;
- Mengurangi tekanan pada tumit;
- Pengaturan posisi, diberikan untuk mengurangi tekanan dan gaya gesek pada kulit;
- Kasur antidekubitus, mengurangi bahaya immobilisasi pada sistem kulit.
Penatalaksanaan dekubitus:
- Kaji derajat dekubitus;
- Rawat dekubitus sesuai dengan derajatnya;
- Catat kejadian dekubitus beserta grade-nya, dokumentasikan melalui surveilans
nosokomial dan entry data infeksi RL 6

E. Definisi Surveilans
Surveilans kesehatan adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus
menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan
tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.Salah satu dari
bagian surveilans kesehatan adalah Surveilans infeksi terkait pelayanan kesehatan
(Health Care Associated Infections/HAIs).
Surveilans infeksi terkait pelayanan kesehatan (Health Care Associated
Infections/HAIs) adalah suatu proses yang dinamis, sistematis, terus menerus dalam
pengumpulan, identifikasi, analisis dan interpretasi data kesehatanyang penting di fasilitas
pelayanan kesehatan pada suatu populasi spesifik dan didiseminasikan secara berkala
kepada pihak-pihak yang memerlukan untuk digunakan dalam perencanaan, penerapan,
serta evaluasi suatu tindakan yang berhubungan dengan kesehatan.
Kegiatan surveilans HAIs merupakan komponen penunjang penting dalam
setiap program pencegahan dan pengendalian infeksi. Informasi yang dihasilkan oleh
kegiatan surveilans berguna untuk mengarahkan strategi program baik pada tahap
perencanaan, pelaksanaan maupun pada tahap evaluasi.Dengan kegiatan surveilans
yang baik dan benar dapat dibuktikan bahwa program dapat berjalan lebih efektif dan
efisien.

F. Tujuan Surveilans Hais Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


1. Tersedianya informasi tentang situasi dan kecenderungan kejadian HAIs difasilitas
pelayanan kesehatan dan faktor risiko yang mempengaruhinya.
63

2. Terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya fenomena


abnormal (penyimpangan) pada hasil pengamatan dan dampak HAIs di fasilitas
pelayanan kesehatan.
3. Terselenggaranya investigasi dan pengendalian kejadian penyimpangan pada hasil
pengamatan dan dampak HAIs di fasilitas pelayanan kesehatan.
G. Metode Surveilans
a) Surveilans Komprehensif (Hospital Wide/Tradisional Surveillance)
Adalah surveilans yang dilakukan di semua area perawatan untuk mengidentifikasi
pasien yang mengalami infeksi selama di rumah sakit.Data dikumpulkan dari catatan
medis, catatan keperawatan, laboratorium dan perawat ruangan.Metode surveilans ini
merupakan metode pertama yang dilakukan oleh Center for Diseases Control (CDC)
pada tahun 1970 namun memerlukan banyak waktu, tenaga dan biaya.
b) Surveilans Target (Targetted Surveillance)
Metode surveilans ini berfokus pada ruangan atau pasien dengan risiko infeksi
spesifik seperti ruang perawatan intensif, ruang perawatan bayi baru lahir, ruang
perawatan pasien transplan, ruang perawatan pasien hemodialisa atau pasien
dengan risiko: ISK, Surgical Site Infection (SSI)/IDO, Blood Stream Infection
(BSI)/IAD, Pneumonia (HAP, VAP). Surveilans target dapat memberikan hasil yang
lebih tajam dan memerlukan sumber daya manusia yang sedikit.

c) Surveilans Periodik (Periodic Surveillance)


Metode Hospital Wide Traditional Surveillance yang dilakukan secara periodik
misalnya satu bulan dalam satu semester. Cara lain dilakukan surveilans pada satu
atau beberapa unit dalam periode tertentu kemudian pindah lagi ke unit lain.
d) Surveilans Prevalensi (Prevalence Surveillance)
Adalah menghitung jumlah aktif infeksi selama periode tertentu.Aktif infeksi dihitung
semua jumlah infeksi baik yang lama maupun yang baru ketika dilakukan
survei.Jumlah aktif infeksi dibagi jumlah pasien yang ada pada waktu dilakukan
survei. Prevalence Surveillance dapat digunakan pada populasi khusus seperti
infeksi mikroorganisme khusus: Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus
(MRSA), Vancomycin Resistant Enterococci (VRE).
Berdasarkan beberapa metode diatas, yang direkomendasikan adalah Surveilans
Target (Targetted Surveillance) untuk dapat laik laksana karena surveilans target dapat
memberikan hasil yang lebih tajam dan memerlukan sumber daya manusia yang sedikit.

H. Langkah-Langkah Surveilans
1. Perencanaan
2. Pengumpulan data
3. Analisis
4. Interpretasi
5. Pelaporan
6. Evaluasi
64

1. Perencanaan Surveilans
a) Tahap 1 : Mengkaji populasi pasien
Tentukan populasi pasien yang akan dilakukan survei apakah semua
pasien/sekelompok pasien/pasien yang berisiko tinggi saja.
b) Tahap 2 : Menseleksi hasil/proses surveilans
Lakukan seleksi hasil surveilans dengan pertimbangan kejadian paling
sering/dampak biaya/diagnosis yang paling sering.
c) Tahap 3 : Penggunaan definisi infeksi
Gunakan definisi infeksi yang mudah dipahami dan mudah diaplikasikan,
Nosocomial Infection Surveillance System (NISS)misalnya menggunakan
National Health Safety Network (NHSN), Center for Disease Control (CDC)
atau Kementerian Kesehatan.
2. Pengumpulan Data
Tahap 4 : mengumpulkan data surveilans
 Mengumpulkan data surveilans oleh orang yang kompeten,
profesional, berpegalaman, dilakukan oleh IPCN.
 Memilih metode surveilans dan sumber data yang tepat.
 Data yang dikumpulkan dan dilakukan pencatatan meliputi data
demografi, faktor risiko, antimikroba yang digunakan dan hasil kultur
resistensi, nama, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor catatan medik,
tanggal masukRS. Tanggal infeksi muncul, lokasi infeksi, ruang
perawatan saat infeksi muncul pertama kali. Faktor risiko: alat,
prosedur, factor lain yang berhubungan dengan IRS, Data radiology
/ imaging: X-ray, CTscan, MRI, dsb
 Metode observasi langsung merupakan gold standard.
3. Analisis
Tahap 5 : Penghitungan dan stratifikasi
a) Incidence rate
Numerator adalah jumlah kejadian infeksi dalam kurun waktu tertentu.
Denominator adalah jumlah hari pemasangan alat dalam kurun waktu
tertentu atau jumlah pasien yang dilakukan tindakan pembedahan dalam
kurun waktu tertentu.
b) Menganalisis incidence rate infeksi
Data harus dianalisa dengan cepat dan tepat untuk mendapatkan informasi
apakah ada masalah infeksi rumah sakit yang memerlukan
penanggulangan atau investigasi lebih lanjut
Kelurahan Bonesompe adalah salah satu kelurahan di Kecamatan Poso Kota Utara
yang berjarak ± 2 km sebelah utara Kota Poso dan secara Hasil Penelit
65

I. Audit
Audit berarti melakukan pengecekan terhadap praktik aktual terhadap standar
yang ada, termasuk tentang membuat laporan ketidakpatuhan atau isu-isu yang
dipertimbangkan oleh tenaga kesehatan lainnya atau oleh Komite PPI. Pemberitahuan
hasil audit kepada staf dapat membantu mereka untuk mengidentifikasi dimana
perbaikan yang diperlukan. Audit internal termasuk melakukan monitoring dan evaluasi
terhadap efektifitas proses manajemen risiko RS. Manajemen risiko dibuat untuk
menciptakan obyektifitas kemudian mengidentifikasi, melakukan analisis, dan respon
terhadap risiko-risiko tersebut yang secara potensial akan mempengaruhi kemampuan
RS untuk menyadari keobyektifannya. Auditor internal dapat memberikan nasihat dan
membantu mengidentifikasi risiko-risiko yang bersifat darurat.
Standar audit internal membutuhkan perkembangan suatu rencana dari proyek
audit berdasarkan pada pengkajian risiko yang diperbaharui setiap tahun dengan
memakai konsep PDSA yaitu Plan, Do,Study, dan Act. Siklus PDSA merupakan cara
pintas untuk mengembangkan suatu rencana untuk melakukan pengetesan perubahan
(Plan), melaksanakan rencana (Do), mengobservasi dan belajar dari konsekuensi
yang ada (Study), dan menentukan modifikasi apa yang harus dibuat (Act).
Pedoman Audit PPI harus dibuat berdasarkan referensi terbaru, dapat diterima
dan mudah diterapkan, bertujuan untuk mengembangkan kebijakan dan prosedur PPI.
Umpan balik hasil audit PPI kepada staf diharapkan akan mewujudkan perbaikan
melalui perubahan pemahaman (mind set) dan perilaku petugas yang secara tidak
langsung akan berdampak pada upaya perubahan perilaku pasien dan pengunjung
fasilitas pelayanan kesehatan. Audit dapat dilakukan oleh Komite PPI atau petugas
terpilih lainnya.

J. Metode Audit
Prioritas dilakukan pada area yang sangat penting di fasilitas pelayanan kesehatan,
antara lain area risiko tinggi, yang dievaluasi melalui hasil surveilans atau KLB. Audit
66

yang efektif terdiri dari suatu gambaran lay out fisik, kajian ulang atau alur traffic,
protocol dan kebijakan, makanan dan peralatan dan observasi dari praktik PPI yang
sesuai. Audit harus dilaksanakan pada waktu yang sudah ditentukan, dapat dilakukan
dengan wawancara staf dan observasi keliling, audit ini sederhana namun
menghabiskan banyak waktu, sehingga disarankan menggunakan siklus cepat
rencana audit.

K. Persiapan Tim Audit


Semua tenaga kesehatan dan staf pendukung harus dimasukkan dalam
persiapan suatu audit. Tim harus diberi pemahaman bahwa tujuan audit adalah
untuk memperbaiki praktik PPI yang telah dilaksanakan. Pertemuan sebelum audit
sangat penting untuk menjelaskan dan mendiskusikan target dan objektif dari
audit, bagaimana hal tersebut akan dilakukan, dan bagaimana hasilnya akan
dilaporkan. Hal ini bukan berarti untuk menghukum atau mencari kesalahan.
Staf harus memahami bahwa pendekatan objektif dan audit akan dilakukan
secara konsisten dan kerahasiaannya akan dilindungi. Tim audit harus mengidentifikasi
para pemimpin di setiap area yang di audit dan terus berkomunikasi dengan mereka.
Pengambil keputusan dan pembimbing perlu untuk mendukung tim audit jika terdapat
perubahan yang diperlukan setelah audit.

Pengisian kuisioner oleh pegawai tentang praktik PPI yang aman harus
dibagikan dan disosialisasikan sebelum adanya audit.Kuisioner dapat dikembangkan
terus-menerus membantu penentuan praktik area yang harus diaudit. Responden
mencantumkan identitas dengan pekerjaan (contoh: perawat, dokter, radiographer,
67

costumer services). Kuisioner bisa dimodifikasi agar sesuai dengan departemen atau
area yang diaudit.
Suatu tenggat waktu harus diberikan sehingga kuisioner kembali tepat waktu.
Satu orang pada setiap area survei harus ditanyakan untuk memastikan kuisioner
lengkap dan aman untuk pengumpulan dan tabulasi oleh tim audit. Hasil dapat
mempersilahkan Komite PPI untuk menentukan dimana edukasi tambahan
diperlukan.Diseminasi hasil dan diskusi jawaban yang benar dapat digunakan sebagai
alat edukasi.

L. Prinsip-prinsip Dasar
Bundles adalah kumpulan proses yang dibutuhkan untuk perawatan secara
efektif dan aman untuk pasien dengan treatment tertentu dan memiliki risiko tinggi.
Beberapa intervensi di bundlebersama, dan ketika dikombinasikan dapat
memperbaiki kondisi pasien secara signifikan. Bundles sangat berguna dan telah
dikembangkan untuk VAP, ISK dan IADP. Suatu set bundles termasuk:
a. Suatu komitmen pernyataan dari tim klinis.
b. Chart sebab akibat yang menggambarkan bukti untuk praktik yang optimal
dan digunakan juga untuk RCA dari ketidaksesuaian, dalam hubungannya
dengan standar.
c. SOP untuk bundle termasuk kriteria spesifik. d) Lembar pengumpul data.
d. Penjelasan bundle kepada staf klinik (grup diskusi, presentasi slide).
Bundles secara khusus terdiri atas set kritikal kecil dari suatu prosedur (biasanya 3-5),
semuanya ditentukan oleh bukti kuat, dimana ketika dilakukan bersama-sama
menciptakan perbaikan yang bagus. Secara sukses dalam melengkapi setiap langkah
adalah suatu proses langsung dan bisa diaudit.
Jenis audit:
a. Toolkit audit dari “the Community and Hospital Infection Control
b. Association” Kanada.
c. Toolkit audit WHO.
d. Audit dilaksanakan pada
e. Kebersihan tangan (kesiapan dan praktik, suplai seperti sabun, tissue,
produk handrub berbasis alkohol).
f. Memakai kewaspadaan standar/praktik rutin.
g. Menggunakan kewaspadaan isolasi.
h. Menggunakan APD.
i. Monitoring peralatan sterilisasi.
68

j. Pembersihan, disinfeksi, dan sterilisasi peralatan pakai ulang seperti


bronkoskopi, dan instrument bedah.
k. Pembersihan area lingkungan perawatan.
l. Praktik HD, peralatan dan fasilitas.
m. Praktik PPI di OK,aseptik, dan antiseptik pra-bedah, kontrol alur, persiapan kulit
pasien, pencukuran (pada daerah khusus), kebersihan tangan bedah, dan
antibiotika profilaksis
n. Praktik dan alat medis yang diproses ulang di klinik dan kantor dokter.
o. Isu-isu keselamatan kerja seperti tertusuk benda tajam/jarum, vaksinasi
petugas.
p. Manajemen KLB.
q. Alat audit sendiri untuk Komite PPI.
Data audit dapat digunakan sebagai tujuan/target tahunan program PPI. Juga dapat
membantu dalam pengambilan keputusan pemenuhan standar di fasyankes.

M. Laporan
Hasil audit yang telah lengkap dikaji ulang bersama pihak manajemen dan staf di area
yang diaudit sebelum dilaporkan. Di dalam laporan harus diinformasikan bagaimana
audit dilakukan, metode yang dipakai, data kepatuhan, temuan, dan rekomendasi.
Laporan audit bisa tercakup di dalam :
a. Laporan mingguan: memberikan umpan balik yang cepat (contoh selama
KLB atau setelah terjadi kejadian tertusuk jarum).
b. Laporan Bulanan: berisikan tentang surveilans, hasil audit, edukasi, pelatihan,
dan konsultasi.
c. Laporan per empat bulan: merupakan laporan formal termasuk rekomendasi.

d. Laporan tahunan: suatu ringkasan audit yang dilaksanakan selama setahun dan
menghasilkan perubahan atau perbaikan, biasanya diilustrasikan dengan grafik.

N. Perubahan perilaku
Hasil audit dibutuhkan untuk memahami bagaimana melakukan intervensi yang lebih
tepat sehingga perubahan perilaku dapat dicapai.
69

O. Panduan PPI untuk Pasien


Pasien memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang bermutu yang berfokus
pada keselamatan. Untuk itu, maka pasien juga perlu diberi edukasi agar bekerjasama
dengan masyarakat PUSKESMAS mewujudkan standar pelayanan untuk pencegahan
dan pengendalian infeksi.
Pasien selalu diberi edukasi pada setiap orientasi ketika awal dirawat inap.
Edukasi PPI khususnya adalah dalam hal kebesihan tangan. ketertiban membuang
sampah dan etika batuk. Hal lain yang perlu diedukasikan adalah membatasi barang
dari luar PUSKESMAS yang dibawa ke ruangan, jumlah penunggu di ruangan dan
ketertiban jam berkunjung. Catatan edukasi bagi pasien didokumentasikan dalam Form
Pendidikan Pasien dalam rekam medis.
Pasien rawat jalan diberikan edukasi saat menunggu di area pendaftaran /
poliklinik melalui program penyuluhan kesehatan masyarakat PUSKESMAS yang
dikoordinasikan Tim PPI PUSKESMAS melalui Bagian Humas. Bentuk lain edukasi
adalah dengan banner, poster, leflet, teks berjalan, baliho, spanduk, pemutaran video
edukasi, dll yang ditempatkan di area publik yang mudah terbaca oleh seluruh
pengunjung PUSKESMAS dan di area tunggu pasien/pengunjung
1. Panduan PPI untuk Pengunjung Di Rawat Jalan
a) Pengunjung / pasien setelah tiba di Puskesmas direkomendasikan untuk
melakukan kebePuskesmasihan tangan dengan menggunakan sabun cair
dengan air mengalir atau handrub yang sudah disediakan
b) Apabila pengunjung / pasien batuk atau mengalami tanda atau gejala infeksi
pernafasan pada saat berada di ruang pendaftaran direkomendasikan
menempati tempat duduk yang telah disediakan khusus pasien batuk dan
menggunakan masker yang sudah disediakan
c) Direkomendasikan pengunjung / pasien batuk untuk duduk pada jarak 1
meter dari yang lainnya saat menunggu pemeriksaan
d) Berikan edukasi atau informasi mengenai etika batuk
70

e) Pengunjung / pasien setelah keluar dari Puskesmas direkomendasikan untuk


melakukan kebePuskesmasihan tangan menggunakan sabun cair dengan
air mengalir atau handrub yang sudah disediakan.
3. Panduan PPI untuk Pengunjung Di Rawat inap/ruang bersalin
a) Pengunjung setelah tiba di Puskesmas direkomendasikan untuk melakukan
kebesihan tangan menggunakan sabun cair dengan air mengalir atau
handrub yang sudah disediakan, sebelum masuk ruang perawatan
b) Apabila pengunjung batuk atau mengalami demam dan gangguan
pernafasan sebaiknya tidak diperkenankan mengunjungi pasien. Dalam
kondisi terpaksa, direkomendasikan menggunakan masker dan segera
meninggalkan ruangan pasien
c) Bagi anak-anak dibawah 12 tahun dilarang mengunjungi pasien di
Puskesmas
d) Pada waktu masuk ruangan, pengunjung dibatasi maksimal 2 orang secara
bergantian (khususnya di ruang rawat penyakit infeksi)

Pada pasien dengan penyakit menular melalui udara


a) Pengunjung melakukan kebesihan tangan sebelum memasuki dan setelah
keluar dari ruang perawatan pasien
b) Pengunjung dibatasi maksimal 2 orang dan waktu berkunjung maksimal 10
menit
c) Pengunjung harus mengikuti prosedur dari PPI dengan menggunakan APD
berupa masker dan gaun (jika diperlukan), apabila kontak langsung dengan
pasien
d) Segera melepas APD jika keluar ruangan dan masker dibuang pada limbah
infeksius apabila menggunakan gaun maka ditempatkan pada tempat linen
infeksius
Pada pasien dengan Isolasi Perlindungan
a) Pengunjung melakukan kebesihan tangan sebelum memasuki dan setelah
keluar dari ruang perawatan pasien
b) Pengunjung dibatasi maksimal 2 orang
71

c) Pengunjung harus mengikuti prosedur dari PPI dengan menggunakan APD


berupa masker, gaun, mengganti alas kaki, membatasi kontak dengan
pasien
d) Segera melepas APD jika keluar ruangan; masker dibuang pada limbah
infeksius, gaun dan alas kaki ditempatkan pada tempat yang disediakan
Informasi berupa poster, leaflet, banner, spanduk, teks berjalan, dll. Bentuk media
edukasi disediakan untuk pengunjung PUSKESMAS, ditempatkan di tempat / area
publik PUSKESMAS, dengan prioritas materi:
 Kebersihan tangan;
 Etika batuk dan higiene respirasi;
 Pemakaian masker untuk pasien / pengunjung batuk;
 Kebersihan lingkungan
 Ketertiban membuang sampah
 Penggunaan APD sesuai potensi risiko penularan
Pengantar pasien maupun pengunjung diberikan edukasi saat menunggu di area
tunggu puskesmas melalui program penyuluhan kesehatan masyarakat
puskesmas yang dikoordinasikan Tim PPI puskesmas.

Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di UPTD Puskesmas Tawaeli


ini di harapkan dapat menjadi acuan bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan
pencegahan dan pengendalian infeksi di UPTD Puskesmas Sangurara ,terutama dalam
mewujudkan keselamatan pasien di fasilitas pelayanan kesehatan serta melindungi para
petugas dan pengunjung fasilitas pelayanan kesehatan dari kemungkinan terpapar dengan
HAIs, sehingga penerapan PPI ini berdampak pada peningkatan kualitas yang
bermutu, efektif dan efisien serta tercapainya kendali mutu dan kendali biaya dalam
pelayanan kesehatan.
Penerapan PPI di fasilitas pelayanan kesehatan akan terlaksana dengan optimal bila
di dukung oleh komitmen para pengambil kebijakan dan seluruh petugas kesehatan yang
terlibat dalam pelayanan kesehatan. Disamping itu petugas di UPTD Puskesmas Sangurara
diharapkan mampu memahami program PPI ini agar dapat melakukan pengawasan dan
pemantauan kualitas pelayanan kesehatan pada fasyankes di wilayah kerja UPTD
Puskesmas Sangurara.

Palu, 2021
Kepala UPTD Puskesmas Tawaeli
72

Anda mungkin juga menyukai