Anda di halaman 1dari 63

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Healthcare associated infection (HAI) menjangkit ratusan juta pasien di seluruh
dunia. Sebagai hasil yang tidak diinginkan dari seeking care, infeksi ini menghantarkan
pasien pada penyakit yang lebih serius, penambahan lama rawat inap dan diiabilitas
jangka panjang. Tak hanya berpengaruh pada penambahan hospital cost dari keluarga
pasien, infeksi ini juga mengantarkan penambahan beban financial tak langsung pada
health-care system serta tidak menutup kemungkinan akan menjadi factor penyebab
kematian pasien (WHO, 2005). Di Negara maju seperti Amerika Serikat, ada 20.000
kematian setiap tahun akibat HAI. Di seluruh dunia, 10 persen pasien rawat inap di
rumah sakit mengalami infeksi yang baru selama dirawat atau sekitar 1,4 juta infeksi
setiap tahun. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta
pada tahun 2004 menunjukkan bahwa 9,8 persen pasien rawat inap mendapat infeksi
yang baru selama dirawat.
Keselamatan (safety) telah menjadi isu global termasuk juga untuk rumah sakit.
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat
asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal
yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan
belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan
timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(PerMenKes no 1691/2011).
Keselamatan pasien merupakan salah satu indikator klinik mutu pelayanan
kesehatan. Oleh karena itu sebagai tenaga kesehatan perlu memahami aspek hukum
keselamatan pasien untuk melindungi diri sendiri dari tuntutan hukum dan untuk
melindungi keselamatan pasien.
Keselamatan pasien merupakan prioritas dalam pelayanan kesehatan. Kita harus
melindungi klien dari terjadinya cedera fisik dan emosional dengan terus mencari dan
menghilangkan objek yang menjadi ancaman keselamatan. The Joint Commission (TJC)
setiap tahunnya memperbarui dan menerbitkan National Patient safety Goals. Sebagai
contoh tindakan yang mengancam keselamatan pasien adalah kesalahan pemberian obat
yang dilakukan oleh perawat. Ada dua pasien yang namanya sama dengan diagnosa
medis yang berbeda dan mendapatkan therapy yang berbeda pula. Saat memberikan obat,
perawat tidak menggunakan prinsip pemberian obat dengan benar, perawat tidak
memeriksa atau mencocokkan dulu apakah identitas pasien, nama obat yang akan
diberikan telah sesuai. Sehingga terjadi kesalahan pemberian obat pada kedua pasien
tersebut (Depkes RI, 2006).
Hampir setiap tindakan medis menyimpan potensi resiko. Banyaknya jenis obat,
jenis pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien dan staf Rumah Sakit yang cukup
besar, merupakan hal yang potensial bagi terjadinya kesalahan medis (medical errors).
Medical Error didefinisikan sebagai: suatu kegagalan tindakan medis yang telah
direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan (kesalahan tindakan) atau
perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (kesalahan perencanaan). Kesalahan
yang terjadi dalam proses asuhan medis ini akan mengakibatkan atau berpotensi
mengakibatkan cedera pada pasien (Depkes RI, 2006).
Dalam rangka pelaksanaan Pencegahan dan pengendalian infeksi, rumah sakit perlu
membentuk langkah-langkah sistematis yang disusun dalam suatu program-program yang
jelas. Program-program tersebut dapat terlaksana jika rumah sakit mempunyai suatu
struktur organisasi penanggulangan infeksi yang baik.

B. TUJUAN
Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan, pemahaman, ketrampilan sumber daya manusia tentang
pencegahan dan pengendalian infeksi, sehingga dapat melindungu petugas dan
masyarakat dari penularan penyakit infeksi guna meningkatkan mutu pelayanan di
Rumah Sakit Umum Kharisma Paramedika.
Tujuan Khusus
1. Menjadi penuntun bagi tenaga kesehatan hingga mampu memberikan pelayanan
kesehatan dimana resiko terjadinya infeksi dapat ditekan.
2. Menjadi acuan bagi para penentu kebijakan dalam perencanaan logistik Rumah Sakit
Umum Kharisma Paramedika
3. Menjai acuan di kalangan non medis yang memounyai tresiko terpajan infeksi dalam
pekerjaannya.
4. Menjadi bahan acuan petugas kesehatan dalam memberikan penyuluhan kepada
pasien dan keluarga pasien tentang tindakan pencegahan infeksi.

C. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup dari Program PPI meliputi Pencegahan Infeksi, Pendidikan dan
Pelatihan, Surveilans, Penggunaan Obat Antibiotik secara Rasional.

D. BATASAN OPERASIONAL
Pencegahan terhadap terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit dimaksud untuk
menghindari terjadinya infeksi selama pasien dirawat di rumah sakit. Pelaksanaan upaya
pencegahan infeksi nosokomial terdiri atas : Kewaspadaan Universal, Tindakan Invasif,
Tindakan Non invasive, Tindakan terhadap anak dan neonatus, isolasi, Pengelolaan linen
dan laundry, pengelolaan limbah, manajemen lingkungan, pengelolaan diit dan gizi,
pengelolaan jenazah, serta Sterilisasi dan Desinfeksi

Training atau pelatihan atau Learning adalah kegiatan untuk mengembangkan


pengetahuan dan keterampilan yang diberikan baik dalam kelas maupun diluar kelas pada
seseorang atau sekelompok orang bertujuan untuk menghilangkan GAP atau perbedaan
antara kemampuan yang sekarang dimiliki dengan kemampuan standard yang ditetapkan.
Proses pelaksanaannya ialah mempelajari dan mempraktekkan dengan menuruti standard
acuan tertentu atau prosedur sehingga menjadi kebiasaan yang pada hasilnya nanti
terlihat adanya perubahan, perbaikan ditempat kerja.

Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap
timbulnya penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan meningkat atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit.
Analisa data dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam proses
itu. Kegiatan surveilans meliputi: merumuskan kasus / kriteria diagnostik, pengumpulan
data surveilans infeksi nosokomial, penyebaran data / informasi.

Untuk mencegah pemakaian antibiotic yang tidak tepat sasaran, atau kurang rasional
maka perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotic. Oleh karena penggunaan antibiotic
yang tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negative seperti terjadinya
kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotic, meningkatnya kejadian efek samping
obat, biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan merugikan
pasien. Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan
penggunaan antibiotic agar dapat menekan serendah – rendahnya efek yang merugikan
dalam pemakaian / penggunaan antibiotic.

E. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4431);
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072);
4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5607);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
333);
6. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 159);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1438/Menkes/Per/IX/2010 tentang Standar
Pelayanan Kedokteran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 464);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang
Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SDM
Panitia PPI terdiri atas dokter, perawat, analis, farmasi, IPSRS, Gizi, Sanitasi dan
bagian Linen. Sasaran target PPI meliputi pasien, petugas, lingkungan RS & di sekitar
RS, pengunjung RS, praktikan / Mahasiswa dan masyarakat di sekitar RS.
PPI dipimpin langsung oleh direktur rumah sakit dan bertugas mengontrol dan
mengkoordinasi pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit.
Sekretaris PPI adalah orang yang ditunjuk oleh direktur dan dianggap mempunyai
kemampuan pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai dengan tingkat pendidikan,
pengalaman dan pelatihan pencegahan dan pengendalian infeksi baik eksternal maupun
internal.
Infection Pevention and Control Officer (IPCO) adalah seorang dokter yang
ditunjuk oleh oleh ketua panitia PPI sebagai pelaksana kegiatan PPI di rumah sakit.
Dokter yang ditunjuk menjadi IPCO harus memiliki kemampuan dalam pencegahan dan
pengendalian Infeksi berdasarkan pendidikan, pengalaman dan pelatihan yang terkait.
Seorang IPCO membawahi dua sampai lima orang Infection Prevention and Control
Nurse (IPCN) dalam koordinasi pelaksanaan program PPI.
IPCN adalah seorang perawat yang mempunyai kemampuan PPI berdasarkan
pelatihan PPI eksternal maupun internal dan merupakan coordinator pelaksanaan PPI di
bagian keperawatan. IPCN dalam pelaksanaannya mengontrol pelaksanaan PPI pasien
rawat inap dan rawat jalan dengan kuota 50 tempat tidur dalam pengawasan untuk tiap 1
orang IPCN yang ditunjuk. Dalam pelaksanaan PPI seorang IPCN dibantu oleh beberapa
Infection Prevention and control link nurse (IPCLN) di bagian yang terkait.
IPCLN adalah perawat PPI yang ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan PPI di
bagian. IPCLN dipilih berdasarkan kemampuan pelaksanaan PPI berdasarkan pendidikan
dan pelatihan PPI baik eksternal maupun internal.
B. TUGAS DAN WEWENANG
Panitia Pencegahan dan Pengendalian Infeksi bertugas membuat dan
mengevaluasi kebijakan PPI, melaksanakan sosialisasi kebijakan PPIRS, membuat SPO,
menyusun serta mengevaluasi pelaksanaan program & pelatihan PPI, melakukan
investigasi masalah atau Kejadian Luar Biasa (KLB) Infeksi Nosokomial, memberikan
usulan untuk mengembangkan dan meningkatkan cara Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi, memberikan usulan kepada Direktur untuk pemakaian antibiotika yang rasional
di RS berdasarkan hasil pantauan kuman dan resistensinya terhadap antibiotika serta
menyebar luaskan data resistensi antibiotika, memberikan masukan yang menyangkut
Konstuksi Bangunan, Pengadaan Alat, Bahan Kesehatan, Renovasi Ruangan, cara
pemprosesan alat, penyimpanan alat dan linen sesuai dengan prinsip PPI.
Infection Prevention Control Officer (IPCO) bertugas dalam berkontribusi dalam
diagnosis dan terapi infeksi yang benar, menyusun pedoman penulisan resep antibiotika
dan surveilenss, mengindentifikasi, melaporkan kuman patogen dan pola resistensi
antibiotika, bekerjasama dengan Perawat PPI memonitor kegiatan Surveilenss Infeksi dan
mendeteksi serta menyelidiki KLB, membimbing dan mengajarkan praktek serta
prosedur PPI yang berhubungan dengan prosedur terapi, memonitor cara kerja tenaga
Kesehatan dalam merawat Pasien dan membantu semua Petugas Kesehatan untuk
memahami PPI.
Infection Prevention Control Nurse (IPCN) mempunyai tugas dan wewenang
untuk mengunjungi ruangan setiap hari untuk memonitor kejadian infeksi yang terjadi di
RS, memonitor pelaksanaan PPI, penerapan SOP dan kewaspadaan isolasi, melaksanakan
Surveilenss Infeksi dan melaporkan kepada Tim mutu RS, Merencanakan Pelatihan
Petugas Kesehatan tentang PPI di Rumah Sakit, melakukan Investigasi terhadap KLB dan
memperbaiki kesalahan yang terjadi, memonitor kesehatan petugas untuk mencegah
penularan infeksi dari petugas kesehatan kepada pasien atau sebaliknya. menganjurkan
prosedur isolasi dan memberi konsultasi tentang PPI yang diperlukan pada kasus yang
terjadi di RS, monitor pengendalian penggunaan antibiotika yang rasional, mendesain,
melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi surveilenss infeksi yang terjadi di Rumah
Sakit, membuat laporan Surveilenss, memberikan motivasi dan teguran tentang
pelaksanaan kepatuhan PPI, meningkatkan kesadaran Pasien dan pengunjung Runah
Sakit tentang PPIRS, memprakarsai penyuluhan bagi petugas kesehatan, Pengunjung dan
keluarga tentang topik infeksi yang sedang berkembang di masyarakat (infeksi dengan
insiden tinggi).
Infection Prevention Control Link Nurse (IPCLN) bertugas mengisi dan
mengumpulkan formulir Surveilenss setiap pasien di Unit Rawat Inap masing-masing,
kemudian menyerahkannya kepada Infection Prevention Control Nurse (IPCN),
memberikan motivasi dan teguran tentang pelaksanaan kepatuhan PPI pada setiap
personil Ruangan di Unit Rawat masing-masing, memberitahukan kepada IPCN apabila
ada kecurigaan adanya Infeksi Nosokomial pada Pasien, berkoordinasi IPCN saat terjadi
infeksi potensial KLB, memberikan penyuluhan bagi pengunjung di Ruang Rawat
masing-masing, konsultasi prosedur yang harus dijalankan bila belum paham, memonitor
kepatuhan Petugas Kesehatan yang lain dalam menjalankan Standart Isolasi.
Bagian Farmasi bertugas mengontrol peresepan antibiotic oleh dokter.
Melakukan infestigasi dan pengelolaan alat kesehatan yang kadaluarsa dan pengadaan
logistic PPI serta APD di bagian
Sanitasi melakukan control lingkungan dalam pencegahan pengendalian infeksi,
membuat SPO pengelolaan limbah, pengelolaan linen dan laundry, audit PPI terhadap
Limbah, Loundry, Gizi dan lain-lain dengan menggunakan daftar titik. Dalam pelaksaan
kegiatan PPI sanitasi di bantu oleh IPSRS dan bagian linen sebagai pelaksana kegiatan
bagian sanitasi.
Bagian Gizi menjamin keamanan makanan dengan menerapkan jaminan mutu
yang berdasarkan keamanan makanan yang meliputi good manufacturing practices
(GMP), hygiene dan sanitasi makanan dan penggunaan bahan makanan tambahan yang
aman. Upaya pencegahan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip personal hygiene
dan hygiene peralatan pengolah dan penyajian makanan.
Bagian Laboratorium melakukan kultur kuman dan resistensi antibiotika,
melakukan investigasi dan pengawasan pada kejadian tusuk jarum serta melakukan
pemeriksaan kesehatan yang berhubungan dengan kejadian infeksi.
C. MANAJEMEN INFORMASI
Sistem manajemen informasi adalah sumber penting untuk mendukung
penelusuran risiko, angka-angka dan kecenderungan dalam infeksi terkait pelayanan
kesehatan. Fungsi manajemen informasi mendukung analisis dan interprestasi data serta
panyajian temuan-temuan. Sebagai tambahan, data dan informasi program pencegahan
dan pengendalian infeksi sikelola bersama program manajemen dan peningkatan mutu
rumah sakit.
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH

Semua area dalam rumah sakit masuk dalam masuk dalam program pencegahan dan
pengendalian infeksi
Zonasi tingkat risiko terjadinya penularan penyakit :
a. Zona dengan Risiko Rendah
Zona risiko rendah meliputi : ruang administrasi, ruang komputer, ruang aula dan
ruang resepsionis
b. Zona dengan Risiko Sedang
Zona risiko sedang meliputi : ruang rawat inap bangsal (anyelir, jasmin, marvel),
poliklinik rawat jalan, ruang ganti pakaian, dan ruang tunggu pasien.
c. Zona dengan Risiko Tinggi
Zona risiko tinggi meliputi : ruang isolasi, ruang HCU, laboratorium, ruang radiologi,
dan ruang jenazah.
d. Zona dengan Risiko Sangat Tinggi
Zona risiko tinggi meliputi : ruang operasi, poli gigi, instalasi gawat darurat, ruang
bersalin, dan ruang rawat inap bangsal orchid dan gladiol.

B. STANDAR FASILITAS
Standar fasilitas PPI meliputi:
1. Hand hygiene
Cuci tangan yang benar dapat meminimalkan microorganisme berkembang dalam
tangan selama bekerja serta ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, secret, dan
permukaan atau peralatan yang diketahui atau tidak diketahui terkontaminasi.
Cuci tangan dilakukan ketika: kontak dengan pasien, kontak dengan lingkungan
pasien, kontak dengan cairan yang berhubungan dengan pasien, sebelum melakukan
tindakan pada pasien serta setelah melakukan tindakan.
2. Alat pelindung diri
Alat pelindung diri (APD) digunakan sebagai barier antara micro organisme dengan
petugas. APD membantu mencegah penularan melalui tangan, mata, baju, rambut dan
sepatu yang terkontaminasi, mencegah penularan dari pasien ke petugas maupun dari
pasien ke pasien lain.
APD meliputi: sarung tangan, goggle, masker, celemek, baju khusus tindakan, sepatu
boots dan penutup kepala.
3. Pengaturan limbah RS
Pengaturan limbah diperlukan untuk mencegah kontaminasi dan penyebaran infeksi
yang meluas. Sistem dan monitoring mutlak diperlukan agar pengaturan limbah dapat
berjalan.
BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN
A. PENCEGAHAN INFEKSI
1. Kewaspadaan universal
a. Definisi
Universal Precautions atau Kewaspadaan Universal adalah suatu pedoman yang
ditetapkan oleh Centers for Disease Control (1985) untuk mencegah penyebaran
dari berbagai penyakit yang ditularkan melalui darah di lingkungan rumah sakit
maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya. Adapun konsep yang dianut adalah
bahwa semua darah dan cairan tubuh tertentu harus dikelola sebagai sumber yang
dapat menularkan HIV, HBV dan berbagai penyakit lain yang ditularkan melalui
darah.
b. Pelaksanaan Kewaspadaan Universal
Secara singkat, kebijaksanaan pelaksanaan Kewaspadaan Universal (KU) adalah
seperti apa yang dikemukakan dibawah ini :
1) Semua petugas kesehatan harus rutin menggunakan sarana yang dapat
mencegah kontak kulit dan selaput lender dengan darah atau cairan tubuh
lainnya dari setiap pasien yang dilayani.
Dengan demikian setiap petugas kesehatan harus :
a) Menggunakan sarung tangan bila :
- Menyentuh darah atau cairan tubuh, selaput lender atau kulit yang
tidak utuh.
- Mengelola berbagai peralatan dan sarana kesehatan / kedokteran yang
tercemar darah atau cairan tubuh.
- Mengerjakan fungsi vena atau segala prosedur yang menyangkut
pembuluh darah. Sarung tangan harus selalu diganti setiap selesai
kontak dengan seorang pasien.
b) Menggunakan masker dan pelindung mata atau pelindung wajah bila
mengerjakan prosedur yang memungkinkan terjadinya cipratan darah atau
cairan tubuh guna mencegah terpaparnya selaput lender pada mulut, hidung
dan mata.
c) Memakai jubah (pakaian kerja) khusus selama melaksanakan tindakan yang
mungkin akan menimbulkan cipratan darah atau cairan tubuh lainnya.
2) tangan dan bagian tubuh lainnya harus segera dicuci sebersih mungkin bila
terkontaminasi oleh darah dan cairan tubuh lainnya. Setiap saat setelah
melepaskan sarung tangan, tangan harus segera dicuci.
3) semua petugas harus selalu waspada terhadap kemungkinan tertusuk jarum,
pisau dan benda/alat tajam lainnya selama pelaksanaan tindakan, saat
membersihkan/mencuci peralatan, saat membuang sampah atau ketika
membenahi peralatan setelah berlangsungnya prosedur/tindakan.
Untuk mencapai tujuan ini, maka jangan menutup kembali jarum suntik
setelah selesai dipakai, jangan sengaja membengkokkan atau mematahkan
jarum suntik dengan tangan, jangan melepaskan jarum suntik dari tabungnya
atau melakukan apapun pada jarum suntik dengan menggunakan tangan.
Setelah segala benda tajam digunakan, maka harus ditempatkan di suatu
wadah khusus yang tahan/anti tusukan. Wadah ini harus berada sedekat
mungkin atau mudah dicapai disekitar arena tindakan. Kemudian wadah
kumpulan benda tajam tersebut harus menjamin aman untuk transportasi ke
tempat pemrosesan alat ataupun dalam proses pengenyahan.
4) Walaupun air liur belum terbukti menularkan HIV, tindakan resusitasi dengan
cara dari mulut ke mulut harus dihindari. Dengan demikian di setiap tempat
yang mungkin akan kedapatan kasus yang memerlukan resusitasi, perlu
disediakan alat resusitasi.
5) Petugas kesehatan yang sedang mengalami perlukaan atau ada lesi yang
mengeluarkan cairan misalnya menderita dermatitis basah harus menghindari
tugas–tugas yang bersifat kontak langsung dengan pasien ataupun kontak
langsung dengan peralatan bebas pakai pasien.
6) Petugas kesehatan yang sedang hamil tidak mempunyai resiko lebih besar
untuk tertular HIV bila dibandingkan dengan petugas kesehatan yang tidak
hamil. Namun demikian bila terjadi infeksi HIV selama kehamilan, janin yang
dikandungnya mempunyai resiko untuk mengalami transmisi perinatal. Oleh
karena itu, petugas kesehatan yang sedang hamil harus lebih memperhatikan
pelaksanaan segala prosedur yang dapat menghindari penularan HIV.
Dengan menerapkan KU setiap petugas kesehatan dapat terlindung
semaksimal mungkin dari kemungkinan terpapar oleh infeksi penyakit yang
ditularkan melalui darah atau cairan tubuh baik dari kasus yang terdiagnosis
maupun yang tidak terdiagnose. Sebagai keuntungan tambahan, transmisi dari
kebanyakan infeksi yang ditularkan dengan cara lainpun terhadap petugas
kesehatan dan pasiennya akan dikurangi pula.
c. Beberapa petunjuk khusus dalam pelaksanaan KU
Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai
mikroorganisme pada seorang pasien, khususnya infeksi virus seperti HIV,
Hepatitis B dll, penting peranannya dalam manajemen kasus. Akan tetapi atas
dasar berbagai pertimbangan sampai saat ini penapisan (screening) terhadap
berbagai infeksi virus tidak mungkin dilakukan secara rutin. Bahkan pada infeksi
oleh HIV terdapat masa jendela yang mana pada masa tersebut darah atau cairan
tubuh penderita, sudah dapat menularkan infeksi akan tetapi HIV belum dapat
terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip KU dalam
upaya pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan memutuskan rantai
transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah maupun cairan lainnya. Di bawah
ini disampaikan langkah–langkah yang perlu diperhatikan sebagai prosedur
pencegahan infeksi, khususnya infeksi HIV. Perlu diingatkan bahwa langkah–
langkah di bawah ini tidak mengabaikan pentingnya pelaksanaan prosedur standar
dalam tiap–tiap tindakan pemrosesan alat/instrument secara tepat, pembuangan
sampah/limbah secara aman dan menjamin kebersihan ruangan tindakan dan
lingkungan sekitarnya.
1) Kewaspadaan dalam tindak medic
Sebagai prosedur pembedahan yang membuka jaringan organ, pembuluh darah,
pertolongan persalinan maupun tindakan abortus prosedur hemodialisis dan
prosedur operasi gigi mulut termasuk dalam tindak medik invasive beresiko
tinggi untuk menularkan HIV bagi tenaga dokter atau pelaksana lainnya. Untuk
memutuskan rantai penularan diperlukan barier berupa :
a) Kacamata pelindung untuk menghindari persikan cairan tubuh pada mata.
b) Masker penutup pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan pada
mukosa hidung dan mulut.
c) Plastik penutup badan (skort) untuk mencegah kontak cairan tubuh pasien
dengan penolong.
d) Sarung tangan yang tepat untuk melindungi tangan yang aktif melakukan
tindak medik invasive.
e) Penutup kaki untuk melindungi kaki dari kemungkinan terpapar cairan yang
infektius.
2) Kegiatan di Unit Gawat Darurat
Unit Gawat Darurat yang umumnya melayani kasus kecelakaan maupun kasus
emergensi lainnya harus menyediakan segala peralatan yang berkaitan dengan
pelaksanaan KU. Sarana seperti sarung tangan, masker dan gaun khusus harus
selalu ada, mudah dicapai dan mudah dipakai. Alat resusitasi harus tersedia
dalam keadaan siap pakai dan ada petugas yang terlatih untuk menggunakannya.
Disetiap tempat tindakan pelayanan emergency harus tersedia wadah khusus
untuk mengelola peralatan tajam.
3) Kegiatan di Kamar Operasi
a) Dalam Prosedur Operasi
Selain oleh darah secara kontak langsung tertusuknya bagian dari tubuh oleh
benda – benda tajam merupakan kecelakaan yang harus dicegah. Oleh
karena itu instrument yang tajam jangan diberikan secara langsung ked an
dari operator oleh asisten atau instrumentator. Untuk memudahkan hal ini
dipakai nampan guna menyerahkan instrument tajam tersebut ataupun
mengembalikannya. Operator bertanggung jawab untuk menempatkan
benda tajam secara aman.
b) Pada saat menjahit.
Pada saat menjahit dilakukan prosedur sedemikian rupa sehingga jari /
tangan terhindar dari tusukan.
c) Memisahkan jaringan
Jangan menggunakan tangan untuk memisahkan jaringan karena tindakan
ini akan menambah resiko.
d) Operasi Sulit.
Untuk operasi – operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit dan
lapangan kerjanya sulit ( sempit ) dianjurkan untuk menggunakan sarung
tangan ganda.
e) Melepaskan baju operasi dilakukan sebelum membuka sarung tangan agar
tidak terpapar oleh darah / cairan tubuh dari baju operasi tersebut.
f) Pencucian instrument bekas pakai sebaiknya secara mekanik.
Bila mencuci instrument secara manual, petugas harus menggunakan sarung
tangan rumah tangga dan instrument tersebut sebelumnya telah mengalami
proses dekontaminasi dengan merendam dalam larutan clorin 0,5% selama
10 menit.
4) Kegiatan di Kamar Bersalin
Disamping memperhatikan kebutuhan barier yang telah disebutkan diatas, perlu
diingatkan bahwa :
a) Kegiatan di Kamar Bersalin yang membutuhkan lengan / tangan untuk
manipulasi instrauterin tentunya harus menggunakan skor dan sarung tangan
yang mencapai siku.
b) Penolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan.
c) Cara pengisapan lender bayi dengan mulut penolong harus ditinggalkan.
d) Potonglah tali pusat bayi segera setelah lahir, hindari terjadinya cipratan
darah.
e) ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mempunyai resiko untuk bayi baru lahir,
akan tetapi tidak beresiko untuk tenaga kesehatan.
5) Prosedur Anesthesia
Prosedur Anasthesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan HIV
pada tenaga kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
a) Perlu disediakan nampan /troli untuk alat – alat yang sudah dipergunakan.
b) Jarum harus dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam wadah
yang aman.
c) Pakailah obat – obatan sedapat – dapatnya untuk dosis dengan 1 kali
pemberian.
d) Menutup spuit adalah prosedur resiko tinggi.
e) Sangat dianjurkan agar petugas anasthesi melewati uji kelayakan terlebih
dahulu untuk meminimalkan resiko terluka oleh jarum suntik dan alat lain
yang tercemar darah dan cairan tubuh.
6) Lokasi kagiatan lainnya yang memerlukan perhatian adalah di mobil ambulan,
ruang emergency, laboratorium serta kamar jenazah.
d. Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan tubuh
(dekontaminasi).
1) Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lain – lain :
Keluarkan darah sebanyak – banyaknya, cuci dengan sabun dan air atau dengan
air saja sebanyak – banyaknya.
2) Paparan pada membrane mukosa melalui cipratan kemata : Cuci mata secara “
gentle “ dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air cairan NaCL.
3) Paparan pada mulut : Keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara berludah
kemudian kumur – kumur dengan air beberapa kali.
4) Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit sedang mengalami perlukaan, lecet
atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air dan sabun antiseptic.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan pemeriksaan
HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus diperhatikan. Pejamu – pun
harus terus dimonitor kemungkinan infeksinya. Selama pemantauan, tenaga
kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan konseling mengenai resiko infeksi
dan pencegahan transmisi selanjutnya. Tentunya individu tersebut diingatkan untuk
tidak menjadi donor darah ataupun jaringan, melakukan hubungan seksual yang
aman dan mencegah kehamilan.
e. Upaya untuk melaksanakan KU di lingkungan kita.
Sebagai petugas kesehatan khususnya yang bekerja di lingkungan rumah sakit
sudah selayaknya kita menerapkan KU dalam melaksanakan tugas kita sehari–hari.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diselenggarakan langkah–langkah sebagai
berikut :
1) Identitas unsure–unsure yang terkait.
2) menilai fasilitas dan kebiasaan yang berlangsung.
3) Meninjau kembali kebijakan dan prosedur yang telah ada.
4) Membuat perencanaan (menyusun proposal).
5) menjalankan rencana yang telah disusun.
6) mengadakan pendidikan dan pelatihan.
7) Pemantauan dan supervise pelaksanaan KU secara berkala.
2. Tindakan Invasif
a.Penggolongan tindakan invasif
1) Tindakan Invasif Sederhana.
Tindakan invasive sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat kesehatan
kedalam tubuh pasien sehingga memungkinkan mikroorganisme masuk
kedalam tubuh dan menyebar ke jaringan.
Contoh :
Suntikan, pungsi ( vena, lumbal, pericardial, pleura suprapubik ), bronkoskopi,
angiografi, pemasangan alat ( kontrasepsi, kateter intravena, kateter jantung,
pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung ).
2) Tindakan Invasif Operasi.
Tindakan invasive oeprasi adalah suatu tindakan yang melakukan penyayatan
pada tubuh pasien dan dengan demikian memungkinkan mikroorganisme masuk
kedalam tubuh dan menyebar.
b. Sumber Infeksi pada Tindakan Invasive
1) petugas
a) Petugas umum adalah semua petugas yang bekerja sekitar ruang tindakan
i. Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
ii. Tidak mencuci tangan.
iii. Bekerja tanpa memperhatikan tehnik aseptic dan antiseptic.
iv. Tidak memahami cara penularan / penyebaran kuman pathogen.
v. Menderita penyakit menular / infeksi / karier.
vi. Tidak mematuhi tata tertib di kamar operasi.
vii. Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
viii. Bekerja ceroboh dan masa bodoh terhadap lingkungan.
ix. Tidak menguasai tindakan yang dilakukan.
b) Petugas khusus adalah semua petugas yang bekerja didalam kamar tindakan.
i. Tidak memperhatikan kebersihan perorangan.
ii. Mempunyai penyakit infeksi / menular / karier.
iii. Tidak mematuhi tata tertib yang berlaku di kamar operasi.
iv. Tidak memperhatikan tehnik aseptic / antiseptic.
v. Ceroboh dalam bekerja.
vi. Tidak memperhatikan hygiene perorangan.
vii. Kuku panjang
viii. Mencuci tangan dengan cara yang tidak benar.
2) Alat
a) Tidak steril.
b) Diluar batas waktu yang ditetapkan ( kadaluwarsa ) tanpa disterilkan lagi.
c) Untuk pemakaian berulang tanpa disterilkan lagi.
d) Penyimpanan tidak baik.
e) Kotor.
f) Rusak / karatan.
3) Pasien
a) Higiene pasien tidak baik.
b) Keadaan gizi tidak baik.
c) Menderita penyakit kronis.
d) Menderita penyakit infeksi / menular / karier.
e) Sedang menapatkan pengobatan imunosupresif.
f) Persiapan pasien dari ruang rawat tidak baik.
g) Daerah sekitarnya terdapat tanda – tanda infeksi, missal : sakit kulit, dsb.
4) Lingkungan
a) Penerangan / sinar matahari tidak cukup.
b) Sirkulasi udara harus cukup, tidak lembab dan berdebu.
c) Dijaga kebersihannya.
d) Menghindari serangga.
e) Mencegah air tergenang.
f) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
g) Tidak ada serangga.
h) Permukaan lantai harus rata dan tidak berlubang.
i) Ruangan bersih, kering dan tidak berbau.
j) Dinding kamar operasi harus licin mudah dibersihkan.
k) Sudut ruangan tidak tajam.
l) Mengatur system sirkuasi udara dalam kamar operasi.
m) Cahaya cukup terang.
n) Dipisahkan lalu lintas untuk petugas, pasien, barang bersih dan kotor.
o) Jumlah petugas yang keluar masuk ke kamar operasi dibatasi.
p) Ruangan dibersihkan secara rutin, mingguan atau pada kasus infeksi
tertentu.
3. Tindakan Non invasive
a.pengertian
Tindakan non invasive adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat
kesehatan tanpa memasukkan kedalam tubuh pasien yang memungkinkan
mikroorganisme masuk ke dalam jaringan.
Contoh : Tindakan EKG, USG, pengukuran suhu tubuh, pengukuran tekanan
darah, pengukuran nadi, pemeriksaan reflek tonus treadmill tes, pemasangan
holter dan lain – lain.
b. Sumber Infeksi pada tindakan non invasive
Infeksi pada tindakan non invasive dapat terjadi karena kontak langsung antara :
1) Pasien yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat menularkan
penyakit yang diderita kepada pasien lain.
2) Pasien dengan petugas.
a) Petugas yang menderita penyakit infeksi / menular / karier dapat
menularkan penyakit yang diderita kepada pasien atau sebaliknya.
b) Petugas dapat menjadi perantara penularan penyakit.
3) Pasien dengan pengunjung
Pasien dapat menularkan penyakit yang dideritanya kepada pengunjung atau
sebaliknya.
4) Pasien dengan Alat
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke alat – alat yang
telah digunakan atau sebalikya.
5) Pasien dengan lingkungan.
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke lingkungan
sekitarnya atau sebaliknya.
6) Pasien dengan air.
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang dideritanya ke air yang
dipergunakan atau sebaliknya.
7) Pasien dengan makanan
Pasien dapat menularkan kuman penyakit yang diderita ke makanan atau
sebaliknya.
c.Pencegahan Infeksi pada Tindakan Non Invasif
1) Pasien
Isolasi pasien yang diduga menderita penyakit infeksi atau menular.
2) Petugas
Mencuci tangan lebih dahulu sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
3) Pengunjung
a) Yang sedang menderita sakit tidak diperkenankan mengunjungi pasien.
b) Menggunakan barrier nursing sewaktu mengunjungi pasien yang
berpenyakit infeksi / menular.
c) Jumlah dibatasi.
4) Alat
a) Yang digunakan harus bersih dan kering.
b) Yang telah terkontaminasi segera dibersihkan dengan bahan desinfektan
dan kemudian disterilkan.
c) Yang terkontaminasi oleh pasien dengan penyakit tertentu (misalnya gas
gangrene) dimusnahkan.
5) Lingkungan
a) Lingkungan pasien / kamar dijaga selalu dalam keadaan bersih dan
kering.
b) Sirkulasi udara dalam kamar harus lancar.
c) Penerangan / sinar matahari dalam kamar harus cukup.
d) Tempat sampah selalu dalam keadaan tertutup.
e) Tidak ada serangga didalam kamar pasien.
f) Untuk penyakit tertentu (misalnya gas gangrene) ruangan dihapus
hamakan sebelum dipakai kembali.
6) Air.
a) Kualitas air tersedia memenuhi syarat kesehatan yaitu batas bebas kuman,
tidak berbau, tidak berwarna, jernih dan bersih.
b) Jumlah air yang tersedia memenuhi kebutuhan pasien.
c) Air minum harus dimasak sampai mendidih.
d) Bak tempat penampungan air dibersihkan secara rutin minimal 2 kali
seminggu.
e) Dicegah adanya genangan air limbah.
7) Makanan
a) Selalu dalam keadaan tertutup.
b) Yang sudah rusak / terkontaminasi dibuang.
c) Diberikan sesuai dengan diet yang dianjurkan.
d) Pemberian dari luar rumah sakit harus dicegah.
4. Tindakan terhadap anak dan neonates
Tindakan terhadap anak / neonatus dapat berupa tindakan invasive, invasive
operasi maupun tindakan non invasive. Pencegahan infeksi pada tindakan terhadap
anak / neonatus meliputi :
a. Petugas
1) Harus dalam keadaan sehat.
2) Tidak menderita penyakit menular seperti tuberkulosa, penyakit saluran
nafas lainnya. Penyakit gastro intestinal, penyakit kulit atau mukokutaneus
seperti herpes dan lain – lain.
3) Pakaian petugas yang bekerja dibangsal anak / neonatus berlengan pendek
agar mudah untuk mencuci tangan.
4) Sebelum dan sesudah kontak dengan pasien harus mencuci tangan dengan
antiseptic atau sabun serta air mengalir.
5) Khusus bila kontak dengan neonatus tangan harus dicuci sampai ke siku
dengan sabun dan air mengalir serta digosok dengan sikat ( pertama kali
masuk bangsal ) kemudian dapat dipakai larutan antiseptic.
6) Sebelum masuk ke bangsal neonatus, topi, masker dan sarung tangan
hanya dipakai pada waktu melakukan tindakan invasive seperti fungsi
lumbal, ganti darah, kateterisasi umbilical / jantung.
7) Kuku harus pendek, memperhatikan kebersihan diri dan lingkungan.
b. Alat
1) Semua alat yang dipakai selalu dalam keadaan bersih dan kering.
2) Harus dalam keadaan steril kalau mungkin alat disterilkan dengan autoklaf
atau dapat juga dengan menggunakan desinfektan setelah alat dibersihkan.
3) Inkubator / tempat tidur bersih dan kering kalau mungkin disterilkan
dengan desinfektan / detergen. Tempat tidur / incubator dibersihkan setiap
bayi / anak dipulangkan / dipindah / meninggal.
4) Bayi / anak hanya boleh disatu tempat tidur selama 1 minggu.
5) Tempat tidur tidak boleh dibersihkan selama anak berada ditempat tidur.
c. Pasien anak / neonatus
1) Kulit harus dalam keadaan bersih dan kering, demikian juga tali pusat.
2) Kulit tempat tindakan invasive ( pengambilan darah, inmfus, lumbal
pungsi ) harus dibersihkan dulu dengan zat antiseptic.
3) Isolasi / memisahkan bayi yang sehat dari bayi yang diduga ada infeksi.
4) Bayi / anak masing – masing harus mempunyai perlengkapan sendiri dan
sebaliknya dicuci dibangsal bayi.
5) Susu, dot, botol susu sebaiknya disetrilkan diautoklaf sub atmospheric
pressure ( proses pasteurisasi ) yang khusus dipkai di dapur susu.
6) Pakaian / alas tempt tidur, selimut bayi / anak sebaiknya disediakan setiap
8 jam untuk sekali pakai.
7) Perlengkapan bayi / anak harus dibawa ketempat perawatan dalam
keadaan steril dan tertutup. Khusus untuk neonatus sebaiknya pakaiannya
dipakai yang disposibel.
8) Pakaian kotor harus dikumpulkan dalam plastic tertutup dan diganti
dengan yang bersih setiap 8 jam.
9) Bahan / zat yang dipakai untuk membersihkan pakaian bayi harus
diketahui oleh dokter ruangan bayi / anak untuk mencegah kelainan yang
mungkin timbul terhadap bayi.
d. Lingkungan
1) Kamar / ruang peralatan cukup sinar matahari yang masuk ketempat
perawatan sehingga secara tidak langsung bayi yang kuning mendapatkan
terapi sinar.
2) Kamar / ruang harus ada penerangan / sinar yang diperlukan untuk
menghangatkan ruangan.
3) Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.
4) Penyediaan air bersih untuk keperluan pasien.
5) Lantai, dinding dan jendela dibersihkan dengan desinfektan / detergen atau
penghisap debu kering yang diikuti dengan wet vaccum pick up machine.
Bagian yang harus dibersihkan adalah sekitar pasien dan lingkungan tempat
perawatan.
e. Urine merupakan sumber infeksi, oleh sebab itu perlu Mencuci tangan
sebelum dan sesudah :
- Memeriksa pasien.
- Pemakaian alat prosedur.
- Pemeriksaan genital.
- Menampung / memeriksa urine.
5. Isolasi
a.Pengertian
Upaya perawatan dengan memisahkan pasien dan peralatan yang
diperlukannya pada suatu tempat tersendiri atau khusus
b. Sasaran
Dilakukan pada:
1). Pasien berpenyakit menular
2). Pasien yang disangka berpenyakit menular
3). Pasien yang gelisah atau mengganggu pasien lain
4). Pasien yang memerlukan perawatan khusus (misalnya dipteri)
5). Pasien yang sedang berada dalam sakaratul maut
c.Prinsip Isolasi
1) Teknik isolasi pada pasien yang berpenyakit menular bergantung pada
macamnya isolasi yang dilakukan terhadap pasien
2) Apabila pasien dinyatakan atau diduga berpenyakit menular, maka segera
ditempatkan di kamar isolasi yang telah disiapkan. Disamping perawatan
dan pengobatan terhadap pasien bersangkutan, juga penularan penyakitnya
harus dicegah. Adapun cara pencegahannya sebagai berikut:
a) Pasien ditempatkan di kamar isolasi
b) Pada waktu menolong pasien, petugas harus mengenakan pakaian
khusus, masker, tutup kepala (mitella)
c) Masker dipakai, apabila penyakitnya menular melalui saluran
pernapasan
3) Setelah menolong pasien, petugas harus segera mencuci tangan, dan
masker dilepas lalu direndam di dalam ember berisi larutan desinfektan.
Pakaian khusus ditanggalkan dan digantungkan di tempatnya dengan cara
yang sudah ditentukan. Kemudian petugas harus mencuci tangannya lagi
4) Sediakan larutan desinfektan misalnya Lysol atau sejenisnya untuk:
a) Merendam peralatan makan yang telah digunakan oleh pasien seperti
piring, sendok, gelas, mangkok dan lain-lain, selama sekurang-
kurangnya 2 jam sebelum dicuci
b). Merendam alat-alat tenun kotor sekurang-kurangnya 24 jam sebelum
dicuci.
c). Mendesinfeksikan urine, faeces, muntahan, dan lain-lain sebelum
dibuang
d). Merendam baskom, pispot, urinal, bengkok, nierbekken dan lain-lain
selama sekurang-kurangnya 24 jam sebelum dicuci dan disimpan dalam
kamar isolasi
5). Apabila pasien berpenyakit menular dinyatakan sudah sembuh dan boleh
pulang, lakukan hal-hal berikut:
a). Pasien harus mandi dulu dan pakaiannya diganti. Setelah itu pasien
tidak boleh lagi masuk ke kamar isolasi
b). Alat-alat tenun, alat-alat makan dan sejenisnya yang telah dipakai
pasien harus direndam di dalam larutan desinfektan sebelum dicuci
c). Kasur dan bantal dijemur di bawah sinar matahari, minimal 2 jam tiap
permukaannya
d). Tempat tidur, meja, kursi, dan semua alat di dalam kamar/ ruang harus
dibersihkan dengan air sabun dan larutan desinfektan, kemudian
dikeringkan
e). Setelah kering, semua peralatan dikembalikan ke tempatnya semula,
dan kamar/ ruang sebaiknya tidak dipergunakan selama 24 jam
f). Lakukan sterilisasi ruangan dengan sinar
6. Pengelolaan linen dan laundry
Untuk mencegah penularan infeksi RS Nur Hidayah mengembangkan
system pengelolaan Linen yang berdasar pada kondisi linen setelah dipakai serta
penggunaan linen pada bagian. Pengelolaan linen infeksius dibedakan dengan
pengelolaan linen non infeksius untuk mengurangi penyebaran infeksi. Petugas
linen dan laundry melakukan housekeeping terhadap linen yang digunakan pada
pasien serta peralatan kerja dengan melakukan klorinasi. Penjelasan lebih lanjut
terdapat pada panduan pengelolaan linen dan laundry.
7. Pengelolaan limbah
Pengaturan limbah diperlukan untuk mencegah kontaminasi dan
penyebaran infeksi yang meluas. Limbah dipisahkan sesuai dengan jenis limbah
rumah sakit. Limbah medis infeksius dipisahkan dengan limbah domestic.
Pemisahan jenis limbah juga dipisahkan antara limbah medis padat, cair dan
tajam.
a.Penimbunan
Proses pemilahan dan reduksi sampah hendaknya merupakan proses yang
kontinyu yang pelaksanaannya harus mempertimbangkan: kelancaran
penanganan dan penampungan sampah, pengurangan volume dengan perlakuan
pemisahan limbah B3 dan non B3 serta menghindari penggunaan bahan kimia
B3, pengemasan dan pemberian label yang jelas dari berbagai jenis sampah
untuk efisiensi biaya, petugas dan pembuangan.
b. Penampungan
Penampungan sampah ini wadah yang memiliki sifat kuat, tidak mudah bocor
atau berlumut, terhindar dari sobek atau pecah, mempunyai tutup dan tidak
overload. Penampungan dalam pengelolaan sampah medis dilakukan perlakuan
standarisasi kantong dan container seperti dengan menggunakan kantong yang
bermacam warna seperti telah ditetapkan dalam permenkes RI no
986/Menkes/Per/1992 dimana kantong berwarna kuning dengan lambang
biohazard untuk sampah infeksius, kantong berwarna ungu dengan tanda
citotoksik untuk limbah citotoksik, kantong berwarna merah dengan symbol
radioaktif untuk limbah radioaktif dan kantong berwarna hitam dengan tulisan
“domestic”. Untuk sampah medis yang tajam ditempatkan pada tempat yang
tidak tembus berupa safety box atau jerigen. Semua peralatan medis yang
digunakan pada pasien adalah disposable dan single-use untuk menghindari
infeksi silang.
c.Pengangkutan
Pengangkutan dibedakan menjadi dua yaitu pengangkutan internal dan
eksternal. Pengangkutan internal berawal dari titik penampungan awal ke
tempat pembuangan atau ke incinerator (pengolahan on-site). Dalam
pengangkutan internal biasanya digunakan kereta dorong sebagai yang sudah
diberi label, dan dibersihkan secara berkala serta petugas pelaksana dilengkapi
dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus.
Pengangkutan eksternal yaitu pengangkutan sampah medis ke tempat
pembuangan di luar (off-site), pengangkutan eksternal memerlukan prosedur
pelaksanaan yang tepat dan harus dipatuhi petugas yang terlibat. Prosedur
tersebut termasuk memenuhi peraturan angkutan local. Sampah medis diangkut
dalam container khusus, harus kuat dan tidak bocor.
Dalam pengelolaan dan pembuangan limbah medis padat dan tajam RS Nur
Hidayah bekerjasama dengan pihak ketiga yang kompeten untuk pemusnahan.
Sedangkan limbah medis cair dikelola oleh RS di Instalasi pembuangan air limbah
RS.
8. Manajemen lingkungan (engineering control)
Manajemen lingkungan rumah sakit adalah Penataan factor-faktor
lingkungan rumah sakit untuk menyehatkan dan memelihara kondisi lingkungan
rumah sakit agar pengaruhnya terhadap manusia, pelayanan dan lingkungan
sekitar dapat terkendali sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Tujuan:
 Mencegah terjadinya infeksi rumah sakit
 Mencegah terjadinya gangguan kesehatan dan keselamatan kerja
 Meningkatkan estetika dan kenyamanan
 Melindungi lingkungan dari pencemaran
 Memelihara umur hidup fasilitas dan intrastruktur
 Memenuhi aspek legal bidang kesehatan dan lingkungan
System sirkulasi
Perlindungan terhadap pasien merupakan hal yang harus diprioritaskan.
Terlalu banyak lalu lintas akan mengganggu pasien, mengurangi efisiensi
pelayanan pasien dan meninggikan resiko infeksi, khusunya untuk pasien bedah
dimana kondisi bersih sangat penting. Pengaturan jam kunjung dan penunggu
pasien ditetapkan sebagai metode pengurangan infeksi dari luar. Mengontrol
aktifitas petugas terhdap pasien serta aktifitas pengunjung RS yang datang, agar
aktifitas pasien dan petugas tidak terganggu. Tata letak counter perawat
dipertimbangkan untuk kemudahan bagi perawat untuk memonitor dan membantu
pasien yang sedang berlatih di koridor pasien, dan aktifitas pengunjung saat
masuk dan keluar bagian.
System tata udara
Pergerakan udara diusahakan untuk meminimalkan sumber penyakit agar
tidak menyebar ke udara (airborne) yang memperbesar kemungkinan terjadinya
penularan diantara pasien, tenaga medis dan pengunjung. Terutama untuk
ruangan-ruangan khusus seperti di Ruang operasi, ruang Isolasi, Kamar bayi,
laboratorium dan kamar bersalin dimana diperlukan pengaturan:
• temperatur;
• kelembaban udara relatif;
• kebersihan udara ventilasinya;
• tekanan ruangan; dan
• distribusi udara di dalam ruangan.
Temperature dan kelembaban udara
Kebutuhan temperatur dan kelembaban udara relatif, berbeda untuk setiap
jenis ruang tergantung dari jenis penyakit, tingkat keparahan pasien ataupun
fungsi ruang tersebut. pengkondisian termal dikontrol untuk setiap fungsi ruang
dengan tingkat pengaturan individual (individual control).
Kualitas udara
Kebutuhan kualitas udara yang bersih berbeda dari satu ruang ke ruang
lain sehingga jumlah udara ventilasi yang di masukan kedalam ruangan, dapat
menghindarkan adanya kontaminasi dan mengeliminasi sumber-sumber
kontaminasi seperti:
• Debu, Asap, partikel.
• Microbial, Jamur, Bakteri, Kuman-kuman sebagai sumber penyakit.
System sanitasi
Sistem sanitasi disediakan di dalam dan di luar bangunan gedung untuk
memenuhi kebutuhan air bersih, pembuangan air kotor dan / atau air limbah,
kotoran dan sampah, serta penyaluran air hujan.
System pendukung
System pendukung prasarana yang terdapat di RS Nur Hidayah antara lain:
system air bersih (water supply), tenaga listrik, system pembuangan air limbah RS
dan system pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
9. Pengelolaan diit dan gizi
Untuk mencegah terjadinya infeksi yang timbul maka pengadaan diit dan
gizi di rumah sakit Nur Hidayah dikelola oleh orang yang kompeten secara
pendidikan dan kemampuan dalam hygiene gizi dan makanan. Staf yang
melakukan pengolahan makanan, penyajian makanan, serta pemusnahan sisa
makanan harus sesuai dengan standar kekaryawanan yang ada di bagian gizi RS
Nur Hidayah. Dalam pelaksanaannya bagian gizi harus menjamin keamanan
makanan dengan menerapkan jaminan mutu yang berdasarkan keamanan
makanan yang meliputi good manufacturing practices (GMP), hygiene dan
sanitasi makanan dan penggunaan bahan makanan tambahan yang aman. Upaya
pencegahan yang dilakukan dengan menerapkan prinsip personal hygiene dan
hygiene peralatan pengolah dan penyajian makanan.
10. Pengelolaan jenazah
Untuk mencegah penularan infeksi dari jenazah, RS Nur Hidayah
menyediakan ruang jenazah sebagai tempat menyimpan jenazah sementara serta
tempat pemulasaraan jenazah. Pasien yang dinyatakan meninggal harus segera
dipindahkan ke kamar jenazah paling lama 2 jam setelah dinyatakan meninggal.
Pelaksanaan pemulasaraan jenazah dilakukan oleh tim rukti jenazah RS Nur
Hidayah. Apabila kamar jenazah penuh maka jenazah di tempatkan di bangsal
rawat yang terpisah dengan pasien yang lain. Apabila ternyata tidak terdapat
kamar yang memungkinkan pemisahan jenazah maka jenazah diletakkan di kamar
rawatnya dengan penanganan kewaspadaan standar.
11. Sterilisasi dan Desinfeksi
a. Sterilisasi
1) Pengertian
Sterilisasi adalah proses pengolahan suatu alat atau bahan dengan tujuan
mematikan semua mikroorganisme termasuk endospora pada suatu
alat/bahan.
Proses sterilisasi di rumah sakit sangat penting sekali dalam rangka
pengawasan pencegahan infeksi nosokomial.
Keberhasilan usaha tersebut akan tercermin pada kualitas dan kuantitas
mikroorganisme yang terdapat bahan, alat serta lingkungan kerja rumah
sakit.
Sebaiknya proses sterilisasi di RS dilaksanakan secara sentralisasi dengan
tujuan agar tercapainya :
a) Efisiensi dalam menggunakan peralatan dan sarana.
b) Efisiensi tenaga.
c) Menghemat biaya investasi, instalasi dan pemeliharaannya.
d) Sterilisasi bahan dan alat yang disterilkan dapat dipertanggung
jawabkan.
e) Penyederhanaan dalam pengembangan prosedur kerja, standarisasi dan
peningkatan pengawasan mutu.
Untuk kerja yang bertanggung jawab terhadap proses sterilisasi di rumah
sakit adalah Instalasi Sterilisasi Sentral. Instalasi Sterilisasi Sentral
mempunyai kegiatan mengelola semua kebutuhan peralatan dan
perlengkapan tindakan bedah serta non bedah. Mulai dari penerimaan,
pengadaan, pencucian, pengawasan, pemberian tanda steril penyusunan dan
pengeluaran barang – barang hasil sterilisasi ke unit pemakaian di RS.
2) Tekhnik sterilisasi
Sebelum memilih tehnik sterilisasi yang tepat dan efisien diperlukan
pemahaman terhadap kemungkinan adanya kontaminasi dari bahan dan alat
yang akan disterilkan.
Kontaminasi terjadi karena adanya perpindahan mikroorganisme yang
berasal dari berbagai macam sumber kontaminasi.
Sumber kontaminasi dapat berasal dari :
a) Udara yang lembab atau uap air.
b) Perlengkapan dan peralatan di rumah sakit.
c) Personalia yang di rumah sakit (kulit, tangan, rambut dan saluran nafas
yang terinfeksi).
d) Air yang tidak disuling dan tidak disterilkan.
e) Ruang yang tidak dibersihkan dan di desinfektan.
f) Pasien yang telah terinfeksi.
Sterilisasi dimaksudkan untuk membunuh atau memisahkan semua
mikroorganisme ditetntukan oleh daya mikroorganisme terhadap tehnik
sterilisasi.
Tehnik sterilisasi ada beberapa cara :
a) Sterilisasi dengan pemanasan :
1) Pemanasan basah dengan Autoklaf
2) Pemanasan kering dengan pemijatan dan udara panas.
3) Pemanasan dengan bactericid.
b) Sterilisasi dengan penyaringan.
c) Sterilisasi dengan menggunakan zat kimia.
d) Sterilisasi dengan penyinaran.
Pemilihan tehnik sterilisasi berdasarkan pertimbangan
a) Tehnik yang murah, cepat dan sederhana.
b) Hasil yang diperoleh benar – benar steril.
c) Bahan yang disterilkan tidak boleh mengalami perubahan.
3) Pengawasan
Suatu bahan steril yang dihasilkan selama dalam penggunaan harus dapat
dijamin kualitas dan kuantitasnya. Waktu kadaluwarsa suatu bahan steril
sangat tergantung kepada tehnik sterilisasi. Pengawasan terhadap proses
sterilisasi dapat dilakukan dengan cara mentest bahan atau alat yang
dianggap masih steril dengan memakai indicator fisika, kimia dan biologi
tergantung pada tehnik sterilisasi yang digunakan waktu mensterilkan
bahan/alat tersebut.
4) Pengujian
Ada tiga pilihan yang dapat digunakan sebagai tehnik dalam pengujian
sterilisasi :
a) Pemanasan sample langsung pada media pembenihan.
b) Pembilasan penyaring, hasil pembilasan diinkubasikan setelah ditanam
dalam media pembenihan.
c) Penambahan media pembenihan paket ke dalam larutan yang akan diuji
kemudian diinkubasi.
Jaminan hasil penguian dapat dicapai jika pengawasan dimulai semenjak
pemilihan bahan dan alat yang akan disterilkan. Tehnik sterilisasi yang akan
dipakai sampai dengan proses penyimpanan dan pendistribusian bahan / alat
yang sudah steril.
b. Desinfeksi
1) Pengertian
Desinfeksi adalah suatu proses baik secara kimia atau secara fisika dimana
bahan yang patogenik atau mikroba yang menyebabkan penyakit
dihancurkan dengan suatu desinfeksi dan antiseptic.
Desinfektan adalah senyawa atau zat yang bebas dari infeksi yang
umumnya berupa zat kimia yang dapat membunuh kuman penyakit atau
mikroorganisme yang membahayakan menginaktifkan virus.
Antiseptik adalah zat – zat yang dapat membunuh atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme pada jaringan hidup.
Unit kerja yang bertanggung jawab terhadap penyediaan desinfektan dan
antiseptic di rumah sakit adalah Instalasi Farmasi.
Instalasi Farmasi mempunyai kegiatan mulai dari perencanaan, pengadaan,
pembuatan, penyusunan dan penyaluran desinfektan/antiseptic ke unit
pemakai di rumah sakit.
2) Tekhnik desinfeksi
Tehnik desinfeksi yang dilakukan tidak mutlak bebas dari mikroorganisme
hidup seperti pada sterilisasi karena desinfektan/antiseptic tidak
menghasilkan sterilisasi.
Pemilihan desinfetan yang tepat seharusnya memenuhi criteria berikut :
a) Daya bunuh kuman yang tinggi dengan toksisitas yang rendah.
b) Spektrum luas, dapat mematikan berbagai macam mikroorganisme.
c) Dalam waktu singkat dapat mendesinfeksi dengan baik.
d) Stabil selama dalam penyimpanan.
e) Tidak merusak bahan yang didesinfeksi.
f) Tidak mengeluarkan bau yang mengganggu.
g) Desinfektannya sederhana dan tidak sulit pemakaiannya.
h) Biaya murah dan persediaannya tetap ada dipasaran.
Faktor yang mempengaruhi pemilihan desinfektan yaitu sifat-sifat zat
kimia yang akan digunakan seperti konsentrasi, temperature, pH dan
bentuk formulasinya disamping itu kepekaan mikroorganisme terhadap
kerja zat kimia serta lingkungan dimana desinfektan tersebut akan
digunakan.
3) Pengawasan
Pengawasan desinfeksi dilakukan terhadap penggunaan desinfeksi sangat
tergantung kepada pengaruh suhu, pencemaran, pH, aktifitas permukaan,
jumlah mikroorganisme dan adanya zat-zat yang mengganggu pada waktu
mempergunakan desinfektan.

B. Pendidikan dan Pelatihan


1. Definisi
Pendidikan dan pelatihan Sumber daya Manusia bidang kesehatan yang
selanjutnya disebut DIKLAT adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar
dalam rangka meningkatkan kemampuan SDM.
Pelatihan perlu mengembangkan suasana pembelajaran yang aktif (active
learning), pembelajaran kreatif (creative learning), pembelajaran efektif (effective
learning), dan pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning).
Pembelajaran yang aktif (active learning), adalah pembelajaran yang berpusat
pada peserta pelatihan. Semua aktivitas pembelajaran sebagai rangkaian proses
belajar harus dikerjakan oleh peserta pelatihan dengan penuh rasa kesadaran dan
tanggung jawab. Penetapan permasalahan, cara pemecahan, hingga penarikan
kesimpulan untuk diimplementasikan dalam nilai social dan lingkungannya,
seluruhnya dilakukan oleh peserta diklat. Fasilitator dengan sedikit intervensi
terhadap aktivitas peserta diklat.
Pembelajaran kreatif (creative learning), merujuk pada terwujutnya kreativitas
dan inovasi berfikir peserta diklat dalam menyatu-kaitkan perolehannya dalam
belajar, sehingga mempunyai kebermaknaan. Manurut Ausuble pembelajaran ini
diistilahkan dengan belajar bermakna (meaningfull learning).
Pembelajaran efektif (effective learning), merujuk pada kuantitas dan kualitas
belajar dengan periode tertentu. Pembelajaran yang efektif tentunya yang dapat
mencapai tujuan secara maksimal dengan menggunakan daya dukung yang
optimal.
Pembelajaran yang menyenangkan (joyfull learning), merujuk pada suasana
menyenangkan yang berlangsung selama pembelajaran. Suasana belajar bebas
tanpa tekanan. Dengan demikian peserta diklat akan dapat mengembangkan
semua potensi yang dimiliki.
2. Tujuan
Tujuan pelaksanaan diklat antara lain:
a.Meningkatkan pengetahuan, keahlian, keterampilan, dan sikap untuk dapat
melaksanakan tugas jabatan secara profesional dengan dilandasi kepribadian
dan etika sesuai dengan kepribadian Rumah sakit.
b. Menciptakan SDM yang mampu menjadi pembaharu dan meningkatkan
silaturahmi
c.Menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
jabatan secara professional demi terciptanya tim yang solid
3. Sasaran
Sasaran Diklat adalah terwujudnya SDM yang memiliki kompetensi yang sesuai
dengan persyaratan jabatan masing-masing
4. Assessment diklat
Kesalahan asesmen sering terjadi pada pelaksanaan diklat yang masih tradisional.
Penentuan pencapaian kompetensi dilakukan dengan tes, peserta diklat
mengerjakan seperangkat tes yang hanya menggambarkan aspek kognisi saja.
Sesuai dengan rumusan kompetensi yang akan dikembangkan dalam diklat maka
asesmen perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1)      Alternative assessment.
2)      Informasi kinerja akan memberikan validitas memadai jika pemunculannya
secara alami Informasi kinerja peserta muncul setiap saat, hal ini
mengisyaratkan asesmen dilakukan pada setiap saat , baik awal
pembelajaran, proses  pembelajaran, maupun setelah pembelajaran. Asesmen
berprinsip pada Class Assessment.
3)      Informasi kinerja yang perlu diukur perkembangannya, meliputi berbagai
aspek baik pengetahuan, sikap, maupun ketrampilan. Asesmen tidak dapat
menggunakan satu macam alat/cara, tetapi harus menggunakan berbagai
macam alat/cara. Asesmen berprinsip pada tanpa adanya paksaan atau
tekanan. Asesmen berprinsip pada Authentic assessment.
Disamping asesmen memberikan informasi untuk menentukan pencapaian kriteria
kompetensi yang telah ditetapkan, asesmen hendaknya juga dapat sebagai
informasi umpan balik baik pelaksana diklat, fasilitator maupun stake holder
lainnya.
Berbagai bentuk asesmen yang dapat dikembangkan antara lain :
1)         Tes (pilihan ganda, esai)
2)         Portofolio
3)         Performance, dll

C. Surveilans
Meskipun berbagai upaya pencegahan infeksi nosokomial di rumah sakit telah
dilaksanakan secara optimal, agaknya infeksi nosokomial di rumah sakit akan tetap
terjadi, namun demikian jumlah kejadian yang lebih sedikit.
Oleh karena itu, untuk mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan program pengendalian
infeksi nosokomial serta upaya penanggulangannya bila terjadi wabah atau kejadian luar
biasa, perlu dilaksanakan surveilans infeksi nosokomial di rumah sakit.
Surveilans adalah pengamatan yang sistematis aktif dan terus menerus terhadap
timbulnya penyebaran penyakit pada suatu populasi serta keadaan atau peristiwa yang
menyebabkan meningkat atau menurunnya resiko untuk terjadinya penyebaran penyakit.
Analisa data dan penyebaran data yang teratur merupakan bagian penting dalam proses
itu.
Kegiatan surveilans meliputi :
1. Merumuskan kasus / Kriteria diagnostic
Kasus yang akan disurvei perlu dirumuskan atau dibuat suatu criteria diagnostic yang
jelas dan teliti yang perlu ditaati secar konsisten dalam proses pengumpulan data
terutama beberapa jenis penyakit infeksi yang sering terjadi di rumah sakit.. Ada
beberapa rumusan kasus / criteria diagnostic yang akan dibicarakan dibawah ini :
a. Infeksi luka operasi
Infeksi luka operasi nosokomial adalah infeksi yang terjadi pada operasi
bersih atau operasi bersih tercemar, atau pada infeksi dapat di kultur kuman
yang berasal dari rumah sakit.
Infeksi luka operasi dibedakan menjadi :
1) Luka operasi superficial
a) Infeksi terjadi dalam waktu 30 hari setelah operasi.
b) Dan Infeksi terjadi pada luka insisi.
c) Meliputi kulit, subkutan atau otot diatas fasia.
d) Salah satu criteria berikut :
 Daerah luka tampak kemerahan dan/atau muncul pus
pada luka
 Biakan mikroorganisme positif dari cairan luka.
 Ahli bedah membuka luka operasi karena ada tanda
inflamasi.
2) Luka operasi profunda
a) Infeksi terjadi dalam waktu 30 hari (1 bulan) setelah operasi
bila tak ada implant / protheses atau infeksi terjadi dalam 1
(satu) tahun bila dipasang implant.
b) Infeksi ada hubungannya dengan operasi tersebut.
c) Meliputi jaringan atau rongga dibawah fasia.
d) Salah satu dari criteria berikut :
 Luka tampak kemerahan dan/atau Pus dari drain
dibawah fasia.
 Luka operasi dihisensi secara spontan atau dibuka oleh
ahli bedah sewaktu pasien demam 380C dan atau
terdapat nyeri local.
 Abses atau tanda infeksi lain yang langsung terlibat
waktu pemeriksaan, waktu operasi atau secara
histopatologis.
3) Infeksi luka operasi pada neonates
a) Gejala timbul dalam 1–2 minggu berupa tanda–tanda radang
ditempat/disekitar luka operasi seperti panas, merah, bengkak,
bernanah dan disertai gejala umum : malas minum,
hipotermi/hipertermi, takikardia/apnea, hipoglikemia, muntah
dan sebagainya.
b) Tanda–tanda infeksi terdapat dipermukaan atau lebih dalam
sehingga menimbulkan gejala sepsis.
c) Biakan dari nanah didapat Gram positif atau Gram negative.
4) Infeksi luka operasi pada anak
a) Ada tanda radang seperti panas, bengkak, merah dan adanya
pus ditempat operasi, selulitus atau sepsis pada infeksi yang
lebih dalam dengan gejala panas, muntah, anak gelisah.
b) Biakan kuman : Gram positif atau Gram negative.
Jenis Operasi :
1) Operasi Bersih :
- Operasi pada kasus non trauma.
- Operasi yang tak mengenai daerah dengan tanda infeksi.
- Operasi yang tak membuka respiratori, urinarius.
- Umumnya luka operasi ditutup primer dan tak dipasang drain.
Mis : FAM, hernia, lipoma, tiroid, internal fixasi pada fraktur–fraktur
tertutup.
2) Operasi bersih tercemar :
- Operasi membuka disgestivus dengan pencemaran nyata.
- Operasi membuka biliair dengan empedu yang terinfeksi.
- Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
- Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
- Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.
Mis : Appendektomi akut dan kronis, kholesistektomi, section alta.
3) Operasi Tercemar :
- Operasi membuka getivus dengan pencemaran nyata.
- Operasi membuka billiard dengan empedu yang terinfeksi.
- Operasi membuka urinarius dengan urine yang terinfeksi.
- Operasi membuka respiratorius dengan infeksi respiratoris.
- Operasi pada luka karena trauma yang bersih dan kurang dari 6 jam.
Mis : Kholesistektomi pada empyeme KE, operasi membuka kolon dengan
pencemaran isi usus luka tusuk tanpa menembus.
4) Operasi kotor :
- Operasi perforasi digestivus, billair, urinarius, respiratosius.
- Operasi yang mengenai daerah inflamaasi bakteriel.
- Operasi melalui daerah bersih untuk membuka bases.
- Operasi luka trauma dengan ada jaringan yang non vital/benda
asing/kontaminasi feces, kejadian ditempat yang kotor,
pertolongan/operasi dilakukan 6 jam setelah trauma.
Mis : Traimatic mputasi, trauma tumpul abdomen dengan perforasi usus,
trauma kotor dengan korpus alineum.
b. Infeksi saluran kemih
Infeksi saluran kemih nosokomial ialah infeksi saluran kemih yang pada
pasien masuk rumah sakit belum ada atau tidak dalam masa inkubasi dan
didapat sewaktu dirawat atau sesudah dirawat.
Infeksi saluran kemih dapat disebabkan :
 Endogen
perubahan flora normal.
 Eksogen :
a) prosedur yang tidak bersih / steril
b) tangan yang tidak dicuci sebelum prosedur.
Penggolongan infeksi saluran kemih nosokomial adalah sebagai berikut:
1) Infeksi Saluran Kemih Simtomatik
Dengan salah satu kriteria dibawah ini :
Salah satu gejala ini :
- Demam > 380C
- Disuria
- Nikuria (urgency)
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik.
Dan biakan urin >100.000 kuman/ml dengan tidak lebih dari dua jenis
mikroorganisme
Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik
dan salah satu tanda :
- Tes carik celup (dipstick) positif untuk leukosit esterase dan atau nitrit.
- Pluria (10 lekosit/ml atau >3 lekosit/LPB) pada urine yang tidak
disentrifus.
- Mikroorganisme positif pada pewarnaan gram pada urine yang tidak
disentlifus.
- Biakan urine dua kali dengan hasil kuman uropatogen yang sama dengan
jumlah >100.000 kuman/ml dari urin yang diambil secara steril.
- Biakan urin dengan hasil satu jenis kuman uropatogen dengan jumlah
100.000 kuman/ml dan pasien diberi antibiotic yang sesuai.
- Diagnosis oleh dokter.
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
2) Infeksi saluran kemih asimtomatik
Dengan salah satu criteria dibawah ini :
memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dan tak ada
gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri suprapubik
Biakan urin dengan jumlah >100.000 kuman/ml urin dengan tak lebih dari
dua jenis kuman.
tidak memakai kateter dower selama 7 hari sebelum biakan urin dengan
dua kali hasil biakan >100.000/ml dengan mikroorganisme yang sama
yang tak lebih dari dua jenis dan tak ada gejala :
- Demam 380C
- Disuria
- Nikuria
- Polakisuria
- Nyeri Suprapubik
3) Infeksi Saluran Kemih lain.
dari ginjal, ureter, kandung kemih, uretra atau jaringan retroperito neal
atau rongga perinefrik) dengan salah satu criteria dibawah ini :
• Biakan positif dari cairan atau jaringan yang diambil dari lokasi yang
dicurigai.
• Ditemukan abses atau tanda infeksi pada pemeriksaan atau operasi atau
secara hispatologis.
• Dua dari gejala :
- Demam 380C
- Nyeri local pada daerah yang dicurigai.
- Nyeri tekan pada daerah yang bersangkutan.
• Dan salah satu dari tanda :
- Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
- Biakan darah positif
- Radiologi terdapat tanda infeksi
- Diagnosis dokter
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai
• Pasien berumur <12 bulan dengan salah satu gejala :
- Demam 380C
- Hipotermia
- Apneu
- Bradikardi
- Disuria
- Letargi
- Muntah
• Dan salah satu dari tanda :
- Drenase purulen dari daerah yang dicurigai.
- Biakan darah positif
- Radiologi terdapat tanda infeksi
- Diagnosis dokter
Dokter memberikan terapi antibiotika yang sesuai.
4) Infeksi Saluran Kemih pada neonates
- Bayi tampak tidak sehat, kuning, muntah, hipertermi/ hipotermi, gagal
tumbuh (gejala sama dengan sepsis).
- Infeksi ini dapat pula disebabkan oleh sepsis.
- Laboratorium : pemeriksaan mikroskopik dan biakan urin dari punksi
suprapubik. Biakan urin positif kalau ditemukan kuman lebih dari
100.000/ml urin.
5) Infeksi Saluran Kemih pada Anak
- Dapat dengan atau tanpa gejala. Makin muda usia anak makin tidak khas.
- Gejala : panas, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan, kadang
– kadang diare atau kencing yang sangat berbau.
- Pada usia prasekolah gejala klinis berupa sakit perut, muntah, panas,
sering kencing dan ngompol. Pada anak yang lebih besar gejala spesifik
makin jelas seperti ngompol, sering kencing, sakit waktu kencing atau
nyeri pinggang.
- Gejala infeksi timbul sesudah dilakukan punksi suprapubik, kateterisasi
buli-buli.
- Apabila biakan kuman dalam urin pada waktu masuk dan saat diperiksa
berbeda.
- Diagnosis : Klinik dan laboratorik.
- Laboratorik : hasil biakan urin yang diambil melalui suprapubik
dikatakan positif apabila jumlah kuman sama atau lebih dari 200/ml urin.
Dan apabila melalui urin pancaran tengah atau kateterisasi kandung kemih
maka jumlah kuman dalam urin 100.000 atau lebih/ml urin.
- Pemeriksaan lainnya : sediment urin terdapat piuria.
c. Infeksi aliran darah primer
Infeksi Aliran Darah Primer adalah infeksi aliran darah yang timbul tanpa ada
organ atau jaringan lain yang dicurigai sebagai sumber infeksi. Criteria infeksi
aliran darah primer dapat ditetapkan secara klinis dan laboratories dengan
gejala / tanda berikut :
1) Klinis
a). Untuk Dewasa dan anak >12 bulan.
Ditemukan salah satu diantara gejala berikut tanpa penyebab lain :
- Suhu >380C, bertahan minimal 24 jam dengan atau tanpa pemberian
antipiretika.
- Hipotesi, sistolik <90 mmHg.
Oliguri, jumlah urin <0,5 cc/kbBB/jam
Dan
Semua gejala / tanda yang disebut dibawah ini :
- Tidak ada tanda – tanda infeksi di tempat lain.
- Telah diberikan antimikroba sesuai dengan sepsis.
CATATAN :
- Suhu badan diukur secara aksiler selama 5 menit dan diulang setiap 3
jam,
- Apabila pasien menunjukkan gejala, suhu tubuh diukur secara oral atau
rectal.
b). Untuk bayi umur 12 bulan. Ditemukan salah satu gejala / tanda berikut
tanpa penyebab lain :
- Demam >380C
- Hipotermi <370C
- Apnea
- Bradikardi <100x/mnt
Dan
Semua gejala / tanda di bawah ini :
- Tidak terdapat tanda-tanda infeksi ditempat lain.
- Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.
c) Untuk Neonatus
Dinyatakan menderita infeksi aliran darah primer apabila terdapat 3 atau
lebih diantara enam gejala berikut :
- Keadaan umum menurun antara lain : malas minum, hipotermi (<37 0C)
hipertermi (>380C) dan sklerema.
- Sistem kardiovaskuler antara lain :
tanda renjatan yaitu takikardi, 160/mnt atau bradikardi, 100/mnt dan
sirkulasi perifer buruk.
- Sistem pencernaan antara lain : distensi lambung, mencret, muntah dan
hepatomegali.
- Sistem pernafasan antara lain : nafas tak teratur, sesak, apnea dan
takipnea.
- Sistem saraf dan pusat antara lain : hipertermi otot, iritabel, kejang dan
letargi.
- Manifestasi hematology antara lain : pucat, kuning, splenomegali dan
perdarahan.
Dan Semua gejala/tanda di bawah ini :
- Biakan darah tidak dikerjakan atau dikerjakan tetapi tidak ada
pertumbuhan kuman.
- Tidak terdapat tanda–tanda infeksi ditempat lain.
- Diberikan terapi antimikroba sesuai dengan sepsis.
2) Laboratorik
Untuk orang dewasa dan anak umur >12 bulan.
Ditemukan satu diantara 2 kriteria berikut :
a). Kuman pathogen dari biakan darah dan kuman tersebut tidak ada
hubungannya dengan infeksi ditempat lain.
b). Ditemukan satu diantara gejala klinis berikut :
- Demam >380C.
- Menggigil
- Hipotensi
- Oliguri
Dan Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman
tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat (organ / jaringan)
lain.
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan
alat intravascular (kateter intravena) dan dokter telah memberikan
antimikroba yang sesuai dengan sepsis.
Untuk bayi <12 bulan, ditemukan satu diantara gejala berikut :
- Demam >380C
- Hipotermi <370C
- Apnea
- Bradikardi <100/mnt
Dan Satu diantara tanda berikut :
- Terdapat kontaminan kulit dari 2 biakan berturut – turut dan kuman
tersebut tidak ada hubungannya dengan infeksi ditempat (organ / jaringan
lain)
- Terdapat kontaminan kulit dari biakan darah pasien yang menggunakan
alat intravaskuler (kateter intravena) dan dokter telah memberikan
antimikroba yang sesuai dengan infeksi
CATATAN :
Untuk neonatus digolongkan infeksi nosokomial apabila :
a). Pada partus normal di rumah sakit infeksi terjadi setelah lebih dari 3
hari.
b). Terjadi 3 hari setelah partus patologik, tanpa didapatkan pintu masuk
kuman.
c). Pintu masuk kuman jelas misalnya luka infuse.
d. Infeksi Luka Infus
Infeksi luka Infus atau Phlebitis adalah infeksi yang terjadi pada tempat
tusukan infuse.
Gejala yang muncul:
 Peradangan atau Kemerahan pada sekitar tusukan
 Adanya nyeri tekan pada daerah tusukan
 Adanya panas pada daerah tusukan
 Adanya bengkak pada daerah tusukan
e. Infeksi tirah baring
Infeksi tirah baring atau decubitus adalah luka yang terjadi karena penekanan
yang terlalu lama pada suatu bagian tubuh. Berawal dari lesi sampai nekrotik
tergantung kedalaman luka. Awal decubitus terjadi karena tirah baring pasif
selama 2 jam atau lebih pada pasien yang mengalami imobilitas total.
Gejala
Stage 1 terjadi peradangan berupa kulit yang kemerahan dan panas pada
bagian tubuh yang mengalami penekanan
Stage 2 kulit mengelupas daerah sekitar luka kemerahan
Stage 3 luka lebih dalam, mungkin terdapat jaringan necrotic
Stage 4 luka sangat dalam, terdapat jaringan necrotic disertai kehilangan otot.
f. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan atau Pnemonia merupakan peradangan jaringan
atau parenkim paru-paru. Dasar diagnose pneumonia dapat berdasarkan 3 hal
yaitu gejala klinis, radiologis, dan laboratorium. Ada 2 jenis pneumonia yang
berhubungan dengan IRS yaitu Pneumonia yang didapatkan akibat perawatan
yang lama atau sering disebut sebagai hospital acquired pneumonia (HAP)
dan pneumonia yang terjadi akibat pemasangan ventilasi mekanik atau sering
disebut dengan ventilator associated pneumonia (VAP).
Faktor Risiko Pneumonia/VAP:
- Instrumentasi sistem saluran nafas
- Tindakan operasi(operasi thorax dan abdomen)
- Kondisi yang mudah menyebabkan aspirasi (pemasangan pipa lambung,
kesadaran menurun, disfagia)
- Usia tua
- Obesitas
- Pemakaian ventilasi mekanik yang lama
- Uji fungsi paru abnormal (menurunnya kecepatan expirasi)
Ventilator Associated Pneumoniae (VAP)
Pneumonia terkait ventilator (VAP) adalah infeksi saluran nafas bawah yang
mengenai parenkhim paru dan terjadi > 48 jam setelah pemakaian ventilasi
mekanik dan sebelumnya tidak ditemukan tanda-tanda infeksi saluran nafas.
Agen penyebab VAP antara lain Pseudomonas aeruginosa, Acinobacter spp,
Methillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), Escherichia coli,
Klebsiella spp.
Hospital Aqcuired Pneumonia (HAP)
HAP adalah infeksi saluran nafas bawah yang mengenai parenkim paru
setelah pasien dirawat di RS > 48 jam tanpa dilakukan tindakan intubasi dan
sebelumnya tidak menderita infeksi saluran nafas bawah. HAP dapat ditandai
dari onsetnya awal atau lambat. HAP onset awal, timbul dalam 4 hari pertama
perawatan sering disebabkan oleh kuman M. catarrhalis, H. Influenzae dan S.
pneumoniae sedangkan HAP onset lambat sering berupa gram negative atau
MRSA. Virus dapat menyebabkan HAP onset awal atau lanjut sedang jamur,
Pneumocystis carinii, Legionella dan kapang umumnya menyebabkan HAP
onset lambat.
Tanda dan gejala klinis pneumonia
Minimal dari tanda dan gejala berikut ini:
- demam (>380C) tanpa ditemui penyebab lainnya;
- leukopenia atau leukositosis,
- untuk penderta berumur > 70 tahun, adanya perubahan status mental yang
tidak ditemui penyebab lainnya
Dan minimal disertai 2 tanda berikut
- Timbulnya onset baru sputum purulen atau perubahan sifat sputum
- Munculnya tanda atau terjadinya batuk yang memburuk atau dyspnea atau
tachypnea
- Ronki basah atau suara nafas bronkial
- Memburuknya pertukan gas misal desaturasi O2 (PaO2/FiO2 < 240),
peningkatan kebutuhan oksigen atau perlunya peningkatan ventilator.
Tanda radiologis pneumonia
Bukti adanya pneumonia secara radiologis adalah bila ditemukan > 2 foto
serial didapatkan minimal 1 tanda berikut:
- Infiltrat baru atau progresif yang menetap
- Konsolidasi
- Kavitasi
- Pnuematoceles pada bayi berumur < 1 tahun
Untuk bayi < 1 tahun
Buruknya pertukaran gas
dan
Minimal disertai 3 tanda berikut:
- Suhu yang tidak stabil yang tidak ditemukan penyebab lainnya
- Lekopeni atau lekositosis dan gambaran darah tepi terlihat pergeseran ke kiri
(>10% bentuk netrofil bentuk batang)
- Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan karakter sputum atau
adanya peningatan sekresi pernafasan atau peningkatan keperluan
penghisapan (suctioning)
- Apneu, tachypneu atau pernafasan cuping hidung dengan retraksi dinding
dada
- Ronki basah kasar maupun halus
- Batuk,
- Bradikardi atau takikardi.
Untuk anak > 1 tahun atau berumur < 12 tahun
Minimal ditemukan 3 dari tanda berikut:
- Demam (suhu >38,40C atau hipotermia < 36,50C) yang tidak ditemukan
penyebab lainnya
- Lekopeni atau lekositosis (AL > 15.000/mm3)
- Munculnya onset baru sputum purulen atau perubahan karakter sputum atau
adanya peningatan sekresi pernafasan atau peningkatan keperluan
penghisapan (suctioning)
- Onset baru dari memburuknya batuk, Apneu, tachypneu
- Wheezing, ronki basah kasar maupun halus
- Memburuknya pertukaran gas, misal pO2 < 94%
g. Kejadian Luar biasa
Kejadian luar biasa adalah kejadian infeksi yang muncul di masyarakat
berdasarkan data epidemiologis dan kejadian yang tiba-tiba muncul dan/atau
muncul kembali di suatu tempat di sekitar rumah sakit.
2. Pengumpulan data
Data minimal yang perlu dikumpulkan antara lain adalah nama pasien, umur, jenis
kelamin, nomor rekam medik, nama ruang, tanggal kejadian. Data lain dapat
dikumpulkan hanya apabila akan dilakukan analisis, kadang – kadang dicatat juga
diagnosis primer invasive yang dilakukan sebelum terjadi infeksi dan antibiotika yang
diberikan.
a. Pengumpulan data monitoring pengendalian infeksi nosokomial
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka infus (phlebitis) :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terpasang infus dan setiap
mengganti infus pada format monitoring infus pasien rawat inap.
2). Perawat mencatat kejadian infeksi luka infus pada format yang tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang / anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi luka infus.
4). Kepala ruang melaporkan bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi luka operasi :
1). Perawat OK/ruangan mempunyai pengetahuan tentang Operasi Bersih,
Operasi Bersih Terkontaminasi dan operasi kotor.
2). Perawat OK mengisi lembar monitoring operasi terhadap semua pasien yang
dilakukan tindakan operasi.
3). Perawat ruangan memonitor tanda–tanda infeksi yang terjadi pada luka
operasi bersih selama dirawat di rumah sakit.
4). Perawat mencatat kejadian infeksi luka operasi bersih pada format yang
tersedia.
5). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi luka operasi bersih.
6). Kepala ruangan melaporkan kepada PPI.
7). PPI mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada Forum
mutu RS Nur Hidayah.
 Pelaksanaan pengumpulan data untuk angka kejadian decubitus :
1). Perawat pelaksana melakukan pencatatan kegiatan alih baring pada form
monitoring tirah baring pasien
2). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terpapar decubitus pada format yang
disediakan
3). Perawat mencatat kejadian decubitus pada format yang tersedia .
4). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
decubitus.
5). Kasubbag ranap melaporkan kejadian kepada Bagian Keperawatan dan PPI.
6). PPI mengevaluasi dan menganalisa serta membuat laporan kepada Forum
mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi post tindakan di IGD atau
Poliklinik :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi tindakan.
2). Perawat mencatat kejadian infeksi post tindakan pada format yang tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi post tindakan.
4). Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi Saluran kencing :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi saluran kencing.
2). Perawat mencatat kejadian infeksi saluran kencing pada format yang tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi saluran kencing.
4). Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
• Pelaksanaan pengumpulan data untuk infeksi epidemic dan kejadian luar biasa :
1). Perawat pelaksana mencatat pasien yang terkena infeksi epidemic dan
kejadian luar biasa.
2). Perawat mencatat kejadian epidemic dan kejadian luar biasa pada format
yang tersedia.
3). Tiap awal bulan kepala ruang/anggota PPI yang ditunjuk merekap kejadian
infeksi epidemic dan kejadian luar biasa.
4). Kepala ruang melaporkan kepada bagian Keperawatan dan PPI.
5). PPI melaporkan kepada forum mutu untuk menjadi laporan mutu.
b. Sekretaris dan anggota PPI :
1). Mengevaluasi laporan/data monitoring pengendalian infeksi yang sudah
tersedia.
2). Membuat analisa outbreak infeksi bersama-sama dengan perawat dan dokter.
3). Membuat kesimpulan terjadinya infeksi kepada forum mutu.
4). Membuat laporan rekapitulasi infeksi nosokomial setiap 6 bulan.
5). Untuk KLB (Kejadian Luar Biasa) dilaporkan setiap saat / setiap kejadian.
c. Direktur menerima laporan dari PPI melalui forum mutu dan menindak lanjuti
laporan tersebut.
3. Penyebaran data / informasi
Data infeksi nosokomial yang sudah tersedia dan di analisa oleh PPI di lakukan
evaluasi setiap bulan dan di analisis ulang minimal dalam 2 tahun sekali.
Setelah ada tindak lanjut dari Direktur, laporan di sebarluaskan atau di informasikan
ke PPI, dan bagian terkait.
Laporan KLB dilaporkan ke dinas kesehatan segera setelah terjadi kejadian. Laporan
kejadian PPI dilaporkan secara periodic minimal 1 kali dalam 1 tahun ke dinas
kesehatan setempat.
D. Penggunaan Obat Antibiotik secara Rasional
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia sampai
saat ini, oleh akrena itu antibiotic masih tetap diperlukan. Perkembangan yang pesat di
bidang Farmasi mengingkatkan produksi obat – obatan baru khususnya antibiotic.
Produksi antibiotic yang meningkat menyebabkan banyaknya antibiotic yang beredar
dipasaran baik dalam jumlah, jenis maupun mutu.
Untuk mencegah pemakaian antibiotic yang tidak tepat sasaran, atau kurang rasional
maka perlu dibuat suatu pedoman pemakai antibiotic. Oleh karena penggunaan antibiotic
yang tidak rasional akan menyebabkan timbulnya dampak negative seperti terjadinya
kekebalan kuman terhadap beberapa antibiotic, meningkatnya kejadian efek samping
obat, biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi yang pada gilirannya akan merugikan
pasien.
Atas dasar semuanya ini perlu ada kebijakan rumah sakit tentang pengaturan penggunaan
antibiotic agar dapat menekan serendah–rendahnya efek yang merugikan dalam
pekamaian / penggunaan antibiotic.
1. Tujuan
Untuk membudayakan penggunaan antibiotic secara rasional di rumah sakit sebagai
upaya dalam meningkatkan mutu pelayanan sesuai dengan fungsi rumah sakit dengan
tidak mengurangi tanggung jawab professional dari dokter dan apoteker dalam
pengobatan terhadap pasien.
2. Prinsip penggunaan antibiotic
pemilihan antibiotic hendaknya didasarkan atas pertimbangan berbagai factor yaitu
spectrum antibiotic, efektifitas, sifat–sifat farmakokinetik, keamanan, pengalaman
klinik sebelumnya, kemungkinan terjadinya resistensi kuman, super infeksi dan harga
yang terjangkau.
Arti penting dari pertimbangan factor–factor ini tergantung dari derajat penyakit dan
tujuan pemberian antibiotic apakah untuk profilaksis atau untuk terapi. Diagnose
penyebab infeksi sedapat mungkin ditegakkan melalui tata laksana pemeriksaan
mikrobiologi klinik yang relevan beserta interprestasi antibiogram yang memadai dan
informasi klinik/farmasi klinik mengenai jenis–jenis antibiotic yang tersedia.
Idealnya setiap pasien infeksi perlu dilakukan pemeriksaan mikrobiologis yaitu
pembuatan sediaan Gram, kultur kuman dan uji kepekaannya untuk menunjang
diagnose klinis dan pemberian pengobatan yang tepat.
Kultur kuman dan uji kepekaan terhadap antibiotic harus dilakukan pada penyakit–
penyakit berikut : sepsis, meningitis, peritonitis, salmonelosis, sigelosis, keracunan
makanan karena bakteri, ISPA, tuberculosis dan kandidiasis. Pengambilan spesiman
pemeriksaan mikrobiologis dilakukan sebelum pengobatan.
Dalam hal uji biakan dan uji kepekaan kuman belum ada hasilnya atau tidak bisa
dikerjakan, pemilihan antibiotika ditentukan berdasarkan penilaian klinik penderita,
jadi bukan semata–mata atas dasar hasil biakan kuman.
3. Pemberian antibiotic
a. Profilaksis
1) Bedah
2) medik
b. Terapiutik
1) Empiric
2) Definitive
Pada antibiotic profilaksis bedah tujuan utama adalah untuk mengurangi terjadinya
ILO dengan mengupayakan konsentrasi antibiotic yang mematikan mikroorganisme
pada saat sayatan dimulai sampai operasi selesai.
Secara spesifik antibiotic profilaksis bedah adalah untuk mencegah :
• Infeksi yang sering terjadi.
• Terjadi infeksi local yang berat (pada protesis sendi, protesis vaskuler).
• Kemungkinan terjadinya infeksi sistemik yang berat pada pasien yang beresiko
tinggi.
• Kemungkinan infeksi fatal (operasi penggantian katup jantung).
Syarat pemberian profilaksis adalah antibiotic yang tepat, harus diberikan dalam
jangka waktu yang tepat pada lokasi yang tepat dan konsentrasi yang tepat. Antibiotik
haus diberikan dengan cara yang tepat tidak boleh mengganggu pasien atau
lingkungannya, tidak boleh menyebabkan kekebalan dan harganya murah.
Dalam memilih antibiotic profilaksis hendaknya diperhatikan hal–hal sebagai berikut
• Spektrum bakterisida.
• Kemungkinan resistensi
• Cara pemberian dan penyerapannya.
• Konsentrasi pada lokasi infeksi.
• Lama bekerja
• Metabolisme
• Bukti klinis yang baik
• Toksisitas yang rendah
• Efek samping
• Harga.
BAB V

LOGISTIK

Agar program PPI dapat berjalan dengan baik, diperlukan beberapa peralatan yang dapat
melindungi person dari infeksi baik dari pasien ke petugas, pasien ke pasien lain, maupun pasien
ke keluarga pasien. Beberapa logistic yang diperlukan dalam program PPI antara lain:

1. Hand hygiene
Penjelasan tentang hand hygiene diatur dalam panduan hand hygiene Rumah Sakit Umum
Kharisma Paramedika
2. Alat pelindung diri
Penjelasan tentang APD diatur dalam panduan APD Rumah Sakit Umum Kharisma
Paramedika
3. Pengelolaan limbah rumah sakit
Penjelasan tentang pengaturan limbah RS di atur dalam panduan pengelolaan limbah B3
Rumah Sakit Umum Kharisma Paramedika
Pengadaan logistic PPI di sesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bagian yang
terkait.
BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

Standar Keselamatan Pasien wajib diterapkan rumah sakit dan penilaiannya dilakukan
dengan menggunakan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit. Standar keselamatan pasien tersebut
terdiri dari tujuh standar yaitu:
1. hak pasien
2. mendidik pasien dan keluarga
3. keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
4. penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan
5. peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
6. mendidik staf tentang keselamatan pasien
7. komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit
yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada
Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint
Commission International (JCI).
Enam sasaran keselamatan pasien (SKP) adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut :
Sasaran I : Ketepatan Identifikasi Pasien
Sasaran II : Peningkatan Komunikasi Yang Efektif
Sasaran III : peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high-alert)
Sasaran IV : kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat pasien operasi
Sasaran V : Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Sasaran VI : Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Sasaran keselamatan pasien dalam program PPI merupakan uraian dari SKP V antara lain:
1. hand hygiene
hand hygiene sebagai kewaspadaan standar untuk pencegahan transmisi infeksi dari seorang
person ke person yang lain di jadikan standar baku dalam upaya pencegahan dan
penanggulangan infeksi.
2. Alat pelindung diri
Setiap petugas harus memakai alat pelindung diri sebagai barier awal pencegahan infeksi.
Selain itu, keluarga dan pasien juga perlu dipahamkan tentang alat pelindung diri agar tidak
terjadi infeksi nosokomial.
1.
BAB VII

KESELAMATAN KERJA

A. Pengertian
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya untuk memberikan jaminan kesehatan
dan meningkatkan derajad karyawan dengan cara pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat
kerja, pengendalian bahaya ditempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan dan rehabilitasi.
Kesehatan kerja bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan fisik mental
dan social yang setinggi-tingginya bagi karyawan pada semua jenis pekerjaan, pencegahan
terhadap gangguan kesehatan karyawan yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan terhadap karyawan dalam pekerjaannya dari resiko akibat factor yang merugikan
kesehatan, dan penempatan serta pemeliharaan karyawan dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya.
B. Tujuan
Terciptanya cara kerja, lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman dan dalam rangka
meningkatkan derajat kesehatan karyawan RS
C. Sasaran
Sasaran K3 RS meliputi:
1. Rumah sakit
2. Karyawan RS
3. Pasien dan pengunjung RS
D. Identifikasi sumber bahaya
Bahaya potensial yang mugkin muncul:

No Bahaya potensial lokasi Karyawan yang


. berpotensi
1 HIV, Hepatitis UGD, OK, poli gigi, Dokter, dokter gigi,
B, non-A dan laboratorium, linen perawat, analis, sanitasi
non-B dan petugas linen
2 Cytomegalovirus VK, ruang anak Dokter dan perawat
3 Rubella Ruang ibu dan anak Dokter dan perawat
4 Tuberculosis Bangsal perawatan, Dokter, perawat, analis,
laboratorium, ruang fisioterapis
isolasi
E. Penyelenggaraan
Pelaksanaan program K3 RS disesuaikan dengan peraturan K3 RS yang berlaku di RS
Nurhidayah
F. Evaluasi
Monitoring pelaksanaan K3 RS dilakukan secara periodic dan kontinyu
BAB VIII

PENGENDALIAN MUTU

A. Monitoring
Monitoring yang diilaksanakan pada program PPI antara lain
1. Pelaporan kejadian tidak diinginkan
2. Pelaporan kejadian phlebitis pada pasien rawat inap
3. Pelaporan kejadian decubitus pada pasien rawat inap
4. Pelaporan kejadian infeksi sistemik (sepsis) pada pasien rawat inap
5. Pelaporan kejadian infeksi post tindakan UGD atau poliklinik
6. Pelaporan kejadian infeksi saluran kemih pada pasien dengan pemasangan dower cateter
7. Pelaporan kejadian infeksi luka post operasi
8. Pelaporan Kejadian Luar Biasa
B. Evaluasi
Evaluasi dilakukan untuk menindaklanjuti adanya kejadian infeksi di rumah sakit
berdasarkan pada hasil surveilans. Tindak lanjut terhadap penanganan dan pencegahan infeksi
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan bagian terkait.
BAB IX

PENUTUP

Pedoman yang dicantumkan merupakan prosedur baku yang harus dilaksanakan


seluruhnya oleh setiap personil Rumah Sakit yang terlibat dan berlaku setiap ruang terkait.
Disadari bahwa keterbatasan sarana dan prasarana serta sumber daya dan dana masih merupakan
kendala di Rumah Sakit Umum Kharisma Paramedika. Namun keterbatasan ini tidak dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menurunkan baku prosedur pelayanan kesehatan yang harus
dberikan kepada pasien. Dengan memiliki pengetahuan dan sikap yang memadai, diharapkan
semua personil Rumah Sakit akan memeiliki perilaku dan kemampuan yang memadai pula
dalam memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia secara bertepat guna dan berhasil guna
dalam pengendalian infeksi secara berencana dan terorganisir dengan baik merupakan suatu
keharusan bagi setiap rumah sakit.

Perbaikan dan pengembangan pada pedoman ini dilaksanaan sesuai dengan peraturan
yang dikeluarkan serta kondisi rumah sakit yang selalu mengalami perubahan. Perlu adanya
dukungan dari masing-masing bagian agar program PPI Rumah Sakit Umum Kharisma
Paramedika dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
DAFTAR PUSTAKA

DepKes RI. Pedoman Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah sakit. Jakarta: Depkes RI.

Hardjana, A. (2001). Training SDM yang Efektif. Yogyakarta: Kanisius.

Humardewayanti, R., & Nugroho. (2012). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Rumah Sakit:
Infeksi saluran Kemih, Infeksi Saluran darah Primer, Infeksi Luka Infeksi dan
Pneumonia. Yogyakarta: FK-UGM.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang


Keselamatan Pasien Rumah Sakit. (2011).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 28 tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan
gizi pangan. (2004)

Setiawati, E. (2004). Surveilans Infeksi Nosokomial. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan


Masyarakat Fakultas Kedokteran UNPAD.

WHO. (2003). Practical Guidelines for Infection Control in Health Care Facilities. Geneva:
WHO Press.

WHO. (2005). World Alliance for Patient Safety WHO Guidelines on Hand Higiene in Health
Care : A Summary. Geneva: WHO press.

Anda mungkin juga menyukai