Anda di halaman 1dari 11

TINDAKAN KESELAMATAN KERJA SEORANG PERAWAT DI

RUMAH SAKIT TERHADAP PENULARAN RANTAI INFEKSI


NOSOKOMIAL KLIEN

NOVITA SARI

novitampii1212@gmail.com

ABSTRAK

Permasalahan Infeksi Nosokomial atau juga dikenal dengan nama Hospital Acquired
Infection (HAI) atau yang dikenal dengan sebutan nosocomion dalam bahasa yunani, nosos
yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Jadi infeksi nosokomial dapat
diartikan sebagai infeksi yang terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita – penderita
yang sedang dalam proses asuhan keperawatan. Perawat dituntut bertanggung jawab menjaga
keselamatan klien di rumah sakit melalui pencegahan penyebaran infeksi. Tetapi pencegahan
penyakit juga dilakukan untuk perawat agar perawat dapat melakukan asuhan keperawatan
dengan baik dan tidak menyebarkan penyakit kepada pasien. Tujuan: Rumah sakit dituntut
untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang sudah
ditentukan dan harus diterapkan agar mengurangi penularan rantai infeksi nosokomial klien
oleh semua kalangan petugas kesehatan terutama tindakan sebagai perawat profesional.
Metode: Metode penulisan ini adalah Literature Riview, dimana ini menganalisis artikel
yang relevan dan berfokus pada tema ataupun judul tindakan keselamatan kerja seorang
perawat di rumah sakit terhadap penularan rantai infeksi nosokomial klien.

Kata kunci: Infeksi nosokomial, tindakan keselamatan, perawat, dan pasien.

LATAR BELAKANG

Permasalahan Infeksi Nosokomial atau juga dikenal dengan nama Hospital Acquired
Infection (HAI) atau yang dikenal dengan sebutan nosocomion dalam bahasa yunani, nosos
yang artinya penyakit dan komeo yang artinya merawat. Jadi infeksi nosokomial dapat
diartikan sebagai infeksi yang terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita – penderita
yang sedang dalam proses asuhan keperawatan.

Rumah sakit merupakan layanan jasa yang memiliki peran penting dalam kehidupan
masyarakat. Rumah sakit merupakan tempat yang sangat komplek, terdapat ratusan macam
obat, ratusan test dan prosedur, banyak terdapat alat teknologi, berbagai macam profesi dan
non profesi yang memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus menerus, dimana
keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikelola dengan baik dapat
terjadi kejadian tidak diharapkan yang mengancam keselamatan pasien (patient safety).

Rumah sakit sebagai salah satu sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan
kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat, dengan melaksanakan upaya kesehatan yang berhasil guna dan
berdaya guna terhadap pelayanan masyarakat, oleh karena itu rumah sakit dituntut untuk
dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar yang telah ditentukan
(Anonim, 2007).

Peran perawat pada berbagai ruang lingkup K3RS secara keseluruhan dirasa penting untuk
diterapkan. Tanpa disadari bahwa, penerapan K3RS perawat di Rumah Sakit dapat
mempengaruhi kualitas perawat, kenyamanan pasien, maupun juga citra Rumah Sakit.
Melalui komunikasi terapeutik perawat sudah dapat menerapkan K3RS kepada pasien yang
dapat mempengaruhi kenyamanan pasien. Seperti misalnya, pada pasien yang akan menjalani
proses pembedahan. Menurut Siswoyo & Roymond (2009), menyatakan bahwa pasien yang
akan menjalani proses pembedahan akan mengalami kecemasan bahkan akan berakibat pada
kualitas kenyamanan pasien yang akan mempengaruhi pasien lainnya. Kecemasan tersebut
terjadi karena pemikiran pasien yang memiliki persepsi bahwa tindakan pembedahan akan
memperburuk kualitas hidupnya. Maka dirasa perlu dilakukan nya komunikasi oleh perawat
demi kenyamanan pasien di Rumah Sakit.

Perawat dituntut bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di rumah sakit melalui
pencegahan penyebaran infeksi. Tetapi pencegahan penyakit juga dilakukan untuk perawat
agar perawat dapat melakukan asuhan keperawatan dengan baik dan tidak menyebarkan
penyakit kepada pasien. Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh perawat dalam pencegahan
yang efektif terhadap infeksi yaitu dengan mengharuskan perawat untuk tetap mewaspadai
penularan penyakit dengan cara mengontrolnya. Seperti peralatan yang terkontaminasi dan
benda yang kotor (Darmadi, 2010)

Penyakit yang disebabkan oleh infeksi merupakan penyebab utama tingginya angka sakit dan
kematian di dunia. Perawat di dalam melakukan kegiatan kerjanya di rumah sakit akan
bertemu dengan berbagai macam pasien dengan berbagai macam penyakit yang menjadi
keluhannya. Penyakit-penyakit yang di derita pasien akan dapat tertular ke perawat saat
perawat tersebut sedang melakukan asuhan keperawatan. Oleh karena itu perawat harus
mempunyai pengetahuan dan dapat melakukan pencegahan penyakit infeksi. Pelatihan
merupakan komponen penting dalam upaya mengembangkan pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Pelatihan mengenai K3 harus diberikan kepada secara berkesinambungan agar
dapat memiliki pengetahuan dan dapat meningkatkan kinerja mereka.

Kecelakaan kerja yang tinggi di setiap bidang pekerjaan disebabkan oleh multifaktor. Salah
satu penyebab kecelakaan kerja yaitu tidak diterapkannya analisa potensi bahaya dan
penilaian risiko terhadap bahaya-bahaya yang ada sehingga tidak terdapat pencegahan yang
memadai terhadap bahaya yang kemungkinan dapat terjadi di perusahaan (Dualembang,
2017). Sebagai upaya pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, perlu
dilakukan identifikasi sumber bahaya yang ada di tempat kerja dan dievaluasi tingkat
risikonya serta dilakukan pengendalian yang memadai. Pengendalian risiko dilakukan pada
seluruh bahaya yang ditemukan dalam proses identifikasi bahaya dan mempertimbangkan
peringkat risiko untuk menentukan prioritas dan cara pengendaliannya, dalam menentukan
pengendalian harus memperhatikan hierarki pengendalian mulai dari eliminasi, substitusi,
pengendalian teknis, administratif dan penyediaan alat keselamatan yang disesuaikan kondisi
organisasi dan jenis bahaya (Dankis, 2015).

METODE

Metode penulisan ini adalah Literature Riview, dimana ini menganalisis artikel yang relevan
dan berfokus pada tema ataupun judul tindakan keselamatan kerja seorang perawat di rumah
sakit terhadap penularan rantai infeksi nosokomial klien dan pada kajian ini adalah metode
kualitatif yang memberikan penjelasan dengan menggunakan analisis pada referensi-refensi
yang digunakan. Adapun sumber yang digunakan dalam literature ini menggunakan sumber
dari buku teks dan jurnal dengan memasukan kata kunci pelaksanaan tahap Perencanaan
dalam proses keperawatan. Adapun jurnal yang saya gunakan merupakan jurnal yang
diterbitkan pada 8 tahun terakhir.

HASIL

Infeksi nosokomial merupakan salah satu penyebab meningkatnya angka kesakitan


(morbidity) dan angka kematian (mortality) di rumah sakit. Infeksi nosokomial dapat menjadi
masalah kesehatan baru, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Oleh karena itu
rumah sakit dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu sesuai dengan standar
yang sudah ditentukan dan harus diterapkan oleh semua kalangan petugas kesehatan.
Hasil penelitian menunjukkan 90 – 95% infeksi nosokomial dipengaruhi oleh perilaku tenaga
kesehatan. Dengan demikian untuk mencapai keberhasilan program pencegahan dan
pengendalian infeksi, dituntut pengetahuan dan sikap tenaga kesehatan untuk segera
melakukan pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial (Anonim, 2007).

Menurut tim Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS, 2007), beberapa
faktor yang sering menimbulkan terjadinya infeksi nosokomial antara lain; peningkatan
jumlah pasien yang dirawat di rumah sakit, kontak langsung antara petugas yang
terkontaminasi kuman dengan pasien, penggunaan peralatan kedokteran yang telah
terkontaminasi kuman, dan kondisi pasien yang lemah akibat penyakit yang sedang
dialaminya. Hasil penelitian menunjukkan 32% infeksi nosokomial dapat dicegah (Anonim,
2007).

Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat dirumah sakit dan mulai
menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut
infeksi nosokomial. Secara umum pasien yang masuk rumah sakit dengan tanda infeksi yang
timbul kurang dari 3 kali 24 jam, menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi
sebelum pasien masuk rumah sakit, sedangkan infeksi dengan gejala 3 kali 24 jam setelah
pasien berada dirumah sakit tanpa tanda-tanda klinik infeksi pada waktu penderita mulai
dirawat, serta tanda infeksi bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumya, maka ini yang
disebut infeksi nosokomial.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara keseriusan dengan tindakan
pencegahan infeksi nosokomial. Variabel keseriusan berkorelasi dengan variabel tindakan (r
= 1,000) yang artinya, semakin ganas (severe) penyakit infeksi nosokomial, akan semakin
baik tindakan perawat dalam mencegah infeksi nosokomial semakin baik. Hubungan korelasi
antara variabel keseriusan penyakit dengan variabel tindakan menunjukkan hubungan sangat
kuat. Menurut asumsi peneliti hal ini dapat terjadi pada suatu rumah sakit dengan
pengawasan yang cukup baik, Ancaman yang terlihat tentang gejala penyakit akan dirasakan
lebih serius oleh perawat oleh sebab itu tindakan pencegahan dilakukan lebih baik
(Notoatmojo, 2007).

Hubungan interaksi antara pasien dengan perawat akan memberi dampak pada penilaian
mutu pelayanan rumah sakit. Rumah sakit mempunyai kewajiban serta tanggung jawab moral
untuk memenuhi kebutuhan pasien yang dirawat (Aditama, 2003).
Kewaspadaan Berdasarkan Penularan atau Transmisi Kewaspadaan berdasarkan transmisi
diterapkan pada pasien yang menunjukkan gejala, dicurigai terinfeksi atau mengalami
kolonisasi dengan kuman yang sangat mudah menular. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
perlu dilakukan sebagai tambahan kewaspadaan standar. Kewaspadaan berdasarkan transmisi
meliputi: penanganan linen dan pakaian kotor, penanganan peralatan makan pasien, dan
pencegahan infeksi untuk prosedur yang menimbulkan aerosol pada pasien suspek atau
probabel menderita penyakit menular melalui udara atau airborne. Selain tindakan diatas
isolasi pasien yang akan menjadi sumber infeksi juga perlu diperhatikan untuk mencegah
transmisi langsung atau tidak langsung.

Berdasarkan sumber infeksi, maka infeksi dapat berasal dari masyarakat/ komunitas
(Community Acquired Infection) atau dari rumah sakit (Healthcare-Associated Infections/
HAIs). Penyakit infeksi yang didapat di rumah sakit beberapa waktu yang lalu disebut
sebagai infeksi Nosokomial (Hospital Acquired Infection). Infeksi merupakan suatu keadaan
yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen, dengan/ tanpa disertai gejala klinik. Rantai
infeksi adalah rangkaian yang harus ada untuk menimbulkan infeksi. Komponen yang
diperlukan sehingga terjadi penularan adalah agen infeksi (infectious agent) yaitu
mikroorganisme yang dapat menyebabkan infeksi.

Variabel independen adalah health belief model perawat yang terdiri atas kerentanan,
keseriusan, manfaat, hambatan. Variabel dependen adalah tindakan pencegahan infeksi
nosokomial yaitu upaya perawat untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial meliputi
kebersihan tangan, penggunaan sarung tangan, praktek aseptik antiseptik penggunaan alat
pengering tangan dan dekontaminasi.

Infeksi nosokomial dapat terjadi di setiap tempat di rumah sakit. Rumah Sakit sebagai suatu
sarana kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berupaya untuk
dapat memberikan pelayanan yang bermutu dan profesional yang didukung dengan sumber
daya manusia yang kompeten (Anonim, 2007).

PEMBAHASAN

Keselamatan pasien merupakan tanggung jawab semua pihak yang berkaitan dengan pemberi
pelayanan kesehatan untuk memastikan tidak ada tindakan yang membahayakan bagi pasien,
K3RS merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja sehingga dapat memelihara dan meningkatkan derajat
kesehatan bagi pasien, pendamping pasien, pengunjung , tenaga ksehatan rumah sakit serta
lingkungan rumah sakit dan terciptanya lingkungan aman dan nyaman. Pada dasarnya,
penerapan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit yang selanjutnya di singkat
degan K3RS, tidak hanya sekedar pengendalian infeksi tetapi juga penggunaan Alat
Pelindung Diri (APD) yang dapat meminimalisir terjadinya penyakit menular terutama bagi
tenaga kesehatan, pengelolaan limbah Rumah Sakit, sampai manajeman bahan berbahaya dan
beracun.

Pengamatan yang sistematis, aktif dan terus menerus terhadap timbulnya dan menyebarnya
penyakit pada populasi serta terhadap keadaan yang menyebabkan meningkatnya risiko
terjadi penyebaran penyakit, merupakan bagian penting dalam proses pengendalian penyakit
infeksi (Widodo, 1997).

Menurut Robert (1992) pengendalian infeksi nosokomial harus diprioritaskan kepada


penderita dan untuk memutuskan mata rantai infeksi, prioritaskan pada tenaga perawat
dengan jalan mengubah perilaku.

Perasaan akan seriusnya penyakit atau keganasan penyakit, didefinisikan sebagai perasaan
perawat tentang seriusnya penyakit infeksi nosokomial yang menyerang para penderita,
termasuk gejala, prognosis dan kemungkinan konsekuensi sosial. Faktor ini menghubungkan
dengan konsekuensi yang terbawa karena sifat penyakit infeksi nosokomial. Tindakan
pencegahan penyakit akan terdorong oleh seriusnya penyakit tersebut terhadap orang atau
masyarakat.

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tindakan seseorang untuk mempertahankan
pelayanan yang profesional ialah meningkatkan manfaat tindakan dan mengurangi kelemahan
dalam melaksanakan pelayanan keperawatan (Aditama, 2003).

Infeksi nosokomial merupakan masalah serius bagi rumah sakit. Kerugian yang ditimbulkan
sangat membebani rumah sakit dan pasien. Pencegahan dan pengendalian infeksi nosokomial
merupakan upaya penting dalam meningkatkan mutu pelayanan medis rumah sakit. 8
Program pengendalian infeksi ini dapat dikelompokan dalam tiga kelompok yaitu tindakan
operasional, tindakan organisasi, dan tindakan struktural. Tindakan operasional mencakup
kewaspadaan standar dan kewaspadaan berdasarkan penularan/transmisi. Upaya yang harus
dilakukan untuk meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas
pelayanan kesehatan lainnya adalah pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), yaitu
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta
monitoring dan evaluasi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS)
sangat penting karena menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit.

Kewaspadaan Standar Komponen utama standar pencegahan dan pengendalian infeksi


nosokomial dalam tindakan operasional mencakup kegiatan sebagai berikut:

1. Mencuci tangan

2. Menggunakan alat pelindung diri/APD seperti: sarung tangan, masker, pelindung wajah,
kacamata dan apron pelindung

3. Praktik keselamatan kerja

4. Perawatan pasien

5. Penggunaan antiseptik, penanganan peralatan dalam perawatan pasien dan kebersihan


lingkungan.

Suatu keyakinan perawat bahwa dengan beberapa tindakan akan dapat mencegah para
penderita terkena infeksi nosokomial. Hal ini juga menggambarkan sebagai suatu
kepercayaan yang menyatakan bahwa pola-pola tingkah laku tertentu akan dapat mengurangi
risiko seseorang terkena penyakit. Hambatan untuk bertindak didefi nisikan sebagai antisipasi
subjektif seseorang sehubungan dengan hambatan dalam melakukan tindakan tertentu.

a. Mencuci tangan Mencuci tangan sebaiknya dilakukan pada air yang mengalir dan
dengan sabun yang digosokkan selama 15 sampai 20 detik. Mencuci tangan dengan
sabun biasa dan air bersih adalah sama efektifnya mencuci tangan dengan sabun
antimikroba.

Ada beberapa kondisi yang mengharuskan petugas kesehatan menggunakan sabun antiseptik
ini, yaitu saat akan melakukan tindakan invasif, sebelum kontak dengan pasien yang dicurigai
mudah terkena infeksi (misalnya: bayi yang baru lahir dan pasien yang dirawat di ICU).
Mencuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum dan sesudah memeriksa dan mengadakan
kontak langsung dengan pasien, saat memakai melepas sarung tangan bedah steril atau yang
telah di disinfeksi tingkat tinggi pada operasi serta pada pemeriksaan untuk prosedur rutin,
saat menyiapkan, mengkonsumsi dan setelah makan juga pada situasi yang membuat tangan
terkontaminasi (misal: memegang instrumen kotor, menyentuh membran mukosa, cairan
darah, cairan tubuh lain, melakukan kontak yang intensif dalam waktu yamg lama dengan
pasien, mengambil sampel darah, saat memeriksa tekanan darah, tanda vital lainnya juga saat
keluar masuk unit isolasi).

b. Penggunaan alat pelindung diri Alat pelindung diri yang paling baik adalah yang
terbuat dari bahan yang telah diolah atau bahan sintetik yang tidak tembus oleh cairan.

Sarung tangan melindungi tangan dari bahan yang dapat menularkan penyakit dan dapat
melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat di tangan petugas kesehatan. Sarung
tangan merupakan penghalang (barrier) yang paling penting untuk mencegah penyebaran
infeksi. Satu pasang sarung tangan harus digunakan untuk setiap pasien sebagai upaya
menghindari kontaminasi silang. 4,5 Sarung tangan dipakai saat ada kemungkinan kontak
dengan darah atau cairan tubuh lain, membran mukosa atau kulit yang terlepas, saat akan
melakukan prosedur medis yang bersifat invasif (seperti: pemasangan kateter dan infus
intravena), saat menangani bahan-bahan bekas pakai yang telah terkontaminasi atau
menyentuh permukaan yang tercemar, serta memakai sarung tangan bersih atau tidak steril
saat akan memasuki ruang pasien yang telah diketahui atau dicurigai mengidap penyakit
menular.

Masker dipakai untuk mencegah percikan darah atau cairan tubuh memasuki hidung atau
mulut petugas kesehatan, juga menahan cipratan yang keluar sewaktu petugas kesehatan
berbicara, bersin dan batuk. Masker juga dipakai untuk mencegah partikel melalui udara atau
droplet dari penderita penyakit menular (tuberkulosis). Masker dilepas setelah pemakaian
selama 20 menit secara terusmenerus atau masker sudah tampak kotor atau lembab.

Pelindung mata dan wajah harus dipakai pada prosedur yang memiliki kemungkinan terkena
percikan darah atau cairan tubuh. Pelindung mata harus jernih, tidak mudah berembun, tidak
menyebabkan distorsi, dan terdapat penutup disampingnya. Pemakaian gaun pelindung
terutama untuk melindungi baju dan kulit petugas kesehatan dari sekresi respirasi. Gaun
pelindung juga harus dipakai saat ada kemungkinan terkena darah, cairan tubuh. Apron
terbuat dari karet atau plastik, merupakan penghalang tahan air sepanjang bagian depan tubuh
petugas kesehatan. Apron harus dikenakan dibawah gaun pelindung ketika melakukan
perawatan langsung pada pasien, membersihkan pasien atau melakukan prosedur saat
terdapat risiko terkena tumpahan darah dan cairan tubuh. Hal ini penting jika gaun tidak
tahan air.

Mengantisipasi kesulitan-kesulitan dalam pencegah infeksi nosokmial:


a. Penanganan linen dan pakaian kotor

Penanganan linen dan pakaian kotor menjadi hal yang penting karena linen yang tercemar
oleh mikroorganisme yang sangat patogen, risiko penularannya dapat minimal apabila linen
tersebut ditangani dengan baik sehingga dapat mencegah penularan mikroorganisme pada
pasien, petugas dan lingkunga.

b. Isolasi, Selain itu pasien dengan penyakit menular melalui udara perlu dirawat di
ruang isolasi untuk mencegah transmisi langsung atau tidak langsung.

Beberapa persyaratan dalam pelaksanaan isolasi bagi pasien dengan penyakit menular adalah
sebagai berikut: kamar khusus yang selalu tertutup, cuci tangan dengan sabun atau larutan
antiseptik sebelum dan sesudah masuk kamar, gunakan masker dan sarung tangan serta baju
pelindung, peralatan makan khusus untuk pasien, bahan pemeriksaan laboratorium diletakkan
pada tempat steril tertutup rapat, setelah dipakai alat suntik dimasukkan pada tempat khusus
dan dibuang, alat pemeriksaan lengkap, penanganan instrumen secara tepat, jumlah
pengunjung pasien dibatasi dan kamar dibersihkan setiap hari.

Praktik keselamatan kerja berhubungan dengan pemakaian instrumen tajam seperti jarum
suntik. Hal ini meliputi: hindari menutup kembali jarum suntik yang telah digunakan. Bila
terpaksa dilakukan, maka gunakan teknik satu tangan untuk menutup jarum, hindari melepas
jarum yang telah digunakan dari spuit sekali pakai, hindari membengkokkan, menghancurkan
atau memanipulasi jarum suntik dengan tangan serta masukkan instrumen tajam ke dalam
wadah yang tahan tusukkan dan tahan air.

Perawatan pasien yang sering dilakukan meliputi tindakan: pemakaian kateter urin,
pemakaian alat intravaskular, transfusi darah, pemasangan selang nasogastrik, pemakaian
ventilator dan perawatan luka bekas operasi. Penggunaan alat intravaskular untuk
memasukkan cairan steril, obat atau makanan serta untuk memantau tekanan darah sentral
dan fungsi hemodinamik meningkat tajam pada dekade terakhir. Kateter yang dimasukkan
melalui aliran darah vena atau arteri melewati mekanisme pertahanan kulit yang normal dan
penggunaan alat ini dapat membuka jalan untuk masuknya mikroorganisme.

PENUTUP

Berdasarkan pembahasan yang sudah dijelaskan di atas, Upaya yang harus dilakukan untuk
meminimalkan risiko terjadinya infeksi di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya adalah pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), yaitu kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, pendidikan dan pelatihan serta monitoring dan
evaluasi. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit (PPIRS) sangat penting
karena menggambarkan mutu pelayanan rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrauf, M. (2016). Memutus Mata Rantai Penularan Konjungtivitas Bakteri Akut. Idea
Nursing Journal, Vol. VII No.2

Ananingsih, P. D., & Rosa, E. M. (2016). Kepatuhan 5 Momen Hand Hygiene pada Petugas
di Klinik Cito Yogyakarta. Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit, 5(1),
pp. 16-24

Alvadri, Z. (2015). Hubungan pelaksanaan Tindakan Cuci Tangan Perawat dengan Kejadian
Infeksi Rumah Sakit di Rumah Sakit Sumber Waras Grogol. Jurnal Penelitian Ilmu
Keperawatan Universitas Esa Unggul, pp. 1-4

Bachrun, E. (2017). Hubungan tingkat pengetahuan perawat tentang patient safety terhadap
penerapan sasaran V (pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan). JKM
(Jurnal Kesehatan Masyarakat) Cendekia Utama, 5(1).

Herman, M. J. (2016). Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Pemerintah dalam Upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Indonesia. Jurnal Kefarmasian Indonesia,
137-146.

Iswati. (2015). Peningkatan Pengetahuan dan Sikap dalam Pencegahan Infeksi pada
Pengunjung Puskesmas Dupak Surabaya dengan Penyuluhan Mencuci Tangan. Adi
Husada Nursing Journal Vol. 1, ( 2).

Nurani, R. R., S., & Hidajah, A. C. (2017). Gambaran Kepatuhan Hand Hygiene pada
Perawat Hemodialisis di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya. Jurnal Berkala
Epidemiologi, Vol. 5 No 2, hlm, 218- 230

Retnaningsih, D., & Fatmawati, D. F. (2018). Beban kerja perawat terhadap implementasi
patient safety di Ruang Rawat Inap. Jurnal Keperawatan Soedirman, 11(1), 44-52.

Simamora, R. H. (2018). Buku Ajar Keselamatan Pasien Melalui Timbang Terima Pasien
Berbasis Komunikasi Efektif: SBAR
Simamora, R.H. (2019). Pengaruh Penyuluhan Identifikasi Pasien dengan Menggunakan
Media Audiovisual terhadap Pengetahuan Pasien Rawat Inap. Jurnal Keperawatan
Silampari, 3(1), 342-351

Simamora, R.H. (2020). Learning of Patient Indentification in Patient Safety Programs


Through Clinical Preceptor Models. Medico Legal Update, 20(3). 553-556

Sinaga, L. R., Janwarin, L. M., & Mamuly, W. F. (2019). Hubungan Pengetahuan dan
Pelatihan dengan Penerapan Patient Safety oleh Perawat di RSUD Dr. M. Haulussy
Ambon. Moluccas health journal, 1(2).

Anda mungkin juga menyukai