Anda di halaman 1dari 6

PENDAHULUAN

Tuberkulosis atau TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh


kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Pada tahun 1993 World Health
Organization (WHO) menyatakan TB sebagai suatu problema kesehatan masyarakat
yang sangat penting dan serius di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang
menyebabkan kedaruratan global (Global Emergency) karena pada sebagian besar
negara di dunia penyakit TB paru tidak terkendali, ini disebabkan banyaknya
penderita yang tidak berhasil disembuhkan, serta sebagai penyebab kematian utama
yang diakibatkan oleh penyakit infeksi. (Depkes RI, 2002).
Tuberkulosis tidak tersebar secara merata di seluruh dunia. Dari populasi di
berbagai negara di Asia dan Afrika yang melakukan tes tuberkulin, 80%-nya
menunjukkan hasil positif, sementara di Amerika Serikat, hanya 5–10% saja yang
menunjukkan hasil positif. Masyarakat di dunia berkembang semakin banyak yang
menderita Tuberkulosis karena kekebalan tubuh mereka yang lemah.
Di kawasan Asia Tenggara, data WHO menunjukkan bahwa TB membunuh
sekitar 2.000 jiwa setiap hari. Dan sekitar 40% dari kasus TB di dunia berada di
kawasan Asia Tenggara. Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah India
dan China dalam hal jumlah penderita TB paru, sekitar 583 ribu orang dan
diperkirakan sekitar 140 ribu orang meninggal dunia tiap tahun akibat TB Paru.
(Putra 2011)
Indonesia peringkat empat terbanyak untuk penderita TB setelah China, India,
dan Afrika Selatan dengan prevalensi TB di Indonesia pada 2013 ialah 297 per
100.000 penduduk dengan kasus baru setiap tahun mencapai 460.000 kasus. Dengan
demikian, total kasus hingga 2013 mencapai sekitar 800.000-900.000 kasus.
Meskipun prevalensinya menurun secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir,
jumlah penderita penyakit tuberkulosis (TB) di Indonesia masih terbilang tinggi.
Bahkan, saat ini jumlah penderita TB di Indonesia menempati peringkat empat
terbanyak di seluruh dunia.(Tjandra, 2013).
Untuk Provinsi Maluku Tahun 2012 dimana Kabupaten yang belum mencapai
target penemuan kasus (<70%) adalah Buru Selatan, Buru dan Maluku Barat Daya.
menunjukkan trend Angka Penemuan Kasus BTA+ di Provinsi Maluku dari tahun
2010 sampai tahun 2012 yang memperlihatkan fluktuasi Angka Penemuan Kasus
yakni 64% pada tahun 2010, meningkat menjadi 72.50 pada tahun 2011 dan menurun
menjadi 72.21 pada tahun 2012, meskipun demikian selama 2 tahun terakhir (2010-
2012), Provinsi Maluku telah mencapai target Nasional yakni >70%. (Dinas
Kesehatan Provinsi. Maluku, 2013)
Berdasarkan data awal yang di dapatkan pada ruang IGD RSUD Tulehu Provinsi
Maluku pada tahun 2013 terdapat 112 kasus, pada tahun 2014 terdapat 176 kasus dan
pada tahun 2015 terdapat 54 kasusdenganTB paru.
Perawat sebagai tenaga kesehatan yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan
dasar klien secara holistic memiliki peran dan tanggung jawab untuk membantu
pemenuhan kebutuhan oksigen klien yang tidak adekuat. Dalam tindakannya, seorang
perawat sebelum memberikan asuhan keperawatan harus melakukan metode
keperawatan berupa pengkajian, diagnose keperawatan, intervensi, dan evaluasi.
Diagnosa keperawatan adalah suatu bagian integral dari proses keperawatan.
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisis dan interpretasi data yang
diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosa keperawatan memberikan
gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata (aktual) dan
kemungkinan akan terjadi, dimana pemecahannya dapat dilakukan dalam batas
wewenang perawat. (Cahyani, 2012).
Peran Perawat Sebagai Advokat
Adapun hasil yang peneliti dapatkan melalui observasi langsung di ruangan IGD
khusunya penanganan TB Paru di RSUD tulehu hampir semua perawat selalu
memberikan tindakan sebagai advokat dengan baik dalam melakukan tindakan
advokat dalam penanganan pasien TB paru di RSUD tulehu seperti Selalu ada
dukungan dari kepala ruangan terhadap program pengobtan TB Paru yang dilakukan
oleh perawat, aturan dan instruksi kerja dalam menangani pasien TB Paru, Bantuan
pembelaan terhadap pasien jika pasien TB Paru membutuhkan pelayanan yang
optimal, Selalu melakukan pemantauan terhadap perkembangan penyembuhan pasien
TB Paru dan upaya persuasi yang mencakup kegiatan penyadaran, rasionalisasi,
argumentasi serta rekomendasi tindak lanjut mengenai kesembuhan pasien TB Paru.
Sebagai pelindung, perawat membantu mempertahankan lingkungan yang aman bagi
klien dan mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan serta
melindungi klien dari kemungkinan efek yang tidak diinginkan dari suatu tindakan
diagnostic atau pengobatan. Contoh dari peran perawat sebagai pelindung adalah
memastikan bahwa klien tidak memiliki alergi terhadap obat dan memberikan
imunisasi melawat penyakit di komunitas.

Hasil penelitian Afidah dan Madya (2013) mendapatkan 3 tema dalam penelitian
mereka yaitu defenisi peran advokasi perawat, pelaksanaan tindakan peran advokasi
perawat dan faktor yang mempengaruhi pelaksanaan peran advokasi. Tiga tema
tersebut diuraikan bahwa defenisi peran advokasi peran perawat dalam salah satunya
adalah pembelaan terhadap pasien serta perlindungan kepada pasien dalam hal
kesehatan, cara hidup sehat dan biaya. Sedangankan pelaksanaan tindakan dalam
peran tersebut perawat mengatakan bahwa peran perawat melakukan perlindungan
terhadap tindakan kolaborasi yang akan dilakukan dengan memberikan alasan logis
dimana ketika dipaksakan untuk dilakukan makan akan memperburuk keadaaan
pasien.
Peran perawat juga memberikan informasi yang tepat agar keadaan pasien
semakin membaik, contohnya dalam hal memberikan informasi diit. Peran perawat
sebagai advokat dalam hal perawat menjadi penengah antara tim dokter seperti dalam
pemberian obat – obat untuk menghindari hal – hal yang merugikan pasien. Perawat
juga mengalami beberapa faktor yang mempengaruhi terlaksananya peran sebagai
advokat bagi pasien seperti perawat diposisikan sebagai asisten atau berada dibawah
kepemimpinan dokter, sehingga untuk melakukan peran sebagai advokasi pasien
seringkali terabaikan. Faktor lainnya adalah kurangnya jumlah tenaga perawat yang
tidak sebanding dengan jumlah pasien yang mereka tangani. Peran perawat sebagai
advokasi ini juga didukung oleh instansi rumah sakit yang selalu mendukung perawat
untuk menjalankan perannya sehingga informasi kepada pasien terlaksanakan dan
tidak merugikan pasien.
Irfanti (2019) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan komunikasi perawat
berperan sebagai pemberi informasi atau penghubung. Peran perawat sebagai advokat
sebagai penghubung informasi dari tenaga kesehatan lainnya tentang tindakan yang
akan dilakukan dan terkait kondisi pasien saat itu. Ketika hal komunikasi ini tidak
dijalan perawat sebagaimana mestinya maka akan terjadi kesalahpahaman antara
kedua belah pihak dan proses asuhan keperawatan yang berkualitas tidak dapat
terlaksana.
Hartini dan Julia (2018) pada hasil penelitiannya mengatakan pasien BPJS
bahwa kualitas asuhan yang sudah dirasakan 74.7% menyatakan puas terhadap
pelayanan perawat. Kualitas peran perawat sebagai mediator (advokasi) dalam
melaksanakan layanan asuhan keperawatan didapatkan bahwa perawat mendampingi
tenaga kesehatan lain untuk menjembatani komunikasi antara pasien dan dokter
sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
Perawat juga menekankan kembali apa yang sudah dikatakan dokter kepada
pasien jika pasien dan keluarga belum paham atau tidak mengerti apa yang dikatakan
oleh dokter. Perawat juga mendampingi pasien dalam menjalani pemeriksaan medis
misalnya pasien mengantarkan pasien dan keluarga untuk melaksanakan foto rotgen
(Suyanti, dkk, 2014).
Felle (2018) dalam penelitiannya mendapatkan hasil bahwa faktor tingkat
pendidikan perawat mempengaruhi pengetahuan tentang peran advokasi perawat
terhadap pasien. Responden dalam penelitiannya terdapat 13 orang berpendidikan
SPK, dan 5 orang yang berpendidikan sarjana hal ini yang menyebabkan kurang
terpaparnya perawat mengenai peran mereka dalam layanan kesehatan. Felle (2018)
juga mengatakan bahwa perawat hanya melaksanakan rutinitas mereka seperti tugas –
tugas sehari – hari dan tidak tertantag untuk mengembangkan ilmu yang sudah
didapatkan. Peran perawat sebagai advokat juga belum dapat terlaksana karena
kondisi keperawtan di Indonesia belum kondusif karena kompetensi dan tingkat
pendidikan perawat masih belum setara dan tidak memiliki kompetensi untuk
advokasi.
Peran perawat sebagai advokasi pasien adalah perawat mampu memberikan
perlindungan terhadap pasien, keluarga pasien, dan orang – orang disekitar pasien.
Hal ini didukung dengan hasil penelitian Umasugi (2018) bahwa perawat sebagai
pelindung, perawat mampu mempertahankan lingkungan yang aman dan nyaman dan
mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang tidak diinginkan
dari hasil pengobatan, contohnya mencegah terjadinya alergi terhadap efek
pengobatan dengan memastikan bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi. Salah
satu untuk mencegah terjadinya hal – hal yang merugikan pasien perawat harus saling
berkoordinasi dengan adanya standar komunikasi yang efektif dan terintegrasi dalam
kegiatan timbang terima yang dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
(Alvaro et al. 2016 dalam Triwibowo & Zainuddin 2016).
Peran advokasi perawat terhadap pasien juga terlaksana dalam pemberian
penjelasan tindakan prosedur dalam informed consent berperan sebagai pemberi
informasi, pelindung, mediator, pelaku dan pendukung (Tri Sulistiyowati, 2016).
Perawat memberikan perlindungan terhadap pasien untuk mencvegah terjadinya
penyimpangan/malpraktik yang pada dasarnya setiap profesi kesehatan sudah harus
memahami tanggung jawab dan integritasnya dalam memberikan pelayanan
kesehatan.
Para professional kesehatan terutama perawat harus memahami hak – hak dan
kewajiban pasien sebagai penggunan layanan kesehatan. (Kusnanto, 2004). Dalam
artikelnya Nurul (2018) pasien berhak mendapatkan pelayanan yang manusiawi dan
jujur.
Pasien berhak mendapatkan pelayanan yang sama tanpa adaanya diskriminasi.
Pasien berhak didampingi oleh keluarga selama di rawat. Pasien juga berhak memilih
tim medis dan rumah sakit sesuai dengan kebutuhannya, namun pada hal ini perawat
harus memberikan informasi yang sejujurnya agar pasien tidak salah dalam memilih.
Kemudian pasien berhak mengetahui hasil pemeriksaan yang dilakukannyan dan
berhak mendapatkan perlindungan privasi. Dalam hal ini perawat sebagai
pendamping pasien selama 24 jam penuh wajib memenuhi hak pasien tersebut yang
berperan sebagai advokasi bagi pasien untuk menghindari terjadinya kesalahan
asuhan keperawatan.
Perawat harus menghargai pasien yang dirawatnya sebagai manusia yang utuh
sehingga tidak menjadi beban selama menajalani perannya sebagai advokat pasien.
Namun beberapa penghambat yang dialami perawat dalam menjalankan perannya
adalah salahnya paradigma perawat sebagai pembantu atau asisten dokter (Suryani,
dkk, 2013) yang masih menjadi pencetus hilangnya kepercayaan diri perawat dalam
melaksanakan peran sebagai advokasi tersebut. Tingkatkan pendidikan juga harus
ditingkatkan agar perawat dapat meningkatan ilmu pengetahuan sehingga pada saat
pelaksanaan asuhan keperawatan yang dilaksanakan bisa lebih dilakukan dengan
teliti. Kemudian hal yang terpenting untuk melaksanakan peran sebagai advokasi
pasien adalah bagaimana seorang perawat dapat berkomunikasi dengan baik dengan
pasien maupun dengan mitra sejawat.
Komunikasi adalah bentuk aksi untuk melakukan interaksi yang akan
memberikan informasi silang antara pasien dan mitra sejawat. Apabila komunikasi
antar perawat dan pasien atau keluarga akan memberikan feedback yang positif antara
kedua pihak. Yang tentunya akan membantu proses perawatan yang lebih mudah dan
pasien akan merasa nyaman dengan tindakan yang dilakukan. Sehingga peran
perawat sebagai advokasi pasien salah satunya mediator antara pasien dan tenaga
kesehatan lainnya dapat tercapai (Irfanti, 2019).

Anda mungkin juga menyukai