Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atraumatic care merupakan bentuk keperawatan terapeutik yang diberikan oleh
tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan kesehatan anak, melalui penggunaan
tindakan yang dapat mengurangi distres fisik maupun distres psikologis yang dialami
anak maupun orang tuanya (Supartini, 2014). Atraumatic care adalah perawatan yang
tidak menimbulkan trauma pada anak maupun keluarga (Hidayat, 2012). Pengalaman
yang sangat traumatik dan penuh dengan stres fisik dan psikologis ini dialami anak
dan orang tua pada saat menjalani hospitalisasi (Supartini, 2014). Hospitalisasi
merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang direncanakan atau darurat
mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai anak di pulangkan kembali ke rumah (Supartini, 2014). Sebuah survei di
Amerika menunjukkan pada tahun 2012 jumlah anak usia dibawah 17 tahun yang
dirawat di rumah sakit di Amerika sebanyak 5,9 juta anak atau 7.928 per 100.000
penduduk, dengan lama perawatan rata-rata tiga sampai empat hari (Agency for
Healthcare Research and Quality, 2014). Survei Kesehatan Nasional (Susenas) tahun
2010 dalam Apriany (2013) menyatakan bahwa angka kesakitan anak di Indonesia di
daerah perkotaan menurut kelompok usia 0-4 tahun sebesar 25,8%, usia 5-12 tahun
sebanyak 14,91%, usia 13-15 tahun sekitar 9,1%, usia 16-21 tahun sebesar 8,13%,
dan angka kesakitan anak usia 0-21 tahun apabila dihitung dari keseluruhan
jumlahpenduduk adalah 14,44%, dan diperkirakan di Indonesia 35 per 1000 anak
menjalani hospitalisasi (Sumarko, 2008 dalam Purwandari, 2009). Ketidaktahuan
anak dan keluarga terhadap pengalaman dan situasi yang baru akibat hospitalisasi
menyebabkan anak dan keluarga mengalami stres (Potts & Mandleco, 2007). Selain
itu anak membutuhkan perawatan yang spesial dibanding pasien lain, sehingga waktu
yang dibutuhkan untuk merawat anak-anak 20%-45% melebihi waktu untuk merawat
orang dewasa (Aidar, 2011).
Hospitalisasi pun sering kali membingungkan, kompleks, dan berlebihan bagi
anak dan keluarga mereka (Kyle & Carman, 2014). Sehingga, perawat sebagai salah
satu pemberi pelayanan kesehatan yang senantiasa berhubungan dengan pasien,
dalam memberikan asuhan pada anak yang mengalami hospitalisasi harus berfokus
pada atraumatic care, yaitu dengan intervensi meminimalkan stresor, memaksimalkan
manfaat hospitalisasi, memberi dukungan psikologis pada anggota keluarga, dan
mempersiapkan anak sebelum dirawat di rumah sakit (Wong, et al., 2009).
Atraumatic care bermanfaat untuk mencegah masalah psikologis (kecemasan) dan
mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan pada anak yang di hospitalisasi
(Hidayat, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Rini dan koleganya (2013)
membuktikan bahwa terdapat korelasi kuat antara penerapan atraumatic care dengan
penurunan tingkat kecemasan pada anak yang menjalani hospitalisasi. Hal ini juga
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Breving dan koleganya (2015)
membuktikan bahwa penerapan atraumatic care berpengaruh menurunkan kecemasan
saat pemasangan infus pada anak yang menjalani hospitalisasi. Hal berbeda
diungkapkan oleh Bolin (2011) tentang hubungan penerapan atraumatic care dalam
pemasangan infus terhadap penurunan tingkat kecemasan pada anak yang menjalani
hospitalisasi, menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara penerapan
atraumatic care dalam pemasangan infus terhadap respon kecemasan pada anak. Hal
tersebut dapat disebabkan karena pelaksanaan atraumatic care yang kurang baik.
Amalia (2013) juga mengungkapkan bahwa perilaku perawat dalam melakukan
atraumatic care pada perawatan anak sebagian besar (54,5%) berperilaku negatif.
Perilaku adalah totalitas penghayatan dan aktivitas seseorang, yang merupakan hasil
bawaan dari berbagai faktor internal maupun eksternal. Faktor eksternal yang
mempengaruhi perilaku diantaranya adalah fasilitas, sedangkan faktor internal yang
mempengaruhi perilaku adalah pengetahuan dan sikap (Notoadmodjo, 2010).
Penelitian Amalia (2013) menyatakan bahwa perilaku perawat dalam melaksanakan
atraumatic care dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pendidikan, lama kerja dan
pendapatan. Penelitian yang dilakukan Pantulu (2010) terhadap perawat di Gorontalo
menunjukkan bahwa pengetahuan perawat terhadap atraumatic care mayoritas cukup
(55,2%) dan sikap perawat terhadap atraumatic care di Gorontalo juga mayoritas
cukup (69,0%). Widodo (2005 dalam Silalahi, 2013) mengemukakan teori adaptasi,
apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai
sikap dan perilaku yang baik pula, serta tersedianya fasilitas juga akan mendukung
terbentuknya perilaku atau pelaksanaan suatu tindakan yang diinginkan, khususnya
disini adalah pelaksanaan atraumatic care.
Rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara merupakan rumah sakit tipe B milik
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Rumah sakit ini juga merupakan salah satu rumah
sakit yang menyediakan pelayanan keperawatan anak, dari hasil studi pendahuluan
yang dilakukan peneliti pada Januari 2016 di ruang rawat inap anak terhadap 10
orang keluarga pasien mereka menyatakan bahwa kurangnya komunikasi perawat
dalam melakukan tindakan asuhan keperawatan terhadap anak, lambatnya kinerja
perawat dalam melakukan tindakan, dan kurangnya informasi yang diberikan perawat
kepada keluarga tentang penyakit anak selama dirawat di rumah sakit umum Cut
Meutia Aceh Utara. Hal tersebut menunjukkan bahwa, pelaksanaan atraumatic care di
rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara masih belum terlaksana dengan baik. Hal
ini juga didukung oleh data yang diperoleh peneliti dari buku dokumentasi pasien
bahwa jumlah pasien yang pulang atas permintaan sendiri (PAPS) selama tahun 2015
adalah 501 pasien dari keseluruhan pasien yang dirawat selama tahun 2015 sebanyak
1675 pasien. KepMenKes Nomor 129/MenKes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan
minimal rumah sakit menjelaskan bahwa pulang atas permintaan sendiri adalah
pulang paksa atau pulang atas permintaan pasien atau keluarga pasien sebelum
diputuskan boleh pulang oleh dokter yang merawat. Irawati (2014) menyatakan
bahwa keandalan, ketanggapan, dan perhatian berpengaruh terhadap pasien pulang
atas permintaan sendiri di Rumah Sakit Advent Kota Medan. Daya tanggap
merupakan faktor yang paling dominan terhadap pasien pulang atas permintaan
sendiri, artinya pasien yang menyatakan daya tanggap rumah sakit kurang baik
mempunyai peluang untuk pulang atas permintaan sendiri 5,179 kali lebih besar
dibandingkan dengan pasien yang menyatakan daya tanggap rumah sakit baik.
Ketanggapan dan perhatian di ruang anak terkait erat dengan atraumatic care.
Pelaksanaan atraumatic care yang kurang optimal menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi banyaknya pasien pulang atas permintaan sendiri (PAPS) di rumah
sakit umum Cut Meutia Aceh Utara. Perawat yang bekerja diruang rawat inap anak
rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara sebanyak 28 perawat. Pada studi
pendahuluan peneliti juga melakukan wawancara dengan 3 orang perawat yang
bekerja di ruang rawat inap anak rumah sakit umum Cut Meutia Aceh Utara, mereka
mengatakan bahwa atraumatic care telah dilaksanakan di rumah sakit tersebut, namun
belum secara optimal. Hal tersebut disebabkan karena banyak faktor, diantaranya
fasilitas yang kurang mendukung untuk pelaksanaan atraumatic care. Berdasarkan
uraian diatas peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit umum Cut Meutia
Aceh Utara.
1.2 Rumusan masalah
1. Apa itu atraumatic care ?
2. Apa Manfaat atraumtic care ?
3. Apa Tujuan atraumatic care ?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan umum
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembaca maupun mahasiswa tentang Atraumatic care.
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa dapat megetahui atraumatic care
2. Mahasiswa dapat mengetahui manfaat atraumatic care dalam pelayanan
kesehatan
3. Mahasiswa dapat mengetahui tujuan dari atraumatic care
1.4 Manfaat Penulisan
Diharapakan mahasiswa dapat menerapakan atraumatic care paa saat melakukan
praktek lapangan di rumas sakit mapun di tempat pelayanan kesehatan lainya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi atraumatic care


Atraumatic care adalah penyediaan asuhan terapeutik dalam lingkungan,oleh
personel, dan melalui penggunaan intervensi yang menghapuskan atau memperkecil
distres psikologis dan fisik yang diderita oleh anak-anak dan keluarganya dalam
sistem pelayanan kesehatan (Wong, et al., 2009). Atraumatic care adalah bentuk
perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan
kesehatan anak, melalui penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik
maupun distres psikologis yang dialami anak maupun orang tua (Supartini, 2014).
Asuhan terapeutik tersebut mencakup pencegahan, diagnosis, atau penyembuhan
kondisi akut atau kronis. Intervensi berkisar dari pendekatan psikologis berupa
menyiapkan anak-anak untuk prosedur pemeriksaaan, sampai pada intervensi fisik
seperti menyediakan ruangan untuk orang tua tinggal bersama anak dalam satu
kamar (rooming in). Distres psikologis meliputi kecemasan, ketakutan, kemarahan,
kekecewaaan, kesedihan, malu, atau rasa bersalah. Sedangkan distres fisik dapat
berkisar dari kesulitan tidur dan immobilisasi sampai pengalaman stimulus sensori
yang mengganggu seperti rasa sakit (nyeri), temperatur ekstrem, bunyi keras, cahaya
yang dapat menyilaukan atau kegelapan (Wong, et al., 2009).

Atraumatic care berkaitan dengan siapa, apa, kapan, dimana, mengapa, dan
bagaimana setiap prosedur dilakukan pada anak untuk mencegah atau meminimalkan
stress fisik dan psikologis (Wong, 1989, dalam Wong, et al., 2009). Maka dapat
disimpulkan, atraumatic care adalah pelaksanaan perawatan terapeutik pada anak dan
keluarga oleh perawat atau tenaga kesehatan lain dengan intervensi meminimalkan
atau mencegah timbulnya distres fisik maupun psikologis dalam sistem pelayanan
kesehatan.
2.2 Manfaat atraumatic care

Anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh kembang perlu perhatian
lebih, karena masa anak merupakan proses menuju kematangan. Berbagai peristiwa
yang dialami anak, seperti sakit atau hospitalisasi akan menimbulkan trauma pada
anak seperti cemas, marah, nyeri, dan lain-lain. Kondisi tersebut jika tidak ditangani
dengan baik, akan menimbulkan masalah psikologis pada anak yang akan
mengganggu perkembangan anak. Oleh karena itu, manfaat atraumatic care adalah
mencegah masalah psikologis (kecemasan) pada anak, serta mengoptimalkan
pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat, 2012).

Beberapa penelitian juga telah membuktikan bahwa penerapan atraumatic care


memiliki pengaruh atau hubungan terhadap penurunan respon kecemasan pada anak
yang di hospitalisasi (Bolin, 2011 & Breving, et al., 2015).

2.3 Tujuan atraumatic care

Atraumatic care sebagai asuhan terapeutik memiliki beberapa tujuan,

yaitu:

a. Jangan melukai, hal tersebut dinyatakan Wong dan koleganya (2009) sebagai
tujuan utama dari atraumatic care.

b. Mencegah dan mengurangi stres fisik (Supartini, 2014).

c. Mencegah dan mengurangi stres psikologis (Supartini, 2014).

Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa prinsip atraumatic care sebagai
kerangka kerjanya (Wong, et al., 2009).

2.4 Prinsip atraumatic care

Supartini (2014) menyatakan bahwa prinsip atraumatic care dibedakan menjadi


empat, yaitu: mencegah atau menurunkan dampak perpisahan antara orang tua dan
anak dengan menggunakan pendekatan family centered, meningkatkan kemampuan
orang tua dalam mengontrol perawatan anaknya, mencegah atau meminimalkan
cedera fisik maupun psikologis (nyeri) serta memodifikasi lingkungan fisik ruang
perawatan anak.
a. Menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga dampak perpisahan
bagi keluarga, anak mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan, ketakutan,
dan kurangnya kasih sayang. Gangguan ini akan menghambat proses penyembuhan
anak dan dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat, 2012).
b. Meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak Perawat
berperan penting dalam meningkatkan kemampuan orang tua dalam merawat
anaknya. Beberapa bukti ilmiah menunjukkan pentingnya keterlibatan orang tua
dalam perawatan anaknya di rumah sakit. Orang tua dipandang sebagai subjek yang
mempunyai potensi untuk melaksanakan perawatan pada anaknya (Darbyshire, 1992
dan Carter & Dearmun, 1995, dalam Wong, et al., 2009).
c. Mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis (nyeri)
Nyeri sering dihubungkan dengan rasa takut, cemas, dan stres. Mengurangi nyeri
merupakan tindakan yang harus dilakukan dalam keperawatan anak. Proses
pengurangan nyeri sering tidak dapat dihilangkan tetapi dapat dikurangi melalui
teknik farmakologi dan teknik nonfarmakologi (Wong, et al., 2009).
d. Modifikasi lingkungan fisik
Modifikasi lingkungan fisik yang bernuansa anak dapat meningkatkan
keceriaan, perasaan aman, dan nyaman bagi lingkungan anak sehingga
anak selalu berkembang dan merasa nyaman di lingkungannya (Hidayat,
2012).
2.5 Intervensi atraumatic care
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan, memegang posisi kunci untuk
membantu orang tua menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan perawatan
anaknya di rumah sakit karena perawat berada di samping pasien selama 24 jam dan
fokus asuhan adalah peningkatan kesehatan anak. Asuhan yang berpusat pada
keluarga dan atraumatic care merupakan falsafah utama dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan anak. Oleh karena itu, upaya dalam mengatasi masalah yang timbul baik
pada anak maupun orang tuanya selama dalam masa perawatan berfokus pada
intervensi atraumatic care yang berlandaskan pada prinsip atraumatic care (Supartini,
2014).

a. Intervensi menurunkan atau mencegah dampak perpisahan dari keluarga.


Mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan pada anak dapat dilakukan dengan
cara melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak (Supartini, 2014),
yaitu:
1) Memperbolehkan orang tua untuk tinggal bersama anak selama 24 jam
(roomingin) atau jika tidak memungkinkan untuk rooming in maka berikan
kesempatan orang tua untuk melihat anak setiap saat dengan maksud untuk
mempertahankan kontak antara mereka.
2) Modifikasi ruang perawatan dengan cara membuat situasi ruang rawat seperti di
rumah.
3) Pempertahankan kontak dengan memfasilitasi pertemuan dengan guru, teman
sekolah dan berhubungan dengan siapa saja yang anak inginkan.
4) Libatkan orang tua untuk berpartisipasi dalam merawat anak yang sakit
(Susilaningrum, et al., 2013).
b. Intervensi meningkatkan kemampuan orang tua dalam mengontrol perawatan anak
Perawat dapat mendiskusikan dengan keluarga tentang kebutuhan anak untuk
membantu orang tua dengan cara memberikan informasi sehubungan dengan
penyakit, prosedur pengobatan, prognosis serta perawatan yang dapat dilakukan
orang tua, dan reaksi emosional anak terhadap sakit dan hospitalisasi (Wong,et
al.2009). Perawat dapat juga menginformasikan kepada orang tua mainan yang
boleh dibawa ke rumah sakit, membuatkan keluarga jadwal untuk anak, serta penting
untuk perawat mempersiapkan anak dan orang tuanya sebelum dirawat di rumah sakit
melalui kegiatan pendidikan kesehatan pada orang tua. Sehingga selama perawatan di
rumah sakit orang tua diharapkan dapat belajar dalam hal peningkatan pengetahuan
maupun keterampilan yang berhubungan dengan keadaan sakit anaknya (Supartini,
2014).
c. Intervensi mencegah atau menurunkan cedera fisik maupun psikologis (nyeri)
Pengkajian nyeri merupakan komponen penting dalam proses keperawatan terkait
mengurangi atau mencegah dampak nyeri. Dalam pengkajian nyeri penting bagi
perawat menggunakan definisi operasional nyeri yang diungkapkan oleh McCaffery
dan Pasero (1999) dalam Wong dan koleganya (2009) yaitu nyeri adalah apapun yang
dikatakan oleh orang yang mengalaminya, ada pada saat orang tersebut mengatakan
itu terjadi. Wong dan koleganya (2009) juga menyatakan bahwa prinsip pengkajian
nyeri pada anak-anak adalah QUESTT yaitu question the child (tanyakan pada anak),
use a pain rating scale (gunakan skala nyeri), evaluate behavioral and physiologic
changes (evaluasi perubahan-perubahan sikap dan fisiologis), secure parent’s
involvement (pastikan keterlibatan orang tua), take the cause of pain into account
(pertimbangkan penyebab nyeri), dan take action and evaluate results (lakukan
tindakan dan evaluasi hasilnya). Penatalaksanaan nyeri dapat dilakukan dengan dua
teknik. Pertama, teknik nonfarmakologi dapat dilaksanakan melalui distraksi,
relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi kutaneus, memberikan strategi koping yang
dapat mengurangi persepsi nyeri dengan cara bicara hal yang positif pada diri,
berhenti berfikir tentang hal menyakitkan, dan kontrak perilaku (Wong, et al., 2009).
Kedua, teknik farmakologis dilakukan dengan cara meningkatkan efektivitas dari
pemberian obat melalui penggunaan prinsip enam benar, meliputi: benar klien, benar
obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar dokumentasi (Rusy dan Weisman,
2000 dalam Utami, 2012). Untuk prosedur yang menimbulkan nyeri, anak harus
menerimaanalgesik dan sedasi yang cukup untuk meminimalkan nyeri dan kebutuhan
restrein yang berlebihan. Untuk anestesi lokal gunakan lidokain yang dibufer untuk
mengurangi sensasi sakit atau berikan EMLA (Extectic Mixture of Local Anesthetics)
secara topikal sebelum dilakukan injeksi parenteral (Wong, 2013). Apabila tindakan
pencegahan tidak dilakukan maka cedera dan nyeri akan berlangsung lama pada anak
sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan (Hidayat, 2012).
Supartini (2014) menyatakan bahwa meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh
dan rasa nyeri dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:
1) Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan prosedur yang
menimbulkan rasa nyeri Persiapan ini dilakukan perawat dengan cara menjelaskan
apa yang akan dilakukan dan memberikan dukungan psikologis pada orang tua
(Supartini, 2014). Persiapan anak-anak untuk menghadapi prosedur yang menakutkan
dapat menurunkan ketakutan mereka, serta memanipulasi teknik prosedural untuk
anak-anak di setiap kelompok umur juga meminimalkan ketakutan akan cedera tubuh
(Wong, et al., 2009).
2) Lakukan permainan terlebih dahulu sebelum melakukan persiapan fisik anak
Permainan yang bisa dilakukan diantaranya bercerita, menggambar, menonton video
kaset dengan cerita yang berkaitan dengan tindakan atau prosedur yang akan
dilakukan pada anak (Supartini, 2014). Bermain adalah salah satu aspek penting dari
kehidupan anak dan salah satu alat paling efektif untuk penatalaksanaan stres, serta
bermain juga sangat penting bagi mental, emosional dan kesejahteraan sosial anak
(Wong, et al., 2009). Kebutuhan bermain bagi anak sama halnya dengan kebutuhan
perkembangan anak, tidak berhenti saat anak sakit atau di hospitalisasi. Bermain di
rumah sakit memberikan banyak manfaat pada anak yaitu memberikan pengalihan
dan menyebabkan relaksasi, membantu anak merasa lebih nyaman di lingkungan
yang asing, membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan perasaan rindu rumah,
sebagai alat untuk melepas ketegangan dan ungkapan perasaan, meningkatkan
interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang lain, sebagai alat
ekspresi ide-ide dan minat, sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik, dan
menempatkan anak pada peran aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk
menentukan pilihan dan merasa mengendalikannya (Wong, et al., 2009).
Supartini (2014) mengemukakan bahwa dalam melakukan aktivitas bermain perawat
hendaknya memperhatikan prinsip permainan pada anak di rumah sakit, yaitu:
a) Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan
pada anak Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat
dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya
di tempat bermain khusus yang ada di ruang rawat. Misalnya, sambil tiduran di
tempat tidurnya anak dapat dibacakan buku cerita atau diberi buku komik anak-anak,
mobilmobilan yang tidak menggunakan remote control, robot-robotan, dan permainan
lain yang dapat dimainkan anak sambil tiduran.
b) Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat, dan sederhana Pilih
jenis permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat permainan yang ada
pada anak atau yang tersedia di ruangan. Kalaupun akan membuat suatu alat
permainan, pilih yang sederhana agar tidak melelahkan anak. Misalnya, menggambar
atau mewarnai, bermain boneka, dan membaca buku cerita.
c) Permainan yang harus mempertimbangkan keamanan anak Pilih alat permainan
yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari-lari, dan
bergerak secara berlebihan.
d) Permainan harus melibatkan kelompok umur yang sama Apabila permainan
dilakukan khusus di kamar bermain secara berkelompok, permainan harus dilakukan
pada kelompok umur yang sama. Misalnya, permainan mewarnai pada kelompok usia
prasekolah.
e) Melibatkan orang tua Satu hal yang harus diingat bahwa orang tua mempunyai
kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh-kembang pada anak
walaupun sedang dirawat di rumah sakit, termasuk dalam aktivitas bermain anaknya.
Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi oleh
perawat, orang tua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak mulai dari awal
permainan sampai mengevaluasi hasil permainan anak bersama dengan perawat dan
orang tua anak lainnya.
3) Pertimbangkan untuk menghadirkan orang tua Pada saat anak dilakukan tindakan
atau prosedur yang menimbulkan rasa nyeri apabila orang tua tidak dapat menahan
diri, bahkan menangis bila melihatnya. Maka, perlu dipertimbangkan untuk
menghadirkan orang tua. Sebaiknya dalam kondisi ini tawarkan pada anak dan orang
tua untuk mempercayakan kepada perawat sebagai pendamping anak selama prosedur
tindakan (Supartini, 2014).
4) Tunjukkan sikap empati
Menunjukkan sikap empati sebagai pendekatan utama dalam mengurangi rasa takut
akibat prosedur yang menyakitkan. Empati merupakan kemampuan untuk memahami
dan menerima realita seseorang, merasakan perasaan dengan tepat, dan
mengkomunikasikan pengertian kepada pihak lain. Untuk mengekspresikan empati,
perawat memperlihatkan pengertian atas kepentingan pesan berdasarkan tingkat
perasaan. Teknik ini mengharuskan perawat untuk sensitif dan imajinatif, terutama
jika perawat tidak memiliki pengalaman terdahulu. Empati merupakan tujuan yang
penting, kunci untuk menyelesaikan masalah, dan mendukung komunikasi.
Pernyataan yang menunjukkan empati sangat efektif karena memperlihatkan
perhatian perawat atas kandungan perasaan dan fakta dari komunikasi. Pernyataan
empati bersifat netral, tidak menuduh, dan membantu pembentukan kepercayaan
dalam situasi yang sulit (Potter & Perry, 2009).
5) Lakukan persiapan khusus jauh hari sebelumnya pada tindakan
pembedahan elektif (apabila memungkinkan) Persiapan khusus yang dapat dilakukan
misalnya, dengan mengorientasikan kamar bedah, tindakan yang akan dilakukan, dan
petugas yang akan menangani anak melalui cerita, gambar, atau menonton film video
yang menggambarkan kegiatan operasi tersebut. Terlebih dahulu lakukan pengkajian
yang akurat tentang kemampuan psikologis anak dan orang tua untuk menerima
informasi ini dengan terbuka. Lakukan pula relaksasi pada fase sebelum operasi
sebagai persiapan untuk perawatan pasca operasi (Supartini, 2014).
d. Intervensi modifikasi lingkungan fisik
Modifikasi lingkungan bernuansa anak dapat dilakukan dengan penataan atau
dekorasi menggunakan alat tenun dan tirai bergambar bunga atau binatang lucu,
hiasan dinding bergambar dunia binatang atau fauna, papan nama pasien bergambar
lucu, dinding berwarna dan penggunaan warna yang cerah di ruangan, serta tangga
dicat warna-warni (Supartini, 2014). Penggunaan Pakaian seragam tim kesehatan
yang berwarna putih pun bisa menjadi stresor bagi anak, layaknya lingkungan rumah
sakit yang asing bagi anak dan orang tua (Supartini, 2014). Sehingga penggunaan
pakaian multi warna nonkonvensional pada perawat lebih disukai oleh anak-anak dan
orang tua yang anaknya dirawat di rumah sakit. Selain itu, seragam perawat yang
berwarna mampu meningkatkan persepsi orang tua tentang keandalan perawat
dimana penggunaan pakaian perawat nonkonvensional dapat berkontribusi untuk
meningkatkan hubungan anak dan perawat (Festini, et al., 2008 dalam Utami, 2012).
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perawat dalam melaksanakan
atraumatic care di rumah sakit. Notoadmodjo (2010) menyatakan bahwa ada dua
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan atraumatic care di rumah sakit, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal.
2.6 Faktor internal
Faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri seseorang yang menjadi
rasional untuk seseorang berperilaku terdiri dari persepsi, pengetahuan, keyakinan,
keinginan, motivasi, niat, dan sikap.
a. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (overt behavior). Sebelum seseorang mengadopsi perilaku, ia
harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut. Perawat akan
melaksanakan atraumatic care apabila ia tahu apa definisi, tujuan, manfaat, prinsip
dan intervensi atraumatic care tersebut.
b. Sikap
Sikap (attitude) merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek (Notoatmodjo, 2012). Sikap seseorang terhadap
objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut (Berkowits, 1972
dalam Azwar, 2007).
Notoatmodjo (2012) juga menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk
bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai penghayatan terhadap objek.
Secara lebih sederhana sikap dapat dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk
berespon atau bertindak secara positif atau negatif terhadap suatu objek atau orang
disertai emosi positif atau negatif. Sikap membutuhkan penilaian, ada penilaian
positif, negatif atau netral tanpa reaksi afektif apapun (Maramis, 2006). Sikap positif
merupakan sikap yang menunjukkan atau mempertahankan, menerima, mengakui,
menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu itu
berada. Sikap negatif merupakan sikap yang menunjukkan, memperlihatkan
penolakan atau tidak menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana
individu itu berada (Niven, 2002).
2.7 Faktor eksternal
Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar diri seseorang yang
mendukung seseorang untuk bertindak (berperilaku) atau mencapai tujuan yang
diinginkan, seperti pengalaman, fasilitas, dan sosiobudaya (Notoadmodjo, 2010).
Fasilitas atau sarana di rumah sakit sangat diperlukan untuk mewujudkan sikap
perawat agar menjadi tindakan, seperti tersedianya ruang bermain atau alat-alat
permainan untuk melakukan intervensi bermain pada anak, tersedianya tirai
bergambar bunga atau binatang lucu, hiasan dinding bergambar dunia binatang atau
fauna, papan nama pasien bergambar lucu, dan tersedianya pakaian berwarna warni
untuk perawat di ruang anak (Supartini, 2014).
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atraumatic care adalah penyediaan asuhan terapeutik dalam lingkungan,oleh
personel, dan melalui penggunaan intervensi yang menghapuskan atau memperkecil
distres psikologis dan fisik yang diderita oleh anak-anak dan keluarganya dalam
sistem pelayanan kesehatan (Wong, et al., 2009). Atraumatic care adalah bentuk
perawatan terapeutik yang diberikan oleh tenaga kesehatan dalam tatanan pelayanan
kesehatan anak, melalui penggunaan tindakan yang dapat mengurangi distres fisik
maupun distres psikologis yang dialami anak maupun orang tua (Supartini, 2014).
Manfaat atraumatic care adalah mencegah masalah psikologis (kecemasan) pada
anak, serta mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Hidayat, 2012).
Adapun tujuan dari atraumatic care adalah Jangan melukai, hal tersebut dinyatakan
Wong dan koleganya (2009) sebagai tujuan utama dari atraumatic care.mencegah dan
mengurangi stres fisik (Supartini, 2014). encegah dan mengurangi stres psikologis
(Supartini, 2014).

3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah ini penyusun menyadari masih banyak kekurangan
dan kesalahan, oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran bagi para
pembaca demi penyempurnaan penyusunan makalah selanjutnya. Kepada para
pembaca ,perbanyaklah dan perluaslah pengetahuan dan wawasan kita dengan rajin
membaca.

Anda mungkin juga menyukai