Anda di halaman 1dari 46

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN ANAK I
(HASIL DISKUSI E-LEARNING HOSPITALISASI PADA ANAK DAN ORANG
TUA)

Dosen Pembimbing :
Iqlima Dwi Kurnia, S.Kep.,Ns.,M. Kep

Disusun Oleh:
Seluruh Mahasiswa
Kelas A1 2016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2018
Regyana : Untuk yang pertama kita melakukan pemilihan ketua dan sekertaris.
Kesimpulan : Mahasiswa kelas A1-2016 setuju yang menjadi ketua dan sekretaris
diskusi e-learning keperawatan anak saat ini adalah Regyana
Mutiara Guti dan Cucu Eka Pertiwi selaku PJMK mata kuliah yang
bersangkutan.

Pertanyaan
Nama : Eliesa Rachma Putri
NIM : 131611133001

Bagaimana meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan hospitalisasi pada anak dan orang
tua?

Jawaban

Nama : Indah Latifa

NIM : 131611133016

Baik saya akan menjawab pertanyaan dari Elsa mengenai bagaimana cara meningkatkan
pelayanan asuhan keperawatan hospitalisasi pada anak dan orang tua. Asuhan keperawatan
bukan hanya dilakukan oleh perawat, dalam meningkatkannya perlu kerja sama oleh
beberapa pihak. Dalam hal ini pihak – pihak yang dapat meningkatkan asuhan keperawatan
hospitalisasi pada anak dan orang tua adalah keluarga, perawat dan juga rumah sakit.

1. Untuk Keluarga

Apabila sudah mengetahui dan memahami akibat yang akan dilakukan oleh pasien akibat
hospitalisasi, maka sebagai orang terdekat dengan pasien harus memberikan support dan
dorongan yang efektif kepada pasien agar tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.

2. Untuk Perawat

Bagi seorang perawat sebaiknya harus memahami dan mengerti baik secara teoritis maupun
praktek tentang hospitalisasi agar dapat menerapkan dan memberikan pelayanan yang efektif
kepada pasien dan keluarga yang mungkin mengalami stress, cemas, takut, sedih dan bahkan
marah. Selain itu perawat dapat melakukan komunikasi yang terapeutik dalam menjelaskan
kondisi pasien, agar orang tua dapat memahami dengan baik apa yang sedang terjadi pada
anak mereka.

3. Untuk Rumah Sakit


Bagi rumah sakit hendaknya mendekorasi ruangan anak dengan senyaman mungkin agar
pasien anak tidak merasa takut dan gelisah berada di rumah sakit serta supaya pasien merasa
nyaman berada di rumah sakit sehingga hospitalisasi dan hal yang tidak diinginkan tidak
terjadi.

Sumber :

Utami, Y. 2014. Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah Widya.
(online), Vol. 2, No.2, (http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-
ilmiah/article/download/177/156)

Apriany, D. (2013). Hubungan antara hospitalisasi anak dengan tingkat kecemasan orang tua.
Jurnal Keperawatan Soedirman, 8(2).

Pertanyaan

Nama : Yuliani Puji Lestari

NIM : 131611133003

Bagaimana cara mengatasi anak jika anak tersebut merasa trauma dengan hospitalisasi dan
pada kemudian hari dia tidak mau mengungkapkan apa yang dia rasakan padahal merasakan
sakit namun takut akan dibawa ke rumah sakit kembali?

Jawaban

Nama : Angga Kresna Pranata

NIM : 131611133030

Ketakutan dan kecemasan anak sangat dipengaruhi oleh peran perawat, dalam hal ini perawat
harus dapat memberikan pelayanan keperawatan, dan mampu memfasilitasi keluarga dalam
berbagai bentuk pelayanan kesehatan baik berupa pemberian tindakan keperawatan langsung
maupun pendidikan kesehatan pada anak. Yang dapat dilakukan perawat agar anak-anak
tidak mengalami trauma hospitalisasi yaitu dengan memberikan kenyamanan dan dukungan
pada anak baik dengan mempertahankan kehidupan social, budaya, dan ekonomi keluarga
yang dapat menentukan pola kehidupan anak. Perawat dapat memberikan
penyuluhan/pendidikan kesehatan pada orang tua anak atau dengan menolong orang tua atau
anak dalam memahami pengobatan dan perawatan anaknya.
Ketika anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa dukungan atau
motivasi maka, sebagai konselor, perawat dapat memberikan konseling keperawatan ketika
anak dan orang tuanya membutuhkan, dengan cara mendengarkan segala keluhan, melakukan
sentuhan, dan hadir secara fisik, perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan
orang tua anak tentang masalah anak dan keluarganya, dan membantu mencari
alternatif pemecahannya. Perawat juga dapat melakukan bina hubungan saling percaya
dengan si anak agar anak merasa aman dan nyaman.

Sumber:

Utami, Y. (2014). DAMPAK HOSPITALISASI TERHADAP. Jurnal Ilmiah WIDYA, 9-20.)

Pertanyaan

Nama : Chusnul Hotimah

NIM : 131611133004

Seorang perawat memiliki peran tersendiri dalam pelayanan kesehatan. Salah satunya yaitu
peran sebagai educator. Mengenai hospitalisasi pada anak, bagaimana perawat menjalankan
perannya sebagai educator?

Jawaban

Nama : Nesya Ellyka

NIM : 131611133038

Efek hospitalisasi jangka pendek atau jangka panjang baik pada anak dan orang tua dapat
diminimalkan dengan mengoptimalkan peran perawat. Potter dan Perry (2005) menjelaskan
bahwa salah satu peran perawat yaitu educator dimana perawat mendemonstrasikan
prosedur, memberikan informasi penting dan mengevaluasi hasil pembelajaran.

Perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling sering berinteraksi dengan anak dan keluarga
sangat berperan dalam meminimalisasi cemas sebagai dampak hospitalisasi yang terjadi pada
anak dan orang tua. Mok dan Leung (2006) dalam penelitiannya tentang perawat sebagai
pemberi dukungan pada ibu sebagai orang tua anak yang dirawat di rumah sakit menjelaskan
orang tua merasa tenang ketika tim keperawatan mampu memberikan dukungan sehingga
mereka mampu membentuk koping positif.

Pendapat yang tidak jauh berbeda dijelaskan oleh Trask, et.al. (2003) dalam penelitiannya
tentang koping dan dukungan sosial keluarga bahwa perawat memiliki peran dan fungsi yang
penting dalam membantu koping orang tua selama hospitalisasi. Ball dan Blinder (2003)
menyebutkan bahwa fokus peran perawat dalam merawat klien dan keluarga adalah
memberikan informasi dan membangun kepercayaan, meningkatkan keterlibatan orang tua,
memfasilitasi kebutuhan fisik dan emosional, memfasilitasi hubungan positif orang tua dan
staf rumah sakit dalam berkomunikasi dan menjaga system dukungan keluarga. Senada
dengan Ball dan Blinder (1999) menggambarkan peran perawat dalam memberikan
dukungan kepada klien dan orang tua terangkum dalam empat dimensi dukungan perawat,
yaitu : dukungan informasi, dukungan emosional, dukungan penilaian, dan dukungan
instrumental. Dukungan informasi adalah pemberian informasi kepada orang tua dengan
bahasa yang mampu dipahami tentang penyakit anak, pengobatan, perkembangan, perawatan
yang diberikan, perilaku anak, respon emosional anak, dan peran orang tua dalam merawat
anak di rumah sakit (Miles, Carlon & Brunssen 1999).

Sumber :

Apriany, Dyna. 2013. HUBUNGAN ANTARA HOSPITALISASI ANAK DENGAN


TINGKAT KECEMASAN ORANG TUA. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman
Journal of Nursing), Volume 8, No.2.

https://media.neliti.com/media/publications/106107-ID-hubungan-antara-hospitalisasi-anak-
denga.pdf

Pertanyaan

Nama : Adelia Dwi Lailyvira Ramadhania

NIM : 131611133005

Bagaimana cara menurunkan dampak hospitalisasi pada anak ?

Jawaban

Nama : Annisa Fiqih I

NIM :131611133045

Perawat memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan bagi anak dan keluarga
guna meminimalkan dampak hospitalisasi pada anak. Persiapan yang dibutuhkan anak pada
saat masuk rumah sakit bergantung pada jenis konseling pra rumah sakit yang telah mereka
terima. Jika mereka telah dipersiapkan dalam suatu program formal, mereka biasanya
mengetahui apa yang akan terjadi dalam prosedur medis awal, fasilitas rawat inap dan staf
keperawatan. Persiapan pemberian informasi yang akurat akan membantu anak mengurangi
ketidakpastian, meningkatkan kemampuan koping, meminimisasi stres, mengoptimalkan
hasil pengobatan, dan waktu penyembuhan (Jaaniste dkk.2007, dalam Gordon dkk.2010).

Penelitian (Schmidt 1990; Margolis dkk. 1998; Claar dkk. 2002; Gordon dkk. 2010)
membuktikan jika seorang anak mendapat informasi yang jelas terlebih dahulu sebelum
prosedur dilakukan, pada umumnya akan memiliki hasil yang baik (stres berkurang dan
penyesuaian lebih baik) selama dan setelah tindakan. Oleh sebab itu, jika informasi yang
diberikan konsisten dengan pengalaman rumah sakit yang nantinya akan benar-benar dialami
oleh anak, anak akan cenderung memiliki rasa percaya yang lebih besar terhadap pemberi
informasi dan pemberi pelayanan yang terlibat (Gordon dkk, 2010). Pemberian informasi
yang adekuat terbukti dapat menurunkan kecemasan orang tua dan ketakutan anak yang akan
menjalani hospitalisasi.

Sumber:

Utami, Yuli. 2014. Dampak Hospitalisasi pada Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah WIDYA.
Volume 2 Nomor 2 http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-
ilmiah/article/view/177/156

Pertanyaan
Nama : Sarah Maulida Rahmah
NIM : 131611133006

Saya sarah, ingin bertanya pada video tersebut telah disebutkan bahwa anak-anak dengan
luka yang parah akan mengalami perubahan misal lebih sering untuk menangis dan takut
akan segala tindakan yang diberikan oleh perawat, maka dari itu bagaimana cara
meminimalkan kendali kehilangan kendali pada anak yang menderita luka parah?

Jawaban

Nama : Regyana Mutiara Guti

NIM :131611133013

Untuk meminimalkan kehilangan kendali pada anak dengan luka parah ketika hospitalisasi
adalah dengan cara memelihara kontak dengan orang tua anak, hampir seluruh pemeriksaan
fisik dapat dilakukan di pangkuan orang tua dan orang tua dapat memeluk anak untuk
beberapa tindakan. Kapanpun prosedur dilakukan pada anak-anak, sebaiknya dilakukan
secepat mungkin sambil tetap mempertahankan kontak orang tua dan anak.

sumber:

Utami, Y. (2014). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah


WIDYA Volume 2 Nomor 2, 17.

http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/177 (diakses 21
Februari 2018)

Pertanyaan
Nama : Cucu Eka Pertiwi

NIM : 131611133007
Di video sudah dijelaskan bahwa pada saat hospitalisasi, anak mengalami kecemasan. Untuk
mengatasi kecemasan dapat diatasi dengan terapi bermain. Saya ingin bertanya, bagaimana
pengaruh terapi bermain terhadap tingkat kecemasan anak sehingga anak bisa melewati fase
protes, fase putus asa hingga ke fase penerimaan ?

Jawaban

Nama : Reffy Shania Novianti

NIM : 131611133010

Pada hari pertama anak dirawat di rumah sakit, berarti anak berada pada fase pertama yaitu
fase protes. Hal ini mengindikasikan bahwa anak belum melewati fase adaptasi untuk
mencapai tahap penerimaan, karena tahap penerimaan ini biasanya terjadi setelah anak
dirawat di rumah sakit selama bebenapa hari atau dalam jangka waktu lebih dari dua hari.
Karakteristik perkembangan kognitif anak usia prasekolah juga mempengaruhi kecemasan
selama dilakukan tindakan keperawatan. Anak usia prasekolah cenderung berpikiran magis.
Mereka menganggap bahwa semua prosedur baik yang menimbulkan nyeri atau tidak,
sebagai sesuatu yang akan melukai tubuhnya. Dalam hal ini, metode bermain yang sesuai,
pendekatan perawat dan dukungan orang tua selama pemberian terapi bermain berpengaruh
terhadap reaksi anak selama tindakan dilakukan. Hal ini akan memudahkan terbinanya rasa
saling percaya dan menghindari respon kecemasan terhadap orang yang tidak dikenal.

Terapi bermain membebaskan anak dari konflik dan mengurangi efek akibat pengalaman
traumatik (Johnson,1995). Terapi bermain dengan model yang berfokus pada hubungan
mengandung beberapa unsur yang dapat menurunkan kecemasan anak akibat prosedur
tindakan keperawatan atau medis. Unsur tersebut antara lain dengan adanya penjelasan yang
cukup tentang prosedur yang akan dilakukan kepada anak dengan metode role play,
mempraktekannya pada alat permainan serta mengijinkan anak untuk mengenal peralatan
yang akan digunakan selama tindakan, di dalam terapi bermain terdapat aktivitas rekreasi,
distraksi serta unsur relaksasi yang dapat menurunkan kecemasan anak.

Saat bermain, anak mengekspresikan perasaan frustasi, hostilitas atau permusuhan serta
perasaan kemarahan, sehingga anak dapat melepaskan ketegangan dan beradaptasi terhadap
stressor. Aktivitas bermain ini memasukkan strategi koping sederhana untuk menghadapi
kecemasan, seperti relaksasi dan distraksi (mengalihkan perhatian anak pada kegiatan yang
disukainya) yang bermanfaat untuk menurunkan kecemasan selama tindakan keperawatan
sehingga akan terbentuk pula sikap kooperatif selama dilakukan tindakan.

Sumber :

Alfiyanti, D., Hartiti, T., & Samiasih, A. (2012). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat
Kecemasan Anak Usia Prasekolah Selama Tindakan Keperawatan di Ruang Lukman Rumah
Sakit Roemani Semarang. Jurnal Keperawatan Vol.1 No.1 , 35-44.
Pertanyaan
Nama : Locita Artika Isti

NIM : 131611133008

Bayi dapat mengalami stres ketika hospitalisasi karena cedera atau rasa nyeri pada tubuhnya
saat perawat melakukan tindakan. Apakah stres yang dialami bayi saat hospitalisasi dapat
terbawa sampai dewasa?

Jawaban

Nama : Dwi Utari Wahyuning Putri


NIM : 131611133019
Bayi yang berusia kurang dari 6 bulan tampak tidak memiliki ingatan yang nyata tentang
pengalaman nyeri sebelumnya. Dengan koping yang baik dan terapi-terapi yang diberikan
merupakan cara yang paling banyak digunakan, dengan cara-cara tersebut dapat
mempercepat proses penyembuhan sehingga bayi tersebut ketika dewasa akan lupa dengan
rasa nyeri saat dia mengalami hospitalisasi ketika bayi dulu.

Sumber:

Utami, Y. 2014. Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah (Vol.2
No.2)

Pertanyaan
Nama : Ni’matush Sholeha

NIM : 131611133009

Di Video kan dijelaskan fase atau tingkatan stressor hospitalisasi pada anak. yang ingin saya
tanyakan apakah semua anak mengalami fase atau tingkatan stress secara bertahap akibat
hospitalisasi? Jelaskan!

Jawaban

Nama : Indriani Dwi Wulandari

NIM :131611133034

Tidak semua anak mengalami fase atau tingkatan stress secara bertahap, bahkan ada anak
yang tidak mengalami fase-fase tersebut akibat hospitalisasi, karena setiap anak memiliki
respon yang berbeda saat terjadi hospitalisasi. Reaksi tersebut dipengaruhi oleh
perkembangan anak, pengalaman hospitalisasi anak, support system dalam keluarga si anak,
keterampilan koping, serta seberapa parah atau berat/ringannya penyakit pada anak. Jika anak
sudah pernah mengalami atau memeiliki pengalaman hospitalisasi, dapat memungkinkan
anak sudah tidak mengalami fase protes (phase of protest) dan fase putus asa (phase of
despair) namun masih mengalami fase menolak (phase of denial) dimana anak mampu
menyesuaikan diri terhadap kehilangan, bermain dengan orang lain, dan membentuk
hubungan baru, meskipun perilaku tersebut dilakukan dari hasil kepasrahan dan bukan dari
hasil kesenangan anak.

Sumber :

Utami, Y. (2014). Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. Jurnal ilmiah Widya
Vol 2. (2), 9-15. Jakarta

http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/177 (diakses 21
Februari 2018)

Pertanyaan
Nama : Reffy Shania Novianti

NIM : 131611133010

Apakah hospitalisasi berdampak juga bagi saudara kandung dari anak yang dirawat di rumah
sakit? karena pada umumnya ketika anak sakit perhatian orang tua lebih terfokuskan kepada
anak yang sedang dirawat di rumah sakit, jika ada bagaimana cara mengatasi dampak yang
terjadi?

Jawaban

Nama : Elin Nur Annisa

NIM : 131611133037

Dampak hospitalisasi juga berdampak pada saudara kandung anak karena saudara kandung
sangat terpengaruh dalam menghadapi anggota keluarga yang sedang di rawat dirumah sakit.
Saudara kandung akan merasa cemburu, marah, benci, iri dan bahkan merasa bersalah. Hal
tersebut dikarenakan secara tiba-tiba perhatian keluarga sedang tertuju kepada saudaranya
yang sakit sehingga saudara kandung akan merasa terabaikan. Menurut pendapat Simon,
(1993) yang di kutip oleh Wong, (2003), berdasarkan pengalaman saudara kandung yang
dikaji persepsinya, mereka mengalami stres yang sama tingkatannya dengan stres pada anak
yang menjalani hospitalisasi. Untuk mengatasi hal ini, perawat dapat membantu orang tua
untuk mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan saudara kandung pasien dengan cara
memberikan informasi tentang kondisi penyakit saudara kandung dan sejauh mana
perkembangannya, membiarkan saudara kandung pasien untuk mengunjungi saudaranya
yang dirawat, anjuran untuk memberikan perhatian seperti membuatkan gambar atau kartu
serta menelpon saudaranya yang dirawat, selain itu kita juga bisa membiarkan saudara
kandung pasien untuk terlibat dalam perawatan saudaranya semampunya.

Sumber:
Utami, Y. (2014). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah
WIDYA 9 Volume 2 Nomor 2 , 9-20.

Pertanyaan
Nama : Nabila Hanin Lubnatsary

NIM : 131611133011

Selama ini di indonesia yang saya tahu untuk menurunkan stress akibat hospitalisasi pada
anak paling banyak adalah dengan meningkatkan peran orang tua. Namun, saat ini sudah
banyak metode yang dilakukan selain meningkatkan peran orang tua, yaitu dengan terapi
mewarnai, terapi musik dan bermain peran. Lalu, apakah ada metode lain yang dapat
digunakan untuk menurunkan stress akibat hospitalisasi pada anak?

Jawaban

Nama : Nafidatun Naafi'a

NIM : 131611133015

Saat ini, metode yang banyak dilakukan oleh Rumah Sakit untuk menurunkan stress pada
anak yang mengalami hospitalisasi antara lain terapi bermain, terapi musik, dan sebagainya.
Metode yang masib jarang digunakan untuk menurunkan kecemasan pada anak adalah
dengan Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio atau disebut juga dengan Guided Imagery and
Music. Terapi ada bimbingan ini merupakan gabungan dari Terapi Imajinasi dan Terapi
Music, dimana anak akan mendengarkan musik sambil melihat gambar-gambar yang mereka
sukai, kemudian anak akan diarahkan untuk membayangkan hal menyenangkan terkait
dengan gambar yang telah dipilihnya. Dengan berimajinasi seperti ini, anak akan merasa
senang sehingga stress yang dialaminya akan turun dan berpengaruh pada turunnya tingkat
kecemasan pada anak.

Sementara metode bimbingan imajinasi memberikan manfaat pada anak antara lain: belajar
untuk bersantai/rileks, mempersiapkan diri bagi anak-anak menghadapi masa, menghilangkan
atau merubah perilaku yang tidak diinginkan, meningkatkan manajemen nyeri secara efektif,
perilaku pembelajaran yang diinginkan dan baru, menjadi lebih termotivasi dalam
menghadapi suatu masalah, mengatasi atau menghilangkan marah, mengolah situasi stres dan
kecemasan. Sementara itu, musik, sebagai audio dalam Guided Imagery and Music, sendiri
telah terbukti berimbas positif pada kemampuan mengekspresikan diri, aktifitas grup yang
kooperatif, imajinasi, dan mensinkronisasikan pengalaman sensorimotor. Musik memiliki
efek yang positif dan menguntungkan terhadap mood, stress, kepercayaan diri, motivasi,
ekspresi emosional dan sebagainya.

Selain terbukti mampu menurunkan tingkat kecemasan pada anak saat melakukan
hospitalisasi, bimbingan imajinasi rekaman audio akan membuat kedekatan anak dengan
tenaga keperawatan, meningkatkan rasa percaya diri anak dalam membina hubungan
terapeutik, sehingga anak tidak merasa sendiri, anak menjadi kreatif dalam berimajinasi hal-
hal yang positif untuk mengurangi ketidaknyamanan anak selama dirawat.

Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio ini berdasar pada salah satu penelitian di sebuah
Rumah Sakit di Indonesia disebutkan bahwa 63,1% anak mengalami penurunan nyeri perut
setelah melakukan Bimbingan Imajinasi, sementara anak yang hanya melakukan Terapi
Medis mengalami 26,7% penurunan nyeri perut.

Sumber:

Hohmann, L., Bradt, J., Stegemann, T., & Koelsch, S. (2017). Effects of music therapy and
music-based interventions in the treatment of substance use disorders: A systematic review.
PLoS ONE, 12(11), e0187363. http://doi.org/10.1371/journal.pone.0187363

Masulili, F. (2013). Metode Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio Untuk Menurunkan Stres
Hospitalisasi Pada Anak Usia Sekolah Di Rumah Sakit Di Kota Palu. Jurnal Keperawatan
Anak, 1(2).

Pertanyaan
Nama : Ragil Titi Hatmanti

NIM : 131611133012

Dalam intervensi non farmakologis yang diberikan pada anak ada guided imagery sebagai
salah satu alternatif untuk menghilangkan rasa nyeri. Bagaimana prinsip dari guided imagery
itu sehingga bisa menghilangkan rasa nyeri pada anak? Dan apa manfaat guided imagery
selain menghilangkan rasa nyeri pada anak?

Jawaban

Nama : Nabila Hanin Lubnatsary

NIM : 131611133011

Guided Imagery adalah salah satu metode yang dapat dilakukan untuk pengontrolan nyeri
yang termasuk kedalam teknik perilaku kognitif (cognitive-behavioral), tujuan dari teknik ini
yaitu untuk memberikan kenyamanan, mengubah respon psikologi untuk mengurangi
persepsi nyeri dan mengoptimalisasi fungsi tubuh, sehingga anak merasa lebih nyaman dan
mengabaikan rasa nyeri itu.

Manfaat dari guided imagery selain menghilangkan atau menurunkan presepsi nyeri pada
anak adalah untuk menurunkan kecemasan, kontraksi otot dan memfasilitasi tidur. Tidak
hanya itu saja, namun guided imagery memberikan manfaat kepada anak untuk belajar rileks,
menghilangkan atau merubah perilaku yang tidak diinginkan, meningkatkan manajemen
nyeri secara efektif, perilaku pembelajaran yang diinginkan dan baru, menjadi lebih
termotivasi dalam menghadapi suatu masalah, mengatasi atau menghilangkan marah,
mengolah situasi stres, dan lebih membuka kreativitas dan imajinasi anak.

sumber:

Deswita, Ns.; Asterina, Dra; Hikmah, Ummul ;. (2014). Pengaruh Teknik Relaksasi Imajinasi
Terbimbing (Guided Imagery) Terhadap Pemenuhan Kebutuhan Tidur Anak Usia Sekolah di
Ruang Rawat Inap Anak RSUD Prof. Dr. Ma. Hanafiah SM Batusangkar. Ners Jurnal
Keperawatan Volume 10. No 1, Oktober , 110 - 117.

Khasanah, Nopi Nur; Astuti, Indra Tri;. (2017). Teknik Distraksi Guided Imagery sebagai
Alternatif Manajemen Nyeri pada Anak saat Pemasangan Infus. 330 Jurnal Kesehatan,
Volume VIII, Nomor 3, November , 326-330.

Pertanyaan
Nama : Regyana Mutiara Guti

NIM : 131611133013

Bagaimana realisasi sikap seorang anak yang mengalami reaksi hospitalisasi saat dirawat di
rumah sakit?

Jawaban

Nama : Ni Putu Neni Indriyani

NIM : 131611133031

Bahwa reaksi hospitalisasi pada anak bersifat individual dan sangat tergantung pada usia
perkembangannya, pengalaman sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia
dan kemampuan koping yang dimilikinya. Anak membayangkan bahwa dirawat di rumah
sakit merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya
dihambat. Anak akan berespon dengan perasaan malu, bersalah dan takut.

Respon anak ketika menghadapi efek hospitalisasi, bisa dalam bentuk kecemasan, takut
prosedur invasif, tidak kooperatif, tantrum, dan menolak petugas kesehatan. Contoh yang
lebih spesifik yaitu seperti menolak makan, menangis pelan-pelan, sering bertanya misalnya
kapan orang tuanya berkunjung, tidak kooperatif terhadap aktifitas sehari-hari.

Kehilangan kontrol terjadi karena adanya pembatasan aktifitas sehari-hari dan karena
kehilangan kekuatan diri.

Sumber :

Solikhah, U. (2013). Efektifitas Lingkungan Terapetik terhadap Reaksi Hospitalisasi pada


Anak. Jurnal Keperawatan Anak, 1(1).
Pertanyaan
Nama : Dita Fajrianti
NIM : 131611133014

Bagaimana peran keluarga dalam membantu memberikan asuhan keperawatan pada anak
yang mengalami hospitalisasi?

Jawaban

Nama : Yuliani Puji Lestari

NIM : 131611133003

Menurut saya selama proses perawatan di rumah sakit (hospitalisasi), anak tidak terlepas dari
keluarga terutama orang tuanya. Oleh karena itu, perawatan berfokus keluarga (PBK)
menjadi konsep utama perawatan anak selama hospitalisasi. Pentingnya peran dan
keterlibatan keluarga dalam memberikan asuhan keperawatan. Fenomena ini memunculkan
budaya pentingnya pemberdayaan keluarga selama hospitalisasi. Dengan menempatkan
keluarga sebagai mitra dalam merawat anak selama hospitalisasi dapat meningkatkan
kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan, menyelesaikan masalah, dan
menggunakan sumber-sumber yang tepat dalam memenuhi kebutuhan kesehatan.
Pemberdayaan keluarga dapat dipandang sebagai suatu proses memandirikan klien dalam
mengontrol status kesehatannya. Pemberdayaan keluarga ini bertujuan untuk memampukan
anak melalui proses transfer termasuk didalamnya transfer kekuatan/power, otoritas, pilihan
dan perijinan sehingga mampu menentukan pilihan dan membuat keputusan dalam
mengontrol hidupnya.

Sumber :

Nurhaeni, N., Sutadi, H., Rustina, Y., & Supriyatno, B. (2011). Pemberdayaan keluarga pada
anak balita pneumonia di rumah sakit: Persepsi perawat anak dan keluarga. Makara
Kesehatan, 2(15), 58-64

Pertanyaan
Nama : Nafidatun Naafi’a
NIM : 131611133015
Saya pernah membaca bahwa kebanyakan anak mengalami kecemasan saat menjalani
hospitalisasi yang biasa disebut dengan separation anxiety. Yang ingin saya tanyakan adalah
apa yang disebut separation anxiety itu? Lalu, apakah yang mempengaruhi koping pasien
(anak) terhadap jenis kecemasan tersebut?
Jawaban
Nama : Ragil Titi Hatmanti

NIM : 131611133012

Kecemasan perpisahan atau separation anxiety merupakan masalah-masalah yang terjadi


pada usia kanak-kanak dikarenakan kecemasan berlebihan akibat perpisahan dengan
orangtuanya atau orang terdekatnya. Kecemasan perpisahan akan meningkatkan kecemasan
anak usia prasekolah terhadap lingkungan rumah sakit yang dianggap asing. Anak yang
dirawat di rumah sakit cenderung memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi. Reaksi
terhadap perpisahan yang ditunjukan anak usia prasekolah ialah menangis secara perlahan
dan tidak kooperatif terhadap petugas kesehatan. Anak bereaksi secara agresif terhadap
perpisahan dengan cara menangis, memanggil orang tua, tidak bisa ditenangkan, dan
menunjukkan tingkah laku agresif seperti memukul, mencubit.

Salah satu hal yang dapat mempengaruhi koping terhadap jenis kecemasan tersebut adalah
tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan pada anak akan mempengaruhi pemahaman tentang
perawatan anak (perawatan yang sedang diberikan) dan proses adaptasi keluarga terhadap
proses hospitalisasi anak. Anak dengan usia sekolah akan lebih mudah memahami apa yang
disampaikan oleh perawat tentang pelayanan keperawatan yang sedang diberikan dan dampak
bagi tubuhnya sehingga kecemasan akan berkurang sedikit demi sedikit. Sedangkan anak
prasekolah yang memiliki sifat egosentris dan memiliki kemampuan menangkap informasi
yang kurang bagus akan cenderung meningkat kecemasannya karena anak prasekolah
memiliki keterbatasan pengetahuan tentang tubuhnya. Selain itu, anak prasekolah juga
menganggap hospitalisasi merupakan hukuman yang diberikan dengan memisahkan mereka
dari orangtuanya.

Sumber : Jannah, M., Agustina, R., & Marlinda, E. (2015). PERAN ORANG TUA
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN ANAK PADA SAAT PEMASANGAN INFUS
DIINSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RSUD BANJARBARU. Dunia Keperawatan,
3(2), 26-33.

Pertanyaan
Nama : Indah Latifa

NIM : 131611133016

Bagaimana dampak hospitalisasi pada anak penderita kanker?

Jawaban

Nama : Listya Ernissa Mardha

NIM : 131611133017

Anak yang dirawat di rumah sakit, akan mudah mengalami krisis karena mengalami stress
akibat perubahan baik terhadap status kesehatan maupun lingkungan dalam kebiasaan sehari-
hari dan mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi
masalah maupun kejadian yang bersifat menekan. Hasil observasi yang dilakukan oleh
peneliti terhadap pasien anak usia prasekolah yang menderita leukemia limfositik akut di
ruang melati 2 RSUD Dr.Moewardi Surakarta 7 pasien mengalami regresi, pasien terlihat
berdiam diri, menolak untuk kerjasama, ketakutan kecurigaan yang sangat tinggi dengan
orang lain. semakin lama seorang dangan penderita kanker berada di rumah sakit, maka
semakin berkurang juga dampak dari hospitalisasi yang dideritanya karena anak akan
menjadi terbiasa dengan lingkungan rumah sakit.

Sumber :

FAOZI, E. (2010). HUBUNGAN HOSPITALISASI BERULANG DENGAN


PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL ANAK PRASEKOLAH YANG MENDERITA
LEUKEMIA LIMFOSITIK AKUT DI RUANG MELATI 2 RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surakarta).

Pertanyaan
Nama : Listya Ernissa Mardha

NIM : 131611133017

Bagaimana cara mengatasi kecemasan pada ibu saat menghadapi hospitalisasi pada anak ?

Jawaban

Nama : Eliesa Rachma Putri

NIM : 131611133001

Ikatan batin ibu dan anak sangat kuat, ini dapat menimbulkan reaksi yg berlebihan oleh ibu.
Dalam jurnal yang saya baca untuk mengatasi kecemasan ibu yang anaknya mengalami
hospitalisasi yaitu perlu dukungan dari perawat dalam menyampaikan kondisi anak, hal ini
dapat membuat reaksi yang berlebihan pada ibu menurun. Selain peran perawat yang
menyampaikan keadaan anak secara terapeutik perlu dukungan dari keluarga untuk
membantu ibu agar tidak stress dalam menghadapi kondisi anak yang tengah sakit. Dukungan
dari suami dalam hal ini dapat membantu ibu meringankan strees yang tengah dialami,
bagaiamana caranya? Suami dapat bergantian dalam menjaga anak serta memotifasi ibu
bahwa keadaan anak serta perlakuan perawat terhadap anak meruakan yang terbaik.

Sumber:

Tamsuri, A., Lenawati, H., & Puspitasari, H. (2010). FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMPENGARUHI KECEMASAN PADA IBU SAAT MENGHADAPI HOSPITALISASI
PADA ANAK DI RUANG ANAK RSUD PARE KEDIRI TAHUN 2008. Jurnal
Keperawatan, 1(2). (http://ejournal.umm.ac.id/index.php/keperawatan/article/view/404)
Pertanyaan
Nama : Rufaidah Fikriyah

NIM : 131611133018

Faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi reaksi anak usia prasekolah terhadap
hospitalisasi?

Jawaban

Nama : Erva Yulinda Maulidiana

NIM : 131611133033

Anak pada usia prasekolah sudah mulai dapat menyampaikan pendapatnya dan sudah mulai
dapat merasakan apa yang menurutnya dapat membuatnya senang atau tidak. Menurut
sumber yang saya baca, reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah sakit berbeda-
beda pada setiap individu. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Perkembangan usia
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses
perawatan. Menurut Sacharin, semakin muda usia anak, maka anak tersebut semakin baginya
untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman dirawat di RS.

Selain usia, pengalaman anak sebelumnya terhadap proses sakit dan dirawat, juga sangat
berpengaruh. Apabila anak pernah mengalami pengalaman tidak menyenangkan dirawat di
RS sebelumnya, maka akan menyebabkan anak merasa takut dan trauma. Sebaliknya, apabila
anak dirawat di RS sebelumnya mendapatkan pelayanan dan perawatan yang baik serta
menyenangkan, anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartin, 2004)

Sistem pendukung (support system) yang ada juga akan membantu anak untuk beradaptasi
dengan lingkungan RS dimana ia dirawat. Anak akan mencari dukungan yang ada dari orang
lain untuk melepaskan ekanan akibat penyakit yang dideritanya.

Sumber:

Alini, A. (2017). PENGARUH TERAPI BERMAIN PLASTISIN (PLAYDOUGHT)


TERHADAP KECEMASAN ANAK USIA PRASEKOLAH (3-6 TAHUN) YANG
MENGALAMI HOSPITALISASI DI RUANG PERAWATAN ANAK RSUD
BANGKINANG TAHUN 2017. Jurnal Ners, 1(2), 1-10.

Pertanyaan
Nama : Dwi Utari Wahyuning Putri
NIM : 131611133019
Bagaimana cara perawat meningkatkan mekanisme koping adaptif pada anak yang
menghadapi stress akibat hospitalisasi?

Jawaban
Nama : Rizki Jian Utami
NIM : 131611133032
Sakit dan dirawat di rumah sakit merupakan krisis utama yang tampak pada anak. Jika anak
dirawat di rumah sakit, anak akan mudah mengalami krisis karena anak stres akibat
perubahan baik pada status kesehatannya maupun lingkungannya dalam kebiasaan sehari-
hari, dan anak mempunyai sejumlah keterbatasan dalam mekanisme koping untuk mengatasi
masalah maupun kejadian kejadian yang bersifat menekan (NurSalam, Susilaningrum, dan
Utami, 2005). Akibat dari hospitalisasi akan berbeda-beda pada anak bersifat individual dan
sangat tergantung pada tahapan perkembangan anak.
Mekanisme koping anak sangat mendukung proses adaptasi. Adapun perawat perlu
melakukan pendekatan kepada klien agar klien lebih kooperatif, dalam hal ini diperlukan
keterampilan serta pengetahuan terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak di setiap
tahapan usia. Media yang efektif dalam upaya untuk mengatasi koping maladaptif anak saat
di hospitalisasi adalah dengan bermain. Oleh karena itu pemberian aktifitas bermain pada
anak di rumah sakit akan memberikan nilai yang terapeutik yang akan sangat berperan dalam
pelepasan ketegangan pada anak(Wong, 2003). Perawat juga harus melibatkan orang terdekat
klien untuk berperan aktif saat memberikan aktivitas bermain kepada klien, dalam hal ini
perawat dapat bertindak sebagai fasilitator. Misalnya dengan mengajak orang tua untuk
mendampingi anaknya.
Sumber:
Astarani, K., Sukoati, S. (2012). Aktivitas Bermain Mewarnai dapat Meningkatkan
Mekanisme Koping Adaptif Saat Menghadapi Stres Hospitalisasi pada Anak. STIKES , 5, 2.

Pertanyaan
Nama : Ayu Saadatul Karimah
NIM : 131611133020
Peran orang tua sangatlah penting dalam proses penyembuhan pada anak yang mengalami
hospitalisasi, namun jika ada suatu kejadian dimana orang tua yang sangat penting perannya
bagi sang anak malah tidak bersikap bekerja sama terhadap penyembuhan yang direncanakan.
Misalnya sang ibu sibuk bekerja begitu juga dengan ayahnya, sehingga sang anak hanya
dititipkan pada pembantunya. Apakah perannya sebagai orang tua bisa digantikan dengan
orang lain? Atau ada cara yang bisa memperbaiki hubungan keduanya sehingga hospitalisasi
dapat di hindari ?

Jawaban
Nama : Verantika Setya Putri
NIM : 131611133026
Menurut Saya Peran orang tua dalam penyembuhan anak sangatlah penting tidak bisa
digantikan oleh orang lain karena dalam hubungan ibu dan anak terbentuk suatu hubungan
naluri sejak sang ibu melahirkan, dan dalam kasus ini dukungan orang tua sangat
mempengaruhi penyembuhan anak dengan adanya kasih sayang, anak akan mampu
meminimalisir stress sehingga akan meningkatkan system imun anak.
Menurut Supartini (2004) perawatan anak dirumah sakit merupakan pengalaman yang penuh
stress, baik bagi anak maupun orang tua. Lingkungan rumah sakit itu sendiri merupakan
penyebab stress dan kecemasan pada anak. Pada saat anak yang dirawat dirumah sakit akan
muncul tantangan-tantangan yang harus dihadapinya seperti, mengatasi suatu perpisahan dan
penyesuaian dengan lingkungan yang asing baginya, maka daripada itu waktu dari orang tua
untuk anaknya disini sangat penting dengan adanya orang tua disini anak akan selalu merasa
aman.
Dukungan orang tua merupakan salah satu faktor yang dapat membantu anak dalam
mengkoping stressor. Menurut Wills, Friedman (1998) yang menyatakan bahwa dukungan
keluarga dapat menimbulkan efek penyangga yaitu dukungan keluarga menahan efek-efek
negatif dari stress terhadap kesehatan dan efek utama yaitu dukungan keluarga secara
langsung mempengaruhi peningkatan kesehatan terutama dukungan orang tua terhadap anak.
Dukungan orang tua yang tinggi juga akan meningkatkan harga diri, kemampuan koping
anak dalam menghadapi berbagai stressor yang dihadapinya saat hospitalisasi. Dengan
kemampuan koping tersebut maka tingkat kecemasan anak yang dialaminya ketika
hospitalisasi dapat diminimalisir. Maka daripada itu sesibuk-sibuknya orang tua bekerja harus
meluangkan sedikit waktunya untuk anak, apalagi ketika anak sedang sakit dan mengalami
hospitalisasi. Karena ketika anak kurang perhatian orang tua anak akan merasa stress dan
akan gagal melakukan hospitalisasi sehingga perkembangan pada anak akan terganggu.
Keluarga atau orang tua disini merupakan unsur penting dalam perawatan, khususnya
perawatan pada anak.Oleh karena anak merupakan bagian dari keluarga ,maka Disini peran
kita sebagai perawat Dalam membantu memperbaiki hubungan orang tua dan anak yaitu
perawat harus mampu mengenal keluarga sebagai tempat tinggal atau konstanta tetap dalam
kehidupan anak (Wong, 2001).Sebagai perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan,
perawat harus mampu memfasilitasi keluarga dalam berbagai bentuk pelayanan kesehatan
baik berupa, pemberian tindakan keperawatan langsung, maupun pendidikan kesehatan bagi
anak dan orang tua .Selain itu, perawat dapat menentukan pola kehidupan anak selanjutnya
Bersama orang tua (Alimul, 2005).
Setelah perawat mengenali keluarga si anak maka langkah selanjutnya perawat memberikan
Pendidikan kepada orang tua tersebut agar orang tua dapat membentu kesembuhan anak
tersebut. Hal-hal yang harus disampaikan ketika memberikan Pendidikan kepada orang tua
yaitu mengajari orang tua untuk menerima semua sikap anak baik yang buruk maupun yang
baik, yang kedua investasi waktu artinya orang tua harus meluangkan waktu walupun
sebentar, yang ketiga mengajari untuk selalu memberikan sentuhan kepada anak karena
dengan melalui sentuhan anak akan merasakan kenyamanan, yang keempat mengajarkan
anak nilai dan life skill, dan yang terakhir selalu menjadi contoh yang baik dan tangguh untuk
sang anak.
Sumber:
Lumiu, S. E., Tuda, J., & Ponidjan, T. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga dengan
Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi pada Anak di Usia Pra Sekolah di Irina E BLU
RSUP Prof Dr. RD Kandou Manado. JURNAL KEPERAWATAN, 1(1).
file:///C:/Users/TOSHIBA-PC/Downloads/2242-4082-1-SM.pdf

Pertanyaan
Nama : Desi Choiriyani
NIM : 131611133021
Di video telah dijelaskan cara mengurangi stress hospitalisasi dengan dilakukan terapi
bermain, yang ingin saya tanyakan apakah ada selain terapi bermain yang dapat dilakukan
perawat untuk mengurangi stressor pada anak yang mengalami hospitalisasi? Jelaskan !

Jawaban
Nama : Kusnul Oktania
NIM : 131611133043
Cara mengurangi stressor pada anak yang mengalami hospitalisasi selain bermain adalah
dengan melakukan aktifitas mewarnai gambar untuk mengembangkan kreativitas pada anak
serta meningkatkan komunikasi pada anak. Melalui mewarnai gambar, seseorang secara tidak
sadar telah mengeluarkan muatan amigdalanya yaitu dengan mengekspresikan rasa sedih,
tertekan, stress, menciptakan gambaran-gambaran yang membuat kita kembali merasa
bahagia, dan membangkitkan masa-masa indah yang pernah kita alami bersama orang-orang
yang kita cintai. Melalui aktifitas mewarnai gambar, emosi dan perasaan yang ada dalam diri
bisa dikeluarkan sehingga dapat menciptakan koping yang positif. Koping positif ini ditandai
dengan perilaku dan emosi yang positif. Keadaan tersebut akan membantu dalam mengurangi
stress yang dialami anak (Hidayah,2011)
Sumber:
Aizah, S., & Wati, S. E. (2014). Upaya Menurunkan Tingkat Stress Hospitalisasi dengan
Aktifitas Mewarnai Gambar pada Anak usia 4-6 Tahun di Ruang Anggrek RSUD Gambiran
Kediri. Jurnal No. 25 Volume, 1, 6-10.
http://lp2m.unpkediri.ac.id/jurnal/pages/efektor/Nomor25/Hal%206-
10.%20Penelitian%20hospitalisasi%20Siti%20Aiz.pdf (Diakses pada tanggal 21 Februari
2018)

Pertanyaan
Nama : Nurul Hidayati
NIM : 131611133022
Pada video telah dijelaskan bahwa anak pada usia sekolah mempunyai masalah pada privasi
dan cemas akan fungsi tubuhnya. Apakah hospitalisasi pada anak sekolah menyebabkan
tingkat kecemasannya meningkat dan bagaimana cara mengatasinya?

Jawaban
Nama : Novalia Puspitasary
NIM : 131611133044
Ya, hospitalisasi meningkatkan kecemasan pada anak. Hospitalisasi merupakan krisis
pertama yang harus dihadapi anak. anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal, sangat
rentan terhadap krisis penyakit dan hospitalisasi karena stress akibat perubahan diri dari
keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan. Hospitalisasi dapat menyebabkan anak
ketakutan dengan paling sedikitnya satu alasan. Takut akan intervensi keperawatan, takut
untuk menjadi pasien, dan takut sebagai tahapan dalam perkembangan mereka hal tersebut
menyebabkan kecemasan dan secara emosional traumatis bagi anak.
Kecemasan sangat berhubungan dengan perasaan tidak pasti dan ketidakberdayaan sebagai
hasil penilaian terhadap suatu objek atau keadaan. Cemas timbul sebagai respon terhadap
stres, baik stres fisik dan fisiologis. Perawat harus mengetahui teknik-teknik dalam
berkomunikasi karena komunikasi merupakan cara yang dapat dilakukan untuk memberikan
informasi tentang kesehatan. Komunikasi juga dapat mengurangi rasa cemas anak akibat
hospitalisasi.
Berdasarkan penelitian Redhian (2011), yang bertujuan untuk memahami dan menjelaskan
bagaimana teknik atau cara yang digunakan perawat dalam melakukan komunikasi terapeutik
dengan pasien anak dan juga orang tua . Hasil penelitiannya adalah pada saat pertemuan awal
perawat dengan pasien anak untuk melakukan pengkajian awal pada pasien anak, jika pasien
sudah bisa diajak berkomunikasi dengan baik, perawat tanyakan langsung pada anak tapi jika
tidak langsung ke orangtuanya. Sehingga perawat memerlukan teknik komunikasi yang baik
dalam menghadapi damoak hospitalisasi pada anak. Contoh teknik komunkasi pada anak
adalah dengan saling bercerita, membahas mimpi, melakukan permainan atau menggambar.
Sumber:
Akhriansyah, M. (2018). HUBUNGAN PELAKSANAAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK
DENGAN TINGKAT KECEMASAN AKIBAT HOSPITALISASI PADA ANAK USIA
SEKOLAH YANG DIRAWAT DI RSUD KAYUAGUNG TAHUN 2017. Jurnal Ilmiah
Universitas Batanghari Jambi, Vol.18 No. 1. [Online] available
athttp://ji.unbari.ac.id/index.php/ilmiah/article/view/434/397
Wong, L. D. (2009). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Vol 1. Edisi 6. Jakarta: EGC.

Pertanyaan
Nama : Marceline Putri Crisdianti
NIM : 131611133023
Salah satu stressor akibat hospitalisasi pada anak adalah kecemasan terhadap perpisahan.
Bagaimana cara perawat melakukan pendekatan kepada anak yang mengalami kecemasan
terhadap perpisahan pada orang tua contohnya ?

Jawaban
Nama : Chusnul Hotimah
NIM : 131611133004

Pendekatan yang dapat dilakukan oleh perawat kepada anak yang mengalami kecemasan
terhadap perpisahan dengan orang tuanya yaitu dengan memberikan pengertian kepada si
anak dan mengalihkan perhatian si anak. 2 cara tersebut dapat menjadi alternatif untuk
mengurangi kecemasan yang dialami anak. Pengertian yang harus diberikan kepada anak
antara lain mengenai kesibukan orang tua yang harus tetap menjalankan pekerjaan mereka,
kapan waktu untuk bersama dengan si anak dan kapan harus bekerja, apa yang akan dialami
oleh si anak selama di rumah sakit meskipun tanpa ditemani orang tua mereka, dan lain
sebagainya. Selain dengan memberikan pengertian, juga dapat dilakukan dengan
mengalihkan perhatian si anak dari orang tua mereka. Mengajaknya bermain, bernyanyi,
bercerita, menari, dan lain sebagainya dapat menjadi kegiatan yang dapat dilakukan selama
menjalani perawatan rumah sakit. Bernegosiasi dengan si anak juga dapat menjadi suatu
pilihan untuk mengatasi kecemasan yang dialami anak karena ditinggal orang tuanya di
rumah sakit. Negosiasi yang dimaksud seperti membuat perjanjian dengan orang tua jika
mereka harus sudah pulang bekerja dan menemani si anak setelah jam 5 sore, mengajak
bermain selama beristirahat, dan lain sebagainya.
Sumber :
Rufaidah & Wahyu Rima Agustina. 2012. Studi Fenomenologi : Pendekatan Perawat dalam
Mengatasi Kecemasan dan Ketakutan pada Anak Usia Prasekolah Akibat Hospitalisasi di
Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang. Jurnal Kesmasdaska. Vol 3, No 2.

Pertanyaan
Nama : Arinda Naimatuz Zahriya
NIM : 131611133024
Berkaitan dengan masalah yang timbul pada anak maupun orang tua selama anaknya dirawat
di rumah sakit (hospitalisasi), salah satu fokus intervensi keperawatannya yaitu dengan cara
memaksimalkan hospitalisasi itu sendiri. Jadi bagaimanakah cara untuk memaksimalkan
hospitalisasi tersebut?

Jawaban
Nama : Hanum Amalia Zulfa
NIM : 131611133040
Hospitalisasi dapat dimaksimalkan dengan :
- Hospitalisasi dapat dijadikan media untuk belajar orang tua. Untuk itu perawat dapat
memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang penyakit anak, terapi yang
didapat dan prosedur keperawatan yang dilakukan pada anak tentunya sesuai dengan
kapasitas belajarnya
- Membantu perkembangan orangtua dan anak dengan cara memberi kesempatan orang
tua mempelajari tumbuh kembang anak dan reaksi anak terhadap stresor yang
dihadapi selama dalam perawatan di rumah sakit
- Untuk meningkatkan kemampua kontrol diri dapat dilakukan dengan memberi
kesempatan pada anak mengambil keputusan, tidak terlalu bergantung pada orang lain
dan percaya diri. Berikan selalu penguatan yang positif dengan selalu memberikan
pujian atas kemampuan anak dan orangtua serta dorongan untuk terus
meningkatkannya
- Fasilitasi anak untuk tetap menjaga sosialisasinya dengan sesama pasien yang ada,
teman sebaya atau teman sekolah, beri kesempatan untuk saling kenal dan berbagi
pengalaman.
Sumber :
Anon., 2015. Hospitalisai pada anak. Jakarta: Australia Indonesia for Health Systems
Strengtheninh (AIPHSS).

Pertanyaan
Nama : Sekar Ayu Pitaloka
NIM : 131611133025
Dalam menangani dampak hospitalisasi, perawat akan menjadikan orang tua sebagai partner
dalam memberikan layanan keperawatan terhadap anak. Mengapa hal tersebut dilakukan?

Jawaban

Nama : Putri Aulia Kharismawati

NIM : 131611133027

Menurut WHO, hospitalisasi merupakan pengalaman yang mengancam ketika anak


mengalami hospitalisasi karena stressor yang dihadapi dapat menimbulkan perasaan yang
tidak aman. Hospitalisasi adalah bentuk stressor individu yang berlangsung selama individu
tersebut dirawat di rumah sakit (Wong, 2003).

Menurut Supartini, hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan tertentu atau darurat
mengharuskan anak untuk tetap berada di rumah sakit, menjalani terapi dan perawatan
sampai pemulangannya ke rumah. Dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa
hospitalisasi merupakan suatu proses perawatan dan masuk rumah sakit dalam waktu yang
lama sehingga menyebabkan adanya stressor dan akan berdampak negatif pada
perkembangan anak apabila tidak serius ditangani.

Saat anak di rumah sakit, orang tua merupakan sosok yang paling dikenal dan dekat dengan
anak. Orang tua sangan diperlukan untuk mendampingi anak selama mendapat perawatan
hospitalisasi. Peran serta orang tua dalam mendampingi dapat meminimalkan dari dampak
hospitalisasi, dikarenakan salah satu respon emosional yang dimiliki seorang anak menurut
Wong (2003) yaitu karena cemas adanya perpisahan. Maka dari itu, dibutuhkan supoort
secara psikologis dan mendampingi anak dalam menajalani proses hospitalisasi.

Kecemasan yang timbul merupakan respon emosional terhadap penilaian sesuatu yang
berbahaya, berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya (Stuart & Sundeen,
1998). Menurut Wong (2003), stres utama dari masa bayi pertengahan sampai usia
prasekolah, terutama untuk anak-anak yang berusia 6 bulan sampai 30 bulan adalah
kecemasan akibat perpisahan yang disebut sebagai depresi anaklitik. Pada kondisi cemas
akibat perpisahan anak akan memberikan respon berupa perubahan perilaku.

Meminimalkan perpisahan pada anak merupakan hal yang sangat penting, terutama bagi anak
yang dibawah 5 tahun (balita), karena anak masih membutuhkan orang-orang terdekat seperti
orang tuanya untu mendampingi dan memberi support. Menurut Price and Gwin (2005),
seorang perawat harus mengerti bagaimana tahap-tahap perpisahan pada anak yang sedang
menjalani hospitalisasi dan mengerti keterbatasan anak dalam mentoleransi ketidakhadiran
dari orang tua. Ia akan melihat bahwa kunjungan dan kolaborasi yang dilakukan merupakan
hal yang tepat dalam membantu proses hospitalisasi.

Orang tua juga dapat meminimalisasi dengan mempertahankan kontak anak dengan orang
luar, yaitu dengan mengajak salah satu teman anak untuk berkunjung dan menemani anak di
rumah sakit sehingga anak merasa tidak terisolasi dari dunia luar. Kolaborasi lain yang dapat
dilakukan dengan orang tua yaitu dengan menciptakan suasana yang sedemikian mungkin
mirip dengan rumahnya, sehingga anak akan merasa nyaman dan seperti tidak menjalani
proses hospitalisasi di rumah sakit, melainkan merasakan sedang berada di rumah.

Sumber:

Utami, Yuli. (2014). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jakarta. http://e-
journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/download/177/156 (diakses pada
tanggal 21 Februari 2018)

Pertanyaan

Nama : Verantika Setya Putri

NIM : 131611133026

Pada anak yang mengalami keterbelakangan mental seperti down sindrom, apakah
pengkajian nyeri yang dilakukan sama seperti pada anak normal biasanya? Ataukah ada
perbedaan pada skala ekspresi wajah.

Jawaban

Nama : Alfera Novitasari

NIM : 131611133029

Penderita keterbelakangan mental khususnya down syndrome dikatakan oleh dokter terjadi
karena adanya kelainan kromosom pada gen sang anak. Karena kondisi ini, dalam
perkembangannya setelah lahir nanti, selain memiliki bentuk fisik yang khas, calon anak
tersebut akan mengalami keterbelakangan mental. Pada kasus ini, memang benar sang anak
mengalami kelainan namun, kemampuan hidupnya dapat dioptimalkan untuk meminimalkan
kekurangan yang dimiliki dengan support lingkungan sekitar secara maksimal. Sehingga
dalam hal pengkajian nyeri pada anak down syndrome, sebenarnya sama seperti anak normal
lainnya. Hanya saja dibutuhkan orang yang dianggap dia percayai dan memberikan rasa
nyaman untuk berada di sekitar anak tersebut. Pada dasarnya kasih sayang yang diberikan
dari lingkungan sosial sekitarnya memegang kunci yang utama dalam hal ini. Perlu
pendampingan dari orang – orang yang care dengan sang anak. Sehingga penkajian nyeri
dapat dilakukan secara optimal. Dapat disimpulkan bahwa inti dari pengkajian nyeri ini sama,
namun ada hal khusus yang perlu diperhatikan yaitu pendampingan dari keluarga sang anak
dan juga dukungan yang baik dari lingkungan sekitar klien ( anak).

Sumber:

Wiwin Hendriani. 2006. Penerimaan Keluarga Terhadap Individu yang Mengalami


Keterbelakangan Mental. Surabaya. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Yudiyanta, N. K., & Novitasari, R. W. (2015). Assessment nyeri. Jurnal CDK, 226.

Pertanyaan

Nama : Putri Aulia Kharismawati

NIM : 13161113302

Bagaimana intervensi pada anak yang memiliki pengalaman hospitalisasi yang buruk, apakah
penangannya sama dengan yang tidak memiliki pengalaman buruk?

Jawaban

Nama : Muhammad Hidayatullah Al Muslim

NIM : 131611133039

Tidak ada penanganan yang sama atau berbeda namun lebih menjelaskan dan prosedur
kepada pasien anak dan keluarga pasien.

Perawat memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan bagi anak dan keluarga guna
mengurangi respon stres anak terhadap hospitalisasi. intervensi untuk meminimalkan respon
stres terhadap hospitalisasi menurut Hockenberry dan Wilson (2007), dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut:

(1) meminimalkan pengaruh perpisahan

(2) meminimalkan kehilangan kontrol dan otonomi

(3) mencegah atau meminimalkan cedera fisik

(4) mempertahankan aktivitas yang menunjang perkembangan


(5) bermain

(6) memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak

(7) mendukung anggota keluarga

(8) mempersiapkan anak untuk dirawat di rumah sakit.

Persiapan yang dibutuhkan anak pada saat masuk rumah sakit bergantung pada jenis
konseling pra rumah sakit yang telah mereka terima. Jika mereka telah dipersiapkan dalam
suatu program formal, mereka biasanya mengetahui apa yang akan terjadi dalam prosedur
medis awal, fasilitas rawat inap dan staf keperawatan.

Persiapan pemberian informasi yang akurat akan membantu anak mengurangi ketidakpastian,
meningkatkan kemampuan koping, meminimisasi stres, mengoptimalkan hasil pengobatan,
dan waktu penyembuhan (Jaaniste dkk.2007, dalam Gordon dkk.2010).

Sumber:

Gordon B. K., T. Jaaniste , K. Bartlett , M. Perrin, A. Jackson, A. Sandstrom , R. Charleston,


dan S. Sheehan . Child and parental surveys about pre-hospitalization information provision.
Child: care, health and development, 2010.

Pertanyaan

Nama : Erlina Dwi Kurniasari

NIM : 131611133028

Membina hubungan saling percaya antar perawat dengan pasien adalah pokok penting dalam
proses keperawatan. Lalu bagaimana cara seorang perawat untuk membina hubungan tersebut
dengan pasien anak yang berusia 1-3 tahun ? Sedangkan usia tersebut menunjukkan bahwa
anak masih sulit untuk diajak komunikasi, agresif, egois dan ingin semua kemauannya
dituruti.

Jawaban

Nama : Ayu Saadatul Karimah

NIM : 131611133020

Komunikasi pada anak merupakan bagian terpenting dalam membangun kepercayaan diri kita
dengan anak. melalui komunikasi akan terjalin rasa percaya, kasih sayang, dan selanjutnya
akan merasa memiliki suatu penghargaan pada dirinya (Hidayat, 2006). Seperti yang sudah
dijelaskan bahwa pasien anak merupakan individu yang sulit untuk diajak komunikasi,
agresif, egois, dan ingin semua kemauannya dituruti. Salah satu cara perawat untuk membina
hubungan yang baik dengan pasien tersebut adalah dengan menggunakan komunikasi
terapeutik. Dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien anak dibutuhkan teknik
yang cukup berbeda. Diawal telah dijelaskan beberapa teknik komunikasi terapeutik pada
umumnya, sedangkan cara yang perlu diterapkan saat melakukan komunikasi terapeutik
dengan pasien anak, antara lain : (Mundakir, 2005 : 153-154)

1. Nada suara, diharapkan perawat dapat berbicara dengan nada suara yang rendah dan
lambat. Agar pasien anak jauh lebih mengerti apa yang ditanyakan oleh perawat.

2. Mengalihkan aktivitas, pasien anak yang terkadang hiperaktif lebih menyukai aktivitas
yang ia sukai, sehingga perawat perlu membuat jadwal yang bergantian antara aktivitas yang
pasien anak sukai dengan aktivitas terapi atau medis.

3. Jarak interaksi, diharapkan perawat dapat mempertahankan jarak yang aman saat
berinteraksi dengan pasien anak.

4. Kontak mata, diharapkan perawat dapat mengurangi kontak mata saat mendapat respon
dari pasien anak yang kurang baik, dan kembali melakukan kontak mata saat kira-kira pasien
anak sudah dapat mengontrol perilakunya.

5. Sentuhan, jangan pernah menyentuh anak tanpa izin dari si anak.

Terdapat cukup banyak teknik komunikasi terapeutik yang dapat digunakan oleh perawat saat
menghadapi pasien anak. Dimana teknik komunikasi terapeutik tersebut dapat dilakukan
secara verbal maupun nonverbal. (Mundakir, 2005 : 154)

Teknik yang dapat diterapkan saat berkomunikasi dengan anak secara nonverbal antara lain,
yaitu :

1.) Teknik orang ketiga, dalam teknik ini berusaha untuk mengungkapkan ekspresi orang
ketiga, seperti “dia atau mereka.”

2.) Bercerita, bercerita menggunakan bahasa anak, sekaligus menyelidiki perasaannya, dan
berusaha menghindarkan hambatan yang disengaja seperti meminta anak menceritakan
pengalamannya secara spesifik berada di rumah sakit.

3.) Tiga Permintaan (Three Wishes), teknik ini merupakan salah satu strategi yang digunakan
perawat untuk mengundang anak-anak masuk dalam sebuah percakapan.

Sedangkan teknik komunikasi terapeutik secara verbal antara lain :

1.) Menulis, merupakan suatu alternative yang digunakan perawat untuk melakukan
pendekatan komunikasi dengan pasien anak.

2.) Menggambar, merupakan salah satu bentuk komunikasi yang berharga melalui
pengamatan gambar.

3.) Teknik bermain, merupakan salah satu bentuk komunikasi yang paling penting dan
menjadi teknik yang efektif bagi perawat untuk bisa berhubungan dan berkomunikasi dengan
pasien anak.
Sumber :

Shinto, Retyan and Syaifudin, Syaifudin (2010) Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap
Tingkat Kecemasan Akibat Hospitalisasi pada Anak Usia Pra Sekolah di RS Khusus Anak
Empat Lima Yogyakarta. Skripsi thesis, STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta

Ilya Putri Redhian, Ilya Putri Redhian (2011) Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien
Anak dan Orangtua. Undergraduate thesis, Diponegoro University.

Pertanyaan

Nama : Alfera Novitasari

NIM : 131611133029

Hospitalisasi dikenal dengan dampak negatif yang ditimbulkan khususnya bagi anak. Namun
apakah hospitalisasi sendiri ada dampak positif yang dihasilkan, mengingat semua hal di
dunia ini ada baik dan buruknya. Jika ada, mohon di spesifikkan terhadap tumbuh kembang
anak.

Jawaban

Nama : Erlina Dwi Kurniasari

NIM : 131611133028

Reaksi setiap anak terhadap hospitalisasi akan berbeda-beda. Reaksi tersebut bersifat
individual, sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak, pengalaman
sebelumnya terhadap sakit, sistem pendukung yang tersedia, dan kemampuan koping yang
dimilikinya (Nursalam, 2005). Anak pada usia sekolah membayangkan ketika dirawat di
rumah sakit merupakan suatu hukuman, dipisahkan, merasa tidak aman dan kemandiriannya
terlambat (Wong, 2000). Hal ini membuat mereka akan berespon dengan fungsi tubuhnya.
Proses perawatan yang sering kali membutuhkan waktu yang lama akhirnya menjadikan anak
berusaha mengembangkan perilaku atau strategi dalam menghadapi penyakit yang
dideritanya seperti :

1. Penolakan (avoidance), berusaha menghindari situasi yang membuatnya tertekan.


2. Mengalihkan perhatian (distraction), berusaha mengalihkan perhatian dari sumber
yang membuatnya tertekan.
3. Berupaya aktif (active), berusaha mencari jalan keluar yang membuatnya tertekan
seperti bermain.
4. Mencari dukungan (support seeking), berusaha mencari dukungan kepada orang
tua hingga saudara dekatnya untuk melepaskan tekanan akibat dari penyakit yang
dideritanya. Perilaku ini menjadi salah satu cara yang dikembangkan anak untuk
beradaptasi terhadap lingkungannya. Jika mereka dapat beradaptasi dengan baik
terhadap lingkungan barunya di rumah sakit, akan berdampak pada psikologi dan
psikososial anak dalam berinteraksi terutama pada pihak rumah sakit termasuk
pada perawat. Hal tersebut dapat memberikan dampak positif sehingga
mempercepat proses kesembuhan.

Sumber:

Utami, R. (2013). Hubungan Penerapan Atraumatic Care Dengan Tingkat Kepuasan Orang
Tua Anak Selama Proses Hospitalisasi Di Ruang Anak Rsd Balung Jember.

MUKHSON, M. A. (2014). HUBUNGAN PERAN KELUARGA DAN TINGKAT


KECEMASAN ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN) YANG MENGALAMI
HOSPITALISASI DI RUANG PINUS EKA HOSPITAL BSD. HUBUNGAN PERAN
KELUARGA DAN TINGKAT KECEMASAN ANAK USIA SEKOLAH (6-12 TAHUN)
YANG MENGALAMI HOSPITALISASI DI RUANG PINUS EKA HOSPITAL BSD.

Pertanyaan

Nama : Angga Kresna Pranata

NIM : 131611133030

Ketika pada masa hospitalisasi, pasti orangtua ,terutama ibu, tidak bisa mendampingi full 24
jam dan terkadang anak tidak mau dilakukan tindakan saat tidak ada ibunya padahal tindakan
harus sesuai dengan jadwal. Bagaimana cara perawat menangani hal tersebut?

Jawaban

Nama : Dita Fajrianti

NIM : 131611133014

Teknik yang dilakukan saat tidak ada orang tua yaitu menggunakan teknik komunikasi yang
baik, perawat dapat melakukan komunikasi verbal dan non-verbal. Atau menggunakan teknik
orang ketiga. Jika anak-anak sakit, meskipun tidak ada orang tua pasti ada keluarga yang
menjaganya, jadi kita bisa meminta tolong pada mereka untuk membantu perawat. Atau
perawat dapat memilih teknik mewarnai dan menggunakan terapi bermain ataupun terapi
musik. Mewarnai buku gambar adalah terapi permainan melalui buku gambar untuk
mengembangkan kreativitas pada anak untuk mengurangi stress dan kecemasan serta
meningkatkan komunikasi pada anak. Tujuan bermain di rumah sakit pada prinsipnya adalah
agar anak dapat melanjutkan fase tumbuh kembangnya secara optimal, mengembangkan
kreativitas anak dan anak dapat beradaptasi secara efektif terhadap stress.

Sumber:

(Siti Aizah, S. E. (2014). UPAYA MENURUNKAN TINGKAT STRES HOSPITALISASI


DENGAN AKTIFITAS MEWARNAI. Jurnal Universitas Nusantara PGRI Kediri, 6-10.)
Pertanyaan

Nama : Ni Putu Neni Indriyani

NIM : 131611133031

Jika seorang anak sering mendapatkan perawatan di rumah sakit dalam jumlah frekuensi yang
lama dan sering, apakah anak tersebut akan terbiasa dan menganggap bahwa lingkungan
rumah sakit bukanlah stressor baginya? Jika iya mengapa hal itu bisa terjadi? Dan jika tidak
apakah perawatan rumah yang intensif dapat menggantikan perawatan di rumah sakit
sehingga anak tidak lagi mengalami dampak hospitalisasi yang dapat mengganggu tumbuh
kembangnya?

Jawaban

Nama : Sarah Maulida Rahmah

NIM : 131611133006

Seorang anak akan dengan mudah mengingat kejadian yang membuatnya mengalami rasa
takut atau menganggap kejadian tersebut menjadi sesuatu yang membahayakan, jika kejadian
itu terulang kembali maka anak akan menjadi lebih agresif atau bahkan menolak dan murung.
Tumbuh kembang anak yang terjadi pada hospitalisasi tergantung bagaimana perawatan yang
diberikan di rumah sakit. Seorang anak mengalami perawatan di rumah sakit dalam jumlah
frekuensi yang lama dalam waktu yang sering dapat menjadikan dua kemungkinan , factor
pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan menurut Pelander & Leino_kilpi
tahun 2010 menjelaskan bahwa semakin sering seorang anak berhubungan dengan rumah
sakit, maka semakin kecil bentuk kecemasan atau semakin sering seorang anak berhubungan
dengan rumah sakit, maka semakin besar bentuk kecemasannya. Dari pernyataan berikut
dapat di simpulkan respon anak dengan hospitalisasi beragam, tidak selalu menganggap
lingkungan rumah sakit menjadi sesuatu yang mengancam, namun bias menjadi tempat yang
tidak membuatnya cemas lagi. Perlakuan petugas kesehatan, tindakan yang di berikan selama
dirumah sakit, dan lingkungan rumah sakit dapat mempengaruhi persepsi anak mengenai
perawatan di rumahsakit.

Perawatan dirumah atau home care tidaklah sama dengan perawatan di rumah sakit, mulai
dari alat penunjang, dan penanganan yang intensif ketika kejadian buruk terjadi secara
mendadak. Mungkin perawatan di rumah dapat dilakukan apabila disarankan dokter karena
seorang anak mengalami dampak negative yang sangat parah dan berlebih sehingga
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan anak khususnya secara psikologis ketika
mendapatkan perawatan dirumah sakit. Jika perawatan dirumah dapat membuat anak merasa
nyaman sehingga tumbuh kembangnya menjadi normal, maka perawatan di rumah atau home
care dapat dilakukan dengan pengawasan tenaga kesehatan dan peralatan penunjang yang
memadai, namun jika memerlukan perawatan dirumah sakit seperti misalnya kemoterapi,
hemodialysis, atau penanganan yang hanya di lakukan di rumah sakit maka tetap anak harus
melewati serangkaian prosedur kesehatan yang telah di tentukan.

Sumber :

Solikhah, U. (2013). Efektifitas Lingkungan Terapetik terhadap Reaksi Hospitalisasi pada


Anak. Jurnal Keperawatan Anak, 1(1).

Utami, Y. (2014). Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. Jurnal Ilmiah Widya,
1(1).

Pertanyaan

Nama : Rizki Jian Utami

NIM : 131611133032

Apa yang harus dilakukan perawat apabila orang tua memberikan respon berlebihan untuk
Asuhan Keperawatan yang akan diberikan kepada anaknya yang sudah merontah rontah
memberikan penolakan?

Jawaban

Nama : Locita Artika Isti

NIM : 131611133008

Dalam penelitian tentang efek hospitalisasi pada perilaku anak menyebutkan bahwa reaksi
anak pada hospitalisasi secara garis besar adalah sedih, takut dan rasa bersalah karena
menghadapi sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya, rasa tidak aman, rasa tidak
nyaman, perasaan kehilangan sesuatu yang biasa dialami dan sesuatu yang dirasakan
menyakitkan.

Respon kecemasan merupakan perasaan yang paling umum yang dialami oleh orang tua
ketika masalah kesehatan anaknya. Hal itu dapat disebabkan oleh beberapa sebab seperti
penyakit kronis. Penolakan keras dari anak, perawatan (caring) yang kurang menyenangkan,
tingkat ekonomi keluarga, yang semua itu dapat berdampak pada proses penyembuhan.

Kecemasan ini dapat meningkat apabila orang tua merasa kurang informasi terhadap penyakit
anaknya dari rumah sakit terkait, sehingga dapat menimbulkan reaksi tidak percaya apabila
mengetahui tiba-tiba penyakit anaknya serius.

Oleh sebab itu sebelum dilakukan tindakan, perawat wajib memberikan komunikasi
terapeutik kepada orang tua, sehingga orang tua akan membantu untuk menenangkan anak
dan ikut andil dalam tindakan yang akan dilakukan. Dalam penolakan yang dilakukan anak,
orang tua juga merasa gelisah, perasaan tidak tenang, tidak tega, serta takut akan tindakan
yang dilakukan terhadap anak. Selain itu didapat bahwa kurangnya aplikasi tenaga kesehatan
khususnya perawat mengenai pemberian informasi dan komunikasi terapeutik yang di
berikan perawat kepada orang tua yang anaknya dirawat, menyebabkan orang tua menjadi
cemas dan gelisah.

Sumber:

Apriany, D. 2013. Hubungan Antara Anak dengan Tingkat Kecemasan Orang Tua. Jurnal
Keperawatan Soedirman (The Soudirman Journal of Nirsing), Volume 8, No.2, Juli 2013. 93-
95

Pertanyaan

Nama : Erva Yulinda Maulidiana

NIM : 131611133033

Umumnya seorang anak akan mengalami masa-masa pada saat perawatan di RS, di video
dijelaskan bahwa anak akan mengalami fase menarik diri atau fase pelepasan, yang saya
ingin tanyakan, kapan fase tersebut akan berhenti dan anak akan kembali normal seperti biasa
sehingga bisa menerima kehadiran orang lain?

Jawaban

Nama : Rufaidah Fikriyah

NIM : 131611133018

Menurut sumber yang saya baca, fase anak menarik diri akan berhenti pada saat anak tersebut
mulai terbiasa ditinggal oleh orang tuanya dan mulai bisa menerima keadaan saat ini yang
telah dihadapi. ketika fase penarikan diri berhenti, anak mulai terlihat bahagia kembali.

Sumber:

Aizah, S., & Wati, S. E. (2014). Upaya Menurunkan Tingkat Stress Hospitalisasi dengan
Aktifitas Mewarnai Gambar pada Anak usia 4-6 Tahun di Ruang Anggrek RSUD Gambiran
Kediri. Jurnal No. 25 Volume, 1, 6-10.

Pertanyaan

Nama : Indriani Dwi Wulandari

NIM : 131611133034

Apakah anak akan tetap mengalami stress hospitalisasi pada saat dirawat kembali dirumah
sakit?

Jawaban
Nama : Yenni Nistyasari

NIM : 131611133035

Iya, tidak memungkiri stress hospitalisasi akan terjadi kembali. Karena seroang anak yang
mengalami stress diakibatkan perubahan baik terhadap status kesehatan maupun lingkungan
sekitarnya yang menimbulkan pengalaman yang sangat traumatik. Tidak hanya anak namun
orang tua juga bisa mengalami traumatik yang berakibat stres.

Supartini (2015) mengemukakan bahwa pengalaman hospitalisasi dapat memberikan


pengaruh positif sekaligus negatif terhadap respon anak. Pengalaman hospitalisasi anak yang
menyenangkan seperti mendapatkan teman baru, mendapat banyak hadiah, mengenal baik
para petugas medis dapat menurunkan respon stress saat kembali dihospitalisasi. Sementara
itu pengalaman hospitalisasi yang buruk seperti prosedur invasif yang banyak dan berulang
serta petugas medis yang terlihat seram dapat meningkatkan respon anak pada hospitalisasi
berikutnya.

Stress hospitalisasi sendiri merupakan gangguan psikologis yang diterima oleh seorang anak
akibat perawatan selama dirumah sakit seperti merasa cemas, nyeri. Anak yang biasanya
kooperatif menjadi tidak kooperatif saat mengalami hospitalaisasi. Hal tersebut dapat
memungkinkan stress hospitalisasi terulang oleh anak saat dirawat di rumah sakit. Namun
tingkat stress hospitalisasi bisa berbeda, pada anak yang baru pertama kali masuk dengan
anak yang sudah pernah dirawat di Rumah sakit.

Sumber:

Dewi Ika Sari Hari Poernomo, Yektiningayu Sestu Mahanani. (2015). MANIFESTASI
KLINIS STRES HOSPITALISASI PADA PASIEN ANAK USIA PRASEKOLAH. Jurnal
Penelitian Keperawatan Vol 1. (2) , 1-12.
(http://ejurnal.stikesbaptis.ac.id/index.php/keperawatan/article/viewFile/33/16) diakses, 21
february 2018

Agustiyaningsih, S. (2017). HUBUNGAN STRESS HOSPITALISASI DENGAN


PERUBAHAN POLA TIDUR pASIEN ANAK USIA PRASEKOLAH DI RSKIA PKU
MUHAMMADIYAH KOTAGEDE YOGYAKARTA. Thesis , 1-11.
(http://digilib.unisayogya.ac.id/2976/) diakses, 21 february 2018

Pertanyaan

Nama : Yenni Nistyasari

NIM : 131611133035

Bagaimana pengaruh dan respon sibling atau saudara kandung terhadap hospitalisasi? serta
apa yang dapat dilakukan perawat untuk mengatasi hal tersebut?
Jawaban

Nama : Ni'matush Sholeha

NIM : 131611133009

Sibling sangat berpengaruh terhadap hospitaliasasi pada anak karena sibling dapat menjadi
tempat bercerita, menyimpan rahasia dan menjadi teman bermain. Sibling juga memiliki
peran yang penting sebagai pembelajaran awal bagi anak untuk mampu membina hubungan
sosial dengan orang lain. Sibling dapat mendukung emosional anak selama hospitalisasi
sehingga dapat mendukung kesembuhan anak.

Respon sibling terhadap hospitalisasi yaitu akan merasa cemburu, marah, benci iri, dan
merasa bersalah. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan pengalaman, perubahan pemberi
perawatan, sedikit informasi tentang saudara yang sakit, ancaman perubahan pengasuhan
yang secara tiba-tiba perhatian keluarga tertuju kepada saudaranya yang sakit sehingga
sibling merasa terabaikan. Menurut pendapat Simon, (1993) yang di kutip oleh Wong,
(2003), berdasarkan pengalaman 45 sibling yang dikaji persepsinya, mereka mengalami stres
yang sama tingkatannya dengan stres pada anak yang menjalani hospitalisasi.

Peran perawat dalam mengatasi hal ini yaitu dapat membantu orang tua mengidentifikasi dan
memenuhi kebutuhan sibling antara lain: memberikan informasi tentang kondisi penyakit
saudara kandung dan sejauh mana perkembangannya, membiarkan sibling untuk
mengunjungi saudaranya yang dirawat, anjuran untuk memberikan perhatian seperti
membuatkan gambar atau kartu serta menelpon saudaranya yang dirawat, membiarkan
sibling untuk terlibat dalam perawatan saudara kandung semampunya (Price & Gwin,2005).

Sumber:

Kusumaningrum, A. 2013. Aplikasi dan Strategi Konsep Family Centered Care pada
Hospitalisasi Anak Pra Sekolah
(http://eprints.unsri.ac.id/2384/1/artikel_FCC_pra_sekolah...pdf.), diakses 21 Februari 2018.

Utami, Y.2014. Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah Widya.
(online), Vol. 2, No. 2, (http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-
ilmiah/article/download/177/156), diaskes 21 Februari 2018

Aminati, R & Sugiyanto. 2011. Hubungan Kehadiran Sibling dengan Tingkat Kesembuhan
pada Anak Usia Sekolah yang Menjalani Hospitalisasi di RS PKU Muhammadiyah Gombong
2011. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Keperawatan Stikes Aisyiyah Yogyakarta.
(http://digilib.unisayogya.ac.id/1202/1/NASKAH%20PUBLIKASI%20RIZKI%20AMINATI
%20%28070201048%29.pdf) diakses 21 Februari 2018.

Pertanyaan

Nama : Elin Nur Annisa


NIM : 131611133037

Divideo sudah dijelaskan tentang dampak dari hospitalisasi pada anak usia sekolah , yang
ingin saya tanyakan adalah bagaimana cara kita sebagai perawat untuk meminimalkan
dampak hospitalisasi pada anak tersebut ?

Jawaban

Nama : Cucu Eka Pertiwi

NIM : 131611133007

Mempersiapkan anak menghadapi pengalaman rumah sakit dan prosedur merupakan hal yang
dilakukan untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan karena hospitalisasi.
Semua tindakan atau prosedur di rumah sakit dilakukan berdasarkan prinsip bahwa ketakutan
akan ketidaktahuan (fantasi) lebih besar daripada ketakutan yang diketahui. Oleh karena itu,
mengurangi unsur ketidaktahuan dapat mengurangi ketakutan tersebut. Perawat memiliki
peranan penting dalam memberikan dukungan bagi anak dan keluarga guna mengurangi
respon stres anak terhadap hospitalisasi. Intervensi untuk meminimalkan respon stres
terhadap hospitalisasi menurut Hockenberry dan Wilson (2007), dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut:

1. meminimalkan pengaruh perpisahan

2. meminimalkan kehilangan kontol

3. mencegah atau meminimalkan cedera fisik

4. mempertahankan aktivitas yang menunjang perkembangan

5. bermain

6. memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak

7. mendukung anggota keluarga

8. mempersiapkan anak untuk dirawat di rumah sakit

Sedangkan menurut Supartini (2004), cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak
hospitalisasi adalah sebagai berikut :

a. Upaya meminimalkan stressor

dapat dilakukan dengan cara mencegah atau mengurangi dampak perpisahan,


mencegah perasaan kehilangan kontrol dan mengurangi rasa takut terhadap perlukaan
tubuh dan rasa nyeri

b. Untuk mencegah/meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan dengan cara :


1. Melibatkan keluarga berperan aktif dalam merawat pasien dengan cara
membolehkan mereka tinggal bersama selama 24 jam (rooming in)

2. Jika tidak mungkin untuk rooming in, beri kesempatan keluarga untuk melihat
pasien setiap saat dengan maksud mempertahankan kontak antar mereka

3. Modifikasi ruangan perawatan dengan cara membuat situasi ruangan rawat


perawatan seperti di rumah dengan cara membuat dekorasi ruangan.

Sumber :

Utami, Y. (2014). Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. Jurnal Ilmiah Widya,
1(1).

Pertanyaan

Nama : Nesya Ellyka

NIM : 131611133038

Upaya untuk mengurangi dampak hospitalisasi pada anak adalah salah satunya dengan terapi
bermain dimana peran keluarga penting untuk keberhasilan terapi tersebut. Lalu, mengapa
keterlibatan keluarga sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan terapi bermain untuk
menurunkan dampak hospitalisasi?

Jawaban

Nama : Marceline Putri Crisdianti

NIM : 131611133023

Dukungan orang tua selama pemberian terapi bermain berpengaruh terhadap reaksi anak
selama tindakan dilakukan.Hal ini akan memudahkan terbinanya rasa saling percaya dan
menghindari respon stranger anxieg (kecemasan terhadap orang yang tidak dikenal).
Dukungan keluarga dapat mengurangi pengalaman traumatik karena secara psikologis anak
merasa tenang berada bersama dengan orang yang dekat dengannya (keluarga). Terapi
bermain melibatkan keluarga berarti mengupayakan perawatan rooming rn. Hal ini
menyediakan support emosional bagi anak dalam menghadapi prosedur (Marrenstein, 1995).

Sumber :

Alfiyanti, D., Hartiti, T., & Samiasih, A. (2012). Pengaruh Terapi Bermain Terhadap Tingkat
Kecemasan Anak Usia Prasekotah Setama Tindakan Keperawatan Di Ruang Tukman Rumah
Sakit Roemani Semarang. FIKkeS, 1(1). Vol 1. No 1.

http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/FIKkeS/article/viewFile/359/395
Pertanyaan

Nama : Muhammad Hidayatullah Al Muslim

NIM : 131611133039

Anak sering kali merasa takut jika berada di rumah sakit dan ada pengalaman trauma.
bagaimana cara berkomunikasi perawat dengan pasien anak tersebut?

Jawaban

Nama : Sekar Ayu Pitaloka

NIM : 131611133025

Menurut saya, seorang anak bisa merasakan trauma karena ia pernah mendapatkan
pengalaman yang tidak nyaman dengan kondisi dirinya, bisa juga karena mendapatkan
tindakan yang dirasa merugikan dirinya. Komunikasi yang tepat untuk seorang anak adalah
dengan memulai komunikasi yang penuh dengan kasih sayang. Karena komunikasi akan
meningkatkan rasa percaya, anak tersebut akan merasa lebih dihargai.

Salah satu penyebab trauma adalah mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan dari
lingkungan sekitarnya. Mengenalkan lingkungan sekitar pasien, merupakan salah satu cara
untuk meringankan rasa cemas yang di rasakan pasien. Melalui komunikasi terapeutik inilah
pasien akan merasa jauh lebih tenang dan merasa nyaman, sehingga trauma yang dirasakan
oleh pasien akan berkurang.

Sumber :

Shinto, Retyan. 2010. “Pengaruh Komunikasi Terapeutik Terhadap Tingkat Kecemasan


Akibat Hospitalisasi pada Anak Usia Pra Sekolah di RS Khusus Anak “Empat Lima”
Yogyakarta”. Program Studi Ilmu Keperawatan. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan “Aisyiyah”.
Yogyakarta.

Pertanyaan

Nama : Hanum Amalia Zulfa

NIM : 131611133040

Dalam vidio tersebut telah disampaikan dampak hospitalisasi dapat dirasakan sebelum, saat
dan sesudah tindakan hospitalisasi dilakukan yang saya tanyakan bagaimana seorang anak
bisa merasakan dampak hospitalisasi sebelum dilakukan tindakan prosedur dalam
hospitalisasi?

Jawaban

Nama : Dinda Dhia Aldin Kholidiyah


NIM : 131611133041

Jadi, karena konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting dibandingkan usia dan
kematangan intelektual dalam memperkirakan tingkat kecemasan sebelum hospitalisasi
(Carson, Gravley, dan Council,1992; Clatworthy, Simon, dan Tiedeman,1999; Wong,2003).
Jadi sebelum dilakukan hospitalisasi pada anak sangat penting menjelaskan mengenai asumsi
penyebab sakit dengan bahasa yang lebih mudah difahami dan diterima oleh anak dan orang
tua. Anak yang sakit akan lebih cenderung menganggap dirinya telah mendapat hukuman dari
pencipta atas penyimpangan yang dilakukan, hal itu akan menjadi tingkat kecemasan pada
anak yang menyebabkan ketakutan yang berlebih sehingga mengakibatkan gangguan pada
perkembangan motorik kasar pada anak. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Lilis
Murtutik dan Wahyuni (2013) pada anak pre school penderita leukemia di RSUD Dr.
Moewardi menunjukkan bahwa semakin sering anak menjalani hospitalisasi beresiko tinggi
mengalami gangguan pada perkembangan motorik kasar.

Sumber:

Utami, Y. (2014). Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. Jurnal Ilmiah Widya,
1(1).

Pertanyaan

Nama : Dinda Dhia Aldin Kholidiyah

NIM : 131611133041

Dalam tayangan tersebut dapat diketahui bahwa anak yang dirawat di dirumah sakit dalam
waktu yang panjang akan menimbulkan kecemasan. Perlu diketahui bahwa kecemasan tidak
hanya terjadi pada anak namun juga keluarga. Terlebih lagi seperti yang sudah dijelaskan
bahwa anak tersebut dapat melakukan hal seperti menangis, berteriak, bahkan mendorong
perawat untuk pergi. Selain itu tentu keluarga juga dapat merasa kecemasan. Jadi bagaimana
perbedaan cara penangan perawat pada anak dan keluarga mengingat ada intervensi
mengenai prosedur perawatan yang mungkin perkataan yang diucapkan oleh perawat tidak
dapat diterima di setiap tingkatan usia. Sedangkan pada saat itu juga perawat harus
menenangkan keluarganya. Jadi bagaimana peran perawat yang paling baik untuk bisa
menyeimbangkan antara merawat anak dengan keluarga dalam waktu yang bersamaan dan
terbilang cukup cepat tersebut?

Jawaban

Nama : Arinda Naimatuz Zahriya

NIM : 131611133024

Pada anak, jika mereka telah dipersiapkan dalam suatu program formal, mereka biasanya
mengetahui apa yang akan terjadi dalam prosedur medis awal, fasilitas rawat inap dan staf
keperawatan. Persiapan pemberian informasi yang akurat akan membantu anak mengurangi
ketidakpastian, meningkatkan kemampuan koping, meminimisasi stres, mengoptimalkan
hasil pengobatan, dan waktu penyembuhan (Jaaniste dkk.2007, dalam Gordon dkk.2010).
Penelitian (Schmidt 1990; Margolis dkk. 1998; Claar dkk. 2002; Gordon dkk. 2010)
membuktikan jika seorang anak mendapat informasi yang jelas terlebih dahulu sebelum
prosedur dilakukan, pada umumnya akan memiliki hasil yang baik (stres berkurang dan
penyesuaian lebih baik) selama dan setelah tindakan. Oleh sebab itu, jika informasi yang
diberikan konsisten dengan pengalaman rumah sakit yang nantinya akan benar-benar dialami
oleh anak, anak akan cenderung memiliki rasa percaya yang lebih besar terhadap pemberi
informasi dan pemberi pelayanan yang terlibat (Gordon dkk, 2010). Selanjutnya dalam
menangani kecemasan orang tuaperlu dilakukan pemberikan dukungan informasi kesehatan,
menjelaskan prosedur-prosedur yang dijalani anaknya, dan membuka konseling bagi orang
tua yang ingin mengetahui tentang kesehatan anaknya. Oleh karena itu perawat harus dapat
berperan aktif dalam pemberian informasi kesehatan yang tepat kepada orang tua yang
memerlukan informasi lebih lanjut tentang kesehatan anaknya untuk mengurangi kecemasan
orang tua anak yang menjalani hospitalisasi, sehingga orang tua anak mengetahui cara
mengatasi kecemasannya.

Sumber:

Apriany, D. (2013). Hubungan antara hospitalisasi anak dengan tingkat kecemasan orang tua.
Jurnal Keperawatan Soedirman, 8(2). file:///C:/Users/Hp/Downloads/477-439-1-PB.pdf

Utami, Y. (2014). Dampak hospitalisasi terhadap perkembangan anak. Jurnal Ilmiah Widya,
1(1). http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-ilmiah/article/view/177/156

Pertanyaan

Nama : Novia Tri Handika

NIM : 131611133042

Bagaimana intervensi perawat pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi saat
di rawat di ruang UGD?

Jawaban

Nama : Desi Choiriyani

NIM : 131611133021

Intervensi perawat pada anak usia prasekolah yang mengalami hospitalisasi saat di rawat di
UGD yaitu dengan mengurangi tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah dengan
memberikan terapi audio visual dalam lagu anak-anak dan berupa pemutaran film kartun
anak sebelum perawat akan melakukan pemeriksaan dan tindakan. Memberikan terapi audio
visual kepada anak yang mengalami hospitalisasi terbukti efektif, karena sebelum
diberikannya terapi audio visual tingkat kecemasan pada anak usia prasekolah sangat tinggi
dibandingkan setelah diberikannya terapi audio visual.

Hal itu dapat dibuktikan dari pernyataan Koller dan Goldman (2012) dalam studinya
menyatakan bahwa pemberian cerita melalui audio visual guna menurunkan kecemasan
termasuk teknik distraksi kecemasan dengan teknik audio visual. Otak yang semula
mempersepsikan kecemasan karena memproses rangsangan baru yang dapat diterima
sehingga respon-respon fisiologis otomatis menurun. Ketika anak mendapatkan teknik
distraksi audio visual yaitu pengalihan ke stimulus yang lain akan mengakibatkan lebih
sedikit stimulus cemas yang ditransmisikan ke otak sehingga dapat mempengaruhi respon
tubuh seperti tekanan darah menurun atau kembali normal, nadi dalam batas normal dan
nafas menjadi teratur (Suliswati, 2007).

Sumber :

Suprobo, G. N. (2017). Pengaruh Terapi Audio Visual Terhadap Penurunan Tingkat


Kecemasan pada Anak Preschool yang Dilakukan Pemasangan Infus di UGD RSUD
WATES. Skripsi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Jenderal Achmad Yani
Yogyakarta.
(http://repository.stikesayaniyk.ac.id/2099/2/GANDA%20NUR%20PATMA%20SUPROBO
_2213133_pisah.pdf), diakses pada 21 Februari 2018.

Pertanyaan

Nama : Kusnul Oktania

NIM : 131611133043

Dalam video tersebut di jelaskan bahwa kecemasan akan perpisahan tentang stress dapat
dipengaruhi oleh keterikatan berpisah dengan orang tua saat hospitalisasi, selanjutnya anak
tersebut akan mendapat tindak lanjut dari perawat. Yang ingin saya tanyakan, Jelaskan
hubungan antara perilaku yang dilakukan oleh perawat dengan tingkat kecemasan akibat dari
hospitalisasi pada anak?

Jawaban

Nama : Novia Tri Handika

NIM : 131611133042

Terdapat suatu hubungan antara hubungan perilaku yang dilakukan oleh perawat dengan
tingkat kecemasan akibat dari hospitalisasi pada anak. Kecemasan pada anak bereaksi sesuai
dengan sumber stressnya yaitu penampilan petugas kesehatan rumah sakit dengan baju
putihnya yang berkesan menakutkan bagi anak, peralatan medis yang terlihat bersih dirasakan
cukup menyeramkan, serta bau obat yang identic dengan beberapa rumah sakit. Oleh karena
itu, sebagai perawat kita dapat mengurangi kecemasan hospitalisasi pada anak dengan
menerapkan perilaku caring. Caring merupakan suatu cara pendekatan yang identic dengan
perawat serta bertujuan untuk meningkatkan kepedulian merawat klien. Seorang perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan harus mencerminkan perilaku caring. Perilaku caring
dapat diaplikasikan melalui mendengarkan keluh kesah klien,menunjukan sikap menghargai
klien, kehadiran perawat saat dibutuhkan, perkataan yang lebih lembut, dan sentuhan.
Dampak positif perilaku caring bagi klien diantaranya meningkatkan kesembuhan,
kenyamanan dan keamanan selama dirawat, memiliki rasa trust pada perawat. Maka, sebagai
perawat perlu menggunakan bahasa yang mudah dimengerti anak dan dapat memberi contoh
sesuai kemampuan anak.

Pada penelitian yang telah dilakukan bahwa semakin baik penerapan perilaku caring perawat,
maka tingkat kecemasan anak yang dirawat akan semakin ringan, dan sebaliknya, semakin
buruk penerapan perilaku caring perawat, maka tingkat kecemasan pada anak yang dirawat
akan semakin berat. Penerapan perilaku caring yang baik dapat meminimalisir tingkat
kecemasan pada anak. Oleh karena itu, sebagai perawat harus lebih sensitive terhadap
kebutuhan maupun terhadap respon emosional klien terhapa rasa sakit yang dirasa maupun
tindakan yang dilakukan. Perawat dapat membantu mengurangi kecemasan dengan
memberikan informasi yang lengkap dan tepat waktu.

Sumber:

Kartikasari, D. (2017). HUBUNGAN PERILAKU CARING PERAWAT DENGAN


TINGKAT KECEMASAN AKIBAT HOSPITALISASI PADA ANAK USIA TODDLER DI
RUANG RAWAT INAP ANAK RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH BANTUL,
YOGYAKARTA. Skripsi, 3-50.

Pertanyaan

Nama : Novalia Puspitasary

NIM : 131611133044

Pada video tersebut telah dijelaskan mengenai beberapa stressor hospitalisasi pada anak yang
dapat berlangsung sebelum, saat, maupun setelah anak dirawat di rumah sakit. Bagaimana
respons emosional yang diakibatkan oleh stressor hospitalisasi pada anak dapat terjadi?

Jawaban

Nama : Mudrika Novita Sari

NIM : 131611133050

Anak dapat menimbulkan stres saat menajalani hospitalisasi yang disebabkan mengharuskan
anak menghabiskan waktu lebih banyak dirumah sakit akibat alasan tertentu seperti menjalani
terapi atau keadaan darurat misalnya insiden kecelakaan. Oleh karena itu, anak merasa cemas
bahkan ketakutan terhadap lingkungan dan kebiasaan sehari-hari yang berbeda. Respon
emosional yang timbul pada anak salah satunya kecemasan terhadap sesuatu yang berbahaya,
kecemasan tersebut dibagi menjadi tiga fase, yaitu: (a) phase of protest (fase protes), reaksi
yang dimunculkan oleh anak dengan cara memanggil orang tuanya atau bertingkah laku
secara agresif bahwa ia tidak ingin ditinggalkan orang tuanya, bahkan ada juga yang
menangis serta menolak perhatian dari orang lain; (b) phase of despair (fase putus asa),
perasaan depresi yang dirasakan oleh anak dengan menarik diri dari lingkungan yang baru,
tidak nafsu makan, berkurangnya minat bermain, namun anak sudah tampak tenang; (c)
phase of denial (fase menolak), pada fase ini anak secara samar-samar menerima perpisahan
dengan orang tua, anak juga sudah dapat memulai interaksi dengan orang-orang yang baru,
bahkan juga mulai beradaptasi dengan lingkungan seperti bermain dengan teman sejawatnya.

Sumber:

Utami, Yuli. (2017). Dampak Hospitalisasi Terhadap Perkembangan Anak. Jakarta: Jurnal
Ilmiah Widya. Vol. 4, No. 2: 9-20. http://e-journal.jurwidyakop3.com/index.php/jurnal-
ilmiah/article/view/177/156

Pertanyaan

Nama : Annisa Fiqih I

NIM :131611133045

Bagaimana upaya menurunkan tingkat stress hospitalisasi pada anak?

Jawaban

Nama : Adeila Dwi Lailyvira R

NIM : 131611133005

Salah satu cara independent untuk menurunkan stres akibat hospitalisasi pada anak usia
prasekolah adalah dengan terapi bermain. Mewarnai buku gambar yang merupakan salah satu
terapi permainan kreatif untuk mengurangi stres akibat hospitalisasi serta meningkatkan
komunikasi pada anak. Mewarnai buku gambar sebagai permainan yang kreatif merupakan
metode untuk merubah perilaku anak selama di rawat di rumah sakit. Melalui mewarnai
tersebut anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, fantasi, dan dapat mengembangkan
kreativitasnya. Dengan bermain dapat menjadikan diri anak lebih senang dan nyaman
sehingga adanya stres dan ketegangan dapat dihindarkan mengingat bermain dapat
menghibur diri anak terhadap dunianya (Supartini, 2004)

Sumber:

Azizah, siti., Wati, Sui Erna. 2014. UPAYA MENURUNKAN TINGKAT STRES
HOSPITALISASI DENGAN AKTIFITAS MEWARNAI GAMBAR PADA ANAK USIA 4-
6 TAHUN DI RUANG ANGGREK RSUD GAMBIRAN KEDIRI. Kediri. Jurnal Nomor 25
Volume 01

Pertanyaan

Nama : Septin Srimentari Lely Darma

NIM : 131611133046

Anak yang mengalami hospitalisasi sering menunjukkan respon kecemasan secara perilaku
seperti menangis dan berteriak. Apakah respon kecemasan hanya dapat diketahui melalui
perilalu anak? Jika tidak, bagaimana mengetahui respon anak yang lainnya ketika mengalami
kecemasan pada hospitalisasi?

Jawaban

Nama : Fitrianti Umayroh Mahardika

NIM : 131611133047

Respon kecemasan tidak hanya dapat diketahui melalui perilalu anak. Stuart dan sundeen
(2005), menyebutkan bahwa respon fisiologis dari kecemasan meliputi perubahan pada
system kardiovaskular, pernafasan, neuromuskuler, gastrointestinal, traktus urinarius dan
kulit. Semenytara itu, respon psikologis mencangkup perilaku, kognitif dan afektif. Respon
fisiologis dan psikologis tersebut dijelaskan sebagai berikut :

Respon fisiologis terhadap kecemasan:

1. Kardiovaskuler : palpitasi, jantung berdebar, TD meningkat rasa mau pingsan,


pingsan, tekanan darah menurun, denyut nadi menurun.
2. Pernafasan : nafas pendek, nafas cepat, tekanan pada dada, nafas dangkal,
pembengkakan pada tenggorokan, sensasi tercekik dan terengah-engah
3. Neuromuskuler : reflex meningkat , kedutan, mata berkedip-kedip,
insomnia, tremor, rrigiditas, gelisas, wajah tegang, kelemahan umum, kaki goyah
dan gerakan janggal
4. Gastrointestinal : kehilangan nafsu makan, meolak makan, rasa tidak nyamana pada
abdomen dan mual
5. Traktus urinarius : tidak dapat menahan kencing, sering berkemih
6. Integument : wajah kemerahan, berkeringan setempat (telapak tangan), gatal, rasa
panas dan dingin pada kulit, wajah pucat dan berkeringat seluruh tubuh

Respon psikologis terhadap kecemasan :

1. Perilaku : gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, kurang


koordinasi, cenderung mendaat cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal,
menghalangi,
2. Kognitif : perhatian terganggu, konsentrasi buruk, pelupa, salah dalam
memberikan penilaian, hambatan berfikir, bidang persepsi menurun, kreativitas
menurun, bingung, sangat waspada, kesadaran meningkat, kehilangan objektifitas,
takut kehilangan control, takut pada gambaran visual, takut cedera atau kematian
3. Afektif : mudah terganggu, tidak sabar, gelissah, tegang, nervous, ketakutan,
gugup, gelisah.

Sumber:

Permana, Bayu. 2017. PENGARUH TERAPI MUSIK (LAGU ANAK-ANAK) TERHADAP


KECEMASAN PADA ANAK USIA PRASEKOLAH AKIBAT HOSPITALISASI DI RS
AMAL SEHAT WONOGIRI. Undergraduate thesis, Universitas Muhammadiyah Semarang.

Pertanyaan

Nama : Fitrianti Umayroh Mahardika

NIM : 131611133047

Anak toddler sampai prasekolah rentan terhadap stres karena kemampuannya mengatasi stres
masih terbatas. Lingkungan dan orang yang baru dikenalnya di rumah sakit dapat
menimbulkan stres sehingga berdampak pada perkembangan anak. Perkembangan yang
terganggu dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fungsional dalam emosi, kognitif,
perilaku, dan hubungan interpersonal. Lalu bagaimana peran perawat sebagai pemberi
pelayanan asuhan keperawatan terhadap klien seperti kasus tersebut?

Jawaban

Nama : Gita Shella Madjid

NIM : 131611133049

Menurut Konsorsium ilmu kesehatan Tahun 1989, fungsi perawat diantaranya sebagai
pemberi asuhan keperawatan, advokat klien, edukator, koordinator, kalaborator, konsultan
dan pembaharu.

Peran perawat dalam kasus yang dipaparkan di atas adalah sebagai pemberi asuhan
keperawatan kepada klien (anak) untuk klien terbebas dari rasa sakitnya. Akan tetapi, bukan
hanya sebagai pemberi asuhan keperawatan saja, seorang perawat dalam kasus tersebut juga
berperan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan klien secara holistik dengan melalui
kemampuan teknikal (keterampilan yang dimiliki seorang perawat), dukungan emosional dan
psikologis, spiritual dan sosial yang diberikan perawat kepada klien (anak serta keluarga).

Kemampuan teknikal salah satunya ditunjukkan dengan perilaku caring seorang perawat
kepada klien. Mulyaningsih (2011) mengatakan bahwa perawat yang berperilaku caring dapat
mengurangi stres atau trauma pada pasien saat menjalani hospitalisasi. Salah satu penelitian
di Rumah Sakit umum Manado mengatakan bahwa terdapat hubungan perilaku caring
seorang perawat dengan stres hospitalisasi pada usia toddler. Semakin baik perilaku caring
seorang perawat maka anak tidak mengalami stres hospitalisasi. Hasil penelitian ini juga di
dukung oleh penelitian Ningsih di tahun 2012 di Gresik.

Perilaku caring seorang perawat mampu memberikan keamaan dan kenyamanan serta
kepuasan kepada klien dan keluarga. Sehingga merasa percaya kepada perawat dan tidak
mengalami stres hospitalisasi.

Sumber :

Lidia Gaghiwu, A. Y. (2013, Agustus 1). Hubungan Perilaku Caring Perawat dengan Stres
Hospitalisasi pada Anak Usia Toddler di Irina E Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
e-journal Keperawatan (e-Kp), Volume 1. Nomor 1.

Pertanyaan

Nama : Gita Shella Madjid

NIM : 131611133049

Dalam video tersebut dijelaskan bahwa adanya hospitalisasi pada anak tentunya akan
mengakibatkan beberapa dampak pada anak maupun orang tua.

Yang ingin saya tanyakan mengapa hospitalisasi dapat mempengaruhi perkembangan anak?
Dan bagaimana peran perawat dalam memberi dukungan pada anak serta keluarga saat
mengalami hospitalisasi?

Jawaban

Nama : Septin Srimentari Lely Darma

NIM : 131611133046

Hospitalisasi memiliki dampak negatif terhadap perkembangan anak seperti perkembangan


motorik kasar. Beberapa faktor menimbulkan stres hospitalisasi yang menyebabkan anak-
anak rentan mengalami gangguan perkembangan antara lain lingkungan rumah sakit yang
tidak familiar menciptakan rasa takut dan cemas, berpisah dengan orang yang berarti dan
berinteraksi dengan orang baru (tenaga kesehatan dan pasien lain), dan kehilangan kebebasan
dan kemandirian. Hal tersebut membuat anak yang semula aktif dan berkeinginan kuat
menjadi lebih pasif, terbatas dalam beraktifitas dan cenderung lebih banyak diam, serta
menghindar dari tindakan perawatan.

Perawat perawat dilakukan dengan melakukan upaya untuk menurunkan dampak


hospitalisasi dan memberikan dukungan pada anak dan keluarga. Meminimalisasi efek
perpisahan dari orang disekitar anak serta meningkatkan dukungan anggota keluarga.
Mempertahakan aktivitas yang dapat menunjang perkembangan anak dan menghindari anak
kehilangan kebebasan dan kemandirian seperti contohnya melakukan tindakan keperawatan
dan berinteraksi dengan anak yang diselingi oleh permainan. Memaksimalkan manfaat
hospitalisasi anak dan mencegah/meminimalkan tindakan keperawatan yang dapat
mengakibatkan cedera. Mempersiapkan anak untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit
dan pemberian informasi yang akurat pada anak dan keluarga.

Sumber :

Utami, Yuli. 2014. Dampak Hospitalisasi terhadap Perkembangan Anak. Jurnal Ilmiah
Widya. Vol 2. No. 2

Pertanyaan

Nama : Mudrika Novita Sari

NIM : 131611133050

Berdasarkan materi yg telah disampaikan pada video, ada beberapa cara untuk dapat
mengatasi hospitalisasi pada anak,salah satunya dengan bermain. Menurut Anda adakah
metode yang efektif selain dari yg disebutkan dalam video?

Jawaban

Nama : Nurul Hidayati


NIM : 131611133022
Hospitalisasi adalah suatu kondisi seseorang karena sakit dan masuk rumah sakit atau selama
seseorang berada di rumah sakit karena sakit. Hospitalisasi menimbulkan suatu kondisi krisis
baik bagi anak maupun keluarganya . Persepsi anak terhadap penyakit berbeda-beda. Hal ini
dipengaruhi oleh tahapan usia perkembangan anak, pengalaman sebelumnya terhadap sakit,
sistem pendukung yang ada, dan kemampuan koping anak. Menurut saya, metode yang tepat
selain dari yang sudah disampaikan di video dan perlu diterapkan pada kasus hospitalisasi
anak di Indonesia salah satunya adalah dengan metode bimbingan imajinasi rekaman audio.
Berdasarkan penelitian di luar negeri metode bimbingan imajinasi rekaman audio telah
terbukti memberikan manfaat menurunkan respon nyeri perut kronik pada anak usia sekolah.
Metode bimbingan imajinasi masih jarang dipraktekkan di rumah sakit rawat inap anak yang
ada di Indonesia. Padahal metode bimbingan imajinasi memberikan manfaat pada anak antara
lain: belajar untuk bersantai/rileks, mempersiapkan diri bagi anak-anak menghadapi masa,
menghilangkan atau merubah perilaku yang tidak diinginkan, meningkatkan manajemen
nyeri secara efektif, perilaku pembelajaran yang diinginkan dan baru, menjadi lebih
termotivasi dalam menghadapi suatu masalah, mengatasi atau menghilangkan marah,
mengolah situasi stres dan kecemasan. Bimbingan imajinasi telah menjadi terapi standar di
luar negeri untuk mengurangi kecemasan, dan memberikan relaksasi pada orang dewasa atau
anakanak, dapat juga untuk mengurangi nyeri kronis, tindakan prosedural yang menimbulkan
nyeri, susah tidur, mencegah reaksi alergi, dan menurunkan tekanan darah. Dari sinilah saya
berpendapat bahwa menurut saya terapi menghilangkan hospitalisasi anak dengan
menggunakan metode bimbingan imajinasi rekaman audio merupakan salah satu metode
yang efektif, dan perlu diterapkan dan dicoba pada kasus hospitalisasi anak di Indonesia.

Sumber :

Masulili, Fitria. (2013). Metode Bimbingan Imajinasi Rekaman Audio Untuk Menurunkan
Stres Hospitalisasi Pada Anak Usia Sekolah Di Rumah Sakit Di Kota Palu. Jurnal
Keperawatan Anak, 1(2), 73-84.
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKA/article/view/964/1013

Anda mungkin juga menyukai