Anda di halaman 1dari 15

MEMAHAMI DAN MENJELASKAN SASARAN PATIENT SAFETY

(Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Program Pendidikan Profesi


KebidananTasikmalaya)

Disusun Oleh :
Ai Tika Tresnasari
Cica Siti Khotijah
Chika Apriana Widyaningsih
Cucun Cuningsih
Desi Suprapti
Kania Ambarwati
Lina carlina
Maemunawaroh
Reni Cahyanti
Rossa Khoeronisa
Siti Jamingatul Khoeriyah

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES TASIKMALAYA


JURUSAN KEBIDANAN TASIKMALAYA
2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya kesehatan merupakan salah satu usaha untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, serta bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang
optimal bagi masyarakat. Fasilitas pelayanan kesehatan merupakan tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah
(PERMENPAN RB No. 25 Tahun 2014). Rumah sakit merupakan sarana kesehatan
yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan berperan strategis
dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat (UU Nomor 4
Tahun 2018).
Keselamatan pasien menjadi fokus utama pemerintah dan juga penyedia layanan
kesehatan secara nasional maupun internasional. Keselamatan pasien tidak akan
lengkap jika sudut pandang dan keterlibatan pasien tidak diperhitungkan (Hovey et al.,
2010; Vincent & Coulter, 2002). Pasien dapat memberikan keterlibatannya dalam
berbagai cara. Pasien dapat membantu memastikan bahwa obat yang diberikan
digunakan dengan aman, berpartisipasi dalam inisiatif pengendalian infeksi,
melaporkan insiden keselamatan pasien, memonitor perawatan dan memberikan
informasi serta saran untuk mengembangkan proses pelayanan kesehatan yang lebih
aman (Berger et al., 2013; Coulter & Ellins, 2007, Vincent & Coulter, 2002).
Salah satu langkah memperbaiki mutu pelayanan rumah sakit adalah melalui
penerapan keselamatan pasien. Keselamatan pasien adalah tindakan untuk mencegah
atau meminimalkan bahaya selama pasien berada di layanan kesehatan (WHO, 2017).
Keselamatan pasien dewasa ini menjadi spirit dalam pelayanan Rumah sakit di seluruh
dunia. Selama dua dekade ini, keselamatan pasien telah menjadi prioritas utama dalam
sistem perawatan di seluruh dunia. Berbagai inisiatif dan program, termasuk survey
tentang budaya keselamatan pasien, strategi tim, maupun alat untuk meningkatkan
kinerja keselamatan pasien, serta program akreditasi dan sertifikasi internasional telah
dikembangkan dan diterapkan untuk mempromosikan keselamatan pasien di tingkat
rumah sakit (JCI, 2017).
Menurut Joint Commission International (2017) terdapat enam sasaran penerapan
keselamatan pasien, diantaranya: ketepatan identifikasi pasien, peningkatan
komunikasi yang efektif, peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai,
kepastian tepat lokasi, tepat-prosedur, tepat operasi, pengurangan risiko infeksi terkait
pelayanan kesehatan dan pengurangan risiko pasien jatuh. Selain dari standar
keselamatan pasien, ada lagi yang menjadi poin penting dalam pelaksanaan
keselamatan pasien di sebuah rumah sakit, yaitu patient safety goals. Komisi
Akreditasi Rumah Sakit (KARS) membuat sebuah kebijakan bahwa keselamatan
pasien wajib diterapkan di semua rumah sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu
kepada nine life-saving patient safety solution atau sembilan solusi keselamatan pasien
rumah sakit. Akan tetapi kenyataannya, permasalahannya masih banyak pasien yang
unsafety termasuk di rumah sakit yang telah terakreditasi di seluruh negara di dunia
(JCI, 2017).
Menurut WHO (2017), kesalahan medis adalah penyebab utama kematian ketiga
di Amerika Serikat. Faktor penyebab kejadian ini adalah kekurangan tenaga, struktur
yang tidak memadai dan kepadatan penduduk, kurangnya peralatan dasar, kebersihan
dan sanitasi buruk yang menyebabkan perawatan pasien tidak aman. Diperkirakan 1
dari 10 pasien yang dirawat inap mengalami bahaya. Di negara berpenghasilan
menengah dan rendah diperkirakan 8% kejadian buruk, 83% kondisi potonsial cedera,
dan 30% mengakibatkan kematian. Sekitar 421 juta pasien dirawat di rawat inap di
dunia, dimana sekitar 42,7 juta pasien mengalami kejadian buruk (WHO, 2017). WHO
(2020) mencatat bahwa ada 134 juta kejadian buruk yang terjadi setiap tahun, 2,6 juta
kematian per tahun akibat dari pelayan yang tidak aman. Empat dari 10 pasien di
ruang rawat inap dan rawat jalan mengalami cedera. Akibat dari insiden-insiden yang
terjadi, telah menghabiskan biaya sekitar 42 milliar per tahunnya. Penelitian yang
dilakukan Pham et al (2016) terhadap 11 rumah sakit di 5 negara menunjukkan bahwa
ada 52 insiden keselamatan pasien. Insiden di negara Hongkong 13%, Australia 25%,
India 23%, Amerika 12% dan Kanada 10%. Sementara di Brazil merupakan kejadian
yang paling banyak terjadi patient unsafety dengan perkirakan 7,6% insiden (da Costa
et al., 2017).
Pelaporan data di Indonesia tentang insiden keselamatan dari September 2003-
2017 berdasarkan jenis insiden; Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) sebanyak 249
laporan, Kejadian Nyaris Cedera (KNC) sebanyak 283 laporan. Berdasarkan unit
penyebab; keperawatan 207 laporan, farmasi 80 laporan, laboratorium 41 laporan,
dokter 33 laporan dan sarana prasarana sebesar 25 laporan. Data berdasarkan
pronvinsi yaitu terbanyak di Banten 125 laporan, Jakarta 105 laporan dan terendah di
Riau 5 laporan, sementara di Jambi 16 kejadian insiden keselamatan pasien terjadi di
dalam satu tahun (Faluzi, 2017). Kualitas pelayanan merupakan hasil dari kecukupan
staf, sumber daya, kepemimpinan, dan dukungan perawat (Kim et al., 2018). Perawat
merupakan tenaga kesehatan yang berinteraksi langsung dengan pasien selama 24 jam
yang memegang peranan penting dalam keselamatan pasien. Hal ini sejalan dengan
pendapat Divshali et al (2016) yang menyatakan bahwa, perawat adalah kelompok
sumber daya terbesar dalam sistem pelayana disetiap fasilitas pelayanan kesehatan.
Kualitas bidan dan kepuasan pasien ditentukan oleh bidan sebagai pelaku pemberi
asuhan yang kontak langsung dengan pasien. Kualitas perawatan yang diberikan
kepada pasien tergantung pada kemampuan bidan menanggapi ambiguitas yang
melekat dalam transisi bidan. Mengindetifikasi kerentanan pasien atau faktor risiko
untuk pembedahan serta perawat harus mengenali berbagai cara dimana kerentanan
tersebut dapat bermanifestasi dalam konteks lingkungan pra operasi.
Mengkomunikasikan informasi terkait dengan prosedur bedah dan efek yang mungkin
terjadi terhadap status kesehatan, status fungsional, dan dinamika keluarga pasien
adalah prioritas utama (Malley et al., 2015). Adapun kejadian yang tidak diinginkan
yang terjadi dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit ini dan telah dalam proses
pelaporan untuk dapat ditindak lanjuti. Insiden kejadian yang tidak diinginkan dari
tahun ketahun menunjukkan penurunan, pada tahun 2012 terdapat 20 insiden, tahun
2013 terdapat 7 insiden, dan pada tahun 2014 terdapat 4 insiden. Insiden yang terjadi
berupa pengunjung terpeleset karena lantai licin, dokter salah tulis resep obat, resep
tanpa aturan pakai, pasien terjatuh dari tempat tidur, kesalahan penyerahan obat
kepada pasien yang salah, salah tulis identitas pasien, pengukuran tanda-tanda vital
dengan alat yang rusak, keterlambatan penggatian cairan infuse, pengantar untuk
radiologi salah penulisan dan tidak ada diagnosa klinis, luka tergores karena kaca
jendela yang melorot, pasien terjebak dikamar mandi, kesalahan pemberian nama yang
tidak sesuai antara rekam medis dengan resep obat pasien, serta komunikasi antara
tenaga medis dengan pasien/keluarga yang tidak jelas sehingga terjadi kesalahan
persepsi.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka penulis tertarik untuk membuat makalah ini
B. Rumusan Masalah
Bagaimana penentuan sasaran patient safety di tempat pelayanan kebidanan?
C. Tujuan
1. Untuk mengidentifikasi sasaran patient safety di tempat pelayanan kebidanan.
2. Untuk mengetahui cara meningkatkan komunikasi yang efektif dalam penerapan
patient safety.
3. Untuk mengetahui cara meningkatkan keamanan obat yang dibutuhkan.
4. Untuk mengetahui cara mengurangi resiko salah lokasi,salah pasien dan tindakan
operasi.
5. Untuk mengetahui cara mengurangi resiko infeksi.
6. Untuk mengetahui cara mengurangi resiko jatuh.

\
D. Manfaat
1. Bagi Penulis
Menambah pengetahuan, keterampilan serta pengalaman dalam proses
pembelajaran di program studi profesi kebidanan.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Menambah pengetahuan baru untuk dapat di terapkan agar dapat
meningkatkan pelayanan.
3. Bagi Institusi
Makalah ini menjadi bahan pustaka bagi Poltekkes Tasikmalaya khususnya
Prodi Profesi Kebidanan dengan menitikberatkan penerapan sasaran patient safety
di pelayanan kebidanan.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sasaran Patient Safety


Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah
sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini
mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety
(2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI
(KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI). Maksud dari Sasaran
Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien.
Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan
dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain system yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin
sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.

Enam Sasaran Keselamatn pasien adalah tercapainya hal – hal sebagai berikut ;

1. Mengidentifikasi pasien dengan tepat.


a. Standar Keselamatan Pasien I (SKP I)
Rumah Sakit menerapkan proses untuk menjamin ketepatan identifikasi
pasein
b. Maksud dan Tujuan Sasaran I
Kesalahan karena keliru dalam mengidentifikasi pasien dapat terjadi di
hampir semua aspek pelayanan baik diagnosis, proses, pengobatan serta
Tindakan. Misalnya saat keadaan pasien sedang terbius, mengalami disorientasi,
tidak sadar, ada kemungkinan beerpindah tempat tidur/kamar/ lokasi di rumah
sakit, atau apabila pasien memiliki cacat indra atau rentan terhadap situasi
berbeda

Adapun tujuan dari identifikasi pasien secara benar adalah:

a.Mengidentifikasi pasein secara sebagai indivudu yang akan di berikan


layanan, Tindakan atau pengibatan tertentu secara tepat.

b.Mencocokan layanan atau perawatan yang akan diberikan kepada pasien yang
akan menerima pelayanan.

Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratif dikembangkan untuk


memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi
pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah.
Pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; atau
pemberian pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur
memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti
nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan
bar-code, dan lain-lain. Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan
untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan
dua identitas berbeda di lokasi yang berbeda di rumah sakit, seperti di pelayanan
rawat jalan, unit gawat darurat, atau ruang operasi termasuk identifikasi pada
pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk
mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua
kemungkinan situasi untuk dapat diidentifikasi.
c. Elemen Penilaian sasaran I
1) Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomor kamar atau lokasipasien.
2) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produkdarah.
3) Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.
4) Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.
5) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang konsisten
pada semua situasi dan lokasi.
2. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang tepat , akurat lengkap, jelas dan di
pahami oleh penerima pesan.
a. Standar Keselamatan Pasien II (SKP II)
Menerapkan proses untuk meningkatkan efektivitas komunikasi lisan
dan / telepon di antara para professional pemberi asuhan ( PPA), proses pelaporan
hasil kritis pada pemeriksaan diagnostic termasuk komunikasi saat serah terima
pasien,
b. Maksud dan Tujuan Sasaran II
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang
dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan
keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk elektronik, lisan, atau tertulis.
Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah
diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yang mudah terjadi
kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti
melaporkan hasil laboratorium klinik cito melalui telepon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk: mencatat (atau memasukkan
ke komputer) perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima
perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah
atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan
dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian
juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak melakukan pembacaan kembali
(read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat
darurat di IGD atau ICU.
c. Elemen Penilaian Sasaran II
1) Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil pemeriksaan
dituliskan secara lengkap oleh penerimaperintah.
2) Perintah lengkap lisan dan telpon atau hasil pemeriksaan dibacakan kembali
secara lengkap oleh penerimaperintah.
3) Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau yang
menyampaikan hasilpemeriksaan.
4) Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

3. Peningkatan Keamanan Obat Yang Membutuhkan Perhatian


a. Standar Keselamatan Pasien III (SKP III)
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki
keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high-alert).
b. Maksud dan Tujuan Sasaran III
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien,
manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.
Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high- alert medications) adalah obat yang
sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang
berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome)
seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa
dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Soun Alike/LASA). Obat-obatan
yang sering disebutkan dalam isu keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit
konsentrat secara tidak sengaja (misalnya, kaliumk lorida 2 meq/ml atau yang
lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium
sulfat = 50% atau lebih pekat).
Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan
baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan
terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang
paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tersebut adalah
dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai
termasuk memindahkan elektrolit terlebih dahulu sebelum ditugaskan, atau pada
keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau
mengeliminasi kejadian tersebut adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan
obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari
unit pelayanan pasien kefarmasi. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan
suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu
diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau
prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit
konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi, serta pemberian label secara benar
pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga
membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kuranghati-hati.
c. Elemen Penilaian Sasaran III
1) Kebijakan dan /atau prosedur dikembangkan agar memuat proses identifikasi,
menetapkan lokasi, pemberian label, dan penyimpanan elektrolit konsentrat.
2) Implementasi kebijakan danprosedur.
3) Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuaikebijakan.
4) Elektrolit konsentrat yang disimpan pada unit pelayanan pasien harus diberi
label yang jelas, dan disimpan pada area yang dibatasi ketat (restricted).

4. Mengurangi Resiko Salah Lokasi, dalah pasien dan Tindakan Operasi.


a. Standar Keselamatan Pasien IV (SKP IV)
Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan tepat
lokasi, tepat prosedur, dan tepat- pasien.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran IV
Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu
yang menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi dirumah sakit. Kesalahan ini adalah
akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat antara anggota
tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site
marking), dan tidak ada proseduruntuk verifikasi Lokasi operasi. Di samping itu,
asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak
adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim
bedah, permasalahan yang berhubungan dengan tulisan tangan yang tidak terbaca
(illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah faktor-faktor kontribusi
yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif mengembangkan suatu
kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang
mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di
The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong
Procedure, Wrong Person Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan
pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus
digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator/orang
yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan,danharus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi
operasi dilakukan pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur
(jari tangan , jari kaki, lesi) atau multipel level (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:Memverifikasi lokasi,
prosedur, dan pasien yangbenar;
1) Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang
relevan tersedia, diberi label dengan baik, dan dipampang;
2) Melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant2 yang
dibutuhkan.

Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau


kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan
dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi.
Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas,
misalnya menggunakan checklist.

c. Elemen Penilaian Sasaran IV


1) Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien di dalam prosespenandaan.
2) Rumah sakit menggunakan suatu checklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien
dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat,
danfungsional.
3) Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur “sebelum
insisi/time-out” tepat sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan
pembedahan.
4) Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung proses yang
seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,
termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

5. Mengurangi Resiko Infeksi


a. Standar Keselamatan Pasien V (SKP V)
Menerapkan kebersihan tangan ( hand hygiene) untuk menurunkan resiko
infeksi terkait layanan Kesehatan.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran V
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam
tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai
dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi
pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali
dihubungkan dengan ventilasi mekanis). Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun
infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand
hygiene bisa dibaca kepustakaan WHO, dan berbagai organisasi nasional dan
internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan
kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di
rumah sakit.
c. Elemen Penilaian Sasaran V
1) Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru
yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (al.dari WHO Patient
Safety).
2) Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yangefektif.
3) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
secara berkelanjutan risiko dari infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
6. Pengurangan Resiko jatuh
a. Standar Keselamatan Pasien VI (SKP VI)
Menerapkan Proses mengurangi risiko cedera pasein karena jatuh.
b. Maksud dan Tujuan Sasaran VI
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien
rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani, pelayanan yang
disediakan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh
dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaahterhadap konsumsi alkohol,
gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh
pasien. Program tersebut harus diterapkan rumah sakit.
c. Elemen Penilaian Sasaran VI
1) Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap risiko
jatuh dan melakukan asesmen ulang pasien bila diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan, danlain-lain.
2) Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
pada hasil asesmen dianggap berisikojatuh.
3) Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan pengurangan cedera
akibat jatuh dan dampak dari kejadian tidakdiharapkan.
4) Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan pengurangan
berkelanjutan risiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat di simpulkan bahwa sasaran keselamatan
pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh
Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Dimana maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien
tersebut adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Dalam hal ini
terdapat enam sasaran keselamatan pasien diantaranya:
1. Mengidentifikasi pasien dengan tepat, dimana maksud dan tujuannya adalah
banyaknya Kesalahan karena kekeliruan dalam mengidentifikasi pasien dapat
terjadi di hampir semua aspek/tahapan diagnosis dan pengobatan.
2. Meningkatkan Komunikasi yang Efektif yang apabila di lakukan dengan baik dan
benar akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan
pasien.
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian apabila obat-obatan
menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan
secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien.
4. Mengurangi Resiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi karena
Salah lokasi, salah-prosedur, pasien-salah pada operasi, adalah sesuatu yang
menkhawatirkan dan tidak jarang terjadi dirumah sakit.
5. Mengurangi Resiko Infeksi hal ini perlu di perhatiakan karena dalam mengatasi
infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan keprihatinan
besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan.
6. Pengurangan Resiko Jatuh karena umlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai
penyebab cedera bagi pasien rawat inap.
B. SARAN
1. Di perlukan pengembangan secara kolaboratif tentang kebijakan atau prosedur
untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk
mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah, atau produk darah.
2. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk mencatat, membacakan
kembali perintah dan mengkonfirmasi perintah tersebut benar dan akurat.
3. Rumah sakit secara kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau
prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai. Kebijakan
dan/atau prosedur juga mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan
elektrolit konsentrat, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan
bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk
mencegah pemberian yang tidak sengaja/kuranghati-hati.
4. Meningkatkan komunikasi yang efektif antar anggota tim bedah, melibatkan
pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan memverifikasi Lokasi
operasi.
5. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk mengembangkan kebijakan
dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene
yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
6. rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk
mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adventus M.R, Mertajaya, I Made and Mahendra, Donni. 2019. Modul Manajemen
Patient Safety. Jakarta: Program Studi DIII Keperawatan Fakultas Vokasi UKI
2. Dapertemen Kesehatan. 2006. Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit
(Patient Safety). Jakarta: Depkes RI
3. Kemenkes Republik Indoneasia. 2008. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
4. Kemenkes Republik Indoneasia. 2015. Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
5. PMK RI. Peraturan menteri kesehatan RI nomor 11 tahun 2017 tentang keselamatan
pasien 2017. Jakarta, Indonesia.
6. Tutiany, Lindawati, P. 2017. Bahan Ajar Keperawatan Manajemen Keselamatan Pasien.
PPSDM Kemenkes RI.
7. WHO. 2013. Patients for patient safety partnerships for safer health care (2nd ed.).
Geneva
8. Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2016. Instrumen Penilaian KARS Sasaran Keselamatan
Pasien.

Anda mungkin juga menyukai