Anda di halaman 1dari 26

MENTORING

PERAN DAN FUNGSI KEPEMIMPINAN KEPERAWATAN DALAM PENINGKATAN


PATIENT SAFETY

KELOMPOK MENTORING

Muhammad Haidar (20211050012)


Rafika Sulastri (20311050015) Rantiningsih sumarni (20211050016)
Robertus Rebon (20211050019) Yunus Touwelly (20211050022)
Ceril Pungus (20211050023) Dyah Sriwigati (20211050024)

Pembimbing:

Dr. Sutantri, S.Kep., Ns., M.Sc., Ph.D

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keselamatan pasien merupakan suatu transformasi budaya dimana perubahan budaya yang
diharapkan meliputi budaya keselamatan, budaya tidak menyalahkan, budaya melapor dan
budaya belajar sangat diperlukan upaya trasnformasional yang menyangkut intervensi multi level
dan multi dimensional yang terfokus pada misi dan strategi organisasi, leadership style, serta
budaya dari suatu organisasi (Keats, 2019). (KALIMAT LEBIH PENDEK SAJA)

Keselamatan pasien merupakan pendorong utama dalam pelayanan Kesehatan. ini


didefinisikan sebagai tidak adanya bahaya yang bisa dicegah terlebih dahulu sebelum terjadi
pada pasien selama proses perawatan kesehatan atau sebagai pencegahan kesalahan dan kejadian
buruk yang disebabkan oleh penyediaan perawatan dibanding proses penyakit yang mendasari
pasien. Inilah ide yang mendasari Nightiangle untuk melindungi pasien dari bahaya di samping
tempat tidur (Melanie, 2013). Pemimpin mempunyai fungsi kardinal & sentral dalam organisasi,
manajemen & administrasi, sehingga perlu mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang
lain. Kepala ruangan sebagai pemimpin keperawatan digaris depan bertanggung jawab
mempengaruhi semua staf agar dapat mencapai tujuan dan sasaran di ruangannya (Puspitasari,
2017).

Kepemimpinan pada dasarnya adalah tentang "mempengaruhi orang lain untuk memahami
dan setuju tentang apa yang perlu dilakukan dan bagaimana melakukannya, dan proses
memfasilitasi upaya individu dan kolektif untuk mencapai tujuan bersama”. Beberapa penelitian
telah mengeksplorasi dampak kepemimpinan terhadap keselamatan pasien, seperti efek samping,
pasien jatuh, kesalahan pemebrian obat tingkat infeksi, meskipun belum ditemukannya pola yang
efektif. Misalnya, perilaku kepemimpinan perawat yang berorientasi pada hubungan (seperti
mudah didekati dan memberikan umpan balik) terkait dengan pengurangan efek samping di 164
panti jompo di Amerika Serikat. Demikian pula, efek tidak langsung dari kepemimpinan
relasional (menetapkan contoh sebagai pemimpin) dari manajer perawat di 46 unit perawatan
pasien AS mengurangi pasien jatuh dan kesalahan obat sebaliknya, tingkat dukungan yang
diberikan kepada manajer perawat tidak terkait dengan frekuensi kejadian buruk pasien di 21
bangsal bedah dan medis. Praktik kepemimpinan dianggap sebagai faktor kunci yang
mempengaruhi motivasi dan kinerja perawat (Çakıl Agnew, 2012).(ditambahkan data
effectiveness of leadership)

Fenomena keselamatan pasien yang ada bisa menyajikan banyak implikasi, baik bagi
peningkatan mutu maupun kepada manajemen keperawatan. Untuk mencapai dan menciptakan
perubahan diperlukan transformational leadership. Mengapa hal ini sangat diperlukan karena
keberhasilan transformasi peran leadership bisa menghasilkan 70-90% keberhasilan dalam
pelaksanaan Keselamatan Pasien, sedangkan peran managership hanya 10-30% oleh karena hal
itu nilai dan prinsip yang mendasarinya adalah diperlukannya komitmen dan leadership serta
langkah nyata dari para pimpinan rumah sakit (Sumber). Peran seorang pemimpin adalah untuk
memasukkan nilai-nilai etika keselamatan pasien ke dalam pengambilan keputusan di semua
tingkatan dalam sebuah organisasi dan juga dapat mendorong perawat klinis untuk
mempertimbangkan nilai-nilai dalam pemberian perawatan kepada pasien (Swansea &
Kangasniemi, 2013).

Dari beberapa uraian latar belakang diatas, maka dibutuhkan suatu dasar kepemimpinan
yang kuat untuk digunakan dalam pengembangan kemampuan perawat dalam menjalankan
kepemimpinannya terlebih yang keterkaitannya terhadap isu keselamatan pasien.

B. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran kepemimpinan dalam
meningkatkan manajemen keselamatan pasien khususnya di rumah sakit.
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keselamatan Pasien

1. Definisi
Pasien safety merupakan suatu sistem yang dapat memastikan asuhan yang diberikan
kepada pasien tersebut aman dan dilakukan oleh setiap tenaga kesehatan yang
dimulai dari assesment, identifikasi sampai dengan analisis suatu kejadian yang
bertujuan untuk meningkatkan suatu mutu pelayanan kesehatan yang lebih baik
(Hadi, 2017).

2. Tujuan Keselamatan Pasien


Tujuan keselamatan pasien menurut (Hadi, 2017) sebagai berikut:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien
b. Menurunnya kejadian yang tidak aman bagi pasien (menurunnya KTD, KNC,
Kejadian Sentinel).
c. Memberikan kepuasan bagi pasien maupun pihak internal rumah sakit sendiri
d. Mutu pelayanan kesehatan menjadi lebih baik
e. Terciptanya penerapan keselamatan pasien

3. Prinsip Keselamatan Pasien


Prinsip menuju keselamatan pasien di rumah sakit diantaranya adalah kesadaran
(awareness) tentang nilai keselamatan pasien, komitmen pelayanan kesehatan
berorientasi patient safety, kemampuan mengidentifikasi faktor resiko penyebab
insident terkait keselamatan pasien, kepatuhan pelaporan insiden terkait keselamatan
pasien, kemampuan berkomunikasi yang efektif dengan pasien tentang faktor resiko
insiden terkait keselamatan pasien, kemampuan mengidentifikasi akar masalah
penyebab masalah terkait keselamatan pasien, kemampuan memanfaatkan informasi
tentang kejadian yang terjadi untuk mencegah kejadian berulang (Muhdar, 2021).

B. Sasaran Keselamatan Pasien


Menurut Neri (2018) ada beberapa komponen proses yang harus diperhatikan dalam
menentukan sasaran keselamatan pasien di antaranya:
1. Identifikasi Pasien
(Teori pengantar) Ketersediaan gelang identitas pasien di RSUD Padang Pariaman
mengalami masalah, dimana stok gelang sejak 3 bulan terakhir ini telah habis.
Sehingga mengakibatkan pasien yang di rawat inap tidak memakai gelang identitas.
Hal ini sangat berisiko terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi pasien pada saat
tindakan, prosedur diagnostik, dan terapeutik. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak PKU Muhammadiyah Kotagede
Yogyakarta, yang menunjukkan implementasi sasaran keselamatan pasien pada
identifikasi pasien belum sesuai dengan standar akreditasi. Dijelaskan bahwa RSKIA
sudah menggunakan gelang identifikasi dalam pelayanan rawat inap namun belum
dilakukan sepenuhnya. Hal ini terjadi karena belum ada kebijakan tentang proses
identifikasi (Sumber)

2. Meningkatkan Komunikasi Efektif


Komunikasi efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap jelas dan dipahami oleh pasien
akan mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan keselamatan pasien.
Komunikasi dapat berbentuk lisan dan tertulis. Komunikasi yang
mudah terjadi kesalahan kebanyakan terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan
atau melalui telepon. Agar informasi yang disampaikan oleh
perawat ke dokter dapat akurat dan tepat, dalam rangka pengambilan keputusan
terhadap situasi klinis yang dihadapi pasien, dapat menggunakan
standarisasi komunikasi melalui metode Situation Background Assessment
Recommendation (SBAR) (Sumber)

3. Peningkatan kewaspadaan pemberian obat


Obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus
berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu
diwaspadai (high alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadinya
kesalahan serius (sentinel event). Obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak
yang tidak diinginkan seperti obat-obatan yang terlihat mirip Nama Obat Rupa Mirip
(NORUM) atau Look Alike Sound Alike (LASA) (sumber)

4. Ketepatan lokasi, prosedur dan pasien operasi


Salah lokasi, salah prosedur dan salah pasien operasi adalah sesuatu yang
mengkhawatirkan dan tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini merupakan
akibat dari komunikasi yang tidak efektif anatara anggota tim
bedah, kurang/tidak melibatkan pasien didalam penandaan lokasi (site marking) dan
tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi (Sumber).

5. Pengurangan resiko infeksi pada pelayanan kesehatan


Pokok dari eliminasi infeksi adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman
hand hygiene yang berlaku secara internasional bisa diperoleh dari World Health
Organization (WHO) (Masuk dapus) rumah sakit mempunyai proses kolaboratif
untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau
mengadopsi pedoman hand hygiene yang diterima secara umum untuk
implementasi pedoman itu di rumah sakit (sumber)

6. Mengurangi resiko pasien cedera akibat jatuh


Pasien yang pada asesmen awal dinyatakan berisiko rendah untuk jatuh dapat
mendadak berubah menjadi berisiko tinggi. Hal ini disebabkan oleh operasi dan/atau
anestesi, perubahan mendadak kondisi pasien, serta
penyesuaian pengobatan. Banyak pasien memerlukan asesmen selama dirawat inap di
rumah sakit. Rumah sakit harus menetapkan kriteria untuk
identifikasi pasien yang dianggap berisiko tinggi jatuh. Lokasi spesifik dapat
menyebabkan risiko jatuh bertambah karena layanan yang diberikan.
Misalnya, terapi fisik (rawat jalan dan rawat inap) memiliki banyak peralatan spesifik
digunakan pasien yang dapat menambah risiko pasien jatuh
seperti parallel bars, freestanding staircases, dan peralatan lain untuk Latihan
(Sumber).

C. KEPEMIMPINAN
a. Definisi Kepimpinan
Kepemimpinan adalah proses dari perilaku seseorang sebagai upaya
mempengaruhi kebiasaan orang lain ke arah penyelesaian tujuan yang spesifik
yang mengarah kepada teaching organization dalam mengembangkan knowledge,
skill dan attitudesetiap individu dalam organisasi (Murnisiah & Sureskiarti, 2020).

b. Peran dan Fungsi Kepemimpinan


Peran kepemimpinan menurut (Mugianti, 2016) sebagai berikut
1. Interpersonal role adalah peranan yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi
2. Informational role adalah peranan yang berhubungan dengan informasi, baik
informasi yang diterima maupun harus disampaikan
3. Decisional role adalah peranan terkait pembuat keputusan
Fungsi kepemimpinan menurut (Mugianti, 2016) sebagi berikut:
1. Memandu, menuntun, membimbing dan motivasi bawahannya
2. Menjalin komunikasi yang baik dengan bawahanya
3. Mengorganisasi, mengawasi dan membawa organisasinya pada tujuan yang
telah ditetapkan.
4. Fleksibel dalam menetapkan tujuan dengan kondisi layanan yang dinamis.
5. Mengantisipasi, mengenali dan secara kreatif berespon terhadap penolakan
perubahan.
6. Menjadi role model dalam perubahan.
7. Kreatif dalam mengidentifikasi alternatif pemecahan masalah.
8. Manajemen waktu yang baik, sehingga mampu melihat kesempatan atau
waktu yang tepat dalam mengusulkan perubahan

c. Gaya Kepemimpinan.
Gaya kepemimpinan menurut (Usman, Badiran, & Muhammad, 2020) adalah
sebagai berikut:
1. Gaya kepemimpinan Otokratik
Pemimpin melakukan kontrol maksimal terhadap staf, membuat keputusan
sendiri dalam menentukan tujuan kelompok. Lebih menekankan pada
penyelesaian tugas dari pada hubungan interpersonal. Gaya ini cenderung
menyebabkan permusuhan dan agresif atau apatis sampai menurunnya
inisiatif.
Contoh: Kepala Ruang menetapkan jadwal dinas, sanksi sesuai aturan, tanpa
mempertimbangkan alasan staf perawat yang mengajukan ijin.

2. Gaya kepemimpinan Demokratik


Pemimpin mengikutsertakan bawahan dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih menekankan pada hubungan interpersonal dan kerja kelompok.
Pemimpin menggunakan posisinya untuk mendapatkan pandangan dan
pemikiran bawahan serta memotivasi mereka untuk menentukan tujuan dan
mengembangkan rencana. Hal ini cenderung meningkatkan produktivitas dan
kepuasan kerja.
Contoh : Kepala Bidang Keperawatan selalu meminta Kepala Ruang
memberikan masukan untuk sebuah perubahan kebijakan.

3. Gaya kepemimpinan Laissez Fair


Pemimpin memberikan kebebasan bertindak, menyerahkan perannya sebagai
pemimpin kepada bawahan tanpa diberi petunjuk atau bimbingan serta
pengawasan. Pemimpin sangat sedikit merencanakan dan membuat keputusan.
Gaya kepemimpinan ini efektif bila bawahan mempunyai kemampuan dan
tanggung jawab yang tinggi. Bila kemampuan dan tanggung jawab bawahan
kurang cenderung menimbulkan keresahan dan frustasi.
Contoh : Kepala Ruang tidak pernah mau tahu apa yang sedang terjadi di
ruangan, staf perawat yang tidak disiplin tidak mendapat teguran yang penting
aman.
d. Ciri-ciri pemimpin yang efektif.
Pemimpin perlu memahami karakteristik dirinya dan bawahannya agar dalam
menyelesaikan masalah pemimpin dapat mengambil keputusan yang tepat. Ciri-ciri
pemimpin yang efektif (Mugianti, 2016) sebagai berikut :
1. Mampu menyusun tujuan dan mempunyai pandangan jauh ke depan
2. Selalu mengembangkan diri untuk selalu update ilmu untuk memberikan contoh
bagi bawahanya
3. Berfikir kritis dalam menyelesaikan masalah
4. Menghormati antar bawahannya
5. Mendengarkan orang lain serta mempunyai ketrampilan berkomunikasi

e. Peran Manajer Perawat dalam Berbagi Tanggung Jawab Dalam Keselamatan


Pasien.

Fokus saat ini tentang keselamatan pasien menyoroti sifatnya sebagai fenomena
multidimensi yang muncul di semua bidang dan tingkat perawatan kesehatan. Ini
menunjukkan sifat budaya keselamatan pasien, tetapi dari perspektif manajemen
keperawatan, ini juga menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab. Organisasi
dan profesional perawatan kesehatan memikul sebagian besar tanggung jawab untuk
keselamatan pasien karena tujuan utama perawatan kesehatan. Dari perspektif etika,
tanggung jawab dibagi oleh semua praktisi dan organisasi, tetapi juga mencakup
pasien dan keluarga sampai batas tertentu. Penyediaan perawatan yang aman
membutuhkan kolaborasi antara praktisi kesehatan. Dengan demikian, manajer
perawat memiliki peran untuk dimainkan dalam menyatukan semua disiplin ilmu
untuk memfasilitasi keselamatan pasien. Pada bagian berikutnya, berbagai pihak yang
bertanggung jawab atas keselamatan pasien didefinisikan dan dipertimbangkan
berdasarkan peran manajer perawat (Chiovitti RF, 2011).

1. Organisasi dan proses keselamatan pasien

Dari perspektif manajer perawat, peran organisasi adalah menciptakan


infrastruktur dasar untuk keselamatan pasien yang etis. Meskipun etika dan norma
profesional memainkan peran penting dalam memastikan kualitas perawatan
kesehatan dan keselamatan pasien, mereka memerlukan dukungan organisasi
untuk memastikan kualitas dan keselamatan pasien yang konsisten di seluruh
sistem perawatan kesehatan. Ini berpotensi mendorong pendekatan proaktif
berorientasi sistem untuk masalah etika daripada menanggapi masalah secara
retrospektif. Tanggung jawab organisasi berkaitan dengan proses keselamatan
pasien total, termasuk pencegahan, menjangkau dan merawat pasien, ditambah
sistem pelaporan, audit, investigasi, dan perbaikan. Hal ini membutuhkan
penataan dan pemfokusan keselamatan pasien pada tingkat pribadi maupun
organisasi. Jadi, tanggung jawab manajer perawat adalah menciptakan kondisi
mental dan fisik untuk budaya keselamatan pasien berbasis etika yang
menyediakan persyaratan dasar untuk praktik yang aman, di mana semua individu
diharapkan memberikan perawatan yang aman (Lundqvist dan Axelsson, 2007).

2. Perawat dalam peran aktif dan sebagai pengamat.

Tanggung jawab perawat yang berkaitan dengan keselamatan pasien etis sering
terletak pada pencegahan kesalahan dan menginformasikan pasien dan dokter lain
tentang kesalahan praktik. Malpraktik sering kali diakibatkan oleh kegagalan
sistem, tetapi juga dapat terjadi dari kesalahan praktisi individu. Perawat
bertanggung jawab secara etis tidak hanya untuk melaporkan dan
mendokumentasikan kesalahan mereka sendiri tetapi juga untuk memastikan
keselamatan pasien dalam kerja tim. Davidoff berpendapat bahwa perawat,
seperti anggota tim kesehatan lainnya, memiliki tanggung jawab untuk melakukan
fungsi 'whistle-blowing' dalam melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh orang
lain. Dari perspektif etika, perawat bertanggung jawab untuk mengenali kondisi
yang dapat membahayakan keselamatan pasien atau di mana tidak dapat dijamin
(Davidoff, 2011).

Nelson dan Beyea (2009) menyarankan bahwa tekanan moral terjadi ketika
seorang profesional perawatan kesehatan, dalam situasi tertentu, mengetahui atau
percaya apa tindakan yang sesuai secara etis tetapi tidak mampu atau merasa
dibatasi untuk bertindak karena berbagai alasan pribadi, sosial, budaya dan
organisasi. Tekanan moral dapat menyebabkan kesalahan jika, misalnya, rasio staf
tidak aman atau dokter melanggar kebijakan dan prosedur ketika diminta untuk
meningkatkan efisiensi untuk memenuhi tujuan produksi. Stres dapat terjadi
setelah kesalahan medis, menciptakan tekanan moral yang signifikan, serta
menjadi faktor awal terjadinya kesalahan medis. Stres moral tidak dapat
sepenuhnya dihilangkan, tetapi dapat menjadi kekuatan pendorong yang
digunakan oleh manajer perawat untuk merangsang kesadaran moral dan refleksi
tentang bagaimana menangani situasi sulit, menghasilkan peningkatan kompetensi
dalam perawatan.

Tanggung jawab manajer perawat untuk memastikan kompetensi staf mereka juga
merupakan peran penting dalam arti etis. Jika seorang perawat percaya bahwa
mereka tidak kompeten untuk berlatih dengan aman, tidak etis untuk menerima
tanggung jawab memberikan perawatan pasien. Hal yang sama berlaku ketika
manajer perawat menganggap bahwa kekurangan dalam pengetahuan dan
keterampilan mengancam keselamatan pasien karena mereka bertanggung jawab
untuk menjamin kompetensi staf mereka, mengidentifikasi kekurangan dan
menawarkan pelatihan dan pendidikan untuk memperbaikinya. Kesulitan dalam
memanfaatkan kedua kompetensi, karena tekanan kerja yang tinggi dan sifat
pekerjaan keperawatan yang tidak dapat diprediksi, juga dapat mengakibatkan
stres moral (Cronqvist dan Nystrom,2007).

Gaya manajemen keperawatan dalam pengambilan keputusan etis memiliki


signifikansi yang tinggi, dan menjadi panutan bagi perawat junior. Fokus manajer
perawat dalam memastikan keselamatan, membaginya dengan perawat dan
mempromosikan keadilan dan integritas dalam supervisi keperawatan klinis
adalah kunci pengambilan keputusan etis, dan penting dalam memimpin dengan
memberi contoh. Mereka yang berwenang memiliki tanggung jawab
memfasilitasi perawat untuk memberikan perawatan yang berpusat pada pasien
sebagai nilai inti dari perawatan etis dan menganggap tanggung jawab untuk
pasien bila diperlukan sebagai hak moral mereka. Manajer perawat yang
memahami kebutuhan staf mereka, menerapkan proses pemberdayaan, Etika
Keperawatan mendorong perawat untuk mengikuti protokol keselamatan etis,
memiliki wewenang yang sah untuk menetapkan rasio staf yang baik dan
memastikan bahwa kondisi kerja yang wajar lebih mungkin efektif dalam
mempromosikan perubahan budaya. Singkatnya, gaya manajemen
transformasional, menggabungkan rasa hormat dan menghargai staf dan
menggunakan kecerdasan emosional, lebih mungkin untuk memberdayakan staf
untuk menciptakan perawatan pasien yang lebih aman daripada gaya
transaksional (Berggren dan Severinsson, 2006).

3. Peran pasien dalam keselamatan pasien.

Pasien memiliki tanggung jawab, baik sebagai peserta dalam perawatan kesehatan
maupun sebagai warga negara, dalam memastikan dan melindungi keselamatan
mereka sendiri dan orang lain. Dasar dari tanggung jawab ini adalah sebagai
anggota tim dan secara de facto menjadi pusat perhatian mereka. Rumah sakit
yang berpusat pada pasien memberdayakan pasien untuk berpartisipasi dalam
keputusan perencanaan perawatan mereka dan juga memastikan kerahasiaan.
Seringkali, pasien menggambarkan lingkungan rumah sakit sebagai lingkungan
yang berbahaya yang membahayakan keselamatan pribadi mereka. Misalnya,
penggunaan peralatan perawatan yang lalai oleh teman sekamar di rumah sakit
dapat menimbulkan masalah keselamatan bagi pasien lain, yang menimbulkan
risiko keselamatan. Sebaliknya, teman sekamar yang sama dapat memberikan
perawatan darurat kepada orang lain selama ketidakhadiran perawat (Turunen H,
et al 2011).

Di banyak negara berkembang, pendamping pasien memberikan perawatan dasar


untuk memungkinkan perawat berkonsentrasi pada tugas keperawatan yang lebih
khusus. Namun, pasien rawat inap sakit, dan kebutuhan mereka seringkali terlalu
kompleks untuk ditangani oleh personel yang tidak terlatih, dan peran
pendamping dalam perawatan oleh karena itu dapat dilihat sebagai tidak etis.
Pendamping pasien tidak memiliki tanggung jawab atau akuntabilitas, dalam
hukum, untuk penyediaan perawatan, meskipun mereka sering memainkan peran
sentral dalam keselamatan pasien dan hasil. Dengan demikian, memfasilitasi
kolaborasi dengan pasien dan keluarga dengan tujuan menciptakan keselamatan
pasien yang berkelanjutan secara etis merupakan tantangan besar. Tanggung
jawab dan harapan yang didefinisikan dengan jelas untuk pasien dapat
meningkatkan kepercayaan dan tanggung jawab bersama, dengan pasien
diberdayakan sebagai bagian dari tim. Oleh karena itu, manajer perawat memiliki
peran dalam memfasilitasi keterlibatan pasien/pengasuh dalam menciptakan
lingkungan perawatan yang aman dan mengembangkan kebijakan yang
meningkatkan partisipasi mereka, serta secara proaktif melindungi dari bahaya
lingkungan (Sapountzi-Krepia, et al 2008).

4. Visibilitas etika dalam keselamatan pasien.

Tantangan utama bagi manajer perawat adalah untuk mempromosikan visibilitas


masalah etika yang berkaitan dengan keselamatan pasien. Dalam kaitannya
dengan perawatan kesehatan, keselamatan pasien secara umum menjadi perhatian
struktur organisasi, dan kesadaran akan prinsip-prinsip etika yang terkait dengan
masalah keselamatan telah sepintas. Namun, inti dari keselamatan pasien terletak
pada penghormatan terhadap manusia, dan konsekuensi berikutnya memerlukan
klarifikasi dalam tindakan organisasi. Di sini, pemahaman manajer perawat
tentang masalah etika secara umum dapat memberikan kontribusi penting untuk
meningkatkan kesadaran (Helmstadter, 2008).

5. Tantangan Pendidikan.

Pendidikan untuk keselamatan pasien merupakan suatu hal yang etis bagi
profesional kesehatan, dan menghadirkan tantangan besar, tetapi dapat dilihat
sebagai peluang bagi manajer perawat. Selain menciptakan lingkungan perawatan
pasien yang aman, manajer perawat memiliki tugas untuk memastikan bahwa staf
mereka memiliki pengetahuan terkini mengenai keselamatan pasien, termasuk
masalah etika, kemampuan perawat, meningkatkan visibilitas praktik sehari-hari
dan untuk mengevaluasi kembali rutinitas. Penting untuk mewujudkan komitmen
ini adalah pengembangan paket pendidikan multi-profesional dan pembentukan
komite etik, dengan peran yang lebih luas daripada menjaga standar penelitian,
untuk memasukkan pembentukan keyakinan, nilai, dan sikap bersama dokter
melalui pendidikan dan konsultasi kasus (European Union, 2012).
Kolaborasi yang erat antara penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan
keperawatan bertindak sebagai mekanisme untuk meningkatkan kekhawatiran
tentang kompetensi keperawatan dalam menjaga dan melestarikan keselamatan
pasien. Pendekatan proaktif ini difokuskan pada pendidikan untuk pencegahan
daripada reaktif pasca kejadian, meskipun belajar dari peristiwa tetap menjadi
strategi penting untuk mempertimbangkan hasil kehidupan nyata dari insiden.
Lingkungan perawatan, kemitraan pasien-penyedia dan kualitas perawatan secara
keseluruhan dapat ditingkatkan dengan menggunakan sistem pengungkapan yang
menghasilkan pendidikan untuk memulihkan penyebab kesalahan. Akibatnya,
keselamatan pasien merupakan komponen penting dari persiapan mahasiswa
perawat, membutuhkan penguatan di seluruh program mereka (Vaismoradi,
2009).

Dilema etika dan stres di tempat kerja yang dialami sebagai akibat dari konflik
nilai-nilai individu dan organisasi telah ditemukan dimoderasi oleh peningkatan
kesadaran individu dan organisasi akan masalah etika. Intervensi klinis baru atau
strategi pendidikan memerlukan dasar berbasis bukti dan harus diuji secara etis
sebelum menerapkannya dalam praktik, meskipun, seperti yang disarankan
Davidoff , menuntut bukti kuat kemanjuran dan keamanan sebelum menerapkan
setiap intervensi secara moral dicurigai, karena dapat menunda intervensi
diperlukan untuk mengubah praktik klinis yang tidak efektif, tidak efisien, dan
terkadang berbahaya. Manajer perawat diposisikan secara strategis untuk
menetapkan tujuan bersama untuk kepemimpinan dan pendidikan dalam
kepentingan perawatan yang berpusat pada pasien dan memiliki potensi untuk
mengembangkan profesi inovatif dengan pemikiran dan ide radikal, didukung
oleh pengembangan pribadi dan profesional. Dukungan manajer perawat terhadap
upaya perawat dalam menggunakan penelitian dan peningkatan praktik berbasis
bukti sangat penting untuk memfasilitasi praktik keperawatan yang aman (Joyce,
2012).

6. Protokol dan pedoman untuk keselamatan pasien yang etis.


Protokol dan pedoman yang dikembangkan selama beberapa tahun terakhir
memiliki peran penting dalam keselamatan pasien dari perspektif etika. Mereka
bertujuan untuk mencegah bahaya dan mempromosikan keselamatan dengan
meningkatkan visibilitas melalui pendokumentasian kekuatan dan kelemahan dan
bertujuan untuk perbaikan. Mengklarifikasi proses kerja dan tanggung jawab
masing-masing disiplin perawatan kesehatan serta pemimpin, perawat, dan pasien
secara etis sangat penting dalam mencegah tekanan moral. Protokol dan pedoman
tidak berharga tetapi mereka dapat memfasilitasi komunikasi antara manajemen
puncak, departemen sumber daya manusia dan pemimpin lainnya untuk
menghilangkan hambatan organisasi terhadap keselamatan pasien etis. Dalam hal
ini, manajer perawat bertanggung jawab untuk menstandardisasi proses, protokol,
daftar periksa dan pedoman, dan menetapkan perlindungan etis bagi karyawan.
Tekanan etis yang berasal dari prinsip-prinsip legitimasi yang bertentangan dapat
dimoderasi oleh kebijakan yang jelas dan diperkuat oleh jaringan yang sehat
dalam organisasi. Konflik dapat terjadi pada individu, namun, jika melaporkan
kesalahan mengakibatkan tindakan disipliner, dan ini mungkin terasa seperti
situasi yang tidak menguntungkan. Dengan demikian, sistem yang aman untuk
staf yang ditempatkan dalam situasi yang tidak aman secara pribadi perlu
ditetapkan dalam organisasi layanan kesehatan yang memfasilitasi pelaporan dan
perbaikan yang terbuka dan transparan dari ancaman terhadap keselamatan pasien
(Nelson, et all 2008).
BAB III

PEMBAHASAN

SKENARIO
Seorang perawat manajer memimpin beberapa unit rawat inap keperawatan dan departemen mendapat laporan
tentang terjadinya kejadian insiden sentinel di ruang UGD menyebabkan seorang pasien harus masuk ICU untuk
dilakukan observasi namun nyawa pasien tersebut tidak dapat tertolong sehingga berujung pada kematian
pasien. beberapa hari berikutnya setelah dilakukan penelusuran oleh bagian mutu keperawatan yang akhirnya
melaporkan kepada bagian mutu rumah sakit sebelum 2x24 jam, ternyata kejadian insiden ini dilakukan oleh
seorang perawat yang bertugas di UGD dimana perawat telah melakukan kesalahan pemberian obat CPZ 4 tablet
tanpa mengkonfirmasi (TBAK) orderan dokter yang ternyata tertulis ¼ tab pada status pasien. Perawat manager
ini melaporkan adanya pelanggaran etik kepada komite keperawatan namun ternyata penyelesaian masalah
menemui jalan buntu dimana terhambat oleh beberapa aspek salah satunya adalah perawat tersebut memiliki
hubungan sosial yang baik dengan ketua Yayasan di Rumah Sakit dimana perawat manager ini bekerja, perawat
ini merasa harus tetap mengurus permasalahan ini agar tidak ada lagi penyimpangan-penyimpangan etik dalam
keperawatan yang akan berujung pada pidana yang mungkin akan terjadi selanjutnya, walaupun perawat ini
mengetahui dampak masalah ini akan berefek pada jabatannya sebagai perawat manager yang memegang
beberapa unit. Perawat ini tetap melanjutkan laporannya kepada atasannya yaitu Direktur, namun bukan hasil
yang baik dia terima malahan perawat tersebut di pindah tugaskan ke Rumah Sakit lain, karena dianggap kurang
melakukan pengawasan kepada anak buahnya.

A. Kepemimpinan Dan Keselamatan Pasien


Keselamatan pasien merupakan hak pasien, pasien berhak memperoleh
keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit
(Permenkes no. 14 tahun 2018). Sesuai dengan UU No 36/2009 tentang kesehatan
pasal 53 (3) menyatakan bahwa pelaksanaan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien. Keselamatan pasien telah menjadi prioritas
untuk layanan kesehatan di seluruh dunia (Cosway, Stevens, & Panesar, 2012).
Rumah sakit merupakan salah satu organisasi yang berisiko tinggi terhadap terjadinya
insiden keselamatan selain industri penerbangan, nuklir, dan kimia. Insiden
disebabkan oleh kesalahan prosedur, kesalahan umumnya disebabkan oleh kegagalan
sistem di mana individu tersebut bekerja. Insiden keselamatan pasien menimbulkan
dampak buruk dan kerugian berupa kematian, gangguan fungsi tubuh/ kecacatan,
kerugian keuangan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan
rumah sakit.
Faktor-faktor yang menyebabkan insiden keselamatan pasien adalah
keterampilan klinis dan non klinis perawat dalam melaksanakan keselamatan pasien.
Insiden keselamatan pasien diperkirakan 70-80% disebabkan oleh keterampilan non
klinis meliputi komunikasi, kerjasama tim, kepemimpinan dan followership,
kesadaran terhadap situasi yang terjadi, dan pengambilan keputusan (Westli, Johnsen,
Eid, Rasten & Brattebo, 2010). Kepemimpinan yang tidak baik merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan insiden keselamatan pasien.
Pengaruh kepemimpinan sangat penting sebagaimana disampaikan oleh Casida
& Parker (2011) bahwa kinerja yang unggul dan efektifitas organisasi adalah
tampilan yang konsisiten dari perilaku kepemimpinan transformasional. Diperkuat
dengan hasil penelitian Lawton, Carruthers, Gardner, Wright, & McEachan (2012)
diidentifikasi sepuluh kegagalan yang mendukung kesalahan pengobatan salah
satunya adalah pengawasan dan kepemimpinan. White (2012) juga menyoroti dalam
studi kasusnya bahwa kerja tim akan mengalami kerusakan dan tidak terkoordinasi
bila tidak ada kepemimpinan yang jelas dalam mengendalikan situasi sehingga
perawat melakukan tugas sesuai kemauan dan inisiatifnya sendiri dan komunikasi
tidak efisien ke seluruh tim dan terdapat ketidaksesuaian tugas.
Kepemimpinan menurut Permenkes (2011) berperan dalam meningkatkan
keselamatan pasien yaitu mendorong dan menjamin implementasi program
keselamatan pasien, menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi
risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden,
mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi, mengalokasikan sumber
daya yang adekuat, mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan. Kepemimpinan yang baik
ditunjukkan pulaoleh komunikasi yang baik, mentoring, dan kemampuan untuk maju
(Luthra,A., & Dahiya, R., 2015).
Pemimpin keperawatan mulai dari pimpinan terendah yaitu ketua tim, kepala
ruangan, kepala instalasi rawat inap/jalan sampai kepala bidang keperawatan harus
mempunyai keterampilan kepemimpinan dan merupakan sesuatu yang dipersyaratkan
atau kompetensi yang harus dipenuhi untuk menduduki jabatan tersebut.
Meningkatkan keselamatan pasien dalam organisasi perawatan kesehatan
membutuhkan kepemimpinan yang efektif di semua tingkatan (Boamah & Clarke,
2018).

B. Issu Etik Kepemimpinan Dalam Keselamatan Pasien


Kepemimpinan yang efektif sangat penting untuk mencapai keberhasilan
fungsi kerja tim, dan pencapaian tujuan dari sebuah organisasi. Kepemimpinan
keperawatan memainkan peran yang penting dalam membentuk pelayanan yang ada
di rumah sakit, staf perawat serta pasien, terutama dalam mengoptimalkan perawatan
serta membantu pasien dalam mencapai tingkat kesembuhan yang optimal. Skenario
diatas menyoroti terkait konflik yang dialami oleh manajer keperawatan dengan
pimpinannya. Berdasarkan scenario, permasalahan di atas berkaitan dengan gaya
kepemimpinan, komunikasi serta standarisasi.
Keselamatan pasien adalah kunci untuk menyediakan layanan kesehatan yang
berkualitas. Hal ini dicapai dengan menciptakan lingkungan kerja yang mendukung
keselamatan pasien. Oleh karena itu untuk meningkatkan keselamatan pasien
dibutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk dapat mempengaruhi pelaksanaan
keselamatan pasien melalui pemberdayaan staf klinis keperawatan.
Beberapa hal yang berkaitan dengan kepemimpinan yang dapat mempengaruhi
kualitas penerapan keselamatan pasien berdasarkan scenario di atas diantaranya:
1. Penerapan gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan transformasional diidentifikasi sebagai kontributor
budaya keselamatan (Merrill, 2015). Selain itu, hasil penelitian lain menunjukkan
hal yang serupa dimana kepemimpinan transformasional sangat penting untuk
meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan kepuasan perawat di tempat
kerja (Boamah et al., 2018). Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa manajer
perawat transformasional meningkatkan kualitas perawatan pasien dengan
menciptakan lingkungan kerja yang memungkinkan perawat merasa diberdayakan
untuk memberikan perawatan yang optimal.
Pemimpin transformasional dikatakan mengubah organisasi dengan
memberdayakan pengikut melalui upaya motivasi inspirasional dan mendorong
inovasi, yang diperlukan untuk menciptakan budaya keselamatan pasien. Temuan
empiris menunjukkan bahwa gaya transformasional melibatkan menampilkan
tingkat komitmen yang kuat terhadap keselamatan, menerapkan praktik dan
prosedur keselamatan, dan menempatkan keselamatan sebagai prioritas utama
(McFadden et al., 2015). Penelitian serupa juga menyebutkan bahwa gaya
kepemimpinan yang efektif dalam meningkatkan keselamatan pasien menunjukan
bahwa gaya kepemimpinan transformational berkontribusi positif terhadap
keselamatan pasien (Mulyatiningsih and Sasyari 2021).
2. Komunikasi
Salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi fungsi dan efektivitas
organisasi adalah komunikasi. Kekurangan dalam komunikasi telah terbukti
berhubungan langsung dengan keselamatan pasien di rumah sakit. Komunikasi
pemimpin diketahui mempengaruhi sejumlah perilaku karyawan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa komunikasi pemimpin memainkan peran penting dalam
meningkatkan keselamatan pasien dan bahwa pendekatan komunikasi yang
berbeda tampaknya secara positif mempengaruhi perilaku keselamatan pada
karyawan. Pemimpin perlu untuk terlibat dalam komunikasi satu arah tentang
nilai-nilai keselamatan serta dalam komunikasi umpan balik yang lebih relasional
dengan bawahan mereka untuk meningkatkan keselamatan pasien (Mattson et al.,
2015).
Komunikasi dalam menciptakan hubungan yang baik dalam organisasi
yaitu dengan menggunakan komunikasi antar personal yaitu komunikasi yang
terjadi antar komunikator dengan komunikan secara langsung dengan cara
berhadapan muka atau tidak. Komunikasi seperti ini lebih efektif karena kedua
belah pihak saling melancarkan komunikasinya dan dengan feedback keduanya
melaksanakan fungsi masing-masing. Untuk itu pemimpin harus mampu
menyediakan waktu untuk dapat berbincang dengan para anggota, sekaligus
mengatasi kendala-kendala yang menjadi pemicu keterlambatan dalam
penyelesaian tugas. (Lumentut et al., 2017)
3. Standarisasi
Berdasarkan scenario diatas, seorang pemimpin diharapkan untuk
membuat sebuah pedoman yang berkaitan dengan pelaksanaan patient safety,
termasuk penanganan jika terjadi insiden keselamatan pasien. Pedoman ini
merupakan sebuah bentuk standarisasi. Standarisasi adalah alat kepemimpinan
terakhir untuk mengurangi kesalahan dan mencegah bahaya. Standarisasi melalui
penggunaan pedoman klinis telah terbukti mengurangi bahaya pasien dalam
berbagai pengaturan klinis Dengan cara ini, para pemimpin menerapkan
standardisasi sebagai jalur untuk memberikan perawatan yang aman dan
berkualitas tinggi (Keats, 2019).
Selain faktor di atas, ada beberapa faktor lain yang berkaitan dengan kepemimpinan
juga mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan patient safety, yaitu:

1. Pengetahuan
Program pelatihan kepemimpinan mengenai keselamatan pasien terbukti memiliki
dampak positif pada efikasi diri serta meningkatkan kinerja seorang pemimpin.
Selain itu perilaku yang berkaitan dengan penerapan keselamatan pasien
cenderung meningkat setelah mengikuti pelatihan tersebut (Xie et al., 2021).
Pemimpin mempunyai peran dalam melakukan sosialisasi mengenai keselamatan
pasien pada staf dan juga osialisasi perawat baru karena sosialisai merupakan
aspek penting dari keselamatan pasien.
2. Pengembangan tim
Dampak negatif dari kerja tim, koordinasi, dan komunikasi yang buruk
semakin diakui sebagai masalah keselamatan pasien yang mendasari, sebagai
contoh miskomunikasi dan kerja tim yang tidak memadai di antara penyedia
layanan kesehatan dikaitkan dengan dua pertiga kejadian sentinel (The Joint
Commission, 2014). Bukti menunjukkan bahwa tim berkinerja tinggi diperlukan
untuk pemberian perawatan pasien yang aman (Weaver et al., 2013). Namun,
proses menumbuhkan budaya kerja tim dan keselamatan pasien merupakan hal
yang menjadi tantangan bagi seorang pemimpin.
Tim yang sangat berfungsi berusaha untuk meningkatkan kinerja dengan
belajar terus menerus, untuk itu diperlukan adanya pengembangan tim. Berikut ini
strategi kepemimpinan yang dapat diterapkan dalam memfasilitasi pengembangan
tim (Manges et al., 2017):

a. Koordinasi
Pada fase ini seorang pemimpin melakukan pengaturan mulai dari menentukan
individu – individu yang akan berkaitan dalam proses pengembangan tim,
mode yang digunakan sebagai sarana pengembangan tim.
b. Pelatihan
Yang menjadi kunci sukses pada strategi ini adalah:
1) Seorang pemimpin dapat menjadi narasumber pelatihan.
2) Saling percaya antar tim
3) Menenangkan lingkungan kerja antara tim dan organisasi.
c. Pemberdayaan
Pada strategi ini seorang pemimpin berusaha menyisihkan waktu untuk
merencanakan dan melibatkan tim sehingga mudah dalam mencari umpan
balik yang diberikan oleh staff.
d. Dukungan
Seorang pemimpin hendaknya memberikan dukungan penuh mengenai hal –
hal yang berkaitan dengan pengembangan professional seorang staf.
Melihat dari scenario di atas, perawat manager terlihat sudah menerapkan nilai
dasar dari keselamatan pasien yaitu non-maleficence dimana dia berusaha untuk
melakukan pelaporan terkait insiden keselamatan pasien dengan harapan kejadian itu
tidak terulang di kemudian hari. Non-maleficence merupakan kewajiban profesional
kesehatan untuk 'tidak membahayakan' pasien. Beneficence dan non-maleficence
terhubung dengan hak pasien untuk perawatan yang aman dan mengidentifikasi
kewajiban penyedia layanan kesehatan untuk memastikan perawatan bebas dari bahaya
atau risiko cedera. Oleh karena itu, kewajiban moral terkait penyedia layanan kesehatan
adalah untuk menghindari kondisi kelalaian yang dapat mengakibatkan kerugian bagi
pasien (Johnstone MJ, 2007).

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Keselamatan pasien merupakan hak pasien, pasien berhak memperoleh keamanan dan
keselamatan dirinya selama dalam perawatan di rumah sakit dan pelayanan kesehatan harus
mendahulukan keselamatan nyawa pasien. Keselamatan pasien menjadi prioritas untuk
layanan kesehatan di seluruh dunia. Insiden keselamatan pasien menimbulkan dampak buruk
dan kerugian berupa kematian, gangguan fungsi tubuh atau kecacatan, kerugian finansial dan
menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan rumah sakit.
Salah satu faktor untuk meningkatkan keselamatan pasien adalah kepemimpinan.
Kepemimpinan dengan gaya kepemimpinan yang efektif dapat meningkatkan keselamatan
pasien. Hal ini juga membutuhkan kerjasama antara leader dan staf perawat serta pasien itu
sendiri. Leadership/kepemimpinan dari seorang menejer keperawatan sangat berpengaruh
terhadap jalannya proses keselamatan pasien di rumah sakit, dimana dalam
pengembangannya dibutuhkan gaya kepemimpinan berdasarkan situasi yang terjadi di unit
yang di pimpin oleh menejer tersebut. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan
keterampilan untuk menciptakan budaya keselamatan pasien yang menjamin keselamatan
pasien dan juga mutu pelayanan. Selain itu juga memastikan kerjasama tim yang baik dan
komunikasi yang efektif juga menjadi peran penting seorang pemimpin.

B. Saran
Rekomendasi yang dapat diberikan kepada rumah sakit adalah:
1. Rumah sakit dapat meningkatkan keselamatan pasien secara efektif dengan
menggunakan gaya kepemimpinan yang dianggap efektif.
2. Meningkatkan peran dan fungsi leadership sehingga dapat meningkatkan
keselamatan pasien secara efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Bartley AJ. Review: building capacity and capability in Keselamatan Pasien, innovation and
service improvement: an English case study. J Res Nurs 2011; 16(3): 252–253.

Berggren I and Severinsson E. The significance of nurse supervisors' different ethical decision-
making styles. J Nurs Manag 2006; 14(8): 637–643.

Boamah, S. A., Spence Laschinger, H. K., Wong, C., & Clarke, S. (2018). Effect of
transformational leadership on job satisfaction and Keselamatan Pasien outcomes.
Nursing Outlook, 66(2), 180–189. https://doi.org/10.1016/j.outlook.2017.10.004

Chiovitti RF. Theory of protective empowering of balancing Keselamatan Pasien and choices.
Nurs Ethics 2011; 18(1): 88–101.

Cronqvist A and Nystrom M. A theoretical argumentation on the consequences of moral stress. J


Nurs Manag 2007; 15(4): 458–465

Davidoff F. Systems of service: reflections on the moral foundations of improvement. BMJ Qual
Saf 2011; 20(1): i5–i10

Eriksson K. The suffering human being. 1st ed. Chicago, IL: Nordic Studies Press, 2006.
European Union (EU). Council recommendation on Keselamatan Pasien, including the
prevention and control of health care associated infections (2009/C 151/01),
http://ec.europa.eu/health/patient_safety/docs/council_2009_en.pdf (2009, accessed
October 2012.

Feng X, Bobay K and Weiss M. Keselamatan Pasien culture in nursing: a dimensional concept
analysis. J Adv Nurs 2008; 63(3): 310–319.

Hadi, I. 2017. "Manajemen Keselamatan Pasien" (Teori dan Aplikasi) Yogyakarta.


Hamilton M and Essat Z. Minority ethnic users' experiences and expectations of nursing care. J
Res Nurs 2008; 13(2): 102–110

Helmstadter C. Authority and leadership: the evolution of nursing management in 19th century
teaching hospitals. J Nurs Manag 2008; 16(1): 4–13.

Johnstone MJ. Keselamatan Pasien ethics and human error management in ED contexts Part II:
accountability and the challenge to change. Australas Emerg Nurs J 2007; 10(2): 80–85

Joyce P. Management and education in nursing: common goals and interests. J Nurs Manag
2012; 20(1): 4–6.

Keats, J. P. (2019). Leadership and Teamwork: Essential Roles in Keselamatan Pasien.


Obstetrics and Gynecology Clinics of North America, 46(2), 293–303.
https://doi.org/10.1016/j.ogc.2019.01.008

Kohn LT, Corrigan J and Donaldson MS. To err is human: building a safer health system. 6th ed.
Washington, DC: National Academies Press, 2000.

Lundqvist MJ and Axelsson A. Nurses' perceptions of quality assurance. J Nurs Manag 2007;
15(5): 51–58

Magill G and Prybil L. Stewardship and integrity in health care: a role for organizational ethics. J
Bus Ethics 2004; 50(3): 225–238.

Manges, K., Scott-Cawiezell, J., & Ward, M. M. (2017). Maximizing Team Performance: The
Critical Role of the Nurse Leader. Nursing Forum, 52(1), 21–29.
https://doi.org/10.1111/nuf.12161
Mattson, M., Hellgren, J., & Göransson, S. (2015). Leader communication approaches and
Keselamatan Pasien: An integrated model. Journal of Safety Research, 53, 53–62.
https://doi.org/10.1016/j.jsr.2015.03.008

McFadden, K. L., Stock, G. N., & Gowen, C. R. (2015). Leadership, safety climate, and
continuous quality improvement: Impact on process quality and Keselamatan Pasien.
Health Care Management Review, 40(1), 24–34.
https://doi.org/10.1097/HMR.0000000000000006

Merrill, K. C. (2015). Leadership Style and Keselamatan Pasien: Implications for Nurse
Managers. Journal of Nursing Administration, 45(6), 319–324.
https://doi.org/10.1097/NNA.0000000000000207

Milton CL. The ethics of human dignity: a nursing theoretical perspective. Nurs Sci Q 2008;
21(3): 207–210.

Muhdar, d., tukatman, paryono, anitasari b, bangu 2021. Manajemen Keselamatan Pasien.

Nelson WA and Beyea SC. The role of an ethical culture for the prevention and recovery of
'second victims'. Qual Saf Health Care 2009; 18(5): 323–325

Nelson WA, Neily J, Mills P, et al. Collaboration of ethics and Keselamatan Pasien programs:
opportunities to promote quality care. HEC Forum 2008; 20(1): 15–27.

Reno afriza neri, y. l., dan husna yetti 2018. analisis pelaksanaan sasaran keselamatan pasien di
rawat inap rumah sakit umum daerah padang pariaman. jurnal kesehatan andalas.
Sammer CE, Lykens K, Singh KP, et al. What is Keselamatan Pasien culture? A review of the
literature. J Nurs Scholarsh 2010; 42(2): 156–165.

Sapountzi-Krepia D, Raftopoulos V, Psychogiou M, et al. Dimensions of informal care in


Greece: the family's contribution to the care of patients hospitalized in an oncology
hospital. J Clin Nurs 2008; 17(10): 1287–1294.

Sharpe VA (2003) Promoting Keselamatan Pasien: An ethical basis for policy deliberation.
Hasting Center report, July–August 2003, S1–S20
Stievano A, Jurado MG, Rocco G, et al. A new information exchange system for nursing
professionals to enhance Keselamatan Pasien across Europe. J Nurs Scholarsh 2009;
41(4): 391–398.

Vaismoradi M, Salsali M, Turunen H, et al. Patients' understandings and feelings of safety in


Iran: a qualitative study. Nurs Health Sci 2011; 13(4): 404–411

Vaismoradi M. Nursing education curriculum for improving Keselamatan Pasien. J Nurs Educ
Pract 2012; 2(1): 1–4. 70. Dellve L and Wikstro E. Managing complex workplace stress
in health care organizations: leaders' perceived legitimacy conflicts. J Nurs Manag 2009;
17(8): 931–941

Weaver, S. J., Lubomksi, L. H., Wilson, R. F., Pfoh, E. R., Martinez, K. A., & Dy, S. M. (2013).
Promoting a culture of safety as a Keselamatan Pasien strategy: A systematic review.
Annals of Internal Medicine, 158(5 PART 2), 369–374. https://doi.org/10.7326/0003-
4819-158-5-201303051-00002

World Health Organization (WHO) – Regional Office for the Eastern Mediterranean.
Keselamatan Pasien, http://www. emro.who.int/entity/patient-safety/ (2012, accessed
February 2013). 32.

Xie, J., Ding, S., Zhang, X., & Li, X. (2021). Impact of a Keselamatan Pasien leadership
program on head nurses and clinical nurses: A quasi-experimental study. Revista Latino-
Americana de Enfermagem, 29. https://doi.org/10.1590/1518-8345.4328.3478

Anda mungkin juga menyukai