Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL

HUBUNGAN MENTORING KEPALA RUANGAN TERHADAP


PENERAPAN PASIEN SAFETY

OLEH :

JIWA SUKMA SIPAYUNG


180204069

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS FARMASI DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA

TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Rumah sakit merupakan institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan dan rawat darurat. Rumah sakit merupakan “theoretically
an imposible arganization” karena manajemen rumah sakit merupakan suatu
pekerjaan yang sangat rumit, yang banyak segi-segi yang saling keterkaitan
seperti segi etik, falsafah, agama, ilmu kedokteran, social dan hokum (Cecep,
2013). Di rumah sakit terdapat ratusan macam obat, ratusan test dan prosedur,
banyak terdapat alat dan teknologi, bermacam profesi dan non profesi yang yang
memberikan pelayanan pasien selama 24 jam secara terus-menerus, dimana
keberagaman dan kerutinan pelayanan tersebut apabila tidak dikeloladengan baik
terjadi kejadiaan tidak diharapkan. Dimana kejadian tidak diharapkan merupakan
kejadian yang akan mengancam keselamatan pasien ( Depkes RI, 2008 ).

Kepala ruangan dan supervisor ruangan sangat berperan dalam memotivasi


perawat pelaksana dengan adanya perencanaan yang matang dan arahan yang
benar kepada perawat pelaksana (Nivalinda, 2013). Kepala ruangan memiliki
sepuluh peran yang kemudian dikelompokan menjadi tiga peran. Peran kepala
ruangan yang dimaksud yaitu peran hubungan antar pribadi, peran informasi, dan
peran keputusan (Robbins, 2015). Supervisor juga memiliki peran penting dalam
menjalankan tugasnya. Peran supervisor adalah sebagai mentoring, power
prespective, dan networking, (Sitorus & Panjaitan, 2011).

Adapun dampak apabila peran kepala ruangan tidak dilaksanakan dengan baik
maka akan terjadi penurunan pelayanan kesehatan, penurunan motivasi
karyawan, penurunan skill atau kemampuan karyawan, kurang kedisiplinan
karyawan, kuarang informasi actual dan terupdate dari luar atau dalam
organisasi, tidak terorganisirnya sumber daya yang ada, dan terjadi kesulitan
dalam pemecahan masalah (Robbins, 2015). Dampak apabila peran supervisor
tidak dilaksanakan dengan baik adalah hubungan dalam melakukan proses
keperawatan akan lemah, menurunnya motivasi kerja karyawan dan menurunnya
komitmen karyawan terhadap mutu pelayanan kesehatan (Sitorus & Panjaitan,
2011).

Banyak teori kinerja yang digunakan dalam bidang keperawatan, salah satunya
adalah teori kinerja yang dikemukakan Gibson tahun 1987. Menurut konsep
kinerja Gibson ada tiga variabel utama yang mempengaruhi kinerja seseorang
yaitu : (1) variabel individu, (2) variabel oragnisasi dan (3) variabel psikologis.
Variabel individu meliputi kemampuan, keterampilan, latar belakang pendidikan,
dan pengalaman kerja perawat dalam mendokumentasikan asuhan keperawatan.
Sedangkan variabel organisasi meliputi sumber daya yang mendukung
pelaksanaan pendokumentasian, kepemimpinan kepala ruangan dalam mentoring
pelaksanaan pendokumentasian asuhan keperawatan, imbalan atau reward,
struktur kerja yang berkaitan dengan proses pendokumentasian dan desain
pekerjaan. Variabel psikologis meliputi persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan
motivasi perawat dalam mendokumentasikan asuhan keperawatan (Gibson,
Ivancevich, Donnelly, & Konopaske, 2012).

Mentoring menjadi program yang tidak hanya dipakai sebagai jalan penyelesaian
masalah namun juga sebagai langkah pembinaan dan peningkatan kualitas
kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan profesional, bahkan
sebagai alur peningkatan jenjang karir (Pelan, 2012). Beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa program mentoring mampu mendongkrak kualitas kerja
perawat sehingga perawat mampu bekerja secara profesional (Norwood, 2010;
McSwain, 2011; Jaya, 2015). Akantetapi tidak semua orang dapat menjadi
mentor.
Perlunya keahlian khusus menjadi batasan bagi seseorang untuk menjadi mentor.
Seorang mentor harus memiliki enam peran dan fungsi yaitu : (1) memanajemen
waktu dari perencanaan hingga evaluasi, (2) pemberi konsep yang mudah
dipahami, (3) pembimbing, pengajar, membantu dan konselor, (4) pemberi
dukungan, motivasi serta inspirasi, (5) penjaga hubungan profesional, dan (6)
pemberi pengalaman dibidangnya (Hodgson & Scanlan, 2013; Houghty &
Siswadi, 2015; Sulung, 2016). Guna memperlancar proses pelaksanaan
mentoring, seorang mentor sebaiknya memahami peran dan fungsinya ini
terhadap mentee. Pelaksanaan kegiatan mentoring sering kali tidak terlaksana
karena beberapa faktor.

Terhambatnya kegiatan mentoring di sebuah instansi disebabkan karena


beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut meliputi : (1) keterbatasan fasilitas, (2)
penyediaan waktu pertemuan, (3) ketidaksiapan mentee maupun mentor dalam
aktivitasnya, (4) kurangnya komitmen untuk melaksanakan, (5) kurang paham
dengan tujuan kegiatan mentoring, (6) kurangnya kemampuan berkomunikasi
mentor, dan (7) keterbatasan kemampuan mentor (Bally, 2007; Belinda &
Haryadi, 2014). Dapat disimpulkan bahwa terdapat faktor internal dan eksternal
yang mempengaruhi terlaksana atau tidaknya aktivitas mentoring.

Pasien safety merupakan prioritas isu penting dan global dalam pelayanan
kesehatan karena penerapan Pasien safety merupakan komponen penting dan
vital dalam asuhan keperawatan yang berkualitas. Hal ini menjadi penting karena
Pasien safety merupakan suatu langkah untuk memperbaiki mutu pelayanan
dalam memberikan asuhan keperawatan. (1) Menurut Joint Commission
Internasional (JCI) dan world Health Organitation (WHO) melaporkan beberapa
negara terdapat 70% kejadian kesalahan pengobatan meskipun, JCI dan WHO
mengeluarkan “Nine Life-Saving Pasien Safety Solutions” atau 9 solusi
keselamatan pasien. Kenyataannya, permasalahan keselamatan pasien masih
banyak terjadi termasuk di Indonesia. (2,3) Program keselamatan pasien (patient
safety) merupakan variabel untuk mengukur dan mengevaluasi kualitas kinerja
pelayanan keperawatan terhadap pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Indonesia
(JCI, 2017, dalam Sulahyuningsih, dkk, 2017).

Negara – negara anggota WHO telah menyetujui Resolusi Dewan Kesehatan


Dunia tentang keselamatan pasien sebagai pengakuan atas kebutuhan untuk
mengurangi cidera pada pasien dan kesulitan pada keluarga pasien akibat dari
pelayanan medis yang tidak memadai. Resolusi ini juga menekankan bahwa
keselamatan pasien penting untuk meminimalisir biaya yang timbul akibat
perawatan yang berulang dan biaya penanganan infeksi yang terjadi akibat
pelayanan medis. Beberapa hal dapat menyebabkan cidera pada pasien seperti
ketetapan identifikasi pasien, tidak terjadinya kesalahan pemberian obat kepada
pasien, tidak terjadi kesalahan prosedur tindakan medis dan keperawatan,
pengurangan terjadinya resiko infeksi, tidak terjadi pasien jatuh, dan pelaksanan
komunikasi efektif dalam pelayanan klinis. Pasien tidak mengharapkan
terjadinya cidera dalam pelayanan dirumah sakit. Cidera atau kerugian akibat
tindakan medis, merupakan kejadian tidak diharapkan (KTD). WHO melaporkan
dari berbagai negara bahwa KTD pasien rawat inap 3 – 16%. Di New Zealand
KTD dilaporkan berkisar 12,9% dari angka rawat inap, di Inggris KTD di
laporkan 10,8%, di Kanada di laporkan berkisar 7,5% (Baker, 2004; dalam
Renoningsih, et.all 2018). Joint commision 3 internasional (JCI) juga
melaporkan KTD berkisar 10%dan di United Kingdom dan di Australia berkisar
16% (Renoningsih, D. P., Kandou, G. D., & Porotu’o, J. 2016). Kejadian Tidak
Diinginkan (KTD) pada tahun 2018 sebanyak 2 insiden, meningkat di tahun
2019 sebanyak 3 insiden yang secara keseluruhan terdiri dari kejadian pasien
jatuh, sedangkan angka kejadian infeksi nosokomial masih tinggi dan belum
memenuhi standar. Angka kejadian infeksi nosokomial pada tahun 2018
mencapai 7,30%, sedangkan tahun 2019 meningkat menjadi 7,60%. BeProgram
keselamatan pasien dapat bertujuan untuk menurunkan angka Kejadian Tidak
Diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama di rawat di Rumah
Sakit sehingga dapat merugikan beberapa pihak khususnya, pasien dan Rumah
Sakit. Keselamatan pasien (pasien safety) merupakan masalah kesehatan publik
mempengaruhi tingkat perkembangan suatu negara. Pasien safety diberlakukan
pada tahun 2004 untuk memobilisasi upaya global untuk meningkatkan
keamanan kesehatan untuk pasien disemua negara – negara anggota World
Health Organization (WHO) (Renoningsih, D. P., Kandou, G. D., & Porotu’o, J.
2016).

(Permenkes RI Nomor 1961/Menkes/2011). Keselamatan Pasien (patient safety)


merupakan isu global dan nasional bagi rumah sakit, komponen penting dari
mutu layanan kesehatan, prinsip dasar dari pelayanan pasien dan komponen
kritis dari manajemen mutu (WHO, 2014). Ada lima isu penting yang terkait
dengan keselamatan (safety) di rumah sakit yaitu: keselamatan pasien (patient
safety), keselamatan pekerja atau petugas kesehatan, keselamatan bangunan dan
peralatan di rumah sakit, keselamatan lingkungan (green productivity) dan
keselamatan bisnis rumah sakit. Ke lima aspek keselamatan tersebut sangatlah
penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Harus diakui kegiatan institusi
rumah sakit dapat berjalan apabila ada pasien. Karena itu keselamatan pasien
merupakan prioritas utama untuk dilaksanakan dan hal tersebut terkait dengan
isu mutu dan citra perumahsakitan (Depkes, 2015, p.17).

Salah satu faktor yang dapat menimbulkan penurun keselamatan pasien (pasien
safety) adalah keluhan tingginya beban kerja personel. Hal ini bisa tampak bila
terjadi kenaikan jumlah kunjungan pasien dan meningkatnya Bed Occupancey
Rate (BOR) sedangkan jumlah personil tetapdalam periode waktu yang lama.
Tingginya beban kerja personil kesehatan suatu rumah sakit dapat berefek
penurunan terhadap prestasi kerja. Hal ini dapat terjadi terutama bila naiknya
beban kerja tanpa diikuti dengan peningkatan imbalan. Beban kerja perawat
merupakan volume kerja perawat di sebuah unit rumah sakit. Sedangkan volume
kerja perawat merupakan waktu yang dibutuhkan untuk menangani pasien per
hari. Beban kerja penting diketahui sebagai dasar untuk mengetahui kapasitas
kerja perawat agar terdapat keseimbangan antara tenaga perawat dengan beban
kerja (Purba, Y. S 2015).

Beban kerja perawat dirumah sakit meliputi beban kerja fisik maupun mental.
Beban kerja fisik seperti mengangkat pasien, memasang infus, melakukan
observasi tanda – tanda vital, memasang oksigen, danlain – lain. Sedangkan
beban kerja yang bersifat mental berupa kompleksitas pekerjaan, mempersiapkan
mental dan rohani pasien dan keluarga terutama yang akan menjalankan operasi
atau dalam keadaan kritis, bekerja dalam keterampilan khusus dalam merawat
pasien, serta harus menjalin komunikasi yang baik dengan pasien dan keluarga
(Yudi, D., Tangka, J. W., & Wowiling, F. 2019).
Berdasarkan survey awal di RSUPH Adam Malik data yang di dapatkan
berdasarkan Laporan Kasus KTD, KPC, KNC dan KTC 2021, yaitu KTD 1,6%,
KPC 84,5%, KNC 9,1% dan KTC 4,6% Dan berdasarkan Bukti pengukuran
sasaran keselamatan pasien yaitu terdapat kejadian keselahan identifikasi pasien
dimana petugas melakukan kesalahan dalam menulis nama pasien yang akan
berobat, namun kesalahan yang terjadi masih bisa ditanggulangi karena
dilakukan pengecekan sebelum pemeriksaan.
Sesuai dengan penjelasan diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian
tentang hubungan mentoring kepala ruangan terhadap penerapan pasien safety.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu Bagaimana hubungan mentoring kepala ruangan dengan
penerapan pasien safety.

1.3 Tujuan Umum


Untuk mengetahui hubungan mentoring kepala ruangan dengan penerapan
pasien safety di Rsup H. Adam Malik
1.4 Tujuan Khusus

a. Mengetahui hubungan mentoring kepala ruangan terhadap penerapan pasien


safety di Rsup H. Adam Malik
b. Mengetahui penerapan pasien safety di Rsup H. Adam Malik

1.5 Manfaat Penelitian

a. Bagi Rumah Sakit


untuk memberi gambaran pihak rumah sakit untuk meningkatkan mutu
pelayanan khususnya dalam hubungan kepala ruangan dalam penerapan
pasien safety (patient safety).
b. Bagi Perawat
untuk menambah pengetahuan dan wawasan perawat dalam meningkatkan
kewaspadaan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya
keselamatan pasien (patient safety).
c. Bagi Peneliti Selanjutnya
pada penelitian ini, dapat dijadikan sebagai data dasar untuk penelitian lebih
lanjut tentang pengaruh hubungan kepala ruangan terhadap penerapan pasien
safety.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1. Kepala Ruangan

a. DEFINISI KEPALA RUANGAN


Menurut Marquis dan Huston(2006), kepala ruangan (head nurse) sebagai
manajer unit mempunyai tanggung jawab utama mengatur aktivitas perawatan
melalui pelaksanaan manajerial yang meliputin fungsi, perencanaan,
pengorganisasian, pengaturan staf, penggerakkan atau pengarahan, dan
pengawasan.
Seorang kepala ruang rawat inap berperan sebagai manajer keperawatan di
ruangan yang diharapkan mampu melaksanakan fungsi perencanaan,
pengorganisasian dan pengarahan, pengawasan. Selain itu dapat memadukan
berbagai kegiatan pelayanan di ruang rawat inap baik perawatan maupun
medis serta kegiatan penunjang lainnya sesuai kebutuhan pasien (Aditama,
2010).
Kepala ruang memiliki peran sebagai first line manager di sebuah rumah
sakit. Seorang manajer menjadi pemimpin yang efektif apabila mampu
menentukan strategi yang tangguh, menjadi perencana yang handal, menjadi
organisator yang cetakan, motivator yang efektif, pengawas yang objektif dan
rasional, penilai yang tidak berpengaruh oleh pertimbanganpertimbangan
yang subjektif dan emosional disamping keahlian pribadi. (Manggala, 2013).
Peran dan fungsi managerial harus dilakukan perawat profesional. Untuk
dapat melakukan kegiatan manajemen maka diperlukan beberapa keahlian
manajemen yang dapat membantu dalam meningkatkan pelayanan kesehatan
yang optimal dengan cara meningkatkan ilmu dan teknologi. Oleh karena itu
dibutuhkan perawat dengan jenjang S-I keperawatan dan sudah mengambil
pendidikan ners. Perawat yang meningkatkan pendidikan berguna untuk
mempersiapkan diri sebagai pemimpin dalam mengelola pelayanan
keperawatan kepada pasien di rumah sakit atau komunitas. Selain itu perawat
juga diharapkan mampu melakukan riset dan kajian ilmiah 3 terhadap
masalah-masalah yang ditemui di klinik serta masalah yang berhubungan
dengan peningkatan kualitas pelayanan. Namun kondisi saat ini masih banyak
perawat S-I yang belum mengambil ners, diharapkan semua pendidikan yang
ada di rumah sakit sudah memenuhi kriteria minimal sebagai perawat
profesional (lulusan D-III Keperawatan) dan pada tahun 2015 sudah lebih dari
80% perawat berpendidikan ners (Nursalam, 2015).
b. FUNGSI KEPALA RUANGAN
Seperti fungsi dalam manajerial yang lain maka fungsi dari kepala ruang juga
meliputi komponen-komponen yang sama yaitu planning, organizing,
actuating dan controling. Pengorganisasian yang dilakukan pimpinan meliputi
kewenangannya, tanggung jawabnya, pendelegasian tugas termasuk
pengorganisasian perawatan di tingkat ruang dalam memberikan asuhan
keperawatan. Fungsi pengarahan, dalam menjalankan fungsi pengarahan
kepala ruangan kepala ruangan akan melakukan kegiatan supervisi terhadap
pelaksanaan asuhan keperawatan, bimbingan terhadap staf, mengkoordinasi
dan memotivasi staf keperawatan. Fungsi pengarahan ini adalah merupakan
fungsi dari kepemimpinan seorang kepala ruangan secara menyeluruh seperti,
bagaimana gaya kepemimpinannya, bagaimana mengelola konflik dan
sebagainya (Pratiwi dkk, 2010).
Ada pun beberapa fungsi dari kepala ruangan.
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan fungsi manajemen terpenting dalam
memanajemenkan, oleh karna fungsi ini akan menentukan fungsi-fungsi
manajemen lainnya.fungsi perencanaan merupakan landasan dasar dari fungsi
manajemen secara keseluruhan. Melalui perencanaan yang sudah tersusun
lengkap, seseorangan akan dapat dengan jelas mengetahui tujuan programa
atau tujuan sebuah proyek. Jeneis dan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk
mencapai tujuan program tersebut.

2. Pengorganisasian

Meliputi pembentuka struktur untuk melaksanakan perencanaan, penetapan


metode pemberian asuhan keperawatan kepada pasien yang paling tepat,
mengelompokan kegiatan untuk mencapai tujuan unit, serta melakukan peran
dan fungsi dalam organisasi dan menggunakan power serta wewenang dengan
tepat.

3. Ketenagaan

Pengaturan ketenaagan dimulai dari rekutmen, interview, mencari, orientasi


dari staf baru, penjadwalan, pengembangan staff, dan sosialisasi staff, dan
sosialisai, staff.

4. Pengarahan

Mencakup tanggung jawab dalam mengelola sumberdaya manusia seperti


motivasi untuk semangat, manajement konflik, pendelegasian, komunikasi
dan memfasilitasi kolaborasi.

5. Pengawasan

Menampilan kerja, pengawasan umum, pengawasan etika aspek legal, dan


pengawasan profesional. Seorang menejr dalam mengerjakann kelima
fungsinya tersebut sehari-hari akan bergerak dalam berbagai bidang
penjualan, pembelian, produksi, personalia dan lain-lain.
2.2. PASIEN SAFETY

a. DEFINISI PASIEN SAFETY


Keselamatan pasien (pasien safety) merupakan masalah kesehatan
publik mempengaruhi tingkat perkembangan suatu negara. Pasien
safety diberlakukan pada tahun 2004 untuk memobilisasi upaya global
untuk meningkatkan keamanan kesehatan untuk pasien disemua
negara – negara anggota World Health Organization (WHO)
(Renoningsih, D. P., Kandou, G. D., & Porotu’o, J. 2016)

Keselamatan pasien (pasien safety) merupakan masalah kesehatan


publik mempengaruhi tingkat perkembangan suatu negara. Pasien
safety diberlakukan pada tahun 2004 untuk memobilisasi upaya global
untuk meningkatkan keamanan kesehatan untuk pasien disemua
negara – negara anggota World Health Organization (WHO)
(Renoningsih, D. P., Kandou, G. D., & Porotu’o, J. 2016)
Pasien safety merupakan prioritas isu penting dan global dalam
pelayanan kesehatan karena penerapan Pasien safety merupakan
komponen penting dan vital dalam asuhan keperawatan yang
berkualitas. Hal ini menjadi penting karena Pasien safety merupakan
suatu langkah untuk memperbaiki mutu pelayanan dalam memberikan
asuhan keperawatan. (1) Menurut Joint Commission Internasional
(JCI) dan world Health Organitation (WHO) melaporkan beberapa
negara terdapat 70% kejadian kesalahan pengobatan meskipun, JCI
dan WHO mengeluarkan “Nine Life-Saving Pasien Safety Solutions”
atau 9 solusi keselamatan pasien.
b. Tujuan pasien safety
Tujuan pasien safety rumah sakit adalah
1. Terciptanya budaya kesalamatan pasien dirumah sakit.
2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan rumah
sakit.
3. Menurunkan angka kejadian tidak diharapkan dirumah sakit.
4. Terlaksannya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
penanggulangan kejadian tidak diharapkan( Depkes RI,2006).
c. Standar pasien safety
1. Hak pasien

Standarnya adalah pasien dan keluarganya mempunya hak untuk


mendapatkan informasi tentang rancana dan hasil pelayanan termasuk
kemungkinan terjadi kejadian tidak diharapkan.

2. Mendidik pasien dan keluarga


Standarnya adalah rumah sakitharus mendidik pasien dan keluarganya
tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan
pasien.kereterianya adalah keselamtan dalam pemberian pelayanan
dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien adalah partner dalam
proses pelayanan. Karena itu,di ruamah sakit harusnya ada system dan
mekanisme mendidik pasien.Dengan pendidikan tersebut diharapkan
pasien dan keluarga dapat :
1) Memberikan info yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
2) Mengetahui kewajiaban dan pengetahuan.
3) Mengajukan pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
4) Memahami dan menerima konsenkuensi pelayanan.
5) Mematuhi intruksi dan menghormatin peraturan rumah sakit.
6) Memperhatikan sikap menghormatin dan tenggang rasa.
7) Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan
Standarnya adalah rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan
dan menjamin koordinasi antara tenaga dan antar unit pelayanan
dengan kriteria sebagai berikut.
1) Kordinasi pelayanan secara menyeluruh.
2) Kordinasi pelayanan disesuaikan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya.
3) Kordinasi pelayanan mencakup peningkatan komunikasi.
4) Komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan.
4. Penggunanan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan
evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Setandarnya adalah rumah sakit harus mendisain proses baru atau
memperbaikin proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja
melalui pengumpulan data,menganalisasi secara intensif kejadian tidak
diharapkan dan melakukan perubahan untuk meingkatakan kinerja
serta keselamatan pasien dengan kreteria sebagai berikut:
1) Setiap rumah sakit harus melakukan proses perencanaan yang
baik,sesuai dengan “Sembilan langkah menuju keselamatan
pasien rumah sakit”
2) Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja.
3) Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif.
4) Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan
informasi hasin analisis.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien
Standarnya adalah:
1) Pimpinan dorog dan jamin implementasi program keselamatan
pasien melalui penerapan Sembilan langkah menuju
keselamtan pasien rumah sakit.
2) Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif
indentifikasi resiko keselamtan pasien dan program
mengurangi kejadian tidak diharapkan.
3) Pimpinan dorong dan tumbuhkan komunikasi dan koordinasi
antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan
keputusan tentang keselamatan pasien.
4) Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk
mengukur, mengkaji dan meningkatkan kinerja rumah sakit
serta tindakan keselamatan pasien.
6. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam
meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien dengan
kriteria sebagai berikut:
1) Terdapat tim disiplin untuk mengelola program keselamatan
pasien.
2) Tersediah program proaktif untuk indetifikasi resiko
keselamatan da program meminimalkan insiden.
3) Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua
komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi.
4) Tersediah prosedur “cepat tanggap” terhadap insiden,
termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah,
membatasi resiko pada orang lain dan penyampaian informasi
yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5) Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal
berkaitan dengan insiden.
6) Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden.
7) Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela
antar unit dan antar pengelola pelayanan.
8) Tersedia sumber daya dan system informasi yang dibutuhkan.
9) Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi
menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas
perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamtan pasien.
7. Mendidik staf tentang keselamtan pasien
Standarnya adalah :
1) Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatiahan dan
orientasi untuk setiap jabtan mencakup keterkaitan jabatan
dengan keselmatan pasien secara jelas.
2) Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan penelitian
yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara
kompentensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin
dalam pelayanan pasien, dengan kriteria sebgai berikut:
a) Memiliki program diklat dan orientasi bagi staf baru yang
memuat topik keselamtan pasien.
b) Mengintegrasikan topik keselamtan pasien dalam setiap
kegiatan inservis training dan memberi pedoman yang
jelas tentang pelaporan insiden.
c) Menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok
guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaborasi
dalam rangka melayanin pasien.
8. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamtan
pasien.
Standarnya adalah:
1) Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen
informasi keselamtan pasien untuk memenuhi kebutuhan
informasi internal dan eksternal.
2) Transmisi data dan informai harus tepat waktu dan akurat
dengan kriteria sebagai berikut :
a) Disediakan anggaran untuk merencanakan dan
mendisain proses manjemen untuk memperoleh data
dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamtan
pasien.
b) Tersedia mekanisme indentifikasi masalah dan kendala
komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang
ada ( Depkes RI, 2006).
d. Pelaksanaan pasien safety
WHO collaborating centre for patient safety pada tanggal 2 mei 2007 resmi
menerbitkan “nine life saving patient safety solutions”(Sembilan solusi life
saving keselamtan pasien rumah sakit)panduan ini mulai disusun sejak tahun
2005 oleh pakar keselamatan pasien dan lebih 100 negara, dengan
mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah keselamatan pasien.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien,
tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami
kejadian tidak diharapkan,baik yang tidak dapat dicegah (non error) mau pun
yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Solusi keselamtan pasien adalah system atau intervensi yang dibuat mampu
mencegah atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan
kesehatan. Sembilan solusi ini merupakan panduan yang sangta bermanfaat
membantu rumah sakit, memperbaikin proses asuhan pasien, guna
menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah (Depkes RI. 2007).
Komite keselaatan pasien rumah sakit (KKPRS) mendorong rumah sakit di
Indonesia untuk menerapkan sembilan solusi life saving. Keselamatan pasien
rumah sakit atau 9 solusi, langsung atau terhadap, sesuai dengan kemampuan
dan kondisi rumah sakit masing-masing.
a. Perhatikan nama obat ,rupa dan ucapan mirip (look-alike medication
names)
Nama obat rupa dan ucapan mirip (NORUM), yang membingungkan
staf pelaksana adalah salah satu penyebab yang paling sering dalam
kesalahan obat (medication error) dan ini merupakan suatu
keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada
saat ini di pasar , maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan
akibat bingung terhadap nama merek atau generic serta kemasan.
Solusi NORUM ditekankan pada pengguanaan protocol untuk
pengurangan resiko dan memastikan terbacanya resep, lebel, atau
penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu, mau pun pembuatan
resep secara elektronik.
b. Pastikan identifikasi pasien
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi
pasien secara benar sering mengarah kepada kesalahan pengobatan,
tranfusi maupun pemeriksaan, pelaksanaan prosedur yang keliru
orang, penyerahan bayi kepada yang bukan keluarganya, dsb,
relomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap
identitas pasien, termasuk keterlibatan pasien dalam proses ini,
satandarisasi dalam metode identifikasi di semua rumah sakit dalam
suatu sistem layanan kesehatan dan partisipasi pasien dalam
konfirmasi ini serta penggunaan protocol untuk membedakan
identifikasi pasien dengan nama yang sama.
c. Komunikasi secara benar saat serah terima/pengoperan pasien
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/pengoperan pasien
antara unit-unit pelayanan dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa
mengakibatkan terputusnya kesinambungan layanan, pengobatan
yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan cedera terhadap
pasien rekomendasi ditunjukan untuk memperbaikin pola serah terima
pasien termasuk penggunaan protocol untuk mengkomunikasikan
informasi yang bersifat kritis memberikan kesempatan bagi para
praktisi untuk bertanya dan menyempaikan pertanyaan-pertanyaan
pada saat serah terima.
d. Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar
Penyimpangan pasa hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah.
Kasus-kasus dengan pelaksanaan prosedur yang keliru atau
pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar adalah akibat
komunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak
benar. Factor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-
kesalahn mecam ini adalah tidak ada atau kurangnya proses verifikasi
pra-pemmbedahan, pemberian tanda pada sisi yang akan dibedah oleh
petugas yang akan melaksanakan prosedur dan adanya tim yang
terlibat dalam prosedur,sesaat sebelum memulai prosedur untuk
mngkonfirmasikan identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan
dibedah.
e. Kendalikan cairan elektrolit pekat.
Sementara semua obat-obatan, biologis, vaksin dan media kontas
memiliki profil resiko, cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk
injeksi khususnya adalah berbahaya. Rekomendasinya adalah
membuat standarisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah dan
penccegahan atas campur aduk/bingung tentang cairab elektrolit pekat
yang spesifik.
f. Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan
Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat
transisi/pengalihan. Rekonsiliasi(penuntasan perbedaan) medikasi
adalah suatu proses yang didesian untuk mencegah salah obat
(medication error) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya
adalah menciptakan suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan
seluruh medikasi yang sedah diterima pasien juga disebut sebagai
“home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar saat
administrasi,penyerahan atau perintah pemulangan bila mana
menuliskan printah medikasi dan komunikasikan daftar tersebut
kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien dakan ditransfer
atau dilepaskan.
g. Hindari salah kateter dan salah sambung selang (tube)
Selang, kateter dan spuit (syringe) yang dilakukan harus didesain
sedemikian rupa agar mencegah kemungkinan terjadinya kejadian
tidak diharapkan yang bisa menyebabkan cedera atas pasien melalui
penyambungan selang dan spuit yang salah, serta memberikan
medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya
adalah menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail
bila sedang mengerjakan pemberian medikasi seta pemberian makan.
h. Gunakan alat injeksi sekali pakai
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran HIV, HBV,
dan HCV yang diakibatkan oleh pakai ulang dari jarum suntik.
Rekomendasinya adalah perlunya melarang pakai ulang jarum
difasilitas layanan kesehatan, pelatihan periodic para petugas
dilembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-
prinsip pengendalian infeksi, edukasi terhadap pasien dan keluarga
mereka mengenai penularan infeksi melalui darah dan praktek jarum
suntik sekali pakai yang aman.
i. Tingkat kebersihan tangan (hand hygiene)
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4juta orang
diseluruh dunia menderita infeksi yang diperoleh dirumah-rumah
sakit. Kebersian tangan yang efektif adalah ukuran preventif yang
primer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah
mendorong implementasi penggunaan cairan, seperti alcohol, hand
rubs, dsb .(komite keselamatan pasien rumah sakit, 2007)
2.3 KERANGKA KONSEP

Skema 2.1

Variabel Independen Variabel Dependen

Hubungan Mentoring Kepala Ruangan Pelaksanaan Pasien


Safety

2.4 HIPOTESA PENELITIAN

Ha: Ada pengaruh hubungan mentoring kepala ruangan terhadap pelaksanaan pasien
safety di Rsup H. Adam malik
Ho: Tidak ada pengaruh hubungan mentoring kepala ruangan terhadap penerapan
pasien safety di Rsup H. Adam malik

Anda mungkin juga menyukai