Anda di halaman 1dari 13

BUDAYA DALAM LINGKUP KERJA PERAWAT DALAM

PENINGKATAN PASIEN SAFETY

Untuk memenuhi tugas mata kuliah K3

Oleh
INDRA KURNIAWAN SAPUTRA
NIM : 2111027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANGTUAH SURABAYA
TA.2001/2022
A. Latar Belakang

Keselamatan rumah sakit saat ini telah menjadi isu global. Terdapat lima komponen

penting yang terkait dengan keselamatan rumah sakit yang salah satunya adalah keselamatan

pasien. Keselamatan pasien dipengaruhi oleh bagaimana budaya individu dan sistem yang

berjalan didalam organisasi tersebut. Salah satu strategi untuk merancang sistem yang aman

dalam lingkup pelayanan kesehatan adalah dengan memunculkan kesalahan melalui penyediaan

system pelaporan insiden, sehingga dapat dilihat dan selanjutnya diambil tindakan untuk

memperbaikinya. Laporan insiden keselamatan pasien lebih banyak dilaporkan oleh tenaga

perawat, sedangkan sikap yang tidak mendukung pelaporan insiden akan menghambat upaya

menciptakan pelayanan yang aman karena ketiadaan laporan insiden berdampak pada rumah

sakit tidak mengetahui adanya peringatan potensial akan bahaya yang dapat menyebabkan error.

Budaya keselamatan pasien yang ada dalam organisasi, berhubungan langsung dengan sikap dan

motivasi individu untuk melaporkan adanya insiden.

Sikap keterbukaan untuk melaporkan insiden merupakan salah satu indikator internalisasi

budaya keselamatan pasien dalam perilaku individu. Pelayanan keperawatan yang aman dan

berkualitas merupakan harapan pasien dan keluarga dalam menentukan pilihan atas layanan

keperawatan yang tersedia. Saat ini kualitas pelayanan keperawatan telah memasuki era

keselamatan pasien sebagai fokus utama, dimana keselamatan pasien dapat memberikan

kontribusi dalam peningkatan mutu, diantaranya: penerapan alat ukur; peran dan kerja sama tim

dan para ahli; peran dari proses; penggunaan efektif dari data untuk peningkatan pelayanan;

pembiayaan: serta dampak bagi pemimpin organisasi. Keselamatan pasien merupakan hasil dari

interaksi komponen struktur dan proses, artinya proses pelayanan yang diberikan telah sesuai
dengan standar dan didukung dengan struktur terstandarisasi serta kondisi lingkungan yang

optimal yang menghasilkan pelayanan yang aman bagi pasien.

Pelayanan keperawatan berperan penting dalam penyelenggaraan upaya menjaga mutu

pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perawat memiliki peran dalam menjaga mutu pelayanan

rumah sakit pada keselamatan pasien. Perawat memiliki peran yang dominan dalam mencegah

terjadinya kesalahan pengobatan, diantaranya pelaporan kejadian, mendidik diri sendiri dan

sesama perawat, memberikan rekomendasi tentang perubahan dalam prosedur dan kebijakan, dan

keterlibatan dalam identifikasi masalah. Keselamatan pasien bagi perawat tidak hanya

merupakan pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, namun keselamatan pasien

merupakan komitmen yang tertuang dalam kode etik perawat dalam memberikan pelayanan yang

aman, sesuai kompetensi, dan berlandaskan kode etik bagi pasien (Setiowati, 2010).

B. Pembahasan

Keselamatan pasien merupakan transformasi budaya, seorang pemimpin dengan

kepemimpinannya dapat melakukan perubahan budaya menuju keberhasilan program

keselamatan pasien (Cahyono, 2008). Hal ini perlu mendapat perhatian karena kepemimpinan

merupakan elemen penting untuk menciptakan budaya yang kuat dalam menerapkan

keselamatan pasien. Peran perawat dalam isu keselamatan pasien adalah menciptakan budaya

organisasi dengan komunikasi dan alur informasi yang jelas dan tepat. Tujuan keselamatan

pasien antara lain terciptanya budaya keselamatan pasien, menurunnya kejadian yang tidak aman

bagi pasien, memberikan kepuasan bagi pasien maupun pihak internal rumah sakit, dan mutu

pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Tujuan keselamatan pasien sebagai arah dalam

mencapai visi ke depan yaitu terciptanya penerapan budaya keselamatan pasien.


Budaya keselamatan pasien merupakan komponen yang penting dan mendasar karena

membangun budaya keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk membangun program

keselamatan pasien secara keseluruhan (Fleming, 2006).

Budaya keselamatan pasien merupakan konsep yang menarik, dan umumnya menjadi

penting dan mendasar untuk suatu organisasi dalam mengatur operasional keselamatan pasien

(Walshe & Boaden, 2006).

Budaya keselamatan dalam implementasi sistem manajemen keselamatan yang kuat

mencakup: mendorong setiap orang bertanggung jawab akan keselamatan terhadap diri sendiri,

rekan kerja, pasien, dan pengunjung; mengutamakan keselamatan di atas keuntungan dan tujuan

organisasi; mendorong dan memberikan penghargaan terhadap identifikasi, pelaporan, dan

penyelesaian isu keselamatan; memberi kesempatan pembelajaran dari kejadian celaka;

mengalokasikan sumber daya, struktur, serta tanggung jawab yang sesuai untuk memelihara

sistem keselamatan yang efektif. Saat ini penerapan budaya keselamatan pasien, terutama non

blaming culture dan budaya belajar dari insiden belum diterapkan secara optimal.

Penelitian yang dilakukan oleh Kartika & Wulan (2013) memperjelas hal tersebut,

budaya keselamatan pasien terutama non blaming culture dan budaya belajar dari insiden belum

diterapkan secara optimal, budaya pelaporan belum berjalan dengan baik serta tujuh langkah

keselamatan pasien belum dilaksanakan seluruhnya, diantaranya belum memotivasi staf dengan

optimal, menjabarkan langkah-langkah penanganan insiden keselamatan pasien secara langsung

di lapangan, mengembangkan sistem pengelolaan risiko, serta melaksanakan RCA di rumah

sakit.

Rumah sakit apabila tidak memperdulikan dan tidak menerapkan budaya keselamatan

pasien akan mengakibatkan dampak menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan


kesehatan dan berakibat pada penurunan mutu pelayanan rumah sakit. Pelayanan yang bermutu

dan aman bagi pasien saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan (Cahyono, 2008).

Ketidakpedulian akan keselamatan pasien menyebabkan kerugian bagi pasien dan pihak

rumah sakit, yaitu biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin lama

dirawat di rumah sakit, dan terjadinya resistensi obat. Lumenta (2015) mengidentifikasi akibat

insiden pada pasien yaitu cidera, membahayakan jiwa, perpanjangan rawat, kematian. Kerugian

bagi rumah sakit lainnya antara lain biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu pada

upaya tindakan pencegahan terhadap kejadian, luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh

dengan cidera, kesalahan obat yang mengakibatkan cidera. Menurut Kirk et al (2006), budaya

patient safety merupakan produk dari nilai, sikap, komperensi dan pola perilaku individu dan

kelompok yang menentukan komitmen, gaya dan kemampuan suatu organisasi pelayanan

kesehatan terhadap program patient safety. Akibat yang ditimbulkan dari organisasi yang tidak

memiliki budaya patient safety yang baik menurut Kirk et al (2006) berupa kesalahan laten,

gangguan psikologi maupun physiologi pada staf, penurunan produktivitas, berkurangnya

kepuasan pasien dan dapat menimbulkan konflik interpersonal. Membangun budaya keselamatan

pasien di rumah sakit merupakan kewajiban dan tanggung jawab seluruh staf terutama yang

berhubungan langsung dengan pasien yaitu dokter dan perawat.

Penelitian Hamdani (2007) didapatkan data bahwa perawat adalah komponen tenaga

kesehatan

(profesi) yang paling banyak berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien. Beberapa studi

melaporkan bahwa peran pimpinan senior sebagai faktor kunci dalam membentuk budaya

keselamatan pasien. Peran kepala ruang sebagai leader di ruangannya menjadi sangat vital.
Tulisan ini mencoba mengkaji peran leadership kepala ruang dalam penerapan budaya

keselamatan pasien di rumah sakit.

A. Budaya Dalam Lingkup Kerja Perawat Dalam Peningkatan Keselamatan Pasien

Schein (1992) mendefinisikan budaya kerja sebagai kebiasaan orang bekerja dalam suatu

kelompok, nilai, filosofi dan aturan-aturan dalam kelompok yang membuat mereka bisa

bekerjasama. Karakteristiknya antara lain: budaya kerja sebagai suatu pola yang dibentuk

berdasarkan asumsi-asumsi dasar; dibentuk oleh kelompok sebagai upaya untuk mengatasi

masalah-masalah yang muncul dalam lingkungan kerja dan untuk beradaptasi dengan lingkungan

eksternal mencerminkan tradisi yang dianggap berjalan dengan baik, diajarkan kepada anggota-

anggota baru dalam organisasi, dianggap sebagai cara terbaik untuk berfikir, berperilaku dan

berfikir.Secara singkat budaya kerja adalah bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan ditempat

kerja. Budaya kerja berperan penting dalam keberhasilanatau kegagalan suatu organisasi

pelayanan kesehatan dan juga dalam konteks patient safety.

1. Fungsi dan Efek dari Budaya

Fungsi :

a. Menetapkan batas-batas

b. Membentuk identitas

c. Membentuk komitment untuk mencapai tujuan organisasi yang lebih tinggi

d. Mengembangkan stabilitas sistem sosial

e. Sebagai mekanisme regulasi terhadap perilaku dan sikap

f. Efek:Mmenurunkan kecemasan yang muncul akibat ketidakmampuan untuk mengerti,

memprediksi dan mengontrol kejadian.

g. Memiliki potensi untuk meningkatkan performa, kepuasan, ekspektasi, sikap.


h. Perilaku dalam organisasi

i. Mempengaruhi kesehatan (wellbeings) pekerja

j. Jika tidak disesuaikan dengan perubahan harapan stakeholders internal dan eksternal,

efektifitasnya bisa menurun.

Budaya kerja ini berada dalam tiga level, level inti, strategis, dan manifestasi. Ditingkat

inti, budaya kerja ini dipegang kuat dan seringkali berupa ideologi, nilai, dan asumsi yang tidak

tertulis. Di tingkat strategis, nilai-nilai dan pemahaman yang ada dalam organisasi diekspresik an

untuk mencerminkan budaya yang diharapkan organisasi itu. Di tingkat manifestasi, budaya

organisasi ditunjukkan dalam perilaku dan kondisi organisasi sehari-haro yang seringkali

merupakan kompromi antara budaya organisasi ditingkat inti dan strategis, dan mencerminkan

situasi terkini. Berdasarkan tipenya, budaya kerja dibedakan menjadi 3, yaitu budaya

yangkonstruktif, pasif-defensif, dan agresif-defensif. Budaya yang konstruktifmengutamakan

interaksi antar individu dalam organisasi, saling membantu, memiliki norma afiliasi, bisa

mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan organisasi, bisa mengaktualisasi diri, humanistik,

dan saling mendorong untuk menjadi lebih baik. Individu dalam lingkungan organisasi yang

berbudaya pasifdefensif akanaling berinteraksi dengan cara yang tidak mengancam dirinya

sendiri. Umumnya konvensional, menghindari masalah, dan cenderung mudah menyetujui

keputusan pihak lain. Sebaliknya, individu dengan budaya kerja yang agresif-defensif akan

memaksakan kehendaknya untuk melindungi statusnya, bersikap oposisi, mengutamakan

kekuasaan, sangat kompetitif dan perfeksionis.

B. Budaya Keselamatan Dalam Berorganisasi

Berbagai penelitian pada berbagai industri yang membutuhkan ketepatan tinggi(high

reliability organization), seperti industri pesawat terbang, atau instalasi pembangkit tenaga nuklir
menunjukkan bahwa safety culture merupakan prioritas pertama dalam industri tersebut.

Industri-industri semacam ini mempunyai beberapa karakteristik:

a. Mempunyai otonomi yang tinggi, tetapi tetap ada saling ketergantungan. Setiap individu

dalam organisasi mempunyai otonomi sebagai pekerja yang independen, tetapi tetap

membutuhkan pekerja yang lain untuk menyelesaikan pekerjaannya.

b. Mempunyai beberapa tim dengan budaya kerja yang berbeda-beda yang juga saling

membutuhkan. Misalnya seorang dokter merupakan bagian dari tim dokter dan seorang

perawat merupakan bagian dari tim perawat. Tetapi dokter membutuhkan perawat dalam

prakteknya dan demikian pula sebaliknya.

c. Selalu waspada terhadap semua resiko yang mengancam keselamatan (safety). Untuk

menciptakan budaya ini biasanya organisasi sudah mempunyai aturan-aturan dan

prosedur formal, tetapi yang lebih penting adalah adanya perhatian khusus terhadap

situasi-situasi yang beresiko tinggi dan tidak hanya sekedar mematuhiaturan dan prosedur

secara rutin. Untuk itu, biasanya ada satu petugas yang secara rutin mensupervisi dan

memonitor respon terhadap situasi yang beresiko.

d. Training mendapatkan prioritas yang tinggi. Kompetensi staf secara rutin dievaluasi ,

seringkali dengan melakukan simulasi-simulasi.

Untuk situasi beresiko tinggi digunakan pendekatan kolaborasi. Pada situasi yang

beresiko tinggi, garis hirarki formal ditinggalkan dahulu, semua anggota tim

meningkatkan kewaspadaan, dan masing-masing anggota tim ikut memonitor

perkembangan situasi dan aktifitas anggota tim yang lain. Umpan balik terhadap

performa setiap anggota timdiberikan secara langsung dan bebas. Tujuan utamanya

adalah keselamatan.
a. Budaya Patient Safety

Pentingnya mengembangkan budaya patient safety juga ditekankan dalam salahvsatu

laporan Institute of Medicine “To Err Is Human” yang menyebutkan bahwavorganisasi

pelayanan kesehatan harus mengembangkan budaya keselamatanvsedemikian sehingga

organisasi tersebut berfokus pada peningkatan reliabilitasvdan keselamatan pelayanan pasien”.

Hal ini ditekankan lagi oleh Nieva dan Sorra dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa

budaya keselamatan yang buruk merupakan faktor resiko penting yang bisa mengancam

keselamatan pasien.

Vincent (2005) dalam bukunya bahkan menyebutkan bahwa ancamanterhadap

keselamatan pasien tersebut tidak dapat diubah, jika budaya patientsafety dalam organisasi tidak

diubah. Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan pola perilaku

individu dan kelompokyang menentukan komitmen, style dan kemampuan suatu organisasi

pelayanan kesehatan terhadap program patient safety. Jika suatu organisasi pelayanan kesehatan

tidak mempunyai budaya patient safety maka kecelakaan bisa terjadi akibat dari kesalahan

laten,gangguan psikologis dan physiologis pada staf, penurunan produktifitas, berkurangnya

kepuasan pasien, dan bisa menimbulkan konflik interpersonal.

D. Pergeseran paradigma dalam patient safety

Karakteristik dari positive safety culture

a. Komunikasi dibentuk dari keterbukaan dan saling percaya

b. Alur informasi dan prosesing yang baik

c. Persepsi yang sama terhadap pentingnya keselamatan

d. Disadari bahwa kesalahan tidak bisa sepenuhnya dihindari


e. Identifikasi ancaman laten terhadap keselamatan secara proaktif

f. Pembelajaran organisasi

g. Memiliki pemimpin yang komit dan eksekutif yang bertanggung jawab.

h. Pendekatan untuk tidak menyalahkan dan tidak memberikan hukuman

i. Pada insiden yang dilaporkan.

E. Tiga strategi penerapan budaya patient safety:

a. Strategy 1

 Lakukan safe practices

 Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk melakukan tindakan

medik secara benar

 Mengurangi ketergantungan pada ingatan

 Membuat protokol dan checklist

 Menyederhanakan tahapan-tahapan

b. Edukasi

 Kenali dampak akibat kelelahan dan kinerja

 Pendidikan dan pelatihan patient safety

 Melatih kerjasama antar tim

 Meminimalkan variasi sumber pedoman klinis yang mungkin membingungkan

c. Akuntabilitas

 Melaporkan kejadian error

 Meminta maaf

 Melakukan remedial care


 Melakukan root cause analysis

 Memperbaiki sistem atau mengatasi masalahnya.

F. Mengukur Maturitas Budaya Patient Safety

Maturitas budaya patient safety dalam organisasi diklasifikasikan oleh Ashcroft et.al.

(2005) menjadi lima tingkat maturitas: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan generatif. Di

tingkat patologis, organisasi melihat keselamatan pasien sebagai masalah, akibatnya informasi-

iinformasi terkait patient safety akanditekan dan lebih berfokus pada menyalahkan individu demi

menunjukkan kekuasaan pihak tertentu. Di tingkat reaktif, organisasi sudah menyadari bahwa

keselamatan pasien adalah hal penting, tetapi hanya berespon ketika terjadi insiden yang

signifikan. Di tingkat kalkulatif, organisasi cenderung berpaku pada aturah-aturan dan jabatan

dan kewenangan dalam organisasi. Setelah insiden terjadi, informasi tidak diteruskan atau

bahkan diabaikan, kesalahan segera dibenarkan atau dijelaskan penyebabnya, tanpa analisis yang

lebih mendalam lagi. Organisasi ya ngproaktif berfokus pada upaya-upaya untuk mengantisipasi

masalah-masalah patient safety dengan melibatkan banyak stakeholders terkait patient safety.

Sementara organisasi yang generatif secara aktif mencari informasi untuk mengetahui apakah

tindakan-tindakan yang dilakukan dalam organisasi ini sudah aman atan belum.

G. Level kematangan budaya patient safety

Patologis Tidak ada sistem untuk pengembangan budaya patient safety Reaktif Sistemnya

masih terpecah-pecah, dikembangkan sebagai bagian dari regulasi atau permintaan akreditasi

atau untuk merespon insiden yang terjadi. Kalkulatif Terdapat pendekatan sistematis terhadap

patient safety, tetapi implementasinya masih terkotak-kotak, dan analisis terhadap insiden masih
terbatas pada situasi ketika insiden terjadi. Proaktif Terdapat pendekatan komprehensif terhadap

budaya patient safety, intervensi yang evidence-based sudah diimplementasikan.Generative

Pembentukan dan maintenance budaya patient safety adalah bagian sentral dari misi organisasi,

efektifitas intervensi selalu dievaluasi, selalu belajar daripengalaman yang salah maupun yang

berhasil, danmengambil tindakan-tindakan yang berarti untukmemperbaiki situasi.

H. Menilai Budaya Patient Safety

Saat ini, budaya patient safety biasanya dinilai dengan self-completion questionnaires.

Biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner kepada semua staff, untuk kemudian

dihitung nilai rata-rata respon terhadap masingmasing item atau faktor. Langkah pertama dalam

proses pengembangan budaya patient safety adalah dengan menilai budaya yang ada. Tidak

banyak alat yang tersedia untuk menilai budaya patient safety, salah satunya adalah ‘Manchester

Patient Safety Framework’ . Biasanya ada jenis pernyataan yang digunakan untuk menilai

dimensi budaya patient safety, pertama adalah pernyataan-pernyataan untukmengukur nilai,

pemahaman dan sikap dan kedua adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas atau

perilaku yang bertujuan untuk pengembangan budaya patient safety, seperti kepemimpinan,

kebijakan dan prosedur. Beberapa contoh pernyataan tersebut disajikan dalam tabel 2.

I. Pengembangan Budaya Pasien Safety

Salah satu tantangan dalam pengembangan patient safety adalah bagaimana mengubah

budaya yang ada menuju budaya patient safety. Langkah penting pertama adalah dengan

menempatkan patient safety sebagai salah satu prioritas utama dalam organisasi pelayanan

kesehatan, yang didukung oleh eksekutif, timklinik, dan staf di semua level organisasi dengan

pertanggung jawaban yang jelas. Beberapa contoh langkah-langkah lainnya disajikan dalam

Perubahan budaya sangat terkait dengan pendapat dan perasaan individuindividu dalam
organisasi. Kesempatan untuk mengutarakan opini secara terbuka, dan keterbukaan ini harus

diakomodasi oleh sistem sehingga memungkinkan semua individu untuk melaporkan dan

mendiskusikan terjadinya adverse events. Budaya tidaksaling menyalahkan memungkin individu

untuk melaporkan dan mendiskusikan adverse events tanpa khawatir akan dihukum.Aspek lain

yang penting adalah memastikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab secara

personal dan kolektif terhadap patient safety dan bahwa keselamatan adalah kepentingan semua

pihak.

J. Pengembangan safety culture

a. Mendeklarasikan patient safety sebagai salah satu prioritas

b. Menetapkan tanggung jawab eksekutif dalam program patient safety

c. Memperbaharui ilmu dan keahlian medis

d. Membudayakan sistem pelaporan tanpa menyalahkan pihak-pihak terkait e.Membangun

akuntabilitas

e. Reformasi pendidikan dan membangun organisasi pembelajar

f. Mempercepat perubahan untuk perbaikan

Anda mungkin juga menyukai