Oleh
INDRA KURNIAWAN SAPUTRA
NIM : 2111027
Keselamatan rumah sakit saat ini telah menjadi isu global. Terdapat lima komponen
penting yang terkait dengan keselamatan rumah sakit yang salah satunya adalah keselamatan
pasien. Keselamatan pasien dipengaruhi oleh bagaimana budaya individu dan sistem yang
berjalan didalam organisasi tersebut. Salah satu strategi untuk merancang sistem yang aman
dalam lingkup pelayanan kesehatan adalah dengan memunculkan kesalahan melalui penyediaan
system pelaporan insiden, sehingga dapat dilihat dan selanjutnya diambil tindakan untuk
memperbaikinya. Laporan insiden keselamatan pasien lebih banyak dilaporkan oleh tenaga
perawat, sedangkan sikap yang tidak mendukung pelaporan insiden akan menghambat upaya
menciptakan pelayanan yang aman karena ketiadaan laporan insiden berdampak pada rumah
sakit tidak mengetahui adanya peringatan potensial akan bahaya yang dapat menyebabkan error.
Budaya keselamatan pasien yang ada dalam organisasi, berhubungan langsung dengan sikap dan
Sikap keterbukaan untuk melaporkan insiden merupakan salah satu indikator internalisasi
budaya keselamatan pasien dalam perilaku individu. Pelayanan keperawatan yang aman dan
berkualitas merupakan harapan pasien dan keluarga dalam menentukan pilihan atas layanan
keperawatan yang tersedia. Saat ini kualitas pelayanan keperawatan telah memasuki era
keselamatan pasien sebagai fokus utama, dimana keselamatan pasien dapat memberikan
kontribusi dalam peningkatan mutu, diantaranya: penerapan alat ukur; peran dan kerja sama tim
dan para ahli; peran dari proses; penggunaan efektif dari data untuk peningkatan pelayanan;
pembiayaan: serta dampak bagi pemimpin organisasi. Keselamatan pasien merupakan hasil dari
interaksi komponen struktur dan proses, artinya proses pelayanan yang diberikan telah sesuai
dengan standar dan didukung dengan struktur terstandarisasi serta kondisi lingkungan yang
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Perawat memiliki peran dalam menjaga mutu pelayanan
rumah sakit pada keselamatan pasien. Perawat memiliki peran yang dominan dalam mencegah
terjadinya kesalahan pengobatan, diantaranya pelaporan kejadian, mendidik diri sendiri dan
sesama perawat, memberikan rekomendasi tentang perubahan dalam prosedur dan kebijakan, dan
keterlibatan dalam identifikasi masalah. Keselamatan pasien bagi perawat tidak hanya
merupakan pedoman tentang apa yang seharusnya dilakukan, namun keselamatan pasien
merupakan komitmen yang tertuang dalam kode etik perawat dalam memberikan pelayanan yang
aman, sesuai kompetensi, dan berlandaskan kode etik bagi pasien (Setiowati, 2010).
B. Pembahasan
keselamatan pasien (Cahyono, 2008). Hal ini perlu mendapat perhatian karena kepemimpinan
merupakan elemen penting untuk menciptakan budaya yang kuat dalam menerapkan
keselamatan pasien. Peran perawat dalam isu keselamatan pasien adalah menciptakan budaya
organisasi dengan komunikasi dan alur informasi yang jelas dan tepat. Tujuan keselamatan
pasien antara lain terciptanya budaya keselamatan pasien, menurunnya kejadian yang tidak aman
bagi pasien, memberikan kepuasan bagi pasien maupun pihak internal rumah sakit, dan mutu
pelayanan kesehatan menjadi lebih baik. Tujuan keselamatan pasien sebagai arah dalam
membangun budaya keselamatan pasien merupakan suatu cara untuk membangun program
Budaya keselamatan pasien merupakan konsep yang menarik, dan umumnya menjadi
penting dan mendasar untuk suatu organisasi dalam mengatur operasional keselamatan pasien
mencakup: mendorong setiap orang bertanggung jawab akan keselamatan terhadap diri sendiri,
rekan kerja, pasien, dan pengunjung; mengutamakan keselamatan di atas keuntungan dan tujuan
mengalokasikan sumber daya, struktur, serta tanggung jawab yang sesuai untuk memelihara
sistem keselamatan yang efektif. Saat ini penerapan budaya keselamatan pasien, terutama non
blaming culture dan budaya belajar dari insiden belum diterapkan secara optimal.
Penelitian yang dilakukan oleh Kartika & Wulan (2013) memperjelas hal tersebut,
budaya keselamatan pasien terutama non blaming culture dan budaya belajar dari insiden belum
diterapkan secara optimal, budaya pelaporan belum berjalan dengan baik serta tujuh langkah
keselamatan pasien belum dilaksanakan seluruhnya, diantaranya belum memotivasi staf dengan
sakit.
Rumah sakit apabila tidak memperdulikan dan tidak menerapkan budaya keselamatan
dan aman bagi pasien saling berkaitan dan tidak dapat dipisah-pisahkan (Cahyono, 2008).
Ketidakpedulian akan keselamatan pasien menyebabkan kerugian bagi pasien dan pihak
rumah sakit, yaitu biaya yang harus ditanggung pasien menjadi lebih besar, pasien semakin lama
dirawat di rumah sakit, dan terjadinya resistensi obat. Lumenta (2015) mengidentifikasi akibat
insiden pada pasien yaitu cidera, membahayakan jiwa, perpanjangan rawat, kematian. Kerugian
bagi rumah sakit lainnya antara lain biaya yang harus dikeluarkan menjadi lebih besar yaitu pada
upaya tindakan pencegahan terhadap kejadian, luka tekan, infeksi nosokomial, pasien jatuh
dengan cidera, kesalahan obat yang mengakibatkan cidera. Menurut Kirk et al (2006), budaya
patient safety merupakan produk dari nilai, sikap, komperensi dan pola perilaku individu dan
kelompok yang menentukan komitmen, gaya dan kemampuan suatu organisasi pelayanan
kesehatan terhadap program patient safety. Akibat yang ditimbulkan dari organisasi yang tidak
memiliki budaya patient safety yang baik menurut Kirk et al (2006) berupa kesalahan laten,
kepuasan pasien dan dapat menimbulkan konflik interpersonal. Membangun budaya keselamatan
pasien di rumah sakit merupakan kewajiban dan tanggung jawab seluruh staf terutama yang
Penelitian Hamdani (2007) didapatkan data bahwa perawat adalah komponen tenaga
kesehatan
(profesi) yang paling banyak berhubungan dengan penerapan keselamatan pasien. Beberapa studi
melaporkan bahwa peran pimpinan senior sebagai faktor kunci dalam membentuk budaya
keselamatan pasien. Peran kepala ruang sebagai leader di ruangannya menjadi sangat vital.
Tulisan ini mencoba mengkaji peran leadership kepala ruang dalam penerapan budaya
Schein (1992) mendefinisikan budaya kerja sebagai kebiasaan orang bekerja dalam suatu
kelompok, nilai, filosofi dan aturan-aturan dalam kelompok yang membuat mereka bisa
bekerjasama. Karakteristiknya antara lain: budaya kerja sebagai suatu pola yang dibentuk
berdasarkan asumsi-asumsi dasar; dibentuk oleh kelompok sebagai upaya untuk mengatasi
masalah-masalah yang muncul dalam lingkungan kerja dan untuk beradaptasi dengan lingkungan
eksternal mencerminkan tradisi yang dianggap berjalan dengan baik, diajarkan kepada anggota-
anggota baru dalam organisasi, dianggap sebagai cara terbaik untuk berfikir, berperilaku dan
berfikir.Secara singkat budaya kerja adalah bagaimana kita menyelesaikan pekerjaan ditempat
kerja. Budaya kerja berperan penting dalam keberhasilanatau kegagalan suatu organisasi
Fungsi :
a. Menetapkan batas-batas
b. Membentuk identitas
j. Jika tidak disesuaikan dengan perubahan harapan stakeholders internal dan eksternal,
Budaya kerja ini berada dalam tiga level, level inti, strategis, dan manifestasi. Ditingkat
inti, budaya kerja ini dipegang kuat dan seringkali berupa ideologi, nilai, dan asumsi yang tidak
tertulis. Di tingkat strategis, nilai-nilai dan pemahaman yang ada dalam organisasi diekspresik an
untuk mencerminkan budaya yang diharapkan organisasi itu. Di tingkat manifestasi, budaya
organisasi ditunjukkan dalam perilaku dan kondisi organisasi sehari-haro yang seringkali
merupakan kompromi antara budaya organisasi ditingkat inti dan strategis, dan mencerminkan
situasi terkini. Berdasarkan tipenya, budaya kerja dibedakan menjadi 3, yaitu budaya
interaksi antar individu dalam organisasi, saling membantu, memiliki norma afiliasi, bisa
mencapai tujuannya atau memenuhi kebutuhan organisasi, bisa mengaktualisasi diri, humanistik,
dan saling mendorong untuk menjadi lebih baik. Individu dalam lingkungan organisasi yang
berbudaya pasifdefensif akanaling berinteraksi dengan cara yang tidak mengancam dirinya
keputusan pihak lain. Sebaliknya, individu dengan budaya kerja yang agresif-defensif akan
reliability organization), seperti industri pesawat terbang, atau instalasi pembangkit tenaga nuklir
menunjukkan bahwa safety culture merupakan prioritas pertama dalam industri tersebut.
a. Mempunyai otonomi yang tinggi, tetapi tetap ada saling ketergantungan. Setiap individu
dalam organisasi mempunyai otonomi sebagai pekerja yang independen, tetapi tetap
b. Mempunyai beberapa tim dengan budaya kerja yang berbeda-beda yang juga saling
membutuhkan. Misalnya seorang dokter merupakan bagian dari tim dokter dan seorang
perawat merupakan bagian dari tim perawat. Tetapi dokter membutuhkan perawat dalam
c. Selalu waspada terhadap semua resiko yang mengancam keselamatan (safety). Untuk
prosedur formal, tetapi yang lebih penting adalah adanya perhatian khusus terhadap
situasi-situasi yang beresiko tinggi dan tidak hanya sekedar mematuhiaturan dan prosedur
secara rutin. Untuk itu, biasanya ada satu petugas yang secara rutin mensupervisi dan
d. Training mendapatkan prioritas yang tinggi. Kompetensi staf secara rutin dievaluasi ,
Untuk situasi beresiko tinggi digunakan pendekatan kolaborasi. Pada situasi yang
beresiko tinggi, garis hirarki formal ditinggalkan dahulu, semua anggota tim
perkembangan situasi dan aktifitas anggota tim yang lain. Umpan balik terhadap
performa setiap anggota timdiberikan secara langsung dan bebas. Tujuan utamanya
adalah keselamatan.
a. Budaya Patient Safety
Hal ini ditekankan lagi oleh Nieva dan Sorra dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa
budaya keselamatan yang buruk merupakan faktor resiko penting yang bisa mengancam
keselamatan pasien.
keselamatan pasien tersebut tidak dapat diubah, jika budaya patientsafety dalam organisasi tidak
diubah. Budaya patient safety adalah produk dari nilai, sikap, kompetensi, dan pola perilaku
individu dan kelompokyang menentukan komitmen, style dan kemampuan suatu organisasi
pelayanan kesehatan terhadap program patient safety. Jika suatu organisasi pelayanan kesehatan
tidak mempunyai budaya patient safety maka kecelakaan bisa terjadi akibat dari kesalahan
f. Pembelajaran organisasi
a. Strategy 1
Rancang sistem pekerjaan yang memudahkan orang lain untuk melakukan tindakan
Menyederhanakan tahapan-tahapan
b. Edukasi
c. Akuntabilitas
Meminta maaf
Maturitas budaya patient safety dalam organisasi diklasifikasikan oleh Ashcroft et.al.
(2005) menjadi lima tingkat maturitas: patologis, reaktif, kalkulatif, proaktif dan generatif. Di
tingkat patologis, organisasi melihat keselamatan pasien sebagai masalah, akibatnya informasi-
iinformasi terkait patient safety akanditekan dan lebih berfokus pada menyalahkan individu demi
menunjukkan kekuasaan pihak tertentu. Di tingkat reaktif, organisasi sudah menyadari bahwa
keselamatan pasien adalah hal penting, tetapi hanya berespon ketika terjadi insiden yang
signifikan. Di tingkat kalkulatif, organisasi cenderung berpaku pada aturah-aturan dan jabatan
dan kewenangan dalam organisasi. Setelah insiden terjadi, informasi tidak diteruskan atau
bahkan diabaikan, kesalahan segera dibenarkan atau dijelaskan penyebabnya, tanpa analisis yang
lebih mendalam lagi. Organisasi ya ngproaktif berfokus pada upaya-upaya untuk mengantisipasi
masalah-masalah patient safety dengan melibatkan banyak stakeholders terkait patient safety.
Sementara organisasi yang generatif secara aktif mencari informasi untuk mengetahui apakah
tindakan-tindakan yang dilakukan dalam organisasi ini sudah aman atan belum.
Patologis Tidak ada sistem untuk pengembangan budaya patient safety Reaktif Sistemnya
masih terpecah-pecah, dikembangkan sebagai bagian dari regulasi atau permintaan akreditasi
atau untuk merespon insiden yang terjadi. Kalkulatif Terdapat pendekatan sistematis terhadap
patient safety, tetapi implementasinya masih terkotak-kotak, dan analisis terhadap insiden masih
terbatas pada situasi ketika insiden terjadi. Proaktif Terdapat pendekatan komprehensif terhadap
Pembentukan dan maintenance budaya patient safety adalah bagian sentral dari misi organisasi,
efektifitas intervensi selalu dievaluasi, selalu belajar daripengalaman yang salah maupun yang
Saat ini, budaya patient safety biasanya dinilai dengan self-completion questionnaires.
Biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan kuesioner kepada semua staff, untuk kemudian
dihitung nilai rata-rata respon terhadap masingmasing item atau faktor. Langkah pertama dalam
proses pengembangan budaya patient safety adalah dengan menilai budaya yang ada. Tidak
banyak alat yang tersedia untuk menilai budaya patient safety, salah satunya adalah ‘Manchester
Patient Safety Framework’ . Biasanya ada jenis pernyataan yang digunakan untuk menilai
pemahaman dan sikap dan kedua adalah pernyataan-pernyataan untuk mengukur aktifitas atau
perilaku yang bertujuan untuk pengembangan budaya patient safety, seperti kepemimpinan,
kebijakan dan prosedur. Beberapa contoh pernyataan tersebut disajikan dalam tabel 2.
Salah satu tantangan dalam pengembangan patient safety adalah bagaimana mengubah
budaya yang ada menuju budaya patient safety. Langkah penting pertama adalah dengan
menempatkan patient safety sebagai salah satu prioritas utama dalam organisasi pelayanan
kesehatan, yang didukung oleh eksekutif, timklinik, dan staf di semua level organisasi dengan
pertanggung jawaban yang jelas. Beberapa contoh langkah-langkah lainnya disajikan dalam
Perubahan budaya sangat terkait dengan pendapat dan perasaan individuindividu dalam
organisasi. Kesempatan untuk mengutarakan opini secara terbuka, dan keterbukaan ini harus
diakomodasi oleh sistem sehingga memungkinkan semua individu untuk melaporkan dan
untuk melaporkan dan mendiskusikan adverse events tanpa khawatir akan dihukum.Aspek lain
yang penting adalah memastikan bahwa masing-masing individu bertanggung jawab secara
personal dan kolektif terhadap patient safety dan bahwa keselamatan adalah kepentingan semua
pihak.
akuntabilitas