Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh
Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema
penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang
dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit
sehat. Penyakit framboesia atau patek adalah suatu penyakit kronis, relaps (berulang).
Dalam bahasa Inggris disebut Yaws, ada juga yang disebut Frambesia tropica
dan dalam bahasa Jawa disebut Pathek. Framboesia termasuk penyakit menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan sanitasi
lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri,
kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya
fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan
masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa
penyakit ini merupakan hal biasa dan alami karena sifatnya yang tidak menimbulkan
rasa sakit pada penderita..

2.2 Epidemiologi
Pada tahun 1948, ketika WHO baru didirikan, treponematosis endemik
merupakan salah satu masalah kesehatan yang besar. Dilaporkan bahwa dari tahun
1950 – 2013 menunjukkan terdapat 90 negara yang terserang frambusia. Negara-
negara Amerika selatan yang sering terkena yaitu Venezuela, Bolivia, Kolombia,
Ekuador, dan Brazil dan terbanyak ditemukan pada Haiti dan kepulauan Karibia
lainnya. Pada Afrika, penyakit ini sangat umum pada sebagian besar negara pantai
barat, lalu di Uganda, Mozambik, dan Madagaskar. Pada Asia banyak terjadi di
Thailan dan Indochina, yaitu kamboja, laos, dan malaysia. Dan juga ditemukan pada
beberapa kabupaten di India dan China. Pada Asia pasifik terdapat di negara
Indonesia, Australia, Timor leste dan insidensi tertinggi pada pulau-pulau kecil di
Papua new guinea dan kepulauan Solomon.

Gambar 1. Gambaran distribusi penyakit frambusia di dunia

Prevalensi frambusia secara global menurun drastis setelah dilakukan


kampanye pengobatan dengan penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-
an sehingga menekan peningkatan kasus frambusia sebanyak 95%. WHO
menyatakan terdapat 12 negara yang masih endemis frambusia, yaitu Benin,
Kameroon, Republik Afrika Tengah, Republik Kongo, Cote d’lvoire, Ghana, Togo,
Indonesia, Papua New Guinea, Kepulauan Solomon, dan Vanuatu. Sekitar tahun 2003
angka kejadian dari kasus frambusia di Indonesia sebanyak 4012, yang ditemukan di
daerah Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan
Papua. Dari data yang didapatkan diperkirakan sekitar 75% penderita penyakit
frambusia ini adalah anak-anak usia di bawah 15 tahun dengan insidensi terbanyak
pada anak-anak yang berusia 6-10 tahun, menyerang baik pria maupun wanita.

Tabel 1. Prevalensi frambusia di beberapa negara tahun 2008-2012


Grafik 1. Jumlah kasus frambusia di Indonesia

2.3 Klasifikasi
Frambusi dibagi menjadi beberapa bagian , antara lain berdasarkan karakteristik agen:
a. Infektivitas dibuktikan dengan kemampuan agen untuk berkembang biak ke
dalam jaringan penjamu
b. Patogenesis dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya
benjolan-benjolan kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah
tanpa nanah
c. Virulensi penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan
menyerang dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat
seunur hidup
d. Toksisitas yaitu dibuktikan dengan kemampuan agen untuk merusak jaringan
kulit dalam tubuh penjamu
e. Invasitas dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang
satu dengan yang lainnya
Klasifikasi frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi:
a) Pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri
frambusia
b) Secondary stage terjadi lesi infeksi bakteri treponema pada kulit
c) Latent stage bakteri relaps atau gejala hampir tidak ada
d) Tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan (Smith, 2006 ;
Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005)

2.4 Etiologi
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh
treponema pallidum sub spesies pertenue yang merupakan saudara dari treponema
penyebab penyakit sifilis tetapi penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang
dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita dengan kulit
yang sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim teropis dengan
karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan dengan banyaknya
jumlah penduduk miskin. Selain itu sanitasi lingkungan, kurangnya fasilitas air bersih
juga mempengaruhi. Kemudian lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya
fasilitas kesehatan umum yang memadai juga menjadi salah satu faktornya.
Penularan penyakt framusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung (Depkes, 2005) yaitu:
1. Penularan secara langsung (Direct contact)
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita
ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung
treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang penderita bersentuhan
dengan kulit orang lain yang ada lukanya.
2. Penularan secara tidak langsung (Indirect contact)
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan
benda atau serangga, tetapi hal ini sangan jarang.
Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput
lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke
dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh
masuknya Treponema pertenue dapat mengalami 2 kemungkinan:
a. Infeksi Effective
infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit
berkembang biak, menyebar didalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala
penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk
dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya, orang yang mendapat
infeksi tidak kebal terhadap penyakit.
b. Infeksi ineffective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk dalam kulit tidak
dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-
gejala penyakit. Infeksi ineffective dapat terjadi jika Treponema pertenue
yang masuk dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup banyaknya,
orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit
frambusia. (Depkes, 2005)

2.5 Manifestasi Klinis


Penyakit frambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan
saraf. Tidak ada juga frambusia kongenital, namun pada daerah endemis saat musim
hujan pendertia baru akan bertambah. Treponema pertenue akan masuk ketubuh
penderita melalui lesi pada kulit. Dan frambusia dibagi menjadi 3 stadium:
1. Stadium I
Pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma, masa tunas berkisar
antara 3-6 minggu. Kelainan papul yang eritematosa, menjadi besar berupa ulkus
dengan dasar papilomatosa. Jaringan granulasi banyak mengeluarkan serum
bercampur darah yang mengandung treponema. Serum mengering menjadi krusta
berwarna kuning kehijauan, pembesaran kelenjar limfe regional konsistensikeras
dan tidak nyeri. Stadium satu dapat menetap beberapa bulan kemudian sembuh
sendiri dengan meninggalkan sikatriks yang cekung dan atrofik.
2. Stadium II
Dapat timbul setelah stadium pertama sembuh atau sering terjadi tumpang
tindih antara stadium satu dan stadium dua (overlapping). Erupsi yang generalisata
timbul pada 3 – 12 bulan setelah penyakit berlangsung. Kelainannya berkelompok,
tempat predileksi di sekeliling lubang badan, muka dan lipatan-lipatan tubuh. Papul
papul yang milliar menjadi lentikular dapat tersusun korimbiform, arsinar atau
numular. Kelainan ini membasah, berkrusta dan banyak mengandung treponema.
Pada telapak kaki dapat terjadi keratoderma jalannya seperti kepiting karena nyeri
tulang ekstremitas atas dan bawah, spina ventosa pada jari anak-anak, polidaktilitis,
sinar rontgen tampak rarefaction pada korteksdan destruksi pada perios
3. Stadium Lanjut
Sifatnya destruktif menyerang kulit, tulang dan persendian meliputi nodus
dan guma, keratoderma pada telapak kaki dan tangan, gangosa dan goundou. Pada
fase lanjut ini beberapa istilah pada frambusia stadium lanjut : nodus dapat
melunak, pecah menjadi ulkus, dapat sembuh di tengah luka dan meluas ke perifer.
Guma umumnya terdapat pada tungkai, mulai dengan nodus yang tidak nyeri,
keras, dapat digerakan, kemudian melunak, memecah dan meninggalkan ulkus
yang curam (punched out), dapat mendalam sampai ke tulang atau sendi
mengakibatkan ankilosis dan deformitas. Gangosa mutilasi pada fosa nasalis,
palatum mole hingga membentuk sebuah lubang. Goundoueksitosis tulang hidup
dan di sekitarnya, pada sebelah kanan-kiri batang hidung yang membesar. Tulang
berupa periotitis dan osteitis pada tibia, ulna, metatarsal dan metakarpal, tibia
berbentuk seperti pedang, kiste ditulang mengakibatkan fraktur spontan
2.6 Patofisiologi
Infeksi alamiah yang disebabkan oleh Treponema pallidum terhadap inang
(manusia) ditularkan melalui hubungan seksual dan infeksi lesi langsung pada kulit
atau membran selaput lendir pada genetalia. Pada 10-20 kasus lesi primer merupakan
intrarektal, perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat menembus
membran selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang rusak.
Spirochetasecara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk dan beberapa
menyebar didekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran darah. Dua hingga 10
minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah infeksi dan memecah belah
membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre).
Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang
berupa macula papular merah diseluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul yang
lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut. (Djuanda, et al.,
2007).
Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena mengandung banyak
spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh dalam waktu 3-5 tahun. Pada
pasien dengan infeksi laten penyakitakan berkembang ke tahap tersier ditandai
dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit, tulang dan hati.
lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value insuffiency). lesi tertier
treponema jarangditemua dan respon jaringan yang meningkat ditandai dengan
adanya persensitivitas organisme. Treponema yang menahum dan atau laten
terkadang infeksi dimata atau sistem saraf pusat (Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et
al,1990)

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan dark field microscopy
Dengan menggunakan teknik mikroskop,dark field microscopy
membutuhkan sampel segar dari lesi stadium I dan stadium II awal. Untuk
pemeriksaan dark field microscopy,dengan menggunakan pencahayaan yang gelap
treponema terlihat seperti galur atau benang perak 13kali diameter sel darah
merah. Beberapa berbentuk spiral regular (1,5 μm) yang tampak terikat kuat
sepanjang badannya dengan karakteristik bergerak memutar dengan beberapa kali
gerakan fleksi. Pemeriksaan ini membutuhkan tenaga yang terampil dan harganya
cukup mahal sehingga pemeriksaan ini hanya dilakukan pada laboratorium
intermediet dan rujukan.
2. Pemeriksaan serologi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap treponema, dan
hanya dapat dilakukan apabila penyakit sifilis genital telah disingkirkan.
Pemeriksaan serologi yang biasa digunakan standar untuk sifilis juga memberikan
reaksi positif pada penyakit frambusia, pinta, dan non veneral endemik sifilis.
Sehingga pemeriksaan serologi untuk penyakit sifilis dapat juga digunakan untuk
penyakit frambusia seperti VDRL (Veneral Disease Research Laboratory) dapat
positif pada semua fase kecuali pada lesi fase awal. Hasil tersebut juga dapat
dikonfirmasi dengan menggunakan treponemal test yakni dengan TPHA
(Treponema pallidum hemaggulitination), microhemagglutination T.pallidum
(MHA-TP), flurosent Treponema antibodi absorption (FTA-ABS). Pemeriksaan ini
tidak mahal dan mudah dan cepat.Serologi ini merupakan sebuah pemeriksaan
yang paling dapat dipercaya dan dapat digunakan pada semua stadium penyakit,
selain itu tidak membutuhkan sampel yang segar. Tes serologi dilakukan dengan
menggunakan rapid plasma reagent (RPR) VDRL, fluorescent treponema
antibodies (TPHA).
3. Pemeriksaan histopatologi
Histopatologi menunjukkan gambaran akantosis, papilomatosis, edema
epidermal, dan mikroabses intraepidermal dengan neutrofil. Pada dermis tampak
infiltrat padat yang terdiri atas sel plasma, limfosit, histiosit, neutrofil, eosinofil
dan proliferasi endotel.

2.9 Penatalaksanaan
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan
pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif
pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan
eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai
berikut :
 Bila sero positif  >50%  atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5%
maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
 Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5%
maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan
pengobatan
 Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun <
2% maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan
 Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan  seluruh
murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb:
Pilihan utama
Umur Nama obat Dosis Pemberian Lama
pemberian
< 10 thn Benz.penisilin 600.000 IU IM Dosis Tunggal
≥ 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM Dosis Tunggal
Alternatif
< 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4Oral 15 hari
dosis
8-15 tahun Tetra atau erit.250mg,4×1 hri Oral 15 hari
>8 tahun Doxiciclin 2-5mg/kgBB bagi 4Oral 15 hari
dosis
Dewasa 100mg 2×1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita
frambusia yang alergi terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada
ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun

2.10 Komplikasi
Apabila tatalaksana dilakukan pada stadium awal, maka tingkat kesembuhan
tinggi dan tidak ada kecacatan Tanpa pengobatan, sekitar 10% dari individu yang
menderita frambusia akan mengalami komplikasi karena penyakit ini dapat
menyebabkan kerusakan berat pada kulit dan tulang. Hal ini juga dapat menyebabkan
cacat pada kaki, hidung, mulut, dan rahang atas.Tidak ada vaksin untuk mencegah
Frambusia. Prinsip-prinsip pencegahan didasarkan pada pencegahan transmisi dan
diagnosis dini

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1) Anamnesa
Pada pengkajian dilakukan anamnesa dengan menggunakan metode
wawancara dan pemeriksaan fisik secara langsung guna memperoleh data
yang akurat. Pemeriksaan fisik pada sistem integumen sebaiknya
menggunakan metode head to toe. Kemudian Data yang diperoleh tersebut
digunakan sebagai acuan dalam membuat rencana asuhan keperawatan.
(1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat lengkap, pekerjaan (saat ini
dan sebelumnya), status perkawinan, agama dan suku bangsa, tanggal dan
jam masuk ke rumah sakit, nomor register, diagnosa medis.
(2) Keluhan Utama.
Keluhan utama merupakan keluhan yang dirasakan sangat mengganggu
(gejala terberat) yang mendorong pasien datang ke pelayanan kesehatan.
Biasanya klien dengan frambusia mengeluh Gatal-gatal dan terdapat
benjolan-benjolan pada kulit.
(3) Riwayat Kesehatan.
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan sejak kapan klien merasakan keluhan seperti yang ada pada
keluhan utama dan tindakan apa saja yang dilakukan klien untuk
menanggulanginya.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Apakah klien dulu pernah menderita penyakit seperti ini atau penyakit
kulit lainnya.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti ini atau
penyakit kulit lainnya.
d. Paparan lingkungan
Identifikasi adanya kemungkinan paparan radiasi, zat kimia, dan lain-
lain yang berasal dari lingkungan sekitar klien.
e. Pegkajian Psikososial
Mengkaji persepsi klien terhadap penyakit frambusia yang dialaminya.
Klien menganggap penyakitnya adalah cobaan dari Tuhan atau
hukuman. Kemudian dalam melaksanakan tindakan-tindakan untuk
kesembuhannya apakah klien kooperatif atau tidak.
f. Pengkajian spiritual
Kaji kebiasaan ibadah klien sebelum sakit dan selama sakit.
2) Pemeriksaan fisik
(1) TTV
Pada klien frambusia TTV yang meliputi tekanan darah, nadi, suhu, dan
RR dalam batas normal. Kecuali jika keadaan klien semakin parah sampai
mengalami infeksi, maka klien mengalami hipertermi.
(2) Pengkajian fisik
a. Pola aktivitas dan istirahat
1 Kelemahan
2 Gelisah
3 Susah bergerak
4 Susah tidur
5 Pusing
b. Pola sirkulasi
1. Turgor kulit menurun
2. Kerusakan integritas kulit
c. Pola sensorik
1. Sensitifitas kulit terhadap rangsang menurun
2. Pertahanan tubuh menurun
d. Pola nutrisi dan cairan
1. Anoreksia
2. Berat badan menurun
3. Dehidrasi
e. Pola kepercayaan diri
1. Perubahan postur tubuh
3.2 Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Data subjektif: Menembus membran selaput Kerusakan integritas
Terdapat banyak lesi lendir atau masuk melalui kulit
berupa tonjolan tonjolan jaringan epidermis yang rusak
pada kulit klien
Menjadi besar berupa ulkus
Data objektif: dengan dasar papilomatosa.
Ada rasa gatal pada kulit
klien Terdapat lesi pada kulit

Kerusakan integritas kulit

Data Etiologi Masalah


Data subjektif: Menembus membran selaput Resiko infeksi
Terlihat cairan berupah lendir atau masuk melalui
pus yang bercamur dengan jaringan epidermis yang rusak
darah pada luka ditubuh
klien Menjadi besar berupa ulkus
dengan dasar papilomatosa.
Data objektif:
Jaringan granulasi banyak
mengeluarkan serum
bercampur darah yang
mengandung treponema

Kerusakan kulit dan


pertahanan tubuh menurun
Resiko infeksi

Data Etiologi Masalah


Data subjektif: Menembus membran selaput Gangguan mobilitas
Klien terlihat lemas dan lendir atau masuk melalui fisik
tidak mampu untuk jaringan epidermis yang
beraktifitas rusak

Data objektif: Pada stadium lanjut bersifat


Klien merasa sakit pada destruktif
persendihan dan merasa
tubuhnya lemas Menyerang kulit, tulang dan
persendian meliputi nodus
dan guma, keratoderma pada
telapak kaki dan tangan,
gangosa dan goundou.

dapat mendalam sampai ke


tulang atau sendi
mengakibatkan ankilosis dan
deformitas

Meneyebabkan kecatatan

Gangguan mobilitas fisik

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Kerusakan integritas kulit b.d terdapat lesi pada kulit
2. Resiko infeksi b.d kerusakan kulit dan pertahan tubuh menurun
3. Gangguan mobilitas fisik b.d kecatatan
3.4 Intervensi Keperawatan
Domain 11 Safety/Protection
Class 2 Phisical Injury
00046 Impaired skin integrity
Diagnosa: Kerusakan integritas kulit b.d terdapat lesi pada kulit
NOC NIC
 Setelah dilakukan intervensi Perawatan luka (3660)
keperawatan, integritas kulit teratasi 1. Pantau karakteristik luka, termasuk
 Elastisitas kulit membaik drainase, warna, ukuran, dan bau
 Lesi pada kulit terobati 2. Ukur tempat luka, yang sesuai
3. bersihkan luka dengan larutan PZ, atau
dengan air sabunpada pinggiran luka
4. Lakukan perawat ulkus kulit, sesuai
kebutuhan
5. Berikan salep yang sesuai dengan kulit
/ lesi, yang susai
6. Periksa luka dengan setiap perubahan
balutan
7. Bandingkan dan catat setiap perubahan
luka
8. Anjurkan pasien atau keluarga tentang
produk perawatan luka

Domain 11 Safety/Protection
Class 2 Phisical Injury
00004 Risk for infection
Diagnosa: Resiko Infeksi b.d kerusakan kulit dan pertahanan tubuh menurun
NOC NIC
 Terindefikasi resiko infeksi Infection Control (6540)
 Terjaganya kebersihan lingkungan 1. Pertahankan teknik aseptik
 Dapat menggunakan universal 2. Cuci tangan sebelum dan sesudah
precaution dalam melakukan tndakan tindakan keperawatan
keperawatan 3. Gunakan baju, sarung tangan, dan
 Dapat melakukan strategi kontrol masker sebagai alat pelindung
infeksi 4. Tingkatkan intake nutrisi
5. Berikan terapi antibiotik

Domain 4 Activity/Rest
Class 2 Activity/Exersice
00085 Impaired physical mobility
Diagnosa: Gangguan mobilitas fisik b.d kecatatan
NOC NIC
 Mampu melakukan mobilitas Exercise Therapy (0221)
disekita tempat tidur 1. Bantu klien untuk ambulasi awal untuk
 Mampu melakukan latihan ROM mendorong mobilisasi sesuai kemampuan
secara pasih/aktif 2. Latih atau ajarkan penggunanan alat
 Mampu melakukan latihan berjalan bantu berjalan jika diperlukan
pada jarak yang pendek sampe 3. Bantu pasien untuk posisi atau
sedang pergerakan secara optimal
4. Lakukan ROM aktif atau pasih pada
klien

Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pemberantasan penyakit


frambusia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2005.
World Health Organization. Regional strategy on eradication of yaws 2006-2010.
Geneva: World Health Organization; 2006.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Profil kesehatan Indonesia 2006. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2007.
Boedisusanto RI, Waskito F, Kushadiwijaya H. Analisis kondisi rumah, sosial dan
perilaku sebagai faktor risiko kejadian frambusia di Kota Jayapura tahun
2007.
Pedoman Eradikasi Frambusia, 2007, Departemen Kesehatan RI, Dirjen Pengendalian
dan Penyehatan Lingkungan..
Hook III EW. Nonsyphilitic treponematoses. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil
Medicine. 24th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier; 2011.
Amin Robed, Sattar A, Basher A, Faiz M. Eradication of yaws.J Clin Med
Res.2010vol 2(3). h49-54.
Tanaefeto, Yursinus G.A. Dkk. 2010. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Pencegahan Penyakit Frambusia. Program studi Pendidikan Ners Fakultas
Keperawatan Universitas Airlangga. Diakses tanggal 10 Maret 2016
www.journal.unair.ac.id
Wanti. Dkk. 2013 Kondisi Sarana Air Bersih, Perilaku Hidup Bersih dan Sehait
Terhadap Frambusia pada Anak-anak. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional. Diakses tanggal 10 Maret 2016 www.jurnalkesmas.com

Anda mungkin juga menyukai