Anda di halaman 1dari 22

FRAMBUSIA

1. Pengertian
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan olehTreponema pallidum sub
spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema penyebab penyakit sifilis),
penyebarannya tidak melalui hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak
langsung antara kulit penderita dengan kulit sehat. Penyakit ini tumbuh subur terutama
didaerah beriklim tropis dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang
dikombinasikan dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang buruk,
kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas
kesehatan umum yang memadai.
2. Insiden dan Epidemologi
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika,
Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 150 juta penderita.
Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun
1954 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastic dari jumlah
penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya
fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan
sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Masih adalah frambusia di Indonesia? Jawabannya masih ada, tersebar di daerah kantongkantong kemiskinan. Pada tahun 1990, 21 provinsi dari 31 provinsi di Indonesia melaporkan
adanya penderita frambusia. Ini tidak berarti bahwa provinsi yang tidak melaporkan adanya
frambusia di wilayah mereka tidak ada frambusia, hal ini sangat tergantung pada kualitas
kegiatan surveilans frambusia di provinsi tersebut.
Pada tahun 1997 hanya enam provinsi yang melaporkan adanya frambusia dan pada saat
krisis di tahun 1998 dan 1999 tidak ada laporan sama sekali dari semua provinsi. Tahun 2000
sampai dengan tahun 2004, 8-11 provinsi setiap tahun melaporkan adanya frambusia.
Pemerintah pada Pelita III (pertengahan pemerintahan Orde Baru) menetapkan bahwa
frambusia sudah harus dapat dieliminasi dengan sistem TCPS (Treponematosis Control
Project Simplified) dan Crash Program Pemberantasan Penyakit Frambusia (CP3F).
Namun, kenyataannya sampai saat ini frambusia masih ditemukan. Hal ini bisa disebabkan
oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan
pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan
pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah
sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya
daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah.
3. Etiologi
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit menular bukan
seksual pada manusia yang pada umumnya menyerang anak anak berusia di bawah 15
tahun. Penyakit ini terutama menyerang kulit dan tulang serta banyak didapati pada
masyarakat miskin, pedesaan dan marjinal di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika
Selatan, dimana kepadatan penduduk, kekurangan persediaan air, dan keadaan sanitasi serta
kebersihan yang buruk terdapat di mana mana.
Jadi, penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan kemiskinan dan hampir bisa
dikatakan hanya menyerang mereka yang berasal dari kaum termiskin serta masyarakat

kesukuan yang terdapat di daerah daerah terpencil yang sulit dijangkau. Bisa dikatakan
bahwa penyakit frambusia bermula dimana jalan berakhir.
4. Manifestasi Klinis
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma)
pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai
berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang
khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut
dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan dapat
menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati akan cacat.
Penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan merusak
kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada 10% kasus frambusia,
tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga
mengenai otot dan persendian.
5. Patofisiologi
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan melalui kontak
dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun
pengelupasan. Pada mayoritas pasien, penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja,
namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi. Walaupun hamper seluruh lesi
frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri sekunder dan bekas luka merupakan
komplikasi yang umum. Setelah 5 10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima
pengobatan akan mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang
rawan, kulit, serta jaringan halus, yang akan mengakibatkan disabilitas yang melumpuhkan
serta stigma social.
6. . Cara Penularan Frambusia
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung
(Depkes,2005), yaitu :
1) Penularan secara langsung (direct contact) .
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke orang lain.
Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular (mengandung Treponema pertenue)
yang terdapat pada kulit seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada
lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan gejala
menular dengan selaput lendir.
2) Penularan secara tidak langsung (indirect contact) .
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan benda atau
serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara jejas dengan gejala menular
dengan kulit (selaput lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu
masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut.
Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat
mengalami
2
kemungkinan:
a) Infeksi effective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit berkembang biak,
menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat
terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup
banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.

b) Infeksi ineffective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak dapat
berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan gejala-gejala penyakit.
Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak
cukup virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai
kekebalan
terhadap
penyakit
frambusia
(Depkes,
2005).
Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung sedangkan penularan
secara tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI, 1988).
7. Stadium Frambusia
Frambusia umumnya menyerang anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Rata-rata terjadi
antara usia 6 10 tahun. Jenis kelamin tertentu tidak terkait dengan penyakit ini.
Terdapat 3 stadium frambusia yang dikenal, yakni :
1.
Stadium Primer.
Setelah masa inkubasi antara 9-90 hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau induk frambusia
berkembang pada sisi yang terkena penularan berupa gigitan, goresan dan gesekan dengan
kulit yang terkena frambusia. Umumnya terjadi di daerah anggota gerak (lengan dan kaki).
Lesi berwarna kemerahan, tidak nyeri dan kadang-kadang gatal-gatal berbentol/kutil (papul).
Papul-papul tersebut akan meluas dengan diameter 1-5 cm untuk kemudian menjadi ulkus
(luka terbuka) dengan dasar berwarna kemerahan seperti buah berry. Lesi-lesi satelit bisa
bersatu membentuk plak. Karena jumlah treponema yang banyak, maka lesi tersebut sangat
menular. Pembesaran kelenjar limfa, demam serta rasa nyeri merupakan tanda dari stadium
ini. Induk frambusia akan pecah dalam 2-9 bulan yang meninggalkan bekas dengan bagian
tengah yang bersifat hipopigmentasi.
1.
Stadium Sekunder.
Sekitar 6-16 minggu setelah stadium primer. Lesi kulit atau lesi anakan yang menyerupai lesi
induk tapi berukuran lebih kecil yang biasanya ditemukan dipermukaan tubuh dan sebagian
di rongga mulut atau hidung. Lesi anakan ini akan meluas, membentuk ulkus dan
menghasilkan cairan-cairan fibrin yang berisi treponema, yang kemudia mengering menjadi
krusta. Cairan tersebut menarik lalat-lalat untuk hinggap dan kemudian menyebarkannya ke
orang lain. Kadang-kadang bentuk serupa infeksi jamur dapat terlihat. Kondisi ini
diakibatkan proses penyembuhan inti dari papiloma atau gabungan dari lesi yang membentuk
bundaran. Lesi di aksila atau di lipat paha menyerupai condylomatalata. Papil-papil di telapak
kaki berberntuk tipis, hiperkeratosis yang akan menjadi erosi. Rasa nyeri menandai stadium
ini.
1.
Stadium Tersier.
Pada stadium ini, sekitar 10% kasus setelah 5-15 tahun akan kembali kambuh, yang ditandai
dengan lesi kulit yang destruktif, lesi pada tulang dengan kemungkinan terkenanya jaringan
saraf dan penglihatan penderita. Bertambahnya ukuran, tidak nyeri, perkembangan nodulnodul dibawah kulit dengan penampakan nanah nekrosis dan ulkus. Ulkus tersebut terinfeksi
karena rusaknya struktur kulit dibawahnya. Bentuk hiperkeratosis dan keratoderma pada
telapak tangan dan kaki sangat jelas terlihat. Stadium ini dapat menyerang tulang dan
persendian. Infeksi tulang (osteitis) yang terutama menyerang tulang kaki dan tangan. Infeksi
ini apabila tidak terkendali akan menyebabkan hancurnya struktur tulang, dan berakhir
dengan kecacatan dan kelumpuhan.
8.
Pemeriksaan
Diagnostik
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop

lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik langsung FA (Flourescent Antibody) dari


eksudat yang berasal dari lesi primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk
sifilis misalnya VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin)
reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa tahun kemudian,
walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa kasus penyakit ini memberikan hasil
yang terus reaktif pada titer rendah seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTAABS (fluorescent trepanomal antibody absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay
for antibody to t. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.
9. Pencegahan
Frambusia bila tidak segera ditangani akan menjadi penyakit kronik, yang bisa kambuh dan
menumbulkan gejala pada kulit, tulang dan persendian. Pada 10% kasus pasien stadium
tersier, terjadi lesi kulit yang destruktif dan memburuk menjadi lesi pada tulang dan
persendian. Kemungkinan kambuh dapat terjadi lebih dari 5 tahun setelah terkena infeksi
pertama.
Strategi Pemberantasan frambusia terdiri dari 4 hal pokok yaitu:
Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun untuk menemukan
penderita.
Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit pelayanan kesehatan (UPK) dan
dilakukan pencarian kontak.
Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan prasarana air bersih serta
penyediaan sabun untuk mandi.
10. Pengobatan
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan pengobatan utama
adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama, alternatif pengobatan dapat dilakukan
dengan pemberian tetrasiklin, doxicicline dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara
epidemiologi untuk frambusia adalah sebagai berikut :
1) Bila sero positif >50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >5% maka seluruh
penduduk diberikan pengobatan.
2) Bila sero positif 10%-50% atau prevalensi penderita di suatu desa 2%-5% maka penderita,
kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang diberikan pengobatan
3) Bila sero positif kurang 10% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun < 2% maka
penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan pengobatan
4) Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan seluruh murid dalam
kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb: Tabel 1. Dosis dan cara pengobatan
frambusia Pilihan utama Umur Nama obat Dosis Pemberian Lama pemberian < 10 thn
Benz.penisilin 600.000 IU IM Dosis Tunggal 10 tahun Benz.penisilin 1.200.000 IU IM
Dosis Tunggal Alternatif < 8 tahun Eritromisin 30mg/kgBB bagi 4 dosis Oral 15 hari 8-15
tahun Tetra atau erit. 250mg,4x1 hri Oral 15 hari >8 tahun Doxiciclin 2-5mg/kgBB bagi 4
dosis Oral 15 hari
Dewasa 100mg 2x1 hari Oral 15 hari
Keterangan : Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi
terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak
dibawah umur 8 tahun

http://emedicine.medscape.com/article/1053612-medication#showall
Background
Yaws is the most prevalent infectious, nonvenereal treponemal disease and is caused by Treponema pallidumpertenue. Yaws, endemic
syphilis (bejel), and pintacollectively constitute the endemic treponematoses. Yaws is transmitted by direct skin contact and primarily
affects children younger than 15 years, with a peak incidence in those aged 6-10 years. Similar to syphilis, yaws can persist for years as
a chronic, relapsing disease.[1, 2, 3]
Yaws continues to be endemic along the tropical belt in areas characterized by hot temperatures, high humidity, and heavy rainfall.
These conditions, coupled with the persistence of poverty, poor sanitation, overcrowding, and lack of public health surveillance, allow for
yaws perpetuation.[4]
Between the years 1952 and 1964, the World Health (WHO) and UNICEF (United Nations Childrens Fund) undertook a major
worldwide campaign to eliminate the endemic treponematoses by treating 300 million people in 46 countries with benzathine
benzylpenicillin. They achieved a 95% success rate; however, there was a reemergence of yaws in the 1970s. In 1995, the WHO
estimated that there were 460,000 infectious cases of yaws throughout the world, with 400,000 in western and central Africa, 50,000 in
Southeast Asia, and the remainder in other tropical areas. [3, 5, 6, 7, 8]
A new yaws eradication program was proposed in 2012 by the WHO following a study that showed that oral azithromycin can
successfully treat yaws in rural, tropical areas. Compared to benzathine benzylpenicillin, oral azithromycin is a simpler regimen that
does not require trained medical personnel for administration. [9] In India, yaws was successfully eradicated through a programm based
on providing information to the population at risk, screening, and treatment. The WHO has concluded that this new eradication
campaign can completely eliminate yaws worldwide by 2020. [7]

Etiology and Pathophysiology


Yaws is caused by Treponema pallidumpertenue, a slender spirochete that is serologically indistinguishable from the spirochete T
pallidum, which causes syphilis. As with the other nonvenereal treponematoses, yaws is not found in urban centers, is not sexually
transmitted, and is not congenitally acquired. The major route of infection is through direct person-to-person contact, and the
treponemes associated with yaws are located primarily in the epidermis. Children serve as the primary reservoir for yaws, spreading the
disease via skin-to-skin and skin-tomucous membrane contact.
During the incubation period, T pallidum pertenue invades the subcutaneous lymphatics and disseminates hematogenously. The
ulcerative skin lesions that develop early in the disease course are teeming with spirochetes, which can be transmitted via direct skin-toskin contact and via breaks in the skin due to trauma, bites, or excoriations. Agmon-Levin et al suggested that the antitreponemal
antibodies that build up in certain populations may also be protective for atherosclerosis while also being pathogenic for yaws. [10]
Yaws, like syphilis, has been classified into the following 4 stages:
1.

Primary stage, in which the initial yaws lesion develops at the inoculation site

2.

Secondary stage, in which widespread dissemination of treponemes results in multiple skin lesions that are similar to the
primary yaws lesion

3.

Latent stage, in which symptoms are usually absent but skin lesions can relapse

4.

Tertiary stage, in which bone, joint, and soft tissue deformities may occur

Cutaneous lesions characterize the primary and secondary stages of yaws. The tertiary stage of yaws may involve the skin, bones, and
joints.
Another classification distinguishes early yaws from late yaws. Early yaws includes the primary and secondary stages and is
characterized by the presence of contagious skin lesions. Late yaws includes the tertiary stage, when lesions are not contagious.

Epidemiology
Yaws does not occur in the United States. However, according to the last estimate by the World Health Organization (WHO), in 1995,
the prevalence of endemic treponematoses, mostly yaws, was 2.5 million, with 460,000 cases being infectious. In 2006, India declared
that yaws had been eliminated in that country. According to the WHO, in 2010, yaws continues to be common in areas with the poorest
population; the endemic nations included Indonesia, Timor-Leste, Papua New Guinea, the Solomon Islands, Vanuatu, Benin,
Cameroon, Central Africa Republic, Congo, Cote dIvoire, Democratic Republic of the Congo, Ghana, Sierra Leone, and Togo. [3, 5, 6, 7, 8]

The population at risk of contracting yaws worldwide is estimated to be 34 million, evenly distributed between men and women (17
million each). Children serve as the primary reservoir for yaws, as the condition is transmitted from person to person via direct contact.
By age group, the population considered to be at risk includes 23 million who are 14 years of age or younger and 11 million who are
between the ages of 16 and 24 years. Approximately 75% of those affected by yaws are children younger than 15 years, with the peak
incidence occurring between the ages of 6 and 10 years. [3, 5, 6, 7, 8]

Prognosis
Unless treated, yaws can become a chronic, relapsing disease after 5-15 years, with skin, bone, and joint involvement. In most patients,
yaws remains limited to the skin, but early bone and joint involvement can occur. Although yaws lesions disappear spontaneously,
secondary bacterial infections and scarring are common complications.
In 10% of yaws cases, patients enter a late stage (tertiary stage) characterized by destructive cutaneous lesions and severely
deforming bone and joint lesions. Tissue damage occurring in late yaws is irreversible. Neurologic and ophthalmologic involvement may
also occur. Relapses may occur at intervals of up to 5 years after infection.

History and Physical Examination


Yaws has 3 clinical stages: primary, secondary, and tertiary. Stages are interspersed with asymptomatic latent periods. The typical yaws
patient is young and from an endemic area and has been exposed to infected persons with active disease. [11, 12] Primary lesions, also
called mother yaw, develop at the site of inoculation. (See the images below depicting yaws lesions).

Initial papilloma, also called mother yaw or primary frambesioma (from Perine PL,
Hopkins DR, Niemel PLA, et al. Handbook of Endemic Treponematoses: Yaws, Endemic Syphilis, and Pinta. Geneva, Switzerland: World Health
Organization; 1984.).

Plantar papillomata with hyperkeratotic macular plantar early yaws (ie, crab yaws)
(from Perine PL, Hopkins DR, Niemel PLA, et al. Handbook of Endemic Treponematoses: Yaws, Endemic Syphilis, and Pinta.Geneva, Switzerland: World
Health Organization; 1984.).

Osteoperiostitis of the tibia and fibula in early yaws (from Perine PL, Hopkins DR,
Niemel PLA, et al. Handbook of Endemic Treponematoses: Yaws, Endemic Syphilis, and Pinta. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1984.).

Early yaws papillomata (from Perine PL, Hopkins DR,


Niemel PLA, et al. Handbook of Endemic Treponematoses: Yaws, Endemic Syphilis, and Pinta. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1984.).

Early ulceropapillomatous yaws on the leg (from Perine PL, Hopkins DR, Niemel
PLA, et al. Handbook of Endemic Treponematoses: Yaws, Endemic Syphilis, and Pinta. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1984.).

Squamous macular palmar yaws (from Perine PL,


Hopkins DR, Niemel PLA, et al. Handbook of Endemic Treponematoses: Yaws, Endemic Syphilis, and Pinta. Geneva, Switzerland: World Health
Organization; 1984.).

Primary stage
Early yaws lesions include the following:

Papilloma
Serpiginous papilloma
Ulceropapillomata
Squamous macules
Maculopapules
Nodules
Plaques
Hyperkeratosis of palms and soles
Bone and joint lesions
Generalized lymphadenopathy (may occur)
The initial yaws lesion is a papule that enlarges to become a papilloma or frambesioma. The yaws papilloma resolves spontaneously
after 3-6 months. Bone and joint involvement may occur in early disease and may cause pain and swelling. Lymphadenopathy, fever,
and joint pain may accompany this stage.
After an incubation period of 9-90 days (with an average of 3 weeks), the primary lesion, or the mother yaw, develops at the site of
inoculation after a scratch, bite, or abrasion of exposed skin, most commonly on the legs, feet, or buttocks. The primary lesion is a
reddish, nontender, and, occasionally, pruritic papulonodule.
The mother yaw ulcer develops a honey-brown crust and enlarges horizontally to 1-5 cm in diameter, sometimes coalescing with
satellite lesions. The crust frequently sloughs and reveals a raspberrylike base. On rare occasions, a primary lesion is not seen.
Because the exudate of the raspberrylike ulcer is teeming with treponemes, these lesions are considered highly infectious. After the
mother yaw heals, an atrophic scar with central hypopigmentation and peripheral hyperpigmentation remains.

Secondary stage
Following a period of latency (about 6-16 weeks after the primary stage), disseminated skin lesions, bone lesions, and constitutional
symptoms occur. The cutaneous lesions, or the daughter yaws, resemble the mother yaw but are smaller (up to 2 cm in diameter) and
are frequently located adjacent to body orifices, particularly the mouth and the nose. The daughter yaws expand, ulcerate, and exude a
fibrinous fluid teeming with treponemes, which dries into a crust. The exudate attracts flies, which are bothersome to the person who is
affected.
Secondary yaws lesions may occur near primary lesions or elsewhere on the body and may last for weeks to more than 6 months.
Macules, papules, nodules, and hyperkeratotic lesions may appear. Climate influences the morphology and the number of lesions. In
the dry season, lesions are fewer and macular in appearance. Secondary lesions heal spontaneously and are generally nonscarring
and reversible.

Occasionally, central resolution yields circinate or annular scaly lesions resembling fungal infections. These lesions are referred to as
tinea yaws. Papulosquamous patches and plaques that resemble syphilis may be noted on any part of the body. Lesions in the axillae
or the groin resemble condylomata lata; lesions on the mucous membranes resemble hypertrophic mucous patches.
Papillomas on the plantar surfaces can form thick, hyperkeratotic plaques that may become fissured or eroded. Lesions are painful and
cause a deliberate crablike gait (crab yaws).
Skeletal involvement includes painful osteoperiostitis and fusiform soft tissue swelling of the metatarsals and the metacarpals. Some of
the early bone changes can be seen on radiographs. Periosteal thickening can often be palpable. [13]
Piannic onychia is a paronychia caused by papillomas in the nail fold.
Patients may develop relapses at intervals up to 5 years after infection. Relapsing lesions tend to occur in the perioral, perianal, and
periaxillary areas. The disease then enters a noninfectious latent period, and patients do not exhibit any signs or symptoms. Most
patients remain in a noninfectious latent stage for their lifetime.

Tertiary stage
In about 10% of cases, after 5-15 years of latency, a late stage develops, characterized by destructive skin lesions, bone lesions, and,
possibly, neurologic and ophthalmologic involvement. Progressively enlarging, painless, subcutaneous nodules develop, which undergo
abscess formation, necrosis, and ulceration. Lesions have well-defined edges and an indurated base with granulation tissue and
yellowish slough.
Ulcers may become infected, causing destruction of underlying structures. They may also coalesce, forming serpiginous tracts that heal
with keloid formation, which leads to crippling deformities and contractures.
Late skeletal lesions consist of hypertrophic periostitis, gummatous periostitis, osteitis, and osteomyelitis. Chronic osteitis of the tibia
can lead to saber shins. In about 1% of patients, there is occurrence of bilateral hypertrophic osteitis of the external aspects of the nasal
processes of the maxillae with persistent swelling. This condition is referred to as goundou, which slowly progresses over 5-20 years
and eventually may lead to massive destruction and perforation of the nose and the palate (gangosa).
Neurologic and ophthalmologic involvement is debated in the literature. Some reports suggest that disc atrophy, optic atrophy, and
myeloneuropathies may occur.
Attenuated yaws
Some reports have described an attenuated, less contagious form of yaws in areas of low disease prevalence. A solitary patch or a few
dry, flat, gray patches confined to the skin folds have been noted to characterize attenuated yaws. [14, 15]

Diagnostic Considerations
The differential diagnosis of skin lesions includes the following:

Idiopathic keratoderma
Calluses
Arthropod bites
Vitamin deficiencies
The differential diagnosis of nasopharyngeal lesions includes the following:

Rhinosporidiosis
Rhinoscleroma
Tuberculosis
South American blastomycosis
Mucocutaneous leishmaniasis
Nasopharyngeal carcinoma
Noma
The differential diagnosis of bone lesions includes the following:

Venereal syphilisor endemic syphilis

Tuberculosis
Osteomyelitis
Sickle cell anemia
Other problems to be considered include tinea versicolor, lichen planus, and tropical ulcer.

Differential Diagnoses

Acute Complications of Sarcoidosis

Blastomycosis

Dermatologic Manifestations of Leprosy

Impetigo

Leishmaniasis

Molluscum Contagiosum

Nongenital Warts

Pediatric Atopic Dermatitis

Pediatric Syphilis

Plaque Psoriasis

Rhinoscleroma

Scabies

Tuberculosis

Tungiasis

Approach Considerations
The diagnosis of yaws is made by clinical evaluation of lesions and is confirmed by the detection of treponemes on dark-field
microscopy of serum obtained by squeezing the bases of the lesions.
Radiologic studies are nonspecific but can include any of the following findings:

Surface striations (periostitis)


Cortical thickening with bowing (saber shin deformity)
Spiculated periosteal reaction
General osseous expansion
Gummatous destruction
Draining sinuses
Epiphyseal separation
Stellate frontal bone scans

Serologic Tests
Serologic tests for yaws are identical to those for venereal syphilis, including rapid plasma reagent (RPR) test, Venereal Disease
Research Laboratory (VDRL) test, fluorescent treponemal antibody absorption (FTA-ABS) test, T pallidumimmobilization (TPI) test,
and T pallidum hemagglutination assay (TPHA). RPR and VDRL tests are reactive 2-3 weeks after the onset of the primary lesion, and
they generally remain reactive throughout all stages.

No serologic test can distinguish yaws from other nonvenereal treponematoses; therefore, diagnosis is ultimately based on correlation
of the clinical findings, epidemiologic history, and positive serologic results that are suggestive of yaws. Biopsy of late lesions may be
needed to show characteristic histopathology.[16]

Histologic Findings
Histologic findings in early yaws include acanthosis, papillomatosis, and spongiosis. Treponemes are found in the epidermidis.
Neutrophilic exocytosis with intraepidermal microabscess formation is the most characteristic finding. The dermis has a moderate to
dense granulomatous infiltrate that is mainly composed of plasma cells and lymphocytes, with few histiocytes, neutrophils, and
eosinophils. Unlike syphilis, endothelial proliferation is absent or low.
Late yaws has histologic findings similar to those of tertiary syphilis, including an intense dermal infiltrate composed of epithelioid cells,
giant cells, lymphocytes, and fibroblasts. Caseation necrosis can also be observed. Plasma cells and histiocytes, in contrast to early
yaws, are scarce.
Silver stains (Steiner) can be used to identify numerous treponemes between keratinocytes in early yaws. They are seen in a bandlike
pattern or in clusters in the epidermis. Unlike T pallidum, which is found in both the epidermis and the dermis,T pallidumpertenue is
almost entirely epidermotropic.
Electron microscopy of early lesions demonstrates scarce treponemes in clusters in the intercellular spaces of the epidermis among
inflammatory cells, within the cytoplasm of macrophages, and in the dermis.

Approach Considerations
Penicillin is the drug of choice for yaws. After a single penicillin injection, early lesions become noninfectious after 24 hours and heal
within 1-2 weeks. Tetracycline, erythromycin, or doxycycline should be considered for patients allergic to penicillin. [17]
In one study in children in Papua New Guinea, oral azithromycin was found to be a reasonable alternative for treating yaws; in addition,
it is a simpler regimen that does not require trained medical personnel for administration. In this study, children aged 6 months to 15
years who were diagnosed with yaws were randomly assigned to receive either one 30 mg/kg oral dose of azithromycin or an
intramuscular (IM) injection of 50,000 units/kg of benzathine benzylpenicillin. After 6 months of follow-up, 96% of patients in the
azithromycin group were cured, compared with 93% in the benzathine benzylpenicillin group. [9]
A new yaws eradication program was proposed in 2012 as the result of the azithromycin study conducted in Papua New Guinea. [9] The
World Health Organization (WHO) has concluded that this new eradication campaign can completely eliminate yaws worldwide by 2020.
[7]

Epidemiologic treatment recommendations for yaws are as follows:

If greater than 50% of children are seropositive (hyperendemic), treat the entire population
If 10-50% of children are seropositive (mesoendemic), treat active cases, contacts, and all children aged 15 years or younger
If less than 10 of children are seropositive (hypoendemic), treat active cases, household members, and other obvious
contacts

Medication Summary
Penicillin remains the drug of choice for yaws. No resistant strains of T pallidumhave been reported. Benzathine benzylpenicillin is the
drug of choice for treating yaws. In remote areas where benzathine benzylpenicillin is unavailable, oral penicillin V for 7-10 days can
reduce the prevalence of yaws and is effective in treating individual children with active lesions. [18]

Antibiotics
Class Summary
Empirical antimicrobial therapy must be comprehensive and should cover all likely pathogens in the context of the clinical setting.
[19]
Benzathine benzylpenicillin should be avoided in patients who are allergic to penicillin; tetracycline, azithromycin, or erythromycin are
alternative therapies.
View full drug information

Penicillin G benzathine (Bicillin LA)

Penicillin G benzathine interferes with synthesis of cell wall mucopeptides during active multiplication, which results in bactericidal
activity. It is given as a single injection, which kills the treponemes within minutes, and lesions become noninfectious after 18-24 hours.
View full drug information

Azithromycin (Zithromax, Zmax)


Azithromycin is a semisynthetic antibiotic that is structurally similar to erythromycin. It inhibits protein synthesis in bacterial cells by
binding to the 50S subunit of bacterial ribosomes. In a study in children in Papua New Guinea, [20] oral azithromycin was found to be a
reasonable alternative for treating yaws; 96% of patients in the azithromycin group were cured, compared with 93% in the benzathine
benzylpenicillin group.
View full drug information

Tetracycline
Tetracycline treats gram-positive and gram-negative organisms, as well as mycoplasmal, chlamydial, and rickettsial infections. It inhibits
bacterial protein synthesis by binding with 30S and, possibly, 50S ribosomal subunits. Tetracycline may be used in adults and in children
who are older than 8 years and are allergic to penicillin.
View full drug information

Erythromycin (E.E.S., Erythrocin, Ery-Tab)


Erythromycin inhibits bacterial growth, possibly by blocking dissociation of peptidyl tRNA from ribosomes, causing RNA-dependent
protein synthesis to arrest. It is used for the treatment of staphylococcal and streptococcal infections. In children, the proper dosage is
determined by age, weight, and severity of infection. When twice-daily dosing is desired, half of the total daily dose may be taken every
12 hours. For more severe infections, the dose can be doubled.
Erythromycin may be used in adults and children who are allergic to penicillin.
View full drug information

Doxycycline (Adoxa, Alodox, Doryx, Vibramycin)


Doxycycline may be used in adults with a penicillin allergy. It inhibits protein synthesis and, thus, bacterial growth by binding to 30S and,
possibly, 50S ribosomal subunits of susceptible bacteria.

Frambusia merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Treponema pallidum


pertenue-bakteri yang mirip penyebab yang
agen sifilis-dan menyebar melalui kontak kulit-ke-kulit di daerah tropis lembab.
Frambusia menyebabkan menodai, dan
kadang-kadang lesi menyakitkan kulit dan tulang. Seperti sifilis, manifestasi klinis dapat
dibagi menjadi tiga
tahapan; Namun, tidak seperti sifilis, penularan dari ibu ke anak tidak terjadi. Sebuah
kampanye besar untuk memberantas frambusia di
tahun 1950-an dan 1960-an, dengan pengobatan massal masyarakat yang terkena
dampak dengan akting panjang, suntik penisilin, mengurangi
jumlah kasus dengan 95% di seluruh dunia, tapi frambusia telah muncul kembali dalam
beberapa tahun terakhir di Afrika, Asia, dan Pasifik Barat.
Pada 2012, satu dosis oral azitromisin terbukti sama efektifnya dengan penisilin
intramuskular dalam pengobatan
penyakit, dan WHO meluncurkan inisiatif baru untuk memberantas frambusia tahun
2020.
pengantar

Frambusia merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Treponema


pallidum pertenue. Tidak seperti sifilis, yang disebabkan oleh
hampir identik Treponema pallidum pallidum, patek adalah
tidak menular seksual, tetapi disebarkan oleh kulit-ke-kulit
hubungi di lingkungan lembab hangat, terutama di kalangan
anak-anak. Penyakit ini salah satu endemik, non-kelamin
treponematoses. The treponematoses lain bejel (yaitu,
sifilis endemik), yang digunakan untuk menjadi lazim di bagian
utara Afrika, Eropa Timur, dan Timur Tengah,
dan pinta, yang terbatas ke Amerika Selatan. Semua ini
penyakit mempengaruhi miskin, penduduk pedesaan.
The frambusia-dari istilah baik kata karib untuk sakit atau
lesi yaya, atau kata Afrika untuk berry yaw-dalam
umum digunakan oleh abad ke-17, ketika Belanda
dokter Willem Piso disediakan salah satu awal
deskripsi klinis mencatat penyakit di South
America.1 Pada 1679 suratnya pada penyakit kelamin, 2
Thomas Sydenham jelas dijelaskan frambusia-diyakini
menjadi umum di antara Afrika budak-dan berpikir bahwa itu
adalah penyakit yang sama seperti sifilis. Pada tahun 1905, Castellani
spirochaetes ditemukan di ulkus pasien dengan
frambusia di Ceylon.3 Karena lesi frambusia menyerupai
raspberry, penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit frambusia
tropica, dari kata Perancis untuk raspberry (framboise).
perubahan tulang khas frambusia telah ditemukan di
kerangka Homo erectus di Kenya berasal dari
1 6 juta tahun ago.4,5 filogenetik analisis mengidentifikasi
yang frambusia subspesies sebagai yang tertua dari treponema tersebut
penyakit, dan menyarankan bahwa bejel dan sifilis
subspesies berkembang subsequently.6,7 ini temuan mendukung
yang disebut hipotesis unitarian dikemukakan oleh
Hudson, yang percaya bahwa sifilis kelamin di Eropa
muncul dari patek, yang diperkenalkan ke Eropa di
abad ke-15 sebagai akibat dari budak trade.8 Alunan
T pallidum pertenue yang hampir tidak bisa dibedakan
dari manusia isolat dengan analisis molekuler telah
diisolasi dari primata non-manusia liar di Afrika tengah,
menunjukkan asal hewan kemungkinan yaws.9-11 Namun,
Data genetik yang digunakan untuk membangun pohon filogenetik yang
langka karena dari beberapa strain yang tersedia, dan beberapa
bukti menunjukkan evolusi yang cukup paralel tiga
subspecies.12 Oleh karena itu, kesimpulan tentang patek berapa umur
adalah dan dari mana asalnya harus dibuat dengan caution.13
agen penyebab
T pallidum pertenue milik keluarga Gram-negatif,
bakteri berbentuk spiral, yang Spirochaetaceae, dan erat
terkait dengan subspesies patogen lain dari T pallidum, dari
yang itu morfologis dan, sampai sekarang, serologis
identical.13 T pallidum pallidum, T pallidum endemicum
(Bejel), dan Treponema caratium (pinta) dapat dibedakan
dari T pallidum pertenue oleh klinis
Manifestasi penyakit masing-masing dan, lebih
baru-baru ini, dengan identifikasi differences.14,15 genetik minor
Sebagian besar pengetahuan kita tentang ultrastruktur, fisiologi,
mikrobiologi, dan genetika dari T pallidum pertenue datang
dari lima strain-CDC-1, CDC-2, Gauthier, Samoa D, dan
Samoa F, berbudaya di rabbits15- dan dari diawetkan nonviable
sel dari strain lainnya. T pallidum pertenue memiliki

panjang mulai dari 10 menjadi 15 m dan diameter 0 2 pm,


yang membuatnya terlihat dengan mikroskop cahaya kecuali di bawah
-Bidang gelap illumination.16 bakteri ini dikelilingi oleh
membran sitoplasma yang tertutup oleh longgar
terkait membrane.17 luar Meskipun T pallidum adalah
diduga memiliki protein integral luar-membran lebih sedikit
dibandingkan bakteri lain, beberapa protein telah
diidentifikasi dengan metode baru (misalnya, cryo elektron
tomography), dan aktivitas opsonic terhadap beberapa
protein ini telah shown.18,19 treponema
memiliki karakteristik motilitas pembuka botol disebabkan
endoflagella, 20 dan dapat berenang efisien dalam gel
lingkungan-misalnya, ikat tissue.21 virulensi ini
memainkan bagian dalam penyebarluasan patek
infeksi dan pembentukan disease.22 kronis T
pallidum dibunuh mudah dengan pengeringan, mengangkat suhu, dan
paparan oksigen. organisme mengalikan sangat lambat
(Sekali setiap 30-33 jam), 23 tidak bertahan hidup di luar
mamalia tuan rumah, dan tidak dapat tumbuh di culture.23
Kelinci dan hamster emas telah disukai
hewan untuk penyelidikan frambusia eksperimental dan
antibiotik-resistance testing.24 Langka di-vitro kerentanan
Data laboratorium ada untuk treponematoses non-kelamin.
25
Dengan uji in-vitro untuk menilai efek antibiotik pada
sintesis protein treponema, 26 Stamm dan colleagues27
menunjukkan bahwa T pallidum pertenue sensitif terhadap penisilin,
tetrasiklin, dan eritromisin pada konsentrasi dicapai
dalam serum pasien yang menerima obat sesuai
untuk rejimen direkomendasikan. Sama sistem in-vitro menunjukkan ketidakpekaan
terhadap streptomisin (hingga 500 mg / mL)
dan rifampisin (hingga 100 mg / mL) .28,29
Genomics: patek vs sifilis
T pallidum pertenue genom dibariskan di 2010,15
dan dibandingkan dengan T strain pallidum pallidum. Itu
Ukuran-kasar genom 1139 kilobases-jauh yang
yang sama, dan struktur gen dari T pallidum pertenue adalah
identik dengan T pallidum pallidum. Secara keseluruhan
urutan identitas antara dua genom adalah 99 8%,
yang menunjukkan bahwa kedua patogen yang sangat erat
related.30 Sebagian besar perbedaan antara subspesies yang
diterjemahkan ke enam daerah genom, yang mungkin berkontribusi
untuk perbedaan diamati dalam patogenisitas pada manusia
makhluk, meskipun hipotesis ini belum proven.15
Daerah urutan divergensi dapat digunakan untuk
deteksi molekuler dan diferensiasi antara sifilis
dan patek strain; Namun, opsi ini tidak mungkin dengan
tersedia tes diagnostik. Beberapa perbedaan genetik
antara T pallidum pallidum dan T pallidum pertenue memiliki
telah ditemukan, termasuk sepasang perbedaan satu basis di
daerah mengapit gen tpp15 (encoding
lipoprotein), 31 substitusi satu nukleotida pada gen gpd
(Encoding enzim hidrolase), 32 sepasang penghapusan basis di
gen tp92 (coding untuk protein permukaan), 33 variasi alel
di anggota keluarga gen tpr (yang kode untuk outermembrane
protein), 14,34 variasi urutan gen arp
(Untuk protein yang kaya asam-), 35 dan variasi urutan
intergenic spacer IGR19 (antara fliG dan hlyB
gen) 0,36 Demikian pula, Noordhoek dan colleagues37 mendeteksi

Pasangan perbedaan dasar dalam gen tpF1 dari strain Haiti B


yang pada awalnya diidentifikasi sebagai T pallidum pertenue, tapi
yang sekarang dianggap sebagai T pallidum pallidum strain.31
patogenesis
T pallidum pertenue mungkin memasuki host manusia
melalui istirahat kecil di skin.38 treponema bergerak
melalui sel-sel epitel melalui persimpangan ketat dan invasif
melampirkan permukaan fibronectin-dilapisi pada ekstraseluler yang
matriks cells.39 tuan Dalam model hamster, tingkat
penampilan dan resolusi lesi kulit bervariasi
dengan ukuran inokulum, dan minimum
Dosis infektif adalah tentang 10-10 bacteria.40,41 Organisme
muncul dalam kelenjar getah bening dalam beberapa menit dan menyebarkan
secara luas dalam beberapa jam. terinfeksi peningkatan kelenjar getah bening
substansial dalam berat badan, dan berkerumun dengan treponema untuk
beberapa weeks.41 Patologi kulit frambusia jauh seperti
bahwa sifilis kelamin; lesi awal terdiri dari epidermis
hiperplasia dan papillomatosis, sering dengan focal
spongiosis dan koleksi intraepidermal neutrofil.
Namun, sampel biopsi kulit dari pasien dengan patek
menunjukkan banyak sel plasma dalam dermis, tetapi beberapa T dan
B cells.42 Vascular perubahan frambusia kurang ditandai dari
di sifilis, dan sering absent.43,44 The patek treponema
kebanyakan ditemukan dalam kelompok ekstraseluler di atas
daerah epidermis, tidak seperti treponema dalam
subspesies pallidum, yang terletak terutama di
dermis dan dermal-epidermal junction (gambar 1) .17,45
Tuan rumah merespon frambusia infeksi dengan kedua humoral
dan respon imun seluler. fagositosis
treponema oleh makrofag-yang meningkat
opsonisasi dengan kekebalan serum-memainkan bagian penting dalam
response.41,46 ini Dalam lingkungan host bermusuhan, bakteri
dapat memiliki beberapa mekanisme survival: T pallidum
pertenue dapat menginduksi depresi dari respon mitogenik
sel limfoid normal, 47 atau mungkin merangsang perdagangan
sel T dari sirkulasi darah perifer (seperti
dilaporkan di T pallidum pallidum); 48 organisme dapat
mengeksploitasi tingkat metabolisme yang rendah untuk menjaga infeksi
sangat sedikit sel layak, dan dengan demikian menghindari respon imun
stimulasi selama penyakit laten; 49 dan antigenik
variasi dalam kandidat
outer-membran antigen protein
target (misalnya, TprK) juga bisa memiliki peran dalam kekebalan
evasion.50 Dalam model kelinci infeksi pallidum T,
hewan yang tidak diobati dengan infeksi laten tidak bisa
superinfeksi dengan sama strain.49 epidemiologi The dari frambusia di manusia-dimana
lesi kulit baru yang
jarang ditemukan pada orang dewasa-menunjukkan bahwa tidak diobati
individu dapat mengembangkan kekebalan terhadap reinfeksi, yang
mungkin strain-spesifik. Demikian pula-seperti yang dijelaskan oleh
Abraham Colles51 di abad ke-19 ibu
menyusui bayi sifilis tidak berkembang chancres
puting, sedangkan perawat basah sehat yang makan
bayi sifilis sering dilakukan.
Epidemiologi
Frambusia ditularkan oleh langsung kulit-ke-kulit, non-seksual
kontak dengan lesi menular. Karena T pallidum
pertenue adalah suhu dan kelembaban tergantung, patek adalah

ditemukan di hangat, iklim lembab, terutama di hutan


daerah tropis. Insiden lesi frambusia kulit
lebih tinggi pada musim hujan dari pada musim kemarau; 52 tinggi
kelembaban mendorong pertumbuhan riang papillomata dan
kelangsungan hidup treponema di eksudat serosa, yang
meningkatkan daya menular dan transmisi. patek didominasi
mempengaruhi anak-anak; 75% dari kasus baru di
individu lebih muda dari 15 tahun, 52,53 dan anak-anak
(Usia 2-15 tahun) merupakan reservoir utama infeksi.
Pelanggaran pada kulit penerima, seperti goresan atau
gigitan serangga, bisa membuat transmisi lebih mudah. tidak langsung
transmisi mekanik oleh lalat non-menggigit telah
disarankan pada dasar bahwa Musca spp dan Hippelates spp
lalat diproduksi infeksi pada hewan percobaan setelah
diberi makan pada kerokan dari frambusia; 54,55 Namun, tidak ada yang pasti
eksperimental
atau bukti epidemiologi pada manusia
makhluk exists.The penyakit dapat dikelompokkan dalam rumah tangga,
tetapi transmisi juga terjadi antara anak-anak di
masyarakat, sekolah, dan places.56 publik lainnya
Subspesies pertenue telah diidentifikasi di bukan manusia
primata di Afrika (17% dari populasi gorila liar
di Republik Demokratik Kongo membawa
subspesies), 57 dan penelitian menunjukkan bahwa eksperimen
inokulasi manusia dengan penyebab isolat simian
frambusia seperti disease.9,58 Namun, tidak ada bukti dari crosstransmission
antara manusia dan primata, atau
kebangkitan frambusia di negara-negara seperti Kamboja,
Malaysia, dan Vietnam, di mana kontak antara orang dan
monyet umum. Program patek pemberantasan
oleh WHO dan UNICEF di 46 negara menyebabkan pengurangan
dalam jumlah kasus dari perkiraan 50 juta di
1952, untuk 2 5 juta pada tahun 1964. Pada akhir 1970-an, penyakit
mulai muncul kembali, yang mengakibatkan Kesehatan Dunia
Resolusi Majelis pada tahun 1978 untuk memperbaharui upaya pemberantasan
disease.59 yang Namun, memperbarui upaya-terutama kontrol
di barat Afrika pada tahun 1980-gagal setelah beberapa tahun
karena kemauan politik tidak cukup dan resources.60
Kecuali untuk wilayah WHO Asia Selatan, yang terus patek
agendanya, frambusia tidak dianggap prioritas, dan
Status epidemiologi patek di seluruh dunia tetap
pasti. Ada bukti yang berkembang bahwa jumlah
kasus di beberapa negara terus increase.61-74
Gambar 2 menunjukkan data75 terbaru dari rutinitas
pengawasan di patek negara endemik dibandingkan dengan
distribusi global di 1.950,76 Karena pelaporan
frambusia tidak wajib, angka-angka ini menunjukkan hanya
Kehadiran penyakit, dan di bawah-pelaporan mungkin.
Karena tidak ada proses sertifikasi negara keluar, apakah
negara endemik tahun 1950-an telah diberantas
penyakit atau hanya tidak melaporkan tidak jelas. patek tetap
endemik di masyarakat yang hidup dalam miskin, penuh sesak,
dan kondisi yang tidak higienis, terutama di daerah pedesaan terpencil
Afrika, Asia tenggara, dan Pasifik. terbatas baru-baru ini
informasi tentang frambusia di Amerika ada, kecuali
untuk dua laporan yang diterbitkan pada tahun 2003; satu melaporkan
penghapusan frambusia di Ekuador, 73 dan yang lain 5 1%
prevalensi frambusia aktif dalam Guyana.74 pedesaan
Gambaran klinis

Adapun sifilis, manifestasi klinis dari frambusia muncul di


tiga tahap yang berbeda (gambar 3). Awal atau utama
lesi-jadi-yang disebut ibu yaw-muncul di lokasi
inokulasi pada bagian terbuka dari body.54,77 The langka
Data eksperimental menunjukkan bahwa masa inkubasi
frambusia bisa antara 10 dan 90 hari (rata-rata 21 hari) .54
Hasil serupa di masa inkubasi dilaporkan di
kohort individu yang tidak terinfeksi dengan luka atau pelanggaran
dari permukaan kulit yang terus diamati sampai
lesi primer appeared.77 Lesi primer biasanya
papul lokal, yang dapat berkembang menjadi papilloma besar
2-5 cm diameter, atau ulkus non-tender soliter dengan
merah, dasar lembab. Lesi primer yang paling umum
ditemukan pada kaki dan pergelangan kaki (65-85% kasus), 78,79 tapi bisa
berada di bagian bokong, lengan, tangan, dan wajah. lesi
biasanya sembuh setelah 3-6 bulan, dan regresi menjadi diadu
bekas luka dengan margin gelap; 80 dan hanya beberapa pasien (9-15%)
memiliki lesi primer yang bertahan pada awal dari
stage.77,79 sekunder
Lesi sekunder hasil dari limfatik dan haematogeneous
penyebaran organisme, dan dapat muncul dari
beberapa minggu sampai 2 tahun setelah lesi primer. arthralgia
dan malaise mungkin yang paling umum, meskipun tidak spesifik
gejala patek sekunder; hingga 75% dari
anak-anak muda dari 15 tahun dengan patek disajikan
dengan arthralgia di kulit sekunder Papua New Guinea.79
Lesi terdiri dari banyak limbah-limbah tak lebih kecil yang sering
menyerupai lesi papiloma, atau bersisik awal yang
teratur atau diskoid dalam bentuk. plak hiperkeratosis
dapat terbentuk pada telapak tangan dan kaki, dan fisura ke
infeksi sekunder menyakitkan yang menyebabkan karakteristik
'Kepiting-seperti' gait.81
Dalam frambusia sekunder, osteoperiostitis awal proksimal
falang dari jari-jari (yaitu, Daktilitis) atau tulang panjang
(Yaitu, lengan, tibia, atau fibula) mungkin mengakibatkan nokturnal
nyeri tulang dan pembengkakan. perubahan tulang awal biasanya
terlihat dengan foto polos (misalnya, disebut bawang layering
reaksi periosteal atau kehilangan kejelasan korteks) dan
penebalan periosteal sering palpable.82,83 perubahan Frambusia
penampilan tulang dengan cara yang sangat spesifik; ini
gangguan-the poliostotik rata jumlah terpengaruh
tulang adalah tiga dan keterlibatan tangan dan kaki adalah
common.84 Semua lesi frambusia sekunder umumnya
reversibel setelah pengobatan, mereda dalam beberapa minggu ke bulan,
dan menyembuhkan dengan atau tanpa jaringan parut. Pasien dapat memasukkan
latency setiap saat, dengan hanya bukti serologis dari
Infeksi yang tersisa, meskipun kambuh menular bisa
terjadi hingga 5 tahun dan, jarang, 10 years.85,86
Kecuali dirawat di tahap awal, frambusia bisa menjadi
kronis, kambuh, dan penyakit menodai dan dapat menyebabkan
lesi deformasi tulang yang parah dalam jangka panjang.
Meskipun tidak umum saat ini, sekitar 10% dari pasien
mengembangkan lesi tahap tersier setelah 5 tahun atau lebih
infection.52 diobati lesi kulit Akhir-tahap yang ditandai
oleh nodul berbentuk guma dengan nekrotik besar
kerusakan jaringan, yang diikuti oleh melemahkan
jaringan parut dan kontraktur. osteitis destruktif dapat mengakibatkan
ulserasi pada langit-langit mulut dan nasofaring (yaitu, gangosa) 87 atau
membungkuk tibia (yaitu, tulang kering saber). hypertrophic

periostitis di situs periarticular dapat menyebabkan eksostosis dari


paranasal maxillae (yaitu, goundou) 0,88 Tidak seperti sifilis,
T pallidum pertenue tidak diketahui menyebabkan kongenital
infeksi, mungkin karena sebagian besar infeksi patek baru
terjadi pada anak-anak daripada pada wanita subur
usia. frambusia tersier umumnya diyakini tidak menghasilkan
di disease.86 kardiovaskular atau neurologis Namun,
analisis 3645 otopsi di Gold Coast-sekarang
Ghana-antara 1921 dan 1953 menunjukkan aortitis itu,
identik dengan yang disebabkan oleh sifilis, adalah yang paling umum
penyakit kardiovaskular diidentifikasi, sedangkan bawaan
sifilis tidak terlihat pada otopsi dari 259 bayi yang meninggal
pada minggu pertama kehidupan. Penemuan ini dipimpin ahli patologi
George Edington 89 untuk menyimpulkan bahwa patek tersier dapat
menyebabkan penyakit kardiovaskular. Neurologis dan oftalmologi
Kelainan-mungkin disebabkan oleh patek-memiliki
dilaporkan, tetapi tidak ada bukti kuat dari hubungan sebab akibat
exists.58,90
Di daerah berkurang transmisi yang disebabkan oleh iklim
kondisi atau setelah pengobatan massa ekspresi klinis
dari frambusia bisa jauh lebih ringan daripada di daerah dengan tinggi
transmisi (yaitu, frambusia dilemahkan) 0,91 Gejala bisa
terdiri dari satu papilloma atau tersebar bersisik maculae, dan
banyak orang yang terinfeksi dapat asymptomatic.91-93 A ditandai
penurunan persentase kasus stadium akhir dengan
lesi destruktif telah dicatat dalam tahun.66 baru ini
jatuh mungkin konsekuensi kesehatan lebih mudah diakses
sistem, yang menghasilkan diagnosis dini dan luas
menggunakan antibiotik.
Diagnosa
diagnosis klinis frambusia umumnya langsung di
dikenal masyarakat endemik, meskipun diagnosis
frambusia dilemahkan dapat lebih menantang. Patek bisa
bingung dengan beberapa penyakit yang umum di
tropis-misalnya, ulkus tropis atau leishmaniasis kulit dalam
Pasien dengan ulkus kulit, kudis atau infeksi jamur
pada pasien dengan maculae skuamosa, dan TBC atau
penyakit sel sabit pada pasien dengan Daktilitis. Kesehatan
pekerja yang tidak akrab dengan penyakit mungkin
under-laporan atau over-laporan frambusia kecuali diagnosis
dikonfirmasi oleh techniques.65 laboratorium treponema dapat
diidentifikasi dalam persiapan basah materi dari awal
lesi dengan gelap lapangan mikroskop, bahan biopsi
bernoda dengan teknik impregnasi perak, atau
oleh imunohistokimia dengan antibodi pallidum anti-T.
86,94,95 Namun, metode ini tidak praktis dan
sensitivitas mereka dapat menurun parah ketika
beban bakteri rendah atau kelangsungan hidup treponema adalah
dikurangi dengan antibiotik oral atau antiseptics.96 topikal Karena
tes serologi yang cepat tersedia, lapangan gelap mikroskop
jarang digunakan untuk mendiagnosa treponema infections.97
tes serologis yang sama dapat digunakan untuk mendiagnosa kedua
frambusia dan sifilis. The non-treponemal aglutinasi
tes-cepat reagin plasma dan penelitian penyakit kelamin
laboratorium-positif dalam kasus yang tidak diobati, dan dapat
digunakan sebagai tes penyembuhan karena mereka biasanya kembali ke
negatif setelah pengobatan yang berhasil. Keduanya sederhana untuk dilakukan;
cepat reagin plasma dapat dibaca dengan mata telanjang,
sedangkan uji laboratorium penelitian penyakit kelamin

perlu mikroskop. Tes non-treponemal dapat memberikan


naik ke positif palsu pada pasien dengan gangguan lain,
termasuk malaria, kusta, dan diseases.98 reumatologis
Tes sering dilakukan pada pengenceran serial
serum, dan memberikan pembacaan kuantitatif atau titer, didefinisikan sebagai
pengenceran tertinggi yang memberikan hasil positif. tes
menjadi positif dalam waktu 2-4 minggu dari penampilan
primer lesion.99 A korelasi negatif antara
durasi frambusia dan titer ada, dan non-treponemal
tes bahkan bisa menjadi non-reaktif pada penyakit stadium akhir.
Besar serologis survei kohort frambusia telah menunjukkan
asosiasi titer non-treponemal rendah (<1:32) dengan
kasus tahap kedua (70-83%), sebaliknya dengan primer
kasus tahap (30-49%). 56,99,100
Tes treponemal (T pallidum haemagglutination
assay, T pallidum partikel aglutinasi assay, dan
fl uorescent treponema penyerapan antibodi) 101102 adalah
lebih spesifik, namun tetap positif untuk hidup, bahkan setelah
pengobatan yang berhasil. Baru, sederhana, dan cepat titik-ofcare
tes treponemal telah dikembangkan di baru-baru ini
tahun dalam bentuk immunochromatographic
strip,
dan sangat berguna karena mereka dapat digunakan dengan seluruh
darah dan tidak perlu refrigeration.103,104 Pada tahun 2010, sebuah
gabungan tes point-of-perawatan yang mendeteksi kedua treponema
dan antibodi non-treponemal dinilai untuk
diagnosis sifilis, dan promising.105 Dalam multi-situs
evaluasi studi di Cina, kinerja
rapid test dikombinasikan dalam pengaturan penjangkauan baik seperti
bahwa dalam pengaturan klinik, dan kinerja tidak ada
berbeda antara darah utuh, serum, dan plasma.106
Ketidakmampuan untuk serologis membedakan patek dan
sifilis dapat menjadi masalah di negara-negara di mana patek adalah
endemik dan prevalensi sifilis tinggi, karena
tes serologi yang ada tidak dapat membedakan antara
diseases.107,108 Suatu daerah penting dari penelitian
treponematoses adalah analisis T pallidum genome untuk
mengidentifikasi peptida target sehingga tes serologi yang dapat
membedakan antara subspesies dapat dikembangkan. Baru
tes PCR diagnostik untuk menentukan apakah organisme di
lesi benar-benar T pallidum pertenue juga di
pengembangan. tanda tangan genetik T pallidum pertenue
telah diidentifikasi, 14,31-35 tapi sekuensing DNA untuk mengkonfirmasi
frambusia pada pasien dengan lesi kulit yang aktif telah
dijelaskan hanya sekali dalam seorang anak 10-tahun dari Demokrat
Republik Congo.36 Real-time PCR berguna untuk mengidentifikasi
T pallidum pertenue sebagai organisme yang tidak diketahui,
dan akan
menjadi tes yang baik untuk membedakan antara pallidum T
subspesies dalam satu uji. Namun, metode tersebut
mahal, dan tidak mungkin referensi luar yang tersedia
laboratorium. Untuk tujuan rutin, diagnosis patek
akan terus bergantung pada hasil tradisional dan cepat
tes serologi dan manifestasi klinis, sementara hati-hati
dengan mempertimbangkan epidemiologi dan demografi
karakteristik
dari yaws.34,109
Pengelolaan
Longacting penisilin, diberikan sebagai satu dosis intramuskular,

terbukti efektif dalam 1948.110 dan telah menjadi


andalan pengobatan frambusia dan pemberantasan upaya untuk
masa lalu 60 years.111 A dosis tunggal intramuskular
1 2 MU dan 0 6 MU Benzathine benzilpenisilin untuk
pasien yang lebih tua dari 10 tahun, dan lebih muda dari 10 tahun,
masing-masing, adalah direkomendasikan regimen.86 dosis yang lebih besar
direkomendasikan pada sifilis karena kelamin treponema
menyerang jaringan yang sulit untuk penisilin untuk
penetrate.86 Cure tarif untuk pasien dengan awal, patek aktif
lesi lebih dari 95%. Beberapa laporan mungkin
kegagalan pengobatan penisilin di Papua New Guinea dan
di Ekuador ada, 73.112 namun temuan ini tidak dapat dibuktikan
mikrobiologis karena T pallidum tidak bisa
berbudaya. Perbedaan antara infeksi ulang dan benar
resistensi sulit, tetapi kegagalan klinis tampaknya tidak
memiliki effect.25 besar Memang, meski tiga diduga
penisilin-mengikat protein dan lipoprotein dengan
beta-laktamase aktivitas telah diidentifikasi di T pallidum,
perkembangan resistensi penisilin tidak mungkin
karena akan membutuhkan proses mutasi tahapan atau
akuisisi information.25 genetik baru
Satu dosis oral azithromycin (30 mg / kg; maksimum
2 g), yang aman dan mudah untuk memberikan, seefektif
intramuskular benzatin benzilpenisilin di
pengobatan yaws.113 Dalam meta-analisis dari antibiotik
pengobatan untuk trachoma, peneliti melaporkan tidak ada
efek samping serius setelah dosis satu 20 mg / kg
azithromycin.114 Dalam studi yang dilaporkan sideeffects kecil,
seperti mual, muntah, dan lainnya
gangguan gastrointestinal, kejadian berkisar antara
10% dan 15%. WHO merevisi kebijakan untuk pengobatan
frambusia di 2012,75 khusus merespon pertumbuhan yang
bukti kebangkitan frambusia dan kebutuhan untuk mengembangkan
strategi baru untuk pemberantasan. Atas dasar persidangan di
Papua Nugini, 113 azitromisin sekarang direkomendasikan
sebagai setara dengan regimen standar benzatin
benzilpenisilin untuk pengobatan frambusia, kontrol, dan
pemberantasan. Sedikit informasi tentang penggunaan obat-obatan
selain penisilin suntik dan azitromisin untuk mengobati
patek ada. tetrasiklin oral (500 mg setiap 6 jam; 15 hari)
atau doksisiklin (100 mg setiap 12 jam; 15 hari) telah
digunakan sebagai agen alternatif untuk pengobatan frambusia di
orang dewasa yang tidak hamil; 115-117 dan eritromisin lisan
(8-10 mg / kg setiap 6 jam; 15 hari) untuk penisilin-alergi
anak-anak muda dari 12 years.118 Efek samping
dan jadwal dosis sulit diperlukan untuk secondline ini
antibiotik dapat mengakibatkan kepatuhan miskin dan
tarif karena itu lebih tinggi dari kegagalan pengobatan daripada di
pasien diberikan dosis tunggal, diawasi perawatan.
Perubahan pengobatan yang dianjurkan dari
injeksi menyakitkan untuk pengobatan oral dosis tunggal memiliki
keuntungan besar: staf tidak terlatih diperlukan untuk
mengobati kasus di daerah terpencil, infeksi dan anafilaksis
tindakan pengendalian kejutan yang tidak perlu, dan pengobatan
lebih diterima oleh masyarakat yang membutuhkan it.119
Namun, resistensi bakteri potensial karena
Tekanan antibiotik berfungsi sebagai catatan caution.120 Dalam
USA, pasien dengan sifilis yang telah menerima makrolida
pada tahun sebelumnya untuk infeksi yang tidak terkait (terutama

pernapasan) yang kira-kira dua kali lebih mungkin untuk memiliki tahan
strain T pallidum pallidum, dibandingkan dengan pasien
yang tidak mengambil macrolides.121 Untuk Mycoplasma
genitalium, yang memiliki mutasi resistansi sama dengan
T pallidum, Ito dan colleagues122 diuji sampel sebelum
dan setelah pengobatan dan menunjukkan bahwa azitromisin dosis rendah
dapat menginduksi perkembangan resistensi.
Macrolide tahan T pallidum pallidum belum
ditemukan di Uganda, 123 Tanzania, 124 atau Madagascar125negara di mana makrolida tidak banyak used.119
resistensi makrolida di T pallidum dikaitkan dengan
perubahan situs target karena titik mutasi di
posisi Ala2058126 atau Ala2059127 dari ribosom 23S
gene.128 RNA Meskipun mutasi ini belum pernah
ditemukan di T pallidum pertenue, 126 surveilans untuk pengobatan
kegagalan dan penanda biologis perlawanan akan
penting jika azitromisin secara luas digunakan untuk pemberantasan
dari frambusia. Untuk mengatasi masalah ini perlu upaya bersama
beberapa bidang: penyalahgunaan atau pengalihan makrolida untuk
tujuan lain harus dilacak dan dosis yang benar
harus diberikan kepada setiap individu yang memenuhi syarat selama
kampanye pemberantasan; pasien harus dimonitor untuk
kegagalan pengobatan dan beralih ke Benzathine benzilpenisilin
dalam kasus seperti; analisis molekuler harus
dilakukan di laboratorium rujukan yang ditunjuk untuk mendeteksi
mutasi pada spesimen klinis dari pasien yang melakukan
tidak menanggapi treatment.120
Prognosis dan tindak lanjut
lesi frambusia menjadi non-menular dalam waktu 24 jam
pengobatan; nyeri sendi biasanya hilang dalam 24-48 jam, dan
penyembuhan lengkap dari lesi primer dan sekunder
biasanya terjadi dalam waktu 2-4 minggu setelah treatment.113,129
Walaupun pengobatan pada tahap awal menghasilkan penyembuhan di
hampir 100% dari pasien, tidak akan mundur destruktif
perubahan dalam tahap tersier akhir. Lesi stadium awal
yang belum sembuh dalam 4 minggu harus dianggap sebagai
kegagalan pengobatan. Dalam kasus tersebut, tes serologi untuk
mengkonfirmasi diagnosis frambusia penting. Jika hasilnya

Anda mungkin juga menyukai