Anda di halaman 1dari 27

Asuhan Keperawatan Frambusia

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan


kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang
berasal dari kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di
daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab
ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit
yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada
mayoritas pasien, penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja,
namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi. Walaupun
hampir seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri
sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 -10
tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan mengalami
lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang rawan, kulit,
serta jaringan halus, yang akan mengakibatkan disabilitas yang
melumpuhkan serta stigma social.
Beban Penyakit Selama periode 1990 an, frambusia merupakan
permasalahan kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di
Asia Tenggara, yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang
gencar dalam pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan
mengenai penyakit ini sejak tahun 2004. Sebelumnya, penyakit ini
dilaporkan terdapat di 49 distrik di 10 negara bagian dan pada umumnya
didapati pada suku? suku didalam masyarakat. India kini telah
mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan sasaran tidak
adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India bebas
dari penyakit ini sebelum tahun 2008. yaitu Zeroincidence + No sero
positive cases among < 5 children.
Di Indonesia, sebanyak 4.000 kasus tiap tahunnya dilaporkan dari
8 dari 30 provinsi. 95 % dari keseluruhan jumlah kasus yang dilaporkan
tiap tahunnya dilaporkan dari empat provinsi :Nusa Tenggara Timur,
Sulawesi Tenggara, Papua dan Maluku. Pelaksanaan program
pemberantasan penyakit ini sempat tersendat pada tahun-tahun terakhir,
terutama disebabkan oleh keterbatasan sumber daya. Upaya-upaya harus
diarahkan pada dukungan kebijakan dan perhatian yang lebih besar sangat
dibutuhkan demi pelaksanaan yang lebih efektif dan memperkuat program
ini.
Di Timor Leste, Frambusia dianggap penyakit endemic di 6 dari 13
distrik. Data yang dapat dipercaya tidak terdapat di negara ini. Pendekatan
yang terpadu sedang direncanakan, dengan mengkombinasikan
pemberantasan penyakit kaki gajah dan frambusia, serta pengontrolan
cacing tanah. Sinergi program semacam ini merupakan pendekatan utama
yang harus didukung.
Frambusia dapat diberantas karena penyakit ini dapat dideteksi
dengan mudah oleh petugas kesehatan di klinik-klinik serta dapat
disembuhkan dengan satu kali penyuntikan penisilin aksi lama. Secara
geografis, penyakit ini hanya terbatas pada sebuah daerah yang terpencil
dan terlokalisir di tempat tersebut. Memperkenalkan pemberantasan
frambusia dapat menjadi pintu masuk untuk pemberian penanganan
kesehatan primer ke dalam populasi yang termarjinalkan secara social dan
terisolasi secara geografis.

B. Perumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penyakit Frambusia?
2. Bagaimana etiologi dari penyakit Frambusia?
3. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Frambusia?
4. Bagaimana tanda dan gejala klinis dari penyakit Frambusia?
5. Bagaimana cara penularan dari penyakit Frambusia?
6. Bagaimana stadium dari penyakit Frambusia?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik dari penyakit Frambusia?
8. Bagaimana pengobatan dari penyakit Frambusia?
9. Bagaimana pencegahan dan pemberantasan dari penyakit Frambusia?
10. Bagaimana asuhan keperawatan dari penyakit Frambusia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari penyakit Frambusia.
2. Untuk mengetahui etiologi dari penyakit Frambusia.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit Frambusia.
4. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari penyakit Frambusia.
5. Untuk mengetahui cara penularan dari penyakit Frambusia.
6. Untuk mengetahui stadium dari penyakit Frambusia.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik dari penyakit Frambusia.
8. Untuk mengetahui pengobatan dari penyakit Frambusia.
9. Untuk mengetahui pencegahan dan pemberantasan dari penyakit
Frambusia.
10. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari penyakit Frambusia.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh
Treponema pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari
Treponema penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui
hubungan seksual, yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung
antara kulit penderita dengan kulit sehat.
Penyakit ini tumbuh subur terutama didaerah beriklim tropis
dengan karakteristik cuaca panas, banyak hujan, yang dikombinasikan
dengan banyaknya jumlah penduduk miskin, sanitasi lingkungan yang
buruk, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan
kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai.

B. Etiologi
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah
penyakit menular bukan seksual pada manusia yang pada umumnya
menyerang anak-anak berusia di bawah 15 tahun. Penyakit ini terutama
menyerang kulit dan tulang serta banyak didapati pada masyarakat miskin,
pedesaan dan marjinal di beberapa bagian Afrika, Asia dan Amerika
Selatan, dimana kepadatan penduduk, kekurangan persediaan air, dan
keadaan sanitasi serta kebersihan yang buruk terdapat di mana-mana.
Jadi, penyakit ini merupakan penyakit yang berkaitan dengan
kemiskinan dan hampir bisa dikatakan hanya menyerang mereka yang
berasal dari kaum termiskin serta masyarakat kesukuan yang terdapat di
daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau. Bisa dikatakan bahwa
“penyakit frambusia bermula dimana jalan berakhir”.

C. Patofisiologi
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab
ditularkan melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit
yang didapat melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan. Pada
mayoritas pasien, penyakit frambusia terbatas hanya pada kulit saja,
namun dapat juga mempengaruhi tulang bagian atas dan sendi. Walaupun
hamper seluruh lesi frambusia hilang dengan sendirinya, infeksi bakteri
sekunder dan bekas luka merupakan komplikasi yang umum. Setelah 5 –
10 tahun, 10 % dari pasien yang tidak menerima pengobatan akan
mengalami lesi yang merusak yang mampu mempengaruhi tulang, tulang
rawan, kulit, serta jaringan halus, yang akan mengakibatkan disabilitas
yang melumpuhkan serta stigma social.
Noordhoek, et al, (1990) mengatakan bahwa terdapat infeksi
alamiah yang disebabkan oleh Treponema pallidum terhadap inang
(manusia) ditularkan melalui hubungan seksual dan infeksi lesi langsung
pada kulit atau membran selaput lendir pada genetalia. Pada 10–20 kasus
lesi primer merupakan intrarektal, perianal atau oral atau di seluruh
anggota tubuh dan dapat menembus membran selaput lendir atau masuk
melalui jaringan epidermis yang rusak.
Spirocheta secara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk
dan beberapa menyebar di dekat nodul getah bening mungkin mencapai
aliran darah. Dua hingga 10 minggu setelah infeksi, papul berkembang di
daerah infeksi dan memecah belah membentuk ulcer yang bersih dan keras
(chancre). Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang
membuat ruang berupa maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk
tangan, kaki dan papul yang lembab, pucat (condylomas) di daerah
anogenital, axila dan mulut. (Djuanda, et al., 2007)
Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena mengandung
banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh dalam
waktu 3–5 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati
tahap primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya
lesi tersier. Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang
ketahap tersier ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous
(gummas) pada kulit, tulang dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic
aneurysm, aortic value insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua
dan respon jaringan yang meningkat ditandai dengan adanya
hypersensitivitas organisme. Treponema yang menahum dan atau laten
terkadang infeksi dimata atau sistem saraf pusat (Noordhoek, et al, 1990;
Bahmer, et al, 1990)
Pada subspecies perteneu infeksi terjadi akibat adanya kontak berulang antar
individu dalam waktu tertentu sehingga memudahkan treponema untuk
berkembang biak, infeksi bakteri treponema ssp.parteneu berbentuk
spirochetes tersebut ada dijaringan epidermis mudah menular di jaringan
kulit lecet atau trauma terbuka. Klasifikasi Frambusia terdiri dari 4 (empat)
tahap meliputi pertama (primary stage) berbentuk bekas untuk
berkembangnya bakteri frambusia; secondary stage terjadi lesi infeksi
bakteri treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala hampir
tidak ada; tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,
(Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al.,
2005).

2.4 Tanda dan Gejala


Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa
kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak
sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi
kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus
(raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit
ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan
dapat menimbulkan kecacatan 10-20 persen dari penderita yang tidak
diobati akan cacat.
Penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang
dan merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur
hidup. Pada 10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai
dengan lesi yang merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan
persendian.
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf
dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim
hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium
pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa
tunas berkisar antara 3-6 minggu. Kelainan papul yang eritematosa,
menjadi besar berupa ulkus dengan dasar papilomatosa. Jaringan granulasi
banyak mengeluarkan serum bercampur darah yang mengandung
treponema. Serum mengering menjadi krusta berwarna kuning-kehijauan,
pembesaran kelenjar limfe regional konsistensi keras dan tidak nyeri.
Stadium satu dapat menetap beberapa bulan kemudian sembuh sendiri
dengan meninggalkan sikatriks yang cekung dan atrofik. Stadium kedua;
dapat timbul setelah stadium pertama sembuh atau sering terjadi tumpang
tindih antara stadium satu dan stadium dua (overlapping). (Djuanda, et al.,
2007).
Erupsi yang generalisata timbul pada 3 – 12 bulan setelah penyakit
berlangsung. Kelainannya berkelompok, tempat predileksi di sekeliling
lubang badan, muka dan lipatan-lipatan tubuh. Papul-papul yang milliar
menjadi lentikular dapat tersusun korimbiform, arsinar atau numular.
Kelainan ini membasah, berkrusta dan banyak mengandung treponema.
Pada telapak kaki dapat terjadi keratoderma jalannya seperti kepiting
karena nyeri tulang ekstremitas atas dan bawah, spina ventosa pada jari
anak-anak, polidaktilitis, sinar rontgen tampak rarefaction pada korteks
dan destruksi pada perios, (Jawetz, et al., 2005).
Pada stadium lanjut sifatnya destruktif menyerang kulit, tulang dan persendian
meliputi nodus dan guma, keratoderma pada telapak kaki dan tangan,
gangosa dan goundou; menurut Djuanda, et al., (2007) pada fase lanjut ini
beberapa istilah pada frambusia stadium lanjut : nodus dapat melunak,
pecah menjadi ulkus, dapat sembuh di tengah luka dan meluas ke perifer;
guma umumnya terdapat pada tungkai. Mulai dengan nodus yang tidak
nyeri, keras, dapat digerakan, kemudian melunak, memecah dan
meninggalkan ulkus yang curam (punched out), dapat mendalam sampai
ke tulang atau sendi mengakibatkan ankilosis dan deformitas; gangosa:
mutilasi pada fosa nasalis, palatum mole hingga membentuk sebuah
lubang suaranya khas sengau; goundou : eksositosis tulang hidung dan di
sekitarnya, pada sebelah kanan–kiri batang hidung yang membesar; bisa
disertai demam; tulang : berupa periostitis dan osteitis pada tibia, ulna,
metatarsal dan metakarpal, tibia berbentuk seperti pedang, kiste di tulang
mengakibatkan fraktur spontan.

2.5 Cara Penularan


Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung (Depkes,2005), yaitu :
1) Penularan secara langsung (direct contact)
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari penderita ke
orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala menular
(mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit seorang
penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada lukanya. Penularan
mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas dengan gejala
menular dengan selaput lendir.

2) Penularan secara tidak langsung (indirect contact)


Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan perantaraan
benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam persentuhan antara
jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput lendir) yang luka,
Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu masuk ke dalam kulit
melalui luka tersebut.
Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue
dapat mengalami 2 kemungkinan:
a) Infeksi effective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit
berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan gejala-
gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema pertenue
yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan cukup banyaknya dan orang
yang mendapat infeksi tidak kebal terhadap penyakit frambusia.

b) Infeksi ineffective
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak
dapat berkembang biak dan kemudian mati tanpa dapat menimbulkan
gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika Treponema
pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup virulen dan tidak cukup
banyaknya dan orang yang mendapat infeksi mempunyai kekebalan
terhadap penyakit frambusia (Depkes, 2005).

Penularan penyakit frambusia pada umumnya terjadi secara langsung


sedangkan penularan secara tidak langsung sangat jarang terjadi (FKUI,
1988).

2.6 Stadium
Frambusia umumnya menyerang anak-anak berusia dibawah 15 tahun. Rata-
rata terjadi antara usia 6 – 10 tahun. Jenis kelamin tertentu tidak terkait
dengan penyakit ini. Terdapat 3 stadium frambusia yang dikenal, yakni :
1) Stadium Primer
Setelah masa inkubasi antara 9-90 hari (rata-rata 3 minggu), lesi primer atau
induk frambusia berkembang pada sisi yang terkena penularan berupa
gigitan, goresan dan gesekan dengan kulit yang terkena frambusia.
Umumnya terjadi di daerah anggota gerak (lengan dan kaki). Lesi
berwarna kemerahan, tidak nyeri dan kadang-kadang gatal-gatal
berbentol/kutil (papul). Papul-papul tersebut akan meluas dengan diameter
1-5 cm untuk kemudian menjadi ulkus (luka terbuka) dengan dasar
berwarna kemerahan seperti buah berry. Lesi-lesi satelit bisa bersatu
membentuk plak. Karena jumlah treponema yang banyak, maka lesi
tersebut sangat menular. Pembesaran kelenjar limfa, demam serta rasa
nyeri merupakan tanda dari stadium ini. Induk frambusia akan pecah
dalam 2-9 bulan yang meninggalkan bekas dengan bagian tengah yang
bersifat hipopigmentasi.
2) Stadium Sekunder
Sekitar 6-16 minggu setelah stadium primer. Lesi kulit atau lesi anakan yang
menyerupai lesi induk tapi berukuran lebih kecil yang biasanya ditemukan
dipermukaan tubuh dan sebagian di rongga mulut atau hidung. Lesi anakan
ini akan meluas, membentuk ulkus dan menghasilkan cairan-cairan fibrin
yang berisi treponema, yang kemudia mengering menjadi krusta. Cairan
tersebut menarik lalat-lalat untuk hinggap dan kemudian menyebarkannya
ke orang lain. Kadang-kadang bentuk serupa infeksi jamur dapat terlihat.
Kondisi ini diakibatkan proses penyembuhan inti dari papiloma atau
gabungan dari lesi yang membentuk bundaran. Lesi di aksila atau di lipat
paha menyerupai condylomatalata. Papil-papil di telapak kaki berberntuk
tipis, hiperkeratosis yang akan menjadi erosi. Rasa nyeri menandai
stadium ini.

3) Stadium Tersier
Pada stadium ini, sekitar 10% kasus setelah 5-15 tahun akan kembali kambuh,
yang ditandai dengan lesi kulit yang destruktif, lesi pada tulang dengan
kemungkinan terkenanya jaringan saraf dan penglihatan penderita.
Bertambahnya ukuran, tidak nyeri, perkembangan nodul-nodul dibawah
kulit dengan penampakan nanah nekrosis dan ulkus. Ulkus tersebut
terinfeksi karena rusaknya struktur kulit dibawahnya. Bentuk
hiperkeratosis dan keratoderma pada telapak tangan dan kaki sangat jelas
terlihat. Stadium ini dapat menyerang tulang dan persendian. Infeksi
tulang (osteitis) yang terutama menyerang tulang kaki dan tangan. Infeksi
ini apabila tidak terkendali akan menyebabkan hancurnya struktur tulang,
dan berakhir dengan kecacatan dan kelumpuhan.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik


Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan treponema,
VDRL, TPHA, dan pada keadaan tertentu, diperlukan pemeriksaan
patologi. Mikroskop pandangan gelap, pada fase dini, diperlukan untuk
pemeriksaan treponema. Dapat pula diaplikasikan pengecatan giemsa,
Ziel-Nelson atauu tinta Hindia untuk pemeriksaan Burry.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik
langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi
primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya
VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin)
reaktif pada stadium awal penyakit menjadi non reaktif setelah beberapa
tahun kemudian, walaupun tanpa terapi yang spesifik, dalam beberapa
kasus penyakit ini memberikan hasil yang terus reaktif pada titer rendah
seumur hidup. Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent
trepanomal antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination
assay for antibody to t. pallidum) biasanya tetap reaktif seumur hidup.

2.8 Pengobatan
Benzatin penisilin diberikan dalam dosis 2,4 juta unit untuk orang dewasa dan
untuk 1,2 juta unit anak-anak. Hingga saat ini, penisilin merupakan obat
pilihan, tetapi bagi mereka yang peka dapat diberikan tetrasiklin atau
eritromisin 2 gr/hari selama 5 – 10 hari.
Menurut Departemen Kesehatan RI, (2004) dan (2007) bahwa pilihan
pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama,
alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian tetrasiklin,
doxicicline dan eritromisin. Anjuran pengobatan secara epidemiologi
untuk frambusia adalah sebagai berikut :
1) Bila sero positif > 50% atau prevalensi penderita di suatu desa/ dusun >
5 % maka seluruh penduduk diberikan pengobatan.
2) Bila sero positif 10 – 50 % atau prevalensi penderita di suatu desa 2 – 5
% maka penderita, kontak, dan seluruh usia 15 tahun atau kurang
diberikan pengobatan.
3) Bila sero positif kurang 10 % atau prevalensi penderita di suatu desa/
dusun < 2 % maka penderita, kontak serumah dan kontak erat diberikan
pengobatan.
4) Untuk anak sekolah setiap penemuan kasus dilakukan pengobatan
seluruh murid dalam kelas yang sama. Dosis dan cara pengobatan sbb :
Tabel 1. Dosis dan Cara Pengobatan Frambusia
Pilihan utama

Umur

Nama obat

Dosis

Pemberian

Lama pemberian

10 thn

Benz.penisilin

600.000 IU

IM

Dosis Tunggal

≥ 10 tahun

Benz.penisilin

1.200.000 IU

IM

Dosis Tunggal
Alternatif

< 8 tahun

Eritromisin

30 mg/kgBB bagi 4 dosis

Oral

15 hari

8-15 tahun

Tetra atau erit.

250mg, 4×1 hri

Oral

15 hari

>8 tahun

Doxiciclin

2-5 mg/kgBB bagi 4 dosis

Oral

15 hari
Dewasa

100mg 2 × 1 hari

Oral

15 hari

Keterangan :
Tetrasiklin atau eritromisin diberikan kepada penderita frambusia yang alergi
terhadap penicillin. Tetrasiklin tidak diberikan kepada ibu hamil, ibu
menyusui atau anak dibawah umur 8 tahun.

2.9 Pencegahan dan Pemberantasan


Frambusia bila tidak segera ditangani akan menjadi penyakit kronik, yang bisa
kambuh dan menumbulkan gejala pada kulit, tulang dan persendian. Pada
10 % kasus pasien stadium tersier, terjadi lesi kulit yang destruktif dan
memburuk menjadi lesi pada tulang dan persendian. Kemungkinan
kambuh dapat terjadi lebih dari 5 tahun setelah terkena infeksi pertama.
1) Upaya Pencegahan
Upaya-upaya pencegahan dan pemberantasan yang dapat dilakukan adalah :
a) Lakukanlah upaya promosi kesehatan umum, berikan pendidikan
kesehatan kepada masyarakat tentang treponematosis, jelaskan kepada
masyarakat untuk memahami pentingnya menjaga kebersihan perorangan
dan sanitasi-sanitasi yang baik, termasuk penggunaan air dan sabun yang
cukup dan pentingnya untuk meningkatkan kondisi sosial ekonomi dalam
jangka waktu panjang untuk mengurangi angka kejadian.
b) Mengorganisir masyarakat dengan cara yang tepat untuk ikut serta
dalam upaya pemberantasan dengan memperhatikan hal-hal yang spesifik
di wilayah tersebut. Periksalah seluruh anggota masyarakat dan obati
penderita dengan gejala aktif atau laten. Pengobatan kontak yang
asimptomatis perlu dilakukan dan pengobatan terhadap seluruh populasi
perlu dilakukan jika prevalensi penderita dengan gejala aktif lebih dari
10%. Survei klinis secara rutin dan surveilans yang berkesinambungan
merupakan kunci sukses upaya pemberantasan.
c) Survey serologis untuk penderita laten perlu dilakukan terutama pada
anak-anak untuk mencegah terjadinya relaps dan timbulnya lesi infektif
yang menyebabkan penularan penyakit pada komunitas tetap berlangsung.
d) Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang mamadai untuk dapat
melakukan diagnosa dini dan pengobatan dini sebagai bagian dari rencana
kampanye pemberantasan di masyarakat (lihat butir 9A2 di atas).
Hendaknya fasilitas diagnosa dan pengobatan dini terhadap frambusia ini
merupakan bagian yang terintegrasi b pada fasilitas pelayanan kesehatan
setempat yang permanen.
e) Lakukan penanganan terhadap penderita cacat dan penderita dengan
gejala lanjut.

2) Pengawasan Penderita, Kontak, dan Lingkungan Sekitarnya


a) Laporan kepada instansi kesehatan yang berwenang : Di daerah
endemis tertentu dibeberapa negara tidak sebagai penyakit yang harus
dilaporkan, kelas 3B (lihat laporan tentang penularan penyakit)
membedakan treponematosis venereal dan non venereal dengan
memberikan laporan yang tepat untuk setiap jenis, adalah hal yang penting
untuk dilakukkan dalam upaya evaluasi terhadap kampanye
pemberantasan di masyarakat dan penting untuk konsolidasi
penanggulangan pada periode selanjutnya.
b) Isolasi : Tidak perlu; hindari kontak dengan luka dan hindari
kontaminasi lingkungan sampai luka sembuh.
c) Disinfeksi serentak : bersihkan barang-barang yang terkontaminasi
dengan discharge dan buanglah discharge sesuai dengan prosedur.
d) Karantina: Tidak perlu.
e) Imunisasi terhadap kontak : Tidak perlu.
f) Investigasi terhadap kontak dan sumber infeksi : Seluruh orang yang
kontak dengan penderita harus diberikan pengobatan, bagi yang tidak
memperlihatkan gejala aktif diperlakukan sebagai penderita laten. Pada
daerah dengan prevalensi rendah, obati semua penderita dengan gejala
aktif dan semua anak-anak serta setiap orang yang kontak dengan sumber
infeksi.
g) Pengobatan spesifik: Penisilin, untuk penderita 10 tahun ke atas dengan
gejala aktif dan terhadap kontak, diberikan injeksi dosis tunggal
benzathine penicillin G (Bicillin) 1,2 juta unit IM; 0,6 juta unit untuk
penderita usia dibawah 10 tahun.

3) Upaya Penanggulangan Wabah


Lakukan program pengobatan aktif untuk masyarakat di daerah dengan
prevalensi tinggi. Tujuan utama dari program ini adalah :
a) Pemeriksaan terhadap sebagian besar penduduk dengan survei
lapangan.
b) Pengobatan terhadap kasus aktif yang diperluas pada keluarga dan
kelompok masyarakat sekitarnya berdasarkan bukti adanya prevalensi
frambusia aktif.
c) Lakukan survei berkala dengan tenggang waktu antara 1 – 3 tahun
sebagai bagian integral dari pelayanan kesehatan masyarakat pedesaan
disuatu negara.

2.10 Asuhan keperawatan


Tabel 2. Asuhan keperawatan Klien dengan Frambusia
No.
Diagnosa Keperawatan
Tujuan
Perencanaan Keperawatan
Intervensi
Rasional
1
Kerusakan Integritas Kulit b/d Adanya Lesi
Untuk memelihara integritas kulit/mencapai penyembuhan tepat waktu
Ø Kaji kulit setiap hari. Catat warna, turgor, sirkulasi, dan sensasi. Amati
perubahan lesi
Ø Pertahankan hygiene kulit. Misalnya dengan membasuh dan
mengeringkannya dengan hati-hati dan melakukan masase dengan
menggunakan lotion atau krim
Ø Gunting kuku secara teratur

Ø Kolaborasi pemberian obat topical atau sistemik


Ø Kolaborasi pemberian salep antibiotik untuk melindungi lesi
Ø Menentukan garis dasar dimana terjadi perubahan pada status

Ø Masase meningkatkan sirkulasi kulit dan menambah kenyamanan

Ø Kuku yang panjang / kasar menimbulkan resiko kerusakan kulit


Ø Digunakan pada perawatan lesi kulit

Ø Melindungi area dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan


2
Gangguan Mobilisasi b/d Kecacatan
Mobilisasi fisik terpenuhi,
Ø Kaji ketidakmampuan bergerak klien yang diakibatkan oleh prosedur
pengobatan dan catat persepsi klien terhadap immobilisasi.

Ø Tingkatkan ambulasi klien seperti mengajarkan menggunakan tongkat dan


kursi roda.
Ø Ganti posisi klien setiap 3 – 4 jam secara periodic.

Ø Bantu klien mengganti posisi dari tidur ke duduk dan turun dari tempat
tidur.
Ø Dengan mengetahui derajat ketidakmampuan bergerak klien dan persepsi
klien terhadap immobilisasi akan dapat menemukan aktivitas mana saja
yang perlu dilakukan.
Ø Dengan ambulasi demikian klien dapat mengenal dan menggunakan alat-
alat yang perlu digunakan oleh klien dan juga untuk memenuhi aktivitas
klien
Ø Pergantian posisi setiap 3 – 4 jam dapat mencegah terjadinya kontraktur.
Ø Membantu klien untuk meningkatkan kemampuan dalam duduk dan turun
dari tempat tidur.
3
Gangguan Citra Tubuh b/d Perubahan Postur Tubuh
Pasien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri
Ø Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien (menghindari kontak mata,
ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak pada
kondisi kulit
Ø Berikan kesempatan untuk pasien mengungkapkan. Dengarkan dengan cara
yang terbuka dan tidak menghakimi untuk mengekspresikan berduka atau
ansietas tentang perubahan citra tubuh
Ø Bersikap realistis selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan

Ø Jangan memberikan keyakinan yang salah


Ø Dorong interaksi keluarga dan dengan rehabilitasi
Ø Gangguan citra diri akan menyertai setiap penyakit atau keadaan byata bagi
pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh pada
dirinya sendiri
Ø Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami. Mendukung
upaya pasien untuk memperbaiki citra diri

Ø Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien


dengan perawat
Ø Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan realita
Ø Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan terus-
menerus pada pasien dan keluarga
4
Resiko Terjadi Infeksi b/d Kerusakan Pada Kulit, Pertahanan Tubuh Menurun
· Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi
Ø Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu

Ø Tekankan pentingnya tekhnik mencuci tangan yang baik untuk semua


individu yang kontak dengan pasien
Ø Gunakan sapu tangan, masker dan tekhnik aseptic selama perawatan dan
berikan pakaian yang steril atau baru
Ø Observasi lesi secara periodic

Ø Berikan lingkungan yang bersih dan berventilasi baik. Periksa pengunjung


atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan kewaspadaan sesuai
indikasi
Ø Kolaborasi pemberian preparat antibiotic dengan dokter
Ø Memberikan informasi data dasar. Peningkatan suhu secara berulang-ulang
dari demam yang terjadi untuk menunjukkan pada tubuh bereaksi pada
proses infeksi yang baru.
Ø Mencegah kontaminasi silang, menurunkan resikoinfeksi

Ø Mencegah terpajan pada organism infeksius

Ø Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi


Ø Mengurangi pathogen pada system integument dan mengurangi
kemungkinan pasien mengalami infeksi nosocomial

Ø Membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme penyebab infeksi


5
· Ansietas b/d Perubahan Kesehatan
Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat menerima
perubahan status kesehatannnya dengan cara sehat
Ø Berikan penjelasan yang sering dan informasi tentang prosedur perawatan
Ø Libatkan pasien atau orang yang terdekat dalam proses pengambilan
keputusan
Ø Kaji status mental terhadap penyakit

Ø Berikan orientasi konstan dan konsisten

Ø Dorong pasien untuk bicara tentang penyakitnya

Ø Jelaskan pada pasien apa yang terjadi.Berikan kesempatan untuk bertanya


dan berikan jawaban terbuka atau jujur

Ø Identifikasi metode koping atau penangan siuasi stress sebelumnya

Ø Dorong keluarga dan orang yang terdekat untuk mengunjungi dan


mendiskusikan yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan pasien kejadian
masa lalu dan akan dating

Ø Kolaborasi sedative ringan sesuai indikasi


Ø Pengetahuan diharapkan menurunkan ketakutan dan ansietas, dan
memperjelas kesalahan konsep dan meningkatkan kerja sama
Ø Meningkatkan rasa control dan kerja sama, menurunkan perasaan tak
berdaya atau putus asa
Ø Pada awalnya pasien dapat menggunakan penyangkalan untuk meurunkan
dan menyaring informasi secara keseluruhan
Ø Membantu pasien tetap berhubungan dengan lingkungan dan realitas
Ø Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi terus-menerus untuk membantu
beberapa rasa terhadap situasi apa yang menakutkan
Ø Pernyataan kompensasi menujukkan realitas situasi yang dapat membantu
pasien atau orang yang terdekat menerima realita dan mulai menerima apa
yang terjadi
Ø Perilaku masa lalu yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi
saat ini
Ø Mempertahankan kontak dengan realitas keluarga, membuat rasa kedekatan
dan kesinambunga hidup

Ø Obat ansietas diperlukan untuk periode singkat sampai pasien lebih stabil
secara psikis
6
· Kurang Pengetahuan b/d Kurang Informasi Terhadap Perawatan Kulit
Pasien mendapatkan informasi yang adekuat tentang perawatan kulit
Ø Tentukan apakah pasien mengetahui tentang kondisi dirinya
Ø Pantau agar pasien mendapatkan informasi yang benar, memperbaiki
kesalahan persepsi informasi
Ø Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan
Ø Jelaskan penatalaksanaan minum obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan
perlunya terapi dalam jangka waktu lama
Ø Dorong pasien agar mendapat status nutrisi yang sehat
Ø Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau
rehabilitasi
Ø Memberikan data dasar untuk mengembangkan rencana penyuluhan
Ø Pasien harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat diperbuat

Ø Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien


Ø Meningkatkan partisipasi pasien, memahami aturan terapi dan mencegah
putus obat

Ø Penampakkan kulit mencerminkan kesehatan umum seseorang. Perubahan


kulit dapat menandakan status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang
optimal meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum
kesehatan
Ø Dukungan jangka panjang dengan evaluasi ulang continue dan perubahan
terapi dibutuhkan untuk penyembuhan optimal

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Frambusia merupakan penyakit infeksi kulit yang disebabkan oleh Treponema
pallidum sub spesies pertenue (merupakan saudara dari Treponema
penyebab penyakit sifilis), penyebarannya tidak melalui hubungan seksual,
yang dapat mudah tersebar melalui kontak langsung antara kulit penderita
dengan kulit sehat.
Frambusia, yang disebabkan oleh Treponema pertenue, adalah penyakit
menular bukan seksual pada manusia yang pada umumnya menyerang
anak-anak berusia di bawah 15 tahun.
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa
kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak
sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.
Pada awalnya, koreng yang penuh dengan organisme penyebab ditularkan
melalui kontak dari kulit ke kulit, atau melalui luka di kulit yang didapat
melalui benturan, gigitan, maupun pengelupasan.
Penyakit fambusia tidak menyerang jantung, pembuluh darah, otak dan saraf
dan tidak ada frambusia kongenital, namun daerah endemis pada musim
hujan penderita baru akan bertambah. Gejala klinis terdiri atas 3 stadium
pertama pada tungkai bawah sebagai tempat yang mudah trauma; masa
tunas berkisar antara 3-6 minggu.
Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Terjadinya infeksi yang diakibatkan oleh masuknya Treponema
partenue dapat mengalami 2 kemungkinan yaitu Infeksi effective dan
Infeksi ineffective. Terdapat 3 stadium Frambusia yang dikenal, yakni :
Stadium Primer, Stadium Sekunder, dan Stadium Tersier.
Menurut Noordhoek, et al, (1990) diagnosa dapat ditegakkan dengan
pemeriksaan mikroskop lapangan gelap atau pemeriksaan mikroskopik
langsung FA (Flourescent Antibody) dari eksudat yang berasal dari lesi
primer atau sekunder. Test serologis nontrepanomal untuk sifilis misalnya
VDRL (venereal disease research laboratory), RPR (rapid plasma reagin).
Test serologis trepanomal, misalnya FTA-ABS (fluorescent trepanomal
antibody – absorbed), MHA-TP (microhemag-glutination assay for
antibody to t. pallidum).
Pilihan pengobatan utama adalah benzatin penicilin dengan dosis yang sama,
alternatif pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian Tetrasiklin,
Doxicicline, dan Eritromisin.
Pencegahan dan Pemberantasan penyakit Frambusia dapat dilakukan dengan
cara yaitu : Upaya Pencegahan; Pengawasan Penderita, Kontak, dan
Lingkungan Sekitarnya; dan Upaya Penanggulangan Wabah.

Diagnosa Keperawatan yang sering muncul pada penyakit Frambusia adalah


Kerusakan integritas kulit b/d adanya lesi, Resiko terjadi infeksi b/d
kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun, Gangguan mobilisasi b/d
kecacatan, Gangguan citra tubuh b/d perubahan postur tubuh, Ansietas b/d
perubahan kesehatan, dan Kurang pengetahuan b/d kurang informasi
terhadap perawatan kulit.

3.2 Saran
Sebagai mahasiswa keperawatan kita harus mengetahui tentang penyakit
Frambusia. Hal ini ditujukan apabila mahasiswa menemukan kasus
Frambusia di lingkungannya, agar dapat melakukan tindakan lebih awal
pada klien dengan Frambusia. Selain itu, rencana asuhan keperawatan
pada klien dengan Frambusia sangat penting dipelajari mahasiswa agar
dapat membuat rencana asuhan keperawatan tentang Frambusia dan
merawat klien jika berhadapan langsung pada klien dengan Frambusia.
Berikut ini ada beberapa hal penting dalam strategi pemberantasan Penyakit
Frambusia yang terdiri dari 4 hal pokok, yaitu :
1. Skrining terhadap anak sekolah dan masyarakat usia di bawah 15 tahun
untuk menemukan penderita.
2. Memberikan pengobatan yang akurat kepada penderita di unit
pelayanan kesehatan (UPK) dan dilakukan pencarian kontak.
3. Penyuluhan kepada masyarakat tentang perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS).
4. Perbaikan kebersihan perorangan melalui penyediaan sarana dan
prasarana air bersih serta penyediaan sabun untuk mandi.

DAFTAR PUSTAKA

Pedoman Eradikasi Frambusia. 2007. Departemen Kesehatan RI, Dirjen


Pengendalian dan Penyehatan Lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai