Disusun oleh :
KELOMPOK 4
1. RENDRA PRAMUDYA ATMOKO
NIM.131511123014
2. KARTIKA NURAINI
NIM.131511123008
NIM.131511123018
NIM.131511123024
5. EKO OKTALFIANTO
NIM.131511123046
6. LATIFATULMUNA
NIM.131511123048
NIM.131511123080
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Morbus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium
leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol,
bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di
medium artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini. (Djuanda
A, Kosasih A, Wiryadi, et al, 2010). Selama periode 2008-2013, angka penemuan
kasus baru kusta pada tahun 2013 meruakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per
100.000 penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga
0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah mencapai target
<1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000 penduduk (KemenkesRI, 2016)
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta
pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit
umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum. (DepkesRI, 2008).
Menurut Menkes, saat ini Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus
Frambusia di Asia Tenggara. Meskipun secara nasional angka prevalensinya sudah
sangat rendah, data frambusia tahun 2009 masih ditemukan 8.309 kasus yang
tersebar di provinsi wilayah timur Indonesia yaitu NTT, Sulawesi Tenggara,
Maluku, Papua dan Papua Barat, kata Menkes. (Kemenkes RI, 2016). Frambusia
termasuk penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical disease). Indonesia
merupakan penyumbang kasus frambusia terbesar di Asia Tenggara selain India
dan Timor Leste. Di Indonesia, sampai tahun 2009 masih ada 8.309 kasus
frambusia yang menginfeksi di 18 dari 33 provinsi, lima provinsi di antaranya
termasuk kategori prevalensi tinggi. Frambusia merupakan indikator
keterbelakangan suatu negara.
Sampai saat ini, frambusia masih belum dapat dieliminasi dari seluruh
wilayah Indonesia. Meskipun secara nasional angka prevalensinya sudah kurang
dari 1 per 10.000 penduduk, beberapa provinsi masih memiliki prevalensi yang
cukup tinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Papua,
Aceh, Jambi, Maluku, dan Maluku Utara.5,8 Telah diketahui bahwa perilaku,
khususnya aktivitas mandi, merupakan faktor risiko frambusia. Penyakit ini sangat
terkait dengan kondisi rumah, perilaku, dan sosial ekonomi. Tingkat sosial
ekonomi rendah, hunian yang padat, dan kebiasaan bergantian pakaian juga
memengaruhi kejadian penyakit ini. Di Bondo Kodi, Kabupaten Sumba Barat
Daya, frambusia meningkat terus dari 174 kasus tahun 2009 menjadi 327 kasus
pada tahun 2010 dan 369 kasus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 ini, jumlah
frambusia tertinggi (43 kasus) terjadi di Desa Mali Iha yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Bondo Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya. (Wanti. dkk, 2013)
Selulitis adalah penyebaran infeksi pada kulit yang meluas hingga jaringan
subkutan. Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis,
biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus
betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis adalah peradangan pada
jaringan kulit yang mana cenderung meluas ke arah samping dan ke dalam.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya
penanggulangan penyakit Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis sebagai judul
makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis dan penanggulangannya.
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dalam
memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni sebagai berikut :
1.2.1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit Mobus Hansen, Frambusia,
Selulitis yang meliputi definisi ,dan epidemiologi
1.2.2. Untuk mengetahui apa saja etiologi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.3. Untuk mengetahui klasifikasi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.4. Untuk mengetahui manifestasi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.5. Untuk mengetahui bagaimana patogenesis penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis
1.2.6. Untuk mengetahui bagaimana peatalaksanaan penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis
1.2.7. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit Mobus
Hansen, Frambusia, Selulitis
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Frambosia
2.1.1 Definisi
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta
pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit
umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum. (DepkesRI, 2008)
Termasuk penyakit treponematosis non seksual, menular, sering kambuh
dan dapat menyebabkan kecacatan. Disebabkan oleh T. pertenue yang secara
mikroskopik dan serologik sulit dibedakan dengan Treponema lainnya. Berbeda
dengan sifilis, penyakit frambusia ini tidak mempengaruhi susunan saraf pusat
dan juga tidak menimbulkan kelainan kongenital. Secara epidemiologi penyakit
ini termasuk penyakit tropis dan di Indonesia pada awalnya ditemukan pada
hampir seluruh propinsi khususnya pada daerah yang lembab. Setelah dilakukan
penanggulangan secara nasional pada awal tahun lima puluhan, penyakit ini
sudah jarang ditemukan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata masih ditemukan
beberapa kantong frambusia terutama di Indonesia bagian timur.
Penyakit ini terutama menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun, pria
lebih banyak dari wanita, juga umumnya pada tingkat sosio-ekonomi rendah.
Secara epidemiologi dapat ditemukan dalam bentuk stadium dini dan stadium
lanjut dengan jarak waktu sekitar 5 tahun. Secara klinis dibedakan dalam bentuk
stadium primer, sekunder dan tersier. Stadium dini ditandai dengan lesi berbentuk
makulo papular/papiloma/papulo krustosa yang agak membasah/eksudatif,
sedangkan stadium lanjut lesinya kering dan berbentuk ulkus.
Secara klinis stadium primer berupa papula /papulokrustosa soliter yang
dikenal sebagai mother yaws. Stadium sekunder bentuk kelainan seperti mother
yaws tapi jumlahnya lebih banyak dan terutama pada lubang tubuh berbentuk
cincin (ring worm yaws). Stadium tersier berbentuk guma dengan ulkus
serpiginosa dan dapat meninggalkan jaringan parut yang khas. Diagnosis
ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologik dan bila
perlu dengan pemeriksaan histopatologik. (Sjamsoe, 2005)
2.1.2 Etiologi
Treponema pallidum/pertenue
2.1.3 Patofisiologi
Treponema pallidum terhadap inang (manusia) ditularkan melalui
hubungan seksual dan infeksi. Lesi langsung pada kulit atau membran selaput
lendir pada genetalia. Pada 1020 kasus lesi primer merupakan intrarektal,
perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat menembus membran
selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang rusak. Spirocheta
secara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk dan beberapa menyebar
di dekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran darah. Dua hingga 10
minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah infeksi dan memecah belah
membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre).
Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang
berupa maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul
yang lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut.
(Djuanda, et al., 2007) Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena
mengandung banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh
dalam waktu 35 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati
tahap primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi
tersier. Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap
tersier ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit,
tulang dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value
insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua dan respon jaringan yang
meningkat ditandai dengan adanya hypersensitivitas organisme.
Treponema yang menahun dan atau laten terkadang infeksi dimata atau
sistem saraf pusat (Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et al, 1990) Pada subspecies
perteneu infeksi terjadi akibat adanya kontak berulang antar individu dalam
waktu tertentu sehingga memudahkan treponema untuk berkembang biak, infeksi
bakteri treponema ssp.parteneu berbentuk spirochetes tersebut ada dijaringan
epidermis mudah menular di jaringan kulit lecet atau trauma terbuka. Klasifikasi
Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi pertama (primary stage)
berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri frambusia; secondary stage terjadi
lesi infeksi bakteri treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala
hampir tidak ada; tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,
(Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005),
dalam (-, 2012).
WOC
Penularan Daerah
langsung
Penularan tidak langsung
tropis, sosio ekonomi rendah, usia < 15 th, laki>perempuan
,,
Hubungan seks
Lesi terbuka
Treponema Pallidum
Benda / serangga
(jarang terjadi)
Spirocheta berkembang secara lokal menyebar ke nodul getah bening dan aliran darah
FRAMBEUSIA
Papula membentuk korimbiformis
Stadium awal
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6
(Bone
&skin)
=
=
=
=
b. Diagnosa
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
2) Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik
3) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh.
c. Intervensi
1) Diagnosa 1: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya
lesi.
NOC:
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; keutuhan
struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane
mukosa
Penyembuhan luka: primer; tingkat regenerasi sel dan jaringan
setelah penutupan yang disengaja
Penyembuhan luka: sekunder; tingkat regenerasi sel dan jaringan
pada luka terbuka
Tujuan dan criteria evaluasi
- Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa,
serta penyembuhan luka primer dan sekunder,
- Pasien akan menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau
perawatan luka yang optimal
- drainase purulen atau bau luka minimal
- nekrosis, selumur, lubang, perluasan luka kejaringan di bawah
kulit, atau pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada
- eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
NIC:
Perawatan luka : inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Kaji luka terhadap karakteristik tersebut
Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein,
mineral, kalori dan vitamin
NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
- Menjaga kebersihan
- Melakukan perawatan pada kulit
4) Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan
struktur tubuh.
NOC
Body image
Self esteem
Kriteria hasil :
- Body image positive
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi social
NIC
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
- Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu
Lampiran
2.2.2
2.2.3
yang disebut facies leomina (muka singa), dan mati rasa karena kerusakan
syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga menderita luka tak kunjung sembuh
dalam jangka waktu lama. Jika bila luka ditekan dengan jari tidak terasa
sakit. Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena
deformitas atau cacat tubuh. Namun pada tahap awal kusta, gejala yang
timbul dapat hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang
dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit
menjadi lebih gelap) dan eritematosa (kemerahan pada kulit). Gejala-gejala
umum pada kusta / lepra, reaksi panas dari derajat yang rendah sampai
dengan menggigil, anoreksia, nausea, kadang-kadang disertai vomitus,
cephalgia, kadang disertai dengan iritasi, orchitis dan pleuritis, kadangkadang disertai dengan nephrosia, nefritis, dan hepatospleenomegali,
neuritis. Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang
kurang memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang menekan sistem imun. (Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015).
Menurut (Nurarif, 2015) manifestasi klinis dari Morbus Hansen
diantaranya :
a. Makula Hipopigmentasi
b. Hiperpigmentasi
c. Eritematosa
d. Gejala kerusakan saraf (sensorik, motorik, autonom)
e. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiraorius atas, tulangtulang jari dan wajah
f. Kulit kering dan alopesia.
Morbus
Hansen
(Pausabasilar)
1-5 lesi
Hipopigmentasi / eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
Hanya satu cabang saraf
-
Morbus
Hansen
(Multibasilar)
> 5 lesi
Distribusi lenih simetris
Hilangnya sensasi kurang
jelas
Banyak cabang saraf
2.2.4
b. Membran mukos
c. Nodulus
d. Deformitas
Tidak ada
Terjadi dini
Multibasiler (MB)
Kecil-kecil
Halus
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika
ada terjadi pada yang
sudah lanjut
Halus, berkilat
Halusnya tidak jelas, jika
ada terjadi pada yang
sudah lanjut
Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah M. Leprae masuk ke
dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan
bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral
dengan vaskularisasiyang sedikit.
WOC
Mikrobacterium Leprae
M. Tuberkuloid
Resiko trauma
Sensabilitas
Menyerang
Ulkus saraf ulnaris, nervus popliteus, nervus aurikul
Kelumpuhan otot
Metastase
Amputasi
Gangguan aktivitas
Perubahan aktifitas
Infasif bakteri
Resti infeksi
Kerusakan integritas kulit
(Nurarif, 2015)
2.2.5
2.2.6
Pemeriksaan Penunjang
a. Tes sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan
b. Laboratorium : basil tahan asam. Diagnosis pasti apabila adanya mati
rasa dan kuman tahan asam pada penyakit kulit yang (+) (positi).
c. Pengobatan kusta/lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai
jenis kusta lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang
diberikan Dapsone (DSS) (dosis 2 x seminggu).
(Nurarif, 2015)
Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan morbus hansen adalah
menyembuhkan pasien kusta ( lepra) dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang laik untuk menurunkan insiden penyakit. Regimen
pengobatan morbus hansen di Indonesia yaitu Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi obat medikamentosa utama yang terdiri Rifampisin,
Klofamizin (Lamprene) dan DDS (Dapson / 4,4-diamino-difenil-sulfon).
Program MDT ini betujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka
putus obat, mengefektifkan waktu pengobatan dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen pengobatan MDT di
indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh
WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penderita Pauci Baciler (PB)
1) Penderita Pauci Baciler (PB) lesi satu
Diberikan dosis tunggal ROM
Rifampisin
Ofloxacin
Minocyclin
2.2.7
2.2.8
1) Identitas pasien
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan
agama
2) Keluhan utama
Klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan)
dan adanya komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan
( mati rasa pada daerah yang lesi ).
3) Riwayat penyakit sebelumnya
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit
misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak
terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang kurang baik
4) Riwayat Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular
5) Riwayat lingkungan
Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat
tidur yang kurang memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang
buruk dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang
menekan sistem imun.
6) Pemeriksaan fisik
B1
(Breathing)
B2 (blood)
B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6
(Bone = terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan
&skin)
oval, berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi
2) Gangguan citra tubuh berhubungan perubuhan penampilan fisik
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
4) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya lesi
c. Intervensi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi
Kriteria Hasil :
Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi)
Lesi berkurang
Perfusi jaringan baik
NOC
Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Hemodyalis akses
NIC
- Anjurkan pasien unttuk menggunakan pakaian yang longgar
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali )
- Monitor status nutrisi pasien
- Oleskan lotion agar kulit tetap lembab
2) Gangguan citra tubuh berhubungan perubuhan penampilan fisik
Kriteria Hasil :
Body image
Mampu mengidentifikasikan kekuatan personal
Mempertahankan interaksi social
NOC
Body image
Self esteem
NIC
Body image enhancement
tubuhnya
Monitor frekuensi mengkritik dirinya
Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan, dan
prognosis penyakit
2.3 Selulitis
2.3.1 Definisi
Selulitis adalah penyebaran infeksi pada kulit yang meluas hingga
jaringan subkutan. Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang
jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab
tersering Streptokokus betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis
adalah peradangan pada jaringan kulit yang mana cenderung meluas ke
arah samping dan ke dalam
2.3.2 Etiologi
Penyakit selulitis disebabkan oleh:
a. Infeksi bakteri dan jamur :
b.
c.
d.
e.
f. Infeksi
jamur
kronis
pada
telapak
atau
jari
kaki
Infeksi jamur kaki juga dapat membuka celah kulit sehinggan menambah
resiko bakteri penginfeksi masuk
g. Penggunaan steroid kronik
Contohnya penggunaan corticosteroid. & sengat serangga, hewan, atau
gigitan manusia
h. Penyalahgunaan obat dan alcohol
Mengurangi sistem immun sehingga mempermudah bakteri penginfeksi
berkembang
i. Malnutrisi
Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran,
mempermudah timbulnya penyakit ini.
2.3.3 Patofisiologi
Selulitis terjadi jika bakteri masuk ke dalam kulit melalui kulit yang
terbuka. Dua bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi ini adalah
streptococcus dan staphylococcus. Lokasi paling sering terjadi adalah di
kaki, khususnya di kulit daerah tulang kering dan punggung kaki. Karena
cenderung menyebar melalui aliran limfatik dan aliran darah, jika tidak
segera diobati, selulitis dapat menjadi gawat. Pada orang tua, sellulitis
yang mengenai extremitas bawah dapat menimbulkan komplikasi sebagai
tromboflebitis. Pada penderita dengan edema menahun, sellulitis dapat
menyebar atau menjalar dengan cepat sekali sedangkan penyembuhannya
lambat. Daerah nekrotik yang mendapat superinfeksi bakteri gram negatif
akan mempersulit penyembuhan.
Faktor Lain:
Usia
Infeksi Bakteri:
Imuno Defisiansi
Adanya lesi
Streptococcus grup A
DM
Stafilcoccus aureus
Cacar & Ruam Saraf
Gigitan binatang
Eksim
Menyebar ke dalam lapisan kulit & jaringan subcutan
SELLULITIS
Oedema, kemerahan
Eritema lokal pada kulit yang mengalami lesi
Rangsang reseptor nyeri
MK: Nyeri Akut
MK:
Kerusakan Integritas Kulit
Trauma jaringan
lunak
Gejala Sistemik
Demam, menggigil
MK: Hipertermi
d. Lymphangitis
e. Trombophlebitis
f. Ellulitis pada muka atau Facial cellulites pada anak menyebabkan
meningitis sebesar 8%.
g. Dimana dapat menyebabkan kematian jaringan (Gangrene), dan
dimana harus melakukan amputasi yang mana mempunyai resiko
kematian hingga 25%.
2.3.9 ASUHAN KEPERAWATAN
2.3.9.1 Pengkajian
1. Identitas
Menyerang sering pada lingkungan yang kurang bersih, selulitis biasanya
menyerang pada usia tua (>60 tahun)
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluh nyeri pada luka, terkadang disertai demam, menggigil
dan malaise
b. Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan penyebab luka pada pasien dan pernahkah sebelumnya mengidap
penyakit seperti ini, adakah alergi yang dimiliki dan riwat pemakaian obat. Serta
penyakit diabetes melitus dan pernah mengalami gigitan serangga atau manusia
c. Riwayat penyakit sekarang
Terdapat luka pada bagian tubuh tertentu dengan karakteristik berwarna merah,
terasa lembut, bengkak, hangat, terasa nyeri, kulit menegang dan mengilap
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya dikeluarga pasien terdapat riwayat mengidap penyakit selulitis atau
penyekit kulit lainnya
3. Keadaan emosi psikologi
Pasien cenderung menutupi luka yang diderita
4. Keadaan social ekonomi
Biasanya menyerang pada social ekonomi yang sederhana
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah
TD
: Menurun (< 120/80 mmHg)
Nadi
: Turun (< 90)
Suhu
: Meningkat (> 37,50)
RR
: Normal
B1 (breathing) : nafas spontan, RR normal 20x/menit, PCH (-), retraksi kosta (-),
tidak ada tanda-tanda dispnea
B2 (Blood): TD cenderung normal, tidak ada tanda-tanda perdarahan, CRT<2
detik, perfusi perifer baik,
B3 (Brain) : umumnya pasien tidak mengalami gangguan kesadaran, kesadaran
komposmentis, GCS 456, pupil isokor,
Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori
dan vitamin
Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin seperti:
pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan kelembaban yang
berlebihan
gunakan satung tangan sekali pakai
ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka
sesuai program
DAFTAR PUSTAKA
Referensi
-, 2012. Issue https://herodessolution.files.wordpress.com/2012/01/penyakitframbusia-patek-yaws.pdf..
DepkesRI, 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia, Direktur
Jendral PPM & PL. JAKARTA: s.n.
DepkesRI, 2008. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
KemenkesRI, 2016. Kusta dan Frambusia Penyakit Terabaikan.
Nurarif, 2015. NANDA NIC NOC. II penyunt. Jakarta: Medika Salemba.
Sjamsoe, E., 2005. Penyakit Kulit Yang Umum di Indonesia. Jakarta: PT
Meadical Multimedia Indonesia.