Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN FRAMBUSIA, MORBUS HANSEN, DAN SELULITIS


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Integumen

Disusun oleh :
KELOMPOK 4
1. RENDRA PRAMUDYA ATMOKO

NIM.131511123014

2. KARTIKA NURAINI

NIM.131511123008

3. R. RR. ULVANA TARA SHALLY AULIA

NIM.131511123018

4. AYU RIZKY BUDIANI

NIM.131511123024

5. EKO OKTALFIANTO

NIM.131511123046

6. LATIFATULMUNA

NIM.131511123048

7. RISNA NUR PRADANI

NIM.131511123080

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


PROGRAM ALIH JENIS B18
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA
2016

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Morbus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik oleh
Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat. Mycobacterium
leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif, tahan asam dan alkohol,
bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M. leprae belum dapat dibiakkan di
medium artifisial sehingga sulit untuk mempelajari tentang kuman ini. (Djuanda
A, Kosasih A, Wiryadi, et al, 2010). Selama periode 2008-2013, angka penemuan
kasus baru kusta pada tahun 2013 meruakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per
100.000 penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 0,79 hingga
0,96 per 10.000 (7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk) dan telah mencapai target
<1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000 penduduk (KemenkesRI, 2016)
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta
pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit
umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum. (DepkesRI, 2008).
Menurut Menkes, saat ini Indonesia merupakan penyumbang terbesar kasus
Frambusia di Asia Tenggara. Meskipun secara nasional angka prevalensinya sudah
sangat rendah, data frambusia tahun 2009 masih ditemukan 8.309 kasus yang
tersebar di provinsi wilayah timur Indonesia yaitu NTT, Sulawesi Tenggara,
Maluku, Papua dan Papua Barat, kata Menkes. (Kemenkes RI, 2016). Frambusia
termasuk penyakit tropis yang terabaikan (neglected tropical disease). Indonesia
merupakan penyumbang kasus frambusia terbesar di Asia Tenggara selain India
dan Timor Leste. Di Indonesia, sampai tahun 2009 masih ada 8.309 kasus
frambusia yang menginfeksi di 18 dari 33 provinsi, lima provinsi di antaranya
termasuk kategori prevalensi tinggi. Frambusia merupakan indikator
keterbelakangan suatu negara.
Sampai saat ini, frambusia masih belum dapat dieliminasi dari seluruh
wilayah Indonesia. Meskipun secara nasional angka prevalensinya sudah kurang
dari 1 per 10.000 penduduk, beberapa provinsi masih memiliki prevalensi yang
cukup tinggi, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tenggara, Papua,
Aceh, Jambi, Maluku, dan Maluku Utara.5,8 Telah diketahui bahwa perilaku,
khususnya aktivitas mandi, merupakan faktor risiko frambusia. Penyakit ini sangat
terkait dengan kondisi rumah, perilaku, dan sosial ekonomi. Tingkat sosial
ekonomi rendah, hunian yang padat, dan kebiasaan bergantian pakaian juga
memengaruhi kejadian penyakit ini. Di Bondo Kodi, Kabupaten Sumba Barat
Daya, frambusia meningkat terus dari 174 kasus tahun 2009 menjadi 327 kasus
pada tahun 2010 dan 369 kasus pada tahun 2011. Pada tahun 2011 ini, jumlah

frambusia tertinggi (43 kasus) terjadi di Desa Mali Iha yang berada di wilayah
kerja Puskesmas Bondo Kodi Kabupaten Sumba Barat Daya. (Wanti. dkk, 2013)
Selulitis adalah penyebaran infeksi pada kulit yang meluas hingga jaringan
subkutan. Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang jaringan subkutis,
biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptokokus
betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis adalah peradangan pada
jaringan kulit yang mana cenderung meluas ke arah samping dan ke dalam.
Berdasarkan dari fenomena diatas maka kami mengangkat masalah upaya
penanggulangan penyakit Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis sebagai judul
makalah dengan harapan dapat lebih memahami penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis dan penanggulangannya.
1.2 Tujuan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat mencapai beberapa tujuan dalam
memahami upaya penanggulangan penyakit kusta, yakni sebagai berikut :
1.2.1. Untuk mengetahui gambaran umum penyakit Mobus Hansen, Frambusia,
Selulitis yang meliputi definisi ,dan epidemiologi
1.2.2. Untuk mengetahui apa saja etiologi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.3. Untuk mengetahui klasifikasi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.4. Untuk mengetahui manifestasi Mobus Hansen, Frambusia, Selulitis
1.2.5. Untuk mengetahui bagaimana patogenesis penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis
1.2.6. Untuk mengetahui bagaimana peatalaksanaan penyakit Mobus Hansen,
Frambusia, Selulitis
1.2.7. Untuk mengetahui bagaimana upaya pencegahan penyakit Mobus
Hansen, Frambusia, Selulitis

BAB II

TINJAUAN TEORI
2.1 Frambosia
2.1.1 Definisi
Frambusia disebut juga patek atau puru, disebabkan oleh Treponema
pertenue, dan hanya terdapat di daerah tropis yang tinggi kelembabannya serta
pada masyarakat dengan sosio-ekonomi rendah. Penyakit ini menyerang kulit
umumnya di tungkai bawah, bentuk destruktif menyerang juga tulang dan
periosteum. (DepkesRI, 2008)
Termasuk penyakit treponematosis non seksual, menular, sering kambuh
dan dapat menyebabkan kecacatan. Disebabkan oleh T. pertenue yang secara
mikroskopik dan serologik sulit dibedakan dengan Treponema lainnya. Berbeda
dengan sifilis, penyakit frambusia ini tidak mempengaruhi susunan saraf pusat
dan juga tidak menimbulkan kelainan kongenital. Secara epidemiologi penyakit
ini termasuk penyakit tropis dan di Indonesia pada awalnya ditemukan pada
hampir seluruh propinsi khususnya pada daerah yang lembab. Setelah dilakukan
penanggulangan secara nasional pada awal tahun lima puluhan, penyakit ini
sudah jarang ditemukan. Akan tetapi akhir-akhir ini ternyata masih ditemukan
beberapa kantong frambusia terutama di Indonesia bagian timur.
Penyakit ini terutama menyerang anak-anak dibawah umur 15 tahun, pria
lebih banyak dari wanita, juga umumnya pada tingkat sosio-ekonomi rendah.
Secara epidemiologi dapat ditemukan dalam bentuk stadium dini dan stadium
lanjut dengan jarak waktu sekitar 5 tahun. Secara klinis dibedakan dalam bentuk
stadium primer, sekunder dan tersier. Stadium dini ditandai dengan lesi berbentuk
makulo papular/papiloma/papulo krustosa yang agak membasah/eksudatif,
sedangkan stadium lanjut lesinya kering dan berbentuk ulkus.
Secara klinis stadium primer berupa papula /papulokrustosa soliter yang
dikenal sebagai mother yaws. Stadium sekunder bentuk kelainan seperti mother
yaws tapi jumlahnya lebih banyak dan terutama pada lubang tubuh berbentuk
cincin (ring worm yaws). Stadium tersier berbentuk guma dengan ulkus
serpiginosa dan dapat meninggalkan jaringan parut yang khas. Diagnosis
ditegakkan terutama berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan serologik dan bila
perlu dengan pemeriksaan histopatologik. (Sjamsoe, 2005)
2.1.2 Etiologi
Treponema pallidum/pertenue
2.1.3 Patofisiologi
Treponema pallidum terhadap inang (manusia) ditularkan melalui
hubungan seksual dan infeksi. Lesi langsung pada kulit atau membran selaput
lendir pada genetalia. Pada 1020 kasus lesi primer merupakan intrarektal,
perianal atau oral atau di seluruh anggota tubuh dan dapat menembus membran
selaput lendir atau masuk melalui jaringan epidermis yang rusak. Spirocheta

secara lokal berkembang biak pada daerah pintu masuk dan beberapa menyebar
di dekat nodul getah bening mungkin mencapai aliran darah. Dua hingga 10
minggu setelah infeksi, papul berkembang di daerah infeksi dan memecah belah
membentuk ulcer yang bersih dan keras (chancre).
Inflamasi ditandai dengan limfosit dan plasma sel yang membuat ruang
berupa maculapapular merah di seluruh tubuh, termasuk tangan, kaki dan papul
yang lembab, pucat (condylomas) di daerah anogenital, axila dan mulut.
(Djuanda, et al., 2007) Lesi primer dan sekunder ini sangat infeksius karena
mengandung banyak spirocheta. Lesi yang infeksius mungkin akan kambuh
dalam waktu 35 tahun. Infeksi sifilis tetap subklinis dan pasien akan melewati
tahap primer dan sekunder tanpa gejala atau tanda-tanda berkembangnya lesi
tersier. Pada pasien dengan infeksi laten penyakit akan berkembang ketahap
tersier ditandai dengan perkembangan lesi granulommatous (gummas) pada kulit,
tulang dan hati; lesi cardiovaskuler (aortitis, aortic aneurysm, aortic value
insuffiency). lesi tertier treponema jarang ditemua dan respon jaringan yang
meningkat ditandai dengan adanya hypersensitivitas organisme.
Treponema yang menahun dan atau laten terkadang infeksi dimata atau
sistem saraf pusat (Noordhoek, et al, 1990; Bahmer, et al, 1990) Pada subspecies
perteneu infeksi terjadi akibat adanya kontak berulang antar individu dalam
waktu tertentu sehingga memudahkan treponema untuk berkembang biak, infeksi
bakteri treponema ssp.parteneu berbentuk spirochetes tersebut ada dijaringan
epidermis mudah menular di jaringan kulit lecet atau trauma terbuka. Klasifikasi
Frambusia terdiri dari 4 (empat) tahap meliputi pertama (primary stage)
berbentuk bekas untuk berkembangnya bakteri frambusia; secondary stage terjadi
lesi infeksi bakteri treponema pada kulit; latent stage bakteri relaps atau gejala
hampir tidak ada; tertiary stage luka dijaringan kulit sampai tulang kelihatan,
(Smith, 2006 ; Greenwood, et al, 1994 ; Bahmer, et al 1990 ; Jawetz, et al., 2005),
dalam (-, 2012).

WOC

Penularan Daerah
langsung
Penularan tidak langsung
tropis, sosio ekonomi rendah, usia < 15 th, laki>perempuan
,,
Hubungan seks
Lesi terbuka

Treponema Pallidum

Benda / serangga
(jarang terjadi)

Pada luka melalui jaringan epidermis/masuk membran selaput lendir genetalia

Spirocheta berkembang secara lokal menyebar ke nodul getah bening dan aliran darah

FRAMBEUSIA
Papula membentuk korimbiformis

Stadium awal

Kumpulan papula berdasar


eritema
Papula
membasah, menggeropeng kekuningan
Melingkar di lubang tubuh (anus,telinga,mulut hidung dan d
Borok bergranulasi, berdarah dan kuman ++

Sembuh muncul jaringan parut

Kerstoderma 3-12 bulan


MK: Kerusakan Integritas Kulit

Periosteum, tulang dan sendi terserang


MK: Gangguan Citra Tubuh
Destruksi tulang seperti gumma/nodus
MK: Risiko Infeksi
MK: Nyeri Akut

2.1.4 Cara penularan frambusia

Penularan penyakit frambusia dapat terjadi secara langsung maupun


tidak langsung (Depkes,2005), yaitu :
a. Penularan secara langsung (direct contact)
Penularan penyakit frambusia banyak terjadi secara langsung dari
penderita ke orang lain. Hal ini dapat terjadi jika jejas dengan gejala
menular (mengandung Treponema pertenue) yang terdapat pada kulit
seorang penderita bersentuhan dengan kulit orang lain yang ada
lukanya. Penularan mungkin juga terjadi dalam persentuhan antara jejas
dengan gejala menular dengan selaput lendir.
b. Penularan secara tidak langsung (indirect contact).
Penularan secara tidak langsung mungkin dapat terjadi dengan
perantaraan benda atau serangga, tetapi hal ini sangat jarang. Dalam
persentuhan antara jejas dengan gejala menular dengan kulit (selaput
lendir) yang luka, Treponema pertenue yang terdapat pada jejas itu
masuk ke dalam kulit melalui luka tersebut. Terjadinya infeksi yang
diakibatkan oleh masuknya Treponema partenue dapat mengalami 2
kemungkinan:
1. Infeksi effective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam
kulit berkembang biak, menyebar di dalam tubuh dan menimbulkan
gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi jika
Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit cukup virulen dan
cukup banyaknya dan orang yang mendapat infeksi tidak kebal
terhadap penyakit frambusia.
2. Infeksi ineffective.
Infeksi ini terjadi jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam
kulit tidak dapat berkembang baik dan kemudian mati tanpa dapat
menimbulkan gejala-gejala penyakit. Infeksi effective dapat terjadi
jika Treponema pertenue yang masuk ke dalam kulit tidak cukup
virulen dan tidak cukup banyaknya dan orang yang mendapat
infeksi mempunyai kekebalan terhadap penyakit frambusia
(DepkesRI, 2005)
2.1.5 Manifestasi klinis
Pada stadium awal ditemukan kelainan pada tungkai bawah berupa
kumpulan papula dengan dasar eritem yang kemudian berkembang menjadi
borok dengan dasar bergranulasi. Kelainan ini sering mengeluarkan serum
bercampur darah yang banyak mengandung kuman. Stadium ini sembuh
dalam beberapa bulan dengan parut atrofi. Atau, bersamaan dengan ini
timbul papula bentuk butiran sampai bentuk kumparan yang tersusun
menggerombol, berbentuk korimbiformis, atau melingkar di daerah lubanglubang tubuh (anus, telinga, mulut, hidung), muka dan daerah lipatan.
a. Papul kemudian membasah, mengeropeng kekuningan.

b. Pada telapak kaki dapat ditemukan keratodermia. Keadaan ini


berlangsung 3-12 bulan.
c. Bila penyakit berlanjut, periosteum, tulang, dan persendian akan
terserang.
Dalam keadaan ini dapat terjadi destruksi tulang yang terlihat dari luar
sebagai gumma atau nodus. Destruksi tulang hidung menyebabkan
pembengkakan akibat eksostosis yang disebut goundou.
2.1.6 Penatalaksanaan
a. Obat terpilih adalah penisilin prokain 2,4 juta IU dosis tunggal untuk
dewasa.
b. Obat alternatif diberikan kepada penderita yang peka/alergi terhadap
penisilin, walaupun menurut laporan di Negara lain hanya menghasilkan
70 80% kesembuhan.
c. Program pemberantasan penyakit frambusia memberikan obat alternatif
sebagai berikut :
1) Aureomisin.
Anak-anak: 0,75 1,5 gr selama 4 hari.
Dewasa: 2 gr selama 5 hari
2) Teramisin (dalam dosis dibagi 3 hari berturut-turut)
3 gr pada hari I
2 gr pada hari II
2 gr pada hari III
3) Tetrasiklin.
Anak-anak: 25 mg/kgBB selama 5 hari.
Dewasa: 2 gr /hari selama 5 hari
4) Obat pilihan lain eritromisin 12 gram/hari atau tetrasiklin 12
gram/hari selama 2 minggu.
2.1.7 Asuhan keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas klien :
2) Keluhan utama : Gatal-gatal, demam, nyeri tulang dan sendi, terdapat
benjolan-benjolan pada kulit.
3) Riwayat penyakit
4) Pemeriksaan Fisik :
B1
= napas teratur, suara nafas vesikuler, tidak terdapat
(Breathing)
bunyi nafas tambahan wheezing (-) ronchi (-).
Ekspansi dada simetris. Tidak ada penggunaan otot
nafas tambahan.
B2 (blood)
= irama jantung regular, tidak ada pembesaran vena
jugularis, tekanan darah normal, suara jantung
S1/S2 tunggal, tidak terdengar bunyi jantung
tambahan murmur (-) capillary refill < 3detik

B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)
B6
(Bone
&skin)

=
=
=
=

kesadaran cm, GCS E4V5M6


produksi urine normal, warna urin kuning
bising usus (+), tidak ada asites, mual (-) muntah (-)
gatal-gatal, nyeri tulang dan sendi, terdapat
benjolan-benjolan pada kulit.
Nyeri:
P : nyeri muncul ketika anggota badan digunakan
untuk bergerak
Q : nyeri seperti di tusuk-tusuk
R : nyeri terlokalisir di area lesi
S : skala nyeri 5-7
T : hilang timbul

b. Diagnosa
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
2) Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik
3) Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit
4) Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh.
c. Intervensi
1) Diagnosa 1: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya
lesi.
NOC:
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; keutuhan
struktur dan fungsi fisiologis normal kulit dan membrane
mukosa
Penyembuhan luka: primer; tingkat regenerasi sel dan jaringan
setelah penutupan yang disengaja
Penyembuhan luka: sekunder; tingkat regenerasi sel dan jaringan
pada luka terbuka
Tujuan dan criteria evaluasi
- Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa,
serta penyembuhan luka primer dan sekunder,
- Pasien akan menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau
perawatan luka yang optimal
- drainase purulen atau bau luka minimal
- nekrosis, selumur, lubang, perluasan luka kejaringan di bawah
kulit, atau pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada
- eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
NIC:
Perawatan luka : inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Kaji luka terhadap karakteristik tersebut
Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein,
mineral, kalori dan vitamin

Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin seperti:


- pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan
kelembaban yang berlebihan
- gunakan satung tangan sekali pakai
- ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan
luka tetap terbuka sesuai program

2) Diagnosa 2 : Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik


NOC
Pain level
Pain control
Comfort level
Kriteria hasil :
- Mampu mengontrol nyeri ( tau penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi dan tanda
nyeri)
- Menyatakan rasa nyeri berkurang
NIC
Pain manajemen
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
pengalaman nyeri pasien
4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Analgetik Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis, dosis dan frekuensi obat
3. Cek riwayat alergi
4. Tentukan pilihan analgesic tergatung tiipe dan beratnya nyeri
5. Evaluasi efektifitas analgesik, dan tanda gejala.
3) Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada
kulit
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
NOC
Risk control
Knowledge: Infection control

NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
- Menjaga kebersihan
- Melakukan perawatan pada kulit
4) Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan
struktur tubuh.
NOC
Body image
Self esteem
Kriteria hasil :
- Body image positive
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi social
NIC
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis
penyakit
- Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu

Lampiran

Gambar 1. Lesi papulokrustosa (mother jaws)

Gambar 2. Mother jaws dan jaringan parut yang


khas

Gambar 3. Stadium lanjut berbentuk ulkus.

2.2 Morbus Hansen


2.2.1 Pengertian
Istilah kusta dari bahasa Sansekerta yakni kustha berarti kumpulan
gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman. Kusta
adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Leprae. Kusta
menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Penyakit ini
adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran
pernafasan atas dan lesi kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila
tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan kerusakan pada
kulit, saraf-saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar
di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang
begitu mudah seperti pada penyakit tzaraath yang digambarkan dan sering
disamakan dengan kusta. (Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI, 2015).

2.2.2

2.2.3

Morbus hansen (lepra/kusta) merupakan penyakit infeksi yang kronik


dan penyebabnya ialah Micobacterium leprae yang bersifat intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat (Nurarif, 2015)
Mobus hansen (lepra/ kusta) adalah suatu penyakit akibat infeksi kronik
oleh Mycobacterium leprae yang menyerang saraf perifer, kulit, mukosa
traktus respiratorius, serta organ lainnya kecuali sistem saraf pusat.
Mycobacterium leprae merupakan bakteri berbentuk basil gram-positif,
tahan asam dan alkohol, bersifat intraselular obligat. Sampai saat ini M.
leprae belum dapat dibiakkan di medium artifisial sehingga sulit untuk
mempelajari tentang kuman ini. (Djuanda A, Kosasih A, Wiryadi, et al,
2010).
Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
leprae. Dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk
spora, berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan
ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5
micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam
sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau
alkohol sehingga karena itu dinamakan sebagai hasil tahan asam.
Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada laboratorium. Kuman ini
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan
adanya kontak yang lama dan berulang-ulang) dan melalui pernafasan,
bakteri kusta ini mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3
minggu, pertahankan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9
hari di luar tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21
hari dengan masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan juga
dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun. Setelah lima tahun, tanda-tanda
seseorang penderita penyakit kusta mulai muncul antara lain, kulit
mengalami bercak putih, merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh
hingga tidak berfungsi sebagai mana mestinya, menyebabkan kerusakan
permanen pada kulit, saraf, anggota gerak, dan mata. (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015).
Manifestasi Klinis
Tanda-tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lain, kulit
mengalami bercak putih seperti panu pada awalnya hanya sedikit tetapi lama
kelamaan semakin lebar dan banyak, adanya bintil-bintil kemerahan yang
tersebar pada kulit, ada bagian tubuh tidak berkeringat, rasa kesemutan pada
anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol-benjol dan tegang

yang disebut facies leomina (muka singa), dan mati rasa karena kerusakan
syaraf tepi. Gejalanya memang tidak selalu tampak. Justru sebaiknya
waspada jika ada anggota keluarga menderita luka tak kunjung sembuh
dalam jangka waktu lama. Jika bila luka ditekan dengan jari tidak terasa
sakit. Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakuti karena
deformitas atau cacat tubuh. Namun pada tahap awal kusta, gejala yang
timbul dapat hanya berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang
dijumpai dapat berupa perubahan warna seperti hipopigmentasi (warna kulit
menjadi lebih gelap) dan eritematosa (kemerahan pada kulit). Gejala-gejala
umum pada kusta / lepra, reaksi panas dari derajat yang rendah sampai
dengan menggigil, anoreksia, nausea, kadang-kadang disertai vomitus,
cephalgia, kadang disertai dengan iritasi, orchitis dan pleuritis, kadangkadang disertai dengan nephrosia, nefritis, dan hepatospleenomegali,
neuritis. Kelompok yang beresiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal
di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang
kurang memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk dan adanya
penyertaan penyakit lain seperti HIV yang menekan sistem imun. (Pusat
Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, 2015).
Menurut (Nurarif, 2015) manifestasi klinis dari Morbus Hansen
diantaranya :
a. Makula Hipopigmentasi
b. Hiperpigmentasi
c. Eritematosa
d. Gejala kerusakan saraf (sensorik, motorik, autonom)
e. Kerusakan jaringan (kulit, mukosa traktus respiraorius atas, tulangtulang jari dan wajah
f. Kulit kering dan alopesia.

Lesi kulit (makula datar, papula yang meninggi, nodus)


Kerusakan
saraf (menyebabkan hilangnya
sensasi / kelemahan otot
yang dipersyarafi oleh
saraf yang terkena).

Morbus
Hansen
(Pausabasilar)
1-5 lesi
Hipopigmentasi / eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi yang jelas
Hanya satu cabang saraf
-

Morbus
Hansen
(Multibasilar)
> 5 lesi
Distribusi lenih simetris
Hilangnya sensasi kurang
jelas
Banyak cabang saraf

Kelainan kulit dan hasil


Pausi Basiler (PB)
pemeriksaan
1. Bercak
(makula)
mati rasa
a. Ukuran
Kecil dan besar
b. Distribusi
Unilateral atau bilateral
asimetris
c. Batas
Tegas
d. Kehilangan
rasa Selalu ada dan tegas
pada bercak
e. Konsistensi
Kering dan kasar
f. Kehilangan
Selalu ada dan jelas
kemampuan
berkeringat, rambut
rontok pada bercak
2. Infiltrat
a. Kulit
Tidak ada

2.2.4

b. Membran mukos

Tidak pernah ada

c. Nodulus
d. Deformitas

Tidak ada
Terjadi dini

Multibasiler (MB)

Kecil-kecil
Halus
Kurang tegas
Biasanya tidak jelas, jika
ada terjadi pada yang
sudah lanjut
Halus, berkilat
Halusnya tidak jelas, jika
ada terjadi pada yang
sudah lanjut

Ada, kadang-kadang tidak


ada
Ada, kadang-kadang tidak
ada
Kadang-kadang ada
Biasanya asimetris

Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti,
beberapa penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Setelah M. Leprae masuk ke
dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau
sistem imunitas seluler tinggi. Penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan
bila rendah, berkembang ke arah lepromatosa. M. Leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relatif lebih dingin, yaitu daerah akral
dengan vaskularisasiyang sedikit.

M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel


macrofag sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann
jaringan saraf, bila kuman masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan
macrofag ( berasal dari monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit.
Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun seluler tinggi macrofag tidak
mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri dengan bebas merusak
jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi macrofag dapat
menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis macrofag, terjadi
sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu membentuk sel
dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan dan masa
epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi
karena respons imun pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding
dengan tingkat reaksi seluler daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu
penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologis.

WOC
Mikrobacterium Leprae
M. Tuberkuloid

Resiko trauma

Sensabilitas

Menyerang kulit danMenyerang


saraf tepi saraf tepi sensorik & motorik
Neuritis

Macula, Nodula, Papula

Menyerang
Ulkus saraf ulnaris, nervus popliteus, nervus aurikul

Kulit terlihat rusak Keganasan cancer epidemoid


Malu

Kelumpuhan otot
Metastase

Inefektif koping individu

Kontraktur otot dan sendi

Gangguan citra tubuh

Amputasi

Gangguan aktivitas
Perubahan aktifitas

Infasif bakteri

Resti infeksi
Kerusakan integritas kulit

Ganggua rasa nyaman


Nyeri
Resti cidera

Hambatan mobilitas fisik

(Nurarif, 2015)

2.2.5

2.2.6

Pemeriksaan Penunjang
a. Tes sensibilitas pada kulit yang mengalami kelainan
b. Laboratorium : basil tahan asam. Diagnosis pasti apabila adanya mati
rasa dan kuman tahan asam pada penyakit kulit yang (+) (positi).
c. Pengobatan kusta/lepra lamanya pengobatan tergantung dari berbagai
jenis kusta lepromatus pengobatan minimal 10 tahun, obat yang
diberikan Dapsone (DSS) (dosis 2 x seminggu).
(Nurarif, 2015)
Penatalaksanaan
Tujuan utama program pemberantasan morbus hansen adalah
menyembuhkan pasien kusta ( lepra) dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang
menular kepada orang laik untuk menurunkan insiden penyakit. Regimen
pengobatan morbus hansen di Indonesia yaitu Multi Drug Therapy (MDT)
dengan kombinasi obat medikamentosa utama yang terdiri Rifampisin,
Klofamizin (Lamprene) dan DDS (Dapson / 4,4-diamino-difenil-sulfon).
Program MDT ini betujuan untuk mengatasi resistensi Dapson yang
semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka
putus obat, mengefektifkan waktu pengobatan dan mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. Regimen pengobatan MDT di
indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang direkomendasikan oleh
WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
a. Penderita Pauci Baciler (PB)
1) Penderita Pauci Baciler (PB) lesi satu
Diberikan dosis tunggal ROM
Rifampisin
Ofloxacin
Minocyclin

2.2.7

2.2.8

Dewasa 50-70 kg 600 mg


400 mg
100 mg
Anak 5-14 tahun
300 mg
200 mg
50 mg
Obat ditelan di depan petugas, anak dibawah 5 tahun dan ibu hamil
tidak diberikan ROM. Pengobatan sekali saja dan langsung
dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti minum obat
kusta). Dalam program ROM yang tidak dipergunakan, penderita
satu lesi diobati dengan regimen PB selama 6 bulan.
2) Penderita Pauci Baciler (PB) lesi 2-5
Dapson
Rifampisin
Dewasa
100 mg/hari 600 mg/bulan, diawasi
Anak 10-14 th 50 mg/hari
450 mg/bulan, diawasi
Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis
minimal yang diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai
minum 6 dosis maka dinyatakan Completion of Treatment Cure dan
pasien tidak lagi dalam pengawasan.
3) Penderita Multi Basiler (MB)
Dapson
Rifampisin
Klofazimin
Dewasa
100 mg / hari 600 mg / bulan, 50 mg/hari dan 300
diawasi
mg/bulan diawasi
Anak 10-14 th 50 mg / hari
450 mg / bulan, 50 mg selang sehari
diawasi
dan 150 mg/bulan
diawasi
Pengobatan MDT untuk morbus hansen tipe MB dilakukan dalam
24 dosis yang diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan.
Setelah selesai minum 24 dosis maka dinyatakan RFT meskipun
secara klinisnya lesi masih aktif dan pemeriksaan bakteri BTA
positif. Pengobatan MB diberikan untuk dosis yang diselesaikan
dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT. (Nurarif,
2015).
Disharge Planning
a. Biasakan hidup bersih dan cuci tangan sebelum melakukan aktivitas
dan sesudah aktivitas
b. Makan makanan yang bergizi seimbang
c. Hindari penularan melalui penggunaan handuk pisau cukur secara
bersamaan
d. Kenali dan kendalikan stress emosional yang dapat memicu terjadinya
masalah kulit
e. Menghilangkan sumber penularan yaitu dengan mengobati semua
penderita
(Nurarif, 2015).
Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian

1) Identitas pasien
Mencakup nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, pendidikan
agama
2) Keluhan utama
Klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan)
dan adanya komplikasi pada organ tubuh dan gangguan perabaan
( mati rasa pada daerah yang lesi ).
3) Riwayat penyakit sebelumnya
Biasanya klien pernah menderita penyakit atau masalah dengan kulit
misalnya: penyakit panu.kurab. dan perawatan kulit yang tidak
terjaga atau dengan kata lain personal higine klien yang kurang baik
4) Riwayat Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular
5) Riwayat lingkungan
Tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat
tidur yang kurang memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang
buruk dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang
menekan sistem imun.
6) Pemeriksaan fisik
B1
(Breathing)

B2 (blood)

B3 (Brain)
B4 (Bladder)
B5 (Bowel)

= nafas teratur, suara nafas vesikuler, tidak terdapat


bunyi nafas tambahan wheezing (-) ronchi (-).
Ekspansi dada simetris. Tidak ada penggunaan otot
nafas tambahan.
= irama jantung regular, tidak ada pembesaran vena
jugularis, tekanan darah normal, suara jantung
S1/S2 tunggal, tidak terdengar bunyi jantung
tambahan murmur (-) capillary refill < 3detik
= kesadaran cm, GCS E4V5M6
= produksi urine normal (1500 cc), warna urin
kuning
= bising usus (+), tidak ada asites, mual (-) muntah (-)

B6
(Bone = terdapat plak hipopigmentasi dan eritematosa pada
tepinya, multipel, berukuran numular, bentuk bulat dan
&skin)
oval, berbatas sirkumskrip, dan persebarannya diskret.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi
2) Gangguan citra tubuh berhubungan perubuhan penampilan fisik
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
4) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya lesi
c. Intervensi
1) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi
Kriteria Hasil :
Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperature, hidrasi, pigmentasi)
Lesi berkurang
Perfusi jaringan baik
NOC
Tissue Integrity : Skin and Mucous Membranes
Hemodyalis akses
NIC
- Anjurkan pasien unttuk menggunakan pakaian yang longgar
- Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih
- Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien setiap 2 jam sekali )
- Monitor status nutrisi pasien
- Oleskan lotion agar kulit tetap lembab
2) Gangguan citra tubuh berhubungan perubuhan penampilan fisik
Kriteria Hasil :
Body image
Mampu mengidentifikasikan kekuatan personal
Mempertahankan interaksi social
NOC
Body image
Self esteem
NIC
Body image enhancement

Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap

tubuhnya
Monitor frekuensi mengkritik dirinya
Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan, dan
prognosis penyakit

3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Kriteria Hasil :
Mampu melakukan aktivitas sehari hari secara mandiri
Tanda-tanda vital normal
NOC
NIC
- Bantu klien melakukan aktivitas
- Beri alat bantuan kepada klien
4) Resiko infeksi berhubungan dengan adanya lesi
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
NOC
Risk control
Knowledge : Infection control
NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)
- Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
- Menjaga kebersihan
- Melakukan perawatan pada kulit

2.3 Selulitis
2.3.1 Definisi
Selulitis adalah penyebaran infeksi pada kulit yang meluas hingga
jaringan subkutan. Selulitis adalah peradangan akut terutama menyerang
jaringan subkutis, biasanya didahului luka atau trauma dengan penyebab
tersering Streptokokus betahemolitikus dan Stafilokokus aureus. Sellulitis
adalah peradangan pada jaringan kulit yang mana cenderung meluas ke
arah samping dan ke dalam
2.3.2 Etiologi
Penyakit selulitis disebabkan oleh:
a. Infeksi bakteri dan jamur :

1) Disebabkan oleh Streptococcus grup A dan Staphylococcus aureus


2) Pada bayi yang terkena penyakit ini disebabkan oleh Streptococcus
grup B
3) Infeksi dari jamur, tapi Infeksi yang diakibatkan jamur termasuk
jarang
4) Aeromonas Hydrophila.
5) S. Pneumoniae (Pneumococcus)
b. Penyebab lain :
1) Gigitan binatang, serangga, atau bahkan gigitan manusia.
2) Kulit kering
3) Eksim
4) Kulit yang terbakar atau melepuh
5) Diabetes
6) Obesitas atau kegemukan
7) Pembekakan yang kronis pada kaki
8) Penyalahgunaan obat-obat terlarang
9) Menurunnyaa daya tahan tubuh
10) Cacar air
11) Malnutrisi
12) Gagal ginjal
a.

b.

c.

d.

e.

Beberapa faktor yang memperparah resiko dari perkembangan selulitis :


Usia
Semakin tua usia, kefektifan sistem sirkulasi dalam menghantarkan darah
berkurang pada bagian tubuh tertentu. Sehingga abrasi kulit potensi
mengalami infeksi seperti selulitis pada bagian yang sirkulasi darahnya
memprihatinkan.
Melemahnya sistem immun (Immunodeficiency)
Dengan sistem immune yang melemah maka semakin mempermudah
terjadinya infeksi. Contoh pada penderita leukemia lymphotik kronis dan
infeksi HIV. Penggunaan obat pelemah immun (bagi orang yang baru
transplantasi organ) juga mempermudah infeksi.
Diabetes mellitus
Tidak hanya gula darah meningkat dalam darah namun juga mengurangi
sistem immun tubuh dan menambah resiko terinfeksi. Diabetes
mengurangi sirkulasi darah pada ekstremitas bawah dan potensial
membuat luka pada kaki dan menjadi jalan masuk bagi bakteri
penginfeksi.
Cacar dan ruam saraf
Karena penyakit ini menimbulkan luka terbuka yang dapat menjadi jalan
masuk bakteri penginfeksi.
Pembangkakan kronis pada lengan dan tungkai (lymphedema)
Pembengkakan jaringan membuat kulit terbuka dan menjadi jalan masuk
bagi bakteri penginfeksi.

f. Infeksi
jamur
kronis
pada
telapak
atau
jari
kaki
Infeksi jamur kaki juga dapat membuka celah kulit sehinggan menambah
resiko bakteri penginfeksi masuk
g. Penggunaan steroid kronik
Contohnya penggunaan corticosteroid. & sengat serangga, hewan, atau
gigitan manusia
h. Penyalahgunaan obat dan alcohol
Mengurangi sistem immun sehingga mempermudah bakteri penginfeksi
berkembang
i. Malnutrisi
Sedangkan lingkungan tropis, panas, banyak debu dan kotoran,
mempermudah timbulnya penyakit ini.
2.3.3 Patofisiologi
Selulitis terjadi jika bakteri masuk ke dalam kulit melalui kulit yang
terbuka. Dua bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi ini adalah
streptococcus dan staphylococcus. Lokasi paling sering terjadi adalah di
kaki, khususnya di kulit daerah tulang kering dan punggung kaki. Karena
cenderung menyebar melalui aliran limfatik dan aliran darah, jika tidak
segera diobati, selulitis dapat menjadi gawat. Pada orang tua, sellulitis
yang mengenai extremitas bawah dapat menimbulkan komplikasi sebagai
tromboflebitis. Pada penderita dengan edema menahun, sellulitis dapat
menyebar atau menjalar dengan cepat sekali sedangkan penyembuhannya
lambat. Daerah nekrotik yang mendapat superinfeksi bakteri gram negatif
akan mempersulit penyembuhan.

Faktor Lain:
Usia
Infeksi Bakteri:
Imuno Defisiansi
Adanya lesi
Streptococcus grup A
DM
Stafilcoccus aureus
Cacar & Ruam Saraf
Gigitan binatang
Eksim
Menyebar ke dalam lapisan kulit & jaringan subcutan

Masuk ke dalam aliran limfe & aliran darah

Terjadi Peradangan Akut

SELLULITIS

Oedema, kemerahan
Eritema lokal pada kulit yang mengalami lesi
Rangsang reseptor nyeri
MK: Nyeri Akut

MK: Gangguan Citra Tubuh


Lesi semakin luas

MK:
Kerusakan Integritas Kulit
Trauma jaringan
lunak

MK: Resiko Tinggi Infeksi

Gejala Sistemik
Demam, menggigil

MK: Hipertermi

2.3.4 Manifestasi klinik


a. Riwayat: Biasanya didahului oleh lesi-lesi sebelumnya, sepeti ulkus
statis, luka tusuk: sesudah satu atau dua hari akan timbul eritem local
dan rasa sakit.
b. Gejala sistemik: Malaise, demam (suhu tubuh dapat mencapai
38,5C), dan menggigil. Eritem pada tempat infeksi cepat bettambah
merah dan menjalar. Rasa sakit setempat terasa sekali.
c. Lesi Kulit: Daerah kulit yang teraba merupakan infiltrat edematus
yang teraba, merah, panas, dan luas. Pinggir lesi tidak menimbul atau
berbatas tegas. Terdapat limfadenopati setempat yang disertai dengan
limfangitis yang menjalar kearah proksimal. Vesikula permukaan
dapat terjadi dan mudah pecah. Abses local dapat terbentuk dengan
nekrosis kulit di atasnya.
Sellulitis yang terdapat di kulit kepala di tandai oleh beberapa nodula
kecil dan abses.. Proses ini biasanya kronik dengan kecenderungan
membentuk terowongan kulit. Biasanya penyakit ini terjadi pada
dewasa muda dan sering disertai jerawat atau hidradenitis supurativa.
Sellulitis perianal yang terdapat pada anak merupakan merupakan
proses yang sakit karena terjadi edem di sekitar anus, yang
konsistensinya lunak. Penyebabnya biasanya Streptococcus group A.
Penampakan yang paling umum adalah bagian tubuh yang menderita
selullitis berwarna merah, terasa lembut, bengkak, hangat, terasa
nyeri, kulit menegang dan mengilap. Gejala tambahan yaitu demam,
malaise, nyeri otot, eritema, edema, lymphangitis. Lesi pada awalnya
muncul sebagai makula eritematus lalu meluas ke samping dan ke
bawah kulit dan mengeluarkan sekret seropurulen. Gejala pada
selulitis memang mirip dengan eresipelas, karena selulitis merupakan
diferensial dari eresipelas. Yang membedakan adalah bahwa selulitis
sudah menyerang bagian jaringan subkutaneus dan cenderung
semakin luas dan dalam, sedangkan eresipelas menyerang bagian
superfisial
kulit.
2.3.5 Penatalaksanaan
Pemeriksaan Laboratorium
a. CBC (Complete Blood Count), menunjukkan kenaikan jumlah
leukosit dan rata-rata sedimentasi eritrosit. Sehingga mengindikasikan
adanya infeksi bakteri.
b. BUN level
c. Creatinin level
d. Kultur darah, dilaksanakan bila infeksi tergeneralisasi telah diduga

e. Mengkultur dan membuat apusan Gram, dilakukan secara terbatas


pada daerah penampakan luka namun sangat membantu pada area
abses atau terdapat bula
Pemeriksaan laboratorium tidak dilaksanakan apabila penderita belum
memenuhi beberapa kriteria; seperti area kulit yang terkena kecil,
tidak tersasa sakit, tidak ada tanda sistemik (demam, dingin, dehidrasi,
takipnea, takikardia, hipotensi), dan tidak ada faktor resiko.
f. Pemeriksaan Imaging
g. Plain-film Radiography, tidak diperlukan pada kasus yang tidak
lengkap (seperti kriteria yang telah disebutkan)
h. CT (Computed Tomography)
Baik Plain-film Radiography maupun CT keduanya dapat digunakan
saat tata kilinis menyarankan subjucent osteomyelitis. Jika sulit
membedakan selulitis dengan necrotizing fascitiis, maka pemeriksaan
yang dilakukan adalah : MRI (Magnetic Resonance Imaging), Sangat
membantu pada diagnosis infeksi selulitis akut yang parah,
mengidentifikasi pyomyositis, necrotizing fascitiis, dan infeksi
selulitis dengan atau tanpa pembentukan abses pada subkutaneus.
2.3.6 Pencegahan
Jika memiliki luka,
a. Bersihkan luka setiap hari dengan sabun dan air
b. Oleskan antibiotic
c. Tutupi luka dengan perban
d. Sering-sering mengganti perban tersebut
e. Perhatikan jika ada tanda-tanda infeksi
Jika kulit masih normal,
a. Lembabkan kulit secara teratur
b. Potong kuku jari tangan dan kaki secara hati-hati
c. Lindungi tangan dan kaki
d. Rawat secara tepat infeksi kulit pada bagian superfisial
2.3.7 Tindak lanjut
Perawatan lebih lajut bagi pasien rawat inap:
a. Beberapa pasien membutuhkan terapi antibiotik intravenous
b. Pelepasan antibiotic parenteral pada pasien rawat jalan menunjukan
bahwa dia telah sembuh dari infeksi
Perawatan lebih lanjut bagi pasien rawat jalan :
Perlindungan penyakit cellulites bagi pasien rawat jalan dapat
dilakukan dengan cara memberikan erythromycin atau oral penicillin dua
kali sehari atau intramuscular benzathine penicillin.
2.3.8 Komplikasi
a. Bakteremia
b. Nanah atau local Abscess
c. Superinfeksi oleh bakteri gram negative

d. Lymphangitis
e. Trombophlebitis
f. Ellulitis pada muka atau Facial cellulites pada anak menyebabkan
meningitis sebesar 8%.
g. Dimana dapat menyebabkan kematian jaringan (Gangrene), dan
dimana harus melakukan amputasi yang mana mempunyai resiko
kematian hingga 25%.
2.3.9 ASUHAN KEPERAWATAN
2.3.9.1 Pengkajian
1. Identitas
Menyerang sering pada lingkungan yang kurang bersih, selulitis biasanya
menyerang pada usia tua (>60 tahun)
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan utama
Pasien biasanya mengeluh nyeri pada luka, terkadang disertai demam, menggigil
dan malaise
b. Riwayat penyakit dahulu
Ditanyakan penyebab luka pada pasien dan pernahkah sebelumnya mengidap
penyakit seperti ini, adakah alergi yang dimiliki dan riwat pemakaian obat. Serta
penyakit diabetes melitus dan pernah mengalami gigitan serangga atau manusia
c. Riwayat penyakit sekarang
Terdapat luka pada bagian tubuh tertentu dengan karakteristik berwarna merah,
terasa lembut, bengkak, hangat, terasa nyeri, kulit menegang dan mengilap
d. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya dikeluarga pasien terdapat riwayat mengidap penyakit selulitis atau
penyekit kulit lainnya
3. Keadaan emosi psikologi
Pasien cenderung menutupi luka yang diderita
4. Keadaan social ekonomi
Biasanya menyerang pada social ekonomi yang sederhana
5. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : Lemah
TD
: Menurun (< 120/80 mmHg)
Nadi
: Turun (< 90)
Suhu
: Meningkat (> 37,50)
RR
: Normal
B1 (breathing) : nafas spontan, RR normal 20x/menit, PCH (-), retraksi kosta (-),
tidak ada tanda-tanda dispnea
B2 (Blood): TD cenderung normal, tidak ada tanda-tanda perdarahan, CRT<2
detik, perfusi perifer baik,
B3 (Brain) : umumnya pasien tidak mengalami gangguan kesadaran, kesadaran
komposmentis, GCS 456, pupil isokor,

B4 (Bladder) : BAK spontan, produksi urinne kunumg jernih


B5 (Bowel): kemungkinan penurunan nafsu makan karena malaise,
B6 (Bone):
h. Ekstremitas : Adakah luka pada ekstremitas
i. Integumen : Gejala awal berupa kemerahan dan nyeri tekan yang terasa di suatu
daerah yang kecil di kulit. Kulit yang terinfeksi menjadi panas dan bengkak, dan
tampak seperti kulit jeruk yang mengelupas (peau dorange). Pada kulit yang
terinfeksi bisa ditemukan lepuhan kecil berisi cairan (vesikel) atau lepuhan besar
berisi cairan (bula), yang bisa pecah.
2.3.9.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan iritasi kulit, gangguan integritas kulit, iskemik
jaringan.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya eritema lokal
3. Intoleransi aktivitas b.d intoleran jaringan / organ distal
4. Hipertermia b.d proses fagositosis dan proses peradangan
5. Gangguan citra tubuh b.d infeksi permukaan tubuh
6. Risiko infeksi b.d lesi dan adanya eritema lokal

2.3.9.3 Intervensi Keperawatan


Diagnosa 1: Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi.
NOC:
Integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa; keutuhan struktur dan fungsi
fisiologis normal kulit dan membrane mukosa
Penyembuhan luka: primer; tingkat regenerasi sel dan jaringan setelah
penutupan yang disengaja
Penyembuhan luka: sekunder; tingkat regenerasi sel dan jaringan pada luka
terbuka
Tujuan dan criteria evaluasi
- Menunjukkan integritas jaringan: kulit dan membrane mukosa, serta
penyembuhan luka primer dan sekunder,
- Pasien akan menunjukkan rutinitas perawatan kulit atau perawatan luka yang
optimal
- drainase purulen atau bau luka minimal
- nekrosis, selumur, lubang, perluasan luka kejaringan di bawah kulit, atau
pembentukan saluran sinus berkurang atau tidak ada
- eritema kulit dan eritema disekitar luka minimal
NIC:
Perawatan luka : inspeksi luka pada setiap mengganti balutan
Kaji luka terhadap karakteristik tersebut

Konsultasikan pada ahli gizi tentang makanan tinggi protein, mineral, kalori
dan vitamin
Lakukan perawatan luka atau kulit secara rutin seperti:
pertahankan jaringan sekitar terbebas dari drainase dan kelembaban yang
berlebihan
gunakan satung tangan sekali pakai
ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka
sesuai program

Diagnosa 2 : Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera fisik


NOC
Pain level
Pain control
Comfort level
Kriteria hasil :
- Mampu mengontrol nyeri ( tau penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik
non farmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
- Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
- Mampu mengenali nyeri ( skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
- Menyatakan rasa nyeri berkurang
NIC
Pain manajemen
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri
pasien
4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
Analgetik Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis, dosis dan frekuensi obat
3. Cek riwayat alergi
4. Tentukan pilihan analgesic tergatung tiipe dan beratnya nyeri
5. Evaluasi efektifitas analgesik, dan tanda gejala.

Diagnosa 3 : Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan pada kulit


Kriteria Hasil :
Tidak terdapat tanda dan gejala infeksi
Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
NOC
Risk control
Knowledge: Infection control
NIC
Infection Control (Kontrol Infeksi)

Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain


Menjaga kebersihan
Melakukan perawatan pada kulit

Diagnosa 4 : Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur


tubuh.
NOC
Body image
Self esteem
Kriteria hasil :
- Body image positive
- Mampu mengidentifikasi kekuatan personal
- Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh
- Mempertahankan interaksi social
NIC
Body image enhancement
- Kaji secara verbal dan non verbal respon klien terhadap tubuhnya
- Monitor frekuensi mengkritik dirinya
- Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit
- Dorong klien mengungkapkan perasaannya
- Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu

DAFTAR PUSTAKA
Referensi
-, 2012. Issue https://herodessolution.files.wordpress.com/2012/01/penyakitframbusia-patek-yaws.pdf..
DepkesRI, 2005. Pedoman Pemberantasan Penyakit Frambusia, Direktur
Jendral PPM & PL. JAKARTA: s.n.
DepkesRI, 2008. Pedoman Pengobatan Dasar di Puskesmas. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
KemenkesRI, 2016. Kusta dan Frambusia Penyakit Terabaikan.
Nurarif, 2015. NANDA NIC NOC. II penyunt. Jakarta: Medika Salemba.
Sjamsoe, E., 2005. Penyakit Kulit Yang Umum di Indonesia. Jakarta: PT
Meadical Multimedia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai