Anda di halaman 1dari 60

BAB 1

LATAR BELAKANG

1.1 Latar Belakang


Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan Varicella adalah suatu penyakit
infeksi virus yang menyerang system integument. Dampak jika tidak
dilakukan Asuhan keperawatan yang baik dan tepat akan dapat
mengakibatkan terjadinya komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada Herpes
Simpleks ini antara lain adalah Herpes Simpleks genitalia, Herpes okuler,
kebutaan dan komplikasi lainnya yang dapat terjadi jika herpes simpleks ini
terjadi pada seorang ibu hamil adalah bayinya dapat meninggal, terdapat
gangguan padaotak, kulit, mata kemudian jika terjadi Herpes simpleks genital
pada seorang wanita hamil maka akan dapat mengakibatkan terjadinya suatu
kerusakan atau bahkan kematian pada janinnya. Kemudian komplikasi yang
terjadi pada Herpes Zooster ada;lah Neuralgioa pasca Herpetic (PHN), infeksi
sekunder, kelainan pada mata seperti edema orbita, glaucoma, ulkus kornea
kemudian dapat terjadi Sindrom Ramsey Hunt, paralisis motorik. Ketiga
adalah komplikasi dari Varicella antara lain cellulitis, impetigo, furunkel,
kemudian dapat terjadi juga scra, pneumonia, ganguan pada neurologic
seperti encephalitis, Herpes Zoster, dan sindrom reye. Dengan berbagai
komplikasi diatas kita sebagai perawat membutuhkan asuhan keperawatan
yang tepat,baik dan benar agar bisa melakukan tindakan dan mencegah
terjadinya komplikasi pada masing-masing penyakit.
Dari data klinik penyakit mulut Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG UI dan
Unit Pelayanan Fungsional Gigi dan Mulut RSCM pada tahun 2000-2001
dijumpai 25 kasus stomatitis herpetika, 5 diantaranya merupakan infeksi
primer dan sisanya infeksi rekuren yang terdiri dari 1 herpes labialis dan 14
herpesintra oral rekuren. Dari 13 Rumah Sakit Pendidikan, Heroes Genitalis
merupakan Penyakit Menular Seksual (PMS) dengan gejala ulkus genital
yang paling sering dijumpai. Angka kejadian global prevalensi infeksi
Herpes Simpleks pada tahun 2003 adalah paling banyak terjadi pada wanita
dengan umur 36-39 tahun sebanyak 52,9 kemudian angka kejadian laki-laki
paling banyak pada umur 35-39tahun dan 40-44 tahun sebanyak 38,8.

1
Kemudian prevalensi Virus Herpes Simpleks secara lazim mencapai 33% di
seluruh dunia, 15-45% terjadi pada orang dewasa yang mengalammi herpes
simpleks labialis dan memiliki kecenderungan untuk menurun seiring
pertambahan usia. Pasien dengan riwayat Virus Herpes Simpleks labialis
memiliki prevalensi 30-70& dengan VHS-1 antibodi. Menurut FS 508 The
AIDS pada 1 juli 2014 Prevalensi infeksi HSV sudah meningkat bermakna
selama dasawarsa terahir. Sekitar 80% orang dengan HIV juga terinfeksi
herpes simpleks genitalis.
Menurut Buku Panduan Herpes Zooster di Indonesia tahun 2014 untuk
prevalensi Herpes Zooster meningkat secara dramatis seiring bertambahnya
usia. Kira-kira 30%populasi (1 dari 3 orang) akan mengalami Herpes Zooster
selama hidupnya, bahkan pada usia 85 tahun. 50 % (1 dari 2 orang) akan
mengalami Herpes Zoster. Insiden Herpes Zooster pada anak-anak 0.74 per
1000 orang per tahun. Insidens ini meningkat menjadi 2,5 per 1000 di usia
20-50 tahun, 7per 1000 di usia lebih dari 60 tahun dan mencapai 10-1000
orang per tahun di usia 80 tahun. Pada tahun 2011-2013 dari total 2232 pasien
herpes zoster pada 13 Rumah Sakit Pendidikan di Indonesia puncak kasus
Herpes Zooster terjadi usia 45-64 yakni 37.95% dari total kasus Herpes
Zooster.
Menurut data dari Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Rs Dr Cipto
Mangunkusumo Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia angka kejadian
varicella di Indonesia belum pernah diteliti sedangakan berdasarkan dari
poliklinik umum Ilmu Kesehatan Anak RSCM dalam lima tahun terakhir
tercatat 77kasus varicella tanpa penyulit. Menurut Buku Panduan Herpes
Zooster di Indonesia tahun 2014 tingginya infeksi varicella di Indonesia
terbukti pada studi yang dilakukan jufri, et al tahun 1995-1996 dimana 2/3
dari populasi beusia 15 tahun seropositive terhadap antibody varicella. Dari
data diatas tentang angka kejadian pada Herpes Zooster, Herpes Simpleks,
dan Varicella dapat kita simpulkan bahwa angka kejadinnya setiap tahun
bertambah meningkat.
Alur dari ketiga penyakit ini adalah akibat terserang virus yang serumpun
dan diperberat adannya beberapa factor pendukung seperti host, agen dan

2
lingkungan dan hubungan antara herpes zoster dengan varicella yaitu dari
penyebabnya.
Maka, dengan dijabarkan tentang Herpes Zooster,Herpes Simpleks, dan
Varicellapada makalah ini perawat dapat melakukan asuhan keperawatan
yang baik dan benar pada saat bertugas.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Anatomi dan fisiologi kulit?
2 Apa definisi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan Varicella?
3 Apa saja etiologi Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan Varicella?
4 Apa manifestasi klinis dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
5 Apa saja factor resiko dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
6 Bagaimana patofisiologi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
7 Apa saja pemeriksaan penunjang dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster,
dan Varicella?
8 Bagaimana penatalaksanaan dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
9 Bagaimana prognosis dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
10 Apa saja komplikasi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan Varicella?
11 Bagaiamana Web of Cautation dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
12 Apa saja pencegahan untuk Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella?
13 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien Herpes Simpleks, Herpes
Zooster, dan Varicella?

1.3 Tujuan
1. Tujuan Umum
Makalah ini menjabarkan secara rinci tentang teori konseptual mengenai
Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan Varicella dan bagaimana cara
memberikan penatalaksaan yang cepat dan tepat, serta pembaca
diharapkan memahami dan menerapkan asuhan keperawatan pada kasus
Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan Varicella secara komprehensif.

2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mampu

3
1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi kulit
2. Menjelaskan definisi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
3. Menjelaskan etiologi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
4. Menjelaskan manifestasi klinis dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster,
dan Varicella
5. Menjelaskan faktor resiko dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
6. Menjelaskan patofisiologi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
7. Menjelaskan komplikasi dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
8. Menjelaskan pemeriksaan pennjang dari Herpes Simpleks, Herpes
Zooster, dan Varicella
9. Menjelaskan penatalaksanaan dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster,
dan Varicella
10. Menjelaskan prognosis dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
11. Menjelaskan pencegahan dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella
12. Menjelaskan Web of Cautation dari Herpes Simpleks, Herpes Zooster,
dan Varicella
13. Menjelaskan Asuhan Keperawatan Herpes Simpleks, Herpes Zooster,
dan Varicella

1.4 Manfaat
Mahasiswa mampu menjelaskan tentang Herpes Simpleks, Herpes
Zooster, dan Varicella sehingga perawat akan lebih peka dan teliti dalam
mengumpulkan data pengkajian awal dan menganalisa suatu respon tubuh
pasien terhadap penyakit, sehingga Herpes Simpleks, Herpes Zooster, dan
Varicella tidak semakin berat.

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Kulit


Anatomi Kulit
Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh,
merupakan organ terberat dan terbesar dari tubuh. Seluruh kulit beratnya
sekitar 16 % berat tubuh, pada orang dewasa sekitar 2,7–3,6 kg dan luasnya
sekitar 1,5–1,9 meter persegi.
Tebalnya kulit bervariasi mulai 0,5 mm sampai 6 mm tergantung dari
letak, umur dan jenis kelamin. Kulit tipis terletak pada kelopak mata, penis,
labium minus dan kulit bagian medial lengan atas. Sedangkan kulit tebal
terdapat pada telapak tangan, telapak kaki, punggung, bahu dan bokong.
Secara embriologis kulit berasal dari dua lapis yang berbeda, lapisan luar
adalah epidermis yang merupakan lapisan epitel berasal dari ectoderm
sedangkan lapisan dalam yang berasal dari mesoderm adalah dermis atau
korium yang merupakan suatu lapisan jaringan ikat (Perdanakususma 2007).
Lapisan kulit meliputi :

5
Gambar 1.1 Struktur Kulit (Djuada,2010)

1. Epidermis (Perdanakususma 2007)


Epidermis adalah lapisan luar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri
dari epitel berlapis gepeng bertanduk, mengandung sel melanosit,
Langerhans dan merkel. Tebal epidermis berbeda beda pada berbagai
tempat di tubuh, paling tebal pada telapak tangan dan kaki. Ketebalan
epidermis hanya sekitar 5 % dari seluruh ketebalan kulit. Terjadi
regenerasi setiap 4-6 minggu.

Gambar 1.2 Struktur Epidermis Kulit (Graw Hill,2010)


Epidermis terdiri atas lima lapisan, dari lapisan yang paling atas sampai yang
terdalam, meliputi:
1. Stratum Korneum
Terdiri dari sel keratinosit yang bisa mengelupas dan berganti.
2. Stratum Lusidum
Berupa garis translusen, biasanya terdapat pada kulit tebal telapak kaki dan
telapak tangan. Tidak tampak pada kulit tipis.
3. Stratum Granulosum

6
Ditandai oleh 3-5 lapis sel polygonal gepeng yang intinya ditengah dan
sitoplasma terisi oleh granula basofilik kasar yang dinamakan granula
keratohialin yang mengandung protein kaya akan histidin. Terdapat sel
Langerhans.
4. Stratum Spinosum
Terdapat berkas-berkas filament yang dinamakan tonofibril, dianggap
filament – filament tersebut memegang peranan penting untuk
mempertahankan kohesi sel dan melindungi terhadap efek abrasi.
Epidermis pada tempat yang terus mengalami gesekan dan tekanan
mempunyai stratum spinosum dengan lebih banyak tonofibril. Stratum
basale dan stratum spinosum disebut sebagai lapisan Malpighi. Terdapat
sel Langerhans.

5. Stratum Basale (Stratum Germinativum)


Terdapat aktifitas mitosis yang hebat dan bertanggung jawab dalam
pembaharuan sel epidermis secara konstan. Epidermis diperbaharui setiap
28 hari untuk migrasi ke permukaan, hal ini tergantung letak, usia dan
faktor lain. Merupakan satu lapis sel yang mengandung melanosit. Fungsi
Epidermis : Proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin,
pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan
alergen (sel Langerhans).
2. Dermis (Perdanakususma 2007)
Merupakan bagian yang paling penting di kulit yang sering dianggap
sebagai “True Skin”. Terdiri atas jaringan ikat yang menyokong epidermis
dan menghubungkannya dengan jaringan subkutis. Tebalnya bervariasi,
yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm. Dermis terdiri dari dua
lapisan:
a. Lapisan papiler; tipis mengandung jaringan ikat jarang.
b. Lapisan retikuler; tebal terdiri dari jaringan ikat padat.
Serabut-serabut kolagen menebal dan sintesa kolagen berkurang dengan
bertambahnya usia. Serabut elastin jumlahnya terus meningkat dan
menebal, kandungan elastin kulit manusia meningkat kira-kira 5 kali dari
fetus sampai dewasa. Pada usia lanjut kolagen saling bersilangan dalam
jumlah besar dan serabut elastin berkurang menyebabkan kulit terjadi
kehilangan kelemasannya dan tampak mempunyai banyak keriput.

7
Dermis mempunyai banyak jaringan pembuluh darah. Dermis juga
mengandung beberapa derivat epidermis yaitu folikel rambut, kelenjar
sebasea dan kelenjar keringat. Kualitas kulit tergantung banyak tidaknya
derivat epidermis di dalam dermis. Fungsi Dermis : struktur penunjang,
mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon
inflamasi.
3. Subkutis (Perdanakususma 2007)
Merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari
lapisan lemak. Lapisan ini terdapat jaringan ikat yang menghubungkan
kulit secara longgar dengan jaringan di bawahnya. Jumlah dan ukurannya
berbeda-beda menurut daerah di tubuh dan keadaan nutrisi individu.
Berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi, melekat ke
struktur dasar, isolasi panas, cadangan kalori, kontrol bentuk tubuh dan
mechanical shock absorber.

Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh
diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi
lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi),
sensasi, eskresi dan metabolisme.
Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari
elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi
mikroorganisme patogen. Sensasi telah diketahui merupakan salah satu fungsi
kulit dalam merespon rangsang raba karena banyaknya akhiran saraf seperti
pada daerah bibir, puting dan ujung jari.
Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit.
Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami
proses keseimbangan melalui keringat, insessible loss dari kulit, paru-paru
dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi
pembuluh darah kulit. Bila temperature meningkat terjadi vasodilatasi
pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan
melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat
meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh

8
darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas
(Perdanakususma 2007).

2.2 Pembahasan Herpes Simpleks


2.2.1 Definsi Herpes Simpleks
Herpes simpleks mrupakan infeksi akut yang disebabkan oleh herpes
simpleks virus (HSV) pada kulit yang ditandai dengan adanya vesikel
yang berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah
dekat mukokutan. (Kapita Selekta Kedokteran ed,2000). Herpes simpleks
adalah infeksi virus yang menyebabkan lesi atau lepuh pada serviks,
vagina, dan genitalia eksterna.( Smeltzer, Suzanne C; 2001).Herpes
simpleks adalah suatu penyakit virus menular dengan afinitas pada
kulit,selaput lender, dan sistem saraf. (Price ; 2006)

2.2.2 Etiologi Herpes Simpleks


Herpes simpleks merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh
virus (Price,2006). Menurut WHO, ada 2 tipe virus herpes simpleks yang
sering menginfeksi yaitu :
1. HSV-Tipe I (Herpes Simplex Virus Type I)
2. HSV-Tipe II (Herpes Simplex Virus Type II)

2.2.3Klasifikasi Herpes Simpleks


Herpes Simplex diklasifikasikan berdasarkan tipe virus herpes simplex
yang menginfeksi yaitu Price ,2006) :
1. HSV-Tipe I
Cara penularan HSV- Tipe I adalah kontak dengan anggota keluarga
yang terinfeksi tanpa berhubungan seksual, misalnya : sentuhan,
ciuman, memakai handuk bersama. HSV- Tipe I terutama ditularkan
melalui kontak mulut ke mulut menyebabkan herpes mulut (yang dapat
mencakup gejala yang dikenal sebagai "cold sores"). HSV- Tipe I
biasanya menyerang bibir, mulut, hidung, pipi.

9
Gambar 1.1 HSV-1 dan gejalanya (herpes pada mukos bibir,pipi,mata)

2. HSV-Tipe II
Cara penularannya biasanya melalui hubungan seksual yang
menginfeksi daerah genital dan menyebabkan herpes genitalia.

Gambar 2.1 HSV-II dan herpes pada genitalia laki-laki dan wanita

2.2.4 Manifestasi Klinis HerpesSimpleks


Tanda Infeksi HSV-1 biasanya muncul gelembung berisi cairan yang
terasa nyeri pada mukosa mulut, wajah, dan sekitar mata. Sedangkan
HSV-2 muncul gelembung berisi cairan yang terasa nyeri pada membran
mukosa alat kelamin. Infeksi pada vagina terlihat seperti bercak dengan
luka. (WHO,2006). Gejala yang biasa terjadi saat terinfeksi virus herpes
adalah :
1. Luka melepuh atau adanya ulkus paling sering pada mulut, bibir dan
gusi, atau alat kelamin. Orang-orang yang terinfeksi sering akan
mengalami sensasi kesemutan, gatal atau terbakar di sekitar mulut
mereka, sebelum munculnya luka
2. Pembesaran kelenjar getah bening di leher atau selangkangan
(biasanya hanya pada saat awal infeksi)
3. Demam - terutama selama episode pertama
4. Lesi pada organ genitalia (ada saat episode awal dan berubah menjadi
sensasi terbakar atau kesemutan.
Secara umum infeksi herpes simplex melalui 2 tahap yaitu :

10
1. Infeksi primer yaitu tubuh terkena virus herpes simplex untuk pertama
kalinya,yang biasanya disertai gejala ( simtomatik ) meskipun dapat
pula tanpa gejala ( asimtomatik ). Kejaidan infeksi HSV-I paling
banyak pada usia 2-3 tahun, sedangkan infeksi HSV-II terjadi pada
usia yang telah aktif secara seksual. Keadaan tanpa gejala
kemungkinan karena adanya imunitas tertentu dari antibodi yang
bereaksi silang dan diperoleh setelah menderita infeksi tipe 1 saat
anak-anak. Masa inkubasi yang khas selama 3 – 6 hari ( masa inkubasi
terpendek yang pernah ditemukan 48 jam ) yang diikuti dengan erupsi
papuler dengan rasa gatal, atau pegal-pegal yang kemudian menjadi
nyeri dan pembentukan vesikel dengan lesi vulva dan perineum yang
multipel dan dapat menyatu. Dalam waktu 2 – 4 minggu, semua
keluhan dan gejala infeksi akan menghilang tetapi dapat kambuh lagi
karena terjadinya reaktivasi virus dari ganglion saraf. Kelainan pada
serviks sering ditemukan pada infeksi primer dan dapat
memperlihatkan inflamasi serta ulserasi atau tidak menimbulkan
gejala klinis.Infeksi primer dapat terjadi di sembarang tempat di kulit
misalnya :
a. Mulut dan hidung (yang biasanya menyebabkan terjadinya
gingivostomatitis)
b. Sekeliling mata (menyebabkan konjungtivitis)
c. Jari tangan (menyebabkan herpes jari tangan)
d. Bokong atau genital (menyebabkan (vulvovaginitis).
Gejala infeksi diantara lain terjadinya:
a. Edema kulit yang berat
b. Vesikulasi yang luas
c. Nyeri hebat
Infeksi primer berlangsung selama 6 minggu. Infeksi herpes awal
biasanya ringan, sehingga penderita tidak menyadari bahwa dia
terkena infeksi primer. Virus pada infeksi primer ,virus berjalan naik
melalui saraf perifer menuju ganglia radiks dorsalis yang merupakan
tempat virus pada stadium tidak aktif. (Price ,2006)
2. Infeksi rekuren (infeksi kambuhan) yang merupakan infeksi lanjutan
setelah virus herpes simplex bersembunyi dalam tubuh menjadi aktif

11
kembali. Infeksi rekuren ini umumnya menimbulkan gejala. Bila
terjadi suatu kondisi tertentu seperti penurunan daya tahan tubuh,
virus akan menjadi aktif kembali dan bereplikasi sehingga
menimbulkan gejala klinis yaitu sariawan. Setelah fase rekurensi
maka virus akan kembali laten di ujung saraf hingga ada faktor yang
mencetuskannyaa aktif kembali.
Infeksi rekuiren biasanya tidak begitu nyeri dibandingkan dengan
infeksi primer. Infeksi herpes rekuiren dapat mengikuti infeksi primer
dalam beberapa minggu, bulan atau tahun. Lesi biasanya hilang dalam
2 minggu. infeksi . Episode pertama (infeksi pertama) dari infeksi
HSV adalah yang paling berat dan dimulai setelah masa inkubasi 4-6
hari. Gelala yang timbul, meliputi nyeri, inflamasi dan kemerahan
pada kulit (eritema) dan diikuti dengan pembentukan gelembung
gelembung yang berisi cairan. Cairan bening tersebut selanjutnya
dapat berkembang menjadi nanah, diikuti dengan pembentukan
keropeng atau kerak atau scab (Price,2006).

2.2.5 Faktor Resiko Herpes Simpleks


1. Memiliki banyak pasangan seksual. Seorang penderita herpes yang
memiliki lebih dari satu pasangan seksual dapat meningkatkan resiko
penularan virus tersebut kepada para pasangannya.
2. Adanya luka yang memungkinkan masuknya virus .
3. Orang yang mengalami penurunan kekebalan tubuh.
4. Adanya PORTAL OF ENTRY AND EXIT
a. Portal of Entry : pakaian yang tercemar dan sentuhan ke atas
gelembung/lepuh yang pecah, Pada penyakit Herpes Genitalis
(genetalia), penularan terjadi melalui prilaku sex. Sehingga
penyakit Herpes genetalis ini kadang diderita dibagian mulut akibat
oral sex, HSV1 yakni pada kulit dan selaput lendir mukosa di mata
atau di mulut, hidung, dan telinga. Sedangkan HSV2 bagian yang
disukai yakni pada kulit dan selaput lendir pada alat kelamin dan
perianal.

12
b. Portal of Exit : Oral (sex oral pada penderiota Herpes Genitalis),
kulit (kontak langsung dengan penderita), cairan tubuh (gelembung
yang berisi cairan pecah).

2.2.6 Patofisiologi Herpes Simpleks


HSV disebarkan melalui kontak langsung antar virus dengan
mukosa arau setiap kerusakan kulit. Virus herpes tidak dapat hidup di
luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi melalui cara selain
kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. HSV memiliki
kemampuan untuk menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan
membrane sel.
Pada infeksi primer ,virus menginvasi sel penjamu dan cepat
berkembang biak, menghancurkan sel penjamu dan melepaskan lebih
banyak virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif
primer, virus menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional
dan menyebabkan limfadenopati.
Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan
infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah
infeksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-
sel sensorik yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan bermigrasi
disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion radiks dorsalis
tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada
manusia.

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang Herpes Simpleks


a. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan
daya tahan tubuh klien. Pada kondisi awal / saat proses peradangan,
dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan
tanda-tanda vital yang lain. Pada pengkajian kulit, ditemukan adanya
vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri. Perhatikan mukosa mulut,

13
hidung, dan penglihatan klien. Untuk mengetahui adanya nyeri, kita
dapat mengkaji respon klien terhadap nyeri akut secara fisiologis atau
melalui respon perilaku. Secara fisiologis, terjadi diaphoresis,
peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan
tekanan darah; pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih,
atau marah. Lakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala
nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih skala yang
sesuai dengan usia perkembangannya, bisa menggunakan skala wajah
untuk mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan virus
herpes simplex yang ada di dalam tubuh. Pemeriksaan laboraturium
terhadap virus herpes simplex sebagian besar dilakukan hanya untuk
yang terinfeksi HSV tipe 2. Sedangkan untuk mengetahui apakah luka
yang diderita penderita herpes simplex ini akibat virus HSV atau
bukan, maka tes yang lain perlu dilakukan. Tanda-tanda pada
permukaan sel yang terindeksi oleh virus herpes simplex akan
diketahui dari hasil pemeriksaan laboraturium. Pemeriksaan
laboratorium ini juga bisa mengungkap perbedaan HSV-1 atau HSV-2.
Umumnya pemeriksaan laboratorium ini meliputi IgG dan IgM baik
itu untuk HSV-1 maupun HSV-2. Pemeriksaan adanya infeksi HSV
ada dua jenis yaitu:
a. IgM anti HSV : Tes IgM menandakan bahwa sedang terjadi infeksi
ataupun infeksi yang baru saja berlangsung.
b. IgG anti HSV : Tes IgG menandakan bahwa infeksi telah terjadi
dalam kurun waktu beberapa lama (lebih dari 6 bulan) dan
penderita telah memiliki kekebalan tubuh.
Pemeriksaan laboratorium yang paling sederhana adalah test tzank
yang diwarnai dengan pengecatan gyemsa atau wright, akan terlihat sel
raksasa berinti banyak. Sensitifitas dan spesifitas pemeriksaan ini
umumnya rendah. Tes Tzanck dapat diselesaikan dalam waktu 30 menit
atau kurang. Caranya dengan membuka vesikel dan korek dengan
lembut pada dasar vesikel tersebut lalu letakkan pada gelas obyek
kemudian biarkan mengering sambil difiksasi dengan alkohol atau

14
dipanaskan. Selanjutnya beri pewarnaan (5% methylene blue, Wright,
Giemsa) selama beberapa detik, cuci dan keringkan, beri minyak emersi
dan tutupi dengan gelas penutup. Jika positif terinfeksi hasilnya berupa
keratinosit yang multinuklear dan berukuran besar berwarna biru
(Frankel,2006).
Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur
(Sterry,2006). Tes serologi menggunakan enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) spesifik HSV tipe II dapat membedakan
siapa yang telah terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar menularkan
infeksi (McPhee, 2007).
c. Pemeriksaan Diagnostik
Virus herpes ini dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiak.
Pada keadaan tidak ada lesi dapat diperiksa antibody VHS. Pada
percobaan tzanck dengan pewarnaan geimsa dapat ditemukan sel
datia berinti banyak dan badan inklusi.

2.2.8 Penatalaksanaan Herpes Simpleks


Pada prinsipnya, penanganan dari infeksi Herpes Simpleks Virus (HSV)
ada 3 macam, tujuan dari terapi tersebut masing-masing adalah untuk
mempercepat proses penyembuhan, meringankan gejala prodromal, dan
menurunkan angka penularan.
1. Terapi Spesifik
a. Herpes Labialis
Topikal : Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau
Acyclovir krim 5% (tiap 3 jam selama 4 hari). Idealnya, krim ini
digunakan 1 jam setelah munculnya gejala, meskipun juga pemberian
yang terlambat juga dilaporkan masih efektif dalam mengurangi gejala
serta membatasi perluasan daerah lesi. (Rekomendasi FDA & IHMF).
Sistemik : Valacyclovir tablet 2 gr sekali minum dalam 1 hari yang
diberikan begitu gejala muncul, diulang pada 12 jam kemudian, atau
Acyclovir tablet 400 mg 5 kali sehari selama 5 hari, atau Famciclovir
1500 mg dosis tunggal yang diminum 1 jam setelah munculnya gejala
prodromal.

15
b. Herpes Genitalis
- Infeksi Primer
Rekomendasi WHO 2003 Rekomendasi CDC 2006
Acyclovir 200 mg po 5 Acyclovir 200 mg po 5 x/hr,
x/hr, selama 7 hari atau selama 7-10 hari atau
Acyclovir 400 mg po 3 Acyclovir 400 mg po 3 x/hr,
x/hr, selama 7 hari atau selama 7-10 hari, atau
Valaciclovir 1 gr po 2x/hr Valaciclovir 1 gr po 2x/hr selama
selama 7 hari 7-10 hari, atau
Famciclovir 250 mg po 3x/hr
selama 7-10 hari

- Infeksi Rekuren
Terapi rekuren ditujukan untuk mengurangi angka kekambuhan dari
herpes genitalis, dimana tingkat kekambuhan berbeda pada tiap
individu, bervariasi dari 2 kali/tahun hingga lebih dari 6 kali/tahun.
Terdapat 2 macam terapi dalam mengobati infeksi rekuren, yaitu
terapi episodik dan terapi supresif.
2. Terapi Non-Spesifik
Pengobatan non-spesifik ditujukan untuk memperingan gejala yang
timbul berupa nyeri dan rasa gatal. Rasa nyeri dan gejala lain
bervariasi, sehingga pemberian analgetik, antipiretik dan antipruritus
disesuaikan dengan kebutuhan individu. Zat-zat pengering yang
bersifat antiseptik juga dibutuhkan untuk lesi yang basah berupa
jodium povidon secara topical untuk mengeringkan lesi, mencegah
infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan. Selain itu
pemberian antibiotik atau kotrimoksasol dapat pula diberikan untuk
mencegah infeksi sekunder.
3. Terapi Profilaksis
Langkah – langkah yang dapat diambil guna mencegah penularan
penyakit herpes simplek yaitu dengan memberi penjelasan kepada
penderita tentang sifat penyakit yang dapat menular terutama bila
sedang terkena serangan. Selain itu juga dilakukan proteksi individual

16
dengan menggunakan kondom. Kombinasi tersebut bila diikuti dengan
pencucian alat kelamin memakai air dan sabun pasca koitus, dapat
mencegah transmisi herpes genitalis hampir 100%..
4. HSV pada Neonatus
Penatalaksanaan bayi lahir dari ibu dengan herpes genitalis yaitu
mengidentifikasi secepatnya kemungkinan adanya infeksi herpes pada
bayi tersebut. Oleh karena itu direkomendasikan dilakukan
pemeriksaan kultur virus dari sekret servik ketika persalinan
berlangsung pada semua ibu hamil dengan riwayat herpes genitalis.
Selain itu juga pemeriksaan kultur virus dari mukosa orofaring atau
mukosa konjungtiva dari bayi yang dicurigai. Pada bayi dengan ibu
mengidap herpes genitalis primer pada saat persalinan pervaginam,
harus diberikan terapi profilaksis acyclovir intravena dengan dosis 60
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis yang diberikan selama 21
hari atau acyclovir intravena 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 10-21
hari Terapi ini juga diberikan pada bayi yang dinyatakan positif
terinfeksi, dan terapi diberikan seawall mungkin ketika mulai timbul
gejala.

2.2.9 Komplikasi Herpes Simpleks


Komplikasi yang terjadi pada penyakit herpes simpleks biasanya
tidak menimbulkan masalah kesehatan yang serius pada orang dewasa.
Namun dengan orang yang dengan system imun yang tidak bisa bekerja
dengan baik, maka bisa saja mengalami outbreaks herpes simpleks
genital yang parah dalam waktu yang lama. Orang dengan system imun
normal, bisa terjadi infeksi herpes pada mata yang disebut dengan istilah
herpes okuler. Herpes okuler biasanya disebabkan karena HSV-1, namun
kadang juga disebabkan karena HSV-. Herpes simpleks bisa
menyebabkan penyakit mata yang lebih serius bahkan menyebabkan
kebutaan.
Komplikasi lainnya yang terjadi adalah wanita hamil yang
biasanya mengalami herpes akan menularkan penyakit herpesnya pada

17
bayinya. Bayi yang terlahir dengan herpes maka biasanya mereka akan
meninggal atau juga mengalami gangguan yang terjadi pada otak, kulit,
atau juga mata. Dan jika herpes genital muncul pada ibu hamil, maka ini
haruslah mendapatkan perhatian khusus dan serius karena virus herpes
bisa melalui plasenta, sampai menuju ke sirkulasi fetal serta bisa
menimbulkan terjadinya suatu kerusakan atau bahkan kematian pada
janinnya.

2.2.10 Pencegahan Herpes Simpleks


1. Vaksin
2. Ada berbagai macam vaksin yang biasanya diberikan saat usia
anak-anak. Salah satu vaksin yang diberikan untuk pencegahan
penyakit herpes merupakan vaksin yang digunakan untuk
mencegah penyakit cacar air pada anak. Virus cacar air dapat
bertahan di dalam tubuh dan menginfeksi kembali setelah lama
tidak akitf. Sehingga biasanya pada saat luka cacar air sudah
sembuh, mulai muncul kembali luka yang hampir sama dan
merupakan gejala penyakit herpes.
3. Hindari seks bebas
4. Pencegahan penyakit herpes dapat dilakukan dengan mencegah
penyakit menular kelamin yang bisa menular saat melakukan
hubungan seksual. Penyakit herpes simplex bisa meradang di kulit
kelamin sehingga untuk melakukan mencegahan dapat dilakukan
dengan cara menghindari seks bebas.
5. Menjaga imunitas
6. Daya tahan yang menurun dapat menyebabkan virus mudah masuk
untuk menginfeksi tubuh, sehingga dapat menyebabkan terjadinya
berbagai penyakit.

2.2.11 Prognosis Herpes Simpleks


Pengobatan secara dini dan tepat memberi prognosis yang lebih baik,
yakni masa penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurens lebih

18
jarang. Pada orang dengan gangguan imunitas , misalnya pada penyakit-
penyakit dengan tumor di sistem retikuloendotelial, pengobatan dengan
imunosupresan yang lama atau fisik yang sangat lemah, menyebabkan
infeksi ini dapat menyebar ke alat-alat dalam dan dapat fatal. Prognosis
akan lebih baik seiring dengan meningkatnya usia seperti pada orang
dewasa. (Adhi Djuanda, 2007).

19
WOC HERPES SIMPLEX Tranmisi /penularan melalui
kontak langsung dengan
individu yang terkena virus
melalui permukaan
kulit,mukosa oral, ,membrane
mukosa, genital
Virus melakukan vusi
langsung ke dalam Virus HSV I dan HSV II masuk Virus masuk saluran limfe
membrane sel yang ada di
sekitarnya
Virus masuk ke pembuluh Virus menyebar melalui
darah saluran limfe ke kelenjar
Adanya proses perlawanan
limfe regional
antibody -antigen
Virus dibawa aliran darah ke
sirkulasi
limfadenopati

Antibodi tidak mampu


Virus masuk ke Menuju p.d. bagian
melawan virus HSV I dan HSV
membrane/ jaringan mulut,hidung dan mata Menimbulkan rasa nyeri
II
tubuh

Virus menginvasi sel-sel MK : Nyeri akut


Membentuk vesikel yang Virus menginvasi
disekitarnya
berkelompok di
permukaan kulit
Peradangan Adanya herpes pada mulut MK : Gangguan citra
Terjadi perubahan warna, tubuh
integritas dan bentuk
Peningkatan suhu tubuh Pengetahuan tentang
penyakit yang kurang
Timbul lesi, kulit
melepuh,ulkus
MK : hipertermi MK :Ansietas
MK : Kerusakan MK : Resiko
Integritas Kulit Penularan Infeksi
20
ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

KASUS
Ny. A umur 35 tahun, alamat Surabaya. Pada tanggal 21 Maret 2016 pukul
10.00 pagi klien datang ke rumah sakit dengan diantar oleh suaminya. Ny. A
mengeluh adanya nyeri dan gatal pada kemaluan. Ny A mengatakan timbul
adanya lepuhan yang bergerombol dan disertai warna kemerahan di sekelilingnya
membentuk sebuah gelembung cair pada daerah genetalia. Sebelumnya Ny. A
mengalami gatal-gatal selama 4 hari, kemudian timbul nyeri di daerah genetalia
dan kulitnya. Dari hasil observasi keadaan umum ibu lemas, kesadaran Compos
Mentis, status emosional stabil, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 82 kali/menit,
pernafasan 24 kali/menit, suhu 38,6 0 C, terdapat vesikel yang multipel di daerah
mulut dan kulitnya. Leukosit < 4000/mmk.

Pengkajian
1. Identitas
Nama : Ny. A
Usia : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : Surabaya
2. Riwayat Kesehatan
- Keluhan Utama : Gatal dan nyeri pada daerah kemaluan
- Riwayat Kesehatan Sekarang
Sebelumnya Ny. R mengalami gatal-gatal selama 4 hari. Ny. R mengeluh
nyeri di daerah genetalia berwarna kemerahan pada kulit kemudian di
ikuti gelembung gelembung berisi cairan .
- Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini, pasien
juga tidak memiliki alergi. Jika merasa gatal biasanya diolesi minyak
kayu putih bisa hilang dengan sendirinya.
- Riwayat Penyakit Keluarga
Suami pernah terkena herpes simpleks sebelumnya, tapi herpes
menyerang daerah genetalia dan sekitarnya. Dua minggu yang lalu
penyakitnya kambuh tapi sekarang sudah sembuh.
3. Pemeriksaan Fisik

21
a.Pemeriksaan TTV
Tekanan Darah : 120/80 mmHg,
Nadi : 82 kali/menit
RR : 24 kali/menit,
Suhu : 38,6 0 C
4. Pemeriksaan B1 – B6
B1 ( Breathing ) : dispnea
B2 ( Blood ) : tidak ada
B3 ( Brain ) : kesadaran composmentis (GCS : 4-5-6)
B4 ( Bladder ) :disuria, adanya lepuhan yang bergerombol dan
dikelilingi oleh daerah kemerahan membentuk
sebuah gelembung cair pada daerah kemaluan.
B5 ( Bowel ) : nafsu makan agak menurun
B6 ( Bone ) : tidak ada
5. Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Pola Manajemen Kesehatan
Pasien mengatakan jika ada keluarga yang sakit maka segera dibawa
tempat pelayanan kesehatan terdekat baik itu poliklinik maupun
dokter.
b. Pola Eliminasi
Untuk BAK pasien mengalami gangguan selama sakitnya, walaupun
pasien tetap kencing dengan frekuensi seperti biasanya, tetapi pasien
merasa nyeri saat berkemih.
c. Pola Aktivitas
Pasien mampu beraktivitas seperti biasanya, tapi agak mengurangi
aktivitasnya karena pasien merasakan nyeri saat berjalan.

Analisa Data
Masalah
Data Analisa data
keperawatan
DS : klien menyatakan Infeksi primer Nyeri
nyeri di daerah mulut
DO : klien Nampak Peradangan
meringis menahan
nyeri Hipotalamus
P: adanya luka di
Pusat nyeri

22
daerah bibir
Q: sering
R:pada area sekitar
Nyeri diekspresikan
luka genitalia
S: 3
Nyeri
T: tidak tentu

DS :.Klien mengatakan Infeksi primer Hipertermi


sering demam dan
menggigil Peradangan

DO : Badan klien Hipermetabolisme


hangat,suhu 38oC,
klien Nampak lemah Peningkatan suhu tubuh

Hipertermi
DS : klien menyatakan Virus pada p.d atau Kerusakan integritas
luka di kulitnya jaringan kulit kulit
semakin melepuh
Membentuk vesikel di
DO : muncul ulkus permukaan kulit
pada kulit , melepuh.
Ada perubahan bentuk dan
warna

Timbul lesi, ulkus

Kerusakan integritas kulit


DS : klien merasa Kurang informasi tentang Ansietas
cemas dan takut dengan penyakitnya
penyakitnya
Kurang pengetahuam
DO : klien Nampak

23
gelisah Cemas

Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d inflamasi jaringan
b. Hipertermi b.d proses penyakit /inflamasi
c. Kerusakan integritas kulit b.d agen injury
d. Ansietas b.d kondisi kurangnya informasi/ pengetahuan tentang penyakit

Intervensi
a. Domain 12. Comfort
Class 1. Physical comfort
Kode 0013 Pain
Definisi : Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenagkan
yang muncul akibat kerusakan jaringan yang aktual atau potensial atau
digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa.
NOC NIC
Domain IV – Health knowledge & Domain 1 – Physiological bassic
Behavior Class E – physiological comfort
Class Q – Health Behavior promotion
1400 pain management
1605 – Pain Control 1.1.1.1.1.1.1.1 Lakukan pengkajian nyeri secara
160502 Mengenali onset nyeri (1-5) komperhensif
1.1.1.1.1.1.1.2 Gunakan teknik komunikasi
160501 Mendreskripsikan faktor
terapeutik untuk mengetahui
penyebab (1-5)
pengalaman nyeri pasien
160510 Menggunakan catatan untuk
1.1.1.1.1.1.1.3 Kontrol lingkungan yang dapat
memantau gejala setiap waktu (1-5)
mempengaruhi nyeri
160504 Menggunakan tindakan1.1.1.1.1.1.1.4
non – Kurangi faktor presipitasi nyeri
1.1.1.1.1.1.1.5 Beri analgesik untuk mengurangi
analgesik (1-5)
nyeri
1.1.1.1.1.1.1.6 Tingkatkan istirahat
1.1.1.1.1.1.1.7 Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Domain 2 – Physiological Complex
Class H Drug management
2210 Analgesic administration :
a. Tentukan lokasi, karakteristik,

24
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Tentukan pilihan algesik
tergantung tipe dan beratnya nyeri
e. Monitoring vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama
f. Evaluasi efektifitas analgesik,
tanda dan gejala.

b. Hipertermi b.d proses penyakit/ inflamasi


NOC (Kriteria Hasil) NIC (Intervensi)
Domain 2 3786 Hyperthermia treatment
Class: 1 1. Monitoring TTV
0800 Thermoregulation 2. Menjauhkan pasien dari sumber
Penurunan temperature kulit
panas
Perubahan warna kulit
3. Menggunakan metode penghilang
Dehidrasi
RR rasa panas (kompres)
Nadi 4. Tingkatkan hidrasi oral
5. Monitoring urin output

c. Kerusakan integritas kulit b.d agen injury


NOC (Kriteria Hasil) NIC (Intervensi)
Domain 2 Domain 2 Physiologic: Complex
Class: 1 Class : I-Skin/Wound Management
1101 Tissue Integrity: Skin & 3584 Skin Care: Topical Treatments
Mucous Membrans.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 2x24 jam integritas
kulit teratasi dengan kriteria
hasil :
Integritas kulit
Lesi kulit

110113 Integritas kulit (1-5) a. Hindarkan klien dari tempat tidur


110101 Suhu kulit (1-5)

25
110103 Elastisitas (1-5) yang teksturnya kasar.
110108 Tekstur (1-5) b. Pantau karakteristik luka seperti
110105 Pigmen kulit tidak normal
warna ,ukuran.
(1-5) c. Menerapakan salep yang sesuai
dengan kulit/ lesi
d. Gunakan obat pengurang rasa
sakit di area sekitar.
e. Gunakan antiinflamasi untuk area
sekitar yang disesuaikan.
f. Pastikan tempat tidur klien bersih,
kering dan bebas dari kerutan.
g. Dokumentasikan derajat
kerusakan kulit

d. Domain 9: Coping / Stress Tolerance


Class 2. Coping Responses
00146 Ansietas b.d kondisi penyakit
NOC (Kriteria Hasil) NIC (Intervensi)
Domain 3 Physiologic Health Domain 3 Behavioral
Class: M Psychological Well Class: T Psychological Confort
Being Promotion
1211 Anxiety Level 5820 Anxiety Reduction
121119 Peningkatan tekanan a. Libatkan keluarga
b. Berikan informasi kepada keluarga
darah (1-5)
121120 Peningkatan HR (1-5) dan klien terkait kondisi kesehatan
121121 Peningkatan RR (1-5)
klien.
121116 Tanda-tanda verbal
c. Identifikasi kapan level ansietas
anxietas (1-5)
berubah.
d. Tentukan penyebab ansietas klien.
e. Kontrol stimulus terutama pencetus
ansietas.
f. Kaji dan monitoring tanda-tanda
verbal yang dialami klien.

2.3 Pembahasan tentang Varicella


2.3.1 DefinsiVaricella

26
Varisela berasal dari bahasa latin yaitu Varicella. Di Indonesia
penyakit ini dikenal dengan istilah cacar air, sedangkan diluar negeri
terkenal dengan nama Chicken-pox.
Varicella adalah penyakit infeksi virus akut dan menular yang
disebabkan oleh virus varicella zoster (VZV) yang menyerang kulit dan
mukosa, ditandai oleh adanya vesikel-vesikel. (Rampengan, 2008).
Varicella merupakan penyakit akut menular yang ditandai oleh
vesikel di kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh virus varisella.
Varisela adalah infeksi akut prime yang menyerang kulit dan mukosa
secara klinis terdapat gejala konstitusi, kelainan kulit polimorfi
terutama berlokasi di bagian sentral tubuh, disebut juga cacar air,
chicken pox (Kapita Selekta, 2000).

Gambar 1. Varicella (Cacar Air)

2.3.2 Epidemiologi Varicella


a. Usia
Pada orang yang belum mendapat vaksinasi, 90% kasus terjadi pada
anak-anak dibawah 10 tahun, 5% terjadi pada orang yang berusia
lebih dari 15 tahun. Sementara pada pasien yang mendapat
imunisasi, insiden terjadinya varicella secara nyata menurun.
b. Insiden
Sejak diketahui adanya vaksin varicella pada tahun 1995, inseden
terjadinya varicella terbukti menurun. Dimana sebelum tahun 1995,
terbukti di Amerika terdapat 3-4 juta kasus varicella setiap tahunnya.
c. Transmisi
Transmisi penyakit ini secara aerogen maupun kontak langsung.
Kontak tidak langsung jarang sekali menyebabkan varicella.
Penderita yang dapat menularkan varicella yaitu beberapa hari
sebelum erupsi muncul dan sampai vesikula yang terakhir. Tetapi
bentuk erupsi kulit yang berupa krusta tidak menularkan virus.
d. Musim

27
Di daerah metropolitan yang beriklim sedang , dimana epidemi
varicella sering terjadi pada musim dingin dan musim semi.

2.3.3 Etiologi Varicella


Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Penamaan
virus ini memberi pengertian bahwa infeksi primer virus ini
menyebabkan penyakit varicella, sedangkan rektivasi menyebabkan
herpes zoster. VZV termasuk kelompok virus herpes dengan ukuran
diameter kira-kira 140-200 nm.
VZV dapat pula menyebabkan Herpes Zoster. Kedua penyakit ini
mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Kontak pertama dengan
virus ini akan menyebabkan varicella, oleh karena itu varicella
dikatakan infeksi akut primer, kemudian setelah penderita varicella
tersebut sembuh, virus tersebut kemungkinan tetap ada di akar ganglia
dorsal dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian
VZV di aktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan Herpes Zoster.
VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah
penderita varicella sehingga mudah dibiakkan dalam media yang terdiri
dari fibroblas paru embrio manusia.

2.3.4 Manifestasi Klinis Varicella


a. Pusing
b. Demam dan kadang-kadang disertai batuk
c. Dalam 24 jam timbul bintik-bintik yang berkembang menjadi lesi
(mirip kulit yang terangkat karena terbakar)
d. Kemudian menjadi benjolan-benjolan kecil berisi cairan. Sebelum
munculnya erupsi pada kulit, penderita biasanya mengeluarkan
adanya rasa tidak enak badan, lesu, tidk nafsu makan dan sakit
kepala. 1-2 hari kemudian muncul erupsi kulit yang khas.
e. Munculnya erupsi pada kulit diawali dengan bintik-bintik berwarna
kemerahan (makula) yang kemudian berubah menjadi papula
(penonjolan kecil pada kulit), papula berubah menjadi vesikel
(gelembung kecil berisi cairan jernih) dan akhirnya cairan
gelembung tersebut menjadi keruh (pustula). Bila tidak terjadi
infeksi, biasanya akan mengering tanpa meninggalkan abses.
Tanda dan Gejala

28
Masa inkubasi Varicella bervariasi antara 10-21 hari, rata-rata 10-14
hari. Penyebaran varicella terutama secara langsung melalui udara
dengan perantaraan percikan liur. Pada umumnya tertular dalam
keluarga atau sekolah. (Rampengan,2008)
Perjalanan penyakit ini dibagi menjadi 2 stadium, yaitu:
1. Stadium Prodromal: 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat
gejala panas yang tidak terlalu tinggi, perasaan lemah (malaise), sakit
kepala, anoreksia, rasa berat pada punggung dan kadang-kadang
disertai batuk keringdiikuti eritema pada kulit dapat berbentuk
scarlatinaform atau morbiliform. Panas biasanya menghilang dalam 4
hari, bilamana panas tubuh menetap perlu dicurigai adanya komplikasi
atau gangguan imunitas.
2. Stadium erupsi: dimulai saat eritema berkembang dengan cepat
(dalam beberapa jam) berubah menjadi macula kecil, kemudian
papula yang kemerahan lalu menjadi vesikel. Vesikel ini biasannya
kecil, berisi cairan jernih, mudah pecah serta mengering membentuk
krusta.
Lesi kulit mulai nampak di daerah badan dan kemudian
menyebar secara sentrifugal ke bagian perifer seperti muka dan
ekstremitas. Dalam perjalanan penyakit ini akan didapatkan tanda
yang khas yaitu terlihat adanya bentuk papula, vesikel, krusta dalam
waktu yang bersamaan, dimana keadaan ini disebut polimorf. Jumlah
lesi pada kulit dapat 250-500. Lesi baru tetap timbul selama 3-5 hari,
lesi sering menjadi bentuk krusta pada hari ke-6 dan sembuh lengkap
pada hari ke-16.
Erupsi kelamaan atau terlambatnya berubah menjadi krusta dan
penyembuhan, biasanya dijumpai pada penderita dengan gangguan
imunitas seluler. Bila terjadi infeksi sekunder, sekitar lesi akan tampak
kemerahan dan bengkak serta cairan vesikel yang jernih berubah
menjadi pus disertai limfadenopati umum. Vesikel tidak hanya
terdapat pada kulit, melainkan juga terdapat pada mukosa mulut, mata,
dan faring. Pada penderita varicella yang disertai dengan difisiensi
imunitas (imun defisiensi) sering menimbulkan gambaran klinik yang
khas berupa perdarahan, bersifat progresif dan menyebar menjadi

29
infeksi sistemik. Demikian pula pada penderita yang sedang
mendapat imunosupresif. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
limfopenia.
Pada ibu hamil yang menderita varicella dapat menimbulkan
beberapa masalah pada bayi yang akan dilahirkan dan bergantung
pada masa kehamilan ibu, antara lain:
1. Varisela neonatal
Varisela neonatal dapat merupakan penyakit serius, hal ini
bergantung pada saat ibu kena varisela dan persalinan.
a. Bila ibu hamil terinfeksi varisela 5 hari sebelum partus atau 2
hari setelah partus, berarti bayi tersebut terinfeksi saat viremia
kedua dari ibu, bayi terinfeksi transplasental, tetapi tidak
memperoleh kekebalan dari ibu karena belum cukupnya waktu
ibu untuk memproduksi antibody. Pada keadaan ini, bayi yang
dilahirkan akan mengalami varisela berat dan menyebar. Perlu
diberikan profilaksis atau pengobatan dengan varicella-zoster
immune globulin (VZIG) dan asiklovir. Bila tidak diobati
dengan adekuat, angka kematian sebesar 30%. Penyebab
kematian utama akibat pneumonia berat dan hepatitis fulminan.
b. Bila ibu terinfeksi varisela lebih dari 5 hari antepartum,
sehingga ibu mempunyai waktu yang cukup untuk
memproduksi antibody dan dapat diteruskan kepada bayi. Bayi
cukup bulan akan menderita varisela ringan karena pelemahan
oleh antibody transplasental dari ibu. Pengobatan dengan VZIG
tidak perlu, tetapi asiklovir dapat dipertimbangkan
pemakaiannya, bergantung pada keadaan bayi.
2. Sindrom varisela congenital
Varisela congenital dijumpai pada bayi dengan ibu yang
menderita varisela pada umur kehamilan trimester I atau II dengan
insidens 2%. Manisfestasi klinik dapat berupa retardasi
pertumbuhan intrauterine, mikrosefali, atrofi kortikalis, hipoplasia
ekstremitas, mikroftalmin, katarak, korioretinitis dan scarring pada
kulit. Beratnya gejala pada bayi tidak berhubungan dengan
beratnya penyakit pada ibu. Ibu hamil dengan zoster tidak
berhubungan dengan kelainan pada bayi.

30
3. Zoster infantile
Penyakit ini sering muncul dalam umur bayi satu tahun
pertama, hal ini disebabkan karena infeksi varisela maternal setelah
nasa gestasi ke-20. Penyakit ini sering menyerangg pada saraf
dermatom thoracis.

2.3.5 Patofisiologi Varicella


Virus masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran
napas bagian atas dan orofaring (percikan ludah, sputum). Multiplikasi
virus di tempat tersebut diikuti oleh penyebaran virus dalam jumlah
sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer). Virus VZV
dimusnahkan oleh sel-sel sistem retikuloendotelial , disini terjadi
replikasi virus lebih banyak lagi (pada masa inkubasi). Selama masa
inkubasi, virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh
dan respon yang timbul (imunitas nonspesifik).
Setelah 2 minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam
jumlah yang lebih banyak. Hal ini menyebabkan panas dan malaise,
serta virus menyebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah terutama ke
kulit dan membran mukosa. Lesi kulit muncul berturut-turut, yang telah
menunjukkan telah memasuki siklus viremia, pada penderita yang
normal siklus ini dapat dihentikan setelah 3 hari oleh imunitas humoral
dan imunitas seluler VZV. Virus beredar di leukosit mononuklear,
terutama pada limfosit. Bahkan pada varicella yang tidak disertai
komplikasi, hasil viremia sekunder menunjukkan adanya subklinis
infeksi pada banyak organ selain kulit.
Respon imun penderita menghentikan viremia dan menghambat
berlanjutnya lesi pada kulit dan organ lain. Imunitas humoral terdapat
VZV yang berfungsi proteksi terhadap varicella. Pada orang yang
terdeteksi memiliki antibodi serum biasanya tidak selalu menjadi sakit
setelah terkena paparan eksogen. Sel mediasi imunitas untuk VZV juga
berkembang selam varicella, berlangsung selama bertahun-tahun dan
melindungi terhadap terjadinya resiko infeksi yang berat.

2.3.6 Pencegahan Varicella

31
Tindakan pencegahan ditujukan pada kelompok yang beresiko tinggi
untuk menderita varicella yang fatal seperti neonatus, pubertas ataupun
orang dewasa, dengan tujuan mencegah ataupun mengurangi gejala
varicella.
1. Imunisasi Pasif
a. Menggunakan VZIG (Varicella Zoster Imunoglobulin)
b. Pemberian dalam waktu 3 hari setelah terpajan VZV, pada anak-
anak imunokompromais pemberian VZIG dapat meringankan
gejala varicella.
c. VZIG dapat diberikan pada yaitu:
a. Anak-anak yang berusia < 15 tahun yang belum pernah
menderita varicella
b. Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita
varicella dan tidak mempunyai antibodi terhadap VZV.
c. Bayi yang baru lahir, dimana ibunya menderita varicella dalam
kurun waktu 5 hari sebelum atau 48 jam setelah melahirkan.
d. Bayi premature dan bayi usia ≤ 14 hari yang ibunya belum
pernah menderita varicella.
e. Anak-anak yang menderita leukimia atau lymphoma yang
belum pernah menderita varicella.
f. Dosis: 125 U/10 kg BB
g. Pemberian secara IM
h. Perlindungan yang didapat bersifat sementara.
2. Imunisasi Aktif
a. Vaksinasinya menggunakan vaksin varicella virus (Oka strain) dan
kekebalan yang didapat dapat bertahan hingga 10 tahun.
b.Daya proteksi melawan varicella berkisar antara 71-100%
c. Vaksin efektif jika diberikan pada umur ≥ 1 tahun dan
direkomendasikan diberikan pada usia 12-18 bulan.
d.Anak yang berusia ≤ 13 tahun yang tidak menderita varicella
direkomendasikan diberikan dosis tunggal dan anak lebih tua
diberikan dalam 2 dosis dengan jarak 4-8 minggu.
e. Efek samping: timbul demam dan reaksi lokal seperti ruam
makulopapular atau vesikel, terjadi pada 3-5% anak-anak dan timbul
10-21 hari setelah pemberian pada lokal penyuntikan.
Tidak boleh diberikan pada wanita hamil karena dapat menyebabkan
terjadinya kongenital varicella.

2.3.7 Komplikasi Varicella


Komplikasi yang dapat dijumpai pada varicella yaitu:

32
a. Infeksi sekunder yang disebabkan oleh bakteri
Sering dijumpai infeksi pada kulit dan timbul pada anak-anak yang
berkisar antara 5-10%. Lesi pada kulit tersebut menjadi tempat
masuk organisme yang virulen dan apabila infeksi meluas dapat
menimbulkan impetigo, furunkel, cellulitis dan erysepelas.
b. Scar
Timbulnya scar yang berhubungan dengan infeksi staphylococcus
atau streptococcus yang berasal dari garukan.
c. Pneumonia
Dapat timbul pada anak-anak dan orang dewasa. Pada orang dewasa
insiden varicella pneumonia 1: 400 kasus.
d. Neurologik
1) Acute postinfeksius cerebelar ataxia
Ataxia sering muncul tiba-tiba, terjadi 2-3 minggu setelah timbul
varicella. Keadaan ini dapat menetap selama 2 bulan.
Manifestasinya berupa tidak dapat mempertahankan posisi berdiri
hingga tidak mampu untuk berdiri.
2) Encephalitis
Muncul selama terjadi varicella akut yaitu beberapa hari setelah
timbulnya ruam. Letargi, drowsines dan confusion adalah gejala
yang sering dijumpai.
e. Herpes Zoster
Komplikasi yang lambat dari varicella yaitu timbulnya herpes zoster,
timbul beberapa bulan hingga tahun setelah terjadinya infeksi primer
f. Sindrom Reye
Ditandai dengan fatty liver dengan encephalophaty. Keadaan ini
berhubungan dengan penggunaan aspirin, tetapi setelah digunakan
acetaminophen (antipiretik) secara luas.

2.3.8 Penatalaksanaan Varicella


1) Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak
mudah pecah.
2) Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat
diberikan salap antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder.
3) Dapat diberikan antipiretik dan analgetik tetapi tidak boleh
golongan salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya syndrom
Reye.

33
4) Kuku jari harus dipotonguntuk mencegah terjadinya infeksi
sekunder akibat garukan.
5) Obat antivirus
a. Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan
dan waktu penyembuhan akan lebih singkat.
b. Pemberian antivirus dalam jangka waktu kurang dari 48-72 jam
setelah erupsi dikulit muncul.
c. Golongan antivirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir,
valasiklovir, dan famasiklovir.

2.3.9 Pemeriksaan Diagnostik Varicella


Pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk mendiagnosis pasien
yang dicurigai menderita varicella atau herpes zoster serta untuk
menentukan terapi antivirus yang sesuai.
1. Tehnik PCR
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein
virus digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV.
Spesimen sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan
suhu -70۫ C apabila penyimpanan dilakukan untuk waktu yang
lebih lama.
2. Teknik Serologi
Salah satu metode serologik yang digunakan untuk mendiagnosis
infeksi VZV di dasarkan pada pemeriksaan seru akut dan
konvalesens yaitu IgM dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki
sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Reaktivasi VZV memacu
IgM yang terkadang sulit dibedakan dengan kehadiran IgM pada
infeksi primer.Salah satu kepentingan pemeriksaan antibodi IgG
adalah untuk mengetahui status imun seseorang, dimana riwayat
penyakit varicelanya tidak jelas. Pemeriksaan IgG mempunyai
kepentingan klinis, guna mengetahui antibodi pasif atau pernah
mendapat vaksin aktif terhadap varicela. Keberadaan IgG, pada
dasarnya merupakan petanda dari infeksi laten terkecuali pasien
telah menerima antibodi pasif dari immunoglobulin. Teknik lain
adalah dengan menggunakan fluorescent-antibodi membrane
antigen assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi yang
terikat pada sel yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat sensitif

34
dan spesifik, hampir serupa dengan pemeriksaan enzyme
immunoassay atau imunoblotting. Pemeriksaan serologik lain yang
mendukung adalah lateks aglutinasi, untuk mengetahui status
imunitas terhadap VZV.
3. Tzanck Smear
a. Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan yaitu hematoxylin-eosin,
Giemsa’s, Wright’s, Toluidine blue atau papanicolaou’s. Dengan
menggunakan mikroskope cahaya akan dijumpai multinucleated
giant cell.
b. Pemeriksaan ini sensitifitasnya sekitar 84%.
c. Test ini tidak dapat membedakan antara VZV dengan herpes
simpleks virus.

2.3.10 Prognosis Varicella


Infeksi primer varicella memiliki tingkat kematian 2-3 per
100.000 kasus dengan case fatality ratepada anak berumur 1-4 tahun
dan 5-9 tahun (1 kematian per 100.000 kasus). Pada bayi rata-rata
resiko kematian adalah sekitar 4 kali lebih besar dan pada dewasa
sekitar 25 kali lebih besar. Rata-rata 100 kematian terjadi di USA
sebelum ditemukannya vaksin varicella, komplikasi yang menjadi
penyebab utama kematian, antara lain: pneumonia, komplikasi
SSP, infeksi sekunder, dan perdarahan.

35
WOC Varicella
Percikan ludah berasal
Masuk melalui
dari batuk/ bersin
paru-paru
penderita

Infeksi virus
Varicella-Zoster

VARICELLA

Tersebar melalui
kelenjar getah bening
ke seluruh tubuh

Berkembang biak di sel


retikulo endotelial

Menyebar melalui
pembuluh darah
RESIKO INFEKSI
Infeksi merangsang akumulasi Menyebar ke
monosit, magrofag, sel T helper, jaringan kulit
dan fibroblas Timbul luka

Terbentuk makula
Pelepasan pirogen
(bintik-bintik merah) Respon menggaruk
endogen (sitokin)

Papula (benjolan
Merangsang kecil pada kulit) Penumpukan histamin
saraf vagus menyebabkan gatal
Vesikel (gelembung kecil
berisi cairan jernih)
Sinyal mencapai Pelepasan mediator nyeri
saraf pusat (histamin, bradikinin,
Pustula (cairan gelembung
prostaglandin, serotonin)
menjadi keruh)

Pembentukan
prostaglandin otak
Terbentuk lesi yang bermula Kerusakan sel
pada bagian tengah tubuh

Merangsang
hipotalamus untuk
Menyebar ke ferifer Merangsang nosiseptor
meningkatkan suhu
menuju ekstremitas

Menggigil,
meningkatkan Lesi menjadi krusta / Medulla spinalis
suhu basal keropeng (eksudat yang
mengering)
HIPERTERMI

Otak (korteks
HIPERTERMI somatosensorik)

Krusta GANGGUAN
mengelupas INTEGRITAS Persepsi nyeri
KULIT

Meninggalkan NYERI AKUT


bekas hitam

GANGGUAN
CITRA TUBUH
Asuhan Keperawatan Umum Varicella

Pengkajian
Anamnesa
1) Identitas Klien
a. Nama
b. Alamat
c. Umur
d. Jenis Kelamin
e. Berat Badan
f. Agama
g. Pekerjaan
2) Riwayat Kesehatan
(1) Keluhan Utama
Klien merasakan gatal dan terdapat gelembung berisi cairan pada hampir
seluruh tubuh sejak.
(2) Riwayat Penyakit Sekarang
Awalnya klien merasakan demam yang dirasakan terus menerus sepanjang
hari, juga ada nyeri saat menelan, tidak nafsu makan, mual muntah, dan
badan terasa pegal-pegal. Terdapat gelembung-gelembung kecil berisi
cairan pada hampir seluruh permukaan tubuh berwarna kemerahan dan
dirasakan gatal dan nyeri. Awalnya gelembung-gelembung cairan ini
muncul di dada, kemudian dirasakan semakin banyak dan menyebar ke
muka, punggung, kedua tangan dan perut dan sebagian gelembung sudah
ada yang pecah.
(3) Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji apakah klien pernah memiliki riwayat sakit seperti ini sebelumnya
dan apa ada penyakit kulit sebelumnya.
(4) Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya anggota keluarga lain yang mengidap varisela.
(5) Riwayat Alergi
Kaji apakah klien dan keluarga memiliki riwayat alergi.
(6) Riwayat Penggunaan Obat
Kaji obat apa yang sudah dikonsumsi selama ini, obat apa yang sudah
diminum sebelum MRS.
1. Pemeriksaan Fisik
1) B1 (breathing)
Biasanya dalam batas normal (16-20x/mnt)
2) B2 (blood)
Hipertermi (demam sub febris 37-38˚C), bradikardi
3) B3 (brain)
Klien merasakan pusing
4) B4 (bladder)
Kaji bagaimana warna dan jumlah urine, kaji intake cairan, kaji
apakah ada pembesaran kandung kemih.
5) B5 (bowel)
Kaji apakah ada nyeri tekan abdomen, apakah ada kram abdomen,
apakah ada mual dan muntah
6) B6 (bone)
Adanya ruam yang muncul diarea sekitar tubuh, ruam tersebut
berwarna merah, berisi air, dan ketika dipegang terasa nyeri. Setelah
beberapa hari ruam tersebut menyebar di area tubuh, wajah, leher,
tangan, dan kepala.
Analisa Data
Data Etiologi Masalah
Keperawatan

DS: klien mengeluh Infeksi merangsang Hipertermi


badan demam akumulasi monosit,
DO: klien tampak magrofag, sel T helper, dan
lemah, berkeringat, fibroblas
mukosa bibir kering.
Vital sign :
TD : 110/80 mmHg
Suhu : 38,2˚C Pelepasan pirogen endogen
Nadi : 58x/mnt (sitokin)
RR : 19x/mnt

Pembentukan prostaglandin
otak

Merangsang hipotalamus
untuk meningkatkan suhu

Hipertermi

DS: klien mengeluh Terbentuk lesi pada bagian Nyeri Akut


ruam pada kulit tubuh
terasa nyeri
DO: klien tampak
meringis saat ditekan
Kerusakan sel
/ dipegang ruam
pada kulit

Merangsang nosiseptor

Munculnya persepsi nyeri

Nyeri akut

DS:klien Lesi menjadi krusta / Gangguan Citra


mengatakan malu keropeng (eksudat yang Tubuh
untuk keluar rumah. mengering)
DS: ada krusta yang
meninggalkan bekas
hitam di kulit.
Krusta mengelupas

Meninggalkan bekas hitam

Gangguan citra tubuh

DS: Klien mengeluh Virus varicella Kerusakan


nyeri integritas kulit
DO: terdapat lesi
pada kulit
Infeksi primer

Respon inflamasi lokal

Kerusakan saraf perifer

Lesi
Kerusakan integritas kulit

Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi b.d proses inflamasi virus
2. Nyeri akut b.d kerusakan jaringan
3. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat
penyakit
4. Kerusakan integritas kulit b.d injury

Intervensi
Hipertermi b.d proses inflamasi virus
NOC NIC

Tujuan: Hyperthermia Treatment (3786)


Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. Monitoring TTV
klien melapor suhu tubuh klien dalam 2. Istirahatkan pasien dari
batas normal. aktivitas fisik.
3. Menjauhkan pasien dari
Kriteria Hasil: sumber panas
1. Domain II: Physiologic Health 4. Anjurkan klien
Kelas I: Metabolic Regulation menggunakan pakaian yang
Outcome: Thermoregulation (0800) dapat menyerap keringat.
1) TTV dalam batas normal 5. Monitor urin output
2) Klien melaporkan suhu tubuh
dalam batas normal.

Nyeri akut b.d kerusakan jaringan


NOC NIC

Tujuan: Manajemen nyeri (1400)


Setelah dilakukan perawatan klien melapor 1. Kaji nyeri secara komprehensif
nyeri berkurang atau hilang. meliputi lokasi, karakteristik,
onset, frekuensi, kualitas,
Kriteria Hasil: intensitas, atau beratnya nyeri
1. Domain IV: Health Knowledge & dan faktor presipitasi.
Behavior 2. Observasi ekspresi klien secara
Kelas Q: Health Behavior non verbal agar mengetahui
Outcome: Pain Control tingkat nyeri.
1) Klien mengatakan nyeri 3. Kolaborasi pemberian analgesik
sesuai advis dokter dan
berkurang
monitoring respon klien.
2) Klien dapat menjelaskan faktor
4. Kaji pengetahuan dan perasaan
penyebab nyeri. klien mengenai nyerinya.
3) Klien dapat mengetahui 5. Kaji dampak nyeri terhadap
intervensi yang akan dilakukan kualitas hidup klien.
untuk mengurangi nyeri (farmaka 6. Ajak klien untuk mengkaji
dan non farmaka). faktor yang dapat memperburuk
4) Klien melaporkan perubahan nyeri.
gejala nyeri yang terkontrol pada 7. Kontrol faktor lingkungan yang
tim medis. dapat mempengaruhi
5) Klien mengetahui onset nyeri. ketidaknyamanan klien.
8. Ajarkan teknik nonfarmakologi
1. Level 1 Domain V: Perceived Health (relaksasi, terapi musik,
Level 2 Kelas V: Symptom Status distraksi, terapi aktivitas,
Level 3 Outcome: Pain Level masase).
1) Laporkan nyeri
2) Durasi nyeri
3) Ekspresi wajah klien

Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit


NOC NIC

Tujuan: Body image enhacment (5220)


Setelah dilakukan asuhan keperawatan klien 1. Tentukan harapan citra
merasa tidak malu dengan penyakit yang tubuh pasien berdasarkan
dialami. tahap perkembangan.
2. Menentukan apakah
Kriteria Hasil: perubahan fisik baru-baru
Domain 3: Psychosocial Health ini telah dimasukkan
Kelas M: Psychosocial Well Being
menjadi citra tubuh pasien.
Outcome: body image
3. Membantu pasien untuk
1) Gambaran internal diri
2) Kepuasan dengan penampilan tubuh memisahkan penampilan
fisik dari perasaan nilai
pribadi yang sesuai.
4. Gunakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan.

Kerusakan integritas kulit b.d injury


NOC NIC

Domain II: Tissue Integrity Domain II : Physiological


Kelas L: Tissue Integrity Kelas L: Skin/ wound
Tissue Integrity: skin and mucous managemant
membranes (1101) Skin surveillance (3590)
110108 Tekstur 1. Inspeksi kulit dan membran
110109 Integritas kulit mucus untuk kemerahan,
110115 Lesi kulit edema atau drainasenya
110117 Jaringan parut 2. Observasi ekstremitas untuk
1101121 Eritema
warna, tekstur, ulsersi, dan
edema.
3. Monitor warna kulit dan
suhunya
4. Monitor kulit dan membran
mukosa untuk area yang ada
perubahan warna, memar,
rusak, abrasi dll
5. Monitor kulit yang nampak
kering atau lembab yang
berlebihan.

2.4 Pembahasan Herpes Zooster


2.4.1 Definisi Herpes Zooster
Herpes zoster (HZ) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus
Varisela-zoster yang bersifat terlokalisir, terutama menyerang orang
dewasa dengan ciri berupa nyeri radikuler, unilateral, dan gerombolan
vesikel yang tersebar sesuai dermatom yang diinervasi 1,2 oleh satu
ganglion saraf sensoris. (Lia Kinasih Ayuningati, 2015)
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus
varisela – zoster (VVZ) yang menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini
merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.1 Infeksi
primer dengan virus varisela zoster menimbulkan varisela (cacar air).
Virus membentuk infeksi laten di ganglia dorsal sehingga menyebabkan
terjadinya herpes zoster. (Sahriani HR, 2012)

2.4.2 Etologi Herpes Zooster


Virus varisela zoster merupakan rantai ganda DNA yang termasuk
dalam anggota famili virus herpes yang tergolong virus neuropatik atau
neurodermatotropik. Reaktivasi virus varisela zoster dapat dipicu oleh
berbagai faktor seperti antara lain pembedahan, penyinaran, lanjut usia,
dan keadaan tubuh yang lemah meliputi malnutrisi, seseorang yang
dalam pengobatan imunosupresan jangka panjang, atau menderita
penyakit sistemik. Orang yang pernah menderita varisela dapat terkena
penularan herpes zoster yang dapat ditularkan melalui kontak langsung
dengan lesi aktif penderita herpes zoster. Selain itu, penularan juga bisa
melalui sekresi pernapasan pada individu imunokompromais dari pasien
herpes zoster aktif. (Sahriani HR, 2012)
Masa tunas dari virus ini sekitar 7-12 hari, masa aktif berupa lesi
baru yang tetap timbul, berlangsung seminggu, dan masa resolusi
berlangsung 1-2 minggu. Selain gejala kulit, kelenjar getah bening
regional juga dapat membesar. Penyakit ini lokalisasinya unilateral dan
dermatomal sesuai persarafan. Saraf yang paling sering terkena adalah
nervus trigeminal, fasialis, otikus, C3, T3, T5, L1, dan L2. Jika terkena
saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, sedangkan pada saraf pusat
sering dapat timbul gangguan motorik akibat struktur anatomisnya.
Gejala khas lainnya adalah hipestesi pada daerah yang terkena
(Handoko, 2007).
2.4.3 Faktor Resiko Herpes Zooster
Faktor risiko terjadinya Herpes Zooster adalah usia tua dan
disfungsi imunitas seluler. Pasien dengan supresi imun memiliki risiko
20-100 kali lebih besar dibanding pasien imunokompeten. Keadaan
imunosupresi yang berhubungan dengan risiko terjadinya HZ adalah
infeksi HIV (Human immunodeficiency virus), pasien yang menjalani
transplantasi organ, leukemia, limfoma, radioterapi, kemoterapi, dan
penggunaan kortikosteroid jangka panjang. Faktor lain yang dilaporkan
sebagai salah satu faktor risiko terjadinya HZ adalah jenis kelamin
perempuan, adanya trauma fisik pada 1dermatom yang terkena dan
tindakan pembedahan. (Lia Kinasih Ayuningati, 2015)
Episode kedua HZ jarang terjadi pada pasien imunokompeten,
episode ketiga lebih jarang. Pasien yang menderita HZ lebih dari satu
episode dapat dicurigai mengalami imunokompromais. Pasien dengan
HZ lebih tidak menular dibandingkan dengan varisela. Virus dapat
diisolasi dari vesikel dan pustul pada HZ tanpa komplikasi hingga 7
hari setelah munculnya lesi, dan bisa lebih panjang pada pasien dengan
1imunokompromais. Postherpetic neuralgia (PHN) atau nyeri yang
terjadi setelah lesi sembuh adalah salah satu komplikasi yang potensial
menimbulkan masalah jangka panjang. Nyeri dapat bertahan beberapa
bulan hingga beberapa tahun. Komplikasi tersebut terjadi pada 10-50%
pasien dengan HZ dan prevalensinya meningkat sebanding dengan
peningkatan usia pasien 2(terutama pada usia lebih dari 50 tahun). (Lia
Kinasih Ayuningati, 2015)

2.4.4 Patofisiologi Herp[es Zooster


Selama terjadinya infeksi varisela, VZV (varicella zoster virus)
meninggalkan lesi di kulit dan permukaan mukosa ke ujung serabut
saraf sensorik. Kemudian secara sentripetal virus ini dibawa melalui
serabut saraf sensorik tersebut menuju ke ganglion saraf sensorik.
Dalam ganglion ini, virus memasuki masa laten dan di sini tidak
infeksius dan tidak mengadakan multiplikasi lagi, namun tidak berarti
ia kehilangan daya infeksinya (Elizabeth j, 2008)
Bila daya tahan tubuh penderita mengalami penurunan, akan
terjadi reaktivasi virus. Virus mengalami multiplikasi dan menyebar di
dalam ganglion. Ini menyebabkan nekrosis pada saraf serta terjadi
inflamasi yang berat, dan biasanya disertai neuralgia yang hebat
(Elizabeth j, 2008)
VZV (varicella zoster virus) yang infeksius ini mengikuti serabut
saraf sensorik sehingga terjadi neuritis. Neuritis ini berakhir pada ujung
serabut saraf sensorik di kulit dengan gambaran erupsi yang khas untuk
erupsi herpes zoster (Elizabeth j, 2008)

2.4.5 Manifestasi Klinis Herpes Zooster


Lesi herpes zoster dapat mengenai seluruh kulit tubuh maupun
membran mukosa. Herpes zoster biasanya diawali dengan gejala-gejala
prodromal selama 2- 4 hari, yaitu sistemik (demam, pusing, malaise),
dan lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal). Setelah itu akan timbul
eritema yang berubah menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit
yang edema dan eritematosa. Vesikel tersebut berisi cairan jernih,
kemudian menjadi keruh, dapat menjadi pustul dan krusta. Jika
mengandung darah disebut sebagai herpes zoster hemoragik. Jika
disertai dengan ulkus dengan sikatriks, menandakan infeksi sekunder
(Handoko, 2007).

2.4.6 Pemeriksaan Diagnostik Herpes Zooster

Secara laboratorium pemeriksaan sediaan apus test Tzanck


membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan data mberinti
banyak. Demikian pula pemerisaan cairan vesikula atau material
biopsy dengan mikroskop electron, serta test serologic. Pada
pemeriksaan histopatologi ditemukan sebuah sel limfosit yang
mencolok, nekrosis sel dan seraut saraf, proliferasi endotel pembuluh
darah kecil, hemorago fokal dan inflamasi bungkus ganglion.
Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop electron dan antigen
virus herpes zoster dapat dilihat dengan cara imunofluoresensi.
Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan
diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan
pemeriksaan penunjang antara lain:

1. Isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi


dengan mikroskop electron.
2. Pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen
3. Test serologi dengan mengukur immunoglobulin spesifik.

Pemeriksaan laboratorium direkomendasikan bila lesi atipikal


seperti lesi rekuren, dermatom yang terlibat multipel, lesi tampak
krusta kronis atau nodul verukosa dan bila lesi pada area sakral
sehingga diragukan patogennya virus varisela zoster atau Herpes
Zooster. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah
PCR yang berguna pada lesi krusta, imunoflouresensi direk dari
spesimen lesi vesikular, dan kultur virus yang tidak efektif karena
membutuhkan waktu 1-2 minggu (Dworkin et al.,2007).

2.4.7 Penatalaksanaan Herpes Zooster

Penatalaksanaan infeksi herpes zoster adalah dengan antiviral


agent. Obat yang digunakan termasuk acyclovir, famciclovir,
valacyclovir, dan foscarnet. Obat oral biasanya efektif untuk
kebanyakan orang. Bagaimanapun, saluran intravena digunakan
untuk orang orang memiliki gangguan fungsional sistem imun.
Pengobatan sangat eektif jika dimulai dalam 72 jam dari timbulnya
ruam. Nyeri dapat diberikan pengibatan dengan analgesic dan
sedative agen. Setelah luka mongering, salep antibiotic topical dapat
diberikan dua atau tiga kali sehari. Obat kortikosteroid sangat
membantu dalam menurunkan nyeri dan menurunkan risiko hepatic
neuralgia.

Penatalaksanaan yang tepat pada infeksi virus varisela – zoster


sangat penting karena akan menurunkan durasi lesi serta risiko
komplikasi, misalnya Neuralgia Pascaherpetik. Penatalaksanaan
infeksi varisela – zoster yang utama berupa pemberian antivirus,
disertai dengan pemberian terapi simtomatis, berupa antiinflamasi,
analgesik dan neuroaktif. Selain terapi pada infeksi pada varisela –
zoster, perlu dilakukan pencegahan infeksi varisela – zoster dengan
vaksinasi aktif yang akan menurunkan risiko infeksi yang berat pada
individu risiko tinggi. (Sahriani HR, 2012)

Penatalaksanaannya berupa edukasi dan medikamentosa.


Sebagai edukasi pasien diingatkan untuk menjaga kebersihan lesi
agar tidak terjadi infeksi sekunder. Edukasi larangan menggaruk
karena garukan dapat menyebabkan lesi lebih sulit untuk sembuh
atau terbentuk skar jaringan parut, serta berisiko terjadi infeksi
sekunder. Selanjutnya pasien tetap dianjurkan mandi, mandi dapat
meredakan gatal. Untuk mengurangi gatal dapat pula menggunakan
losio kalamin. Untuk menjaga lesi dari kontak dengan pakaian dapat
digunakan dressing yang steril, non-oklusif, dan non- adherent.
Pasien juga perlu diedukasi bahwa pada orang yang belum pernah
mengalami cacar air, dapat terjadi penyebaran virus VZV ke pejamu
lain, yang dapat menimbulkan varicela pada orang lain. Dengan
demikian dalam fase ini sebaiknya pasien tidak membiarkan anak-
anak ataupun orang yang belum pernah mengalami varicela
sebelumnya untuk bermain atau berdekatan dengan pasien. (Saragih,
2014).

2.4.8 Komplikasi Herpes Zooster


1. Neuralgia pasca Herpetic (PHN)
PHN adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas
penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-
bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pda
umur diatas 40 tahun, persentasenya 10-15% dengan gradasi nyeri
yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi
presentasinya.
2. Infeksi sekunder
Pada penderita tanpa disertai defesiensi imunitas biasanya
tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas,
infeksi HIV, keganasan atau usia lanjut dapat disertai komplikasi.
Vesikel sering menjadi ulkus dengan jaringan mekrotik.
3. Kelainan pada mata
Keterlibatan mata dapat mengancam penglihata jika tidak
terdeteksi dan diterapi dengan cepat. Adanya edema orbita adalah
emergensi optalmologi dan pasien harus dirujuk ke spesialis mata.
Iriti , iridocyclitis, gloukoma, dn ulkus kornea dapat terjadi pada
kasus ini.
4. Sindrom Ramsay Hunt
Terjadi karena gangguan pada nervus vasialis dan otikus
ganglion geniculatum, sehingga memberikan gejala paralisis otot
muka (paralisis bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat
persyarafan, tinnitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus,
nausea dan gangguan pengecapan.
5. Paralisis motorik
Dapat terjadi pada 1- 5% kasus, yang terjadi akibat perjalann
virus secara kontinuitatum dari ganglion sensori ke sistem saraf yang
berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak
munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi seperti di wajah,
diafragma, batang tubuh, ektremitas, vesika urinaria ,dan anus.

2.4.9 Pencegahan Herpes Zooster


Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat
ditempuh adalah pemberian vaksinasi. Vaksin berfungsi untuk
meningkatkan respon spesifik limfosit sitotoksik terhadap virus
tersebut pada pasien seropositif usia lanjut. Vaksin herpes zoster
dapat berupa virus herpes zoster yang telah dilemahkan atau
komponen selular virus tersebut yang berperan sebagai antigen.
Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat
mencegah atau mengurangi risiko terkena penyakit tersebut pada
pasien yang rentan, yaitu orang lanjut usia dan penderita
imunokompeten, serta imunosupresi (Bethany A. Weaver, DO, MPH
2009).

2.4.9 Prognosis Herpes Zooster


Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-an ak
umumnya baik, tetapi usia tuarisiko terjadinya komplikasi
semakin tinggi, dan secara kosmetika dapat menimbulkanmakula
hiperpigmentasi atau sikatrik. Dengan memperhatikan
higiene & perawatanyang teliti akan memberikan prognosis
yang baik & jaringan parut yang timbul akan menjadi sedikit
(Joseph G. Ouslander 2006).
Faktor risiko: lanjut usia,
malnutrisi, pengobatan
imunosupresan jangka panjang,
WOC Herpes Zoster
penderita penyakit sistemik

Virus varisela zoster

Sistem respiratorik

Replikasi di kelenjar
getah bening

Menyebar dialiran
darah

Viremia

Aktivasi virus ketika


imun ↓

Herpes zoster

Inflamasi

Kerusakan pada sel Kerusakan saraf Gejala perdomal


perifer sistemik

↑ sensifitas dan respon


pada reseptor taktil Lesi (vesikel, eritema) Lesi menjadi Demam, pusing
krusta/eksudat yang
mengering
Ganggauan tranmisi Kerusakan Integritas Hipertermi
saraf sensorik thdap Kulit
rangsangan taktil pada Meninggalkan bekas
nosireseptor luka

Nyeri Akut Gangguan Citra


Tubuh
ASUHAN KEPERAWATAN UMUM HERPES ZOOSTER
Pengkajian
a. Anamnesa
1. Identitas
Di dalam identitas hal-hal yang perlu di kaji antara lain nama pasien, alamat
pasien, umur pasien biasnya kejadian ini mencakup semua usia antara anak-
anak sampai dewasa, tanggal masuk ruma sakit penting untuk di kaji untuk
melihat perkembangan dari pengobatan, penanggung jawab pasien agar
pengobatan dapat di lakukan dengan persetujuan dari pihak pasien dan
petugas kesehatan.
b. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan
kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah
yang terkena pada fase-fase awal baik pada herpes zoster maupun simpleks.
2. Riwayat penyakit Sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang
mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga
terdapat lesi/vesikel perkelompok dan penderita juga mengalami demam.
3. Riwayat penyakit keluarga
Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman
dekat yang terinfeksi virus ini.
4. Riwayat penyakit dahulu
Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes
simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini
5. Riwayat psikososial.
Kaji respon pasien terhadap penyakit yang diderita serta peran dalam
keluarga dan masyarakat, respon dalam keluarga maupun masyarakat.
6. Pola Nutrisi dan Metabolik
Bagaimana pola nutrisi pasien, apakah terjadi penurunan nafsu makan,
anoreksia.
7. Pola Aktifitas dan Latihan
Dengan adanya nyeri dan gatal yang dirasakan, terjadi penurunan pola
akifitas pasien.
c. Pemeriksaan Fisik
- Rambut dan Hygiene Kepala
Rambut klien berwarna hitam, tidak rontok, tidak ada ketombe, kulit kepala
bersih.
- Mata
Simetris kiri dan kanan, reflek cahaya baik, konjungtiva tidak anemis,falpebra
tidak oedema, skelera tidak ikterik.
- Hidung
Simetris kiri kanan tidak ada peradangan.
- Mulut dan Gigi
Mulut bersih tidak ada peradangan, gigi tidak ada caries
- Telinga
Simetris kiri dan kanan, pendengaran baik, tidak ada peradangan.
- Leher
Kelenjer tiroid dan getah bening tidak ada pembesaran.
- Dada atau Thorak
Inspeksi : Simetris kiri : Kanan
Palpasi : Premitus kiri : kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Pekak
- Sistem Cardiovaskuler
I : biasanya ictus kiri : kanan
P : premitus kiri : kanan
P : pekak
A : irama teratur
- Kulit
Nyeri, gatal, Lesi kulit, Kemerahan, Fatige
8. Riwayat psikososial
Kondisi psikologis pasien, Kecemasan, Respon pasien terhadap penyakit

Analisa data
Data Analisa Data Masalah

Keperawatan

DS : Klien mengatakan nyeri Virus herpes zoster Nyeri akut


yang sangat hingga
mengganggu tidurnya.
Infeksi primer
DO : terdapat lesi, nyeri skala
4

Respon inflamasi

↑ sensifitas dan respon pada


reseptor taktil

Ganggauan tranmisi saraf


sensorik thdap rangsangan
taktil pada nosireseptor

nyeri

DS : klien mengeluh demam, Virus herpes zoster Hipertermi


tidak enak badan

DO : Suhu : 38°C Respon Inflamasi

Gejala prodomal sistemik

Demam,pusing

hipertermi

DS : Klien mengeluh nyeri Virus herpes zoster Kerusakan integritas


kulit
DO : terdapat bintik bintik
merah dan lesi inflamasi

Kerusakan saraf perifer


Lesi (vesikel,eritema)

Kerusakan integritas kulit

DS: klien mengatakan malu Lesi menjadi krusta / Gangguan Citra


terhadap lukaknya keropeng (eksudat yang Tubuh
DS: ada krusta yang mengering)
meninggalkan bekas hitam di
kulit.

Meninggalkan bekas
hitam

Gangguan citra tubuh

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d proses inflamasi virus
2. Hipertermi b.d proses penyakit
3. Gangguan integritas kulit b.d proses peradangan
4. Gangguan citra tubuh b.d penyakit

Intervensi Keperawatan

Nyeri akut b.d proses inflamasi virus


NOC NIC
Domain IV – Health knowledge & Domain 1 – Physiological bassic
Behavior Class E – physiological comfort
Class Q – Health Behavior promotion
1400 Management nyeri
1605 – Pain Control 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
160502 Mengenali onset nyeri (1-5) komperhensif
160501 Mendreskripsikan faktor 2. Gunakan teknik komunikasi
penyebab (1-5) terapeutik untuk mengetahui
160510 Menggunakan catatan untuk pengalaman nyeri pasien
3. Kontrol lingkungan yang dapat
memantau gejala setiap waktu (1-5)
mempengaruhi nyeri
160504 Menggunakan tindakan non –
4. Kurangi faktor presipitasi nyeri
analgesik (1-5) 5. Beri analgesik untuk mengurangi
nyeri
6. Tingkatkan istirahat
7. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Domain 2 – Physiological Complex
Class H Drug management
2211 Analgesic administration :
a. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
b. Cek instruksi dokter tentang jenis
obat, dosis, dan frekuensi
c. Cek riwayat alergi
d. Tentukan pilihan algesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
e. Monitoring vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
f. Evaluasi efektifitas analgesik, tanda
dan gejala.

Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit


NOC NIC

Domain II : Physiologic Health Domain 2 : physiological


Class I : Metabolic Regulation Class M : thermoregulation
Thermoregulation (0800) Hyperthermia treatment (3786)
080010 Berkeringat saat panas
080001 Naiknya suhu kulit 1. Monitoring TTV
080019 Hyperthermia 2. Ganti pakaian klien dengan yang
080014 Dehidrasi
080003 Sakit kepala lebih tipis
3. Berikan cairan tambahan jika
dibutuhkan
4. Monitor urin output
5. Berikan cairan rehidrasi dan
pertahankan intake cairan klien.

Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi


NOC NIC

Domain II : Tissue integrity Domain II : physiological


Class L : tissue integrity Class L : skin/wound management
tissue integrity : skin and mucous Skin Surveillance (3590)
membranes (1101)
110108 Tekstur 1. Inspeksi kulit dan membrane mucus
110109 Integritas kulit untuk kemerahan, edema, atau
110115 Lesi kulit
110117 Jaringan parut drainasenya
1101121 eritema 2. Observasi ekstremitas untuk
warna,tekstur,ulserasi,edema
3. Monitor warna kulit dan suhunya
4. Monitor kulit dan membrane mukosa
untuk area yang ada perubahan warna,
memar, rusak, abrasi,dll.
5. Monitor kulit yang Nampak kering
atau lembab yang berlebihan

Gangguan citra tubuh b.d penyakit


NOC NIC

Domain 3: Psychosocial Health Body image enhacment (5220)


Kelas M: Psychosocial Well Being 1. Tentukan harapan citra tubuh pasien
Outcome: body image(00118) berdasarkan tahap perkembangan.
1. Gambaran internal diri 2. Menentukan apakah perubahan fisik
2. Kepuasan dengan penampilan baru-baru ini telah dimasukkan
tubuh menjadi citra tubuh pasien.
3. Membantu pasien untuk memisahkan
penampilan fisik dari perasaan nilai
pribadi yang sesuai.
4. Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan.
DAFTAR PUSTAKA

Bethany A. Weaver, DO, MPH (2009). "Herpes Zoster Overview: Natural History and
Incidence". J Am Osteopath Assoc 109 (6): S2–S6.
Blackwell,Wiley. 2014. Nursing Diagnoses Definitions and Classification 2015-
2017 Tenth Edition
Christo PJ, Hobelmann G, Maine DN. 2007 Post - herpetic neuralgia in older
adults. Drugs Aging Journal ;24(1):1-19
Djuanda, Adhi. 2010.Ilmu penyakit Klulit dan Kelamin, Adhi, Edisi Enam
Cetakan Kedua, Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Dworkin RH, Johnson RW, Breuer J, Gnann JW, Levin MJ, Backonja M. 2007.
Recommendations for the management of herpes zoster. Clinical Infection
Disease Journal; 44:1-21.
Gershon AA. 2008.Varicella-Zoster Infections. Pediatricsin Review
Handoko R. Penyakit virus. 2007. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.hlm 88-100
Lia Kinasih Ayuningati, D.M.2015. Studi Retrospektif: Karakteristik pasien
Herpes Zooster. BIKKK – Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin –
Periodical of Dermatology and Venereology. 211-212
Linton.2012. Intoduction to medical Surgical Nursing ed 5. Library of congress
cataloging in publication data: Saragih.2014. Herpes Zooster pada Geriatri. 19
Mulechek, Gloria M et all. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth
Edition. Elvesier Mosby
Moorhead,Sue et all.2013. Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition.
Elvesier Mosby
McCrary ML, Severson J, Tyring SK. 2009. Varicella Zoster Virus. Journal of the
American Academy of Dermatology;41:1-13.
Myers MG, Stanberry LR, Seward JF. 2004. Varicella-ZosterVirus. Dalam:
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-
17. Philadelphia: Elseviers Saunders.
Nanda, NOC, NIC.2015-2017.Asuhan Keperawatan
Perdanakusuma, DS (2007). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka.
“From Caring to Curing, Pause Before You Use Gauze”.
http://www.gobookee.org/anatomi-fisiologi-kulit/ diunduh 23/03/2016
Price,Sylvia et al.2006. Patofisiologi KOnsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol 2
Edisi 6. ECG: Jakarta
Sahriani HR, M. G. 2012. Profil Herpes Zoster Di Poliklinik Kulit Dan Kelamin
Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. 2.
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS. 2002.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak
Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi ke-1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Utama, Hendra.et al. 2014. Buku Panduan Herpes Zooster. Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Wolff, Klaus. Johnson, Richard Allen.2009. Fitzpatrick’s Color Atlas and
Sypnosis of Clinical Dermatology sixth edition.
Weinberg JM. 2007. Herpes zoster: Epidemiology, natural history, and common
complications. Journal of the American Academy of Dermatology;57:130-5.
Whitley RJ. 2007. Herpes simplex virus infections. In: Goldman L, Ausiello D,
eds. Cecil Medicine . 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier: chap 397.
WHO.2016. Herpes Simplex . WHO. Switzerland
BAB III

KESIMPULAN

Herpes Zooster, Herpes Simpleks, dan Varicella merupakan suatu penyakit yang
disebabkan oleh infeksi virus yang menyerang system integument. Mengingat
prevalensi angka terjadinya Herpes Zooster, Herpes Simpleks, dan Varicella di
Indonesia masih cukup tinggi, maka diperlukan suatu penanganan yang tepat dan
baik guna untuk mengurangi terjadinya komplikasi pada Herpes Zooster, Herpes
Simpleks, dan Varicella serta untuk meningkatkan tingkat morbiditas dan
mortalitas di Indonesia. Peran kita sebagai perawat adalah memberikan asuhan
keperawatan yang baik dan tepat sesuai dengan teori tentang penyakit Herpes
Zooster, Herpes Simpleks, dan Varicella agar kita dapat membantu untuk
meningkatkan tingkat mortalitas dan morbiditas di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai