Anda di halaman 1dari 38

Nabila Az-Zahra

170610016

Learning Objective

1. Kelainan Kulit dan Kelamin

A. Infeksi Virus

I. Herpes Simpleks

 Definisi
Infeksi Herpes simpleks virus (HSV) dapat berupa kelainan pada daerah orolabial
atau herpes orolabialis serta daerah genital dan sekitarnya atau herpes genitalis, dengan
gejala khas berupa adanya vesikel berkelompok di atas dasar makula eritematosa. Herpes
simpleks genitalis merupakan salah satu Infeksi Menular Seksual (IMS) yang paling sering
menjadi masalah karena sukar disembuhkan, sering berulang (rekuren), juga karena
penularan penyakit ini dapat terjadi pada seseorang tanpa gejala atau asimtomatis.

 Manifestasi Klinis
Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital sering ditandai dengan gejala sistemik dan
lokal yang lama. Gejala sistemik muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan
mialgia. Gejala lokal utama berupa nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh vagina,
atau uretra serta pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi nyeri
dilaporkan pada 95% pada pria (dengan rata-rata durasi 10 hari) dan 99% wanita (dengan
rata-rata durasi 12 hari). Hal ini disebabkan karena bersamaan dengan infeksi awal, virus
herpes simpleks akan menuju saraf sensorik perifer masuk ke ganglion sensorik sehingga
manifestasi klinis yang sering ditimbulkan adalah hiperestesi.
Menurut kepustakaan episode pertama herpes simpleks genitalis adalah merupakan
kombinasi manifestasi sistemik dan gejala lokal. Mayoritas pasien dengan herpes simpleks
genitalis primer mengeluhkan manifestasi sistemik yang berupa gejala konstitusional seperti
demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Hal ini sesuai dengan data sebelumnya bahwa
diagnosis terbanyak adalah herpes simpleks genitalis primer.
 Diagnosis

• Bentuk lesi pasien herpes simpleks genitalis yang terbanyak adalah berupa erosi.
Sementara dari hasil penelitian retrospektif tahun 2008-2010 bahwa bentuk lesi
herpes simpleks genitalis terbanyak adalah vesikel. Sumber kepustakaan
menyebutkan bahwa erupsi kulit herpes genitalis berupa gerombolan vesikel di atas
kulit yang kemerahan. Vesikel atau pustul tersebut muncul pada hari ke 1-6.
Vesikel tersebut mudah pecah dan menimbulkan erosi atau ulkus (wet ulcer) kecil
yang multipel hari ke 6-12, dan pada hari ke 12-20 lesi menyembuh dan berbentuk
krusta.
• Lokasi lesi terbanyak adalah pada labium minor dan vulva pada pasien wanita, dan
lokasi terbanyak pada pasien laki-laki yaitu pada batang penis. Sesuai dengan
kepustakaan daerah predileksi lesi kulit pada herpes simpleks genitalis pada wanita
adalah di labia minora, introitus, meatus uretra, dan serviks sedangkan pada laki-
laki yaitu di batang dan glans penis atau perineum, paha dan bokong pada pria dan
wanita.

 Tatalaksana

Terapi terbanyak yang diberikan kepada pasien adalah asiklovir oral 5x200 mg
ditambah dengan terapi tambahan seperti asam mefenamat. Sumber kepustakaan oleh
Marques menyebutkan bahwa pengobatan spesifik dapat dilakukan dengan memberikan
obat antivirus terhadap infeksi HSV. Obat antivirus yang kini telah banyak dipakai adalah
asiklovir disamping ada 2 macam obat lagi antivirus baru yaitu valasiklovir dan
famasiklovir. Efek obat antivirus tersebut belum dapat mengeradiksi virus, hanya
mengurangi viral shedding, memperpendek masa sakit dan mengurangi kekambuhan.
Semua pasien dengan episode pertama sebaiknya diobati dengan obat antivirus oral.
Pengobatan yang diberikan secara dini dapat mengurangi gejala sistemik dan mencegah
perluasan lokal ke saluran genital atas. Pengobatan simtomatis dan antivirus berupa
asiklovir 5x200 mg/hari/oral selama 7-10 hari atau 3x400 mg. Jika ada komplikasi berat
dapat diberikan asiklovir intravena 3x5-10 mg/kg berat badan/hari selama 7-10 hari.
II. Herpes Zoster

 Definisi

Varicella zoster virus (VZV) merupakan famili human (alpha) herpes virus. Virus
terdiri atas genome DNA double-stranded, tertutup inti yang mengandung protein dan
dibungkus oleh glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit yaitu
varicella (chickenpox) dan herpes zoster (shingles).
Pada tahun 1767, Heberden dapat membedakan dengan jelas antara chickenpox dan
smallpox, yang diyakini kata “chickenpox” berasal dari bahasa Inggris yaitu “gican” yang
maksudnya penyakit gatal ataupun berasal dari bahasa Perancis yaitu “chiche-pois”, yang
menggambarkan ukuran dari vesikel. Pada tahun 1888, Von Bokay menemukan hubungan
antara varicella dan herpes zoster, ia menemukan bahwa varicella dicurigai berkembang
dari anak-anak yang terpapapar dengan seseorang yang menderita herpes zoster akut. Pada
tahun 1943, Garland mengetahui terjadinya herpes zoster akibat reaktivasi virus yang laten.
Pada tahun 1952, Weller dan Stoddard melakukan penelitian secara invitro, mereka
menemukan varicella dan herpes zoster disebabkan oleh virus yang sama.

 Epidemiologi

Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan
biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak
lahir - 9 tahun : 0,74 / 1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 – 29 tahun : 2,58 /
1000. Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana lebih dari 66 %
mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan
5% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun herpes zoster merupakan penyakit yang
sering dijumpai pada orang dewasa, namun herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang
baru lahir apabila ibunya menderita herpes zoster pada masa kehamilan. Dari hasil
penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes zoster pada anak, biasanya ditemukan pada anak -
anak yang imunokompromis dan menderita penyakit keganasan.
 Gejala Klinik

Varicella pada anak yang lebih besar (pubertas) dan orang dewasa biasanya
didahului dengan gejala prodormal yaitu demam, malaise, nyeri kepala, mual dan
anoreksia, yang terjadi 1 - 2 hari sebelum timbulnya lesi dikulit sedangkan pada anak kecil
(usia lebih muda) yang imunokompeten, gejala prodormal jarang dijumpai hanya demam
dan malaise ringan dan timbul bersamaan dengan munculnya lesi dikulit.
Lesi pada varicella, diawali pada daerah wajah dan scalp, kemudian meluas ke
dada (penyebaran secara centripetal) dan kemudian dapat meluas ke ekstremitas. Lesi juga
dapat dijumpai pada mukosa mulut dan genital. Lesi pada varicella biasanya sangat gatal
dan mempunyai gambaran yang khas yaitu terdapatnya semua stadium lesi secara
bersamaan pada satu saat.

Pada awalnya timbul makula kecil yang eritematosa pada daerah wajah dan dada,
dan kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12 - 14 jam menjadi papul dan
kemudian berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang jernih dengan dasar
eritematosa. Vesikel yang terbentuk dengan dasar yang eritematous mempunyai gambaran
klasik yaitu letaknya superfisial dan mempunyai dinding yang tipis sehingga terlihat
seperti kumpulan tetesan air diatas kulit (tear drop), berdiameter 2-3 mm, berbentuk elips,
dengan aksis panjangnya sejajar dengan lipatan kulit atau tampak vesikel seperti titik-
titik embun diatas daun bunga mawar (dew drop on a rose petal). Cairan vesikel cepat
menjadi keruh disebabkan masuknya sel radang sehingga pada hari ke 2 akan berubah
menjadi pustula. Lesi kemudian akan mengering yang diawali pada bagian tengah
sehingga terbentuk umbilikasi (delle) dan akhirnya akan menjadi krusta dalam waktu yang
bervariasi antara 2-12 hari, kemudian krusta ini akan lepas dalam waktu 1 - 3 minggu.
Pada fase penyembuhan varicella jarang terbentuk parut (scar), apabila tidak disertai
dengan infeksi sekunder bakterial.
Varicella yang terjadi pada masa kehamilan, dapat menyebabkan terjadinya
varicella intrauterine ataupun varicella neonatal. Varicella intrauterine, terjadi pada 20
minggu pertama kehamilan, yang dapat menimbulkan kelainan kongenital seperti ke dua
lengan dan tungkai mengalami atropi, kelainan neurologik maupun ocular dan mental
retardation. Sedangkan varicella neonatal terjadi apabila seorang ibu mendapat varicella
(varicella maternal) kurang dari 5 hari sebelum atau 2 hari sesudah melahirkan. Bayi akan
terpapar dengan viremia sekunder dari ibunya yang didapat dengan cara transplasental
tetapi bayi tersebut belum mendapat perlindungan antibodi disebabkan tidak cukupnya
waktu untuk terbentuknya antibodi pada tubuh si ibu yang disebut transplasental antibodi.
Sebelum penggunaan varicella zoster immunoglobulin (VZIG), angka kematian varicella
neonatal sekitar 30%, hal ini disebabkan terjadinya pneumonia yang berat dan hepatitis
yang fulminan. Tetapi jika si ibu mendapat varicella dalam waktu 5 hari atau lebih
sebelum melahirkan, maka si ibu mempunyai waktu yang cukup untuk membentuk dan
mengedarkan antibodi yang terbentuk (transplasental antibodi) sehingga neonatus jarang
menderita varicella yang berat.
Herpes zoster pada anak-anak jarang didahului gejala prodormal. Gejala prodormal
yang dapat dijumpai yaitu nyeri radikuler, parestesia, malese, nyeri kepala dan demam,
biasanya terjadi 1-3 minggu sebelum timbul ruam dikulit.
Lesi kulit yang khas dari herpes zoster yaitu lokalisasinya biasanya unilateral dan jarang
melewatii garis tengah tubuh. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga
L2 dan nervus ke V dan VII. Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematous,
kemudian dalam waktu 12 - 24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut
menjadi pustula pada hari ke 3 - 4 dan akhirnya pada hari ke 7 - 10 akan terbentuk krusta
dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial. Pada pasien
imunokompromais dapat terjadi herpes zoster desiminata dan dapat mengenai alat visceral
seperti paru, hati, otak dan disseminated intravascular coagulophaty (DIC) sehingga dapat
berakibat fatal. Lesi pada kulitnya biasanya sembuh lebih lama dan dapat mengalami
nekrosis, hemoragik dan dapat terbentuk parut.

 Tatalaksana

Pada anak imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan yang spesifik dan
pengobatan yang diberikan bersifat simtomatis yaitu :
- Lesi masih berbentuk vesikel, dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah.
- Vesikel yang sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salap
antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder.
- Dapat diberikan antipiretik dan analgetik, tetapi tidak boleh golongan
salisilat (aspirin) untuk menghindari terjadinya terjadi sindroma Reye.
Kuku jari tangan harus dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat
garukan.
Obat antivirus

- Pemberian antivirus dapat mengurangi lama sakit, keparahan dan waktu


penyembuhan akan lebih singkat.
- Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu kurang dari 48 - 72 jam
setelah erupsi dikulit muncul.
- Golongan antivirus yang dapat diberikan yaitu asiklovir, valasiklovir dan
famasiklovir.
- Dosis anti virus (oral) untuk pengobatan varicella dan herpes zoster : Neonatus :
Asiklovir 500 mg / m2 IV setiap 8 jam selama 10 hari.
Anak ( 2 -12 tahun) : Asiklovir 4 x 20 mg / kg BB / hari / oral selama 5 hari.
Pubertas dan dewasa :

● Asiklovir 5 x 800 mg / hari / oral selama 7 hari.


● Valasiklovir 3 x 1 gr / hari / oral selama 7 hari.
Famasiklovir 3 x 500 mg / hari / oral selama 7 hari.

 Komplikasi

1. Komplikasi yang dapat dijumpai pada herpes zoster yaitu :

2. Infeksi sekunder pada kulit yang disebabkan bakteri.

3. Posherpetic neuralgia (PHN)

a. Insidennya meningkat dengan bertambahnya umur dimana lebih kurang 50


% penderita PHN berusia lebih dari 60 tahun dan PHN biasanya jarang
terjadi pada anak-anak.
4. Pada daerah ophthalmic dapat terjadi keratitis, episcleritis, iritis, papillitis dan
kerusakan syaraf.
5. Herpes zoster yang desiminata yang dapat mengenai organ tubuh seperti otak, paru
dan organ lain dan dapat berakibat fatal.

6. Meningoencephalitis.
7. Motor paresis.
8. Terbentuk scar
B. Infeksi Bakteri

I. Impetigo Bulosa

 Definisi
Impetigo merupakan peradangan superfisialis yang terbatas pada bagian epidermis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri stafilokokus dan streptokokus. Lesi yang timbul
dapat terjadi pada tempat yang normal atau pada tempat yang sebelumnya pernah terkena
trauma. Terdapat vesikel yang biasanya tidak mudah untuk mengalami ruptur kemudian
yang khas dari vesikel ini vesikel tersebut biasanya membesar menjadi bula. Di dalam
bula tersebut awalnya mengandung cairan yang jernih berwarna kuning, yang kemudian
berubah warna menjadi lebih gelap, serta lebih berwarna kuning kehitaman. Setelah 1-3
hari lesi ini biasanya akan ruptur dan meninggalkan krusta yang tipis, berwarna cokelat
terang, dan satu lagi yang khas pada penderita Impetigo Bulosa adalah hipopion.

 Epidemiologi

Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat
dari tahun ke tahun. Di amerika serikat impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang
dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada
daerah tenggara amerika. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun
sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan
impetigo krustosa. Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Streptococcus
beta hemolitikus grup A (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan patogen
primer pada impetigo bulosa dan ecthyma.
Data epidemiologi menyatakan daerah predileksi impetigo bulosa antara lain leher,
ketiak, dada, serta punggung dengan gambaran efloresensi yang khas berupa bula
hipopion di atas kulit yang eritema.

 Manifestasi Klinis
Dari heteroanamnesis didapatkan bahwa penderita dikeluhkan oleh orang tuanya
muncul gelembung-gelembung berisi nanah sejak 1 minggu yang lalu. Awalnya
gelembung nanah ini berukuran kecil, semakin lama menyebar di leher. Beberapa
gelembung ada yang pecah karena gesekan. Demam serta nyeri disangkal oleh pasien.
Hal ini sesuai dengan gejala dan tanda impetigo bulosa.
Karena impetigo terbatas hanya pada epidermis dan tidak mencapai bagian yang lebih
dalam, umumnya pasien hanya mengeluh gatal tanpa disertai nyeri.

Pada pasien dikatakan sempat merasa gatal saat awal munculnya gelembung namun
saat pemeriksaan rasa gatal disangkal. Keluhan berupa gelembung disertai nanah yang
diawali rasa gatal tanpa disertai rasa nyeri ini dapat dipikirkan sebagai suatu impétigo.
Pasien yang merasa gatal pada awal munculnya lesi yang merupakan tanda bahwa telah
terjadi infeksi oleh bakteri yang menimbulkan reaksi radang.

 Diagnosis

Di dalam mendiagnosis Impetigo Bulosa, sering ditemui kesulitan akibat banyaknya


gejala klinisnya yang mirip dengan gejala klinis penyakit kulit yang lain di antaranya
adalah impetigo krustosa, namun terdapat beberapa perbedaan yang khas. Untuk
diagnosis impetigo krustosa walaupun terjadi pada anak dan biasanya tidak didahului
dengan gejala konstitusi atau prodromal, namun dapat disingkirkan karena dari daerah
predileksi untuk impetigo krustosa adalah di bagian wajah (sekitar lubang hidung serta
mulut) sedangkan pada pasien terdapat di daerah leher, kemudian untuk gambaran
efloresensinya pada impetigo krustosa yang khas adalah adanya gambaran vesikel
dengan krusta yang tebal berwarna kuning seperti madu dengan dasar erosi.

Kemudian untuk diagnosis varisela walaupun sering terjadi pada anak, namun dapat
kita singkirkan karena biasanya didahului dengan gejala konstitusi atau prodromal seperti
demam serta muncuknya lesi secara sentrifugal (mulai dari wajah dan batang tubuh ke
ekstrimitas), sedangkan pada pasien terdapat di daerah leher saja, kemudian untuk
gambaran efloresensinya pada varicella yang khas adalah adanya gambaran vesikel berisi
cairan bening/serous yang tersusun diskret di atas kulit yang eritema.

 Pemeriksaan Penunjang

Dari status dermatologi pasien, didapatkan letak lesi pada bagian leher serta terjadi
pada anak-anak. Dari efloresensi didapatkan bula multipel yang berlokasi pada bagian
leher, terlihat bula tersebut berada di atas kulit sekitarnya yang eritema, dengan dinding
bula kendor dan berisi cairan seropurulen berukuran 5-7 mm serta terdapat erosi pada
bekas dinding gelembung yang telah pecah serta terdapat erosi pada bekas dinding bula
yang telah pecah. Data ini mendukung diagnosis ke Impetigo Bulosa.
Langkah selanjutnya ialah dengan melakukan pemeriksaan penunjang gram stain
untuk mempertajam diagnosis. Dengan pemeriksaan gram stain nantinya, dapat terlihat
pada mikroskop berwarna kebiruan jika bakteri yang diberikan pengecatan adalah
bakteri gram positif atau akan nampak kemerahan jika bakteri yang diberikan
pengecatan adalah bakteri gram negatif. Pada kasus ini didapatkan pada pemeriksaan
gram stain mengarah pada bakteri gram positif. Temuan ini sesuai dengan teori
mengenai impetigo bulosa yang sering disebabkan oleh bakteri stafilokokus atau
streptokokus. Kedua jenis bakteri ini termasuk bakteri gram positif.

 Tatalaksana

Penatalaksanaan impetigo bulosa dapat diberikan dengan antibiotika topikal hingga


oral dengan pertimbangan luas lesi serta kondisi klinis pasien seperti ada tidaknya
demam serta limfadenopati. Apabila Impetigo Bulosa tidak disertai dengan gejala
lymphadenopati maka pengobatan yang dapat dipilih jenis topikal. Antibiotika yang
dipilih untuk pengobatan lokal adalah antibiotika yang tidak digunakan secara sistemik,
seperti neomisin, basitrasin, gentamisin, asam fusidat, mupirosin dan framisetin dalam
bentuk salep dioleskan 2 kali sehari. Penisilin dan sulfa tidak boleh digunakan untuk
pengobatan lokal oleh karena dapat terjadi sensitisasi.

Sedangkan pemilihan obat sistemik berdasarkan juga pada gejala pasien, misalnya
apabila ditemukan lesi dalam jumlah yang banyak, serta disertai dengan gejala
konstitusi sebelumnya seperti misalnya demam. Obat antibiotika sistemik yang biasanya
digunakan meliputi golongan Beta-lactam seperti Amoksisilin, namun nantinya jika
muncul reaksi hipersensitivitas tipe I, dapat diganti dengan golongan sefalosporin yang
lebih hipoalergenik seperti cefadroxil atau dapat diganti dengan golongan lainnya seperti
Kloksasilin, serta Eritromisin. Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah
dengan memberikan Cefadroxil kapsul 2 x 500 mg mengingat jumlah bula yang cukup
banyak yang hampir mengenai seluruh bagian depan leher. Kemudian dilanjutkan
dengan mupirosin 2% krim dosis 2 x sehari. Impetigo Bulosa disebabkan oleh bakteri
gram positif perlu diberikan obat antibiotik yang bersifat bakterisidal seperti Cefadroxil
yang merupakan antibiotika berspektrum luas yang merupakan generasi pertama dari
Cephalosporin serta pengobatan antibiotik topikal yang dalam kasus ini diberikan
mupirosin.
Selanjutnya yang juga penting adalah memberikan KIE kepada penderita dan
anggota keluarganya untuk meningkatkan kebersihan perorangan dan lingkungan,
terutama bila penderita sedang bermain untuk mencegah penularan kepada orang lain.

 Pencegahan

Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya cuci tangan
segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama
apabila terkena luka, jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita,
bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada
orang lain, setelah digunakan pasien, mandi teratur dengan sabun dan air (sabun
antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit
sensitif), higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap
pendek dan bersih, jauhkan diri dari orang dengan impetigo, cuci pakaian, handuk dan
sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan
keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai
dapat dicuci dengan disinfektan dan gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik
topikal di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.

 Prognosis

Prognosis dari Impetigo Bulosa bergantung pada pemilihan dan cara pemakaian
obat, serta syarat pengobatan, dan menghilangkan faktor predisposisi. Secara umum
mengingat penatalaksanaan yang diberikan untuk mengeradikasi bakteri penyebab,
prognosis penyakit pada pasien ini adalah baik.
Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati.
Komplikasi berupa radang ginjal pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien
terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotik. Gejala
berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urin seperti warna
teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul.
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang
paru-paru (pneumonia), selulitis, psoriasis, staphylococcal scalded skin syndrome,
radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening.
II. Sifilis

 Definisi
Sifilis merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik yang disebabkan oleh
Treponema palidum. Penularan sifilis melalui hubungan seksual. Penularan juga dapat
terjadi secara vertikal dari ibu kepada janin dalam kandungan atau saat kelahiran,
melalui produk darah atau transfer jaringan yang telah tercemar, kadang-kadang dapat
ditularkan melalui alat kesehatan.

 Epidemiologi
Angka kejadian sifilis mencapai 90% dinegara-negara berkembang. World Health

Organization (WHO) memperkirakan sebesar 12 juta kasus baru terjadi di Afrika, Asia
Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean. Angka kejadian sifilis di Indonesia
berdasarkan laporan Survey Terpadu dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011
Kementrian Kesehatan RI terjadi peningkatan angka kejadian sifilis di tahun 2011
dibandingkan tahun 2007.

Di provinsi Lampung khususnya di kota Bandar Lampung jumlah kasus infeksi


menular seksual termasuk sifilis tahun 2012 sebesar 3.153 kasus dengan penderita
wanita sebanyak 2.942 kasus dan pria sebesar 419 kasus, merupakan jumlah kasus
terbanyak dibanding kota-kota lain di provinsi Lampung.

 Patofisiologi

Treponema palidum masuk melalui selaput lendir yang utuh, atau kulit yang
mengalami abrasi, menuju kelenjar limfe, kemudian masuk ke dalam pembuluh darah,
dan diedarkan ke seluruh tubuh. Setelah beredar beberapa jam, infeksi menjadi sistemik
walaupun tanda-tanda klinis dan serolois belum jelas. Kisaran satu minggu setelah
terinfeksi Treponema palidum, ditempat masuk timbul lesi primer berupa ulkus. Ulkus
akan muncul selama satu hingga lima minggu, kemudian menghilang.

Uji serologis masih akan negatif ketika ulkus pertama kali muncul dan baru akan
reaktif setelah satu sampai empat minggu berikutnya. Enam minggu kemudian, timbul
erupsi seluruh tubuh pada sebagian kasus sifilis sekunder. Ruam ini akan hilang kisaran
dua sampai enam minggu, karena terjadi penyembuhan spontan. Perjalanan penyakit
menuju ke tingkat laten, dimana tidak ditemukan tanda-tanda klinis, kecuali hasil
pemeriksaan serologis yang reaktif. Masa laten dapat berlangsung bertahun- tahun atau
seumur hidup.

 Faktor Resiko

Sebagian besar glaukoma merupakan glaukoma primer. Orang keturunan Asia lebih
sering menderita glaukoma sudut tertutup, sedangkan orang keturunan Afrika dan Eropa
lebih seing menderita glaukoma sudut terbuka. Faktor resiko utama :

• Meningkatnya usia
• Faktor keturunan
• Miopia tinggi
• DM
• Hipertensi
• Dan pemakaian obat steroid dalam jangka panjang
 Manifestasi Klinis

Terdapat perbedaan gejala sifilis pada pria dan perempuan seperti dijelaskan
berikut:
a. Gejala Sifilis Pada Pria

Gejala sifilis pada pria ditunjukkan dengan beberapa ciri sebagai berikut:
1). Adanya lepuhan yang terdapat di alat vital pria. Biasanya pada tahap awal, kulit
terbuka seperti melepuh namun tidak terasa sakit. Apabila tidak diambil tindakan,
sifilis yang disebabkan oleh bakteri ini bisa saja kumat dan akan menimbulkan akibat
yang fatal.
2). Gejala sifilis pada laki-laki juga ditandai dengan adanya pembengkakan pada getah
bening, atau tonjolan mirip kutil yang dapat menular dan biasanya terdapat di sekitar
anus dan ketiak, dan merupakan cirri-ciri penyakit sifilis lanjutan. Apabila sifilis
berlanjut ke tahap berikutnya, maka dapat merusak banyak organ tubuh lainnya.

b. Gejala Sifilis Pada Wanita

Penyakit sifilis pada umumnya tidak lagi hanya menyerang kaum pria, namun juga
menyerang kaum wanita. Wanita lebih mudah terjangkit sifilis karena memiliki alat
kelamin yang lebih lembab dan basah sehingga bakteri akan lebih mudah menginfeksi.
Penyakit sifilis pada wanita akan muncul sekitar 3 minggu-6 bulan setelah berhubungan
seksual dengan penderita. Penyakit sifilis pada wanita tersebut dapat dilihat dari beberapa
ciri sebagai berikut:
1). Muncul benjolan dan luka di sekitar alat kelamin. Luka terlihat seperti lubang
pada kulit dengan tepi yang lebih tinggi. Biasanya tidak terasa sakit. Dalam beberapa
minggu luka akan hilang, tapi justru bakteri akan menetap pada tubuh dan penyakit
dapat muncul berupa lecet-lecet pada seluruh tubuh. Lalu lecet-lecet ini akan hilang
juga, dan virus akan menyerang organ tubuh lain.
2). Terkadang disertai pusing-pusing dan nyeri tulang seperti gejala flu
3). Muncul bercak kemerahan pada tubuh sekitar 6-12 minggu setelah hubungan
seksual.
Sifilis pada wanita bisa memperbesar potensi untuk tertular penyakit HIV atau AIDS.
Luka yang terbuka akibat penyakit menular seksual sifilis membuat penyebaran virus
HIV AIDS dengan sangat cepat melalui kontak seksual secara langsung. Sifilis pada
wanita hamil juga dapat menyebabkan anak yang dikandungnya menderita kecacatan
seperti kerusakan kulit, hati, limpa dan bahkan keterbelakangan mental. Selama 2-3 tahun
pertama penyakit ini tidak menunjukkan gejala apa-apa, setelah 5-10 tahun penyakit ini
akan menyerang susunan syaraf otak, pembuluh darah dan jantung.
Gejala penyakit sifilis pada wanita memilki beberapa stadium sifilis yaitu :
1). Stadium pertama Stadium ini ditandai gejala awal luka yang kemerahan dan basah di
daerah vagina, poros usus atau mulut. Luka ini disebut dengan chancre atau
syangker, dan muncul di tempat spirochaeta masuk ke tubuh seseorang untuk
pertama kalinya. Pembengkakan kelenjar getah bening juga ditemukan selama
stadium ini. Setelah beberapa minggu, chancre tersebut akan menghilang. Stadium
ini merupakan stadium yang sangat menular.
2). Stadium kedua Jika sifilis stadium pertama tidak diobati, biasanya para penderita
akan mengalami ruam, khususnya di telapak kaki dan tangan. Mereka juga dapat
menemukan adanya luka-luka di bibir, mulut, tenggorokan, vagina dan anus.
 Diagnosis
 Tatalaksana
C. Infeksi Jamur

I. Pitriasis Versikolor

 Definisi

Pitiriasis versikolor atau dikenal dengan panu adalah infeksi jamur superfisial
ditandai dengan perubahan pigmen kulit akibat kolonisasi stratum korneum oleh ragi lipofilik
dari genus Malassezia, Malassezia furfur (dikenal juga sebagai Pityrosporum orbiculare,
Pityrosporum ovale, Malassezia ovalis). Malassezia furfur merupakan flora normal pada
kulit yang dapat berubah menjadi bentuk patogen dalam kondisi tertentu, seperti lingkungan
dengan suhu dan kelembaban tinggi, produksi kelenjar sebum dan keringat, genetik, keadaan
imunokompromais, dan keadaan malnutrisi. Malassezia menghasilkan berbagai senyawa
yang mengganggu melanisasi kulit sehingga menyebabkan perubahan pigmentasi kulit.

 Epidemiologi

Pitiriasis versikolor banyak dijumpai di daerah tropis dikarenakan tingginya suhu dan
kelembaban lingkungan, diperkirakan 40-50% dari populasi di negara tropis terkena
penyakit ini. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, namun paling banyak pada usia 16-
20 tahun.3 Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai angka kejadian pitiriasis
versikolor, namun di Asia dan Australia pernah dilakukan percobaan secara umum pada
tahun 2008 dan didapatkan angka yang cukup tinggi karena mendukungnya iklim di daerah
Asia.

 Manifestasi Klinis

Lesi khas pitiriasis versikolor dapat berupa makula, plak, atau papul folikular dengan
beragam warna, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, sampai eritematosa, berskuama halus di
atasnya, dikelilingi kulit normal. Lokasinya dapat ditemukan di bagian dada, meluas ke
lengan atas, leher, punggung, dan tungkai atas atau bawah. Umumnya, penderita merasakan
gatal ringan saat berkeringat.

 Patofisiologi

Flora normal kulit yang berhubungan dengan timbulnya pitiriasis versikolor adalah
Pityrosporum orbiculare atau Pityrosporum ovale. Keduanya dapat berubah menjadi
patogen apabila terjadi perubahan pada lingkungan hidupnya. Pitiriasis versikolor dapat
terjadi jika keadaan antara host dan flora jamur tak seimbang. Terdapat beberapa faktor yang
berkontribusi dalam mengganggu keseimbangan tersebut, yaitu faktor endogen dan eksogen.
Faktor endogen antara lain produksi kelenjar sebasea dan keringat, genetik, malnutrisi,
faktor immunologi dan pemakaian obat-obatan, sedangkan faktor eksogen adalah suhu dan
kelembaban kulit. Peningkatan sekresi sebum oleh kelenjar sebasea akan mempengaruhi
pertumbuhan berlebih dan organisme yang bersifat lipofilik ini. Insidensi terjadi pada saat
kelenjar sebasea paling aktif yaitu masa pubertas dan dewasa awal. Pada orang dengan
produksi keringat yang berlebih juga memiliki kecenderungan untuk terjadi pertumbuhan
jamur ini, stratum korneum akan melunak pada keadaan basah dan lembab sehingga mudah
dimasuki jamur. Pada keadaan malnutrisi dan pada penderita dengan penekanan sistem imun
akan memudahkan pertumbuhan jamur oportunis. Faktor terakhir, yaitu suhu dan
kelembaban yang tinggi akan meningkatkan produksi kelenjar sebum dan keringat sehingga
pertumbuhan M. furfur meningkat.
Malassezia dapat memetabolisme berbagai asam lemak, seperti asam arakidonat atau
asam vaksenik, dan asam azelaic yang dilepaskan sebagai salah satu metabolitnya. Asam ini
bekerja menghambat enzim dopa- tirosinase yang menghalangi perubahan tirosin menjadi
melanin dan hal ini mengakibatkan munculnya makula hipokromik. Sebuah fakta
penting adalah bagian kulit di daerah hipokromik tidak menunjukkan infiltrasi inflamasi.
Tidak seperti M. pachydermatis, M. sloofiae, dan M. sympodialis, agen penyebab
pitiriasis versikolor tidak menginduksi IL-1b, IL-6, IL-8, dan TNF-α. Meskipun lesi
pitiriasis versikolor tidak meradang, namun keberadaan ragi dalam jumlah banyak dan
metabolitnya menyebabkan deskuamasi pada kulit. Sampai saat ini belum ada penelitian
mengenai metabolit jamur yang berhubungan dengan deskuamasi ini. Produksi melanin
dalam variasi pitiriasis versikolor hiperpigmentasi juga belum diketahui secara jelas
mekanismenya. Studi histologis hanya menunjukan melanosom dengan diameter yang lebih
besar dari biasanya pada makula hiperkromik.

 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan mikroskopis dan kultur.


Beberapa pemeriksaan penunjang lain juga dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
seperti pemeriksaan dengan lampu wood dan uji biokimia.
 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan kulit dapat ditemukan makula dalam berbagai ukuran dan warna,
ditutupi sisik halus dapat muncul dengan rasa gatal atau tanpa keluhan dan hanya gangguan
kosmetik saja. Makula yang timbul dapat berupa hipopigmentasi, kecokelatan, keabuan, atau
kehitam-hitaman dalam berbagai ukuran dan skuama halus di atasnya. Lokasi lesi dapat
terjadi dimana saja di permukaan kulit, lipat paha, ketiak, leher, punggung, dada, lengan,
wajah, dan tempat- tempat tak tertutup pakaian.

Bahan yang digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis adalah kerokan kulit dari pusat
lesi. Kerokan kulit diratakan pada kaca preparat, pertama dilarutkan dengan kalium
hidroksida 10-20% kemudian diwarnai dengan pewarnaan biru metilen, tinta parker atau biru
laktofenol. Ciri khas dari pemeriksaan mikroskopik pitiriasis versikolor adalah gambaran
“spaghetti and meat balls”. Sementara itu, morfologi koloni yang tumbuh pada media kultur
bervariasi tergantung pada spesies Malassezia. Permukaannya bisa kusam atau berkilau,
halus atau kasar, cembung atau rata dengan tepi yang sedikit berlipat atau beralur.
Teksturnya bisa gembur, kasar ataupun keras. Warnanya pun bervariasi dari krem hingga
putih. Pemeriksaan mikroskopis dari kultur jamur juga menunjukkan gambaran yang
bervariasi tergantung dari spesies Malassezia. Sel biasanya unipolar, bisa besar atau kecil,
bulat atau silindris.
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis pitiriasis versikolor
adalah pemeriksaan dengan lampu wood dan uji biokimia. Pada pemeriksaan menggunakan
sinar wood tampak fluoresensi kuning keemasan atau kuning cerah. Pemeriksaan dengan
lampu wood tidak dapat mengkonfirmasi diagnosis pitiriasis versikolor, pemeriksaan ini
hanya sebagai penunjang dalam diagnosis. Cahaya wood diproduksi oleh lampu merkuri
bertekanan tinggi yang memancarkan ultraviolet A. Cahaya ini akan diserap oleh melanin dan
menghasilkan fluoresensi karakteristik dalam kondisi patologis. Pada pemeriksaan biokimia
biasanya dilakukan pada spesimen kultur dan tidak dilakukan secara langsung pada kerokan
kulit. Pada uji katalase menunjukan hasil positif, ada produksi gelembung gas saat
ditambahkan setets hidrogen peroksida pada spesimen kultur. Pada pemeriksaan asimilasi,
spesies Malassezia biasanya tumbuh pada Tween 20, 40, 60 dan 80. Pemeriksaan asimilasi
glisin hanya positif pada Malassezia furfur.

 Tatalaksana

Terapi pitiriasis versikolor menggunakan agen antifungal dapat dilakukan secara topikal
maupun sistemik. Pengobatan topikal yang efektif untuk pitiriasis versikolor meliputi krim,
losion, dan sampo yang diaplikasikan setiap hari atau dua kali sehari dengan jangka waktu
bervariasi. Pengobatan topikal non-spesifik untuk pitiriasis versikolor tidak secara spesifik
menangani spesies Malassezia. Sebaliknya, obat-obatan ini secara fisik atau kimia
mengangkat jaringan yang terinfeksi. Pengobatan non-spesifik yang terbukti efektif dalam
mengobati pitiriasis versikolor adalah selenium sulfida (sediaan losion, krim atau sampo),
zink pirition, propilen glikol dan salep whitfield.
Beberapa obat topikal yang bersifat antifungi dan terbukti efektif dalam mengobati
pitiriasis versikolor seperti bifonazol, klotrimazol, dan mikonazol. Ketokonazol merupakan
antifungal spektrum luas yang digunakan sebagai terapi mikosis superfisial dan sistemik. Ia
bekerja menghambat enzim lanosterol 14α- demethylase, lalu mengganggu biosintesis
ergosterol untuk membatasi fungsi dan pertumbuhan sel. Sediaan topikalnya berupa krim,
sampo, dan busa. Penggunaan krim atau busa setiap hari selama 14 hari telah terbukti efektif
dalam terapi pitiriasis versikolor. Terbinafin merupakan salah satu derivat alilamin, dengan
menghambat squalene epoxidase, ia menghalangi biosintesis sterol dan mengubah integritas
membran sel jamur. Krim terbinafin setara dengan ketokonazol topikal dan krim bifonazol,
dengan penyembuhan lengkap berkisar 88% sampai 100%. Durasi rata-rata pengobatan
sampai penyembuhan mikologi dengan pemakaian krim terbinafin 1% sehari secara
signifikan lebih pendek daripada krim bifonazol dua kali sehari. Pengobatan terbinafin
maksimum 4 minggu.
Anti jamur oral atau sistemik efektif dalam mengobati berbagai infeksi, namun dapat
menyebabkan efek samping yang serius. Penggunaan antifungal oral untuk mengobati
pitiriasis versikolor dianggap sebagai pengobatan lini kedua dan digunakan untuk infeksi
yang berat. Terbinafin oral tidak efektif dalam pengobatan pitiriasis bersikolor. Terbinafin
tidak diekskresikan dalam keringat dan mungkin tidak mencapai konsentrasi yang cukup
pada stratum korneum untuk menunjukkan aktivitas fungisidal terhadap spesies Malassezia.
Ketokonazol dulu merupakan baku emas dalam pengobatan oral pada infeksi jamur,
sekarang tidak lagi disarankan untuk pengobatan mikosis superfisial, termasuk pitiriasis
versikolor. Efek samping hepatotoksik yang berkaitan dengan pemberian ketokonazol oral
lebih besar risikonya dibandingkan dengan manfaat potensialnya.
Saat ini terapi oral pitiriasis versikolor meliputi itrakonazol, flukonazol, dan
pramikonazol. Itrakonazol, merupakan turunan triazol, yang bekerja mengubah fungsi sel
jamur melalui penghambatan sintesis ergosterol sitokrom P450. Itrakonazol dengan jumlah
total minimal 1000 mg selama pengobatan diperlukan untuk menghasilkan respon mikologi
yang signifikan sehingga mengobati pitiriasis versikolor secara efektif. Pengobatan sekali
sehari selama 5 hari dengan 200 mg itrakonazol menunjukan efikasi tinggi hingga setelah
satu bulan pengobatan dan direkomendasikan untuk terapi pitiriasis versikolor. Regimen
standar untuk itrakonazol adalah 7 hari pengobatan. Itrakonazol dapat diberikan sekali
perbulan selama 6 bulan sebagai profilaksis dengan dosis 200 mg dua kali sehari.
Flukonazol adalah antijamur turunan triazol, bekerja menghambat sintesis ergosterol
sitokrom P450 yang serupa dengan itrakonazol dan ketokonazol . Studi menunjukkan bahwa
flukonazol setara dengan atau bahkan lebih efektif daripada ketokonazol orak dalam
mengobati pitiriasis versikolor. Efikasi regimen mingguan flukonazol adalah 150 mg atau
300 mg setiap minggu dalam 4 minggu, atau 300 mg dua kali seminggu selama 4 minggu.
Empat minggu setelah pengobatan terakhir, penyembuhan mikologik untuk regimen
300 mg secara signifikan lebih tinggi dari 150 mg flukonazol. Sehingga direkomendasikan
300 mg flukonazol dua kali seminggu direkomendasikan untuk terapi pitiriasis versikolor.
Pramikonazol juga merupakan turunan triazol, mekanisme kerjanya mengganggu
sintesis ergosterol pada sel jamur. Ia telah terbukti aktif secara in vitro terhadap dermatofit,
spesies Candida, dan spesies Malassezia. Sebuah studi yang melibatkan 19 pasien pitiriasis
versikolor diterapi dengan pramikonazol 200 mg setiap hari selama 3 hari dan pasien
dipantau selama 30 hari. Sepanjang penelitian, gejala klinis berkurang secara signifikan.
Sepuluh hari setelah pengobatan dimulai, 8 pasien KOH negatif, pada hari ke-30 19 pasien
KOH negatif. Efek samping paling umum yang ditimbulkan pramikonazol adalah sakit
kepala. Studi lain menunjukan efek samping yang umum dari pramikonazol adalah diare dan
mual. Secara keseluruhan, pramikonazol merupakan terapi yang menjanjikan untuk pitiriasis
versikolor namun tetap harus ditentukan efikasi klinisnya.
Terapi pitiriasis versikolor dapat dilakukan secara topikal dan sistemik. Terapi topikal
yang digunakan adalah itrakonazol dan flukonazol. Keuntungan terapi topikal adalah
kerjanya yang cepat dan dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh. Efek samping serius yang
sedikit dan interaksi obat yang terbatas. Untuk pengelolaan pitiriasis versikolor dengan
antijamur oral, regimen yang didukung adalah 200 mg itrakonazol setiap hari selama 5 atau
7 hari, 300 mg flukonazol satu kali per minggu selama 2 minggu, atau 200 mg pramikonazol
setiap hari selama 2 hari. Pada kasus dimana area tubuh yang terkena pitiriasis versikolor
adalah luas maka lebih baik menggunakan anti jamur oral.
2. Kelainan Kulit dan Kelamin

A. Gigitan Serangga

I. Skabies

 Definisi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (kutu kecil) yaitu Sarcoptes
scabiei varietas hominis. Penyakit tersebut merupakan masalah kesehatan masyarakat
terutama di wilayah beriklim tropis dan subtropis. Jumlah penderita skabies di dunia lebih dari
300 juta setiap tahun dengan angka yang bervariasi di setiap negara.

 Epidemiologi

Prevalensi skabies di negara berkembang lebih tinggi dari di negara maju. Di Inggris pada
tahun 1997-2005, skabies terjadi pada 3 orang per 1.000 penduduk. Di Spanyol pada tahun 2012,
prevalensi skabies pada imigran adalah 4,1%. Prevalensi skabies di daerah endemis di India
adalah 13% dan di daerah kumuh Bangladesh prevalensi pada anak berusia 6 tahun adalah 29%.
Pada populasi umum, prevalensi skabies di Kamboja adalah 43% dan di Chile prevalensi
skabies sekitar 1-5%. Di Timor Leste, survei skabies di empat kabupaten pada tahun 2010
menunjukkan prevalensi17,3%.
Di Indonesia, skabies merupakan salah satu penyakit kulit tersering di puskesmas.
Prevalensi skabies di puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 2008 adalah 5,6-12,9% dan
merupakan penyakit kulit terbanyak ketiga. Pada tahun 2008 survei di berbagai pemukiman
kumuh seperti di tempat pembuangan sampah akhir dan rumah susun di Jakarta menunjukkan
prevalensi skabies sebesar 6,2%, di Boyolali 7,4%, di Pasuruan 8,2%, dan di Semarang 5,8%.

 Faktor Resiko

Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah kemiskinan, kepadatan
penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih, dan perilaku kebersihan yang
buruk. Tingginya kepadatan penghuni disertai interaksi dan kontak fisik yang erat memudahkan
penularan skabies. Kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko paling dominan
dibandingkan faktor risiko skabies lainnya. Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi skabies
yang tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, penjara, dan
pengungsian.
 Patofisiologi

Siklus hidup Sarcoptes scabiei yang diawali oleh masuknya tungau dewasa ke dalam
kulit manusia dan membuat terowongan di stratum korneum sampai akhirnya tungau betina
bertelur.Sarcoptes scabiei tidak dapat menembus lebih dalam dari lapisan stratum korneum.
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 2-3 hari dan larva menjadi nimfa dalam waktu 3-4
hari. Nimfa berubah menjadi tungau dewasa dalam 4-7 hari. Sarcoptes scabiei jantan akan
mati setelah melakukan kopulasi, tetapi kadang-kadang dapat bertahan hidup dalam beberapa
hari. Pada sebagian besar infeksi, diperkirakan jumlah tungau betina hanya terbatas 10
sampai 15 ekor dan kadang terowongan sulit untuk diidentifikasi.

Siklus hidup Sarcoptes scabiei sepenuhnya terjadi pada tubuh manusia sebagai host,
namun tungau ini mampu hidup di tempat tidur, pakaian, atau permukaan lain pada suhu
kamar selama 2-3 hari dan masih memiliki
kemampuan untuk berinfestasi dan menggali
terowongan. Penularan skabies dapat terjadi
melalui kontak dengan obyek terinfestasi
seperti handuk, selimut, atau lapisan furnitur
dan dapat pula melalui hubungan langsung
kulit ke kulit. Berdasarkan alasan tersebut,
skabies terkadang dianggap sebagai penyakit
menular seksual. Ketika satu orang dalam
rumah tangga menderita skabies, orang lain
dalam rumah tangga tersebut memiliki
kemungkinan yang besar untuk terinfeksi. Seseorang yang terinfeksi Sarcoptes scabiei dapat
menyebarkan skabies walaupun ia tidak menunjukkan gejala. Semakin banyak jumlah parasit
dalam tubuh seseorang, semakin besar pula kemungkinan ia akan menularkan parasit tersebut
melalui kontak tidak langsung.

Sarcoptes scabiei mudah menular karena kontak kulit yang sering terjadi, terutama
bila tinggal di tempat tinggal yang sama. Tingkat prevalensi skabies lebih tinggi pada anak-
anak atau usia muda, dewasa muda yang aktif secara seksual, penghuni rumah jompo,
penghuni fasilitas kesehatan jangka panjang, penghuni sekolah berasrama, penghuni tempat
lain yang keadaannya ramai dengan kebersihan rendah, orang dengan sistem kekebalan
tubuh yang rendah, dan pendapatan keluarga yang rendah. Selain itu, pasien dengan presepsi
sensori yang menurun seperti pada orang yang menderita kusta, orang dengan
imunokompromais, dan orang berusia tua memiliki risiko tersendiri untuk penyakit kulit ini.
Individu yang mengalami hiposensitisasi ketika terinfestasi parasit seringkali tidak
menimbulkan keluhan klinis, namun menjadi pembawa (karier) bagi individu lain.
Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau masuk ke dalam lapisan kulitnya.
Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada umumnya berupa terowongan yang
berisi tungau, telur, dan hasil metabolisme. Terowongan berwarna putih abu-abu, tipis dan
kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok kurang lebih 1-10 mm yang
merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Di ujung terowongan
dapat ditemukan vesikel atau papul kecil. Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat
infeksi sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat
melisiskan stratum korneum. Sekret dan eksret tersebut akan menyebabkan sensitisasi
sehingga menimbulkan lesi sekunder. Lesi sekunder berupa papul, vesikel, pustul, dan
terkadang bula. Selain itu dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi,
dan pioderma. Meskipun dapat terbentuk lesi sekunder dan tersier, namun tungau hanya dapat
ditemukan pada lesi primer. Lesi primer pada skabies sangat menular melalui jatuhnya krusta
yang berisi tungau. Krusta tersebut menyediakan makanan dan perlindungan bagi tungau
yang memungkinkan mereka untuk bertahan hidup.
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung pada kemampuannya
meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum korneum. Oleh karena itu, tungau ini
sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum yang relatif lebih longgar dan
tipis seperti sela-sela jari tangan, telapak tangan bagian lateral, pergelangan tangan bagian
volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus,
bokong, genitalia eksterna (pria).

 Manifestasi Klinis

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei sangat
bervariasi. Dikenal 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies yaitu, pruritus
nokturna, menyerang sekelompok orang, ditemukannya terowongan (kunikulus), dan
ditemukan parasit Sarcoptes scabiei.
Pruritus nokturna adalah rasa gatal yang terasa lebih hebat pada malam hari karena
meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang
hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah. Pada infeksi inisial, gatal
timbul setelah 3 sampai 4 minggu, tetapi paparan ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam
waktu beberapa jam. Studi lain menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat timbul
dalam 4-6 hari karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya.
1. Pruritus nokturna :
- gatal-gatal terutama pada malam hari karena aktivitas tungau lebih tinggi pada
suhu yg lebih lembab dan panas
2. Menyerang manusia secara kelompok
3. Adanya terowongan (kunikulus) :
- Pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel
- Tempat predileksinya biasanya pada stratum korneum yg tipis
- Tempat yang gatal terdapat benjolan kecil, sering menjadi koreng yang bernanah

 Diagnosis

Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Apabila


ditemukan dua dari empat tanda kardinal skabies, maka diagnosis sudah dapat dipastikan.
Diagnosis dapat dipastikan bila menemukan Sarcoptes scabiei. Beberapa cara untuk
menemukan tungau tersebut adalah kerokan kulit, mengambil tungau dengan jarum, membuat
biopsi eksisional, dan membuat biopsi irisan.

Apabila ditemukan gambaran terowongan yang masih utuh, kemungkinan dapat


ditemukan pula tungau dewasa, larva, nimfa, maupun skibala (fecal pellet) yang merupakan
poin diagnosis pasti. Akan tetapi, kriteria ini sulit ditemukan karena hampir sebagian besar
penderita pada umumnya datang dengan lesi yang sangat variatif dan tidak spesifik. Pada
kasus skabies yang klasik, jumlah tungau sedikit sehingga diperlukan beberapa lokasi
kerokan kulit. Teknik pemeriksaan tersebut sangat tergantung pada operator sehingga sering
terjadi kegagalan menemukan tungau.

 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari skabies adalah prurigo karena memiliki tempat predileksi yang
sama. Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan keluhan pruritus,
yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo, urtikaria papular, pioderma, pedikulosis,
dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken planus, penyakit Darier, gigitan serangga,
mastositosis, urtikaria, dermatitis eksematoid infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik,
dermatosis pruritik pada kehamilan, sifilis, dan vaskulitis. Oleh karena itu skabies disebut
juga “the greatest imitator”.

 Tatalaksana

Penatalaksanaan skabies dilakukan kepada penderita dan seluruh anggota keluarga atau
orang yang dekat dengan penderita meskipun tidak menimbulkan gejala. Syarat obat yang
ideal harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak
toksik, tidak berbau atau motor serta tidak mewarnai atau merusak pakaian, dan mudah
diperoleh serta murah.
Penatalaksanaan umum meliputi edukasi kepada pasien, yaitu:
(a) Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
(b) Pengobatan skabisid topikal yang dioleskan di seluruh kulit, kecuali wajah, sebaiknya
dilakukan pada malam hari sebelum tidur.
(c) Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
(d) Ganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan, dan selalu cuci dengan teratur, bila perlu
direndam dengan air panas, karena tungau akan mati pada suhu 130 oC.
(e) Hindari penggunaan pakaian, handuk, sprei bersama anggota keluarga serumah.
(f) Setelah periode waktu yang dianjurkan, segera bersihkan skabisid dan tidak boleh
mengulangi penggunaan skabisid yang berlebihan setelah seminggu sampai dengan 4 minggu
yang akan datang.
(g) Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama dan
ikut menjaga kebersihan.
Produk yang digunakan untuk membunuh tungau disebut skabisid. Permetrin krim 5%,
Krotamiton losio 10% dan Krotamiton krim 10%, Sulfur presipitatum 5%-10%, Benzyl
Benzoat Losio 25%, Gamma benzene hexachloride 1% krim (Lindane losio 1%), dan
Ivermektin merupakan regimen untuk pengobatan tungau yang hanya tersedia dengan resep
dokter.
Permetrin krim 5% telah disetujui oleh United States Food and Drug Administration
(FDA). Aman dan efektif bila digunakan pada anak-anak berusia 2 bulan atau lebih, dan
merupakan obat pilihan untuk pengobatan skabies. Permetrin dapat membunuh tungau dan
telur. Aplikasinya hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam. Bila belum sembuh diulangi
setelah seminggu.
Krotamiton losio 10% dan Krotamiton krim 10% telah disetujui FDA untuk
pengobatan skabies pada orang dewasa. Aman bila digunakan dengan pengarahan, yaitu
harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra. Obat ini memiliki dua efek, yaitu sebagai
antiskabies dan antigatal.
Sulfur presipitatum 5%-10% digunakan untuk mengobati skabies pada anak-anak dan
orang dewasa. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium telur sehingga penggunaanya tidak
boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya ialah berbau dan mengotori pakaian, kadang-kadang
menyebabkan iritasi. Telah terbukti dapat mengobati anak usia kurang dari 2 bulan. Benzyl
Benzoat losio 25% efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama 3 hari.
Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang- kadang menyebabkan rasa makin
gatal dan panas setelah dipakai.
Gamma benzene hexachloride 1% krim (Lindane losio 1%) merupakan organoklorida.
Meskipun telah disetujui penggunaannya oleh FDA untuk pengobtan skabies, lindane tidak
dianjurkan sebagai terapi lini pertama. Penggunaan yang berlebihan atau secara tidak sengaja
menelan lindane dapat menjadi racun bagi otak dan bagian-bagian lain dari system saraf.
Penggunaan lindane harus terbatas pada pasien yang mengalami gagal pengobatan dengan
obat lain yang memiliki efek lebih sedikit atau tidak mampu mentoleransi obat tersebut.
Lindane tidak boleh digunakan pada bayi yang premature, orang dengan gangguan kejang,
ibu hamil atau menyusui, iritasi kulit, serta bayi, anak-anak, dan orang dewasa yang beratnya
kurang dari 110 pon.
Ivermektin merupakan agen antiparasit oral yang yang digunakan untuk infeksi cacing.
Bukti menunjukkan bahwa ivermektin oral dapat menjadi pengobatan yang aman dan efektif
untuk skabies. Tapi, ivermektin tidak termasuk obat yang disetujui FDA. Ivermektin oral
digunakan untuk pasien yang mengalami gagal pengobatan atau tidak dapat mentoleransi
obat topikal. Dosis yang digunakan untuk skabies klasik adalah 2 dosis (200µg/kgBB/ dosis)
diminum bersamaan dengan makan, sekitar satu minggu terpisah.
3. Kelainan Kulit dan Kelamin

A. Alergi

I. Urtikaria dan Angioedema

 Definisi

Urtikaria adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya edema kulit superfisial
setempat dengan ukuran bervariasi sering dikelilingi oleh halo eritem yang disertai rasa gatal
atau panas. Ruam urtikaria cepat timbul dan hilang perlahan-lahan dalam 1-24 jam.
Sedangkan angioedema adalah urtikaria yang terjadi pada lapisan dermis bagian bawah atau
subkutis, sering mengenai wajah dan membran mukosa seperti bibir, laring dan genetalia.
Pada angioedema lebih dominan rasa nyeri daripada gatal dan ruamnya hilang secara
perlahan dalam 72 jam.

 Epidemiologi

Frekuensi urtikaria diperkirakan sebesar 20% dari seluruh populasi, dapat terjadi pada
semua umur namun lebih sering pada wanita dan biasanya pada usia 20-40 tahun. Sekitar
40% pasien urtikaria disertai angioedema, 50% hanya dengan urtikaria sedangkan
angioedema saja sebesar 10%.

 Patofisiologi

Urtikaria terjadi karena adanya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler


sehingga terjadi transudasi cairan setempat yang secara klinis tampak edema lokal disertai
eritema. Vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler terjadi akibat pelepasan
mediator-mediator seperti histamin, leukotrien, sitokin dan kemokin yang juga
mengakibatkan peningkatan regulasi endothelial adhesion molecules (ELAMs) dan vascular
adhesion molecules (VCAMs) disertai migrasi sel transendotelial dan kemotaksis. Pelepasan
mediator tersebut terjadi karena adanya degranulasi sel mast akibat rangsangan atau paparan
dari alergen. Ada beberapa agen yang dapat mengaktivasi sel mast untuk melepaskan
histamin antara lain substansi P, Vasoactive intestinal polypeptide (VIP), latex, surfaktan,
dextran, morfin dan codein.
Penyebab terjadinya angioedema antara lain adalah adanya defisiensi C1 esterase
inhibitor (C1INH) yang berfungsi menghambat pembentukan kinin, aktivasi komplemen
yang menghasilkan vasoactive kinin-like peptides dan pembentukan bradikinin. Kinin adalah
peptida dengan berat molekul rendah yang ikut berperan dalam proses inflamasi dengan
mengaktivasi sel endotelial dan menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskular. Angioedema yang rekuren dengan C1INH normal biasanya bersifat
idiopatik, namun bisa juga disebabkan oleh induksi obat- obatan seperti penghambat
angiotensin- converting enzyme (ACE), aspirin dan anti- inflamasi nonsteroid (AINS).

 Klasifikasi

Urtikaria/angioedema dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi ataupun klinis, namun


dalam praktek sehari-hari lebih mudah mengklasifikasikannya secara klinis daripada etiologi
yang sulit untuk ditegakkan. Klasifikasi berguna dalam menentukan pemeriksaan penunjang
dan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien urtikaria/angioedema.
Berdasarkan etiologinya urtikaria dibagi menjadi :
1) Urtikaria imunologik : urtikaria autoimun, kontak alergi dan kompleks imun.
2) Urtikaria nonimunologik: urtikaria fisik, karena obat-obatan dan kontak non alergi.
3) Urtikaria idiopatik.
Menurut European Academy of Allergology and Clinical Immunology (EAACI) tahun
2006 secara klinis urtikaria diklasifikasikan menjadi :
1) Urtikaria spontan: urtikaria akut dan urtikaria kronis.
2) Urtikaria fisik: dermografik, delayed pressure, panas, dingin, solar dan getaran.
3) Urtikaria spesifik: kolinergik, adrenergik, kontak (alergi/non alergi) dan aquagenik.
Para ahli yang lain menambahkan klasifikasi dengan urtikaria yang berhubungan dengan
penyakit lain seperti urtikaria pigmentosa (mastositosis) dan vaskulitis. Angioedema dapat
dibedakan menjadi angioedema yang disertai urtika dan tanpa urtika.
Berdasarkan penyebabnya angioedema tanpa urtika dibagi menjadi :
1) Angioedema defisiensi C1INH herediter.
2) Angioedema defisiensi C1INH dapatan.
3) Angioedema karena obat-obatan.
4) Angioedema berhubungan dengan delayed pressure.
5) Angioedema idiopatik.
 Etiologi dan Manifestasi Klinis

Urtikaria dapat terjadi secara imunologik, nonimunologik dan idiopatik. Secara


imunologik, reaksi alergi paling sering menyebabkan urtikaria yaitu melalui reaksi
hipersensitivitas tipe I (anafilaksis) misalnya pada alergi obat dan makanan. IgE spesifik
berikatan dengan high-affinity IgE receptor (FcεRI) pada permukaan sel mast jaringan dan
basofil darah tepi yang menyebabkan influksnya sel-sel inflamasi seperti eosinofil, netrofil,
limfosit dan basofil disekitar jaringan sebagai awal dari late-phase response (LPR) pada
urtikaria kronis autoimun. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik juga berperan setelah
antigen berikatan dengan IgG atau IgM dan menghasilkan anafilatoksin yang mampu
merangsang pelepasan histamin dan mediator lainnya.

Pada urtikaria non imunologik, beberapa bahan kimia (golongan amin dan derivat
amidin) dan obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin dapat langsung merangsang sel
mast dan basofil untuk melepaskan histamin. Bahan kolinergik seperti asetilkolin yang
dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit, faktor fisik berupa panas, dingin, stres dan sinar
matahari juga dapat secara langsung merangsang pelepasan beberapa mediator. Pada
urtikaria idiopatik, etiologinya belum banyak diketahui namun diduga sebagian besar
berhubungan dengan penyakit autoimun.
Berikut akan dibahas satu-persatu mengenai jenis-jenis urtikaria/angioedema
berdasarkan etiologi dan klinisnya:

Urtikaria Akut
Sekitar 65% urtikaria spontan adalah urtikaria akut (UA). Dikatakan UA jika urtika
muncul secara spontan dengan durasi kurang dari 6 minggu. UA sering disebabkan oleh
infeksi akut dari saluran pernafasan atas, saluran kemih atau reaksi non alergi
(pseudoalergen) dari obat antiinflamasi non steroid sedangkan UA alergika diperantarai oleh
IgE, contohnya alergi makanan yang banyak dijumpai pada orang atopi. Makanan yang
sering menimbulkan urtikaria ialah telur, kacang, udang, coklat, tomat, keju, bawang,
semangka, asam nitrat, asam benzoat dan ragi. Diagnosis UA ditegakkan hanya berdasarkan
riwayat penyakit termasuk mencari faktor pencetusnya dan pemeriksaan fisik tapi
pemeriksaan penunjang lain masih belum perlu dilakukan.

Urtikaria Kronis
Prevalensi urtikaria kronis (UK) sebesar 0,5% dari populasi umum dan sering mengenai
wanita usia dewasa muda. Lesi muncul secara spontan, minimal 2 kali seminggu selama
lebih dari 6 minggu. Jika lesi muncul kurang dari 2 kali seminggu maka disebut UK
episodik. Pada UK selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap perlu juga
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menemukan faktor pencetusnya seperti infeksi,
penyakit autoimun, reaksi alergi mapun non-alergi.

Urtikaria Autoimun
Sekitar 50% pasien urtikaria kronis mempunyai histamin yang melepaskan autoantibodi.
Sebagian besar IgG berikatan langsung dengan subunit α reseptor IgE pada permukaan sel
mast dan basofil, hanya sedikit yang berikatan dengan IgE. Autoantibodi tersebut
menyebabkan degranulasi sel mast melalui aktivasi komplemen jalur klasik. Ini dapat
terlihat pada autologous serum skin test (ASST) dimana jika disuntikkan serum autolog
secara intraepidermal maka akan muncul urtika. Namun pemeriksaan ASST belum menjadi
pemeriksaan yang rutin dilakukan sehingga sering pasien didiagnosis sebagai urtikaria
idiopatik.

Urtikaria Kontak
Urtikaria kontak alergi (UKA) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I yang
diperantarai oleh alergen IgE spesifik pada orang yang telah tersensitisasi sebelumnya.
Alergen penyebab UKA antara lain dari bahan makanan (kacang, tomat, ikan), latex dan
logam sedangkan riwayat atopi merupakan salah satu faktor predisposisinya. Lesi UKA
muncul tidak hanya pada area yang terkena bahan alergen namun dapat generalisata bahkan
mengenai organ dalam seperti saluran pernafasan atau pencernaan dan juga mengakibatkan
syok anafilaktik. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
ini adalah pemeriksaan IgE spesifik dan tes tusuk.

Urtikaria kontak non alergi (UKNA) terjadi tanpa adanya sensitisasi awal, hanya
terjadi reaksi setempat tanpa reaksi sistemik. Penyebab UKNA diduga karena efek langsung
terhadap dinding pembuluh darah dermal atau pelepasan substansi vasoaktif misalnya
histamin, SRSA dan bradikinin tanpa pengaruh antibodi. Bahan-bahan penyebab UKNA
antara lain bahan pengawet atau penyedap makanan, sabun, parfum dan produk farmasi
seperti salep atau krim. Waktu optimum untuk melihat reaksi yang timbul adalah 40-45
menit setelah aplikasi bahan alergen.

Urtikaria Kompleks Imun


Aktivasi sistem komplemen melalui anafilatoksin C5a dapat memperantai dan
meningkatkan pelepasan histamin dari sel mast. Mekanisme inflamasi ini terjadi karena
adanya ikatan antara antigen dan antibodi yang membentuk kompleks imun, biasanya
berhubungan dengan infeksi virus hepatitis B, hepatitis C dan infeksi oleh parasit sehingga
dapat dilakukan pemeriksaan serologis sesuai dengan klinisnya.

Urtikaria karena Obat-obatan


Banyak jenis obat-obatan yang dapat menyebabkan urtikaria. Obat golongan cyclo-
oxygenase (COX)-inhibitor seperti aspirin dan obat anti inflamasi non steroid sering menjadi
penyebabnya. Aspirin menimbulkan urtikaria karena menghambat sintesis prostaglandin dan
terjadi perubahan metabolisme asam arakidonat. Ada juga obat yang langsung merangsang sel
mast untuk melepaskan histamin, misalnya kodein, opium dan zat kontras.

Urtikaria Idiopatik
Prevalensi Urtikaria idiopatik (UI) sekitar 0,1% pada populasi umum, lebih banyak
pada wanita dan biasanya bersifat kronik. Penyebab UI sulit ditemukan, kurang dari 5%
dikatakan dapat dieksaserbasi oleh pewarna dan pengawet makanan seperti asam benzoat.
Obat (penisilin, aspirin, AINS, opiat dan ACE inhibitor), alkohol dan stress dapat juga
memperberat terjadinya UI. Pada UI pemeriksaan laboratorium biasanya memberikan hasil
yang normal sehingga diagnosis UI ditegakkan jika kemungkinan diagnosis urtikaria yang
lain seperti urtikaria vaskulitis dan urtikaria fisik telah disingkirkan. Namun demikian
sekitar 30- 60% pasien UI memiliki autoantibodi terutama IgG1 dan IgG3 yang spesifik
terhadap FcεRIα sehingga perlu dilakukan pemeriksaan ASST untuk dapat menentukan
terapi yang tepat seperti pemberian imunomodulator (siklosporin A, plasmaferesis dan Ig
intra vena).

Angioedema
Angioedema terjadi pada lebih dari setengah pasien urtikaria spontan dan sekitar 10-
20% pasien angioedema tanpa disertai urtikaria terjadi karena obat-obatan seperti aspirin,
golongan ACE inhibitor dan AINS. Obat-obat ini mencegah degradasi bradikinin yaitu
komponen peptida yang berfungsi sebagai vasodilator yang poten sehingga terjadi akumulasi
cairan di daerah interstitium terutama pada area wajah. Ada 2 cara terbentuknya bradikinin,
yaitu :
1. Melalui komponen enzim jaringan kallikrein dan substrat plasma. Kallikrein
disekresi terutama oleh sel- sel kelenjar (saliva, keringat dan eksokrin pankreas),
paru, ginjal, usus halus dan otak.
2. Melalui aktivasi jalur pembekuan instrinsik. Adanya trauma akan mengaktivasi
faktor Hageman (XII) yang akan memicu pembentukan plasmin dan kalikrein.
Plasmin mengaktivasi C1 melalui pembentukan C2 kinin-like peptide dan
kallikrein menghasilkan bradikinin dari kininogen.

Angioedema juga dapat terjadi karena defisiensi atau disfungsi C1INH. Defisiensi
C1INH bisa bersifat herediter atau dapatan. Defisiensi C1INH dapatan jarang ditemukan
dan berhubungan dengan penyakit autoimun atau limfoma. Defisiensi C1INH herediter bisa
dikarenakan produksinya yang menurun (angioedema herediter/AEH tipe I) akibat mutasi
gen SERPIN1 atau fungsi inhibitornya yang terganggu (AEH tipe II) sedangkan pada AEH
tipe III terjadi mutasi gen F12 yang berfungsi mengontrol faktor pembekuan 12. AEH tipe
III sering pada wanita dan dapat dieksaserbasi oleh kehamilan dan penggunaan kontrasepsi
hormonal.
Diagnosis angioedema ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium darah lengkap, mast cell tryptase level yang meningkat jika
berhubungan dengan reaksi alergi akut (anafilaksis), konsentrasi plasma komplemen C4 dan
jumlah serta fungsi dari C1INH.
4. Kelainan Kulit dan Kelamin

A. Manifestasi dari Covid-19

 Covid-19 merupakan penyakit infeksi virus yang ditandai dengan gejala-gejala


seperti batuk, demam, nyeri otot, dan sesak napas. Tapi apakah ruam pada kulit
juga bisa menjadi salah satu gejalanya?

Menurut dr Ruri D. Pamela, SpKK dari RS Dr Suyoto sekaligus founder dari CELV
Dermatology Clinic Jakarta. Banyak ahli sepakat bahwa Covid-19 juga menyebabkan gejala
tak biasa pada organ lain seperti mata, saluran pencernaan, dan kulit. Berdasarkan laporan
ilmiah Dr S. Recalcati di Italia, ia menemukan sekitar 20,4 persen pasien Covid-19
mengalami gejala ruam pada kulit.

Ada tiga jenis ruam yang paling banyak diderita. Pertama adalah bercak kemerahan mirip
campak, kedua berbentuk bruntus kecil berisi air mirip cacar, dan yang ketiga adalah bentol
seperti orang biduran.

Dari 88 pasien COVID-19, 20,5% memperlihatkan manifestasi kulit. Delapan dari 18


(44%) memiliki erupsi kulit saat onset gejala, dan sisanya setelah rawat inap. Empat belas
(78%) memiliki ruam merah, tiga memiliki urtikaria luas, dan satu memiliki vesikel mirip
cacar air. Daerah yang paling sering terkena adalah badannya. Gatal ringan atau tidak ada,
dan lesi biasanya sembuh dalam beberapa hari. Yang terpenting, manifestasi kulit tidak
berkorelasi dengan keparahan penyakit.

Manifestasi kulit ini “mirip dengan keterlibatan kulit yang terjadi selama infeksi virus
biasa,” kata penulis laporan tersebut, Sebastiano Recalcati, MD, seorang dokter kulit di
Rumah Sakit Alessandro Manzoni.

Mereka mengatakan kasus infeksi COVID-19 di rumah sakit Bangkok yang


memperlihatkan klinis seperti demam berdarah. Seseorang di sana hanya mengalami ruam
kulit, petechiae, dan jumlah trombosit yang rendah, dan didiagnosis menderita demam
Dengue karena seperti itulah hasil anamnesis dan pemeriksaan.
Diagnosis yang benar, COVID-19, dibuat di pusat perawatan tersier setelah pasien
dirawat dengan masalah pernapasan.

“Ada kemungkinan bahwa pasien COVID-19 pada awalnya mungkin mengalami


ruam kulit yang dapat salah didiagnosis sebagai penyakit umum lainnya. ... Praktisi harus
mengenali kemungkinan bahwa pasien mungkin hanya memiliki ruam kulit ”pada awalnya,
kata pemimpin penulis laporan itu, Beuy Joob, PhD, dari Sanitation Medical Academic
Center, Bangkok, dan seorang rekan penulis.

Ada laporan serupa di Amerika Serikat juga. “Banyak yang bertanya-tanya apakah
COVID-19 hadir dengan perubahan kulit tertentu. Jawabannya adalah ya, ”kata Randy
Jacobs, MD, asisten profesor klinis dermatologi di University of California, Riverside, yang
juga memiliki praktik pribadi di California selatan.

“COVID-19 dapat menunjukkan tanda-tanda oklusi pembuluh darah kecil. Ini bisa
berupa petekie atau memar kecil, dan letusan liveoid transien, ”katanya dalam sebuah
wawancara.

Dr. Jacobs memiliki pasien berusia 67 tahun yang mengalami demam rendah, hidung
tersumbat, tetesan postnasal, dan batuk basah tetapi tidak sesak napas. Itu tampak seperti flu
biasa. Tetapi seminggu kemudian, lelaki itu mengalami erupsi vaskular liveoid tanpa noda di
paha anterior kanannya, dan darah di urinnya, dan dia merasa lemah. Erupsi pembuluh darah
dan urin berdarah sembuh dalam 24 jam, tetapi tes COVID-19 kembali positif dan batuknya
mengering dan meretas, dan kelemahannya bertahan. Dia ada di rumah sakit sekarang dan
menggunakan oksigen, tetapi sejauh ini tidak berventilasi.”

 Masalah Dermatologis sebagai Gejala COVID-19?

Para ahli dari Union National Dermatologist-Venereologists (SNDV) Prancis percaya


bahwa gejala kulit, termasuk gatal-gatal, pseudo-frostbite, dan kemerahan kulit yang
persisten, adalah gejala COVID-19 yang mungkin terjadi.

Para ahli dermatologi telah memperhatikan bahwa kemunculan kemerahan pada kulit
secara mendadak terasa menyakitkan bagi pasien dan terdapat lesi yang disebabkan oleh
urtikaria sementara, atau dikenal sebagai gatal-gatal.

Ini berdasarkan pada laporan surat kabar Perancis, Le Figaro. Lebih dari 400 ahli ini,
yang bekerja di sektor publik dan swasta, telah membentuk kelompok diskusi WhatsApp
untuk membahas kemungkinan koneksi masalah-masalah dermatologis ini dengan
coronavirus baru. Mereka telah menyoroti kasus pasien dengan lesi yang menunjukkan gejala
COVID-19 khas lainnya, termasuk masalah pernapasan. Namun demikian, beberapa pasien
tidak menunjukkan gejala atau tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi virus, dan masih
dinyatakan positif menderita penyakit tersebut.

 Kasus Coronavirus tanpa gejala

Dalam studi tentang pandemi, para peneliti memiliki alasan untuk percaya bahwa
orang tanpa gejala atau yang ringan masih mampu menularkan infeksi kepada orang lain dan
mungkin memicu penyebaran penyakit lebih lanjut.

"Analisis dari banyak kasus yang dilaporkan ke SNDV menunjukkan bahwa


manifestasi ini dapat dikaitkan dengan coronavirus novel. Kami memperingatkan masyarakat
dan profesi medis untuk mendeteksi pasien yang berpotensi menular ini secepat mungkin,"
tulis SNDV dalam pers yang diterjemahkan melepaskan.

Menurut Direktur Jenderal Kesehatan, Jérôme Salomon, masih belum ada penelitian
yang dilakukan yang secara konklusif dapat menghubungkan masalah dermatologis ini
dengan COVID-19.

Namun, ia menambahkan bahwa kami masih belum tahu segalanya tentang


coronavirus novel dan bahwa kami masih mempelajari hal-hal baru setiap hari.

Apakah masalah kulit dikaitkan dengan virus atau tidak, para ahli masih
merekomendasikan bahwa siapa pun yang menunjukkan masalah ini harus berkonsultasi
dengan dokter kulit untuk memeriksakannya sesegera mungkin. Ini bukan pertama kalinya
gejala yang tidak biasa dikaitkan dengan COVID-19.

 Pandemi Covid-19 dan kulit

Pada Desember 2019, sebuah pneumonia dengan penyebab yang tidak diketahui
terdeteksi di Wuhan, Cina. Kemudian diungkapkan bahwa tipe baru (virus corona)
menyebabkan penyakit pernapasan menyebar dari orang ke orang. Wabah tersebut
dinyatakan sebagai Emergency Kesehatan Masyarakat dari Kepedulian Internasional pada 30
Januari 2020, dan pada 11 Februari, Asosiasi Kesehatan Dunia mendefinisikan penyakit
coronavirus baru sebagai COVID-19. Sejak itu, pandemi telah menyebar ke semua benua
kecuali Antartika. Pada pertengahan Maret 2020, ada lebih dari 200.000 kasus yang
dilaporkan di seluruh dunia. Sedangkan waktu untuk mencapai 100.000 kasus pertama butuh
12 minggu, hanya 12 hari yang diperlukan untuk mencapai 100.000 berikutnya. Di Amerika
Serikat, lebih dari 10.000 kasus dan total 150 kematian akibat infeksi COVID-19 telah
dilaporkan hingga 21 Maret 2020.

Dengan pandemi global saat ini, dokter kulit, seperti semua dokter, harus mewaspadai
infeksi COVID-19 dan manifestasi kulit apa pun.

 Infeksi COVID-19 dan kulit pada manusia

Tropisme virus untuk struktur mukosa bronkus dan sel sistem kekebalan dengan pola
histopatologis yang khas telah dibuktikan dengan menggunakan spesimen otopsi dari paru-
paru, jantung, ginjal, limpa, sumsum tulang, hati, pankreas, lambung, usus, tiroid , dan kulit.
Meskipun infeksi juga melibatkan perubahan jantung, pembuluh darah, hati, dan ginjal, pola
kulit yang khas pada awalnya tidak dijelaskan.

Selanjutnya, selaput lendir telah diidentifikasi sebagai Port d’entree paling umum
untuk infeksi, ini termasuk konjungtiva dengan saluran optik yang memiliki risiko penularan
terendah , oleh karena itu, perubahan kulit spesifik akibat infeksi Covid-19 belum dijelaskan.

Karena penyakit dengan gangguan penghalang epidermal dapat meningkatkan


penularan virus melalui kontak tidak langsung, pasien dermatologi mungkin berisiko lebih
tinggi untuk mengembangkan infeksi. Ini menunjukkan bahwa departemen dermatologi dan
kantor swasta harus mengembangkan tindakan pencegahan yang tepat. Penggunaan masker
sanitasi itu sendiri mungkin tidak cukup perlindungan dari penularan virus, sehingga
kacamata harus digunakan untuk mengurangi risiko kontaminasi konjungtiva. COVID-19
memiliki daya tahan yang relatif rendah terhadap disinfektan. Hasilnya, berbagai regimen
telah terbukti efektif, mulai dari 75% etanol, asam perasetat, klorin, dan desinfeksi UV
hingga rendaman air panas pada 56 ° C (132,8 ° F) selama 30 menit.

Kekhawatiran praktis penting lainnya adalah perawatan untuk pasien dengan


gangguan inflamasi autoimun dan kronis, seperti psoriasis, dermatitis atopik, lupus,
skleroderma, dan hidradenitis supurativa, yang mungkin memerlukan terapi immunosupresif.

 Masalah kulit terkait dengan alat pelindung diri (APD) dan tindakan kebersihan
pribadi
Komplikasi kulit pada infeksi COVID-19 terutama disebabkan oleh efek hiperhidrasi
dari APD, gesekan, kerusakan sawar epidermis, dan reaksi kontak, yang kesemuanya dapat
memperburuk penyakit kulit yang ada. Manifestasi dermatologis jauh berbeda dari yang
dicatat selama Epidemi Influenza 1918-1919. Eritema, papula, maserasi, dan scaling adalah
perubahan kulit yang paling sering dilaporkan karena pemakaian yang lebih lama dari APD.
Gejala termasuk terbakar, gatal, dan menyengat. Temuan tersebut telah dikaitkan dengan
penggunaan APD di 97,0% dari 542 petugas kesehatan garis depan (HCW). Bagian kulit
yang paling sering terkena adalah jembatan hidung (83% karena penggunaan kacamata
pelindung tetapi bukan masker kebersihan, pipi, dahi, dan tangan). Kontak yang
berkepanjangan dengan masker dan kacamata dapat menyebabkan berbagai penyakit kulit
mulai dari kontak dan tekanan urtikaria atau dermatitis kontak hingga memperburuk kulit
yang sudah ada sebelumnya. Sebuah studi terdahulu menunjukkan bahwa lebih dari 1/3
pekerja perawatan kesehatan mengeluhkan jerawat, gatal-gatal pada wajah, dan bahkan
dermatitis karena memakai masker N95.

Penggunaan topi pelindung dan oklusi yang menyertainya dapat menyebabkan pruritus
dan folikulitis atau memperburuk dermatitis seboroik. Penggunaan sarung tangan pelindung
jangka panjang mengarah pada oklusi dan keadaan hiperhidrasi epidermis yang dapat diamati
secara klinis sebagai maserasi dan erosi, kemungkinan mengarah pada pengembangan
dermatitis kontak. Mencuci tangan secara berlebihan dengan deterjen / desinfektan dapat
merusak lapisan hidrolipid pada permukaan kulit dan mungkin juga bertanggung jawab atas
iritasi dan bahkan perkembangan dermatitis kontak. Dua pertiga pekerja perawatan kesehatan
akan mencuci tangan lebih dari 10 kali sehari, tetapi hanya 22% yang menggunakan krim
pelindung kulit.

Diatesis atopik, kelembaban rendah, frekuensi mencuci tangan, pekerjaan basah,


penggunaan sarung tangan, dan lama kerja adalah faktor risiko penting untuk pengembangan
dan / atau pembengkakan dermatitis tangan. Dalam hal pencegahan dermatitis kontak,
disarankan untuk sering menggunakan krim tangan, terutama setelah mencuci tangan dan
sebelum menggunakan APD.

Anda mungkin juga menyukai