OLEH :
KELOMPOK 7
Kesehatan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi kelangsungan hiduo manus
ia. Menurut undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 1 ayat (1), kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Banyak faktor yang memenga
uhi kesehatan seseorang, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal yang di
maksud seperti faktor fisik atau psikis. Sementara itu faktor eksternal seperti budaya masyara
kat, lingkungan fosok, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Faktor lingkungan memiliki pen
garuh paling tinggi terhadap status kesehatan. Para ahli kesehatan masyarakat sepakat bahwa l
ingkungan merupakan determinan utama derajat kesehatan penduduk (Achmadi, 2011).
Periode penting dalam tumbuh kembang adalah masa balita (bawah lima tahun). Anak
balita pada usia 2 bulan sampai 5 tahun lebih rentan terhadap penyakit. Pada usia tersebut, bal
ita lebih mudah terkena penyakit yang dari lingkunga yang tidak sehat. Berdasarkan riset yan
g dilakukan oleh pemerintah Indonesia penyakit atau masalah kesehatan yang menyerang bali
ta masih berkisar pada yaitu gangguan perinatal, penyakit-penyakit infeksi, dan masalah
kekurangan gizi (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007).
Penyakit menular menjadi salah satu masalah kesehatan yang hampir semua negara be
rkembang termasuk Indonesia. Penyakit menular menjadi masalah kesehatan global karena m
enimbulkan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi dalam kurun waktu yang relatif
singkat. Penyakit menular adalah sebuah penyakit yang infeksi yang disebabkan oleh sebuah
agen biologi, seperti virus, bakteria atau parasit. Penyakit ini dapat ditularkan dari satu orang
ke orang lain, baik secara langsung maupun dengan perantara. Secara garis besar cara
penularan penyakit menular dapat melalui langsung, yaitu dari orang ke orang, contohnya mel
alui permukaan kulit (Widoyono, 2008).
Salah satu penyakit menular yang paling rentan pada anak balita adalah penyakit Cam
pak. Incidence Rate (IR) campak pada tahun 2016 sebesar 5,0 per 100.000 penduduk, mening
kat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar 3,20 per 100.000 penduduk. Provinsi dengan IR ca
mpak tertinggi di Indonesia adalah Jambi, Kepulauan Riau, dan Aceh (Ditjen P2P Kemenkes
RI, 2017).
Penyakit campak (morbili), campak jerman (rubella), cacar air (varisela), sindrom pipi
merah (eritema infeksiosa), impetigo, dan demam berdarah merupakan beberapa dari banyak j
enis penyakit menular pada anak balita yang termasuk ke dalam konteks ruam kemerahan . Ci
ri khas atau yang spesifik dari semua penyakit ini adalah disebabkan oleh infeksi virus dan m
enimbulkan munculnya ruam di permukaan kulit. Namun ruam pada setiap penyakit memiliki
perbedaan, yaitu kapan waktu munculnya ruam, warna dan bentuk ruam, serta gejala yang dir
asakan oleh anak balita. Penyakit campak, campak jerman, dan demam berdarah termasuk pe
nyakit menular yang sangat besar di Indonesia, sehingga hal ini menunjukkan bahwa penyakit
menular yang disebabkan oleh infeksi virus ini harus cepat didiagnosis dan ditangani agar tida
k semakin parah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi Varicella
Cacar air atau Varicella adalah infeksi yang disebabkan oleh virus golongan he
rpes yang lain, yaitu virus Varicella Zoster. Infeksi oleh virus Varicella Zoster menye
babkan kan an-nur nya vesikel-vesikel pruritik yang mengandung air di kulit. Cacar ai
r adalah infeksi primer oleh virus tersebut. Cacar air sangat menular dan ditularkan Da
ri orang ke orang melalui percikan atau droplet saluran napas. (Elizabeth & j.corwin, 2
009)
Varicella atau cacar air, chickenpox merupakan infeksi bersifat akut dan sanga
t menular yang disebabkan oleh Varicella Zoster virus atau vzv. Varicella akan menye
rang kulit dan mukosa, yang bersifat polimorf dan terutama terletak pada bagian Sentr
al tubuh. Virus Varicella Zoster termasuk golongan herpesvirus, selain Herpes Simple
x virus, sitomegalovirus, epstein barr virus, human herpes virus.
Human herpes virus Pada anak-anak yang imunokompeten, gejala biasanya rin
gan, dapat sembuh sendiri atau swasirna, dan jarang terjadi komplikasi. Pada orang de
wasa dan orang imunokompromais, gejalanya lebih berat dan sering terjadi komplikas
i yang dapat fatal. Walaupun bersifat swasirna, mengingat penyakit tersebut dapat me
nyebabkan komplikasi dan berakibat fatal pada kelompok tertentu, atau pengobatan da
n pencegahannya memerlukan pemahaman mengenai patogenesis dan gambaran klinis
nya.
2. Etiologi
Varisela disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). Virus ini termasuk dal
am kelompok Herpes Virus. Virus ini berkapsul dengan diameter kira-kira 150-200 n
m. Inti virus disebut capsid yang berbentuk ikosahedral, terdiri dari protein dan DNA
berantai ganda. Berbentuk suatu garis dengan berat molekul 100 juta dan disusun dari
162 isomer. Lapisan ini bersifat infeksius. VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel
dan dalam darah penderita. Virus ini dapat diinokulasikan dengan menggunakan biaka
n dari fibroblas paru embrio manusia kemudian dilihat dibawah mikroskop elektron.
Di dalam sel yang terinfeksi akan tampak adanya sel raksasa berinti banyak (multinucl
eated giant cell) dan adanya badan inklusi eosinofilik jernih (intranuclear eosinophilic
inclusion bodies) (Kurniawan, Martin., dkk, 2009).
Varisela disebabkan oleh Herpes virus varicella atau disebut juga virus varicell
a-zoster (virus V-Z). Virus tersebut dapat pula menyebabkan herpes zoster. Kedua pen
yakit ini mempunyai manifestasi klinis yang berbeda. Diperkirakan bahwa setelah ada
kontak dengan virus V-Z akan terjadi varisela; kemudian setelah penderita varisela ter
sebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi
klinis) dan kemudian virus V-Z diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan herpes
zoster. Virus V-Z dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita ve
risela dapat dilihat dengan mikroskop electron dan dapat diisolasi dengan menggunak
an biakan yang terdiri dari fibroblas paru embrio manusia (Behrman, Richar E., 1992).
3. Manifestasi klinis
Pada anak kecil, gejala prodromal jarang terjadi namun dapat terjadi demam d
an malaise ringan titik sementara pada anak yang lebih besar dan pada dewasa, bercak
muncul dua hingga tiga hari setelah demam, menggigil,malaise, sakit kepala, anoreksi
a, nyeri kepala. Pada pasien yang belum mendapatkan vaksinasi, bercak muncul pada
wajah dan kulit kepala dan menyebar dengan cepat ke badan serta ekstremitas.
Bercak dimulai dari bagian belakang badan, di antara bahu dan pantat dan lebi
h profus pada bagian tubuh medial. Pada Sela muncul dengan cepat dalam waktu 12 ja
m dengan lesi awal mula hingga papula berwarna kemerahan,, pustul dan menjadi kus
ta titik Lesi vesikel yang memiliki diameter 2 sampai 3 mm berbentuk elips, dengan u
kuran yang lebih panjang sejajar dengan garis kulit. Vesikel awal terletak superfisial d
engan dinding tipis, dikelilingi area hitam di sekitarnya sehingga memberikan gambar
an dewdrop On A Rose Petal. Saat Stadium vesikel, pasien dapat merasakan gatal yan
g sangat mengganggu titik setelah vesikel berubah menjadi pustul, kemudian akan me
nggiring pada bagian tengah dan berubah menjadi krusta yang akan mengelupas dala
m waktu 1-3 minggu meninggalkan Sekar berwarna merah muda yang akan memudar.
Waktu 1-3 minggu meninggalkan Sekar berwarna merah muda yang akan memudar.
Atrofi jarang terjadi kecuali mengalami trauma yang dilakukan oleh pasien sen
diri atau mengalami super infeksi oleh bakteri. Lesi penyembuhan dapat berupa makul
a hipopigmentasi yang dapat berlangsung selama beberapa minggu hingga beberapa b
ulan.
Vesikel juga dapat dijumpai di membran mukosa daerah mulut hidung koma-k
oma laring trakea. Pada membran mukosa mudah pecah sehingga sering tidak ditemuk
an.
Gejala demam dapat tidak dijumpai atau hanya demam ringan, dapat muncul t
erus menerus selama Lesi baru masih muncul. Demam yang berkepanjangan atau mun
cul setelah fase penyembuhan dapat menjadi indikasi terjadinya infeksi bakteri sekund
er atau terdapat gejala komplikasi lainnya.
4. Komplikasi
Pada anak sehat, varicella merupakan penyakit ringan dan jarang disertai komp
likasi. Angka mortalitas pada anak usia 1-14 tahun diperkirakan 2/100.000 kasus, nam
un pada neonatus dapat mencapai hingga 30%. Komplikasi tersering umumnya diseba
bkan oleh infeksi sekunder bakterial pada lesi kulit, yang biasanya disebabkan oleh St
afilokokus aureus atau Streptokokus beta hemolitikus grup A, sehingga terjadi impetig
o, furunkel, selulitis, atau erisipelas, tetapi jarang terjadi gangren. Infeksi fokal tersebu
t sering menyebabkan jaringan parut, tetapi jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi
metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat menjadi bula bila terinfeksi stafilokok
us yang menghasilkan toksin eksfoliatif (Siregar, RS, 2004).
Pneumonia varicella hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya diseba
bkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna. Pneumonia varicella jarang d
idapatkan pada anak dengan system imunologis normal, sedangkan pada anak dengan
defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak jarang ditemukan (Hasan, Rusepn
o dan Husein Alatas, 2007).
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan responsif
terhadap antibiotik yang tepat. Bagaimanapun juga, superinfeksi bakteri umum dijump
ai dan berpotensi mengancam kehidupan pada pasien dengan leukopenia (Hasan, Ruse
pno dan Husein Alatas, 2007).
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1 diantara 10
00 kasus. Varicella berhungan dengan sindroma Reye (ensepalopati akut disertai dege
nerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam. Dulu,
dari 15-40% pada semua kasus sindroma Reye berhubungan dengan varicella, khusus
nya pada penderita yang diterapi dengan aspirin saat demam, dengan mortalitas seting
gi 40%. Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lain
nya. Encephalitis lebih jarang lagi terjadi yaitu pada 1 diantara 33.000 kasus, tetapi m
erupakan penyebab kematian tertinggi atau menyebabkan kelainan neurologi yang me
netap. Patogenesa terjadinya ataksia serebelar dan ensephalitis tetap jelas, dimana pad
a banyak kasus ditemukan adanya VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV DNA pada c
airan cerebrospinal pada pasien, yang diduga menyebabkan infeksi secara langsung pa
da sistem saraf pusat (Martin, Kurniawan., dkk, 2009).
Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi ters
ebut di atas, sedangtkan anak dengan defisiensi imunologis, anak yang menderita leuk
emia, anak yang sedang mendapat pengobatan anti metabolit atau steroid (penderita si
ndrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering mendapat komplikasi terse
but, kadang-kadang varicella pada penderita tersebut dapat menyebabkan kematian (H
asan, Rusepno dan Husein Alatas, 2007).
5. Patofisiologi
Varicella pada umumnya ditularkan melalui infeksi droplet, yaitu masuknya vi
rus melalui saluran pernapasan menuju mukosa atau dengan kontak langsung dengan
Lesi kulit Varicella dari pasien yang sakit Varicella. Virus kemudian memperbanyak d
iri di orofaring dan menembus jaringan limfe regional. Virus kemudian disebarkan di
kelenjar limfe regional disebut sebagai fase viremia primer yang membawa virus clive
r dan sel mononuklear fagosit lainnya selama masa inkubasi. Viremia primer diperkira
kan terjadi 4 sampai 6 hari setelah infeksi kemudian virus menginfeksi dan multiplika
si di liver, limpa, dan organ-organ lain yang memungkinkan. Setelah beberapa hari dar
i multiplikasi virus, viremia sekunder dengan jumlah virus yang lebih besar terjadi me
nghasilkan penyebaran yang lebih luas sampai virus mencapai kulit dan menghasilkan
ruam dan vesikel bentuk vesikel menunjukkan beberapa fase viremia. Di dalam tubuh,
virus menyebar melalui kontak antar sel begitu pula terjadinya viremia. Masa inkubasi
biasanya terjadi selama 14 Hari tergantung pada jumlah virus yang masuk, keganasan
dari virus, dan kemampuan hospes melakukan pertahanan diri.
Untuk menyebabkan infeksi virus harus mencapai pintu masuk yang ada di tubuh,
memperbanyak diri, dan menyebarkan baik secara lokal maupun sistemik dan secara k
eseluruhan menginfeksi seluruh tubuh, yang biasanya berhubungan dengan viremia da
n berikutnya terlokalisasi si pada organ-organ tertentu. Penyebab virus bisa melalui sa
luran nafas saluran cerna, kulit, saluran genitalia, dan konjungtiva.
Mekanisme dari Mea dimulai dari masuknya virus melalui saluran napas melintasi
permukaan epitel dan tiba di jaringan subepitel yang kemudian masuk ke dalam siste
m limfatik. Darah merupakan sarana yang paling efektif dan tercepat dari penyebaran
virus dalam. Sekali saja virus mencapai semua bagian tubuh dalam beberapa menit. M
asuknya virus pertama kali dalam tubuh disebut viremia. Viremia awal ini mungkin ta
npa gejala, namun replikasi lebih lanjut dari virus-virus ini akan menyebabkan keluarn
ya virus dari tempat replikasinya dalam jumlah yang lebih besar yang disebut primer s
ekunder yang dapat menyebabkan infeksi di semua bagian tubuh yang dapat menyeba
bkan demam dan malaise.
6. Pemeriksaan penunjang
Menurut Herper J (2000), pemeriksaan varicella dapat dilakukan beberapa test, yaitu :
1. Tzanck smear
Preparat diambil dari discraping dasar vesikel yang masih baru, kemudi
an diwarnai dengan pewarnaan hematocylin-eosin, giemsa’s wright’s, toulidin
e blue atau papanicopalaou’s. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan d
ijumpai multinucleatid giant cells. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 84%, diman
a test ini tidak dapat membedakan antara varicella zoster dan herpses simpleks
virus.
Preparat diambil dari scraping dasar vesikel tetapi apabila sudah berben
tuk krusta, dimana pemeriksaan ini kurang sensitif. Hasil pemeriksaan ini lebih
cepat dan membutuhkan mikroskop fluorescence. Test ini dapat menemukan a
ntigen virus varicella zoster, dimana test ini dapat membedakan antara varicell
a zoster dan herpses simpleks virus.
3. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sensitif. Metode ini d
apat digunakan dalam berbagai jenis preparat seperti scraping dasar vesikel da
n apabila sudah berbentuk krusta dapat jugan digunakan sebagai preparat. Sens
itifitasnya berkisar 97-100%, dimana test ini dapat menemukan nucleic acid da
ri virus varicella zoster.
4. Biopsi kulit
7. Penatalaksanaan medis
Imunisasi
a. Imunisasi pasif
● Anak berusia <15 tahun belum pernah menderita Varicella atau herpes
zoster.
● Usia pubertas dan dewasa imunokompeten (usia > 15 tahun) yang belu
m pernah menderita Varicella atau herpes zoster dan tidak mempunyai
antibodi terhadap VZV (diketahui melalui pemeriksaan serologis).
● Bayi baru lahir dari ibu yang menderita Varicella dalam 5 hari sebelum
melahirkan atau 48 jam sesudah melahirkan.
● Bayi prematur yang ibunya tidak pernah menderita Varicella atau herpe
s zoster.
● Bayi berusia 14 Hari yang Ibunya belum pernah menderita Varicella at
au herpes zoster.
● Orang yang terpajan melalui kontak dengan penderita Varicella atau he
rpes zoster, yaitu kontak serumah, kontak di rumah sakit, dan kontak in
trauterin.
● Perlindungan dari pemberian VZIG bersifat sementara, sedang individu
yang rentang akan terpajang berulang kali dengan vzv.
b. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif atau vaksinasi dengan vaksin vzv atau Okta strain terbu
kti dapat menyebabkan angka serokonversi yang tinggi setelah pemberian 1 ka
li pada anak sehat berusia 1 sampai 12 tahun dan 60 sampai 80% pada puberta
s dan dewasa setelah pemberian 2 kali. Selain itu kekebalan yang didapat dari
vaksin tersebut dapat bertahan selama 10 tahun. Pada orang normal yang telah
mendapatkan vaksinasi, hanya sedikit sekali yang menderita Varicella ringan s
etelah terpajan vzv dan hanya 0,3% anak normal yang telah divaksinasi mende
rita herpes zoster. Di Amerika Serikat vaksin vzv telah disetujui dan direkome
ndasikan untuk diberikan pada anak usia 1 sampai 12 tahun secara tersendiri at
au bersamaan dengan vaksin campak, gondongan dan rubella atau MMR. Pada
pubertas di atas 12 tahun dan dewasa yang rentang, diberikan 2 dosis dengan j
arak waktu 1 bulan.
8. Asuhan keperawatan
A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Pasien
Di dalam identitas hal-hal yang perlu di kaji antara lain nama pa
sien, alamat pasien, umur pasien biasanya kejadian ini mencakup semu
a usia antara anak-anak sampai dewasa, tanggal masuk rumah sakit pe
nting untuk di kaji untuk melihat perkembangan dari pengobatan, pena
nggung jawab pasien agar pengobatan dapat di lakukan dengan persetuj
uan dari pihak pasien dan petugas kesehatan.
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama
Pengkajian Fisik
1. Tingkat keasadaran
a. Kesadaran Umum
b. TTV
2. Aktivitas / Istirahat
3. Integritas ego
4. Makan/cairan
5 Nyeri / Kenyamanan
6. Keamanan
7. Data subjektif
Pasien merasa lemas, tidak enak badan, tidak nafsu makan dan sakit ke
pala.
8. Data Objektif
B. Diagnosa Keperawatan
C. Intervensi keperawatan)
1 resiko infeksi b/d dengan keru Setelah dilakukan interven Pencegahan infeksi
sakan jaringan kulit. si keperawatan selama….×
24 jam maka diharapkan ha Definisi : mengidentifikasi dan m
Definisi : berisiko mengalami p sil data sebagai berikut : enurunkan resiko terserang organ
eningkatan paparan organisme isme patogenik
patogenik. kontrol resiko
1. kemapuan mencari i aktivitas-aktivitas ;
Batasan karakteristik : nformasi tengtang f Observasi
1. gangguan integritas kuli aktor resiko 1. monitor tanda dan gejala i
t 2. kemampuan melaku nfkesi lokal dan sitemik
2. kurang pengetahuan ten kan strategi mengon 2. Monitor kerentanan terha
gtang pemajangan patog trol resiko dap infeksi
en 3. kemampuan mengu 3. Periksa kulit dan selaput l
3. imunosepresi bah perilaku endir untuk adanya kemer
4. supresi respon inflamasi 4. kemampuan menghi ahan, kehangatan es krim,
ndari faktor resiko atau drainase
Teraupetik
4. berikan perawatan kulit p
ada area yang edema
5. Pertahankan asepsis untuk
pasien yang berisiko
6. Pertahankan teknik-teknik
isolasi yang sesuai
Edukasi
7. jelaskan tanda dan gejala i
nfeksi
8. Ajarkan pasien dan keluar
ga untuk menghindari inf
eksi
9. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik yang dir
esepkan
Kolaborasi
10. kolaborasi pemberian im
unisasi. jika perlu
aktivitas-aktivitas :
Observasi
1. identifikasi penyebab gan
gguan integritas kulit (mi
s. perubahan sirkulasi,per
ubahan kelembapan,suhu
lingkungan)
Teraupetik
2. gunakan produk berbahan
petrolium atau minyak pa
da kulit
Edukasi
3. anjurkan menggunakan pe
lembab (mis,lotion atau se
rum)
4. anjurkan minum air yang
cukup
5. anjurkan menghindari suh
u paparan panas yang ting
gi
6. anjurkan mandi dengan m
enggunakan sabun yang s
ecukupnya
Terapi Menelan
Aktivitas-aktivitas :
1. monitor menutupnya bibir
selama makan, minum da
n menelan
Teraupetik
2. berikan lingkungan yang
nyaman
3. gunakan alat bantu, jika p
erlu
4. sediakan prode istirahat s
ebelum mkana
5. bantu pasien untuk menyi
ngkirkan sisa makanan ya
ng ada pada bibir,dagu, ji
ka pasien tidak dapat men
julurkan lidahnya
Edukasi
6. instruksikan pada keluarg
a bagaimana cara mempo
sisikan,memberi makanan
dan memonitor pasien
7. instruksikan kepada pasie
n/pemberi perawatan terk
ait dengan kebutuhan nutr
isi dan modifikasi diet
Kolaborasi
8. kolaborasi dengan dokter
untuk meningkatkan kons
istensi makanan pasien se
cara bertahap
Morbili adalah penyakit infeksi virus akut yang ditandai oleh tiga stadium yait
u stadium stadium kataral, stadium erupsi, dan stadium konvalensi. (Suriadi & Rita Y
uliani, 2010)
Morbili adalah penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh infek
si virus umumnya menyerang anak yang ditandai dengan 3 stadium yaitu kataral (pro
dromal), erupsi, dan konvalensi. (Nurarif & Kusuma, 2015)
Campak adalah penyakit akut yang sangat menular yang disebabkan oleh infek
si virus umumnya menyerang anak. Campak memiliki gejala klinis khas yaitu terdiri d
ari 3 stadium yang masing-masing mempunyai ciri khusus: (1) stadium masa tunas ber
langsung kira-kira 10-12 hari. (2) stadium prodromal dengan gejala pilek dan batuk ya
ng meningkat dan ditemukan enatem pada mukosa pipi (bercak koplik), faring dan per
adangan mukosa konjungtiva, dan (3) stadium akhir dengan keluarnya ruam mulai dar
i belakang telinga menyebar ke muka, badan, lengan dan kaki. Ruam timbul didahului
dengan suhu badan yang meningkat, selanjutnya ruam menjadi menghitam dan menge
lupas. ( Sumarmo, 2015)
2. Etiologi
Virus morbili yang berasal dari secret saluran pernafasan, darah, dan urine dari
orang yang terinfeksi. Penyebaran infeksi melalui kontak langsung dengan droplet dar
i orang yang terinfeksi. Masa inkubasi selama 10-12 hari, dimana periode yang sangat
menular adalah hari pertama hingga hari ke 4 setelah timbulnya rash ( pada umumnya
pada stadium kataral) (suriadi & Rita, 2010)
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus m
orbilivirus, family paramyxoviridae. Virus ini dari family yang sama dengan virus pa
rainfluenza, virus human metapneumovirus, dan RSV (Respiratory Syncytial Virus)
Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti untai RNA tunggal
yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki 6 struktur pr
otein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan virus ke se
l penderita. Protein F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein
M (Matrix) di permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam peny
atuan virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (large), NP (Nucleoprotein), dan
P (Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P berperan dalam aktivitas polimerasi
RNA virus, sedangkan protein NP berperan sebagai stuktur protein nucleocapsid. Kar
ena virus campak dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diinaktivitasi oleh c
airan yang melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga dapat diin
aktivasi dengan suhu panas (>37℃), suhu dingin (.20℃), sinar ultraviolet serta kadar
(Ph) ekstrim (ph ,5 dan .10). virus ini jangka hidupnya pendek (short survival time), y
aitu kurang dari 2 jam (Soegijanto, 2011)
3. Gejala Klinis
Masa inkubasi campak berkisar 10 hari (8-12 hari). Gejala klinis terjadi setelah
masa inkubasi, terdiri dari tiga stadium :
Biasanya penyakit ini timbul pada masa anak dan kemudian menyebabkan kek
ebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili ak
an mendapat kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan set
elah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga bayi dapat menderita morbili.
Bila si ibu belum pernah menderita morbili maka bayi yang dilahirkannya tidak memp
unyai kekebalan terhadap morbili dan dapat menderita penyakit ini setelah ia dilahirka
n. Bila seorang wanita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka q% kem
ungkinan akan mengalami abortus: bila ia menderita morbili pada trimester 1, kedua a
tau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau se
orang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati atau anak yang kemudian
meninggal sebelum usia 1 tahun.
5. Komplikasi
Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu:
● Usia muda, terutama di bawah 1 tahun
● Malnutrisi (marasm us atau kwasiorkor)
● Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
● Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV, malnut
risi, atau keganasan
● Anak dengan defisiensi vitamin
6. Pencegahan
Imunisasi aktif
Sekarang digunakan starin Schwarz dan Moraten dan tidak diberikan globulin-
gama. Vaksin tersebut diberikan secara subkutan dan menyebabkan imunitas yang ber
langsung lama. Pada penyelidikan serologis ternyata bahwa imunitas tersebut mulai m
engurang 8-10 tahun setelah vaksinasi. Dianjurkan untuk memberikan vaksin morbili t
ersebut pada anak berumur 15 bulan yaitu karena sebelum umur 15 bulan diperkirakan
anak tidak dapat nenbentuk antibody secara baik karena masih ada antibody dari ibu.
Tetapi dianjurkan pula agar anak yang tinggal didaerah endemis morbili dan terdapat
banyak tuberculosis diberikan vaksinasi pada umur 6 bulan dan revaksinasi dilakukan
pada umur 5 bulan. Diketahui dari penelitian Linnemann dkk. (1982) pada anak yang
divaksinasi sebelum umur 10 bulan tidak ditemukan antibody, begitu pula setelah reva
ksinasi kadang-kadang titer antibody tidak naik secara bermakna. Di Indonesia saat ini
masih dianjurkan memberikan vaksin morbili pada anak berumur 9 bulan ke atas. Vak
sin morbili tersebut di atas dapat pula diberikan pada orang yang alergi terhadap telur,
karena vaksin morbili ini ditumbuhkan dalam biakan jaringan janin ayam yang secara
antigen adalah berbeda dengan protein telur. Hanya bila terdapat suatu penyakit alergi
sebaiknya vaksinasi ditunda sampai 2 minggu sembuh. Vaksin morbili juga dapat dibe
rikan kepada penderita tuberculosis aktif yang sedang mendapat tuberkulostatika. Vak
sin morbili tidak boleh diberikan kepada wanita hamil, anak dengan tuberculosis yang
tidak diobati, penderita leukemia dan anak yang sedang mendapat pengobatan imunos
upresif.
Di Indonesia digunakan pula vaksin morbili buatan perum biofarma yang terdi
ri dari virus morbili yang hidup dan sangat dilemahkan, strain Scwarz dan ditumbuhka
n dalam jaringan janin ayam dan kemudian di beku- keringkan. Tiap dosis dari vaksin
yang sudah dilarutkan mengandung virus morbili tidak kurang dari 1.00 TCID 50 dan
neomisin B sulfat tidak lebih dari 50 mikrogram.
Vaksin ini diberikan secara subkutan sebanyak 0,5 ml pada umur 9 bulan. Terj
adi anergi terhadap tuberculin selama 2 bulan setelah vaksinasi. Bila seseorang telah
Mendapat immunoglobulin atau transfuse darah maka vaksinasi dengan vaksin morbil
i harus di tangguhkan sekurang - kurangnya 3 bulan. Vaksin ini tidak boleh diberikan
kepada anak dengan infeksi saluran pemafasan akut atau infeksi akut lainnya yang dis
ertai demam, anak dengan defisiensi imunologik, anak yang sedang diberi pengobatan
intensif dengan obat imunosupresif.
Imunisasi pasif
Imunisasi Campak
Pada tahun 1954, Peebles dan Enders pertama kali berhasil mengembangbiakk
an virus campak pada kultur jaringan. Virus campak tersebut berasal dari darah kasus
campak bernama David Edmonston.
a. Monovalen
b. Kombinasi ข aksin campak dengan vaksin rubella (MR)
c. Kombinasi dengan mumps dan rubella (MMR)
d. Kombinasi dengan mumps, rubella dan varisela (MMRV)
Imunisasi tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi prime
r, pasien TB yang tidak boleh diobati, pasien keganasan atau transplantasi organ, mere
ka yang mendapat pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak imunokompro
mais yang terinfeksi HIV. Anak yang terinfeksi HIV tanpa immunosupresi berat dan t
anpa bukti kekebalan terhadap campak bisa mendapat imunisasi campak.
Kesulitan untuk mencapai dan mempertahankan angka cukup yang tinggi bers
ama-sam dengan keinginan untuk menunda pemberian imunisasi sampai antibodymat
ernal hilang merupakan suatu hal yang berat dalam pengendalian campak. Pada anak-
anak di Negara berkembang, antibody maternal akan hilang pada usia 9 bulan, dan pa
da anak-anak di Negara maju setelah 15 bulan.
7. Patofisiologi
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat
menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui
udara, sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam.
Di tempat awal infeksi, penggandaan virus sangat minimal dan jarang dapat ditemuka
n virusnya. Virus masuk ke dalam limfatik local, bebas maupun berhubungan dengan
sel mononuclear, kemudian mencapai kelenjer getah bening regional. Disini virus me
mperbanyak diri dengan sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan li
mforetikular seperti limpa. Sel mononuclear yang terinfeksi menyebabkan terbentukn
ya sel raksasa berinti banyak (sel warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supress
or dan T-helper) yang rentan terhadap infeksi, turut aktif membelah.
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara len
gkap, tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentuklah focus infeksi yaitu ketika virus
masuk ke dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konju
ngtiva, saluran nafas, kulit kandung kemih dan usus.
Pada hari ke 9-10, focus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjun
gtiva, akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat
itu virus dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan
manifestasi klinis dari system saluran nafas diikuti dengan batuk pilek disertai selaput
konjungtiva yang tampak merah. Respon imun yang terjadi ialah presos peradangan e
pitel pada system saluran pernapasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam
tinggi, anak tampak sakit berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang d
isebut bercak Koplik, yang dapat tanda pasti untuk menegakkan diagnosis.
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respon delayed hypers
ensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesuda
h awal infeksi dan pada saat itu anti bodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian
ini tampak pada kasus yang mengalami deficit sel-T.
Focus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian denga
n imunofluoresens dan histologic menunjukkan adanya antigen campak dan diduga ter
jadi suatu reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafa
san memberikan kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis
media, dan lain-lain. Dalam keadaan tetentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu c
ampak dapat menyebabkan gizi kurang (Sumarmo,2015).
Hari Pathogenesis
PATHWAY
8. Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan darah berupa leukopenia dan limfositopenia
B. Pemeriksaan immunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan b
iasanya sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya ruam. Ig
M campak ini dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan sesudah infeksi.
9. Penatalaksanaan Medis
Menurut Halim dalam Jurnal Campak pada Anak (2016):
Pada campak tanpa komplikasi tatalaksana bersifat suportif, berupa tirah baring, antipi
retik (parasetamol 10-1 5 mg/kgBB/ do sis dapat diberikan sampai setiap 4 jam), caira
n yang cukup, suplemen nutrisi, dan vitamin A. Vitamin A dapat berfungsi sebagai im
unomodulator yang meningkatkan respon antibody terhadap virus campak. Pemberian
vitamin A dapat menurunkan angka kejadian komplikasi diare dan pneumonia. Vitami
n A diberikan satu kali per hari selama 2 hari dengan dosis sebagai berikut:
a. 200.000 IU pada anak umur 12 bulan atau lebih
b. 100.000 IU pada anak umur 6-11 bulan
c. 50.000 IU pada anak kurang dari 6 bulan
d. Pemberian vitamin A tambahan satu kali dosis tunggal dengan dosis sesuai um
ur penderita diberikan antara minggu ke-2 sampai ke-4 pada anak dengan gejal
a defisiensi vitamin A
Pada campak dengan komplikasi otitis media dan/atau pneumonia bacterial dapat dibe
ri antibiotic. Komplikasi diare diatasi dehidrasinya sesuai derajat dehidrasinya.
A. Bila ada kejadian luar biasa (KB), campak, dan infeksi lain, maka suplementas
i vitamin A diberikan pada:
a. Seluruh balita yang ada di wilayah tersebut diberi 1 (satu) kapsul vitam
in A dengan dosis sesuai umurnya.
b. Balita yang telah menerima kapsul vitamin A dalam jangka waktu kura
ng dari 30 hari (sebulan) pada saat KLB, maka balita tersebut tidak dia
njurkan lagi untuk diberi kapsul.
Bila ditemukan kasus xerophtalmia, campak, dan gizi burul (marasmus, kwash
iorkor, dan marasmik kwashiorkor), pemberian vitamin A mengikuti aturan se
bagai berikut:
a. Saat ditemukan: Berikan satu kapsul vitamin A merah atau biru sesuai
umur anak
b. Hari berikutnya: Berikan lagi satu kapsul vitamin A merah atau biru se
suai umur anak.
c. Dua minggu berikutnya: Berikan satu kapsul vitamin A merah atau bir
u sesuai umur anak.(Kemenkes RI Bima Gizi Masyarakat, 2010).
b. Diagnosa Keperawatan
1. Hipertermi b.d penyakit
2. Hambatan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit
3. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d mukus berlebihan
4. Kerusakan integritas kulit b.d
5. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d asupan diet kurang
6. Risiko defisien volume cairan b.d kehilangan volume cairan melalui rut
e abnormal
c. Intervensi Keperawatan
NO
DIAGNOSIS NOC NIC
1 Hipertemia b.d pen Setelah dilakukan tin Perawatan demam
yakit dakan keperawatan s
elama 1 x 24 jam dih Aktivitas-aktivitas :
(Domain11. Kelas arapkan hipertemia d
6. Kode diagnosis 0 ● Pantau suhu dan tanda-t
apat kembali normal
0007) anda vital lainnya
dengan kriteria hasil:
● Monitor warna kulit dan
Thermoregulasi suhu
● Beri obat atau cairan IV
Batasan karakteristik ● Merasa merind (misalnya ., an tipiretik,
: ing saat dingin agen antibakteri dan age
● Berkeringat saa n anti menggigil)
● Postur abnorma
t panas ● Tutup pasien dengan sel
l
● Mengigil saat d imut atau pakaian ringa
● Apnea
ingin n, tergantung pada fase
● Kulit kemeraha
● Tingkat pernap demam (yaitu: memberi
n
asan kan selimut hangat untu
● Hipotensi
● Peningkatan su k fase dingin; menyedia
● Bayi tidak dapa
hu kulit kan pakaian atau linen t
t mempertahan
● Hipertemia empat tidur ringan untuk
kan menyusu
● Radang dingin demarn dan fase bergejo
● Kulit terasa han
lak/flush)
gat
● Tingkatkan sirkulasi uda
● Takikardia
ra
● Takpnea
● Pantau komplikasi-kom
plikasi yang berhubunga
n dengan demam serta t
anda dan gejala kondisi
penyebab demam (misal
nya., kejang, penurunan
tingkat kesadaran, status
elektrolit abnormal, keti
dakseimbangan asam-ba
sa, aritmia jantung, dan
perubahan abnormalitas
sel)
2 Hambatan rasa nya tindakan keperawata Manajemen lingkungan: ke
man b.d gejala terk n selama 1 x 24 jam nyamanan
ait penyakit diharapkan ganggua
n rasa nyaman dapat Aktivitas-aktivitas :
(Domain 12. Kelas kembali normal den
1. Kode diagnosis 0 ● Tentukan tujuan pasien
gan kriteria hasil:
0214) dan keluarga dalam men
gelola lingkungan dan k
Batasan karakteristik : enyamanan yang optima
status kenyamanan l
● Perubahan pola : ● Cepat bertindak jika terd
tidur apat panggilan bel, yang
● Ansietas ● kesejahteraan f harus selalu dalam jangk
● Gejala distress isik auan
● Ketakutan ● control terhada ● Hindari gangguan yang t
● Merasa tidak n p gejala idak perlu dan berikan u
yaman ● dukungan sosia ntuk waktu istirahat
● Ketidakmampu l dari keluarga ● Sesuaikan suhu ruangan
an untuk rileks ● hubungan sosia yang paling menyamank
● gelisah l an individu, jika memun
● perawatan sesu kinkan
ai dengan kebu ● Fasilitasi tindakan-tinda
tuhan kan kebersihan untuk m
enjaga kenyamanan indi
vidu (misalnya., menyek
a alis, mengoleskan kri
m kulit, atau membersih
kan badan, rambut, dan
rongga mulut)
● Monitor kulit terutama d
aerah tonjolan tubuh ter
hadap adanya tanda-tan
da tekanan atau iritasi
3 Ketidakefektifan be tindakan keperawata Manajemen jalan nafas
rsihan jalan nafas n selama 1 x 24 jam
b.d mucus berlebih diharapkan ganggua
an n jalan nafas dapat k
Aktivitas-aktivitas :
embali normal denga
(Domain 11. Kelas n kriteria hasil: ● Buka jalan nafas dengan
2. Diagnosis 00031)
teknik chin lift atau jaw
Status pernafasan :
Batasan karakteristik: thrust, sebagaimana mes
kepatenan jalan na
tinya
fas
● Perubahan pola ● Posisikan pasien untuk
nafas ● Frekuensi pern memaksimalkan ventilas
● Perubahan frek apasan i
uensi napas ● Kemampuan u ● Masukkan alat nasophar
● Kesulitan verba ntuk mengeluar yngeal airway (NPA) at
lisasi kan secret au oropharyngeal airwa
● Sputum dalam j ● Tersedak y (OPA), sebagaimana
umlah yang ber ● Suara nafas ta mestinya
lebihan mbahan ● Lakukan fisioterapi dad
● Batuk yang tida ● Batuk a, sebagaimana mestiny
k efektif ● Akumulasi spu a
tum ● Instruksikan bagaimana
agar bisa melakukan bat
uk efektif
● Posisikan untuk meringa
nkan sesak nafas
● Monitor status pernafasa
n dan oksigenasi, sebaga
imana mestinya
4 Kerusakan integrit tindakan keperawata Pengecekan kulit
as kulit b.d n selama 1 x 24 jam
diharapkan kerusaka
(Domain 11. Kelas n integritas kulit dap
2. Kode diagnosis 0 Aktivitas-aktivitas :
at kembali normal d
0046) engan kriteria hasil: ● Periksa kulit dan selaput
Batasan karakteristik: lender terkait dengan ad
integritas jaringan
anya kemerahan, kehang
: kulit & membran
● Nyeri akut atan ekstrim, edema, ata
e mukosa
● Gangguan inte u drainase
gritas kulit ● Suhu kuli ● Monitor warna dan suhu
● Kemerahan ● Sensas kulit
● Dehidrasi ● Monitor kulit untuk ada
● Tekstur nya ruam dan lecet
● Integritas kulit ● Ajarkam anggota keluar
● Lesi pada kulit ga/ pemberi asuhan men
● Kanker kulit genai tanda-tanda kerus
akan kulit, dengan tepat
5 Nutrisi kurang dari tindakan keperawata Manajemen nutrisi
kebutuhan tubuh b. n selama 1 x 24 jam
d asupan diet kura diharapkan ketidaks
ng eimbangan nutrisi ku
Aktivitas-aktivitas :
rang dari tubuh dap
(Domain2. Kelas 1. at kembali normal d ● Tentukan status gizi pasi
Kode diagnosis 000 engan kriteria hasil: en dan kemampuan [pas
02)
ien] untuk memenuhi ke
Status nutrisi
Batasan karakteristik: butuhan gizi
● Asupan gizi ● Tentukan apa yang menj
● Kram abdomen ● Asupan makan adi preferensi makanan
● Nyeri abdomen an bagi pasien
● Asupan makan ● Asupan cairan ● Instruksikan pasien men
an kurang dari ● Energy genai kebutuhan nutrisi
recommended (yaitu: membahas pedo
daily allowanc man diet dan piramida
e (RDA) makanan)
● Kurang minat p ● Beri obat-obatan sebelu
ada makanan m makan (misalnya, pen
● Ketidak mamp ghilang rasa sakit, antie
uan memakan metik), jika diperlukan
makanan ● Anjurkan pasien menge
● Penurunan bera nai modifikasi diet yang
t badan dengan diperlukan (misalnya, N
asupan makan PO, cairan bening, caira
adekuat n penuh, lembut, atau di
et sesuai toleransi)
● Bantu pasien untuk men
gakses program-progra
m gizi komu-
2. Klasifikasi
a. Tonsilitis Akut
Tonsilitis akut biasa disebabkan oleh virus ataupun bakteri. Kondisi ini terjadi secara
mendadak disertai gejala radang akut seperti sulit menelan, demam, rasa mengganjal
di tenggorokan, pembengkakan kelenjar getah bening. Keluhan ini berlangsung sela
ma 3-14 hari. Tonsilitis akut dibagi lagi menjadi 2, yaitu:
1) Tonsilitis Viral
Gejalanya lebih meyerupai commond cold yang disertai dengan nyeri tenggoro
k. penyebab yang paling sering adalah virus Epstein Barr. Hemofilus influenza
e merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. apabila infeksi virus coxschaki,
maka rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil teras
a sangat nyeri.
2) Tonsilitis Bakterial
dapat disebabkan oleh kuman Grup A streptokokus, β hemolitikus yang dikenal
sebagai strep throat, pneumokokus, streptokokus viridan, streptokokus piogene
s. Infiltrasi bakteri pada klapisan epitel jaringan tonsil akan mengakibatkan rea
ksi radang seperti keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detr
itus. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis folikular
is. bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur aka akan t
erjadi tonsilitis lakunaris.
b. Tonsilitis Kronik
Terjadi menahun dan gejala yang dialami tidak seberat tonsilitis akut, kecuali bila tib
a-tiba disertai dengan tanda radang akut maka disebut tonsilitis kronik eksaserbasi ak
ut. secara umum, tonsilitis kronik adalah infeksi atau inflamasi pada tonsila palatina
yang menetap. dimaksud kronik apabila terjadi perubahan histologi pada tonsil, dima
na ada mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik dan dikelilingi oleh
zona sel-sel radang. tonsilitis kronik disebabkan karena serangan berulang tonsilitis a
kut yang berakibat kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan dapat terjadi bila
fase resolusi yang tidak sempurna. organisme patogen dapat menetap untuk sementar
a waktu atau dalam kurun waktu yang lama lalu menyerang kembali ketika daya taha
n tubuh melemah. bakteri penyebabnya ialah biasanya Streptococcus pneumonia, Ha
emophilus influenzae, Streptococcus β hemolitikus, Streptococcus viridans.
c. Tonsilitis Membranosa
1) Tonsilitis Difteri
disebabkan oleh kuman Coryne bacterium diphteriae. Penularannya melalui u
dara, benda atau makanan yang terkontaminasi. tonsilitis difteri sering ditemuk
an pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun. frekuensi tertinggi pada usia
2-5 tahun.
2) Tonsilitis Septik
disebabkan oleh Streptokokus hemolitikus yang terdapat dalam susu sapi.
3) Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulsero Membranosa)
disebabkan karenabakteri spirochaeta atau triponema yang didapatkan pada pe
nderita dengan hygiene mulut yang kurang setra defisiensi vitamin C.
Kebanyakan kasus tonsilitis disebabkan oleh infeksi virus yang umum, tetapi infeksi ba
kteri juga dapat menyebabkan tonsilitis. Etiologi dari tonsilitis meliputi virus, bakteri, ja
mur dan spirochaeta. Etiologi utama tonsilitis adalah virus dan group A beta-hemolytic
streptococcus (GABHS).
Infeksi virus merupakan etiologi utama tonsillitis. Beberapa virus penyebab tonsilitis, a
ntara lain Rhinovirus, Influenza A, Adenovirus, virus Herpes Simpleks, virus Epstein B
arr (EBV), Metapneumovirus, Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan Parainfluenza.
Individu dengan tonsillitis akut hadir dengan tanda dan gejala: demam, sakit tenggoroka
n, bau napas (halitosis), Disfagia (kesulitan menelan), Odynophagia (nyeri menelan), Pe
mbesaran getah bening leher, Pembesaran tonsil.
Obstruksi jalan napas dapat bermanifestasi dengan adanya pernapasan tambahan mulut,
mendengkur, pernapasan yang tidak teratur, pernapasan nocturnal berhenti, atau apnea t
idur.
Tonsil tampak merah terang, dan edema. eksudat putih dapat terjadi pada tonsil meneka
n tonsil yang dapat menghasilkan drainase purulen. uvula juga dapat merah serta bengk
ak. nodus limfe tonsilar biasanya nyeri dan membesar. pasien biasanya mengeluhkan ny
eri tenggorokan, sulit menelan, malaise umum, demam, dan otalgia (nyeri menjalar ke t
elinga).
Tonsillitis akut menimbulkan keluhan awal berupa rasa kering di tenggorokan. Selanjut
nya penderita merasa nyeri waktu menelan (Odhynophagia) yang makin lama makin he
bat, sehingga karena sakitnya, anak menjadi tidak mau makan. Nyeri hebat ini dapat me
njalar ke telinga disebut referred pain. Panas badan dapat sangat tinggi sampai menimb
ulkan kejang pada anak dan bayi,, nyeri kepala, badan lesu, nafsu makan berkurang.
Suara penderita terdengar seperti orang yang mulutnya penuh terisi makanan panas. Ke
adaan ini disebut plummy voice. Mulut berbau busuk (foetor ex ore), dan ludah menump
uk dalam kavum oris akibat adanya nyeri telan yang hebat (ptialismus). Selain itu, tonsi
l hiperemi, udem, permukaannya penuh detritus, ismus fausium hiperemi. Kelenjar limf
e di daerah jugulo-digastrikus (di belakang angulus mandibular) membesar dan nyeri te
kan.
Keluhan penderita tonsillitis kronik mirip dengan tonsillitis akut tetapi sangat ringan ba
hkan kadang-kadang tanpa keluhan. Misalkan rasa nyeri tenggorok, mulut berbau busuk
suhu badang kadang-kadang normal kadang-kadang subfebris, badan lesu dan nafsu ma
kan berkurang.
Pada pemeriksaan tonsil hipertrofi tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi, dan udem tida
k jelas. Didapatkan detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah. Kelenj
ar leher membesar tetapi tidak nyeri tekan.
5. Komplikasi
Terapi yang adekuat pada tonsilitis bermanfaat dalam mengurangi terjadinya komplikas
i. Komplikasi tonsilitis dapat dibagi menjadi komplikasi supuratif dan nonsupuratif. Ko
mplikasi supuratif terdiri dari abses peritonsilar, abses retrofaringeal, dan abses parafari
ngeal sedangkan komplikasi nonsupuratif terdiri dari demam reumatik akut, glomerulon
efritis akut, dan Lemierre’s syndrome.
Meskipun jarang, tonsilitis akut dapat menimbulkan komplikasi yang bersifat lokal yait
u abses peritonsiler, abses parafaring atau otitis media. Komplikasi lain bersifat sistemi
k terutama jika kuman penyebabnya adalah Streptokokus beta hemolitikus. Komplikasi
berupa penyebaran infeksi ke organ ginjal (nefritis, glomerulonephritis akut), sendi (atri
tis), jantung (endokarditis), dan vaskuler (phlebitis).
Bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, amandel berperan sebag
ai filter atau penyaring yang menyelimuti organisme berbahaya, sel-sel darah putih ini a
kan menyebabkan infeksi ringan pada amandel. Hal ini akan memicu tubuh untuk mem
bentuk antibodi terhadap infeksi yang akan datang, akan tetapi kadang-kadang amandel
sudah kelelahan menahan infeksi atau virus. Infeksi bakteri dari virus inilah yang meny
ebabkan tonsilitis.
Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfici
al mengadakan reaksi. Terdapat pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit poli m
orfonuklear. Proses ini secara klinik tampak pada korpus tonsil yang berisi bercak kunin
g yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang t
erlepas, suatu tonsilitis akut dengan detritus disebut tonsilitis falikularis, bila bercak det
ritus berdekatan menjadi satu maka terjadi tonsilitis lakunaris. Tonsilitis dimulai dengan
gejala sakit tenggorokan ringan hingga menjadi parah. Pasien hanya mengeluh merasa s
akit tenggorokannya sehingga nafsu makan berkurang. Radang pada tonsil dapat menye
babkan kesukaran menelan, panas, bengkak, dan kelenjar getah bening melemah di dala
m daerah sub mandibuler, sakit pada sendi dan otot, kedinginan, seluruh tubuh sakit, sa
kit kepala dan biasanya sakit pada telinga. Sekresi yang berlebih membuat pasien meng
eluh sukar menelan, belakang tenggorokan akan terasa mengental. Hal-hal yang tidak m
enyenangkan tersebut biasanya berakhir setelah 72 jam.
Bila bercak melebar, lebih besar lagi sehingga terbentuk membran semu (Pseudomembr
an), sedangkan pada tonsilitis kronik terjadi karena proses radang berulang maka epitel
mukosa dan jaringan limfoid terkikis. Sehingga pada proses penyembuhan, jaringan lim
foid diganti jaringan parut. Jaringan ini akan mengkerut sehingga ruang antara kelompo
k melebar (kriptus) yang akan diisi oleh detritus, proses ini meluas sehingga menembus
kapsul dan akhirnya timbul perlengketan dengan jaringan sekitar fosa tonsilaris. Pada a
nak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfe submandibula.
7. Pemeriksaan Penunjang
Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi streptokokus Gr
up A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih mahal daripada ku
ltur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT memiliki akurasi 93
% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur darah. Hasil tes false positive jara
ng berlaku. Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien dapat mengurangi resiko pen
yebaran tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus grup A dan terapi yang tepat dapat
diperkenalkan.
8. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan pasien tonsilitis secara umum :
a. Medikamentosa: Jika penyebab bakteri, diberikan antibiotik peroral (melalui mulut)
selama 10 hari, jika mengalami kesulitan menelan, bisa diberikan dalam bentuk sunti
kan. Penatalaksanaan tonsilitis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang bai
k, obat kumur, obat hisap dan tonsilektomi jika terapi konservatif tidak memberikan
hasil.Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu diberika
n selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah golongan penis
ilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat diberikan eritromisi
n atau klindamisin. Penggunaan terapi antibiotika amat disarankan pada pasien tonsil
itis kronis dengan penyakit kardiovaskular. Obstruksi jalan nafas harus ditatalaksana
dengan memasang nasal airway device, diberi kortikosteroid secara intravena dan dia
dministrasi humidified oxygen. Pasien harus diobservasi sehingga terbebas dari obstr
uksi jalan nafas.
b. Pengangkatan tonsil (Tonsilektomi)
Tonsilektomi merupakan prosedur bedah untuk mengangkat seluruh tonsil palatina.
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala sumbat
an serta kecurigaan neoplasma
Prosedur ini dilakukan jika:
1) Tonsilitis terjadi sebanyak 7 kali atau lebih / tahun.
2) Tonsilitis terjadi sebanyak 5 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 2 tahun.
3) Tonsilitis terjadi sebanyak 3 kali atau lebih / tahun dalam kurun waktu 3 tahun.
4) Tonsilitis tidak memberikan respon terhadap pemberian antibiotik.
Indikasi dilakukannya prosedur ini yaitu ada indikasi absolut dan indikasi relatif. Ind
ikasi absolut: pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napa, disfa
gia berat, gangguan tidur, serta adanya kardiopulmoner, abses peritonsil yang tidak
membaik dengan pengobatan medis dan drainase, tonsilitis yang menimbulkan kejan
g demam, tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi. I
ndikasi relatif: terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi anti
biotik adekuat, halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberi
an terapi medis, tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak m
embaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten, hipertrofi tonsil unilateral
yang dicurigai merupakan suatu keganasan.
Kontraindikasi: Riwayat penyakit perdarahan, Risiko anestesi yang buruk atau riway
at penyakit yang tidak terkontrol, Anemia, Infeksi akut
9. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Kaji identitas Klien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, pendidikan,
dan agama
2) Orang tua : Nama, alamat, pendidikan
3) Saudara kandung : Urutan anak dalam keluarga
4) Pengkajian riwayat penyakit sekarang /Keluhan utama datang ke pelayanan keseh
atan: gejala apa yang dirasakan/timbul, sejak kapan gejala muncul, pengobatan/pe
rawatan yang dilakukan sebelum ke pelayanan keseahatan, kebersihan mulut klien,
bagaimana pola makan klien
5) Pengkajian riwayat penyakit terdahulu: apakah pernah menderita keluhan yang sa
ma sebelumnya
6) Pengkajian riwayat penyakit keluarga
7) Pemeriksaan Fisik
a) Integritas Ego
Gejala: Perasaan takut, khawatir. Tanda: ansietas, depressi, menolak
b) Makanan atau Cairan
Gejala: kesulitan menelan, nyeri saat menelan. Tanda: kesulitan menelan, mu
dah tersedak, inflamasi, terjadi pembengkakan tonsil, bengkak di leher
c) Hygiene
Tanda: Kebersihan gigi dan mulut buruk
d) Nyeri atau keamanan
Gejala: gelisah, perilaku berhati-hati. Tanda: nyeri tenggorokan, penyebaran
nyeri hingga ke telinga. Dikaji skala nyerinya, lokasi nyeri
e) Pernapasan
Gejala: adakah keluarga yang merokok, tempat tinggal klien berdebu, kesulit
an bernapas
f) Tenggorokan
Inspeksi: tonsil membesar dan berwarna kemerahan, apakah ada eksudat
Palpasi: ada nyeri tekan, pembesaran kelenjar limfoid
8) Pemeriksaan Tanda-tanda Vital : tekanan darah, suhu, denyut nadi, pernapasan
Pembesaran tonsil :
• T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula.
• T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula
sampai ½ jarak anterior – uvula.
• T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior – uvula.
• T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai
uvula atau lebih.
b. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri Akut
2) Hipertermia
3) Gangguan Menelan
4) Ketidakseimbangan Nutrisi: kurang dari kebutuhan
5) Ketidakefektifan Jalan Napas
6) Hambatan Rasa Nyaman
7) Risiko Perdarahan
8) Risiko Infeksi
c. Intervensi Keperawatan
yeri esifik
● Sikap melindun
Edukasi:
gi area nyeri
● Ajarkan metode farmakol
● Keluhan tentan
ogis untuk menurunkan n
g karakteristik n
yeri
yeri dengan me
● Berikan informasi menge
nggunakan stan
nai nyeri, misalnya penye
dar instrumen n
bab, berapa lama nyeri ak
yeri
an dirasakan, dan antisip
● Perilaku ekspresif
asi dari ketidaknyaman a
kibat prosedur
● Libatkan keluarga dalam
modalitas penurun nyeri j
ika memungkinkan
● Ajarkan pengunaan tekni
k non farmakologi ( sepe
rti, biofeedback, TENS, h
ypnosis, relaksasi, bimbi
ngan antisipatif, terapi m
usik, terapi bermain, tera
pi aktivitas, akupressur, a
plikasi panas/dingin dan
pijitan, sebelum, sesudah
dan jika memungkinkan,
ketika melakukan aktivit
as yang menimbulkan ny
eri, sebelum nyeri terjadi
atau meningka; dan bersa
maan dengan tindakan pe
nurunan rasa nyeri lainny
a).
Kolaborasi:
● Kolaborasi dengan pasien, ora
ng terdekat, dan tim kesehatan
lainnya untuk memilih dan me
ngimplementasikan tindakan p
enurunan nyeri nonfarmakolog
i sesuai kebutuhan.
● Beri tahu dokter jika tindakan
tidak berhasil atau jika keluha
n pasien saat ini berubah signif
ikan dari pengalaman nyeri se
belumnya
Edukasi :
ungsi oral, faring atau esof makanan dimulut ● monitor tanda dan kelela
Edukasi:
Kolaborasi:
Edukasi:
● Anjurkan asupan cairan 2
000 ml/hari, jika tidak ko
ntraindikasi
● ajarkan teknik batuk efek
tif
Kolaborasi:
Edukasi:
● Instruksikan klien untuk
menggunakan metode me
ngurang kecemasan
Kolaborasi:
Edukasi :
Kolaborasi :
Edukasi
● Menganjurkan istirahat
● Mengajarkan pasien dan
keluarga pasien mengena
i perbedaan perbedaan an
tara infeksi infeksi virus
dan bakteri
● Mengajarkan pasien dan
keluarga mengenai tanda
tanda gejala infeksi dan k
apan harus melaporkanny
a kepada pemberi layana
n kesehatan
● Mengajarkan pasien dan
keluarga bagaimana cara
menghindari infeksi
Kolaborasi
Difteria kulit merupakan infeksi nonprogresif yang ditandai dengan ulkus supe
rfisial, ektima, indolent dengan membran coklat kelabu di atasnya, sulit dibeda
kan dengan impetigo akibat Stapyllococcus/ Streptococcus dan biasanya bersa
maan dengan infeksi kulit ini. Pada banyak kasus infeksi, difteri merupakan inf
eksi sekunder pada dermatosis, laserasi, luka bakar, tersengat atau impetigo. E
kstremitas lebih sering terkena daripada leher atau kepala. Infeksi simtomatik a
tau kolonisasi kuman di traktus respiratorius dengan komplikasi toksin terjadi
pada sebagian kecil penderita difteria kulit.
4. Komplikasi
Racun difteri dapat menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal
ataupun organ lainnya :
1. Saluran nafas : obstruksi jalan nafas, bronkopneumonia, atelektasis paru
2. Kardiovaskular : miokarditis akibat toksin kuman
3. Urogenital : nefritis
4. Susunan saraf : paralisis/paresis palatum mole (minggu I dan II), otot mata (mi
nggu III), dan umum (setelah minggu IV)
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schick di laboratorium.
b. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG
7. Penatalaksanaan Medis
A. Terapi Farmakologi
● Antitoksin
Anti difteri serum (ADS). Antitoksin harus diberikan segera setelah dib
uat diagnosis difteria, dengan pemberian antitoksin pada hari pertama,
angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun, dengan penun
daan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa mening
kat sampai 30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit ata
u uji mata terlebih dahulu. Pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilak
tik sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit.
Uji kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 mL ADS dalam larutan gar
am fisiologis 1:1000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 meni
t trejadi indurasi > 10 mm. Uji mata dilakukan dengan meneteskan 1 tet
es larutan serum 1:10 dalam garam fisiologis. Pada mata yang lain ditet
eskan garam fisiologis. Hasil positif bila dalam 20 menit tampak gejala
hiperemis pada konjungtiva bulbi dan lakrimasi. Bila uji kulit atau mat
a positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi (Besredka). Bila uji
hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan sekaligus
secara intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan ber
at penyakit dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien. P
emberian ADS intravena dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml gl
ukosa 5% dalam 1-2 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek sa
mping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan sel
ama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi
hipersensitivitas lambat (serum sickness)
● Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produ
ksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan eritromisin (40-50 mg/
kgBB/hari, dosis terbagi setiap 6 jam PO atau IV, maksimum 2 gram p
er hari), Penisilin V Oral 125-250 mg, 4 kali sehari, kristal aqueous pen
silin G (100.000 – 150.000 U/kg/hari, dosis terbagi setiap 6 jam IV ata
u IM), atau Penisilin prokain (25.000-50.000 IU/kgBB/hari, dosis terba
gi setiap 12 jam IM). Terapi diberikan untuk 14 hari. Beberapa pasien
dengan difteria kutaneus sembuh dengan terapi 7-10 hari. Eliminasi ba
kteri harus dibuktikan dengan setidaknya hasil 2 kultur yang negatif da
ri hidung dan tenggorokan (atau kulit) yang diambil 24 jam setelah tera
pi selesai. Terapi dengan eritromisin diulang apabila hasil kultur didapa
tkan C. diphteriae.
● Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala sasi toksoid difteria. Imunisasi DPT sangat penting untu
k mempertahankan kadar antibodi tetap tinggi diatas ambang pencegah
an dan imunisasi ulangan sangat diperlukan agar lima kali imunisasi se
belum
usia 6 tahun. Imunitas terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick
dan uji Moloney. Apabila belum pernah mendapat DPT, diberikan imu
nisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4-6 mingg
u. Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan denga
n imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang), dan yang telah
lengkap imunisasi primer (<1 tahun) perlu dilakukan imunisasi DPT ul
angan umur 18 bulan dan 5 tahun.
❖ DPT-HB-Hib untuk anak usia <5 tahun
❖ DT untuk anak usia 5 tahun sampai <7 tahun
❖ Td untuk usia 7 tahun keatas
● Test kekebalan:
❖ Schick test : Menentukan kerentanan (suseptibilitas) terhadap di
fteri. Tes dilakukan dengan menyunti kan toksin difteri (dilema
hkan) secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan antitoksi
k akan terjadi nekrosis jaringan sehingga test positif.
❖ Moloney test : Menentukan sensitivitas terhadap produk kuman
difteri. Tes dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan fluid
diphtheri toxoid secara suntikan intradermal. Reaksi positif bila
dalam 24 jam timbul eritema >10 mm. Ini berarti bahwa pernah
terpapar pada basil difteri sebelumnya sehingga terjadi reaksi hi
persensitivitas, pemberian toksoid difteri bisa mengakibatkanti
mbulnya reaksi yang berbahaya.
B. Terapi Non Farmakologis
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok n
egatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya, pasien tetap diisolasi selama 2-3 m
inggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agar nafas tetap beb
as serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifier.
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Biodata
- Umur : Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan ja
rang ditemukan pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada o
rang dewasa diatas 15 tahun
- Suku bangsa : Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-
negara miskin
- Tempat tinggal : Biasanya terjadi pada penduduk di tempat tem
pat pemukiman yang rapat-rapat, higien dan sanitasi jelek dan f
asilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Klien merasakan demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kep
ala, anoreksia, lemah
3. Riwayat Kesehatan Sekarang
Klien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit ke
pala, anoreksia
4. Riwayat Kesehatan Dahulu
Klien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, d
an saluran nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur da
rah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga yang mengalami difteri
6. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
b. Pola aktivitas
Klien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan dema
m
c. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat da
n tidur
d. Pola eliminasi
Klien mengalami penurunan jumlah urin dan feses karena jumla
h asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoreksia
7. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda-tanda Vital
● Nadi : meningkat
● Tekanan darah : menurun
● Respirasi rate : meningkat
● Suhu : ≤ 38°C
b. Inspeksi :
Lidah kotor, anoreksia, ditemukan pseudomembran
c. Auskultasi :
Napas cepat dan dangkal
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan terhadap apus tenggorokan dan uji schick di laboratorium.
b. Untuk melihat kelainan jantung, bisa dilakukan pemeriksaan EKG.
9. Penatalaksanaan
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa aku
t terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut terla
ksana :
a. Biakan hidung dan tenggorok
b. Sebaiknya dilakukan tes schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. Diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
b. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan pola napas b/d edema laring
2. Penurunan curah jantung b.d edema kongesti
3. Gangguan menelan b/d abnormallitas jalan
4. Inkontinensia urine aliran berlebih b.d hiperkontraksilita detrusor
5. Ansietas b.d ancaman pada status terkini
Intervensi Keperawatan
Kolaborasi
Intruksikan pasien d
an keluarga untuk m
encatat pola dan ju
mlah urin output
Pertusis juga biasa disebut sebagai Tussis Quinta, Whooping Cough, Batuk Rejan atau
pun Batuk Seratus Hari. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, terutama di tempat-tem
pat yang padat penduduknya dan biasanya dapat berupa epidemik pada anak. Pertusis
atau batuk rejan adalah penyakit infeksi akut berupa batuk yang sangat berat. Penyakit
ini menyerang mulut, hidung, dan tenggorokan. Pertussis merupakan penyakit yang sa
ngat menular dan dapat menyerang semua golongan umur,makin muda usia terkena pe
rtussis, makin berbahaya. Kasus terbanyak terjadi pada anak umur 1 tahun. Pertussis d
isebabkan oleh bakteri Bordetella Pertusis. Sebelum ditemukan vaksinnya, pertussis
merupakan penyakit tersering yang menyerang anak dan merupakan penyebab utama
kematian.
Pertusis disebabkan oleh bakteri Bordetella pertusis yang berbentuk batang gram nega
tif, tidak bergerak dan ditemukan dengan melakukan swab pada daerah nasofaring dan
ditanamkan pada media agar Bordet-Gengou. (Arif Mansjoer, 2000).
adapun ciri-ciri organisme ini antara lain:
- berbentuk batang
- tidak dapat bergerak
- bersifat gram negatif
- ukuran panjang, 0,5-1 um dan diameter 0,2-0,3 um
- tidak berspora, berkapsul, dan dapat dimatikan pada pemanasan 50 C tapi bertahan pa
da suhu 0 - 10 C. Bakteri ini menyangkut pada bulu dari saluran pernapasan.
Pertusis dapat diderita oleh orang dari semua kelompok usia, tetapi paling rentan terha
dap anak. Penyakit ini dapat dicegah dengan imunisasi pada usia dua, empat dan enam
bulan. injeksi booster diperlukan untuk anak yang berusia 4 tahun serta anak remaja d
an orang dewasa yang sedang tinggal dan bekerja dengan anak-anak kecil.
3. Manifestasi Klinis
Pertussis menular melalui udara pernapasan, yaitu percikan air ludah. Seseorang pend
erita menjadi infeksius sampai 3 minggu setelah serangan batuk dimulai. Gejala akan
mulai timbul 3-12 hari setelah bakteri masuk kedalam tubuh. Infeksi berlangsung sela
ma 6 minggu dan berkembang melalui 3 tahapan, terjadinya muntah. Tahap terakhir g
ejala pertusis disebut dengan tahap konvalesen biasanya gejala dimulai dengan batuk
dan pilek ringan selama 1-2 minggu(stadium kataral). Kemudian diikuti dengan masa
jeda batuk (stadium paroksismal), disini timbul 5-15 kali batuk diikuti dengan menghi
rup napas bernada tinggi. Batuk dan lendir yang kental sering merangsang, yang ditan
dai dengan batuk dan muntah semakin berkurang,anak tampak merasa lebih baik. Kad
ang-kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan biasanya akibat iritasi saluran pernap
asan.
4. Komplikasi
Penyulit dapat terjadi terutama pada system saluran pernapasan berupa pneumonia da
n system saraf pusat yaitu kejan, koma, ensefalitis, dan hiponatremia sekunder terhada
p SIADH (syndrome of inappropriate diuretic hormone).
Alat pernafasan
Alat pencernaan
Susunan saraf
Lain-lain
Dapat pula terjadi perdarahan lain seperti epistaksis, hemoptisis dan perdarah
an subkonjungtiva.
Penularan terjadi melalui droplet yang mengandung Bordetella pertussis dari pasien y
ang batuk dan mencapai traktus respiratorius bagian atas dari orang yang suseptibel. F
aktor yang mempengaruhi penularan adalah sanitasi, hygene lingkungan dan pribadi y
ang buruk,karena penyebaran tidak langsung bisa juga terjadi dari pasien ke lingkunga
n melalui sekresi respiratorius dan selanjutnya tangan host yang baru akan mentransfe
r kuman ini sehingga terjadi inokulasi di traktus respiratorius.
Setelah pasien terpapar dengan bakteri Bordetella pertussis, infeksi tergantung 4 langk
ah penting yaitu: perlekatan, pertahanan host, kerusakan local dan penyakit sistemik. I
nfeksi dimulai dari adanya perlekatan bakteri Bordetella Pertusis pada cilia dari sel-sel
epitel bersilia di traktus respiratorius. Perlekatan ini difasilitasi oleh partactin, fimbria
e 2 dan 3, pertussis toxin (PT), lipopolisakarida (LPS), tracheal colonization factor (T
CF), dan kemungkinan filamentous hemaglutini (FHA).
Masa inkubasi selama 7-10 hari, akan tetapi pada beberapa kasus selama 6-21 hari, tan
da dan gejala yang muncul tergantung dari etiologinya, umur dan status imunisasi.
Pathway
6. Pemeriksaan Penunjang
- Darah Lengkap. Terjadi peningkatan jumlah sel darah putih yang ditandai seju
mlah besar limfosit, LEE tinggi, jumlah leukosit antara sel / m³darah
- Tes ELISA (Enzyme Linked Serum Assay) untuk mengukur kadar secret Ig A
- CT Scan dan Foto thorax memperlihatkan adanya infiltrate perihilus, atelaktas
is atau emphysema
7. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan antibiotic
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
· Identitas
Kaji identitas pasien meliputi nama, TTL, umur, alamat, agama,suku bangsa, dll.
· Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Pasien mengalami batuk keras yang terus-menerus, berat badan menurun, mual
muntah, tidak selera makan
kaji apakah keluarga pasien ada yang memiliki riwayat penyakit menular.
- Pemeriksaan Fisik
a. Aktivitas / istirahat
b. Sirkulasi
DS : -
c. Eliminasi
DO : Gelisah
e. Kenyamanan
DO : Mata tampak menonjol, wajah memerah / sianosis, lidah terjulur dan pelebaran v
ena leher saat serangan batuk
f. Pernafasan
DS : Batuk Pilek
DO :
b. Diagnosa Keperawatan
- ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan hiperventilasi
- ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan mukus berlebihan
- Ketidakefektifan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh asupan kurang
- Resiko Infeksi berhubungan dengan penurunan kerja siliaris
c. Intervensi Keperawatan
- Tidak tampak
sesak napas
2. Etiologi
Tetanus disebabkan oleh infeksi clostridium Tetani. Mikroorganisme ini ditemukan di tan
ah, dan pada traktus intestinal, juga feses berbagai hewan. Angka pembawaan penyakit pada
manusia bervariasi dari 0 sampai 25%. Bakteri tetanus ini tumbuh pada luka dan mengeluarka
n toksin yang dapat menyusup ke secara sistemik dan menimbulkan kejang otot skelet.
Tetanus ini juga dapat disebabkan oleh infeksi pada tali pusat, tempat yang kotor, Besi
Berkarat ke rumah tusuk sate bekas: luka tusuk dalam, misalnya luka tusuk karena paku, peca
han kaca, terkena kaleng, pisau, Cangkul dan lainnya
3. Manifestasi Klinis
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin be
rtambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi n
yata dengan gejala umum:
1. Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
2. Kaku kuduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector trunki
3. Ketegangan otot dinding perut
4. Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior 5.
5. Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut mulut tert
arik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi
6. Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan (sering mer
upakan gejala dini)
7. Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dala
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap sadar, sp
asme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi, kemudian tidak jelas lagi
dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intra
muscular karena kontraksi yang kuat.
8. Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Ret
ensi urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis da
pat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9. Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir
4. Komplikasi
- Hipoksia yang disebabkan oleh gangguan pernapasan, pneumonia sebagai akib
at atelektasis, aspirasi dan atau ventilasi mekanis.
- Trombosis Vena dan emboli paru
- Aritmia jantung, hipertensi dan hipotensi yang disebabkan oleh ketidakstabilan
autonom miokarditis dan atau kekurangan volume intravaskular
- Satu tulang punggung atau tulang panjang
- infeksi yang berkaitan dengan luka awal, ulkus dekubitus liskoma dan berbag
ai kateter yang dipasang menetap yaitu intravaskuler dan pada kandung kemih
5. Patofisiologi dan Patway
Tetanus disebabkan oleh toksin kuman Clostridium tetani yang masuk melalui
luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar, luka operasi yang tida dirawat dan tidak diber
sihkan dengan baik, caries gigi, pemotongan tali pusat yang tidak steril, dan penjahita
n luka robek yang tidak steril yang lebih beresiko bagi orang-orang yang belum terimu
nisasi. Organisme multiple membentuk dua toksin yaitu tetanuspasmin, yang merupak
an toksin kuat atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot,
dan mempengaruhi sistem saraf pusat. eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pad
a sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler.
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob
dapat berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini me
njalar intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimba
nngan tonus otot sehingga terjadi kekakuan otot baik lokal maupun mnyeluruh. Bila to
ksin banyak, selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak juga terpengaruh.
Pathway
6. Pemeriksaan Penunjang
- pemeriksaan kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari lu
ka dapat membantu untuk mengidentifikasi adanya bakteri c. tetanus
- Pemerikasan laboratorium
pemeriksaan laboratorium pada tetanus kurang menunjang dalam diagnosis . pada pem
eriksaan darah rutin terkadang tidak ditemukan nilai-nilai yang spesifik; leokosit kada
ng dapat normal kadan juga dapat meningkat. pemerikdsaan mikrobiologi hanya pada
30% kasusu ditemukan adanya Clostrume tetani SGOT, CPK, dan serum adolase sedo
kit meninggi karena kekakuan pada otot-otot tubuh.
- pemeriksaan cairan serebrospinal dalam batas normal, walaupun kadang-kadang didap
atkan tekanan yang meningkat akibat kontraksi otot
- pemeriksaan elektroesefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan elektromografi
hasilnya kadang tidak spesifik.
7. Penatalaksanaan Medis
a. eliminasi kuman
1. debridement
untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara membuang jaringan yang rusa
k, membuang benda asing, merawat luka/infeksi, membersihkan liang telinga/otiti
s media, caires gigi.
2. antibiotika
penisilna prokain 50.000-100.000 ju/kg/hari IM, 1-2 hari, minimal 10 hari. Antibio
tika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul.
b. netralisasi toksin
toksin yang dapat dinetralisir adalah toksin yang belum melekat di jaringan.
Dapat diberikan ATS 5000-100.000 KI
c. perawatan suporatif
perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional
1. nutrisi dan cairan
2. menjaga agar nafas tetap efisien
3. mengurangi kekakuan dan mengatasi kejang
4. Pengobatan penunjang saat serangan kejang
8. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1) Identitas
Meliputi nama, jenis kelamin, umur. Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-
anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi tetanus (DPT) dan pada umumnya te
rdapat pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi dan pemeli
haraan kesehatan seperti kebersihan lingkungan dan perorangan
2) Keluhan Utama
Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta pertolo
ngan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan penurunan tingkat kesadaran
3) Alasan Masuk Rumah Sakit
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin
tetanus yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum te
rjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan koma
4) Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk mengetahui predisposis
i penyebab sumber luka. Biasanya pasien tetanus sering menimbulkan kejang, dan har
us diberikan tindakan untuk menurunkan keluhan kejang tersebut .
5) Riwayat Penyakit Sebelumnya
penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menja
di predisposisi keluhan sekarang meliputi klien mengalami tubuh terluka dan luka tusu
k yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkena kaleng, atau luka yang m
enjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau kecelakaan dan tim
bul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka.
6) Pemeriksaan Fisik
● Kesadaran
Kesadaran klien biasaanya composmentis, pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien
tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila
klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingk
at kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan
● Tanda-tanda vital
Tekanan darah : biasanya tekanan darah pada pasien tetanus biasanya normal
Nadi : penurunan denyut nadi terjadi berhubungan denga perfusi jaringan di otak
RR : Frekuensi pernappassan pada pasien tetanus meningkat karena berhubungan den
gan peningkatan laju metabolism umum
b. Diagnosa Keperawatan
1) Hipertermi b.d proses inflamasi
2) Nyeri akut b.d
3) Gangguan mobilitas fisik b.d kekakuan otot dan ektremitas
4) Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d akumulasi sekret
5) Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d kesulitan menelan
c. Intervensi Keperawatan
Penyakit ini merupakan penyebab edema kelenjar parotis yang paling sering.
Kejadian parotitis saat ini berkurang karena adanya vaksinasi. Insidens parotitis tertin
ggi pada anak-anak berusia 4-6 tahun. Onset penyakit ini diawali dengan adanya rasa
nyeri dan bengkak pada daerah sekitar kelenjar parotis. Masa inkubasi berkisar antara
2 hingga 3 minggu. Gejala lainnya berupa demam, malaise, mialgia, serta sakit kepala
(Susyana Tamin, 2011). Parotitis yang juga dikenal sebagai penyakit gondong ini adal
ah penyakit yang biasanya menyerang anak-anak berusia 2-12 tahun. Jika seseorang p
ernah menderita penyakit ini, maka orang itu akan memiliki kekebalan seumur hidupn
ya. Tidak semua orang yang terinfeksi mengalami keluhan, bahkan sekitar 30-40% pe
nderita tidak menunjukkan tanda-tanda sakit (subclinical). Mereka dapat menjadi sum
ber penularan seperti halnya penderita parotitis yang nampak sakit. Masa tunas (masa
inkubasi) parotitis sekitar 14-24 hari dengan rata-rata 17-18 hari. Ada dua macam klas
ifikasi dari parotitis, yaitu sebagai berikut :
a) Parotitis kambuhan
Maksud kambuhan disini adalah, apabila pasien yang sebelumnya telah terinfeksi,
kemudian kambuh kembali. Anak-anak yang biasanya terkena parotitis tipe ini adalah
ketika sampai pada usia antara 1 bulan hingga akhir usia kanak-kanak (sampai 12 tahu
n).
b) Parotitis akut
Tanda yang nampak dari parotitis akut ini adalah rasa sakit yang tiba-tiba, kemerah
an dan pembengkakan pada daerah parotis. Tanda-tanda parotitis akut ini dapat timbul
sebagai akibat pasca-bedah yang dilakukan pada penderita terbelakang mental dan pen
derita usia lanjut. Hal mengenai pasca-bedah ini khususnya apabila penggunaan anaste
si umum lama dan ada gangguan hidrasi.
2. Etiologi dan Faktor Risiko
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh virus Paramyxovirus mengalami keluh
an, bahkan sekitar 30-40% penderita tidak menunjukkan tanda-tanda sakit (subclinica
l). Namun demikian mereka sama dengan penderita lainnya yang mengalami keluhan,
yaitu dapat menjadi sumber penularan penyakit tersebut.
a. Pada tahap awal (1-2 hari) penderita gondong mengalami gejala, demam (suhu
badan 38,5-40oC), sakit kepala, nyeri otot, kehilangan nafsu makan, nyeri raha
ng bagian belakang saat mengunyah dan adakalanya disertai kaku rahang (sulit
membuka mulut)
b. Selanjutnya terjadi pembengkakan kelenjar di bawah telinga (parotis) yang dia
wali dengan pembengkakan salah satu sisi kelenjar kemudian kedua kelenjar
mengalami pembengkakan
c. Pembengkakan biasanya berlangsung sekitar 3 hari kemudian berangsur-angsu
r mengempis
d. Kadang terjadi pembengkakan pada kelenjar dibawah rahang (submandibula)
dan kelenjar dibawah lidah (sublingual) . pada pria akil balik adakalanya terjad
i pembengkakan buah akar (testis) karena penyebaran melalui aliran darah.
4. Patofisiologi
Parotitis merupakan penyakit infeksi pada kelenjar parotis akibat virus. Onset pen
yakit ini diawali dengan adanya rasa nyeri dan bengkak pada daerah sekitar kelenjar p
arotis. Masa inkubasi berkisar antara 2 hingga 3 minggu. Gejala lainnya berupa dema
m, malaise, mialgia, serta sakit kepala.
Penularan atau penyebaran virus dapat ditularkan melalui kontak langsung, per
cikan ludah, bahan muntah, mungkin dengan urine. Virus tersebut masuk tubuh bisa m
elalui hidung atau mulut. Biasanya kelenjar yang terkena adalah kelenjar parotis. Infek
si akut oleh virus mumps pada kelenjar parotis dibuktikan dengan adanya kenaikan tit
er Ig-M dan Ig-G secara bermakna dari serum akut dan serum konvalesens. Semakin b
anyak penumpukan virus di dalam tubuh sehingga terjadi proliferasi di parotis atau epi
tel traktus respiratorius kemudian terjadi viremia (ikutnya virus ke dalam aliran darah)
dan selanjutnya virus berdiam di jaringan kelenjar atau saraf yang kemudian akan men
ginfeksi glandula parotid. Keadaan ini disebut parotitis.
Akibat terinfeksinya kelenjar parotis maka dalam 1-2 hari akan terjadi demam,
anoreksia, sakit kepala dan nyeri otot. Kemudian dalam 3 hari terjadilah pembengkaka
n kelenjar parotis yang mula-mula unilateral kemudian bilateral, disertai nyeri rahang
spontan dan sulit menelan. Pada manusia selama fase akut, virus mumps dapat diisoler
dari saliva, darah, air seni dan liquor. Pada pankreas kadang-kadang terdapat degenera
si dan nekrosis jaringan (Mansjoer, 2000). Kondisi parotitis memberikan berbagai mas
alah keperawatan pada pasien. Adanya respons inflamasi sistemik memberikan manife
stasi peningkatan suhu tubuh. Manifestasi respons ketidaknyamanan sakit kepala dan
anoreksia memberikan manifestasi peningkatan suhu tubuh.
PATWAY
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah rutin
Biasanya leukopenia ringan yakni kadar leukosit dalam satu liter darah menurun. N
ormalnya leukosit dalam darah adalah 4x109/L darah dengan limfositosis relatif, namu
n komplikasi sering menimbulkan leukositosis polimorfonuklear tingkat sedang.
b. Amilase serum
c. Pemeriksaan serologis
Ada tiga pemeriksaan serologis yang dapat dilakukan untuk menunjukan adanya infe
ksi virus (Nelson, 2000), yaitu:
d. Pemeriksaan Virologi
Isolasi virus jarang sekali digunakan untuk diagnosis. Isolasi virus dilakukan den
gan biakan virus yang terdapat dalam saliva, urin, likuor serebrospinal atau darah. Biaka
n dinyatakan positif jika terdapat hemardsorpsi dalam biakan yang diberi cairan fosfat-
NaCl dan tidak ada pada biakan yang diberi serum hiperimun
6. Penatalaksanaan
Pasien dengan parotitis harus ditangani dengan kompres hangat, sialagog seperti
tetesan lemon, dan pijatan parotis eksterna. Cairan intravena mungkin diperlukan untuk
mencegah dehidrasi karena terbatasnya asupan oral. Jika respons suboptimal atau pasien
sakit dan mengalami dehidrasi, maka antibiotik intravena mungkin lebih sesuai.
Penderita baru dapat dirawat jalan bila tidak ada komplikasi (keadaan umum cukup
baik).
c) Medikamentosa : Analgetik-antipiretik
Penderita dengan demam tinggi, keadaan umum lemah, nyeri kepala hebat, gejala
b) Analgetik-antipiretik
7. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1) Identitas
Identitas pasien meliputi nama, umur, suku / bangsa, agama, pendidikan, alamat.
2) Keluhan Utama
Umumnya pada pasien penderita parotitis, pasien mengeluhkan demam, nyeri di baw
ah telinga, bengkak, nafsu makan menurun, sakit kepala, muntah, nyeri otot dan sulit
menelan.
Biasanya pasien mengelukan mengalami demam dan merasakan nyeri pada belakang
telinga dan pipi. Beberapa hari kemudian timbul bengkak dan kemerahan kemudian
menjadi sukar menelan dan nafsu makan menurun, adanya rasa nyeri dan bengkak m
enyebar ke daerah pipi.
a) Tanyakan apakah pasien pernah dirawat di rumah sakit dengan gejala yang sa
ma.
Biasanya semua anggota keluarga sudah pernah mengalami gejala yang sama dan
6) Pemeriksaan Fisik:
a) Takipnea
c) compos mentis, mengalami kecemasan dan terus menerus gelisah akibat manif
estasi klinis dari parotitis, sakit kepala dan kaku leher
d) normal
7) Pemeriksaan Penunjang:
C. Intervensi Keperawatan
1 Nyeri akut b.d agen biologis (Do Kontrol nyeri Manajemen nyeri
main 12. Kelas 1. Kode Diagnos
is 00132) setelah dilakukan tindakan kepe Aktivitas-aktivitas:
rawatan dalam waktu 3x24 jam
Definisi: Pengalaman sensori dan kontrol terhadap nyeri dapat ber a. Lakukan pengkajian nye
emosional tidak menyenangkan b ubah dari skala 2 (jarang menun ri komprehensif yang m
erkaitan dengan kerusakan jaringa jukkan) menjadi skala 4 (sering eliputi lokais, karakterist
n actual atau potensial, atau yang menujukkan) dengan kriteria ha ik, onset/durasi, frekuen
digambarkan sebagai kerusakan) sil: si, kualitas, intensitas at
au beratnya nyeri
Batasan karakteristik : a. Klien dapat mengenali b. Kurangi atau eliminasi
kapan nyeri terjadi faktor-faktor yang menc
- Perubahan pada parameter b. Nyeri klien dapat berku etus atau meningkatkan
fisiologis rang nteri
- Ekspresi wajah nyeri c. Dapat melakukan tindak c. Ajarkan prinsip-prinsip
- Keluhan tentang intensitas an pencegahan nyeri manajemen nyeri
menggunakan standar skal d. Menggunakan sumber d d. Ajarkan metode farmak
a nyeri aya yang tersedia ologi untuk menurunkan
- Keluhan tentang karakteris e. Menggunakan analgesik nyeri
tik nyeri dengan menggun yang direkomendasikan e. Kolaborasi dengan pasie
akan standar instrument n f. Melaporkan nyeri yang t n, orang terdekat dan da
yeri. erkontrol n tim kesehatan lainnya
untuk memilih dan men
gimplementasikan tinda
kan penurun nyeri nonfa
rmakologi, sesuai kebut
uhan
4 Gangguan Citra Tubuh b.d Pembe Citra Tubuh Peningkatan Citra Tubuh
saran Kelenjar parotis (Domain 6.
Kelas 3. Kode Diagnosis 00118) Setelah dilakukan tindakan kepe
rawatan selama 3x24 jam maka Aktivitas- aktivitas:
Definisi: konfusi dalam gambaran diharapkan persepsi klien terhad
mental tentang diri fisik-individu. ap penampilan dan fungsi tubuh 1) Tentukan harapan citra
dapat meningkat dari skala 2 (ja diri pasien di dasarkan p
Batasan karateristik: rang positif) menjadi 4 (sering p ada tahap perkembanga
ositif) dengan kriteria hasil: n
- Perubahan fungsi tubuh 2) Gunakan bimbingan anti
- Perubahan struktur tubuh 1) Gambaran internal diri p sipasif menyiapkan pasi
- Perubahan pandangan tent ositif en terkait dengan peruba
ang penampilan seseorang 2) Kepuasan dengan fungsi han-perubahan citra tub
- Perasaan negative tentang tubuh positif uh yang telah diprediksi
tubuh 3) Penyesuaian terhadap pe kan
rubahan tampilan fisik 3) Bantu pasien menentuka
n dari perubahan-peruba
han actual dari tubuh ata
u tingkat fungsinya
4) Bantu pasien memisahk
an penampilan fisik dari
perasaan berharga secar
a pribadi, dengan cara y
ang tepa
5) Bantu pasien mendiskus
ikan perubahan-perubah
an penuaan dengan cara
yang tepat
Kesimpulan
Saran
Penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Oleh k
arena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari pembaca agar kedepa
nnya lebih baik.
Daftar Pustaka
Nurarif, Amin, Huda. 2015 Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan
Nanda Nic-Noc. Jogjakarta: Mediaction
Sumarmo S. 2015. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit I
katan Dokter Anak Indonesia
Suriadi & Rita Yuliani. 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edikasi 2. Jakarta : CV. Sagu
ng Setyo
Soegijanto S, Salimo H. 2011. Pedoman Imunisasi di Indonesia. 4 ed. Jakarta: Badan Penerbi
t IDAI
Halim, Ricky Gustian. 2016. Jurnal Campak Pada Anak Vol. 43 no.3. RS Hosana Medica Lip
po Cikarang
Sri, Rezeki S. Hadinegoro. 2014. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Kelima. Jakarta: Ba
dan Penerbit IDAI
Bang HO, Bang J. 2011. Involvement of the central nervous system in mumps. United stat
e: Acta Med Scand
Dayan, H, Gustavo. 2008. Recant Resurgence of Mumps United States. The New England
Muttaqin, A dan Sari, K. 2011. Asuhan Keperawatan perioperatif Konsep, Proses, dan A
plikasi. Jakarta: Salemba Medika.
Simbolon, Demsa. 2019 . Pencegahan Stunting Melalui Intervensi Gizi Spesifik pada Ibu
Menyusui Anak Usia 0-24 Bulan. Surabaya: Media Sahabat Cendekia
Djuanda Adhi, dkk. Varisela Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi Keena
Siregar RS. 2004. Varisela. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit; edisi 2. J
nesia UB Press.
ta:EGC
Hartoyo, E. (2018). Difteri Pada Anak. Sari Pediatri, 19(5), 300. https://doi.org/10.1423
8/sp19.5.2018.300-6
https://books.google.co.id/books?id=xdRd2-FuYWAC&pg=PA46&dq=tonsilitis+pada+anak
&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwj00MWis47sAhWaf30KHW-HC8MQ6AEwAnoECAQQAg
#v=onepage&q=tonsilitis%20pada%20anak&f=false
https://books.google.co.id/books?id=EsX3D_3jQnEC&pg=PA167&dq=tonsilitis+pada+anak
&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwj00MWis47sAhWaf30KHW-HC8MQ6AEwAXoECAMQAg
#v=onepage&q=tonsilitis%20pada%20anak&f=false
https://books.google.co.id/books?id=z8iPDwAAQBAJ&pg=PA45&dq=tonsilitis+pada+anak
&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwj00MWis47sAhWaf30KHW-HC8MQ6AEwAHoECAUQAg
#v=onepage&q=tonsilitis%20pada%20anak&f=false
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://medlineplus.gov/tonsillitis.
html&ved=2ahUKEwi9rpLZ1ZPsAhWJUn0KHabbBc0QFjAEegQICRAB&usg=AOvVaw0J
JhvcEgOPBBkYtsgzOW71
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/bo
oks/NBK401249/&ved=2ahUKEwi9rpLZ1ZPsAhWJUn0KHabbBc0QFjAFegQIChAB&usg
=AOvVaw2ZnRrPrr1Mc7nTMz0ENo0b
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pm
c/articles/PMC4106232/&ved=2ahUKEwi9rpLZ1ZPsAhWJUn0KHabbBc0QFjAQegQIAhA
B&usg=AOvVaw1DNNdMbJWuch0v2uFU2DsX&cshid=1601564880142