DOSEN PENGAMPU :
Suselo, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.MB
DISUSUN OLEH :
Kelompok 8
Puji syukur kami panjatkan kehadirat TUHAN YANG MAHA ESA atas segala
kemampuan rahmat dan berkat-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul “Tugas Keperawatan Medikal Bedah III: Herpes Simpleks dan Herpes
Zoster” . Makalah ini kami susun agar pembaca dapat memahami tentang materi mengenai
model dan konsep Kesehatan Medikal Bedah III sistem integument dan muskuloskeletal
serta masalahnya. Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberi wawasan dan
pemahaman yang luas kepada pembaca.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
oleh karena itu kami sangat menghargai akan saran dan kritik untuk membangun makalah
ini lebih baik lagi. Demikian yang dapat kami sampaikan,semoga melalui makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua.
Penyusun
[2]
DAFTAR ISI
[3]
DAFTAR GAMBAR
[4]
BAB I
PENDAHULUAN
[5]
dermatom primer, mencegah penyakit di tempat lain, dan mencegah NPH (Prabhu,
2009).
Hingga kini belum ada imunisasi untuk mencegah infeksi herpes simpleks.
Imunisasi yang ada saat ini adalah imunisasi untuk virus Varicella-Zoster atau cacar air
yang nantinya dapat mencegah herpes zoster. Tindakan prevensi tertular penyakit
herpes dengan menghindari kontak kulit ke kulit dengan orang yang sedang mengalami
infeksi primer herpes, dan tetap menjaga imunitas tubuh. Pengobatan dengan Acyclovir
pada dasarnya bertujuan untuk memperpendek masa serangan terjadi dan mencegah
kekambuhan. Pengobatan yang tepat dan sedini mungkin dipercaya akan menyebabkan
penyakit berlangsung lebih singkat dan rekurensi lebih jarang (Arnold et al., 1990).
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Herpes Simplek, Varicella dan Herpes Zoster
ini perlu dipelajari khususnya dalam praktek asuhan keperawatan sistem integumen
secara komprehensif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaiamana anatomi Fisiologi Kulit ?
2. Apa Definisi Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
3. Apa saja Klasifikasi Herpes Simpleks ?
4. Apa Etiologi Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
5. Apa Patogenesis Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
6. Apa Manifestasi Klinis Herpes Simpleks?
7. Apa WOC Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
8. Apa saja Pemeriksaan Penunjang Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
9. Apa saja Penatalaksanaan Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
10. Apa saja Komplikasi Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
11. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada pasien Herpes Simplek dan Herpes Zoster?
[6]
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Setelah proses pembelajaran, diharapkan mahasiswa mampu melakukan asuhan
keperawatan sistem integumen pada klien dengan Herpes Simpleks dan Herpes Zoster.
[7]
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu: lapisan
epidermis, lapisan dermis, dan lapisan subkutis. Lapisan epidermis terdiri atas:
(1) Stratum korneum (lapisan tanduk) merupakan lapisan kulit yang terluar dan terdiri
atas sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti, dan keratin.
(2) Stratum lusidum merupakan lapisan sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma
yang telah menjadi protein.
(3) Stratum granulosum (lapisan keratohialin) yaitu dua atau tiga lapis selsel gepeng
dengan sitoplasma butir kasar dan berinti di antaranya.
(4) Stratum spinosum (stratum Malphigi) terdiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk
poligonal dengan besar yang berbeda akibat adanya proses mitosis.
[8]
(5) Stratum basale terbentuk oleh sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun
vertikal dan berbaris seperti pagar (palisade).
[9]
Kuku adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang menebal.
Bagian kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku (nail root), bagian yang
terbuka di atas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari disebut badan kuku (nail plate),
dan yang paling ujung adalah bagian kuku yang bebas. Kuku tumbuh dengan kecepatan
sekitar 1mm per minggu.
Rambut memliki bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang
berada di luar kulit (batang rambut). Ada dua tipe rambut, yaitu lanugo merupakan
rambut halus tidak berpigmen pada bayi dan terminal merupakan rambut yang lebih
kasar dengan banyak pigmen serta mempunyai medula pada orang dewasa. Rambut
tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan) berlangsung 2-6 tahun dengan
kecepatan sekitar 0.35mm per hari. Fase telogen (istirahat) berlangsung beberapa bulan.
Di antara kedua fase tersebut terdapat fase katagen (Wasitaatmadja, 2010).
[10]
7. Fungsi keratinisasi.
8. Fungsi pembentukan vitamin D, dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol melalui
pertolongan sinar matahari (Wasitaatmadja, 2010).
[11]
2.2.2 Etiologi
HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka di bibir
semacam sariawan. HSV jenis ini ditularkan melalui ciuman mulut atau bertukar alat
makan seperti sendok – garpu (misalnya suap-suapan dengan teman). Virus tipe 1 ini juga
bisa menimbulkan luka di sekitar alat kelamin.
HSV tipe 2; dapat menyebabkan luka di daerah alat vital sehingga suka disebut
genital herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina. HSV 2 ini juga bisa
menginfeksi bayi yang baru lahir jika dia dilahirkan secara normal dari ibu penderita
herpes. HSV-2 ini umumnya ditularkan melalui hubungan seksual. Virus ini juga sesekali
muncul di mulut. Dalam kasus yang langka, HSV dapat menimbulkan infeksi di bagian
tubuh lainnya seperti di mata dan otak. (Habif.2005)
Infeksi primer: HSV masuk melalui defek kecil pada kulit atau mukosa dan
bereplikasi lokal lalu menyebar melalui akson ke ganglia sensoris dan terus bereplikasi.
Dengan penyebaran sentrifugal oleh saraf-saraf lainnya menginfeksi daerah yang lebih
[12]
luas. Setelah infeksi primer HSV masuk dalam masa laten di ganglia sensoris (Sterry,
2006).
Menurut Habif (2004) infeksi HSV ada dua tahap: infeksi primer, virus menyerang
ganglion saraf; dan tahap kedua, dengan karakteristik kambuhnya penyakit di tempat
yang sama. Pada infeksi primer kebanyakan tanpa gejala dan hanya dapat dideteksi
dengan kenanikan titer antibody IgG. Seperti kebanyakan infeksi virus, keparahan
penyakit meningkat seiring bertambahnya usia. Virus dapat menyebar melalui udara via
droplets, kontak langsung dengan lesi, atau kontak dengan cairan yang mengandung
virus seperti ludah. Gejala yang timbul 3 sampai 7 hari atau lebih setelah kontak yaitu:
kulit yang lembek disertai nyeri, parestesia ringan, atau rasa terbakar akan timbul
sebelum terjadi lesi pada daerah yang terinfeksi. Nyeri lokal, pusing, rasa gatal, dan
demam adalah karakteristik gejala prodormal.
Vesikel pada infeksi primer HSV lebih banyak dan menyebar dibandingkan infeksi
yang rekuren. Setiap vesikel tersebut berukuran sama besar, berlawanan dengan vesikel
pada herpes zoster yang beragam ukurannya. Mukosa membran pada daerah yang lesi
mengeluarkan eksudat yang dapat mengakibatkan terjadinya krusta. Lesi tersebut akan
bertahan selama 2 sampai 4 minggu kecuali terjadi infeksi sekunder dan akan sembuh
tanpa jaringan parut (Habif, 2004).
Virus akan bereplikasi di tempat infeksi primer lalu viron akan ditransportasikan
oleh saraf via retrograde axonal flow ke ganglia dorsal dan masuk masa laten di
ganglion. Trauma kulit lokal (misalnya: paparan sinar ultraviolet, abrasi) atau
perubahan sistemik (misalnya: menstruasi, kelelahan, demam) akan mengaktifasi
kembali virus tersebut yang akan berjalan turun melalui saraf perifer ke tempat yang
telah terinfeksi sehingga terjadi infeksi rekuren. Gejala berupa rasa gatal atau terbakar
terjadi selama 2 sampai 24 jam dan dalam 12 jam lesi tersebut berubah dari kulit yang
eritem menjadi papula hingga terbentuk vesikel berbentuk kubah yang kemudian akan
ruptur menjadi erosi pada daerah mulut dan vagina atau erosi yang ditutupi oleh krusta
pada bibir dan kulit. Krusta tersebut akan meluruh dalam waktu sekitar 8 hari lalu kulit
tersebut akan reepitelisasi dan berwarna merah muda (Habif, 2004).
Infeksi HSV dapat menyebar ke bagian kulit mana saja, misalnya: mengenai jarijari
tangan (herpetic whitlow) terutama pada dokter gigi dan perawat yang melakukan
kontak kulit dengan penderita. Tenaga kesehatan yang sering terpapar dengan sekresi
oral merupakan orang yang paling sering terinfeksi (Habif, 2004). Bisa juga mengenai
[13]
para pegulat (herpes gladiatorum) maupun olahraga lain yang melakukan kontak tubuh
(misalnya rugby) yang dapat menyebar ke seluruh anggota tim (Sterry, 2006).
[14]
seperti tipe virus serta keadaan imunitas hospes. Faktor hospes yang ikut mempengaruhi
derajat keparahan penyakit adalah umur, suku, inokulasi atau latar belakang genetik.
Masa inkubasi dari herpes simpleks ini umumnya berkisar antara 3—7 hari tetapi dapat
lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat tetapi bisa juga asimtomatis, terutama bila
lesi pertama herpes genitalis, ditemukan di daerah serviks.
Manifestasi klinis herpes genitalis dapat dibedakan antara episode yang pertama
dengan episode kekambuhan herpes genitalis. Pada episode pertama herpes genitalis,
sering bersama-sama dengan gejala sistemik disertai gejala pada genital maupun
ekstragenital.
Gejala sistemik yang muncul seperti nyeri, sakit tenggorokan, panas, pusing, gatal,
kesemutan, limfadenopati, malaise dan myalgia dilaporkan terjadi 40% pada laki-laki dan
70% pada wanita dengan HSV2 primer. Muncul pada awal penyakit dan mencapai
puncaknya pada hari ke-3—4 setelah onset penyakitnya. Gejala lokal yang muncul berupa nyeri,
gatal, disuria dan adenopati inguinal. Discharge uretra dan disuria dapat muncul pada
sepertiga pasien laki-laki dengan infeksi HSV2.
Pada keadaan imunokompeten, bila seseorang terinfeksi virus herpes simpleks maka
manifestasinya sebagai berikut : dapat berupa episode pertama infeksi primer, episode
nonprimer, lesi rekuren, lesi asimtomatis atau terjadi infeksi yang tidak khas atau atipik.
1. Episode Primer Pertama Infeksi Herpes Simpleks Genitalis
Infeksi primer adalah infeksi yang pertama kali dengan HSV 2 atau 1. Tampak
dalam 2-1 hari setelah inokulasi.
a. Sering kali disertai gejala sistemik seperti demam, nyeri kepala, malaise dan mialgia.
b. Sifat lesi dan pelepasan virus berlangsung lama dan dapat mengenai banyak tempat di
genital atau luar genital.
c. Gejala klinis berupa nyeri dan iritasi pada lesi bertambah dalam 6-7 hari
pertama sakit dan men- capai puncaknya antara 7-11 hari sakit.
d. Terjadi pembesaran kelenjar getah bening di mana lesi di genital berupa papula,
berkembang menjadi vesikel berdingding tipis di atas dasar eritematosa sebelum
pecah menjadi ulkus. Ulkus basah akan menjadi krusta basah yang mengering.
Reepitelisasi kulit yang terkena terjadi di bawah krusta kering yang akhirnya lepas.
Pada masa laten dan masa infeksi aktif, adanya infeksi ini dapat dengan mudah
dipahami dengan melihat gambaran lesi yang muncul pada genital dan disebut sebagai
infeksi primer.
[15]
Gambar 4. Herpes simpleks genetalis,
tampak vesikula bergerombol di atas kulit
yang eritematus.
[16]
Pria lebih sering mengalami kekambuhan. Kekambuhan pada pria rata-rata 5 kali per
tahun sedangkan pada wanita rata-rata 4 kali per tahun. Secara keseluruhan 60% pasien
dengan HSV akan mengalami rekurensi klinis dalam tahun pertama.
Kekambuhan akan terjadi bila ada faktor pencetus yang akan menyebabkan reaktivasi
virus dalam ganglion sehingga virus turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang
dipersyarafinya. Untuk kemudian bereplikasi dan multiplikasi dan menimbulkan lesi 2.
Virus akan terus-menerus dilepaskan ke sel-sel epitel dan adanya faktoij pencetus
menyebabkan kelemahan pada daerar tersebut dan lesi menjadi rekurens. Faktor pencetus
kekambuhan:
1) Adanya trauma minor,
2) Infeksi lain termasuk panas yang bersifat ringan atau pasien tidak mengeluh panas,
3) Infeksi saluran nafas atas,
4) Radiasi ultraviolet,
5) Neuralgia trigeminal,
6) Juga pada kasus setelah operasi intrakranial karena penyakit ini, operasi gigi, atau
oleh tindakan dermabrasi.
7) Bahkan kadang-kadang seorang wanita mendapat kekambuhan dari keadaan ini
saat dirinya menstruasi.
Pada anak-anak biasanya mempunyai gambaran vesikel yang lebih besar walau angka
kejadian munculnya jarang. Rekurensi lebih sering terjadi pada bagian tubuh yang sama.
Meskipun vesikel biasanya berbentuk tidak teratur dalam satu garis atau satu distribusi saraf.
Pada keadaan laten, bila ada faktor pencetus maka akan terjadi replikasi virus sehingga
terjadi lesi rekurens. Pada saat itu di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik sehingga
gejalanya lebih ringan daripada saat infeksi primer.
c. Gejala Klinis:
1) Nyeri
2) Iritasi lesi genital yang akan meningkat setelah hari ke 6 sampai ke 7 dari masa sakitnya
3) Pembesaran limfonodi inguinal dan femoral secara umum bersifat nonf luktuasi serta
nyeri pada perabaan.
d. Gambaran klinis infeksi herpes genitalis yang rekuren sebagai berikut.
1) Vesikel kecil-kecil yang multipel bergerombol pada satu sisi muncul pada kulit yang
normal atau daerah kemerahan, berisi cairan jernih kemudian akan tampak keruh dan
purulen, kering dan berkrusta menyembuh setelah 7-10 hari, lesi yang matang terdiri
[17]
atas vesikel bergerombol dan atau pustula di atas kulit yang eritematosa dengan dasar
edema. Gerombolan vesikel dan erosi ini biasanya tampak pada vagina, rektum atau
penis dan dapat muncul vesikel baru lagi pada hari ke-7-14. Lesi bisa bilateral dan
sering meluas. Gejala sistemik yang muncul berupa panas dan flu tetapi sering pada
wanita gejala yang paling menonjol adalah nyeri pada vagina dan nyeri saat kencing.
2) Adanya krusta yang kekuningan atau keemasan mengindikasikan adanya
superinfeksi dengan bakteri
3) Pembesaran kelenjar regional dengan nyeri sering ditemukan.
4) Gambaran eritema multiforme sering bersamaan dengan infeksi HIV dan
berespons dengan pemberian antivirus sebagai profilaksis.
4. Herpes genitalis atipikal
Atipikal adalah istilah yang menggambarkan manifestasi herpes simpleks genitalis yang tidak
khas atau atipikal. Tidak berupa vesikel sering berupa fisura, furunkel, ekskoriasi dan eritema
vulva nonspesifik disertai rasa nyeri dan gatal pada wanita sedangkan pada pria berupa fisura linier
pada preputium dan bercak merah pada glans penis.
5. Reaktivasi subklinis atau herpes simpleks genitalis asimtomatis
Episode transmisi seksual dan vertikal terjadi pada fase ini. Reaktivasi HSV
subklinis paling tinggi terjadi dalam 6 bulan setelah terinfeksi. Di mana jika seseorang yang
telah menderita herpes genitalis selama bertahun-tahun akan melepaskan virus secara subklinis
separuhnya dibandingkan wanita yang menderita kurang dari 2 tahun.
[18]
Identifikasi virus dengan PCR, mikroskop elektron, atau kultur (Sterry, 2006). Tes
serologi menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) spesifik HSV tipe II
dapat membedakan siapa yang telah terinfeksi dan siapa yang berpotensi besar menularkan
infeksi (McPhee, 2007).
2.2.7 Komplikasi
Menurut Hunter (2003) komplikasi herpes simpleks adalah herpes ensefalitis atau
meningitis tanpa ada kelainan kulit dahulu, vesikel yang menyebar luas ke seluruh tubuh,
ekzema herpeticum, jaringan parut, dan eritema multiforme.
2.2.8 Penatalaksanaan
Pada lesi yang dini dapat digunakan obat topikal berupa salap/krim yang
mengandung preparat idoksuridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) atau preparat asiklovir
(zovirax). Pengobatan oral preparat asiklovir dengan dosis 5x200mg per hari selama 5 hari
mempersingkat kelangsungan penyakit dan memperpanjang masa rekuren. Pemberian
parenteral asiklovir atau preparat adenine arabinosid (vitarabin) dengan tujuan penyakit
yang lebih berat atau terjadi komplikasi pada organ dalam (Handoko, 2010).
Pada terapi sistemik digunakan asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Jika pasien
mengalami rekuren enam kali dalam setahun, pertimbangkan untuk menggunakan
asiklovir 400 mg atau valasiklovir 1000 mg oral setiap hari selama satu tahun. Untuk obat
oles digunakan lotion zinc oxide atau calamine. Pada wanita hamil diberi vaksin HSV
sedangkan pada bayi yang terinfeksi HSV disuntikkan asiklovir intra vena (Sterry, 2006).
1. Medis
a. Pengobatan lesi inisial / episode pertama yang diberikan dapat dibagi menjadi 3
bagian.
1) Pengobatan profilaksis, yaitu meliputi penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya,
psikoterapi dan proteksi individual.
2) Pengobatan nonspesifik, yaitu pengobatan yang bersifat simtomatis
3) Pengobatan spesifik, yaitu pengobatan berupa obat-obat antivirus terhadap virus
herpes.
Obat antivirus yang kini telah banyak dipakai adalah acyclovir, di samping itu ada 2
macam obat lagi antivirus baru yaitu valacyclovir dan famacyclovir. Efek obat antivirus
tersebut belum dapat mengeradikasi virus, yang ada hanya mengurangi viral
shedding, memperpendek hari sakit dan memperpendek rekurensi.
Semua pasien dengan episode pertama sebaiknya diobati dengan obat antivirus
[19]
oral. Pengobatan yang diberikan secara dini dapat mengurang gejala sistemik dan
mencegah perluasan lokal ke saluran genital atas.
Semua orang dengan aktivitas seksual yang aktif sebaiknya diberikan penjelasan
tentang risiko penularan penyakit infeksi menular seksual ini. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita yang tanpa gejala atau asimptomatik
kurang mengenal penyakitnya sehingga dapat menularkan kepada pasangannya.
Maka dianjurkan untuk melakukan hubungan seksual secara lebih aman dan juga
setia pada pasangan masing-masing (http://www.ihmf.org/112Braig ).
Pengobatan simtomatis dan antivirus berupa asiklovir 5 x 200 mg/hari /oral
selama 7—10 hari atau 3 x 400 mg. Jika ada komplikasi berat dapat diberikan asiklovir
intravena 3 x 5 mg/kgBB/hari selama 7—10 ban.
Pada keadaan imunokompeten resistensi terhadap asiklovir diperkirakan sekitar
3%. Pada penderita dengan frekuensi rekurensi yang tinggi dapat diberikan terapi
asiklovir sebagai obat supresif kronis dalam dosis 400 mg dua kali sehari dan dapat
menyembuhkan 50% dari lesinya.
Pemberian terapi topikal juga mempunyai beberapa keuntungan dalam
penatalaksanaan herpes genitalis yang bersifat rekuren. Di Amerika Serikat preparat
asiklovir 5% topikal dalam propiletilen glikol menghasilkan efek antivirus, tetapi
hanya sedikit keuntungan klinis yang didapat. Di Eropa dengan sediaan preparat
asiklovir 5% dalam krim aqua lebih efektif.
b. Lesi Rekurens
Jika lesi ringan: simtomatis
Jika lesi berat : dapat diberikan asiklovir 5 X 200 mg/hari per oral selama 5 hari atau 2 X
400 mg/hari atau Valasiklovir 2 x 500 mg/hari atau Famsiklovir 2 x 125-250 mg /hari.
2. Non Medis
a. Menjaga kebersihan local
b. Menghindari trauma atau factor predisposisi.
[20]
2.3 Herpes Zoster
2.3.1 Pengertian
Herpes zooster adalah radang kulit akut dan setempat yang merupakan
reaktivasi virus variselo-zaster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk
laten setelah infeksi primer oleh virus ( Marwali, 2000).
Sedangkan menurut Sjaiful (2002), merupakan penyakit neurodermal ditandai dengan
nyeri radikular unilateral serta erupsi vesikuler berkelompok dengan dasar eritematoso
pada daerah kulit yang dipersarafi oleh saraf kranialis atau spinalis.
Menurut Mansjoer A (2007) Herpes zoster (dampa,cacar ular) adalah penyakit
yang disebabkan infeksi virus varisela-zoster yang menyerang kulit dan mukosa.
Infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi primer.
Dari tiga pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan, herpes zooster adalah
radang kulit akut dan setempat yang merupakan reaktivasi virus variselo-zaster yang
menyerang kulit dan mukosa ditandai dengan nyeri radikular unilateral serta erupsi
vesikuler berkelompok dengan dasar eritematoso.
2.3.2 Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varicella zoster. Infeksiositas
virus ini dengan cepat dihancurkan oleh bahan organic, deterjen, enzim proteolitik,
panas dan suasana Ph yang tinggi. Masa inkubasinya 14–21 hari.
a. Faktor Resiko Herpes zoster.
1) Usia lebih dari 50 tahun, infeksi ini sering terjadi pada usia ini akibat daya tahan
tubuhnya melemah. Makin tua usia penderita herpes zoster makin tinggi pula
resiko terserang nyeri.
2) Orang yang mengalami penurunan kekebalan (immunocompromised) seperti
HIV dan leukimia. Adanya lesi pada ODHA merupakan manifestasi pertama
dari immunocompromised.
3) Orang dengan terapi radiasi dan kemoterapi.
4) Orang dengan transplantasi organ mayor seperti transplantasi sumsum tulang.
2.3.3 Patofisiologi
Herpes zoster bermula dari Infeksi primer dari VVZ (virus varisells zoster) ini
pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas
ke darah sehingga terjadi viremia permulaan yang sifatnya terbatas dan asimptomatik.
[21]
Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam Reticulo Endothelial System (RES) yang
kemudian mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya lebih luas dan
simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa. Sebagian virus juga
menjalar melalui serat-serat sensoris ke satu atau lebih ganglion sensoris dan berdiam
diri atau laten didalam neuron. Selama antibodi yang beredar didalam darah masih
tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu
dimana antibodi tersebut turun dibawah titik kritis maka terjadilah reaktivasi dari virus
sehingga terjadi herpes zoster.
2.3.4 Klasifikasi
Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:
a. Herpes zoster oftalmikus
Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf
trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.Infeksi diawali dengan
nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu,
demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit
timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.
[22]
Gambar 7. Herpes zoster fasialis dekstra.
(http://www.medeco.de/kieferchirurgie-dentalatlas/viruserkrankungen-
dermundschleimhaut/)
c. Herpes zoster brakialis
Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
[23]
Gambar 9. Herpes zoster torakalis sinistra.
(http://www.medicinenet.com/image-collection/herpes_zoster_picture/picture.htm) e.
e. Herpes zoster lumbalis
Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
f. Herpes zoster sakralis
Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus
sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.
[24]
3) Gejala yang mempengaruhi mata : Berupa kemerahan, sensitive terhadap cahaya,
pembengkakan kelopak mata. Kekeringan mata, pandangan kabur, penurunan
sensasi penglihatan dan lain – lain.
b. Timbul erupsi kulit
1) Kadang terjadi limfadenopati regional
2) Erupsi kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang
dipersarafioleh satu ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh,
yang tersering di daerah ganglion torakalis.
3) Lesi dimulai dengan macula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul–papul dan
dalam waktu 12–24 jam lesi berkembang menjadi vesikel. Pada hari ketiga berubah
menjadi pastul yang akan mengering menjadi krusta dalam 7–10 hari. Krusta dapat
bertahan sampai 2–3 minggu kemudian mengelupas. Pada saat ini nyeri segmental
juga menghilang
4) Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ke-4 dan kadang–kadang sampai hari ke7
5) Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan macula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar)
6) Pada lansia biasanya mengalami lesi yang lebih parah dan mereka lebih sensitive
terhadap nyeri yang dialami.
[25]
b) Pemeriksaan antigen langsung (imunofluoresensi).
c) PCR,
d) Kultur Virus,
2) Serologi
a) ELISA,
b) Western Blot Test,
c) Biokit HSV-II.
2.3.7 Komplikasi
Herpes zoster tidak menimbulkan komplikasi pada kebanyakan orang. Bila timbul
komplikasi, hal-hal berikut dapat terjadi:
a. Neuralgia pasca herpes. Ini adalah komplikasi yang paling umum. Nyeri saraf
(neuralgia) akibat herpes zoster ini tetap bertahan setelah lepuhan kulit menghilang.
b. Infeksi kulit. Kadang-kadang lepuhan terinfeksi oleh bakteri sehingga kulit
sekitarnya menjadi merah meradang. Jika hal ini terjadi maka Anda mungkin perlu
antibiotik.
c. Masalah mata. Herpes zoster pada mata dapat menyebabkan peradangan sebagian
atau seluruh bagian mata yang mengancam penglihatan.
d. Kelemahan/layuh otot. Kadang-kadang, saraf yang terkena dampak adalah saraf
motorik dan saraf sensorik yang sensitif. Hal ini dapat menimbulkan kelemahan
(palsy) pada otot-otot yang dikontrol oleh saraf.
e. Komplikasi lain. Misalnya, infeksi otak oleh virus varisela-zoster, atau penyebaran
virus ke seluruh tubuh. Ini adalah komplikasi yang sangat serius tapi jarang terjadi.
[26]
Jika tidak cukup membantu, silakan tanyakan kepada dokter Anda untuk
meresepkan analgesik yang lebih kuat.
d. Antivirus. Penggunaan obat antivirus diberikan 72 jam setelah terbentuk ruam akan
mempersingkat durasi terbentuknya ruam dan meringankan rasa sakit. Apabila
gelembung telah pecah, maka penggunaan antivirus tidak efektif lagi.
e. Steroid. Steroid membantu mengurangi peradangan dan mempercepat
penyembuhan lepuhan. Namun, penggunaan steroid untuk herpes zoster masih
kontroversial. Steroid juga tidak mencegah neuralgia pasca herpes.
[27]
Reaksi yang mungkin timbul adalah:
1) Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
2) Menarik diri dari kontak social.
3) Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.
[28]
2.4.3 Intervensi
[29]
interaksi sosial 4. Beri reinforcement yang positif
5 Ketidakseimbangan Selama dilakukan tindakan 1. Monitor mual/muntah
keperawatan, kebutuhan nutrisi Observasi dan kaji intake
nutrisi kurang dari
pasien terpenuhi dengan pasien
kebutuhan tubuh kriteria hasil : 2. Anjurkan makan sedikit-
- Tidak ada tanda-tanda sedikit tapi sering
berhubungan dengan
malnutrisi 3. Hidangkan makanan selagi
anoreksia - Tidak ada mual/muntah hangat
4. Kolaborasi dengan ahli gizi
dalam pemberian dan
penyusunan menu favorite
klien
5. Kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian anti emetik
dan penambah nafsu makan
6 Resiko infeksi Selama dilakukan tindakan 1. Tekankan pentingnya teknik
berhubungan dengan keperawatan, pasien terhindar cuci tangan yang baik untuk
gangguan integritas dari infeksi sekunder dengan semua individu yang datang
kulit kriteria hasil : kontak dengan pasien.
- Klien mampu 2. Gunakan skort, sarung tangan,
mendeskripsikan proses masker dan teknik aseptic,
penularan penyakit, faktor selama perawatan kulit.
yang mempengaruhi 3. Cukur atau ikat rambut di
penularan serta sekitar daerah yang terdapat
penatalaksanaannya erupsi.
- Menunjukan kemampuan 4. Bersihkan jaringan nekrotik /
untuk mencegah timbulnya yang lepas (termasuk pecahnya
infeksi baru lepuh)
- Menunjukan perilaku hidup 5. Kolaborasi dengan dokter
sehat dalam pemberian antiviral
7 Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji tingkat kecemasan klien
seksual berhubungan keperawatan, pola seksual yang berhubungan dengan pola
dengan takut infeksi pasien kembali efektif dengan seksual
menular seksual kriteria hasil : 2. Jelaskan pada klien waktu untuk
- Pola seksualitas klien melakukan hubungan seksual
normal sesuai kondisinya
- Klien terlihat tidak cemas 3. Beri edukasi tentang keadaan
terhadap aktifitas seksualnya klien apabila berhubungan
- Klien mampu menggunakan seksual
mekanisme koping yang 4. Anjurkan pada pasien untuk
efektif mengikuti program pengobatan
dan perawatan sampai tuntas
[30]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus
(HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas
kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan (Handoko, 2010).
HSV tipe 1, menyebabkan demam seperti pilek dengan menimbulkan luka di bibir
semacam sariawan. HSV tipe 2; dapat menyebabkan luka di daerah alat vital sehingga
suka disebut genital herpes, yang muncul luka-luka di seputar penis atau vagina.
Herpes zooster adalah radang kulit akut dan setempat yang merupakan reaktivasi virus
variselo-zaster dari infeksi endogen yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi
primer oleh virus ( Marwali, 2000). Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus
varicella zoster.
Diagnosis Keperawatan yang terjadi pada klien dengan Herpes simpleks daan Herpes
Zoster adalah sebagai berikut:
1. Hipertermia berhubugan dengan penyakit
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologis
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi kulit
(timbul bula, kemerahan)
4. Gangguan citra diri berhubungan dengan penyakit
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
6. Resiko infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit
7. Ketidakefektifan pola seksual berhubungan dengan takut infeksi menular seksual
3.2 Saran
1. Sebagai ilmu pengetahuan untuk memberikan intervensi pada pasien herpes simpleks
dan herpes zoster.
2. Dengan memperhatikan keterbatasan yang ada pada makalah ini, maka dapat
dikembangkan untuk penulisan lebih lanjut.
[31]
Lampiran 1. WOC
[32]
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. 2008. Vaksinasi Cacar Air.
http://www.immunize.org/vis/in_var.pdf
Djuanda, Adhi (1993). Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Kedua, FK Universitas
Indonesia, Jakarta, 1993.
Dumasari, Ramona.2008. Varicella Dan Herpes Zozter. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
Dan Kelamin. Universitas Sumatra Utara.
Finn, Adam 2005. Hot Topics In Infection And Immunity In Children II. New York: Spinger
Hadinegoro , dkk. 2010. Terapi Asiklovir Pada Anak Dengan Varisela Tanpa Penyulit .
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RS Dr Cipto Mangunkusumo, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 11, No. 6, April 2010
Kurniawan, dkk. 2009. Varicela Zoster Pada Anak. Medicinus · Vol. 3 No. 1 Februari 2009 –
Mei 2009
Mansjoer Arif dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Media Aescula plus. Jakarta.
Prabhu, Smitha. 2009. Chilhood Herpes Zoster : A Clustering Of Ten Cases. Indian Journal
Of Dermatology.Vol : 54 Page 62-64
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Edisi 2, jakarta: EGC.
[33]
Thomson ,June M., et. al. 1986. Clinical Nursing Practice, The C.V. Mosby Company,
Toronto
Wasitaatmadja,S,M. 2010 Anatomi Kulit dan Faal Kulit. ed. 6 Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Braig ,Suzanne. 2004. Management of Genital Herpes during Pregnancy: the French
Experience. Herpes Journal of IHMF. http://www.ihmf.org/112Braig.
Carpenito, Lynda J. 2001. Buku saku DIAGNOSA KEPERAWATAN Edisi 8. Penerbit buku
kedokteran EGC
Daili, Sjaiful & Judanarso, Jubianto. 2007. Infeksi Menular Seksual: Herpes Genitalis edisi
ketiga, hal 125-139. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitasb Indonesia.
Djuanda, Adhi. 1999. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: FKU
[34]