Anda di halaman 1dari 34

Konsep Medis dan Asuhan Keperawatan pada Varisella

dan Morbus Hansen

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah KMB II

yang Dibina oleh Ibu Siti Damawiyah, S.Kep., Ns., M.Kep.

Disusun oleh:

1. Taralia Agustina 1150022070


2. Annisa Hibatul J. 1150022079

PRODI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA

2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan
Rahmat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik tanpa halangan
suatu apapun.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II.
Terima kasih kepada Ibu Siti Damawiyah, S.Kep, Ns, M.Kes. yang telah membimbing dalam
pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan, baik yang disengaja maupun tidak. Akhir kata kami berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat khususnya bagi kami sebagai penulis dan pembaca pada umumnya

Surabaya, 16 Maret 2024

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI............................................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1

1.1 Latar belakang....................................................................................................................1

1.2 Rumusan masalah...............................................................................................................2

1.3 tujuan...................................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................3

2.1 KONSEP MEDIS VARISELLA.......................................................................................3


2.1.1 Definisi......................................................................................................................3
2.1.2 Etoilogi.....................................................................................................................3
2.1.3 manifestasi klinis.....................................................................................................4
2.1.4 patofisiologi..............................................................................................................4
2.1.5 pathway....................................................................................................................5
2.1.6 pemeriksaan penunjang.........................................................................................5
2.1.7 penatalaksanaan......................................................................................................6
2.2 KONSEP ASUHAN KEPEERAWATAN VARICELLA...............................................6
2.3 KONSEP MEDIS MORBUS HANSEN.........................................................................12
2.3.1 Definisi....................................................................................................................12
2.3.2 Etiologi...................................................................................................................12
2.3.3 manifestasi klinis...................................................................................................14
2.3.4 patofisio;ogi............................................................................................................14
2.3.5 pathway..................................................................................................................15
2.3.6 komplikasi..............................................................................................................16
2.3.7 pemeriksaan diaknostik........................................................................................16
2.3.8 penatalaksaan .......................................................................................................17
2.4 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN MORBUS HANSEN....................................17

BAB III....................................................................................................................................29

iii
3.1 kesimpulan........................................................................................................................29

3.2 saran..................................................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................30

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi virus varicella-zoster (VVZ) yang menyebabkan varisela atau cacar air dapat
menyerang hampir setiap individu di seluruh dunia. Setelah sembuh dari varisela, virus
menetap laten pada ganglia radiks dorsalis yang dapat mengalami reaktivasi menjadi herpes
zoster (HZ), atau yang lebih dikenal dengan nama shingles atau dompo. Herpes zoster
merupakan penyakit kulit yang bercirikan timbulnya ruam kulit dengan distribusi
dermatomal dan disertai rasa nyeri yang hebat (Christo, 2007),

Insiden herpes zoster tersebar merata di seluruh dunia dan dapat muncul sepanjang
tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim. Tidak ada perbedaan dalam morbiditas antara
pria dan wanita. Berdasarkan studi di Eropa dan Amerika Utara, diperkirakan ada sekitar 1,5-
3 per 1000 orang per tahun pada segala usia dan kejadian meningkat tajam pada usia lebih
dari 60 tahun yaitu sekitar 7-11 per 1000 orang per tahun (Gnann dan Whitley, 2002).
Insiden herpes zoster meningkat seiring bertambahnya usia, di mana lebih dari 2/3 kasus
terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan kurang dari 10% di bawah 20 tahun (Schmader &
Oxman, 2012). Meningkatnya insidensi pada usia lanjut ini berkaitan dengan menurunnya
respon imun dimediasi sel yang dapat pula terjadi pada pasien. imunokompromais seperti
pasien HIV-AIDS, pasien dengan keganasan, dan pasien yang mendapat obat imunosupresi.
Namun, insidensinya pada pasien imunokompeten pun besar. Herpes zoster sendiri meskipun
bukan penyakit yang life-threatening, namun dapat menggangu pasien sebab dapat timbul
rasa nyeri. Lebih lanjut lagi nyeri yang dialami saat timbul lesi kulit dapat bertahan lama,
hingga berbulan-bulan lamanya sehingga dapat menggangu kualitas hidup pasien suatu
keadaan yang disebut dengan neuralgia paska herpetika (NPH) (Johnson, 2009).

Kesehatan merupakan milik yang sangat berharga bagi seseorang, tanpa kesehatan
berarti segala aktivitas seseorang terhambat, oleh karena kondisi tubuh terganggu. Menyadari
hal ini maka setiap orang dituntut untuk dapat memiliki daya tahan tubuh yang kuat sehingga
tidak akan mudah diserang oleh berbagai macam penyakit menular, dalam hal ini dapat
mempengaruhi social seseorang dalam hidupnya.

1
Permasalahan penyakit Morbus Hansen ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya.
Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya
masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat
berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut akan
mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-
masalah tersebut dapat mengakibatkan penderita morbus hansen menjadi tuna sosial, tuna
wisma, tuna karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau
gangguan di lingkungan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana Konsep Medis Varisella?
2. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Varisella?
3. Bagaimana Konsep Medis Morbus Hansen?
4. Bagaimana Konsep Asuhan Keperawatan Morbus Hansen?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep MedisVarisella.
2. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Varisella.
3. Untuk mengetahui Konsep Medis Morbus Hansen.
4. Untuk mengetahui Asuhan Keperawatan Morbus Hansen.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.5 Konsep Medis Varisella


2.5.1 Definisi

Varicella/ Chicken Pox / Cacar Air adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
varicella Zoster Virus (VZV) yang merupakan penyakit primer VZV, yang pada umumnya
menyerang anak. Sedangkan herpes zoster atau shingles merupakan suatu reaktivitas infeksi
endogen pada periode laten dan umumnya menyerang orang dewasa atau anak yang
menderita defisiensi imun. Penyakit varicella ini lebih menular dari pada Mumps (Parotitis),
tetapi kurang menular bila dibandingkan dengan campak (Sumarmo (2002) dalam (Nurafif &
Kusuma, (2015)).

2.5.2 Etiologi
Varicella disebabkan oleh VZVyang termasuk dalam 8 jenis herpes virus
Herpesviridae. dari VZV family masuk kedalam tubuh melalui mukosa saluran napas
bagian atas atau orofaring dan menyebar ke pembuluh darah dan limfe (viremia pertama).
Satu minggu kemudian virus kembali menyebar melalui pembuluh darah (Viremia kedua)
dan timbul gejala demam serta malaise. Kemudian menyebar ke seluruh tubuh terutama
pada kulit dan mukosa. Lesi kulit muncul tidak bersamaan sesuai dengan siklus viremia.

3
Pada keadaan normal, siklus ini berakhir sestelah 3 hari akibat adanya kekebalan
hormonal dan selular spesifik (Nurafif & Kusuma, 2015).

2.5.3 Manifestasi Klinis Varicella


1. Stadium prodromal
Gejala pada stadium ini timbul setelah 14-15 hari masa inkubasi, yaitu ruam kulit yang
disertai demam dan malaise, pada anak lebih besar-besar dan dewasa didahului demam
selama 2-3 hari sebelumnya, menggigil, malaise, nyeri kepala, anoreksia, nyeri punggung
dan pada beberapa kasus terdapat nyeri tenggorokan dan batuk..
2. Stadium Erupsi
Ruam kulit muncul di muka dan kulit kepala, badan dan ekstremitas. Penyebaran lesi
varicella menjadi krusta 8-12 jam dan akan lepas dalam waktu 1-3 minggu tergantung
kepada dalamnya kelainan kulit (Nurafif & Kusuma, 2015).

2.5.4 Patofisiologi Varicella


Cacar air biasanya didapat dengan menghirup tetesan pernapasan di udara dari inang
yang terinfeksi. Sifat virus varicella-zoster (VZV) yang sangat menular mendasari epidemi
yang menyebar dengan cepat melalui sekolah. Titer virus yang tinggi ditemukan pada
vesikula karakteristik cacar air, dengan demikian, meskipun risiko terkait lebih rendah,
penularan virus juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan vesikula ini.

Setelah menghirup pertama kali tetesan pernapasan yang terkontaminasi, virus


menginfeksi konjungtiva atau mukosa saluran pernapasan bagian atas. Proliferasi virus
terjadi di kelenjar getah bening regional saluran pernapasan bagian atas 2-4 hari setelah
infeksi awal, diikuti oleh viremia primer pada hari ke 4-6 pasca infeksi. Putaran kedua dari
replikasi virus terjadi di organ dalam tubuh, terutama hati dan limpa, diikuti oleh viremia
sekunder 14-16 hari setelah infeksi. Viremia sekunder ini ditandai dengan invasi virus yang
menyebar ke sel endotel kapiler dan epidermis. Infeksi VZV pada sel-sel lapisan malpighian
menghasilkan edema antar sel dan edema intraseluler,menghasilkan vesikel yang khas.

Paparan VZV pada anak yang sehat memulai produksi antibodi host immunoglobulin
G (IgG), imunoglobulin M (IgM), dan imunoglobulin A (IgA); Antibodi IgG bertahan.
Seumur hidup dan memberikan kekebalan. Respon imun yang dimediasi sel juga penting

4
dalam membatasi ruang lingkup dan durasi infeksi varicella primer. Setelah infeksi primer,
VZV diduga menyebar dari lesi mukosa dan epidermal ke saraf sensorik lokal. VZV
kemudian tetap laten di sel ganglion dorsal dari saraf sensorik. Reaktivasi VZV
menyebabkan sindrom herpes zoster (herpes zoster) yang berbeda secara klinis
(Papadopoulos, 2018).

2.5.5 Pathway

Invasi Virus
Varicella Zoster

Kelainan Kulit dan


Mukosa

Vasikular yang Tersebar

Respon
Kerusakan
Inflamasi
Integritas
Lokal dan
Jaringan
Sistemik

Gatal - Gatal
Kerusakan
Suhu Tuuh
Saraf
Meningkat
Perifer
Reson
Menggaruk

Nyeri Akut Hipertermia


Gangguan
Integritas Kulit

5
2.5.6 Pemeriksaan Penunjang
a. Isolasi virus (3-5 hari)
b. Polimerase Chain Reaction (PCR)
c. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
d. Fluorescent Antibodi to Membrane Antigen (FAMA) (Nurafif & Kusuma, 2015)

2.5.7 Penatalaksanaan
Cara menangani penyakit Varisela yaitu:

1) Konsultasikan dengan dokter untuk memahami kondisi dan ikuti nasihat profesional
kesehatan untuk minum obat guna meringankan gejala.
2) Jika demam, minum air yang banyak dan istirahat yang cukup.
3) Kenakan sarung tangan katun yang bersih selama tidur untuk mencegah menggaruk
gelembung.
4) Hindari kontak dengan wanita hamil dan orang dengan kekebalan lemah
5) Anak yang sakit harus tinggal di rumah dan tidak boleh ke Sekolah Taman kanak-kanak
Pusat Penitipan Anak hingga semua gelembung benar-benar mengering, biasanya selama
sekitar 1 minggu setelah munculnya bercak-bercak merah guna mencegahnya penyebaran
penyakit ke anak lainnya.
6) Orang tua harus mencermati kondisi anak. Apabila anak tetap mengalami demam, enggan
makan dan minum, muntah dan terlihat mengantuk, segera cari bantuan medis.
7) Orang tua harus mencermati apakah ada tanda dan gejala cacar air pada anak-anak lain di
rumah.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan Varicella


1) Pengkajian
A. Anamnesa
a) Identitas
Nama, umur, agama, suku atau bangsa, Pendidikan dan pekerjaan pasien.
b) Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan
kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah
yang terkena pada fase-fase awal.

6
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang
mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga
terdapat lesi/vesikel perkelompok dan penderita juga mengalami demam.
d) Riwayat Kesehatan Lalu
Tanyakan apakah klien pernah mengalami hal yang sama sebelumnya
e) Riwayat Kesehatan Keluarga
Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman
dekat yang terinfeksi virus ini.
f) Riwayat Psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian
muka atau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan
konsep diri hal itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal
diri, harga diri, penampilan peran, atau identitas diri. Reaksi yang
mungkin timbul adalah:
 Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
 Menarik diri dari kontak social.
 Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan
daya tahan tubuh klien. pada kondisi awal/saat proses peradangan, dapat terjadi
peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain.
Pada pengkajian kulit, ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri
edema di sekitar lesi, dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi sekunder. Pada
pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu diperhatikan adalah bagian glans
penis, batang penis, uretra, dan daerah anus. Sedangkan pada wanita, daerah yang
perlu diperhatikan adalah labia mayor dan minor, klitoris, introitus vagina, dan
serviks. Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran luas, warna, dan keadaan lesi.
Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanya pembesaran pada beberapa kasus
dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe regional. Untuk mengetahui adanya nyeri,
kita dapat mengkaji respon individu terhadap nyeri akut secara fisiologis atau

7
melalui respon perilaku. Secara fisiologis terjadi diaphoresis, peningkatan denyut
jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah, pada perilaku,
dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran nyeri
dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak,
pilih skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan
skala wajah untuk mengkaji nyeri sesuai usia, libatkan anak dalam pemilihan.
2) Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan penyakit varicella
adalah :
a. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit
b. Gangguan intergitas Kulit berhubungan dengan perbahan hormonal
c. Nyeri Akut berhubungan dengan infeksi
3) Perencanaan Asuhan Keperawatan

NO Diagnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi


keperawatan
1 Hipertermi Termoregulasi Manajemen hipertermi
berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi
proses penyakit keperawatan selama 24 jam, 1. Identifikasi penyebab
(D.0130) diharapkan tingkatan hipertermia (misal :
termoregulasi meningkat, dehidrasi, terpapar
dengan kriteria hasil : lingkungan panas,
1. Menggigil menuun penggunaan
2. Suhu tubuh membaik inkubator)
3. Suhu kulit membaik 2. Monitor suhu tubuh
3. Monitor kadar
elektrolit
4. Monitor haluaran urin
5. Monitor komplikasi
akibat hipetermia

8
Terapeutik
1. Sediakan lingkungan
yang dingin
2. Longgarkan atau
lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Hindari pemberian
antipiretik atau
aspirin
6. Berikan oksigen, jika
perlu

Edukasi
1. Anjurkan tirah baring

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu

2 Gangguan Integritas Integritas kulit dan jaringan Perawatan integritas


kulit berhubungan Setelah dilakukan tindakan kulit
dengan perubahan keperawatan 3x24 jam Obsevasi
hormonal diharapkan integritas kulit 1. identifikasi penyebab
meningkat dengan kriteria gangguan integritas
hasil : kulit
1. elastisitas meningkat

9
2. hidrasi meningkat Terapeutik
3. kerusakan lapisan 1. Ubah posisi tiap 2
kulit menurun jam jika tirah baring
4. nyeri berkurang 2. Gunakan produk
berbahan petrolium
atau minyak pada
kulit kering
3. Hindari produk
berbahan dasar
alkohol pada kulit

Edukasi
1. Anjurkan
menggunakan
pelembab
2. Anjurkan minum air
yang cukup
3. Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
4. Anjurkan
menghindari terpapar
suhu ekstrim
5. Anjurkan mandi dan
menggunakan sabun
secukupnya

3 Nyeri akut Tingkat Nyeri Manajemen Nyeri


berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Observasi
infeksi keperawatan selama 3x24 1. Identifikasi lokasi,
jam diharapkan tingkat karakteristik, durasi,
nyeri menurun, dengan frekuensi, kualitas,

10
kriteria hasil : intensitas nyeri
1. Frekuensi nadi 2. Identifikasi skala
membaik nyeri
2. Keluhan nyeri 3. Identifikasi respon
menurun nyeri
3. Meringis menurun 4. Identifikasi faktor
4. Gelisah menurun memperberat dan
5. Kesulitan tidur memperingan nyeri
menurun
Terapeutik
1. Berikan teknik non
farmakologik untuk
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri
3. Fasilitasi istirahat dan
tidur

Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode dan pemicu
nyeri
2. Ajarkan teknik npn
farmakologis untuk
menguramgi rasa
nyeri

Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
analgesik, jika perlu

11
4) Implementasi Keperawatan
Merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat
menyusun rencana keeprawatan. Implemetasi adalah pelaksanaan dari renacana
interverensi untuk mencapai tujuan yang spesifik, tahap implementasi dimulai setelah
rencana interverensi disusun dan ditunjukkan pada Nursing order untuk membantu pasien
mencapai tujuan yang diharapkan
Tujuan dari implementasi adalah membantu pasien dalam. mencapai tujuan yang
telah ditetepkan yang mencakup penigkatan kesehatan pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan, dan manifestai koping selama tahap implementasi perwat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan. yang paling sesuai dan memilih
asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
5) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan. melibatkan pasien, perawat dengan
anggota tim kesehatan lainnya.
Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang
disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan.
2.3 Konsep Medis Morbus Hansen
2.3.1 Definisi
Morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang kronis, disebabkan oleh
Mikrobakterium leprae yang obligat intra seluler yang menyerang syaraf perifer, kulit,
mukosa traktus respiratorik bagian Atas kemudian menyerang organ-organ kecuali
susunan syaraf pusat. penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998)

2.3.2 Etiologi

12
Myobacterium leprae merupakan penyebab dari penyakit ini. Merupakan satu
famili dengan M. tuberculosis penyebab TBC. Memiliki sifat obligat intraseluler dan
tahan asam, pada beberapa jenis telah mengalami perubahan dari sifat akibat perubahan
gen yang menyebabkan bakteri dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan.
Pada penderita yang tidak dilakukan terapi dengan baik akan terjadi peningkatan angka
bakteri di kulit (MI), dan ketebalan bakteri di kulit (BI) hingga 6 kali lipat dibandingkan
dengan terapi efektif.
Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya tumbuh dan berkembang
pada manusia saja. Walaupun demikian bakteri ini masih belum dapat di biakan karena
sulitnya mencari media yang cocok, media yang paling baik sampai saat ini adalah
telapak kaki tikus. Bakteri lepra akan berkembang biak dengan baik pada jaringan yang
lembab (kulit, saraf perifer, ruang depan mata, saluran nafas bagian atas, dan testis).
Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid) Merupakan bentuk yang tidak menular.
Kelainan kulit berupa bercak keputihansebesar uang logam atau lebih, jumlahnya
biasanya hanya beberapa, sering di pipi,punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak
tampak kering, perasaan kulit hilangsama sekali, kadang-kadang tepinya meninggi. Pada
tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi, sering terjadi gejala kulit tak
begitu menonjoltetapi gangguan saraf lebh jelas. Komplikasi saraf serta kecacatan
relative lebih sering terjadi sering terjadi dan timbul lebih awal dari bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negative, berarti tidak ditemukan adanya kuman
penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling banyak yang ditemukan di Indonesia dan
terjadi pda orang yang daya tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.
Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa) Merupakan bentuk menular karena banyak
kuman dapat ditemukan baik diselaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh
lain.Jumlahnya lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang
yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta. Kelainan kulit bisa
berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan tersebar diseluruh badan ataupun sebagai
penebalankulit yang luas (infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga
sebagai benjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di badan, muka dan
daun telinga.Sering disertai rontoknya alis mata, menebalnya cuping telinga dan kadang-
kadang terjadi hidung pelana karena rusaknya tulang rawan hidung.Kecacatan

13
padabentuk ini umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit. Pada bentuk
yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).Diantara kedua bentuk klinis ini,
didapatkan bentuk pertengahan atau perbatasan (tipe borderline) yang gejala-gejalanya
merupakan peralihan antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan
jenis kusta basah

2.3.3 Manifestasi Klinis

Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari tanda
kardinal berikut:
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas Lesi kulit dapat tunggal atau
multipel biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna
tembaga biasanya berupa: makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit
merupakan gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
b. BTA positif Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

2.3.4 Patofisiologi

Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit
yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh,
M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup
M. leprae pada, suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman
yang avirulens dan nontoksis.
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan
saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi
mengeluarkan makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk
memfagositnya.Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian
makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi
dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan. Pada kusta tipe TT kemarnpuan
fungsi sistem imunitas selulartinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan

14
kuman.. Sayangnya setelah sernua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah menjadi
sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadangkadang bersatu membentuk sel datia
Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebinan dan masa
epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae, di samping itu
sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat
bermigrasi dan beraktivasi. Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi
kerusakan saraf yang progresif.

2.3.5 Patway

15
MK:
Gangguan
Integritas
Kulit

MK : Gangguan
citra tubuh

2.3.6 Komplikasi

Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik akibat kerusakan
fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi kusta

2.3.7 Pemeriksaan Diagnostik

16
 Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling
infiltratif. Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan
menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan
dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada
pemeriksaan akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau granuler.
 Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya dapat
dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat penyuntikan berarti
lepromim test positif

2.3.8 Penatalaksanaan

Pencegahan

a. Penerangan dengan memberikan sedikit penjelasan tentang seluk beluk penyakit lepra
pada pasien

b. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutic.

c. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.

Pengobatan

obat-obatan umum yang biasa dipakai dalam pengobatan Morbus Hansen:

a. PB ( Tipe kering ) Pengobatan bulanan :hari pertama : 2 Kapsul Rifampisin I Tablet


Dapsone (DDS) Pengobatan harian : hari ke 2 – 28 : tablet Dapsone (DDS) Lama
pengobatan : 6 Blister diminum selama 6 – 9 bulan

b. MB ( Tipe basah ) Pengobatan bulanan : hari pertama :2 Kapsul Rifampisin 3 Tablet


Lamrene 1 Tablet Dapsone pengobatan harian : hari ke 2 – 28 :1 Tablet Lamrene 1 Tablet
Dapsone (DDS) lama pengobatan : 12 blister diminum selama 12 – 18 bulan.

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Morbus Hansen


1) Pengkajian
A. Anamnesa

17
a. Identitas
Nama, umur, agama, suku atau bangsa, Pendidikan dan pekerjaan pasien.

b. Keluhan Utama
Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ke tempat pelayanan
kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul dan gatal-gatal pada daerah
yang terkena pada fase-fase awal.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang
mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat, selain itu juga
terdapat lesi/vesikel perkelompok dan penderita juga mengalami demam.

d. Riwayat Kesehatan Lalu


Tanyakan apakah klien pernah mengalami hal yang sama sebelumnya

e. Riwayat Kesehatan Keluarga


Tanyakan kepada penderita ada atau tidak anggota keluarga atau teman
dekat yang terinfeksi virus ini.

f. Riwayat Psikososial
Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian
muka atau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan
konsep diri hal itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal
diri, harga diri, penampilan peran, atau identitas diri. Reaksi yang
mungkin timbul adalah:
 Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh.
 Menarik diri dari kontak social.
 Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.
B. Pemeriksaan Fisik

18
Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
a. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi
sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan
saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi
akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok
b.Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan.
c. Sistem Persyarafan
Kerusakan Fungsi Sensorik, Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan
terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan
kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya
reflek kedip. Kerusakan fungsi motorik, Kekuatan otot tangan dan kaki dapat
menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya dapat
terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata akan
mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos). Kerusakan fungsi
otonom, Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya
dapat pecah-pecah.
d. Sistem musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
e. Sistem Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerahmerahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada

19
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah.
Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2) Diagnosa Keperawatan

a. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik dibuktikan dengan


merasa lemah, mengeluk lelah, sianosis, merasa tidak nyaman setelah aktivitas.
b. Gangguan citra tubuh yang berhubungan dengan ketidakmampuan dan kehilangan
fungsi tubuh dibuktikan dengan kehilangan bagian tubuh, fungsi/struktur tubuh
berubah/ hilang, fokus berlebihan pada perubahan tubuh
c. Gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
dibuktikan dengan kerusakan jaringan dan/lapisan kulit, nyeri, hematoma.

3) Perencanaan Asuhan Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi


. Keperawatan
1. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi I.05178 Managemen
yang berhubungan keperawatan selama 3 x 24 Energi
dengan kelemahan jam, diharapkan respon Tindakan
fisik dibuktikan fisiologis terhadap aktivitas Observasi
dengan merasa lemah, membaik, dengan kriteria  Identifikasi
mengeluk lelah, hasil : (L.05047) gangguan fungsi
sianosis, merasa tidak 1. Frekuensi nadi tubuh yang
nyaman setelah meningkat mengakibatkan
aktivitas.(D.0056) 2. Perasaan lemah kelelahan
menurun  Monitor
3. Keluhan lelah kelelahan fisik
menurun dan emosional
4. warna kulit membaik  Monitor pola dan
5. tekanan darah jam tidur
membaik  Monitor lokasi

20
dan
ketidaknyamanan
selama
melakukan
aktivitas

Terapeutik
 Sediakan
lingkungan
nyaman dan
rendah stimulus
(mis, cahaya,
suara, kunjungan)
 Lakukan latihan
rentang gerak
pasif dan/atau
aktif
 Berikan aktivitas
distraksi yang
menenangkan
 Fasilitasi duduk
di sisi tempat
tidur, jika tidak
dapat berpindah
atau berjalan

Edukasi
 Anjurkan tirah
baring
 Anjurkan
melakukan

21
aktivtas secara
bertahap
 Anjurkan
menghubungi
perawat jika
tanda dan gejala
kelelahan tidak
berkurang
 Ajarkan strategi
koping untuk
mengurangi
kelelahan

Kolaborasi
 Kolaborasi
dengan ahli gizi
tentang cara
meningkatkan
asupan makanan.
2. Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan intervensi I.09305 Promosi citra
yang berhubungan keperawatan selama 3 x 24 tubuh :
dengan jam, diharapkan persepsi Tindakan
ketidakmampuan dan tentang penampilan,struktur Observasi
kehilangan fungsi fisik individu membaik,  Identifikasi
tubuh dibuktikan dengan kriteria hasil : harapan citra
dengan kehilangan (L.09067) tubuh
bagian tubuh, 1. verbalisasi perasaan berdasarkan tahap
fungsi/struktur tubuh negatif tentang perkembangan
berubah/ hilang, fokus perubahan tubuh  Identifikasi
berlebihan pada menurun budaya, agama,
perubahan tubuh. 2. verbalisasi jenis kelamin, dan

22
(D.0083) perubahan gaya umur terkait citra
hidup menurun tubuh
3. verbalisasi  Identifikasi
kehilangan bagian perubahan citra
tubuh membaik tubuh yang
4. hubungan sosial mengakibatkan
membaik isolasi sosial
 Monitor frekuensi
pernyataan kritik
terhadap diri
sendiri
 Monitor apakah
pasien bisa
melihat bagian
tubuh yang
berubah

Terapeutik
 Diskusikan
perubahan tubuh
dan fungsinya
 Diskusikan
perbedaan
penampilan fisik
terhadap harga
diri
 Diskusikan
perubahan akibat
pubertas,
kehamilan dan
penuaan

23
 Diskusikan
kondisi stres yang
mempengaruhi
citra tubuh (mis.
luka, penyakit,
pembedahan)
 Diskusikan cara
mengembangkan
harapan citra
tubuh secara
realistis
 Diskusikan
persepsi pasien
dan keluarga
tentang
perubahan citra
tubuh

Edukasi
 Jelaskan kepada
keluarga tentang
perawatan
perubahan citra
tubuh
 Anjurkan
mengungkapkan
gambaran diri
terhadap citra
tubuh
menggunakan alat
bantu (mis.

24
pakaian, wig,
kosmetik)
 Anjurkan -
Anjurkan
mengikuti
kelompok
pendukung (mis,
kelompok sebaya)
 Latih fungsi
tubuh yang
dimiliki
 Latih peningkatan
penapilan diri
(mis. berdandan)
 Latih
pengungkapan
diri kemampuan
kepada orang lain
maupun
kelompok
3. Gangguan integritas Setelah dilakukan intervensi I.11353 Perawatan
kulit yang keperawatan selama 3 x 24 integritas kulit
berhubungan dengan jam, diharapkan keutuhan Tindakan
lesi dan proses kulit atau jaringan Observasi
inflamasi dibuktikan meningkat , dengan kriteria  Identifikasi
dengan kerusakan hasil : (L.14125) penyebab
jaringan dan/lapisan 1. elastisitas meningkat gangguan
kulit, nyeri, 2. kerusakan jaringan integritas kulit
hematoma. (D.0129) menurun (mis. perubahan
3. suhu kulit membaik sirkulasi,
4. nyeri menurun perubahan status

25
5. perfusi jaringan nutrisi, penurunan
meningkat kelembaban, suhu
lingkungan
ekstrem,
penurunan
mobilitas)

Terapeutik
 Ubah posisi tiap 2
jam jika tirah
baring
 Lakukan
pemijatan pada
area penonjolan
tulang, jika perlu
 Bersihkan
perineal dengan
air hangat,
terutama selama
periode diare
 Gunakan produk
berbahan
petrolium atau
minyak pada kulit
kering
 Gunakan produk
berbahan
ringan/alami dan
hipoalergik pada
kulit sensitif
 Hindari produk

26
berbahan dasar
alkohol pada kulit
kering

Edukasi
 Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis.
lotion, serum)
 Anjurkan minum
air yang cukup
 Anjurkan
meningkatkan
asupan nutrisi
 Anjurkan
meningkatkan
asupan buah dan
sayur Anjurkan
menghindari
terpapar suhu
ekstrem
 Anjurkan
menggunakan
tabir surya SPF
minimal 30 saat
berada di luar
rumah Anjurkan
mandi dan
menggunakan
sabun secukupnya

27
4) Implementasi Keperawatan
Merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan yang dimulai setelah perawat
menyusun rencana keeprawatan. Implemetasi adalah pelaksanaan dari renacana
interverensi untuk mencapai tujuan yang spesifik, tahap implementasi dimulai setelah
rencana interverensi disusun dan ditunjukkan pada Nursing order untuk membantu pasien
mencapai tujuan yang diharapkan
Tujuan dari implementasi adalah membantu pasien dalam. mencapai tujuan yang
telah ditetepkan yang mencakup penigkatan kesehatan pencegahan penyakit, pemulihan
kesehatan, dan manifestai koping selama tahap implementasi perwat terus melakukan
pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan. yang paling sesuai dan memilih
asuhan keperawatan yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
5) Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah akhir dari proses keperawatan. Evluasi adalah
kegiatan yang disengaja dan terus menerus dengan. melibatkan pasien, perawat dengan
anggota tim kesehatan lainnya.
Tahap evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat kemampuan pasien dalam mencapai tujuan yang
disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap perencanaan.

28
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Varicella bukan sepenuhnya tidak berbahaya. Pada anak normal dapat sembuh dengan
sendirinya, sedangkan pada anak-anak yang status imunya terganggu, bayi, dan wanita hamil
perlu mendapat perhatian khusus.
Morbus Hansen adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.Dan
bisa menyebabkan kecacatan. Dengan adanya pengetahuan tentang penyakit ini
kitadiharapkan bisa melakukan pencegahan sebelum benar benar terjadi.
3.2 Saran
Demikian pembahasan dari makalah ini, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan
didalam makalah ini. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun akan sangat
berguna bagi penulisan makalah selanjutnya, semoga makalah ini dapat berguna, khususnya
bagi kami dan mahasiswa pada umumnya untuk dapat memperluas pengetahuan bagi
pembaca.

29
DAFTAR PUSTAKA

Sinta, M., Suci, P., Lita, S. dkk. (2018). Intisari Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin. Malang: UB
press.

Herdman, T. H & Kamitsuru, S. (2018). NANDA-I Nursing Diagnoses: Definitions and


Classification 2018-2020, ed. 11. New York: Thieme.

Kyle, T., & Carman, S. (2013). Buku Ajar Keperawatan Pediatric, ed 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

Syaifudin. 2006. Anatomi Fisiologi. Jakarta: EGC

30

Anda mungkin juga menyukai