Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENYAKIT YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN PERSALINAN


HERPES, CMV, VARICELLA, TOXOPLASMOSIS, THYPUS ABDOMINALIS,
HEPATITIS, INFEKSI TRAKTUS URINARIUS
(Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Askeb IV )
Dosen Pengampuh: Hj.Masruroh,S.Si.T,.M. Kes

Disusun kelompok 3
Semester III C:
1. Heny Indra S (AKU11. 072)
2. Jumarti (AKU 11. 075)
3. Suraya L K (AKU 11. 082)

AKADEMI KEBIDANAN UNISKA KENDAL


Jl.Soekarno –Hatta No.99 Telp (0294) 381299
2012/2013

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Herpes, Cmv, Varicella, Toxoplasmosis, Thypus Abdominalis, Hepatitis, Infeksi
Traktus Urinarius”dapat diselesaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah Askeb IV.
Dalam menyusun makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Untuk itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Hj. Masruroh,S.Si.T,.M. Kes selaku Direktur Akademi Kebidanan Uniska Kendal.
2. Hj. Masruroh,S.Si.T,.M. Kes selaku Dosen pengampu mata kuliah Askeb IV.
3. Suami dan anak tercinta yang telah memberikan dukungan material maupun
spiritual.
4. Teman-teman Semester III C.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu saran
dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan. Harapan penulis
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang budiman.

Kendal, Desember 2012

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman Judul .............................................................................................. i


Kata Pengantar ............................................................................................. ii
Daftar Isi ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Tujuan .............................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 2
A. Herpes............................................................................................... 2
B. CMV .................................................................................................. 2
C. Varicella ............................................................................................ 3
D. Toxoplasmosis .................................................................................. 5
E. Thypus abdominalis........................................................................... 7
F. Hepatitis ............................................................................................
G. Infeksi Traktus Urinarius ....................................................................
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 10
A. Kesimpulan ....................................................................................... 10
B. Saran ................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Infeksi dalam kehamilanadalah masuknya mikroorganisme patogen ke dalam
tubuh wanita hamil, yang kemudian menyebabkan timbulnya tanda dan gejala-
gejala penyakit. Bila virulensi mikroorganisme tergolong rendah, umumnya terjadi
reaksi imunologik, yang direfleksikan dengan terbentuknya antibodi spesifik.
Sebagai penuntun diagnosis bidan harus benar-benar mengerti dan memahami
macam-macam infeksi yang mungkin menyerang ibu hamil, bersalin dan nifas.
Selain itu bidan juga harus mengetahui dan dapat mempraktikkan
penatalaksanaan setiap jenis infeksi, baik di BPM, puskesmas ataupun Rumah
Sakit. Agar bisa memberikan pelayanan yang maksimal sebagai bidan profesional
dan juga mengurangi terjadinya morbiditas dan mortalitas ibu maupun bayi akibat
infeksi.

B. Tujuan
1. Agar mahasiswa kebidanan dapat mengetahui tentang infeksi yang dapat
menyertai dalam kehamilan.
2. Agar mahasiswa kebidanan dapat mengaplikasikan ilmu perkuliahan ke dunia
kerja.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Herpes
1. Herpes Genitalis
Herpes genitalis (HG) merupakan IMS virus yang menempati urutan kedua
tersering di dunia dan merupakan penyebab ulkus genital tersering di negara
maju. Virus herpes simpleks tipe-2 (VHS-2) merupakan penyebab HG tersering
(82 %), sedangkan virus herpes simplek tipe-1 (VHS-1) yang lebih sering
dikaitkan dengan lesi di mulut dan bibir, ternyata dapat pula ditemukan pada
18% kasus herpes genitalis.
Masa inkubasi umumnya berkisar 3-7 hari, bahkan dapat lebih lama. Prediksi
pada perempuan dapat ditemukan pada daerah labia mayor/ minor, klitoris,
introitus vagina dan serviks, sedangkan yang lebih jarang di daerah perianal,
bokong, dan mons pubis.
Episode pertama HG dapat primer maupun non-primer, Episode pertama primer
adalah episode penyakit yang terdapat paa seseorang tanpa didahului oleh
pejanan/ infeksi VHS-1 maupun VHS-2 sebelumnya. Sementara itu, episode
pertama nonprimer dapat merupakan:
 episode penyakit yang terjadi pada seseorang dengan riwayat
pejanan/infeksi VHS-1 atau VHS-2 sebelumnya
 reaktivasi dari infeksi genital asimtomatik
 infeksi genital pada seseorang dengan riwayat infeksi orolabialis
sebelumnya.
Manifestasi yang timbul bervariasi dari ringan sampai berat. Gejala biasanya
diawali dengan rasa terbakar dan gatal di daerah lesi yang terjadi beberapa jam
sebelum timbul lesi. Selain itu, dapat pula disertai gejala konstitusi seperti
malese, demam, dan nyeri otot. Lesi tipikal berupa vesikel berkelompok dengan
dasar eritema yang mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Kelenjar
getah bening regional dapat membesar dan nyeri. Masa pelepasan virus pada
infeksi primer terjadi lebih kurang 12 hari. Infeksi oral VHS-1 terdahulu akan
memberikan perlindungan parsial terhadap pajanan infeksi VHS-2, sehingga
gejala klinik akibat infeksi VHS-2 menjadi lebih ringan atau subklinik.

5
Lesi rekuren dapat terjadi dengan gejala klinik umumnya lebih ringan,
penyembuhan lebih cepat, dan masa pelepasan virus berlangsung kurang dari 5
hari. Herpes genital rekuren dapat hanya berupa fisura yang cepat hilang tanpa
gejala. Rekurensi Hgoleh VHS-2 lebih sering dibandingkan VHS-1. Umumnya
rekurensi lebih sering terjadi pada 1 tahun pertama setelah episode pertama,
sedangkan tahun-tahun berikutnya lebih panjang.
Ditemukan pula keadaan subklinik/asimtomatik, yaitu keadaan tidak ditemukan
gejala, tetapi pada pemeriksaan serologi didapatkan antibodi terhadap VHS.
Selain itu, lebih kurang 60% kasus dijumpai sebagai lesi atipik, dengan
gambaran lesi tidak khas, sehingga tidak diduga sebagai HG.
Transmisi virus dapat terjadi melalui kontak seksual dengan pasangan yang
telah terinfeksi, tetapi juga dapat secara vertikal yaitu dari ibu kepada janin
yang dikandungnya. Sekitar 70% infeksi pada neonatus terjadi pada saat
persalinan ketika bayi berkontak langsung melalui jalan lahir dengan cairan
vagina ibu yang terinfeksi. Selain itu infeksi dapat terjadi saat janin masih di
dalam kandungan secara asendens dari serviks atau vulva, maupun
transplasental. Trnsmisi ini juga dapat terjadi pada masa asimtomatik. Resiko
tinggi transmisi pada janin akan terjadi pada keadaan timbul lesi primer pada
kehamilan , atau keadaan seronegatif dengan suami seropositif, atau
pemakaian monitor pada kulit kepala bayi pada ibu seropositif.
Diagnosis secara klinis ditegakkan dengan adanya gejala khas berupa vesikel
berkelompok dengan dasar eritema, dan riwayat gejala serupa berulang.
Pemeriksaan laboratorium paling sederhana adalah uji Tzank, akan tetapi
sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan ini umumnya rendah. Deteksi VHS
dengan kultur masih merupakan pemeriksaan baku emas untuk infeksi VHS
genital dini. Pemeriksaan ELISA merupakan pemeriksaan untuk menentukan
adanya antigen atau antibodi VHS dalam serum penderita.perlu diperhatikan
bahwa tes serologi IgM dan IgG tidak dapat dipakai sebagai pedoman untuk
menentukan saat terjadinya pelepasan virus (viral shedding).

a. Pengobatan
Penatalaksanaan HG pada kehamilan dapat dibedakan antara perempuan
hamil dengan episode primer dan perempuan hamil dengan episode
rekurens. Pengobatan dengan asiklovir harus diberikan kepada semua

6
perempuan yang menderita HG episode primer dalam kehamilan. Terapi
supresif dengan asiklovir pada 4 minggu terakhir kehamilan dapat mencegah
rekurensi HG pada saat partus. Dianjurkan untuk dilakukan seksiosesaria
terhadap semua perempuan hamil yang datang dengan HG lesi primer pada
saat menjelang kelahiran, namun tidak dianjurkan untuk perempuan yang
terserang HG lesi primer pada trimester pertama ataupun kedua.
HG rekurens dihubungkan dengan resiko yang kecil mendapat herpes
neonatus. Pada keadaan perempuan hamil menjelang partus dan terdapat
lesi HG rekurens, bukan merupakan indikasi mutlak untuk dilakukan seksio
sesaria.
Dosis asiklovir / valasiklovir yang dianjurkan untuk infeksi primer
 Asiklovir per oral 5x200 mg/hari selama 7 hari, pada lesi berat asiklovir i.
V. 3-5 mg/KgBB/hari, selama 7-10 hari atau
 Valasiklovir 2 x 500 mg/ hari selama 7 hari.
Untuk infeksi rekurens:
 Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari atau
 Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selama 5 hari

Pengobatan untuk neonatus dengan infeksi VHS dapat diberikan asiklovir 10


mg/ KgBB intravena tiap 8 jam selama 10-21 hari.

2. Herpes gestasionis (pemvigoid gestasionis)

Suatu penyakit kulit yang terdiri atas bula, pruritus dan autoimun, terutama
pada multipara, terjadi pada trimester kedua atau ketiga. Meskipun demikian
dapat juga terjadi pada trimester pertama dan pasca persalinan. Herpes
gestasionis yang berat dapat berakibat serius. Namun penyakit ini jarang
terjadi.

Meskipun disebut herpes gestasionis, penyakit ini bukan disebabkan oleh virus
herpes. Diyakini adanya predisposisi genetik dimana ada peningkatan HLA
antigen tertentu.

Gejala klinis biasanya disertai demam, adanya sensasi panas dan dingin,
malaise, mual dan sakit kepala. Gejala pada kulit dapat bervariasi yaitu pruritus
, plak eritematosa, lesi yang berupa urtikaria, vesikel (konfigurasi anular), atau

7
bula yang tegang dan besar. Baik proses penyakitnya maupun gatal yang
menyertai, bisa ringan sampai berat. Lesi umumnya dimulai dari daerah
abdomen, sering dalam umbilikus. Area lain yang terkena adalah badan,
bokong dan anggota gerak. Muka dan membran mukosa yang terkena.
Penyakit ini dapat berulang pada kehamilan berikutnya yang terjadi pada umur
kehamilan yang lebih awal dan dapat lebih berat dari sebelumnya.

Gambaran histologik: edema subepidermal dengan infiltrasi limfosit, histiosit


dan eosinofi. Teknik imunofluoresen langsung pada biopsi kulit didapatkan
komplemen C3 dan kadang-kadang deposit IgG sepanjang membrana basalis .

a. Pengobatan

Beberapa penderita cukup dengan pemakaian steroid dan antihistamin lokal.


Jika tidak menolong, bisa diberi prednison oral 1 mg/Kg/hari. Terapi ini
selain menghilangkan rasa gatal juga menghambat lesi-lesi baru yang akan
muncul. Namun, perlu diingat bahwa pemberian steroid sistemik akan
menghambat produksi estrogen plasenta, sehingga tes estriol urin dan
serum berguna sebagai petunjuk untuk menentukan fungsi plasenta. Janin
dari ibu yang diterapi prednison sebaiknya dimonitor oleh dokter spesialis
anak akan adanya insufisiensi adrenal. Bagian kulit yang telah menyembuh
sering terjadi hiperpigmentasi, tetapi biasanya tidak mengalami sikatriks.
Jika tidak ada perubahan terhadap pemberian terapi kortikosteroid dapat
diberikan dapson. Pemberian obat imunosupresif seperti azatioprin
kontraindikasi, kecuali jika diberikan pasca persalinan dan tidak menyusui.

Efek terhadap hasil luaran janin masih tidak jelas. Holmes dan Black (1984)
serta Shornick dan Black (1992) melaporkan adanya peningkatan persalinan
prematur dan pertumbuhan janin terhambat, tetapi tidak ada kematian
perinatal (40 perempuan dengan herpes gestasionis tiga hari mati dan satu
abortus spontan pada usia kehamilan 16 minggu). Lesi yang timbul seperti
pada ibu sebanyak 10 % dari neonatus. Namun lesi ini akan menghilang
dalam beberapa minggu.

B. CMV
1. Pengertian CMV

8
Cytomegalovirus atau biasa disingkat CMV adalah virus DNA yang
merupakan kelompok virus herpes sehingga memiliki kemampuan latensi.
Virus ini dapat menyerang siapa saja.
Orang yang terserang virus cytomegalovirus pada umumnya tidak
menimbulkan gejala karena itu sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan torch (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes)
sebelum atau pada awal kehamilan.
Pada umumnya orang dewasa sudah memiliki antibody terhadap virus ini
karena sudah pernah terjangkit saat masih anak-anak.Tapi bagi wanita hamil
yang baru pertama kali terjangkit virus ini maka janinnya dapat terinfeksi
juga. Kerusakan yang ditimbulkan oleh virus ini pada janin tergantung pada
usia kehamilan ketika ibu terinfeksi virus cytomegalovirus.
Sitomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini
berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi.
Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga
terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata
burung hantu. Di Amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi
perinatal. Yow dan Demmler (1992) dari 800.000 janin yang terinfeksi oleh
CMV diperoleh 50.000 bersifat simtomatis dengan kelainan retardasi mental,
kebutaan dan tuli sedangkan 120 ribu janin yang bersifat asimtomatis
mempunyai keluhan neurologik.
Penularan/transmisi CMV ini berlangsung secara horisontal, vertikal dan
hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui droplet infeksion dan
kontak dengan air ludah dan air seni. Sementara itu, transmisi vertikal
adalah penularan proses infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital
umumnya terjadi karena transmisi transplasenta selama kehamilan dan
diperkirakan 0,5%-2,5% dari populasi neonatal. Dimas peripartum infeksi
CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi
melalui air susu ibu dan tindakan transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi
diperkirakan 3-5%.
2. Patogenesis
Inveksi cmv yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu
disebut inveksi primer. Inveksi primer berlangsung simtomatis ataupun
asimtomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu

9
yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke sel-sel dari berbagai macam
jaringan. Proses ini disebut infeksi laten.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai
multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang
mengalami supresi imun karena infeksi HIV , atau obat-obatan yang
dikonsumsi penderita trnsplan-resipien ataupun penderita dengan
keganasan.
3. Epidemiologi
Di negara maju sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi kongenital
yang paling utama dengan angka kejadian 0,3%-2% dari kelahiran hidup.
Sebanyak 10-15 % bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimtomatis)
serta tampak normal pada saat lahir. Kemungkinan bayi ini akan cacat
neurologik seperti retardasi mental atau gangguan penglihatan dan
pendengaran diperkirakan sekitar 1-2 tahun kemudian. Dengan alasan ini
sebenarnya infeksi CMV adalah penyebab utama kerusakan sistem saraf
pusat pada anak-anak.
4. Infeksi Cmv Pada Kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi
pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang
serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun
endogenus, infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu
hamil dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil
dengan keadaan seropositif. Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi
virus yang sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan
memberikan efek klinik yang jauh lebih parah pada janin dibandingkan
infeksi rekuren.
5. Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode
serologik maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi
maternal primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV)
sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interfal kira-kira 3 minggu.

10
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan
menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi
yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat
molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.
6. Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan yang
menunjukkan infeksi primer pada kehamilan 20 minggu.diagnosis pranatal
dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi virus pada cairan
ketuban yang diperoleh setelah amniosintesis dalam hubungan ini paling
baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu karena tiga hal berikut.
 Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum diketahui sebelum
umur kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi
virus citomegalo melalui urin ke dalam cairan ketuban.
 Dibutuhkan waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus
dapat ditemukan dalam cairan ketuban.
 Infeksi lain yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi
maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.

Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dari perawatan antenatal


sangat membantu dalam mengidentifikasi janin yang beresiko tinggi/diduga
terinfeksi CMV intrauterin bila didapatkan hal-hal ini pada janin.
Oligohidramnion, hidrops nonimun, asites janin,gangguan pertumbuhan
janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi
intrakranial, hepatoplenomegali dan kalsifikasi intrahepatik.

7. Terapi Dan Konseling

Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada


pengobatan infeksi kongenital. Dengan demikian, dalam konseling infeksi
primer yang terjadi pada umur kehamilan ≤20 minggu setelah
memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat
dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna mengobati
infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita AIDS
serta tindakan profilaksis untuk mencegah infeksi CMV setelah transplantasi
organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV untuk saat ini adalah

11
Ganciklovir, Foscarnet dan Valaciclovir, tetapi sampai saat ini belum
dilakukan evaluasi disamping obat tersebut dapat menimbulkan intoksisasi
serta resistensi. Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi kongenital.

C. Varisela
1. Pengertian Varisela
Virus ini termasuk kelompok DNA Herpes Virus dan hidup laten pada
ganglion bagian belakang setelah infeksi primer. Sebagian besar orang
dewasa (80-90%)pernah terinfeksi virus ini sehingga sudah mempunyai
kekebalan. Pada kehamilan inveksi varisela terjadi lebih parah dan terjadi
komplikasi pneumonia. Infeksi primer varisela bisa mengalami reaktivasi
setelah beberapa tahun dalam bentuk infeksi Herpes-Zoster.

2. Pengaruh Infeksi Varisela pada kehamilan


Infeksi varisela pada ibu hamil trimester I mungkin menyebabkan cacat
bawaan seperti korioretinitis, atrofi kortek serebri, hidronefrosis, dan
kelainan pada tulang dan kulit.jika infeksi pada kehamilan kurang dari 13
minggu, cacat bawaan terjadi sebesar 0,2%, jika pada kehamilan 13-20
minggu sebesar 2%, tetapi jika infeksi terjadi setelah kehamilan 20 minggu
umumnya tidak terjadi kelainan. Masa inkubasi varisela virus umumnya
kurang dari 2 minggu. Jika persalinan terjadi sebelum masa inkubasi atau
pada persalinan, maka karena antibodi pada ibu belum terbentuk, bayi akan
terinfeksi dan terjadi kelainan pada usus dan susunan saraf pusat. Karena
hal tersebut , bayi yang lahir dari ibu yang disebutkan diatas harus disuntik
dengan VZIG atau ZIG, meskipun daya proteksinya 60-70%.
3. Pencegahan
Varisela Zoster Imuno Globulin (VZIG) direkomendasikan oleh CDC and
prevention 1996 untuk pencegahan, dengan dosis 125 U/10KgBB,
maksimum 625 unit atau 5 vial untuk pencegahan pre atau pascatercemar.
Varisela vaccine (varivax), merupakan life virus vaksin tetapi tidak
direkomendasikan pada perempuan hamil. Terjadinya infeksi virus ini pada
kehamilan 13-20 minggu akan menyebabkan terjadinya cacat bayi pada 0,4-

12
2% kehamilan. Kelainan dapat merupakan korioretinitis, atrofi kortek serebri,
hidronefrosis dan cacat pada kulit serta kaki. Jika infeksi terjadi sesaat
sebelum dan sesudah persalinan juga berbahaya bagi bayi karena antibodi
ibu belum terbentuk (masa inkubasi virus ini biasanya kurang dari 14 hari ).
Karena itu, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus ini 5 hari sebelum
dan sesudah persalinan harus segera divaksin dengan VZIG atau ZIG
(Zoster Imunoglobulin). Dengan pemberian vaksin ini 30-40% bayi masih
bisa mengalami infeksi, tetapi komplikasi dan kematian sangat dikurangi.
4. Penanganan khusus
a. Rawat jalan bila tanpa komplikasi, rawat inap bila disertai komplikasi
b. Terapi simptomatik berupa antipiretik (parasetamol 3 x 500 mg), gatal
dan nyeri kulit (talk salisil) dan antitusif (noskapin).
c. Antiviral: asiklovir 200 mg setiap 4 jam.
d. Terapi untuk komplikasi.
- Pneumonia: ampisilin 3x1 g (dosis awal IV dilanjutkan oral)
Gentamisin 2 x 80 mg
Amoksisilin +asam klavulanat 3 x 500 mg (dosis
awal IV dilanjutkan oral).
- Abortus: evakuasi dengan AVM/D&K.
- Partus prematurus: tatalaksana janin prematur.
- Antisipasi varisella kongenital.
e. Jika bayi lahir sebelum menerima antibodi varisella dari ibu, bayi tersebut
mungkin akan mengalami varisella diseminata, segera beri imunoglobin
varisella-zoster.
f. Bayi yang cukup bulan yang terinfeksi varisella antara umur 5-10 hari
akan menunjukkan gejala penyakit yang lebih berat, dibandingkan
dengan varisella yang timbul pada atau segera setelah lahir sehingga
memerlukan perawatan intensif.
D. Toksoplasmosis
1. Aspek klinik dan perilaku biologik toksoplasmosis kongenital
Transmisi toksoplasma kongenital hanya terjadi bila infeksi toksoplasma akut
terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan
yang telah memiliki antibodi antitoksoplasma karena sebelumnya telah
terpapar, resiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4-

13
7/1000 ibu hamil. Resiko meningkat menjadi 50/1000 ibu hamil bila ibu tidak
mempunyai antibodi spesifik.
Keadaan parasitemaia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan
parasit dapat mencapai plasenta, selama invasi dan menetap di plasenta
parasit berkembang baik serta sebagian yang lain berhasil memperoleh
akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi
toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinya bahwa hasil
isolasi positif di jaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada
neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus
tidak ada. Hasil-hasil penelitian berkaitan dengan toksoplasmosis:
 Frekuensi toksoplasmosis kongenital sama dengan frekuensi infeksi
plasenta
 Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi
maternal serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan.
2. Diagnosis pranatal
Saat ini pemanfaatan tindakan kordosintesis dan amniosintesis dengan
panduan ultrasonografi guna memperoleh darah janin atau cairan ketuban
sebagai pendekatan diagnostik merupakan ciri para obstetrikus pada
dekade 90an. Selanjutnya segera dilakukan pemeriksaan spesifik dan rumit
yang sifatnya biomolekuler atas komponen janin tersebut (darah atau
cairan ketuban) dalam waktu yang relatif singkat dengan ketepatan yang
tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya. Upaya
ini dikenal dengan diagnostik pranatal.
Diagnosa pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu
(trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut:
 Kordosintesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat)
ataupun amniosintesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
ultrasonografi.
 Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibroblas, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritonium tikus diikuti
isolasi parasit, ditujukan untuk mendeteksi adanya parasit.
 Pemeriksaan tambahan berupa penetapan cairan enzim liver, platelet,
leukosit (monosit dan eritrosit) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan
CD8.

14
3. Terapi dan pencegahan

Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut:

a. Kehamilan dengan infeksi akut


1) Spiramisin
Merupakan antibiotik macrolide dengan spektrum antibakterial. Di
jaringan obat ini ditemukan kadar / konsentrasi yang tinggi terutama
pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh tokizoit
sehingga menekan transmisi transplasenta. Spiramisin pada orang
dewasa deberikan 2-4 g/hari per oral dibagi dalam 4 dosis untuk 3
minggu, diulangi setelah 2 minggu sampai usia kehamilan aterm.
2) Piremitamin
Adalah fenilpromidin obat anti malaria, terbukti juga sebagai
pengobatan radikal pada hewan eksperimental yang dikenakan
infeksi toksoplasmosis. Obat ini bertahan lama dalam darah dalam
waktu paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna menghindari efek
akumulatif pada jaringan, pemberian obat dianjurkan setiap 3-4 hari.
Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8
kali lebih besar terhadap toksoplasma. Kedua obat ini bekerja
memblokir jalur metabolisme asam folat dan asam para
aminobenzoat parasit karena menghambat kerja enzim dihidrofolat
reduktase dengan akibat terganggunya pertumbuhan stadium
takizoit parasit. Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek
toksisitas yang tinggi.
b. Toksoplasma kongenital
Sulfadiasin dengan dosis 50-100 mg/Kg/hari dan piremitamin 0,5-1
mg/Kg diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi
IM asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk menghindari efek toksik
piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika
anak berumur 1 tahun karena diharapkan imunitas selulernya telah
memadai untuk melawan penyakit pada masa tersebut.
c. Penderita imunodefisiensi
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati.
Pengobatan di sini sama halnya dengan toksoplasma kongenital yaitu

15
menggunakan piremitamin, sulfadiazin dan asam folinik dalam jangka
panjang. Piremitamin dan sulfadiazin dapat melalui barier otak.
E. Thypus abdominalis
Penyebabnya adalah salmonela typhi dengan masa inkubasi antara 3-60 hari.
Di Indonesia terdapat 90.000 kasus , pada umur 3-19 tahun denga 20.000
kematian setiap tahun. Penyakit ini ditandai dengan panas tinggi dan persisten
7-10 hari, disertai dengan sakit kepala, malaise, gangguan defekasi (obstipasi
atau diare).
Pengaruh pada kehamilan terjadi karena panas yang lama dan tinggi disamping
keadaan umum yang jelek sehingga menyebabkan keguguran, persalinan
prematur dan kematian janin intra uterin terutama kalau terjadi infeksi pada
trimester pertama dan kedua. Morbiditas dan mortalitas akan terjadi lebih tinggi
pada kehamilan. Dengan berkembangnya antibiotika dan penanganan terhadap
penyakit ini motbiditas dan mortalitas demam tipoid dapat diturunkan secara
bermakna.
1. Prinsip dasar
a. Ibu hamil merupakan kelompok risiko untuk infeksi tifoid, yang
disebabkan salmonella tifosa.
b. Transmisi tifoid berkembang pesat pada daerah dengan kondisi sanitasi
yang buruk.
c. Komplikasi tifoid tergolong berat dan fatal.
2. Penilaian klinik
a. Selain demam tinggi yang menetap, gejala-gejala lain yang patut
diperhatikan dan ditanggulangi adalah pusing, mual/muntah, nyeri perut,
diare hebat dan dehidrasi yang gawat.
b. Dehidrasi dapat bertambah hebat apabila pasien juga mengalami
hiperemesis gravidarum.
3. Penanganan umum
a. Istirahat dan batasi aktifitas fisik.
b. Demam tifoid merupakan kasus rawat inap.
c. Observasi kehamilan dan komplikasinya.
d. Perbaiki kondisi kesehatan umum dan nutrisi.

4. Penanganan

16
a. Pencegahan dengan perbaikan sanitasi dan higiene akan sangat
bermanfaat
b. Antibiotika
Klorampenikol dan tiampenikol merupakan obat yang cukup manjur,
tetapi hati-hati terhadap penekanan funfsi sumsum tulang dengan
segala akibatnya. Fluorokinolon dikatakan merupakan obat yang paling
efektif kepada ibu hamil dapat diberikan juga sefalosporin generasi
ketiga secara intravena dan azirtromisin. Terapi antibiotik untuk demam
tifoid adalah:
1) Kloramfenikol 4 x 500 mg (oral) per hari hingga 3-5 hari bebas
demam.
2) Tiamfenikol 4 x 500 mg (oral) hingga 3-5 hari bebas demam.
3) Ampisilin 4 x 500-1000 mg hingga 3-5 hari bebas demam.
4) Walaupun golongan kinolon cukup efektif, tetapi tidak dianjurkan
untuk ibu hamil. Pilih antibiotika generasi baru yang tidak menekan
eritropoesis.
c. Lakukan rehidrasi akibat demam, muntah atau diare.
d. Demam dapat diatasi dengan parasetamol 500 mg setiap 4-6 jam,
kurangi dosis antipiretik apabila suhu tubuh kembali normal.
e. Lakukan kompres pada tubuh apabila terjadi hiperpireksia.
f. Lakukan pemantauan perkembangan kehamilan dan janin.
g. Hindari transmisi lanjutan.
h. Konseling tentang demam tifoid dan pengaruhnya terhadap kesehatan
ibu, kehamilan dan janin/neonatus.
i. Ibu dengan demam tifoid sebaiknya mempertimbangkan risiko dan
keuntungan untuk memberikan laktasi atau merawat sendiri bayinya.
Meskipun basil tifus tidak mencapai air susu ibu, tetapi karena ibu sakit
berat dan dapat menularkannya, maka bayi segera dipisahkan dari ibu
setelah lahir. Vaksinasi tifoid dapat dilakukan pada ibu hamil dan tidak
membahayakan janin yang dikandungnya.

F. Hepatitis

17
Sampai saat ini telah dikenal 7 macam virus Hepatitis (HVA, HVB, HCV, HDV,
HEV, TTV, HGV). Dua virus hepatitis yang terakhir belum diketahui secara jelas
pengaruhnya pada manusia. Infeksi virus hepatitis yang bisa memberikan
pengaruh khusus pada kehamilan adalah infeksi oleh virus Hepatitis B (VHB),
Virus Hepatitis D (VHD) dan Virus Hepatitis E (VHE).
1. Virus Hepatitis B
Kehamilan tidak akan memperberat infeksi virus hepatitis, akan tetapi jika
terjadi infeksi akut pada kehamilan bisa mengakibatkan terjadinya hepatitis
fulminan yang dapat menimbulkan mortalitas tinggi pada ibu dan bayi.pada
ibu dapat menimbulkan abortus dan perdarahan pasca persalinan karena
adanya gangguan pembekuan darah akibat gangguan fungsi hati. Pada
bayi masalah yang serius umumnya tidak terjadi pada masa neonatus, tetapi
pada masa dewasa. Jika terjadi penularan vertikal VHB, 60-90% akan
menjadi pengidap kronik VHB dan 30% kemungkinan akan menderita kanker
hati atau sirosis hati sekitar 40 tahun kemudian. Beberapa faktor predisposisi
terjadinya penularan vertikal antara lain titer DNA-VHB tinggi pada ibu
(makin tinggi titer makin tinggi kemungkinan bayi tertular), terjadinya infeksi
akut pada kehamilan trimester ketiga, persalinan lama dan mutasi VHB.
Kegagalan vaksinasi yang menyebabkan bayi tertular 10-20% disebabkan
oleh mutasi VHB.
VHB mudah menimbulkan infeksi nosokomial pada tenaga medik dan
paramedik melalui pertolongan persalinan atau operasi, karena tertusuk
jarum suntik atau luka lecet, terutama pada pasien dengan HBsAg dan
HbeAg positif. VHB lebih besar berpotensi untuk menimbulkan infeksi
nosokomial di rumah sakit dibandingkan HIV.
a. Pencegahan
1) Kewaspadaan universl (universal precaution)
Hindari hubungan seksual dan pemakaian alat atau bahan dari
pengidap, vaksinasi HB bagi seluruh tenaga kesehatan sangat penting,
terutama yang sering terpapar dengan darah.
2) Skrining HbsAg pada ibu hamil
Terutama di daerah dimana terdapat prevalensi tinggi.

3) Imunisasi

18
Penularan dari ibu ke bayi sebagian beasar dapat dicegah dengan
imunisasi. Pemberian vaksinasi HB bagi semua bayi yang lahir di
fasilitas pemerintah dengan dosis 5 mikrogram pada hari ke 0, umur 1
dan 6 bulan, tanpa mengetahui bayi tersebut lahir dari ibu dengan
HbsAg positif atau tidak. Selektif imunisasi diberikan kepada bayi yang
lahir dari ibu HbsAg positif, yaitu dengan pemberian Hepatitis B
Imunoglobulin (HBIG) + vaksin HB, vaksin mengandung pre S2 atau
pemakaian vaksin dosis dewasa pada hari ke 0, 1 bulan, dan 2 bulan.
b. Penanganan kehamilan dan persalinan pada ibu pengidap VHB
Persalinan pengidap VHB tanpa infeksi akut tidak berbeda dengan
penanganan persalinan umumnya.
1) Pada infeksi akut VHB dan adanya hepatitis fulminan persalinan
pervaginam usahakan dengan trauma sekecil mungkin dan rawat
bersama dengan spesialis penyakit dalam (spesialis hepatoligi).
Gejala hepatitis fulminan antara lain: sangat ikterik, nyeri perut kanan
atas, kesadaran menurun dan hasil pemeriksaan urin warna seperti
teh pekat, urobilin dan bilirubun positif, pada pemeriksaan darah selain
urobilin dan bilirubin positif SGOT dan SGPT sangat tinggi biasanya
diatas 1000.
2) Ibu hamil dengan viral oad tinggi dapat dipertimbangkan pemberian
HBIG atau Lamivudin pada 1-2 bulan sebelum persalinan. Beberapa
ada yang masih mengkhawatirkan pengaruh tratogenik obat tersebut.
3) Persalinan sebaiknya jangan dibiarkan berlangsung lama, khususnya
pada ibu dengan HbsAg positif. Persalinan pada ibu hamil dengan titer
VHB tinggi (3,5 pg/ml) atau HbsAg positif, lebih baik seksiosesaria.
Demikian juga jika persalinan yang lebih dari 16 jam pada pasien
pengidap HbsAg positif.
4) Menyusui bayi, tidak merupakan masalah. Pada penelitian telah
dibuktikan bahwa penularan melalui saluran cerna membutuhkan titer
virus yang jauh lebih tinggi dari pada penularan parenteral.
2. Infeksi Hepatitis A
Virus hepatitis A ditularkan secara vekal oral. Pada 10-20 tahun yang
lalusebagian besar orang dewasa yang hidup di daerah yang sanitasinya
kurang baik telah pernah terinfeksi VHA. Pada kehamilan masalah yang

19
bisa terjadi adalah kalau hepatitis fulminan pada infeksi akut, kemungkinan
terjadi perdarahan karena gangguan pembekuan darah.
3. Virus Hepatitis Delta (VHD)
VHD membutuhkan HbsAg untuk replikasi. Jadi baru bisa menyebabkan
infeksi jika terdapat infeksi VHB . ada 2 tipe infeksi VHD:
a. Super infeksi, dimana pada awalnya terdapat infeksi VHB,
kemungkinan baru terinfeksi oleh VHD
b. Ko-infeksi: VHD dan VHB menginfeksi bersama-sama.
Prevalensi tinggi virus ini terdapat di negara-negara timur tengah (seperti di
saudi arabia dan mesir), kenya, amerika selatan seperti venezuela. Virus ini
ditularkan secara seksual atau melalui jarum suntik. Penularan vertikal
sangat jarang , pasien yang terinfeksi secara ko-infeksi akan berakhir
dengan kesembuhan, tetapi yang teinfeksi secara super-infeksi akan
berakhir seperti halnya pada infeksi VHB, dimana 90% akan menjadi
pengidap kronik dan jika terjadi hepatitis fulminal akan menyebabkan
kematian sebesar 5-20%.
4. Virus hepatitis E
VHE mirip dengan VHA (RNA virus) dimana keduanya ditularkan secara
fekal oral, kebanyakan manifes secara akut dan merupakan wabah pada
daerah dengan sanitasi buruk. HEV mempunyai kekhususan dalam
terjadinya proporsi infeksi akut yang tinggi pada kehamilan jika terjadi
wabah dan besar kemungkinan akan terjadinya hapatitis fulminan dengan
risiko kematian yang tinggi.
G. Infeksi Traktus urinarius
Infeksi saluran kemih merupakan infeksi yang paling sering terjadi selama
kehamilan (4-10%). Meskipun bakteriuria asimtomatik paling sering dijumpai,
infeksi simptomatik bisa melibatkan traktus yang lebih bawah dan bisa
menyebabkan sistitis, atau bisa juga melibatkan kaliks, pelvis dan parenkim
ginjal dan menyebabkan pielonefritis.
Dikatakan ISK bila pada pemeriksaan urin ditemukan bakteri yang jumlahnya
lebih dari 10.000/ml, atau terdapatnya pertumbuhan 100.000 koloni bakteri atau
lebih per milimeter jumlah urin midstream dengan teknik catch.
Apabila ditemukan bakteri yang jumlahnya lebih dari 10.000 per ml ini disebut
dengan istilah bakteriuria. Bakteriuria ini mungkin tidak disertai gejala, disebut

20
bakteriuria asimtomatik, dan mungkin pula disertai gejala, yang disebut
bakteriuria simptomatik. Walaupun infeksi dapat terjadi karena penyebaran
kuman melalui pembuluh darah atau saluran limfe, tetapi yang terbanyak adalah
kuman-kuman naik melalui uretra, ke dalam kandung kemih dan saluran kemih
yang paling atas (ascenderen infection). Kuman yang tersering dan terbanyak
sebagai penyebab adalah E.col, disamping kemungkinan kuman-kuman lain
seperti E.aerogenes, klebsiella dan pseudomonas.
1. Bakteriuria Asimptomatik
a. Masalah
1) Bakteriuria asimptomatik akan meningkatkan morbiditas ibu hamil
dan bayi yang dikandungnya.
2) Infeksi saluran kemih (ISK) berkaitan dengan kejadian anemia,
hipertensi, kelahiran prematur dan berat badan lahir rendah (BBLR).
3) Pengobatan bakteriuria, hanya mengurangi pielonefritis menjadi 3%-
4% saja.
4) Tidak perlu pembatasan aktifitas.
b. Penilaian klinik
1) Semua wanita hamil sebaiknya dilakukan pemeriksan laboratorium
urin. Secara mikroskopik tampak peningkatan jumlah lekosit, eritrosit,
bakteri pada spesimen urin.
2) Bakteriuria asimptomatik pada umumnya tanpa gejala-gejala klinis
yang dapat dijadikan petunjuk untuk adanya gangguan pada sistem
urinaria.
c. Penanganan
Beberapa kajian terapi antibiotik untuk bakteriuria asimptomatik, adalah:
Nama obat Dosis Angka Keberhasilan
Amoksilin+asam 3X500 mg/hari 92%
klavulanat
Amoksilin 4x250 mg/hari 80%
nitrofurantoin 4x50-100 mg/hari 72%

Terapi antibiotika untuk pengobatan bakteriuria asimptomatik, biasanya


diberikan untuk jangka waktu 5-7 hari secara oral. Sebagai kontrol hasil

21
pengobatan, dapat dilakukan pemeriksaan ulangan biakan bakterologik
air kemih.
2. Sistitis
a. Masalah
1) Sistitis mencakup 0,3% hingga 2% dari kasus ISK.
2) Sisanya atau sebagian besar kasus, baru terdeteksi pada penapisan
selanjutnya.
b. Penanganan umum
1) Perhatikan higiene regio genital, cara pembersihan/pembilasan
setelah berkemih adalah dengan air dan dibasuh dari depan ke
belakang, kemudian dikeringkan.
2) Atasi keluhan yang mengganggu.
3) Asuhan antenatal yang teratur untuk kehamilan dan mengatasi
keluhan/kambuhan.
4) Lakukan terapi sedini mungkin.
5) Pilih antibiotika yang rasional.
c. Penilaian klinik
1) Hampir 95% infeksi terbatas pada kandung kemih dan sebagian
besar wanita hamil dengan sistitis mengeluh nyeri pada daerah supra
simphisis atau nyeri pada saat berkemih (disuria).
2) Frekuensi berkemih meningkat tetapi jumlahnya sedikit,
menimbulkan rasa tidak puas.
3) Air kemih berwarna lebih gelap dan pada saat serangan akut
terkadang berwarna kemerahan.
4) Pada penekanan supra simphisis akan terasa nyeri lokal yang
menjalar ke daerah lipat paha, pasien juga merasa ingin berkemih.
5) Secara mikroskopik tampak peningkatan jumlah leukosit , eritrosit,
bakteri pada spesimen urin.
6) Hasil biakan bakteriologis air kemih, umumnya memberikan hasil
positif. Seringkali dijumpai piuria atau hamaturia (gross hematuria)
d. Penanganan
1) Rawat jalan , pasien dianjurkan untuk banyak minum.
2) Atur frekuensi berkemih untuk mengurangi sensasi nyeri, spasme
dan rangsangan untuk selalu berkemih.

22
3) Hanya ibu hamil yang mengeluh nyeri hebat desertai dengan
hematuria, memerluakn perawatan dan observasi ketat.
4) Terapi antibiotika yang dipilih mirip dengan pengobatan bakteriuria
asimptomatik, apabila antibiotik tunggal kurang memberikan manfaat,
berikan antibiotik kombinas. Kombinasi tersebut dapat berupa jenis
obatnya ataupun cara pemberiannya. Misalnya: ampisilin 4x250 mg
per oral, digabung dengan gentamisin 2x80 mg secara IM selama 10-
14 hari. 2 – 4 minggu kemudian lakukan penilaian laboratorium untuk
evaluasi pengobatan.
5) Hampir 25% pasien yang pernah mengalami sistitis, akan mengalami
infeksi ulang. Untuk pencegahan infeksi ulang berikan nitrofurantoin
100 mg/hari setiap malam sampai sesudah 2 minggu postpartum.
6) Dalam asuhan antenatal yang terjadual sebaiknya dilakukan
pemeriksaan bakteriologik air kemih, sebagai langkah antisipatif
infeksi ulang.
3. Pielonefritis
a. Masalah
Sekitar 1%-2% wanita hamil mengalami pielonefritis akut.
1) Dua pertiga kasus pielonefritis akut didahului oleh bakteriuria
asimptomatik.
2) Pielonefritis sangat berkaitan dengan stasis aliran air kemih akibat
perubahan – perubahan sistem saluran kemih selama kehamilan.
3) Dari keseluruhan kasus pielonefritis akut, 9% terjadi pada trimester
partama, 46% trimester dua dan 45% pada trimester tiga.
b. Penanganan umum
1) Pielonefritis perlu pemantauan yang baik dan adekuat.
2) Anjurkan untuk banyak minum atau rehidrasi IV.
3) Atasi spasme atau kolik atau gangguan berat lainnya.
4) Diet yang seimbang untuk koreksi gangguan ginjal.
5) Pengobaatan sedini mungkin dan amati pengaruhnya terhadap
kehamilan dan kesehatan ibu.
c. Penilaian klinik
1) Gejala dan tanda yang penting untuk diperhatikan.

23
a) Pielonefritis akut ditandai dengan gejala demam, menggigil, mual
danmuntah, nyeri pada daerah kostovetebra atau pinggang.
b) Sering disertai mual, muntah, anoreksia.
c) Nyeri kostovetebra sisi kanan, kedua sisi atau sisi kiri.
d) Pemeriksaan kemih menunjukkan banyak sel-sel lekosit dan
bakteri.
e) Lakukan pemeriksaan biakan spesimen urin dan lakukan uji
resistensi.
f) Bila hasil biakan tidak banyak menunjukkan koloni atau tidak
dijumpai bakteri patogen, tetapi gejala klinis pielonefritis sangat
nyata, tanyakan pada pasien telah menggunakan antibiotika.
d. Penanganan
1) Wanita hamil dengan pielonefritis harus dirawat inapkan
2) Bila penderita datang dalam keadaan syok, lakukan tindakan yang
sesuai untuk mengatasi syok tersebut.
3) Bila terjadi ancaman partus prematurus, lakukan pemberian
antibiotika seperti yang telah diuraikan diatas dan penatalaksanaan
partus prematurus.
4) Lakukan pemeriksaan urinalis dan biakan ulangan.
5) Terapi antibiotik sebaiknya diberikan secara intravena. Ampisilin
bukan merupakan pilihan utama karena sebagian besar
mikroorganisme penyebab terbukti resisten terhadap antibiotika jenis
ini.
6) Walaupun golongan aminoglikosida cukup efektif tetapi
pemberiannya harus dengan memperhatikan kemampuan ekresi
kreatinin (creatinine clearance) karena pada pielonefritis akut, sering
terjadi gangguan fungsi ginjal secara temporer.
7) Terapi kombinasi antibiotika yang cukup efektif, adalah gabungan
sefoksitin 1-2 g intravena setiap 6 jam dengan gentamisin 80 mg
intravena setiap 12 jam. Ampisilin 2 g/siproksin 2 g IV dan gentamisin
2 x 80 mg.
8) Bila setelah penanganan yang adekuat dalam 48 jam pertama
ternyata sebagian gejala masih ada, pertimbangkan kemungkinan
mikroorganisme resisten terhadap antibiotika yang diberikan,

24
nefrolitiasis, abses perinefrik atau obstruksi sekunder akibat
kehamilan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Infeksi merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh berbagaijenis
mikroorganisme patogen seperti virus, protozoa dan jamur. Pada infeksi yang
berat dapat terjadi demam dan gangguan fungsi organ vital. Infeksi dapat
terjadi selama masa kehamilan, persalinan dan nifas.beberapa penyakit
dikelompokkan menurut pemeriksaan serologik, misalnya toksoplasma, rubella,
sitomegalovirus dan herpes genitalis. thipoid dan hepatitis merupakan penyakit
infeksi dengan demam tinggi sebagai gejala utama. Sedangkan infeksi yang
menimbulkan gejala klinik utama di saluran kemih dan reproduksi merupakan
infeksi saluran kemih dan infeksi menular seksual, IMS dapat ditularkan melalui
hubungan seksual. Penyakit infeksi pada ibu hamil, melahirkan dan nifas dapat
menimbulkan morbiditas dan mortalitas terhadap ibu, maupun bayi yang
dikandungnya.
B. Saran

25
1. Sebagai Mahasiswa kebidanan agar rajin membaca buku/ makalah tentang
infeksi yang menyertai dalam kehamilan agar menambah ilmu dan
wawasan pembelajaran.
2. Sebagai tenaga kesehatan khususnya Bidan dapat lebih mengetahui
tentang Pengaruh infeksi yang menyertai dalam kehamilan.
3. Bagi para ibu hamil ataupun wanita usia subur agar lebih berhati-hati dalam
menjaga kesehatan maupun berinteraksi dengan lingkungan sekitar,
supaya tidak tertular infeksi melalui seseorang maupun hewan peliharaan.
4. Bagi institusi Akbid Uniska Kendal agar lebih memfasilitasi kegiatan belajar
mengajar.

DAFTAR PUSTAKA

Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin, Abdul Bari. 2008. Ilmu Kebidanan.jakarta: Yayasan Bina Pustaka Srwono
Prawirohardjo.

26

Anda mungkin juga menyukai